BUKAN TAKDIR


Gianno buru-buru masuk ke dalam toilet, saat selesai melakukan gladi kotor wisuda kampusnya. Pria 29 tahun itu kerepotan dengan setelan toganya, dia ingin buar air besar, jadi terpaksa harus melepaskan terlebih dahulu.

“Ribet astaga....” keluhnya. Namun akhirnya, dia bisa menuntaskan panggilan alamnya.

Setelah cuci tangan dan merapihkan pakaiannya, Gianno bergegas kembali ke hall. Karena terburu-buru, topi toganya terlepas kala dirinya berlari menaiki anak tangga. Gianno mendesah kesal, saat membalikan tubuhnya, raut wajahnya langsung kaku. Gianno mematung.

Seorang pemuda tinggi tegap, rambut disisir rapih mengenakan setelan jas formal biru tua, berdiri menghadap Gianno dan tengah menyodorkan topi toga miliknya. Anandra tersenyum seperti biasanya. Mantan kekasih Gianno itu tampak lebih bugar, bahunya begitu tegap, semakin....tampan, Gianno terpesona. Tentu saja, 4 tahun tidak bertemu, Gianno pantas terpesona.

“Terima kasih” Gianno meraih topinya.

“Katanya sekarang Dekan? Benar?” Anandra masih tersenyum. Gianno hanya mengangguk pelan.

“Wow, congratulation then,” Anandra mengajaknya bersalaman. Gianno hanya memandangi tangan besar itu.

Gianno tremornya kambuh, dia ragu membalas uluran tangan Anandra. Takut, takut perasaannya kembali. Namun dia melawan rasa takutnya, dan ada sengatan listrik menghantar ke aliran darah Gianno. Anandra masih tersenyum.

“Saya duluan” Gianno langsung melepaskannya tak lama. Pria itu langsung berlari menaiki tangga, meninggalkan Anandra yang hanya memperhatikannya.

Masih sama” batin Anandra. Dia pun merasakan getaran menggelitik itu.


Gianno tidak fokus selama gladi. Beberapa kali dia melakukan kesalahan, hampir tersandung saat berjalan menuju podium, keringat dingin membasahi punggungnya. Nafasnya tidak beraturan. He's messed up.

“Mas Gianno?” Pak Tjahja menepuk bahunya, beliau adalah Rektor kampus Gianno.

“Iya pak? Maaf saya kurang fokus” Gianno menunduk, tidak enak.

“Istirahat dulu saja, anda berkeringat banyak, apa sedang sakit?” Tanyanya.

“Tidak pak. Saya....saya hanya kurang fokus, maafkan saya” Gianno mengusap keringat wajahnya dengan sapu tangan.

“Jangan dipaksakan mas, bilang kepada saya kalau sedang tidak sehat” pak Rektor itu mengusap bahunya.

“Baik, maaf sebelumnya karena saya banyak melakukan kesalahan” Gianno tersenyum palsu.


Upacara wisuda digelar dan semuanya lancar. Gianno tidak melakukan kesalahan, semuanya sesuai dengan rencana dan protokol. Gianno menghembuskan nafas lega, pria itu meregangkan dasi, dan melepaskan jas hitamnya. Lalu dia membuka jendela ruang kerjanya, membiarkan angin menerpa wajah tampannya. Gianno penasaran, sedang apa Anandra di kampusnya? Apa seseorang yang dikenalnya kuliah di kampus Gianno? Siapa? Kenapa Gianno tidak tahu.

Setahunya Anandra pindah ke Batam ikut bersama Bu Diah, tapi— kenapa dia muncul disini. Gianno memijat pelipisnya. Perjuangan move on nya selama 4 tahun luluh lantah hanya kejadian jabat tangan di tangga tadi pagi. Gianno hanya menghela nafas, kemudian memejamkan matanya. Bisa saja pemuda itu datang ke acara wisuda— kekasihnya? Tidak menutup kemungkinan.

Gianno keluar kantornya, membiarkan kakinya melangkah kemanapun. Beberapa mahasiswa yang berpas-pasan dengannya menyapa Gianno, dan hanya tersenyum kecil. Pria itu tanpa sadar berjalan menuju kerumunan wisudawan dan wisudawati yang tengah berfoto bersama keluarga. Gianno hanya memandangi kehangatan itu. Senyuman bangga, tawa bahagia, pelukan hangat, membuat Gianno iri.

“Pak Gian?”

Seorang wanita paruh baya menyentuh bahunya. Gianno terkejut saat melihat Bu Diah menyapanya. Pria itu langsung tersenyum.

“Bu....” mantan kekasih putra angkatnya itu mencium punggung tangannya.

“Waah, astaga....hahaha sudah lama sekali kita gak ketemu” Bu Diah mencium pipi kanan dan kiri Gianno.

“Ibu apa kabar? Sehat? Betah sekali di Batam ya?” Ucap Gianno sambil senyum kecil.

“Betahkan rumah ibu sendiri? Ibu baik pak, bapak sendiri? Sehat,kan? Mas Juna datang?”

Gianno hanya tersenyum lalu menggeleng. Bu Diah melihat jari manis Gianno kosong, tidak ada cincin satu pun tersemat satu pun.

“Ibu datang kesini sama siapa? Saudara ibu kuliah disini? Kenapa saya tidak tahu?” Tanya Gianno mendistrak perhatian Bu Diah.

“Ohh— ibu di ajak Anandra” Bu Diah menatap Gianno.

“Pacarnya wisuda pak” lanjutnya. Gianno perih mendengarnya, namun dia tetap tersenyum.

“Begitu ya, dia sehat bu?” Gianno tersenyum sendu.

“Yaa....Anandra seadanya saja, sehat selalu, walau suka murung”

Mereka duduk berdua memandangi hilir mudik orang-orang yang menghadiri acara penting tersebut. Bu Diah menggenggam tangan Gianno erat, Gianno merasakan kasih sayang wanita 58 tahun itu.

“Anandra baru satu tahun berpacaran lagi pak” tuturnya.

“Dekatnya sudah lama, tapi yaa— anak muda namanya juga, susah sekali move on” sambung Bu Diah.

“Dia kuliah bu?” Tatap Gianno. Bu Diah menggeleng pelan.

“Anandra menang SNMPTN pak, di kampus besar malahan, ibu sudah bujuk dia.....tapi Anandra malah memilih bekerja jadi barista” ucapnya.

“Sayang sekali ya? Orang lain menangis saat gagal SNMPTN, dia malah dengan santainya menolak,” Bu Diah menggeleng pelan.

“Katanya, kalau bisa dikasih ke temannya, mending dia kasih saja karena tidak mau kuliah”

Gianno menelan salivanya. Ada campur tangannya saat pengumuman SNMPTN dilaksanakan. Gianno meminta staffnya untuk meluluskan Anandra, dan menjadikannya mahasiswa bidik misi juga agar kuliahnya lebih mudah. Namun, Anandra malah menolaknya. Gianno merasa sia-sia, langkahnya mendekatkan diri dengan sang mantan gagal.

“Ibuu~~~ dicariin ihh!”

Seorang perempuan cantik dengan rambut tergerai dan mengenakan toga wisuda menghampiri mereka. Gianno menatapnya dari bawah sampai atas. Ini pacar Anandra?

“Ohh? Pak Gianno” perempuan itu tersenyum manis, kemudian membungkuk hormat.

“Senja...” sapanya penuh wibawa. Gianno kenal karena masuk ke dalam mahasiswi dengan predikat cumlaude.

“Ibu kok akrab sama Pak Dekan aku? Kalian kenal?” Senja merenggut gemas.

“Anak ibu juga ini, kamu gak tau ya?” Bu Diah mengusap lutut Gianno lembut.

“Ibu masih mau ngobrol? Anandra udah di mobil, kan kita mau makan?” Ucap Senja. Gianno hanya diam saja. Bahkan Anandra sudah kenal dengan keluarganya.

“Pak Gianno mau ikut juga? Kami mau makan bersama kebetulan” tawar Senja. Bu Diah hanya tersenyum.

“Terima kasih Senja, saya masih ada pekerjaan,” Gianno berdiri, di ikuti Bu Diah.

“Barangkali, biar makin ramai, soalnya bunda saya senang sekali sama bapak, naksir katanya” Senja tertawa pelan.

“Salam buat bunda kamu ya...” Gianno mengulurkan tangannya lagi. Senja menyambutnya penuh antusias.

“Bu....titip salam buat dia juga ya?” Gianno mengecup punggung tangannya Bu Diah.

“Iya pak, jaga kesehatan ya? Bapak kurusan loh” Bu Diah mengusap punggungnya lembut.

“Pasti, hati-hati dijalannya” ujar Gianno. Bu Diah pergi bersama Senja, dengan senyuman hangat tak lepas dari wajah cantik keduanya.

Gianno kembali ke gedung. Langkahnya begitu berat, mungkin memang tidak ada harapan lagi untuk kembali bersama Anandra. Gianno merenung sepanjang jalan, tidak tergubris dengan sapaan orang-orang. Matanya hanya memandang ke depan, dengan kedua tangan bersembunyi di dalam saku celana bahannya.

“Pak....” Gianno tersentak saat Indri, asistennya memanggil.

“Iya?” Gianno menghampirinya. Wanita 27 tahun itu memberikan buket bunga daisy dan baby breath yang indah sekali.

“Ada Anandra tadi” bisiknya. Gianno langsung menatapnya.

“Lama banget dia disini pak, saya sudah berusaha menghubungi bapak, tapi ponsel bapak tidak aktif terus” tuturnya.

“Kenapa dia kemari?”

“Kurang tahu, tapi dia menitipkan buket itu”

Gianno menaruh buket bunga itu, lalu berlari menyusul Anandra. Semoga dia tidak terlambat. Gianno berlari mengikuti nuraninya. Air mata mengalir dari ujung mata rubahnya. Gianno tidak tahu dimana Anandra, dia hanya berharap, dia tidak kehilangan kesempatan kembali. Namun setelah menghabiskan waktu dua jam lebih berkeliling mencarinya, Gianno menyerah. Orang-orang bahkan kebingungan melihatnya. Tampilannya begitu acak-acakan.


Gianno melirik buket bunga pemberian Anandra. Dia sudah di rumahnya lagi. Tangan lentiknya meraih satu bunga daisy putih itu, memutarnya perlahan, dan hanya memandanginya saja. Takdir Tuhan memang sudah berbeda. Anandra-nya bukan milik Gianno lagi. Gianno bukan takdir Anandra lagi.

'Gianno?'

'Aneh banget ngisi pesan suara, keliatan gaptek banget gak sih, yang?'

Gianno tengah memutar pesan suara yang ditinggalkan Anandra dahulu kala mereka masih bersama.

'Gianno? Ehehehe aku lupa gak bawa kunci pagar'

'Yang? Sotonya habis mau apa? Baca chat aku gercep!'

'Sayang? Semangat pelatihannya, huhuhu aku kangeeeeeen'

'Lembang dingin ya? Pake jaket aku yaa biar kehangatanku terasa sampai sana'

'Gianno aku minta maaf, aku gak maksud bohong tapi sumpah aku gak jadi provokator tawuran, aku cuma self defense saja'

'Gianno? Marah beneran? Kamu dimana mau aku jemput?'

'Gianno? Maaf....please angkat telepon aku'

Gianno tersenyum miris mendengar suara lirih Anandra.

'Gianno, gak bisa kasih aku kesempatan?'

Gianno menangis sekarang.

'Aku sayang kamu, aku janji gak nakal lagi, aku janji nurut sama kamu, tapi please......jangan putusin aku'

'Gianno.....aku cinta kamu'

'Gianno aku barusan nonton Bohemian Rhapsody, jadi inget kita pernah karokean nyanyi lagu itu sampai tenggorokan kita sakit'

'Gianno? Aku beneran gak ada kesempatan lagi?'

Gianno memutar rekaman terakhir kotak suara yang ditinggalkan Anandra. Rekaman yang paling membuatnya menyesal.

'Gianno last, kamu gak ngasih aku kesempatan lagi? Aku akan mundur....'

Gianno menangis, air matanya membasahi lengan kurusnya.

'Just ask me to stay....then I'll....' suara Anandra parau.

'Just say it.....'

'Or maybe....we are really over now?'

'Kak Juna bisa buat kamu bahagiakan?'

Gianno menggeleng keras.

'Then I'll leave. Be happy Gianno. Keep smiling, you—'

'You are the love of my life, Gianno. Goodbye.'

Gianno menangis keras, menangisi penyesalannya. Raungan penuh sakit hati memenuhi ruang kerja rumahnya yang sepi dan dingin. Tangisan histeris karena tidak bisa mengembalikan waktu. Tangisan penuh kerinduan. Tangisan penuh permohonan.

“Anandra.....”

Please comeback....