Sampai Bertemu di Penghujung Senja

———

———

Halo?

Halo.

Entah bagaimana seharusnya aku memulai suatu tulisan. Aku pernah mengambil dan duduk di kelas literatur semasa sekolah. Juga bukan maksud ingin mengecewakan guruku, tapi mendalami bidang medis selama belasan tahun sudah cukup untuk menimbun hal-hal mengenai tulis menulis yang diajari semasa sekolah dulu.

Tapi bisanya pembuka dimulai dengan salam. Jadi semoga aku memulainya dengan benar.

Kalau pun tidak? Mungkin juga tidak apa-apa. Aku tahu ia pasti hanya akan maklum jika tulisan ini jadinya berantakan. Meskipun begitu, aku tetap ingin menuangkannya ke dalam kata-kata.

Akhir-akhir ini aku banyak membaca novel bergenre roman. Di sela-sela pekerjaan atau setelah operasi yang memakan waktu hampir seharian penuh, aku akan berlari ke ruanganku dan mengambil novel itu, lalu dengan sukarela menenggelamkan diriku di dalam lembaran-lembaran tipis berbau khas mahakarya si penulis.

Jujur saja, aku membaca nya karena aku sedang dimabuk cinta. Iya. Bukan mabuk yang seperti sempoyongan begitu, tapi lebih ke mabuk dan haus untuk dicambuk pecut cinta. Astaga. Terlalu frontal ya?

Sepuluh hari.

Itulah berapa lama aku dijauhkan dari dia. Aku yang berada di tempat baru, masih meracap udara baru di sekelilingku, sudah saja harus ditinggal dia.

Lalu mungkin kamu bertanya, apa hubungannya ini dengan novel dan dimabuk cinta? Aku seorang dokter, jangan tanya padaku soal itu. Aku juga tidak tahu apa hubungannya.

Aku membaca karena ada seseorang pernah berkata padaku kalau membaca buku bisa mengalihkan sekaligus menenangkan pikiran manusia. Bisa membuat mereka jadi lupa akan hal yang membuat mereka gelisah, atau sedih.

Lalu, kebetulan saja novel yang kubawa ini ternyata bercerita tentang cinta. Alih-alih membuat tenang, yang ada semakin jelas bentuk dan garis wajahnya di benakku.

Di hari keberangkatannya ia sampai repot datang kemari hanya untuk menyatakan cinta. Ia mengakuinya seakan-akan ia hendak dikirim menuju Timur Tengah dan tidak akan kembali sampai lima tahun ke depan. Entah mengapa ia berpikir itu merupakan waktu yang baik untuk melakukannya.

Aku bukan orang yang biasa berpikir terlalu lama atau sengaja mengulur waktu. Hingga detik ini aku menyesali diriku yang pada saat itu menimbang terlalu banyak dan akhirnya dikelabui keraguan.

Tapi mungkin aku butuh waktu. Segala hal pun di dunia ini, butuh waktu. Di dalam kesendirian ini aku menyadari banyak hal. Salah satunya, betapa hidupku bergantung kepadanya. Tidak selalu, tidak dalam segala hal, tapi dengan ditinggal nya jauh seperti ini, rasa hampa mulai menghantui.

Aku menulis ini karena senyawa-senyawa di otakku telah terus menerus meneriaki namanya. Semakin dibendung, dinding yang menahan rindu ini malah semakin retak. Menghindari itu, aku mencoba menuangkan nya dalam tulisan ini. Berharap saat dia pulang, atau suatu hari nanti di suatu tempat sunyi yang disukainya, ia akan membacanya.

Sejak beberapa hari lalu, tepatnya tujuh hari setelah keberangkatanmu ke Spanyol, ada lagu yang tidak bosannya di putar di radio. Setelah lagunya selesai aku selalu lupa mencari tahu apa judulnya. Nada nya ku ingat samar-samar, aku belum berani menyanyikannya dengan lantang. Setiap lagu itu dimulai perasaanku campur aduk. Senang karena lagunya sopan sekali masuk ke telingaku, tapi sedih karena tiap baris liriknya seperti sajak puisi yang seolah-olah ditujukan untukmu. Aku kesal; karena aku menjadi harus menahan dentuman kerinduan yang menggebu, mengemis kehadiranmu.  

Aku tahu kau suka musik. Aku juga tahu betul betapa merdunya suaramu. Sesekali di tengah-tengah lagu, aku membayangkan itu adalah kamu yang menyanyikannya.

Aku tadi sudah bilang, aku masih kurang ingat nada nya. Tapi aku ingat jelas apa cerita dibaliknya.

Metafora yang dipakai di lagu ini, bermakna rasa cinta yang begitu dalam, yang menginginkan seseorang hingga ke tulang-tulangnya. Ingin memiliki sepenuhnya, menyelami hitam dan putih dirinya, mencintai hingga ke inti dari tubuh seseorang itu.

Aku bukan penyair, kosakataku terbatas dan tidak puitis. Tapi aku adalah manusia hidup yang perasa; dan perasaanku tahu betul kalau apa yang ada di lagu itu benar.

Aku mencintaimu hingga ke tulang-tulangmu. Aku mencintai lekuk wajah, garis tangan, bentuk mata, tekstur bibir, detak jantung, sendi serta tulang-tulang yang menopang, membentuk dan membuat dirimu ada. Aku mencintaimu, sebagaimana kau seutuhnya.

Jadi cepatlah pulang.

Jangan terlalu menyukai sinar matahari di Spanyol. Jangan terlalu mengagumi pemandangannya. Jangan juga terlalu jatuh cinta dengan keindahannya.

Pulanglah.

Lalu sukai, kagumi, dan cintai aku. Sepenuhnya. Seutuhnya.

Aku sudah punya itu.

Jawabanku.

Aku sudah tahu apa yang kumau.

Maka pulanglah dan biarkan aku membisikkannya kepadamu.

Alam semesta dengarlah dan bekerja samalah denganku. Angin hembuskan rinduku ini kepadanya agar ia tahu; aku ingin dia kembali.

Aku butuh dia.

Aku butuh dia karena jika dia ada, hari-hari buruk tidak akan ada. Dirinya yang selalu berkata, “Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja.”

Datang dan buat semua ini kembali baik-baik saja.

Di hari ke sepuluh, ingatlah aku dan pulang.

Sebab aku akan menunggu. Aku telah melakukannya selama dua puluh tahun. Aku bisa tahan untuk beberapa hari ke depan.

Di bawah matahari terbenam, berdua bersamaku, berceritalah. Habiskan waktu bersamaku, menghadap lah kepadaku. Karena di hari itu juga, aku akan membisikkan suara hatiku kepadamu.

Jadi,

... sampai bertemu di penghujung senja, Lee Ikjun.

Aku menunggumu.

Dari Songhwa, untuk Ikjun.