cassiyopeia

Repeat – Jaeren

Tak, sebuah bunyi terdengar ketika satu kuasa Jaehyun menggerakkan salah satu bidak catur miliknya ke sebuah sisi hitam.

Lalu kuasanya yang lain akan berbalas untuk mengganti bidak catur itu dengan yang lainnya.

Saling memangsa demi merebut kemenangan. Seperti itulah permainan catur.

Jaehyun beradu dengan sisi lain dalam dirinya untuk mendapatkan kekuasaan semu di permainan catur.

Di tengah perdebatan dalam dirinya, sebuah peluru dengan ukuran mikro kaliber melaju dengan percepatan 1000m/s dengan target kepala Jaehyun.

Jaehyun dengan santai menghindarinya membuat peluru itu menembus dinding di belakangnya.

“Sudah kukatakan jika ingin mengunjungiku lewatlah pintu depan, bukan beranda lantai 2.”

“Lalu aku akan mati konyol dengan jebakan yang kau buat. Itu maumu kan?”

“Tentu saja tidak. Aku akan menolongmu sebelum kau meninggal. Ngomong-ngomong ada apa ke mari? Merindukanku?” Tanyanya kepada seseorang yang masih tertutup tirai merah di beranda milik mansion Jaehyun.

Sesosok pemuda manis muncul dari balik tirai merah itu dengan keadaan kemeja putihnya yang bersimbah darah.

“Kali ini siapa yang kau bunuh, Renjun?” Jaehyun menghela nafas lelah, ia sudah membayangkan dirinya akan dipanggil untuk mengatasi kasus pembunuhan.

“Siapa yang membunuh? Aku menyelamatkannya.” Renjun berdecak sebal lalu memperlihatkan buntelan bulu yang dibalut perban tengah digendongnya.

“Kucing?” Bisik Jaehyun ketika mengalihkan pandangannya dari bidak catur menuju seekor binatang yang tengah digendong Renjun.

“Seorang anak manusia melukainya. Selalu saja manusia bertindak kejam dengan hewan yang lemah.”

Renjun berjalan mendekat lalu mendudukkan dirinya di atas meja Jaehyun, ia tidak peduli dengan permainan catur milik kekasihnya.

“Aku membenci manusia.” Lanjut Renjun meraih sebuah bidak raja lalu menjatuhkannya di atas papan.

“Aku melihat Sicheng 2 hari yang lalu. Siapa yang menjadi incaran kalian saat ini?” Jaehyun merilekskan punggungnya di kursi lalu membuka topik obrolan.

Renjun hanya diam, ia beranjak untuk meletakkan seekor kucing yang terluka itu untuk beristirahat di atas sofa empuk milik Jaehyun.

“Aku pikir dia mati.”

“Dia masih hidup, hanya saja mengalami pendarahan di kakinya, kemungkinan akan cacat.”

“Kau tidak menjawab pertanyaanku, tapi ketika aku berbicara topik yang lain kau akan menjawabnya.” Sindiran halus terdengar.

Renjun kembali mendekat dan kembali duduk di atas meja Jaehyun.

“Aku tidak tahu, aku tidak sepertinya yang membunuh untuk uang.” Jawab Renjun seraya melihat kuku jarinya.

“Tapi kau mendapatkan uang setelah membunuh targetmu.”

“Aku membunuh mereka yang mengacaukan tatanan kehidupanku, melalui ambisi orang lain.” Sorot mata kelam rubah Renjun menatap netra elang milik Jaehyun.

“Kau membunuh seluruh keluargaku.” Jaehyun menaikkan sisi bibirnya, ia masih mengingat 3 tahun lalu Renjun dengan kejam membantai keluarganya tanpa tersisa termasuk neneknya yang selalu menemani masa kecil Jaehyun.

Renjun tertawa keras hingga pelupuk matanya mengeluarkan air matanya.

“Lalu, kau akan membunuhku untuk membalas dendam?” Renjun melontarkan pertanyaan yang sama kesekian kalinya kepada Jaehyun.

“Tidak, mereka pantas mendapatkannya.”

Renjun mengangguk, ia setuju dengan pendapat Jaehyun.

Keluarga Jeong merupakan dalang dibalik konflik yang terjadi di tanah kelahiran Renjun.

Membuat tanah kelahiran Renjun menjadi desa mati penuh mayat karena penduduk yang mencoba melawan aksi terorisme.

Hidup di lingkungan dengan banyak pemberontak dan aksi terorisme membuat Renjun tumbuh menjadi seorang pembunuh.

'Jika aku tidak membunuh, maka aku yang akan terbunuh.' Itulah pemikiran yang selalu Renjun tanamkan dalam benaknya, hingga dirinya menjadi pembunuh handal dengan gelar malaikat pencabut nyawa.

“Bagaimana caramu untuk kabur dari rumah yang khusus ku design untukmu?” Jaehyun melemparkan pertanyaan membuat Renjun menatap kembali paras tampan milik Jaehyun yang diam-diam selalu ia kagumi.

“Dengan hobiku.” Jawaban singkat yang Renjun berikan membuat tanda tanya besar di kepala Jaehyun. Ia tidak mengerti dengan pemikiran kekasih mungilnya ini.

“Aku menggali, mengganti jebakan yang kau buat dengan tanaman, selama 3 tahun, setiap hari aku melakukannya hingga aku dapat melangkah dengan mudah tanpa takut akan kehilangan kakiku.” Renjun menjelaskan dengan baik membuat Jaehyun tersenyum menampilkan kedua lesung pipinya.

“Aku sudah menduganya, kekasihku sangat pandai. Jadi, ia pasti tahu perbedaan antara tanah yang biasa dengan yang berisi jebakan.” Jaehyun bangkit lalu mengurung tubuh mungil itu dengan kedua kuasanya.

“Aku merindukanmu.” Bisiknya perlahan.

“Seseorang berkata jika ada laki-laki yang berkata rindu, berarti ia hanya ingin mendapatkan kepuasan birahi.” Jelas Renjun dengan malas.

“Ya?” Jaehyun dengan nada ambigu menjawabnya.

“Lakukanlah. Aku juga merindukanmu.” Lanjut Renjun membuat Jaehyun tersenyum lebar.

Malam dingin itu terasa hangat bagi kedua anak adam yang saling berbagi kehangatan, suara erangan dan geraman menggaung di heningnya malam itu.

Mereka saling menyatu melampiaskan rasa satu sama lain sebelum dipisahkan oleh takdir.

Untuk kesekian kalinya Renjun menyerahkan tubuhnya kepada seseorang yang dapat membunuhnya kapanpun ia mau.


Jaehyun melangkah dengan tergesa menuju sebuah taman yang berisi berbagai macam tumbuhan. Netra kelamnya menelisik di setiap sudut mencari seseorang yang dikenalnya.

Dalam hitungan detik ia telah menemukan seseorang yang dicari dan kaki jenjangnya berjalan kembali untuk segera menuju sosok itu.

Satu kuasanya dengan kasar menyeret pemuda yang berusia 5 tahun di bawahnya untuk masuk ke dalam rumah.

Ia sentakkan tubuh yang lebih kecil itu dengan kasar hingga terduduk di atas sofa yang empuk.

Si empu hanya mengaduh sakit dan mengusap pergelangan tangannya yang terasa nyeri.

“Komisaris Jeong, bisakah kau memperlakukanku dengan lebih lembut.” Nada sindiran terdengar dari bibir semerah cherry itu.

“Untuk apa aku memperlakukan penjahat sekaligus pembunuh sepertimu dengan lembut?” Balasan pedas terdengar dengan dengusan di akhir kalimat.

“Yah terserah kau saja.” Pemuda itu memilih untuk mengalah dan menyamankan tubuhnya di atas sofa dengan satu kaki menjadi tumpuan di atas kakinya yang lain.

Jaehyun mendudukkan tubuhnya dengan melepas kancing jas terlebih dahulu.

“Aku tahu kau selalu mengawasi media. Jadi, katakan siapa dalang dibalik kasus pembakaran secara acak ini?” Kerutan kening tercetak dengan jelas dari raut wajah dengan pahatan sempurna yang dimiliki Jaehyun.

Berbanding terbalik dengan pemuda yang lebih muda, ia justru bersidekap dan menatap ke arah luar lalu bersiul.

“Huang Renjun.” Geram Jaehyun.

“Oh, kau memanggilku komisaris Jeong?” Pertanyaan remeh diajukan oleh pemuda bernama Huang Renjun.

Jaehyun dengan sigap mengeluarkan sebuah pistol lalu mengarahkan moncongnya tepat di pertengahan dahi milik Renjun.

Renjun tidak mengelak dan tidak menghindar justru memberikan sebuah senyuman tipis dan tatapan remeh.

Melihat reaksi Renjun, Jaehyun kembali menyimpan pistolnya.

“Jangan membuang waktuku, cepat katakan!” Perintah dengan nada gertakan kembali masuk ke dalam rungu pemuda Huang itu.

“Komisaris Jeong ke mari hanya untuk menanyakan hal yang terjadi baru-baru ini. Sedangkan aku telah terkurung di rumah sederhana dengan halaman luas selama 3 tahun.” Renjun menghela nafas lalu mencondongkan tubuhnya ke depan dengan memainkan sebuah kalung di lehernya.

“Tak lupa dengan sebuah benda yang melingkar di leherku ini.” Lanjutnya lalu meregangkan tubuhnya.

Renjun nampak enggan untuk bekerja sama dengan kasus kali ini.

“Renjun, cepat katakan atau aku akan membunuhmu!” Sebuah nada ancaman membuat Renjun tertawa keras.

“Kalau begitu bunuh saja aku.” Balasnya dengan ringan.

Jaehyun menghirup nafasnya dalam-dalam, berusaha untuk menahan amarahnya.

“Bagaimana jika kita membuat kesepakatan, aku akan membantumu memecahkan kasus ini lalu kau harus membebaskanku dari rumah ini.” Renjun menawarkan sebuah perjanjian yang kesekian kalinya. Dan ia yakin akan ditolak oleh Jaehyun.

“Bahkan, dalam mimpimu, aku tidak akan pernah melepaskanmu.” Jaehyun beranjak dan menatap Renjun dengan tatapan yang tidak dapat dijelaskan.

Renjun mendecih pelan dan membuang muka ke arah halaman luar.

Jaehyun berjalan meninggalkan Renjun, di saat satu kuasanya menggenggam knop pintu itu, Renjun membuka mulutnya.

“Aku kehilangan kue yang ku buat kemarin, aku masih mengingatnya dengan jelas kalau aku menyimannya di kulkas. Hanya ada kau dan aku yang ada di sini, tetapi aku merasa tidak memakannya. Jadi-”

Jaehyun tersenyum miring, “Kau tidak membuat apapun kemarin.”

“Aku membuatnya, tapi kue itu menghilang. Padahal saat itu aku telah memanaskannya dengan suhu yang tepat!” Kekeh Renjun.

“Aku akan membelikanmu permen jelly sebanyak yang kau mau nantinya.” Balas Jaehyun lalu kembali melangkah dengan sebuah senyuman sumringah.

Ia tahu siapa dalang dibalik pelaku pembakaran rumah yang terjadi selama kurun waktu 3 bulan.

Sudah seharusnya menggunakan penjahat untuk menangkap penjahat.


Renjun meremas jemarinya gugup, walau tidak terlihat dari wajahnya, namun di dalam hatinya sangat gusar mengingat ia baru saja melangsungkan pernikahannya dengan soloist ternama, Taeyong.

Renjun belum pernah mengenal sosok yang selalu Jeno sebut dengan kata kakak itu.

Renjun bahkan tidak tahu apa yang suaminya itu suka dan tidak suka.

Bagaimana jika Renjun membuat kesalahan di hari pertamanya ia menjalani pernikahan?

Oh, jangan lupakan perasaan cemas karena mereka akan berbagi ranjang. Tidur dengan orang asing membuat sebuah rasa mengganjal di dasar hatinya.

Bagaimana jika kak Taeyong menginginkan dirinya di malam pertama ini?

'Tuhan, bagaimana ini? Aku tidak tahu caranya sepasang laki berhubungan intim.' Pikir Renjun dalam hatinya hingga tak sadar sudah menggigiti kuku.

Akankah pikirannya untuk menikah dengan Taeyong hal yang tepat?

Cklek.

Knop pintu terbuka dan menampilkan sesosok wira tampan dengan balutan handuk di pinggang dengan rambut yang basah.

“Kak Taeyong?” Lirih Renjun dengan wajah terkejutnya.

Seberapa lama dirinya melamun?

Kenapa tidak sadar bahwa Taeyong sudah selesai mandi?

“Udah selese mandinya kak?” Renjun mencoba berbasa – basi.

“Udah, kamu kalo mau mandi tunggu bentar ya, aku baru ngisi bathtubnya pake air hangat, masih terisi seperempat bagian.” Jawab Taeyong dengan nada lembut dan tersirat rasa perhatian meski tubuh dan wajahnya tidak menghadap Renjun dan memilih untuk mengenakan pakaian.

Taeyong duduk di meja dengan kaca di depannya dan mempersiapkan hairdryer untuk mengeringkan rambutnya.

Renjun peka. Ia segera beranjak dari duduk dan menggulung kemeja putihnya lalu berdiri di belakang punggung Taeyong.

“Kak, anu...” Renjun tidak berani melanjutkan ucapannya, ia hanya menatap ragu Taeyong dari pantulan cermin di hadapannya.

“Kenapa? Aku ganteng banget ya sampe kamu ga bisa ngucapin kata-kata selanjutnya?” Taeyong mengerti bahwa suami manisnya itu tengah ragu jadi menggodanya sedikit tidak masalah bukan?

Renjun mencebikkan bibirnya, merasa kesal dan ingin memukul kepala yang ada di depannya. Tapi, ia tahan. Ia tidak ingin menjadi suami durhaka.

“Kalo mau bantu ngeringin rambutku gapapa kok.” Lanjutnya dengan senyuman disambut wajah sumringah Renjun.

Dengan telaten sepasang tangan itu mengusap, menyisir dan mengeringkan surai hitam milik Taeyong.

Renjun merengut ketika mendapati beberapa helaian rambut rontok di tangannya.

“Kak, jangan keseringan ngecat rambut.” Ungkap Renjun dengan meraih tasnya lalu merogoh beberapa vitamin rambut dan mengusapnya di surai milik Taeyong.

Perlahan, Renjun memberikan pijatan lembut di kulit kepala milik Taeyong.

Dari pantulan kaca Taeyong memperhatikan dengan jelas perlakuan manis yang diberikan Renjun untuknya.

Ujung bibirnya terangkat ke atas. Senyuman tipis tercipta.

“Ren, mau aku mandiin ga?”

“HEH?!”


Dunia Renjun seakan runtuh dikala dirinya melihat sebuah berita yang disiarkan. Kekasih cantiknya yang selama ini menemaninya ternyata selingkuh di belakangnya.

Renjun menatap lesu padatnya lalu lintas di ibukota, berulang kali ia menghela nafas. Mungkin seseorang akan bosan mendengarnya termasuk dewa sekalipun.

“Hei, keliatannya kamu lesu. Nih, semoga suka ya.” Ucap seorang laki-laki asing dengan masker dan topi menutupi wajahnya. Pandangan Renjun turun menuju sebuah minuman manis yang diulurkan oleh pria itu.

Renjun tidak mengenalnya, jadi ia hanya menatap pria asing itu dengan tatapan datarnya.

“Ga aku kasih racun kok. Kalo kamu ga percaya nih aku minum duluan.” Seperti tahu isi pikirannya. Pria asing itu menurunkan maskernya dan meminum milkshake yang ada di dalam cup itu. Tak berapa lama ia kembali memakai maskernya.

'Sok misterius.' Pikir Renjun masih dengan wajah tanpa ekspresinya.

“Nih, aku ga mati kan? Jadi, ga ada racunnya di sini.” Lanjut pria itu lalu dengan paksa ia membuat tangan Renjun menerimanya.

“Semoga kita ketemu lagi!” Serunya seraya pergi menjauh meninggalkan Renjun yang masih terbengong dengan sebuah seringaian di balik maskernya.

Renjun mengerutkan keningnya lalu tanpa sadar ia meminum milkshake pemberian orang asing itu.

“Enak.” Gumamnya senang tanpa sadar menyunggingkan sebuah senyuman manis tercipta di bibirnya.

Sebuah senyuman yang membuat salah satu ciptaan Tuhan menginginkan Renjun dan kehidupannya agar menjadi miliknya.


ー What am i to you? ( Doren )

Renjun menendang kerikil ke sembarang arah, sejujurnya ia tidak tahu ke mana kakinya melangkah, ia juga tidak tahu sudah seberapa jauh ia lalui.

Suasana malam kota Seoul terbilang cukup lengang. Hanya berbekal kaos, kemeja, topi dan masker untuk menutup wajah ia terus menapak mengikuti insting dari rasa kesalnya.

Sejujurnya ia tadi sudah akan menuju ke dorm WayV tapi Yangyang menebak cerita hidupnya begitu tepat hingga membuatnya mengurungkan niat untuk ke sana.

Jika dia tetap berada di dorm Dream sudah pasti kekasihnya akan langsung mendobrak paksa pintu kamar miliknya dan akan menjadi tontonan untuk Jeno, Jaemin dan Jisung.

“Arrgghh.” Renjun berteriak putus asa seraya mengacak surainya.

Kepalanya yang sedari tadi menunduk pun ia angkat, manik rubahnya menatap sebuah ayunan di taman yang telah sepi.

Langkahnya mendekat lalu mendudukan tubuhnya di salah satu ayunan itu. Telapak tangannya menggenggam besi penyangga dan kakinya mulai mengayun perlahan.

Wajahnya diterpa angin malam dengan beberapa helaian rambut terbawa angin, sedikit sejuk di tengah musim panas yang sedang dialami Korea Selatan.

Untung saja ini bukan bulan Desember, jika iya, sudah dipastikan ia membeku di luar tanpa coatnya.

Sejenak ia melupakan masalahnya dengan Doyoung. Sejujurnya ia sadar dan merasa sedikit kekanakan, tapi ia juga memiliki rasa iri. Apalagi ia hanya manusia biasa.

Jika Jeno dan Jaemin telah mengisi setiap bagian dari jantung milik Doyoung bagaimana dengan dirinya. Apa yang bisa ia miliki dari Kim Doyoung?

Memikirkan itu membuat mood Renjun semakin memburuk. Renjun menghela nafas panjang yang sarat penuh kelelahan.

Pandangannya beralih menatap langit malam bertabur bintang dengan bulan menyertainya.

Seketika terbesit dalam benaknya,

“Cinta adalah sebuah ilusi yang sangat nyata, kurasa.”

“Atau mungkin aku bukanlah seseorang yang Doyoung hyung inginkan?” Gumamnya dengan mata tertutup setelah ayunannya berhenti sempurna, ia kembali menatap rumput yang diinjaknya.

“Aku hampir gila karena mencarimu, Huang.” Sebuah suara yang amat dikenalnya mengalun di kedua rungunya.

Renjun mendongak dan mendapati Doyoung telah ada di hadapannya dengan dada yang naik turun karena terengah.

“Berhenti membuatku khawatir.” Doyoung mengucap dengan nada lembut di akhir kalimat.

“Aku tidak menyuruhmu untuk mencariku.” Sinis Renjun lalu memalingkan wajahnya menatap ke arah lain yang penting bukan kepada Kim Doyoung.

Doyoung menghela nafas lalu berjongkok di hadapan Renjun dengan kedua tangannya menopang di lutut wira yang saat ini menjabat sebagai kekasihnya.

“Maafkan aku, aku salah. Seharusnya aku mengatakannya padamu. Renjunnie tidak seperti Jeno dan Jaemin yang hanya memiliki satu bagian dari tubuhku. Renjunnie memiliki aku seutuhnya, termasuk cinta dan isi pikiranku.” Tutur Doyoung lembut, matanya menatap lurus ke paras cantik milik Renjun yang masih menatap ke arah lain.

“Aku tidak tahu bagaimana aku mengekspresikan perasaanku untuk kamu. Yang jelas Kim Doyoung mencintai Huang Renjun saat ini hingga waktu yang tidak dapat ditentukan.”

Renjun menoleh dan menatap ke arah manik kelam milik Doyoung, ia merasa terharu dengan tutur kata manis yang diucapkan kekasihnya untuk pertama kali.

“Tidak perlu perumpamaan karena sejujurnya tidak ada satupun kalimat yang mampu mewakilkan seluruh perasaanku untukmu.” Lanjut Doyoung membuat pipi Renjun bersemu.

Renjun menunduk dan menggigit bibirnya, 'Kim Doyoung yang seperti ini sangat berbahaya, Tuhanku.' pikirnya dalam hati.

“Berhenti menggombal hyung, ayo pulang.” Ajak Renjun lalu bangkit dan mengulurkan tangan ke arah Doyoung yang disambut pemuda itu dengan suka cita.

Mereka berjalan dengan salah satu lengan Doyoung melingkar angkuh di pinggang kekasihnya menuju sebuah mobil. Senyuman cerah terbit di wajah manis Renjun yang sayangnya tertutup oleh masker.

Doyoung membuka pintu mobil dan mempersilakan kekasihnya masuk terlebih dahulu barulah ia naik.

Mobil melaju dengan Johnny yang menyetir dan di sebelahnya ada Jaehyun sedangkan di belakang hanya ada Renjun dan Doyoung.

Renjun menyandarkan kepalanya di bahu tegap milik kekasihnya dan merasa kantuk mulai datang menjemputnya. Doyoung yang mengerti bahwa kekasihnya mengantuk karena kelelahan hanya mengusap – usap rambut dan sesekali menepuk lengan si manis.

“Berhenti menatap kekasihku, Jung.” Geram Doyoung dengan nada rendah setelah memastikan Renjun sudah terlelap dengan damai.

“Aku ketahuan rupanya.” balas Jaehyun dengan santai.

“Kau menatapnya dari pantulan kaca mobil.” sinis Doyoung lalu mengeratkan pelukan Renjun menjadi lebih posesif.

“Kau terlalu posesif, Hyung.” Sanggah Jaehyun.

“Justru aku harus posesif agar ia tidak direbut siapapun.”

“Seperti saat kau merebutnya dariku?”

“Sudahlah, kalian jangan bertengkar.” Johnny mencoba melerai keduanya sebelum terjadi perang dunia ke-tiga terjadi. Membuat Doyoung dan Jaehyun tersadar akan sikap kekanakan mereka.

“Kita ke dorm dream?” tanya Johnny memecah keheningan.

“Tidak, malam ini Renjun akan menginap di kamarku.” jawab Doyoung yang langsung dimengerti oleh Johnny.

ーEnd.

➤ Be the Light

【Jaehyun's Point of View】

Kala itu dunia terasa sangat dingin dan gelap bahkan aku tidak mampu melihat meski kedua mataku terbuka. Saat-saat yang terasa berat di saat aku masih harus berjuang menjalani pelatihan di sebuah agency raksasa, menanti waktu di mana aku dapat debut agar selamanya aku dapat berdiri di atas panggung penuh dengan cahaya.

Suatu hari seorang staff memperkenalkan peserta baru, aku masih mengingat dengan jelas bagaimana senyuman canggung terbit dari kedua sudut bibirmu setelah kau mengatakan namamu.

Huang Renjun. Seorang anak berkebangsaan China, lahir di tahun 2000 memiliki gingsul dan tanda lahir yang terlihat seperti memar.

Jika kau tidak mengatakan daerah asalmu mungkin aku meyakini bahwa kau adalah anak laki-laki yang berasal dari Korea karena tutur katamu yang begitu fasih dalam pelafalan bahasa Korea.

Awal mengenalmu aku sedikit ragu akan tubuh kecil itu menghadapi pelatihan selayaknya neraka untuk debut menjadi idol. Namun, seiring berjalannya waktu, setiap kali aku melihatmu, kau begitu keras berlatih untuk mengejar ketertinggalan dari anggota mini rookies yang lain.

Hingga suatu hari agensi mengatakan tanggal debut dan bagaimana sistem sebuah grup bernama NCT.

Aku mendengar kau bersama dengan member muda yang lainnya tengah berlatih untuk lagu debut, begitupula denganku.

Sejujurnya aku sedikit kecewa karena kita tidak berada dalam satu unit, aku juga tidak tahu kenapa aku kecewa akan hal itu.

Alih-alih bertanya, aku justru tetap diam mengikuti rencana agensi dan terus memperhatikanmu dalam diam.

Kemampuanmu meningkat begitu pesat dan kau tumbuh menjadi seorang pemuda yang manis dengan lesung pipi sepertiku, namun aku merasa sedih ketika melihat gingsul itu sudah tidak lagi bertengger di sana.

Saat itu era We Young, kita bertemu dalam sebuah acara radio. Aku hanya mampu melihat dan mencuri pandang lalu kau bersikap malu-malu yang membuat hatiku bersorak senang.

Seketika beberapa pertanyaan terbersit dalam benakku, “Apa kau sudah memiliki kekasih? Apa kau mencintai seseorang? Jika belum bolehkah aku mengisinya?”

Lalu aku tersadar dan tertawa akan pikiran bodohku, bagaimana mungkin aku mengisi hatimu jika untuk mendekatimu saja aku tak mampu dan kau hanyalah anak kecil yang masih awam akan cinta dan menganggap semua perhatianku layaknya kakak kepada adiknya.

Walau kedekatan kita hanya kau anggap sebagai teman biasa melalui hal-hal kecil aku berusaha mengirim sinyal perasaanku untukmu.

Aku ingat kau menyukai karakter animasi bernama Moomin dan kau berkata aku seperti Moomin, awalnya aku berfikir apa aku terlihat gendut seperti kudanil itu? Tapi kau selalu berkata Moomin adalah peri ketika Haechan atau fans menggodamu, mengatakan bahwa Moomin adalah kudanil.

Jadi bisakah aku berharap padamu saat itu, Ren? Berharap bahwa aku adalah seorang peri bagimu?

Kau tidak menjawab pertanyaan yang kulontarkan di dalam hati jadi aku yang akan mengatakannya, mulai dari mengganti nama airpods baruku menjadi karakter kesukaanmu dan mengatakan bahwa aku adalah Jung Moomin.

Satu hal yang menjadi kesukaanku saat itu adalah ketika kita berada dalam satu project yang sama.

NCT 2018.

Dengan leluasa aku dapat melihatmu berlatih, tertawa, kesal dan tersenyum. Namun, lagi-lagi aku hanya dapat menjadi penonton dan member dream lah yang melakukannya.

Karena usiamu yang beranjak semakin dewasa dan aku tidak ingin kalah start akan teman-temanmu yang terlihat mulai menaruh perasaan, maka aku melakukan pendekatan padamu secara lebih intim.

Dan di tahun 2019 kau resmi menjadi milikku.

Setelah itu kehidupanku berubah menjadi terang, Renjun yang selalu menerangi setiap sudut gelap hatiku. Terlampau terang hingga ketika aku menutup mata bayanganmu yang akan tergambar dengan jelas dan membuatku tidak mampu melihat sosok yang lain.

“Renjun-ah aku mencintaimu selalu, terimakasih karena telah menjadi cahaya bagi hidupku.”


【Sudut pandang orang ketiga】

Renjun memiringkan kepalanya bingung ketika Jaehyun tertidur di atas sofa dan menggumamkan kata cinta untuknya. Dahinya tertaut tanda si manis tengah penasaran mimpi seperti apa yang kekasihnya lihat.

“Renjunnie aku mencintaimu.” Lagi. Jaehyun menggumam kata cinta kembali di dalam tidurnya, ini sudah ketiga kalinya ia mengulang perkataan yang sama.

Orang bilang jika mereka bergumam dalam keadaan tidur maka itulah perasaan yang sebenarnya dirasakan. Renjun tidak masalah, justru ia bahagia karena bukti bahwa Jaehyun begitu mencintainya.

“Iya hyung aku juga mencintaimu.” kali ini Renjun membalas lalu mengecup lembut pipi pucat milik Jaehyun.

Renjun kembali duduk di atas karpet dan membaca bukunya seraya menunggu Jaehyun untuk membuka mata dan setelah itu ia akan menanyakan perihal mimpi yang dilihat Jaehyun.

Keduanya jarang terlihat pergi bersama karena jika ada waktu kosong mereka memanfaatkannya untuk saling bercerita dan menyelami satu sama lain sebagai bahasa cinta dari dua insan yang dimabuk asmara.

Walau sesungguhnya Jaehyun ingin sekali mengajak Renjun pergi berlibur ke sebuah pulau di mana hanya ada mereka dan ketika malam tiba langit bertabur bintang akan menemani.

⸻End.

─ Cuddle

Tak membutuhkan waktu yang lama sejak pesan terakhir yang dikirim, kini dirinya sampai di depan dorm NCT Dream, kuasanya menekan bel pintu dan beberapa menit kemudian terlihat Jeno dengan kaos dan celana pendek membuka pintu.

“Jaehyun hyung, selamat malam.” Sapanya dengan eyesmile yang terbilang sangat manis.

“Kalau mau cari Renjun, ada di kamarnya hyung. Silakan.” Seakan mengerti isi pikiran Jaehyun, Jeno telah memberitahu keberadaan Renjun dan mempersilakan Jaehyun untuk masuk ke dalam dorm.

Jaehyun hanya mengangguk lalu melepaskan sepatunya dan menaruh di rak sepatu.

Kaki jenjangnya berjalan tergesa menuju kamar yang letaknya sudah sangat dihapal di luar kepalanya.

Ia menyapa member dream beserta Sungchan dan Shotaro yang asik berkumpul di ruang tengah secara sekilas.

Tangannya memutar knop pintu dan mendorongnya ke dalam dengan perlahan agar si empu tidak mengetahui kedatangannya lalu kembali menutupnya setelah ia masuk ke dalam teritorial milik kekasih cantiknya.

Jaehyun melepas topi, jaket, serta masker lalu meletakkannya di sebuah gantungan baju dekat pintu yang Renjun sediakan khusus untuknya.

Senyumnya terbit ketika melihat Renjun berada di meja belajarnya dengan sebuah gadget. Ia tengah menggambar sesuatu, terlihat dari tangannya yang bergerak teratur.

Langkahnya kembali berjalan dengan tenang, sengaja mengejutkan kekasih mungilnya atas kedatangannya. Biasanya Jaehyun akan mengabari Renjun ketika sampai di basement parkir apartement tempat di mana Unit mereka tinggal. Namun, kali ini ia memilih untuk tidak mengatakan apapun.

Kedua kuasa Jaehyun melingar di tubuh Renjun, membuat si empu sedikit tersentak karena rasa terkejutnya. Aroma tubuh milik Jaehyun terhirup oleh indra penciuman si manis.

“Jaehyun hyung sudah datang? Kenapa ga kasih tahu?” Tanya Renjun lalu segera meletakkan gadget beserta pen touchnya.

“Kangen.” Bukannya menjawab, Jaehyun justru menenggelamkan wajahnya di leher jenjang milik Renjun dan menghirup aroma manis dan wangi yang menguar dari tubuh kecil itu.

Renjun tersenyum tipis. Jemarinya mengusap surai panjang milik Jaehyun.

“Jaehyun hyung sudah bekerja keras hari ini. Terima kasih karena selalu bekerja keras dan mencintai Renjun sepenuh hati. Renjun di sini juga selalu bekerja keras dan mencintai Jaehyun hyung sepenuh hati.” Ucapan lembut Renjun tuturkan membuat perasaan dan hati Jaehyun dilingkupi kehangatan.

Jaehyun mengangguk, rambutnya bergesekan dengan leher Renjun dan membuatnya terkekeh karena geli.

“Cuddle?” Tawar Renjun.

“Iya.” Dengan cepat Jaehyun membalas ajakan Renjun, dalam sekali gerakan tubuh kecil Renjun sudah berada di dalam gendongan Jaehyun.

Jaehyun membawa tubuh Renjun menuju ranjang berukuran single size dan merebahkannya di atas ranjang dengan lembut. Renjun sedikit bergeser ke arah dinding untuk memberi sedikit ruang.

Jaehyun berbaring di sisi Renjun.

“Apa aku perlu beli kasur yang ukurannya lebih luas dari pada ini?” Tanya Renjun, mengingat terkadang Jaehyun menginap di sana.

“Bukannya ranjang yang lebih kecil jadi lebih romantis ya? Karena kita bakal pelukan sampai pagi?” Balas Jaehyun, seraya menyelipkan satu tangannya di bawah kepala Renjun yang dimaksudkan sebagai bantalan untuk kekasihnya.

Renjun memutar bola matanya malas mendengar alasan klasik yang Jaehyun berikan. Meski begitu tubuhnya secara otomatis memeluk tubuh besar Jaehyun.

Jemari tangan Renjun bermain di dada Jaehyun, sesekali ia menuliskan beberapa huruf hangul dan sesekali ia hanya mengetuk-ngetukan.

“Hari ini Renjunnie terlihat sangat indah di atas panggung dengan rambut silvernya.” Puji Jaehyun dengan satu tangannya yang bebas melingkar di pinggang Renjun agar pelukan mereka semakin intim.

“Apa Jaehyun hyung suka?”

“Aku suka bagaimanapun keadaanmu. Tapi akhir-akhir ini aku jadi khawatir karena sainganku semakin berat.” Keluh Jaehyun membuat Renjun mengernyitkan dahi.

“Member dream mulai saat ini akan menjadi pesaingku.” ketusnya, membuat Renjun tertawa renyah.

“Benar kata Yangyang, suara tawamu itu cantik.”

“Hyung berhentilah memujiku berlebihan.” Jawab Renjun sedikit tersipu seraya mencubit perut berotot kekasihnya.

“Jaehyun hyung makan teratur kan?”

“Ya aku makan dengan teratur.”

“Good baby. Terimakasih karena telah mengisi perut dengan baik.” Jawab Renjun lalu mengecup kedua pipi gembil Jaehyun dengan telapak tangan yang mengusap perut datar berotot milik Jaehyun. Terkadang Renjun iri karena otot di perutnya suka hilang timbul begitu saja, namun Jaehyun selalu mengatakan bahwa jika Renjun ingin mengusap otot perut maka datang saja ke dorm 127 lantai 10. Walau mereka selalu berakhir mendesah dan menggeram satu sama lain.

“Aku juga berlatih dengan sangat keras.” lanjut Jaehyun berharap mendapat hadiah kecupan lagi.

” Terimakasih karena Jaehyun hyung sudah bekerja sangat keras.” Kali ini sebuah kecupan mendarat di kening milik Jaehyun membuat si empu tersenyum lebar.

“Menikmati masa promosimu?” Kali ini Jaehyun yang membuka topik obrolan.

“Ya, sangat menikmati. Aku menyukai ketika aku berdiri di atas panggung.”

“Aku juga menyukai ketika kita satu panggung.”

Renjun tersenyum samar. Netra rubahnya menatap netra kelam milik Jaehyun dan saling menyelami keindahan masing-masing.

“Aku mencintaimu.” Ucap Jaehyun seraya membawa tangan kecil Renjun untuk dikecupnya.

“Aku juga mencintaimu, hyung.” balas Renjun dengan senyuman lebar dan mata yang berbinar.

Keduanya saling berbincang dengan ringan hingga rasa kantuk menjelang lalu tidur saling berpelukan hingga fajar mendatang.

Kehidupan terlampau manis untuk sepasang anak adam yang dimabuk asmara. Terkadang mereka berselisih paham namun, tak membutuhkan waktu yang lama, keduanya akan berbaikan.

Meski jarang memiliki waktu bersama untuk pergi ke luar, nyatanya pelukan hangat di penghujung hari adalah obat penat terindah bagi keduanya diselingi kecupan, candaan, obrolan ringan atau bertukar isi pikiran mengenai permasalahan-permasalahan kecil yang kadang terjadi.

─Fin.

⸺ The Two of Us

Pagi hari telah tiba, hari di mana Jaehyun akan melangsungkan ucap janji dengan seorang puan bernama Rose, wanita yang sangat sempurna di mata publik dan memiliki kepribadian serta sikap yang sangat baik dibungkus dengan visual yang cantik bak bidadari.

Jaehyun mengenalnya dua tahun yang lalu karena sebuah acara yang diadakan oleh orangtuanya dan untuk pertama kalinya dia tertarik berbincang dengan seseorang perempuan, sehingga membuat orang tuanya begitu gembira dan berakhir menjodohkan keduanya.

Jaehyun tak menolak, ia hanya menerima.

Sebuah dering alarm membangunkan Jaehyun, matanya mengerjap untuk menyesuaikan cahaya lampu yang entah sejak kapan menyala, karena seingatnya dia telah mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu tidur.

Jaehyun meraba nakas di samping tempat tidurnya untuk mencari ponsel pintarnya itu lalu menekan layar ponselnya untuk mematikan dering alarm yang mengganggu, waktu telah menunjukkan pukul 5. Itu berarti 4 jam lagi menuju perubahan statusnya yang lajang menjadi menikah.

Sedikit merasa aneh, kenapa Renjun tidak membangunkan tidurnya, dan entah kenapa kali ini ia bisa bangun dengan alarm ponselnya. Alih-alih berfikir, Jaehyun lebih memilih untuk segera bangkit dari tidurnya dan memutuskan untuk mandi dan membersihkan dirinya.

Tak butuh waktu yang lama untuk membersihkan diri, kini tubuhnya sudah mengenakan sebuah kemeja putih dengan tuxedo yang mahal yang membalut tubuh kekarnya.

Jaehyun merapikan tatanan rambutnya dan menatap pantulan dirinya di hadapan cermin.

Garis rahang yang tegas dengan hidung yang terpahat sempurna.

Jaehyun mengernyitkan dahinya ketika mengenakan sebuah jam tangan rolex di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul 06.00 dan sangat aneh baginya karena Renjun masih belum menampakkan batang hidungnya. Bahkan suasana apartemen begitu sepi.

'Ah, mungkin Renjun belum bangun karena lelah seharian kemarin pergi liburan dengannya.' Pikirnya, lalu Jaehyun memutuskan untuk membangunkan adik tercintanya seperti kemarin.

Kaki jenjang Jaehyun melangkah menuju kamar milik Renjun, kuasanya memutar knop pintu lalu membukanya, kedua netranya menelisik ke setiap sudut ruangan, pandangannya terpaku pada ranjang berukuran queen size itu dan benar saja Renjun berbaring di atas ranjang hangatnya yang empuk.

Langkahnya semakin mendekat, tangannya terjulur untuk mengusap pipi gembil yang ia rasa sudah dingin itu, usapannya turun di leher Renjun dan memastikan sesuatu, setelahnya Jaehyun tersenyum miris.

'Apa ini maksud kenapa kamu ga janji buat bangunin aku kayak dulu, Ren?' Pikirnya retoris.

Tangannya menarik selimut yang membelit tubuh kurus itu dan terlihat Renjun mengenakan pakaian formal yang sama dan senada dengan miliknya, tak lupa sebuah dasi yang mengikat dengan jam tangan couple yang pernah Jaehyun berikan sehari sebelum Renjun berangkat menuju Las Vegas.

Tangan Renjun menggenggam sebuah paper note, Jaehyun menarik dan membukanya, netra kelamnya menatap deretan huruf yang tertera di sana.

Bohong jika selama ini Jaehyun tidak tahu bahwa Renjun mencintainya lebih dari sebatas hubungan kakak dan adik. Karena sejujurnya ia juga memiliki perasaan yang sama terhadap Renjun. Namun, selalu ia pendam begitu dalam hingga ternyata adiknya sangat menderita menyimpan beban yang sama.

Kalau saja dirinya lebih jujur, mungkin akhir tidak akan seeprti ini.

Jaehyun mengembalikan kertas itu, lalu matanya terarah ke sebuah nakas di mana terdapat sebuah memo dan pena. Ia menarik selembar memo lalu menuliskan sebuah kalimat di sana.

Sebagai balasan, jawaban dan doa pengharapan dari Renjun.

Jaehyun berbaring di sisi ranjang Renjun yang kosong, tak lupa ia meraih sebuah jarum suntik yang di dalamnya masih terdapat setengah ampule sianida yang Renjun gunakan.

Jarum itu menembus kulitnya, lalu ia dorong agar cairan dingin itu memasuki vena dalam tubuhnya.

Dingin.

Terasa sangat dingin.

Matanya terpejam merasakan sakit yang mendera ketika obat itu mulai bereaksi. Dengan kesadaran yang masih tersisa ia gunakan untuk meraih tubuh kaku milik Renjun ke dalam pelukannya.

“Bukankah kita sudah seperti pasangan yang akan menikah Renjun?” Bisiknya lalu dikecupnya pipi gembil itu untuk yang terakhir kalinya, sebelum ajal menjemputnya.

“Selamat tidur Jung Renjun, pendamping hidup Jung Jaehyun.”

⸺End.

─ Oh, Are You Late Too?

Kala itu suasana kota Seoul tengah mengalami musim panas, sore hari masih terasa sangat cerah, bahkan mentari baru akan kembali ke peraduannya ketika waktu telah menunjukkan pukul 08.00 malam.

Nampak sang wira berjalan dengan langkah ringan menyusuri trotoar jalanan kota Seoul yang ramai dengan lalu lintas sedang. Bibirnya bersenandung menyanyikan salah satu lagu boyband favoritnya. Kemeja putih dan celana pendek di atas lutut membalut badannya yang hanya memiliki tinggi 170cm, tak lupa sepatu sneaker bergaya baru melindungi kaki jenjangnya. Surai lembutnya yang berwarna pink menambah kesan manis di wajahnya.

Hari ini ia akan menemui seorang pria bermarga Lee di salah satu coffee shop, sejujurnya sudah cukup lama ia menaruh hati kepada pria blasteran Asia-Canada itu yang merangkap sebagai seniornya di salah satu kampus ternama di kota Seoul.

Dan hari ini ia memutuskan untuk mengutarakan perasaannya.

Langkah kakinya telah sampai di halaman depan cafe bergaya Eropa dengan suasana musim gugur, karena dindingnya yang di cat dengan warna jingga khas musim gugur.

Ketika kuasanya akan membuka pintu cafe, sepasang manik rubahnya menatap sebuah pemandangan mesra dari dalam. Itu pujaan hatinya tengah tersenyum dan mengusap surai wanita cantik di hadapannya. Perbincangan mereka terlihat sangat seru.

Sang wira mengurungkan dirinya untuk menyentuh kusen kayu itu dan hanya menatap pemandangan itu dalam diam, tanpa ia sadari seorang pria tegap bertubuh lebih tinggi berdiri di belakangnya.

Mata elangnya juga menatap pemandangan yang sama.

“Oh, apakah kau terlambat?” Sebuah suara terdengar ke dalam rungunya membuat pria yang lebih pendek itu menoleh ke arah sumber suara dengan tatapan bingung.

“Kau menyukai pria itu kan? Kalau aku menyukai wanita yang tengah berbincang dengannya. Sepertinya kita berdua sama-sama terlambat untuk mengutarakan perasaan ya?” Lanjutnya retoris mencoba menjelaskan agar dipahami oleh pemuda di depannya.

“Ya begitulah, siapa namamu tuan yang terlambat?” secara blak-blakan, bibir tipis itu melontarkan pertanyaan tanpa rasa canggung sedikitpun.

“Jung Jaehyun, lalu siapa namamu?” Balas Jaehyun lembut, ia tidak merasa keberatan ditanya secara blak-blakan oleh si pria manis di hadapannya.

“Namaku Huang Renjun.”

Dua pasang manik itu beradu, masing-masing bibir terangkat untuk menciptakan senyuman. Sebuah keterlambatan membuat pertemuan diantara keduanya terjadi sebagai awal dari rajutan kisah yang telah digariskan oleh benang takdir.

─Fin.

⸻ Garis awal

Suasana kembali hening, atmosfir kecanggungan melanda ruang ranap yang kini hanya berisi Renjun dan Doyoung. Renjun memilih untuk menyimpan ponselnya setelah mengirim chat singkat kepada dosen yang masih berada satu ruangan dengannya. Tubuhnya ia posisikan untuk tidur miring – bermaksud memunggungi Doyoung –.

Ia tidak terpejam, matanya menatap pemandangan kota Jakarta dari rumah sakit Siloam tempatnya dirawat. Kepalanya terus berfikir mengenai perubahan sikap Doyoung yang berbeda 180.

Dunianya terasa dijungkir balikkan. Renjun menghela nafas lelahnya. Baginya, Doyoung seperti buku yang tertutup. Ia tidak dapat membaca apapun dari setiap gerak-geriknya.

Ingin rasanya ia berharap ketika teman-temannya membahas tentang perhatian Doyoung, namun harapannya sirna ketika Renjun mengingat Doyoung telah memiliki kekasih.

Wanita itu, wanita yang selama beberapa waktu selalu bertemu dengannya, entah takdir semacam apa yang menimpanya.

Rambutnya terurai panjang, matanya yang bulat, senyumnya yang cantik, sikapnya yang anggun, dan ramah membuat Renjun merasa dirinya bukanlah apa-apa.

Renjun melepas topi rajut yang menutupi sebagian kepalanya yang botak karena operasi yang dilakukannya kemarin. Ia menyentuh bekas jahitan di sana yang masih terbalut kain kassa. Tulang tengkorak bagian belakang telinga kirinya mengalami patah dan menjorok ke dalam. Tulang hidungnya juga mengalami retak, walau tidak separah kepala belakangnya.

Lagi, Renjun menghela nafasnya. Ia cacat dan buruk rupa saat ini, membuatnya tertawa dalam hati

Tingkah laku Renjun tak luput dari sepasang manik kelam di sana, Doyoung memutuskan untuk menutup laptopnya dan berjalan untuk mendekati ranjang pesakitan milik Renjun. Didudukkannya kedua pantat itu di tepi ranjang. Tangannya ikut mengusap balutan perban itu membuat Renjun berjengit kaget.

“Sakit?” Tanyanya dengan nada lembut dan sarat akan kekhawatiran. Renjun memutuskan untuk duduk lalu menatap Doyoung dengan dahi yang mengkerut, tanda ia tidak suka dengan perlakuan dosen tampan itu.

Meski wajahnya menatap Doyoung dengan rasa tidak suka, namun sorot sepasang manik rubah itu penuh akan kesedihan dan kekecewaan.

Doyoung memejamkan matanya lalu menghirup nafas dalam-dalam, ia tak sanggup menatap mata Renjun yang binarnya lebih redup dari sebelumnya.

“Ren, kayaknya kita perlu ngobrol.”

“Kayaknya ga perlu pak, udah saya lupain kok kejadian kemarin.” ketusnya seraya memalingkan pandangan ke arah jendela kamar.

Doyoung tersenyum pahit, selama seminggu ini ia terus menerima penolakan dari Renjun.

“Pacar bapak cantik, pantes bapak nyesel ngelakuin itu sama saya.”

Doyoung menghela nafasnya, “Kamu lebih cantik.”

“Saya laki-laki.”

“Cantik tidak hanya untuk yang berjenis kelamin perempuan.”

“Saya jelek.”

“Kamu indah, Ren.” sanggahnya.

“Bapak kalo cuma mau bikin saya marah mending pulang deh, lagian saya juga bisa sendiri.” usir Renjun dengan gamblang, sejujurnya ia sangat ingin menangis.

“Engga, saya di sini mau ngobrol serius sama kamu.”

“Ga ada yang perlu diseriusin, saya sadar kalo saya cuma mainan.” Nada bicara Renjun mulai bergetar membuat Doyoung mencelos dalam hatinya, begitu dalam luka yang ia torehkan di hati pemuda manis itu.

“Renjun, maafin saya. Saya salah.”

“Iya gapapa pak, sekarang bapak pulang dan temui pacar bapak, kasian dia nungguin lama pasti.”

“Ren, saya udah putus sama dia. Bahkan dia yang nyadarin saya, kalo sebenarnya saya itu cinta sama kamu.”

Renjun menatap Doyoung dengan tatapan tak percaya, “Bohong.”

“Setelah ini pasti bapak akan menyuruh saya untuk melupakan dan menganggap hal ini tidak pernah terjadi.” Renjun menunduk, tangannya terkepal meremat selimut yang menutupi sebagian tubuhnya.

Doyoung menelan ludahnya dan menatap Renjun dengan tatapan sendu penuh penyesalan.

“Sejujurnya, apa arti semua sikap bapak belakangan ini? Saya gamau terbang lalu dihempaskan lagi, rasanya sakit, tolong jangan sakiti saya pak.” Bulir air mata mulai terjun dari sepasang manik rubah itu dan menetes membasahi selimut.

Doyoung hanya diam, sejujurnya ia lebih memilih Renjun marah terhadapnya dibanding seperti ini. Di matanya, saat ini Renjun terlihat sangat rapuh.

Pundak sempit itu terlihat menanggung beban kesedihan, sorot matanya yang redup menandakan dirinya dilanda keputusasaan. Hatinya terenyuh menatap keindahan bak surgawi ini dilanda keputusasaan.

Renjunnya terlihat begitu menderita karena ulahnya.

Doyoung memberanikan diri untuk meraih tangan Renjun dan menggenggamnya. “Maafin saya, Ren. Maafin saya yang dengan bodohnya menyakitimu, dan sekarang dengan tidak tahu malu datang kembali kepadamu untuk mengemis cinta. Tapi dengan sungguh saya saat ini cuma mau kamu jadi milik saya.”

Mendengar penuturan Doyoung, Renjun mengangkat kepalanya.

“Pak saya jelek, botak sebagian, punya bekas luka di kepala. Sedangkan pacar bapak sempurna.” Renjun mulai membandingkan dirinya dengan mantan kekasih Doyoung.

Hati Doyoung tercubit mendengar penuturan Renjun yang begitu merendahkan dirinya.

“Engga, Renjun. Kamu indah, kamu cantik, kamu sempurna dengan manik rubahmu, bibir tipismu, pipi gembilmu, hidung bangirmu, tubuh mungilmu, pinggang rampingmu yang sangat pas saat saya peluk. Kamu sempurna.”

Renjun terdiam mendengar penuturan Doyoung, hatinya menghangat.

“Dan kamu yang sempurna ini membuat saya jatuh cinta, meski saya telat untuk menyadarinya.”

“Jadi, Renjun tolong maafkan saya, dan izinkan saya untuk diberi kesempatan kedua. Untuk kali ini saya akan menjaga kamu dan mencintai kamu sepenuh hati.”

Renjun kembali menunduk, ia menggigit bibirnya. Ucapan Doyoung membuat kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya. Kepalanya mengangguk perlahan.

Sebuah senyuman terbit di wajah sang dominan, dengan segera ia memeluk erat tubuh mungil itu tak lupa ia menghujani kecupan di setiap inchi wajah si manis dan membisikkan kata terimakasih atau i love you berulang kali secara bergantian.

“Wah, wah, wah. Abis deeptalk kayaknya. Tapi belum jadi deep throat, gua dah masuk duluan.” Ucap sebuah suara memasuki ruang rawat inap milik Renjun.

Mata Renjun menelisik dan menatap polos tiga laki-laki yang datang ke dalam kamarnya. Ia hanya mengenal salah satunya, seorang laki-laki dengan dimple di pipinya.

“Kak Jeff? Engga sama Koh Winwin?” Renjun melepas pelukan Doyoung dan mulai menarik atensinya kepada pemuda rupawan yang ia kenal sebagai kekasih dari sepupunya.

“Winwin sibuk ngurusin apa gitu tadi. Oiya dek ini Yuta, ini Johnny. Kita semua temen dosen statistikamu.” Jelas Jeff yang mengenalkan teman-temannya satu persatu.

Doyoung merasa acara berbaikannya dengan Renjun terganggu menatap ketiga temannya dengan tatapan mematikan yang hanya dibalas cengiran oleh semuanya.

“Silakan duduk kak.” Balas Renjun ramah dengan senyuman manis di wajahnya.

“Ibarat kata Doyoung setan ini Renjun malaikatnya. Adem banget liat senyumnya.” Yuta bersuara yang langsung dibalas delikan oleh Doyoung.

“Gausah liat-liat pacar gua! Atau gua colok tu mata pake garpu.”

“Ampun boss. Posesip amat, perasaan dulu pas sama Sania lu ga sebegininya. Renjun terlalu berharga kayaknya ya. Duh ilah.” Goda Yuta membuat Renjun ingin memekik kegirangan.

“Lu ngapain sih pada dateng. Ganggu aja.” Ketus Doyoung.

“Gua ganggu acara deep throat ya.” Pipi Renjun memanas mendengar nada blak-blakan dari Yuta.

Jaehyun dan Johnny hanya tertawa karena obrolan frontal ini. Renjun memilih untuk mencoba mengikuti obrolan mereka dan perlahan ia dapat melihat sisi lain Doyoung ketika bersama teman-temannya.

Hubungan mereka dimulai dari garis awal, dengan mengenal satu sama lain terlebih dahulu dan semoga tidak ada garis akhir bagi keduanya.

⸻Tamat.