Repeat – Jaeren
Tak, sebuah bunyi terdengar ketika satu kuasa Jaehyun menggerakkan salah satu bidak catur miliknya ke sebuah sisi hitam.
Lalu kuasanya yang lain akan berbalas untuk mengganti bidak catur itu dengan yang lainnya.
Saling memangsa demi merebut kemenangan. Seperti itulah permainan catur.
Jaehyun beradu dengan sisi lain dalam dirinya untuk mendapatkan kekuasaan semu di permainan catur.
Di tengah perdebatan dalam dirinya, sebuah peluru dengan ukuran mikro kaliber melaju dengan percepatan 1000m/s dengan target kepala Jaehyun.
Jaehyun dengan santai menghindarinya membuat peluru itu menembus dinding di belakangnya.
“Sudah kukatakan jika ingin mengunjungiku lewatlah pintu depan, bukan beranda lantai 2.”
“Lalu aku akan mati konyol dengan jebakan yang kau buat. Itu maumu kan?”
“Tentu saja tidak. Aku akan menolongmu sebelum kau meninggal. Ngomong-ngomong ada apa ke mari? Merindukanku?” Tanyanya kepada seseorang yang masih tertutup tirai merah di beranda milik mansion Jaehyun.
Sesosok pemuda manis muncul dari balik tirai merah itu dengan keadaan kemeja putihnya yang bersimbah darah.
“Kali ini siapa yang kau bunuh, Renjun?” Jaehyun menghela nafas lelah, ia sudah membayangkan dirinya akan dipanggil untuk mengatasi kasus pembunuhan.
“Siapa yang membunuh? Aku menyelamatkannya.” Renjun berdecak sebal lalu memperlihatkan buntelan bulu yang dibalut perban tengah digendongnya.
“Kucing?” Bisik Jaehyun ketika mengalihkan pandangannya dari bidak catur menuju seekor binatang yang tengah digendong Renjun.
“Seorang anak manusia melukainya. Selalu saja manusia bertindak kejam dengan hewan yang lemah.”
Renjun berjalan mendekat lalu mendudukkan dirinya di atas meja Jaehyun, ia tidak peduli dengan permainan catur milik kekasihnya.
“Aku membenci manusia.” Lanjut Renjun meraih sebuah bidak raja lalu menjatuhkannya di atas papan.
“Aku melihat Sicheng 2 hari yang lalu. Siapa yang menjadi incaran kalian saat ini?” Jaehyun merilekskan punggungnya di kursi lalu membuka topik obrolan.
Renjun hanya diam, ia beranjak untuk meletakkan seekor kucing yang terluka itu untuk beristirahat di atas sofa empuk milik Jaehyun.
“Aku pikir dia mati.”
“Dia masih hidup, hanya saja mengalami pendarahan di kakinya, kemungkinan akan cacat.”
“Kau tidak menjawab pertanyaanku, tapi ketika aku berbicara topik yang lain kau akan menjawabnya.” Sindiran halus terdengar.
Renjun kembali mendekat dan kembali duduk di atas meja Jaehyun.
“Aku tidak tahu, aku tidak sepertinya yang membunuh untuk uang.” Jawab Renjun seraya melihat kuku jarinya.
“Tapi kau mendapatkan uang setelah membunuh targetmu.”
“Aku membunuh mereka yang mengacaukan tatanan kehidupanku, melalui ambisi orang lain.” Sorot mata kelam rubah Renjun menatap netra elang milik Jaehyun.
“Kau membunuh seluruh keluargaku.” Jaehyun menaikkan sisi bibirnya, ia masih mengingat 3 tahun lalu Renjun dengan kejam membantai keluarganya tanpa tersisa termasuk neneknya yang selalu menemani masa kecil Jaehyun.
Renjun tertawa keras hingga pelupuk matanya mengeluarkan air matanya.
“Lalu, kau akan membunuhku untuk membalas dendam?” Renjun melontarkan pertanyaan yang sama kesekian kalinya kepada Jaehyun.
“Tidak, mereka pantas mendapatkannya.”
Renjun mengangguk, ia setuju dengan pendapat Jaehyun.
Keluarga Jeong merupakan dalang dibalik konflik yang terjadi di tanah kelahiran Renjun.
Membuat tanah kelahiran Renjun menjadi desa mati penuh mayat karena penduduk yang mencoba melawan aksi terorisme.
Hidup di lingkungan dengan banyak pemberontak dan aksi terorisme membuat Renjun tumbuh menjadi seorang pembunuh.
'Jika aku tidak membunuh, maka aku yang akan terbunuh.' Itulah pemikiran yang selalu Renjun tanamkan dalam benaknya, hingga dirinya menjadi pembunuh handal dengan gelar malaikat pencabut nyawa.
“Bagaimana caramu untuk kabur dari rumah yang khusus ku design untukmu?” Jaehyun melemparkan pertanyaan membuat Renjun menatap kembali paras tampan milik Jaehyun yang diam-diam selalu ia kagumi.
“Dengan hobiku.” Jawaban singkat yang Renjun berikan membuat tanda tanya besar di kepala Jaehyun. Ia tidak mengerti dengan pemikiran kekasih mungilnya ini.
“Aku menggali, mengganti jebakan yang kau buat dengan tanaman, selama 3 tahun, setiap hari aku melakukannya hingga aku dapat melangkah dengan mudah tanpa takut akan kehilangan kakiku.” Renjun menjelaskan dengan baik membuat Jaehyun tersenyum menampilkan kedua lesung pipinya.
“Aku sudah menduganya, kekasihku sangat pandai. Jadi, ia pasti tahu perbedaan antara tanah yang biasa dengan yang berisi jebakan.” Jaehyun bangkit lalu mengurung tubuh mungil itu dengan kedua kuasanya.
“Aku merindukanmu.” Bisiknya perlahan.
“Seseorang berkata jika ada laki-laki yang berkata rindu, berarti ia hanya ingin mendapatkan kepuasan birahi.” Jelas Renjun dengan malas.
“Ya?” Jaehyun dengan nada ambigu menjawabnya.
“Lakukanlah. Aku juga merindukanmu.” Lanjut Renjun membuat Jaehyun tersenyum lebar.
Malam dingin itu terasa hangat bagi kedua anak adam yang saling berbagi kehangatan, suara erangan dan geraman menggaung di heningnya malam itu.
Mereka saling menyatu melampiaskan rasa satu sama lain sebelum dipisahkan oleh takdir.
Untuk kesekian kalinya Renjun menyerahkan tubuhnya kepada seseorang yang dapat membunuhnya kapanpun ia mau.