Chynummw


tw // Slight Sexual Content


Wonwoo memeluk erat bahu Mingyu yang tengah mencium bibirnya rakus. Kepalanya miring ke samping, berusaha mengimbangi Mingyu yang beringas. Selepas mengantar Bambam dan Jungkook, mobil Pajero Sport putih milik Mingyu menepi di sebuah jalan yang sepi dan buntu tak jauh dari rumah kost kedua sahabat Mingyu.

Wonwoo sempat mengeluh ngantuk, namun Mingyu sekarang membuatnya tidak lagi mengantuk. Saat ini pemuda tampan berkacamata itu tengah bergoyang naik turun diatas lahunan Mingyu. Desahan keduanya menggema di dalam mobil, dan sedikit bergoyang. Wonwoo tidak mengenakan sehelai pakaian pun, sementara Mingyu hanya menurunkan celananya saja. Tulang selangka indah milik Wonwoo, Mingyu cap dengan hisapan bibirnya, menimbulkan bercak merah keunguan disepanjangnya.

“Aahh—gu—” Wonwoo bergerak semakin liar. Mingyu menggenggam pinggangnya, menambah cepat gerakan.

“Tahan—sayang—anjing Wonwoo” Mingyu tak karuan karena begitu nikmat. Dia tidak pernah berada diposisi terbang melayang seperti sekarang saat having sex bersama Bona.

Setelah insiden Anandra yang keceplosan di chat, rumah yang biasanya hangat dan penuh canda tawa berubah menjadi hening dan dingin. Gianno sudah datang, dia membawa sate pesanan suaminya, namun pria itu tidak ikut makan. Bahkan tadi saja pas Andra cium bibirnya hanya senyum kecil, dan langsung pamit mandi. Hingga sekarang, Gianno tidak menunjukan batang hidungnya.

Andra yang pada awalnya lapar, langsung mendadak tidak nafsu padahal ada 30 tusuk sate sapi taichan favoritnya. Anandra menyesal karena sudah berlebihan kepada Gianno. Gianno mungkin tersinggung akibat ketikannya yang sangat keluar batas. Kala Andra sibuk menggaruk kepalanya karena gusar, Gianno turun, membawa iPad-nya dan duduk di ruang tengah. Anandra jelas peka kalau Gianno sedang mendiamkannya. Karena kalau tidak, pasti suaminya itu akan clingy as always, bermanja kepadanya, bertanya apakah belajarnya tadi susah, bercerita tentang harinya.

Anandra membuka kulkas, kemudian melihat isinya, lalu dia meraih bungkus puding instan, dan mulai membuatnya. Semoga saja, mood Gianno agak membaik. Anandra selesai membuat pudingnya sekitar 20 menit kemudian. Lalu anak itu membawanya ke ruang tengah, dan menaruhnya di meja samping Gianno. Tatapan yang sedari awal tertuju pada iPad langsung teralihkan ke piring kecil dengan puding mangga yang diberi toping vla vanilla.

“Dicoba dong....” ucap Andra. Gianno memotong puding itu, lalu mengunyahnya.

“Kemanisan gak?” Andra duduk di sampingnya.

“Enggak kok” geleng Gianno, lalu ia kembali fokus ke layar iPad.

Anandra mengintip apa yang sedang dikerjakan oleh Gianno. Ternyata suaminya itu sedang membaca jurnal internasional, sudah pasti. Anandra menghela nafas, dia berpikir apa yang harus dilakukan agar Gianno mau bicara dengannya, atau paling tidak jangan terlalu mendiamkannya. Karena rekor tercepat Gianno mendiamkan Anandra itu adalah 48 jam, dua hari saja. Paling lama waktu itu sampai dua minggu.

“Aku boleh nonton film?” Tanya Andra, Gianno mengangguk pelan.

Andra meraih remote smart TV dan mulai mencari film yang akan di tonton olehnya. Bohemian Rhapsody menjadi pilihannya. QUEEN adalah salah satu grup band rock favorite Anandra. Gianno melirik layar TV itu, dan tidak tertarik sama sekali karena dia sudah bosan menonton film itu. Namun berbeda dengan Andra anak itu tak berhenti melantunkan lirik lagu band itu. Gianno menatap Anandra yang tak berhenti tersenyum kala menonton film tersebut.

Jujur saja, Gianno sedikit tersinggung dengan ketikan Andra. Perihal masa kecilnya, yang dikatain bosan oleh Anandra. Well, suaminya tidak salah. Masa kecil Gianno memang tidak diwarnai dengan membaca buku dongeng, menonton kartun, mewarnai buku gambar, dan menggambar apapun. Dia memang masuk TK tapi bukan sekolah TK pada umumnya. Gianno iri dengan masa kecil Anandra yang dipenuhi kebahagian dan warna-warni khas masa kecil pada umumnya.

Seharusnya mood Gianno membaik, tidak terlalu terbawa perasaan, namun tetap saja Gianno tidak bisa mengendalikan perasaannya. Anandra tidak sesalah itu, anak itu tidak sengaja jelas. Ini hanya Gianno saja yang merutuki masa kecilnya yang tidak seindah orang lain.

“Dulu pas kita putus aku nyanyi lagu ini sampai berbusa kali ya” celetuk Anandra, kala film itu menayangkan lagu Love of My Life.

“Alay sih....” Andra menggaruk tengkuknya. Gianno diam saja.

Anandra menyanyikan lagu itu, Gianno menatap wajahnya dari samping. Tangannya di genggam Anandra, kemudian dicium punggung tangannya berkali-kali lalu senyum. Mau tak mau Gianno pun tersenyum juga, Andra meraih iPad-nya kemudian menaruhnya ke meja, dan menarik Gianno ke lahunannya. Kening mereka bersentuhan, kedua maniknya terpejam, menyalurkan perasaan satu sama lain. Cinta keduanya tidak berkurang, yang ada semakin bertambah dan kuat.

Gianno menangis, dia mendadak emosional karena teringat dengan masa kecilnya. Andra mengusap air matanya, dan menatap Gianno penuh kasih sayang. Gianno mengeratkan pelukannya, dan tetap terisak pelan. Anandra mengecup ujung hidungnya, dan Gianno pun terkekeh pelan, lalu menghapus air matanya.

“Maaf....” gumam Anandra. Gianno mengangguk pelan.


Dua minggu setelah geng Anandra disuruh menghadap Gianno, akhirnya, gerombolan anak muda itu mendatangi Gianno. Rafael dan yang lainnya tampak gugup, tegang, dan mules karena akan di sidang Gianno. Askal mengedarkan pandangan, mencari keberadaan si Rapunsel a.k.a Anandra, namun anak itu tidak ada.

Tak lama Gianno turun dan berjalan menghampiri geng sang suami yang duduk di ruang tamu. Dika tersenyum canggung kala Gianno menatapnya, dan Jaka yang akan mengambil kacang almond langsung duduk tegak kembali. Gianno tampak santai dengan pakaian kasual, kaos polo navy dan celana jeans biru, duduk di single sofa samping Rafael.

“Andra— dimana ya pak?” Tanya Miko ragu.

“Sedang belajar, dia tidak akan turun” jawabnya dingin. Miko merinding.

“Jadi— ada apa yaa—ya pak?” Tanya Dika kali ini. Gianno menyesap teh terlebih dahulu, kemudian menyilangkan kedua kakinya dan memejamkan mata.

'Buruan napa kalau mau ngamuk gue pengen pipis'_ batin Martin yang sedari tadi bergerak tak nyaman.

Gianno menatap ke arah Nauval, dan teman-temannya langsung mengikuti tatapan itu. Nauval yang sedang minum langsung freeze, mengedip pelan, dan menunjuk dirinya sendiri.

“Saya mau tanya sama kamu” ucap Gianno. Okay, here we go.

“Silakan” sahut Nauval tenang.

“Dari semua teman angkatan di SMANTA, kenapa kamu memilih bergabung dengan geng suami saya?” Tanyanya.

“Gabung? Konsep pertemanan kami bukan seperti club gengster pak” jawab Nauval.

“Boleh kalau itu pandanganmu, namun menilik dengan perlakuan Andra dan Askal kepada kamu, mereka memintamu melakukan hal tabu, kenapa kamu nurut?”

Askal menelan ludah. Darimana Gianno tahu soal ritual konyol buatannya dan Andra? Andra nyeritain semuanya?

“Kamu tahu, itu bukan hal baik,kan?”

Nauval bungkam kali ini. Semuanya karena dorongan rasa penasaran anak remaja. Terlebih dia dari kecil hidup disekitar lingkungan ketat dan taat agama. Saat Nauval berhasil keluar, dia banyak ingin melakukan sesuatu. Askal dan Anandra membantunya.

“Mereka mengajarkan kamu merokok, minum, ngomong kasar, di ajak main ke club malam, menantang kamu untuk having sex dengan pacar,”

“Apa pandangan itu 'baik' untuk kamu, Nauval?” Ucap Gianno. Nauval bisu, dia menunduk.

“Kamu pikir itu keren? Bagus? Atau hanya penasaran saja? Berujung jadi kebiasaan buruk, sekarang bukan?” Sambungnya.

Miko dan Jaka berpandangan, mata mereka seolah memberi kode SOS, ingin segera angkat kaki dari sini.

“Harusnya kamu membawa Anandra dan Askal juga yang lain menjadi lebih baik, bukan malah terjerumus, dengan dalih anak pesantren rock n roll

“Terlebih latarbelakang keluarga kamu, apa tidak khawatir jika suatu saat nanti bau busuk kelakuan putra Menteri Agama negara kita terbongkar?”

“Ya itu memang tidak ada hubungannya, jabatan ayah kamu dengan kehidupan keluarganya, tapi Nauval—”

“Norma sosial tetap muncul di masyarakat. Kamu akan tetap di labeli putra Menteri, sekalipun kamu mengelak kalau kamu hanya masyarakat biasa”

“Gimana reaksi baba kamu nanti? Saat tahu putra sulungnya ternyata berperilaku berpotensi mencoreng nama baik keluarganya?”

Hening. Suasana semakin tegang, Askal menggigit kukunya, Jaka terus membatin ingin angkat kaki, Miko pasrah, Rafael hanya menunduk, dan Dika menahan mulesnya.

“Apa perlu saya kasih tau beliau?”

Nauval menatapnya kaget, kemudian menggeleng pelan. Gianno bersandar ke punggung sofa tangannya menyilang di dada. Untuk kali ini, tidak ada sosok ramah dan penuh senyuman dalam dirinya. Hari ini, Gianno benar-benar memperlihatkan sisi orang dewasanya.

“Jangan pak....” bisik Nauval.

“Semuanya memang pure rasa penasaran saya saja, saya bertanya ke Andra dan Askal— mereka tidak sepenuhnya salah” tuturnya.

“Ini bukan siapa yang salah, tapi tentang konsekuensi yang terjadi setelah kalian melakukan hal itu” sahut Gianno dingin.

“Untuk kamu Jaka, berhenti memprovokasi Anandra. Kalian berdua apa tidak bosan adu mulut, saling caci maki? Kamu pikir itu normal dalam circle pertemanan?” Gianno kali ini memandang Jaka.

“Maaf pak....”

“Kamu juga yang sering menyulut emosi Andra, kamu juga kan yang memprovokasi Andra agar ikut terlibat tawuran ketika kelas 10?”

“Alibi solidaritas, tapi itu sama sekali tidak ada manfaatnya selain hanya menimbulkan masalah dan cap negatif masyarakat kepada kalian”

Jaka meremas jemarinya, dia jujur takut. Miko melirik Gianno, dan langsung menunduk saat dia ditatap. Aduh gilirannya,kah?

“Berhenti mengajak Andra main ke club malam, usia kalian belum pantas main ke tempat itu” ujar Gianno.

“Bahkan dari umur 15 tahun, sudah mencicipi alkohol, kalian pikir itu keren? Kekinian? Tidak kalian semua kampungan”

Ucapan Gianno menusuk hati. Ya pandangan remaja dan orang dewasa pasti beda.

“Tahu kalau tindakan kalian akan menimbulkan kerugian, kenapa tetap dilakukan?”

“Askal mabok bertengkar dengan pengunjung, berakhir damai pakai uang” Gianno menatap Askal.

“Ketahuan membawa narkotika, tapi selamat karena ayah kamu petinggi militer” kali ini suami Andra itu menatap Jaka.

“Menghamili anak orang lain karena cemburu ada yang mendekati” Dika menelan ludahnya, itu untuknya.

“Mengirim chat tidak sopan dan mengancam orang lain” Rafael semakin menekuk kepalanya.

“Mabok lagi dan menabrak pembatas jalan, beruntung bukan manusia yang di tabrak juga” Martin menggaruk belakang telinganya.

“Balapan liar, tawuran, masuk geng motor, memang itu keren?” Gianno melirik Miko.

“Dan kamu Nauval,”

“Seharusnya kamu bisa menjadi pembawa perubahan yang baik dalam circle kalian, kenapa malah ikut terjerumus?”

“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Saya tidak bilang dan tidak pernah menyepelekan usaha kalian untuk menata masa depan”

“Tapi, dengan kelakuan kalian sekarang saja, apa yang bisa diharapkan di masa depan nanti?”

“Kalian akan terus bergantung pada koneksi orang tua kalian saja?”

“Apa kalian akan terus mengikuti ego? Dalihnya karena remaja labil?”

“Apa kalian tidak mau jadi siswa normal? Sekolah, belajar, bermain secukupnya, tidak membuat onar?”

“Susah? Apa kalian begini karena ada mindset 'kami nakal tapi kalau sudah besar pasti sukses' itu mindset menyesatkan”

Rafael membuka mulutnya, ingin menyela, namun langsung menciut saat Gianno tampak seram dua kali lipat. Alhasil, pemuda itu kembali memainkan kukunya saja.

“Kalian itu ingat punya Tuhan,kan?”

“Iyaa....” jawab semuanya.

“Takut gak sama Tuhan?”

“Saya pun bukan orang yang taat agama, saya juga banyak melakukan dosa, tapi saya terus memperbaiki diri agar bisa menjadi lebih baik”

“Kalian tidak bisa seperti itu?”

“Apa kalian yakin Tuhan akan membantu mempermudah jalan masa depan kalian apabila begini terus?”

“Apa kalian tidak takut, jika hari ini memang Tuhan baik ngasih kalian kemudahan, bagaimana jika nanti Tuhan mengirimkan kesulitan?”

“Apa masih sempat berpikir untuk ngobat?”

“Main ke club? Balapan liar?”

“Apa itu akan menolong kalian?”

“Tidak, bukan?”

Askal menghela nafas, dia mengusap rambutnya, sumpah demi apapun, mungkin dia sering dibentak oleh ayah dan bundanya, tapi kenapa lebih seram di ceramahi Gianno seperti ini?

“Coba rubah mindset kalian. Coba berpikir dulu sebelum bertindak, pilah mana yang baik dan buruk, kurangi ego, belajar membiasakan diri ke arah yang baik, karena itu yang akan membantu kalian!”

Intonasi suara Gianno meninggi. Semuanya semakin takut. Dika menatap Rafael, memberi sinyal untuk melawan, namun yang ditatap hanya menggeleng.

'Lawan El!' Seru batin Dika.

'Not today' sahut batin Rafael. Dika menggigit bibir bawahnya.

“Sebelumnya....maaf kalau kami membawa dampak buruk kepada Anandra, pak”

Akhirnya Martin buka suara. Gianno menatapnya.

“Yaa....yang dikatakan betul, kami salah, kami nakal, seenaknya menyepelakan masa depan, semena-mena dengan power orang tua,”

“Kami minta maaf” tuturnya.

“Maaf yang sebanyak-banyaknya, kami pun tau ini salah, tapi karena ego tetap aja dilakukan” sambung Miko.

“Terima kasih pak sudah baik hati menegur” kata Askal.

“Kami jadi lebih terbuka, dan akan merubah sifat kami, maaf juga apabila Andra jadi ikut jelek imej-nya” ucap Jaka.

“Saya gak bermaksud sok dewasa sini, ini benar-benar teguran saya kepada kalian karena terlalu lama saya abaikan”

“Karena saya pikir kalian akan berubah sendiri, tapi nyatanya saya salah”

“Saya pun tidak enak menegur anak orang seperti ini, tidak enak sama sekali”

“Tapi kalau saya diam saja, berarti tanpa sadar saya mendukung kelakuan buruk kalian,”

“Saya tidak mau kalian terjerumus akibat ulah sendiri”

“Khawatir saya”

“Kalian teman baik Anandra, kalian selalu ada disaat dia membutuhkan teman, karena itu—”

“Saya tidak mungkin membiarkan kalian bebas terus seperti ini”

“Saya pun akan sangat senang melihat kalian berubah, meskipun pelan-pelan”

“Setidaknya, ada usaha dari kalian” Gianno membuang nafasnya.

“Karena saya optimis, kalian bisa menjadi lebih baik dari sekarang”

“Karena saya yakin, kalian akan berhasil di masa depan apabila mau berubah”

“Kalian itu hebat, kalian punya bakat, kembangkan bakatnya, asah skill kalian, agar nanti kalian tidak kesulitan menghadapi dunia”

“Dunia itu akan baik kepada mereka yang melakukan kebaikan, dan sebaliknya, Dunia bisa lebih kejam kepada mereka yang punya kelakuan buruk”

“Sekarang tinggal kalian pilih saja, mau tetap bebas begini, atau mulai teratur?”

“Semua pilihan ada konsekuensi dan balasan masing-masing”

“Dan itu bukan urusan saya, karena saya sudah memberitahu”

“Hidup kalian itu tergantung keputusan yang kalian ambil, stop bergantung pada orang tua atau siapapun”

“Jadi....”

Semuanya menatap Gianno.

“Kalian bisa berubah?”


Selesai ceramah Gianno yang hampir 2 jam lebih itu, geng Anandra pamit pulang. Mereka semua hening di dalam Range Rover hitam Rafael. Antara merenung dan lapar. Nauval duduk di bangku kemudi, menjalankan mobilnya entah kemana.

“Ada benernya emang....” celetuk Jaka.

“Kita kalau seenaknya terus nanti pas diberi cobaan kelabakan” lanjutnya.

“Contoh Anandra” ucap Miko.

“Akibat banyak melawan Gianno, hidup dia drama sekali sekarang,kan? Gue gak mau....” lirih pemuda itu.

“Gue kalau jadi Andra, pas tau Gianno bisa segalak tadi mungkin bakal jadi penurut sekali, serem juga tu dosen” ujar Martin.

“Andra nurut, tapi karena dorongan kita semua, dia jadi melawan” sahut Rafael.

“Disuruh stop jadi remaja labil, tapi perasaan gue, gue ini berasa udah dewasa....” bisik Dika.

“Ya itu menurut lo anjing. Orang dewasa kayaknya bakal tetep mandang kita ABG labil sebelum usaha kita mulai terlihat mereka” ucap Askal.

“Mau kemana sekarang?” Tanya Nauval.

“Lapar gak? Ricis yuk” ajak Miko.

Mereka pun menuju restoran siap saji itu. Sejenak menenangkan diri.

Sementara Anandra? Pemuda itu terlihat mumet karena hari ini belajar ekonomi, akuntansi, matematika. Otaknya terbakar bara api. Berasap.

“Anandra kerjakan,” prof. Zidan meliriknya dari balik laptop.

“Prof, tau rasanya jalan diatas bara api?”

“Mendidih otak saya prof, gak sanggup, konslet ini kalau pc tuh”

Gianno masuk, kemudian menaruh milo dan kopi untuk keduanya. Anandra menekuk wajahnya, rambutnya kusut, raut mukanya sendu, dia benar-benar menderita. Gianno iba.

“Capek?” Tanyanya. Andra melengguh bahkan akan menangis.

“Kalau kamu hukum aku gini sampai bulan depan, aku jadi tengkorak nanti, yang.....pusing” rengek Andra. Zidan menggeleng pelan. Dasar.

“Bisa selesai sampai sini saja, mas?” Zidan pun pamit setelah membereskan bawaannya.

Tersisa hanya ada Gianno dan suami ABG-nya yang tengah memeluk pinggangnya erat.

“Pusing....” lengguh Andra.

“Iyaa, mau tidur?” Gianno mengusap rambutnya.

“Tadi ngapain aja mereka kesini?” Andra menatapnya.

“Ngobrol, udah beres” ujar Gianno.

“Gak kasar,kan?”

“Menurut kamu?”

“Kasar. Tapi bahasanya tetap sopan”

Gianno duduk dilahunannya. Andra sedikit cerah karena sudah recharge. Bibir mereka bertemu, dan keduanya berpagutan lembut.

“Aku hanya ingin kamu, dan teman kamu jadi lebih baik” bisik Gianno.

“Bukan karena tidak suka, tapi karena aku sayang kalian”

“Bohong” dengus Andra.

“Tatapan kamu ke Martin udah kayak malaikat maut,”

Gianno tertawa, ya pengecualian Martin. Dia masih dendam karena Tesla-nya dirusak.


Wonwoo akhirnya menyelesaikan entry data untuk bahan skripsinya. Ini pun karena bantuan kekasihnya, Mingyu, jadi untuk bahan Bab V dia sudah selesai tinggal bimbingan saja. Hari ini, mereka akan pergi nonton festival yang menjadi agenda tahunan fakultas Mingyu. Wonwoo sudah siap, dia mengenakan jaket denim milik Mingyu, celana jeans berwarna hitam dan kaos grey polos.

Sementara Mingyu? Pemuda itu bahkan masih bergelung dengan selimut. Mingyu tidur, dan tidak mengenakan apapun. Siang tadi mereka baru selesai bermain diatas ranjang. Tapi baiknya, Mingyu tidak sampai membuat Wonwoo susah berjalan.

“Gu....bangun, kan mau nonton? Ayo udah jam sembilan” Wonwoo mengguncangkan bahunya. Mingyu melengguh.

“Semenit—” gumam Mingyu.

“Aku gak mau pergi kalau berangkatnya diatas setengah sepuluh malam”

Mingyu langsung duduk, menatap Wonwoo yang sudah rapih. Kemudian pemuda itu menarik dagunya, dan mengecup manis bibir ranum Wonwoo.

“Wangi banget pacarku~~” puji Mingyu dengan ekspresi wajah bantalnya. Wonwoo merona.

“Aku pakai jaket kamu ya?” Ucapnya. Mingyu mengangguk saja.

“Sini dulu”

Mingyu menariknya kelahunan. Wonwoo langsung duduk dipahanya, memeluk leher jenjang Mingyu. Bibir sejoli itu berpagutan lembut, penuh kasih sayang, begitu manis, dan diselingi senyuman yang merekah indah. Mingyu tidak pernah sedalam ini mencintai seseorang, hanya Wonwoo yang berhasil memberikannya perasaan asing namun indah ini. Begitupun Wonwoo, dia tidak pernah dicintai setulus Mingyu yang mencintainya. Hidup dia berwarna semenjak pemuda 20 tahun itu memasuki kisah hidupnya. Mereka bahagia dengan hubungan keduanya.

“Ayo mandi” Wonwoo bangkit namun dia malah di dekap erat Mingyu.

“Dengerin aku dulu” Mingyu menatapnya. Wonwoo menyimak.

“Jangan sampai kamu menjauh dari aku disana nanti okay? Karena pasti riuh, banyak warga sekitar yang datang juga”

“Bilang kalau kamu pengen ke toilet atau mau pulang ya? Dan ingat, please jangan jauh-jauh dari aku okay?”

Wonwoo mengangguk semangat. Dia pun antusias karena belum pernah datang ke festival apapun. Mingyu mengusak rambutnya gemas, kemudian menindih Wonwoo, membuat pemilik tubuh ringkih itu tertawa geli karena pinggangnya digelitik Mingyu.

“Ayo udaah malam Gu!” Wonwoo berusaha melepaskan dekapan Mingyu. Namun yang ada dirinya malah di cumbu manis bagian lehernya.

“Ngasih tanda dulu biar gak diambil orang” ujar Mingyu.

“Minguu aahh gelii—pleas” Wonwoo menggeliat geli karena Mingyu mendusel di ceruk lehernya.

“Ke pantai jadikan?” Tanya Mingyu.

“Yuk! Tapi kita camping ya?” Angguk Wonwoo.

“Okay paduka, hamba mandi dulu?” Mingyu bangkit. Wonwoo merapihkan rambutnya yang agak kusut.

“Jangan lama!” Seru Wonwoo kala melihat kekasihnya masuk kamar mandi.


Suasana riuh penuh teriakan penonton, dan musik menyatu menyapa telinga Wonwoo. Tangannya di genggam erat Mingyu, Wonwoo sudah lama sekali tidak berada di tengah kerumunan. Senyuman terbentuk diwajah tampannya, sesekali bertanya kepada Mingyu kala melihat stan-stan sponsor. Sementara pacar Wonwoo, Mingyu, sedang mencari kumpulan temannya.

“Hoooy!” Seru Jungkook. Mingyu menarik Wonwoo menghampiri sahabatnya itu.

“Mana yang lain???” Mingyu sedikit berteriak karena terlalu bising.

“Ngambil minum! Si Dokyeom nyamper Rosè dulu!” Sahut Jungkook berteriak juga.

“Duduk disini”

Mingyu mendorong Wonwoo duduk dibangku, dan pacarnya nurut. Jungkook menyapanya ramah, bertanya kabar Wonwoo juga, dan membuat lelaki itu tersentuh? Karena teman Mingyu memang baik.

“Kak suka minum?” Tanya Jungkook iseng. Mingyu menendang lututnya.

“Anjing nanya doang!” Jungkook mengusap lututnya. Wonwoo hanya senyum saja.

“ALOHAAA!”

Seorang pemuda seumuran Mingyu datang membawa kresek putih berisi macam-macam minuman keras. Jungkook menyambutnya antusias, Mingyu tidak ikut gabung, dia hanya menemani Wonwoo dan sesekali mengajaknya bicara.

“Kamu mau minum juga?” Tanya Wonwoo. Mingyu menghembuskan asap rokoknya.

“Boleh?” Mingyu menyeringai.

“Gak papa kalau segelas kecil gitu” Wonwoo menunjuk gelas yang dipegang Bambam.

“Mending gak usah sekalian” Mingyu menginjak puntung rokoknya.

“Gak enak emang?” Wonwoo menatapnya polos. Mingyu gemas.

“Kamu tau sendiri aku kalau mabok suka lupa sekitar? Gak bisa aku begitu saat kamu ada disamping aku” Mingyu mengecup punggung tangan Wonwoo.

“Kan segelas gak bikin kamu mabok?

Mingyu terkekeh kecil, dan bibir Wonwoo kembali dicium olehnya. Enggak bisa, disaat suasana ramai begini, Mingyu gak mungkin mabok dan membiarkan Wonwoo sendirian. Untuk kali ini saja, dia hanya ingin menikmati waktu bersama pujaan hatinya itu.

“Udah jangan cipokan terus” celetuk seseorang. Mingyu melepaskan pagutannya.

“Mana aja lo nyet?” Mingyu bersalaman dengan Yugyeom. Wonwoo hanya menunduk saja.

“Rindu?” Candanya. Mingyu hanya mendengus, dan kembali duduk bersama Wonwoo.

“Gak mimi?” Yugyeom sedikit terkejut melihat Mingyu malah pacaran.

“Off dulu, lagi duty” Mingyu mengecup tangan Wonwoo, Yugyeom mendengus.

“Ciumin aja terus sampai puas” ujarnya sambil melenggang pergi. Mingyu hanya tertawa saja.

“Aku jarang liat dia, emang jurusan apa sih?” Tanya Wonwoo.

“Kedokteran, tapi kerjaan ngulang terus” jawab Mingyu. Wonwoo hanya mengangguk.

“Dia emang jadi jarang gabung sama kita, gak tau aku juga kenapa” lanjutnya.

“PAYUNG TEDUH GAN AYO MERAPAT!”

Dokyeom atau Seokmin memanggil teman-temannya. Mingyu menarik tangan Wonwoo, semua penonton berteriak heboh kala band tersebut membawakan lagu hitsnya, Berdua Saja. Jaehyun bersama Jungkook saling merangkul dan ikut melantunkan lirik lagu tersebut. Saat ditengah kerumunan, Wonwoo tak sengaja disenggol oleh penonton lain, dan Mingyu sigap melindunginya.

Wonwoo berdiri di depan Mingyu, tubuhnya dirangkul dari belakang. Ada kecupan manis dibahu dan pipinya yang diberikan Mingyu. Minghao dan pacarnya terlihat mabuk berat namun tangan keduanya melambai keatas, tubuhnya bergerak ke kiri kanan mengikuti alunan musik. Seokmin, mendekap posesif Rosè, berusaha menjauhkan para penonton dari pacarnya itu.

“Gu....” ucap Wonwoo. Mingyu memeluk pinggangnya erat.

“Iya sayang?”

Payung Teduh tengah menyanyikan lagu Untuk Perempuan Yang Sedang Di Pelukan. Suasana cukup kondusif karena penonton terbawa suasana, dan tidak seriuh awal. Wonwoo menggenggam tangan Mingyu.

“Makasih....”

Mingyu mencium pipinya dan senyum.

“Aku sayang kamu” ucap Wonwoo. Mingyu membalikan tubuhnya, dan kening mereka bersentuhan.

“Judul lagunya terlalu genderlisasi gak sih?” Ucap Mingyu. Wonwoo hanya senyum.

“Harusnya, Untuk Kamu Yang Sedang Di Pelukan, karena gak semua orang menyukai perempuan”

Wonwoo tertawa dan mengangguk setuju. Mingyu menciumnya kembali, cukup menuntut, dan penuh kasih sayang. Wonwoo memundurkan kepalanya, memiringkan kepala, dan memeluk Mingyu erat. Keduanya tidak sadar, jika sedari awal, kemesraan mereka mengundang pandangan tidak suka.

Yugyeom menghisap rokoknya, lalu menghubungi seseorang.

“Ayo eksekusi”


Mingyu membopong Bambam yang kolaps, dibantu Jungkook sekalipun dia juga agak mabuk. Wonwoo bersama Rosè berjalan paling belakang. Seokmin menggendong Jaehyun juga karena tumbang saat sedang menonton tadi. Mingyu sesekali melirik ke belakang, memastikan keberadaan Wonwoo. Dia senyum saat mata keduanya bertemu.

“Ngerepotin anjing!” Seokmin kesal. Dia membanting tubuh Jaehyun ke kursi belakang mobilnya.

“Hao kemana lagi? Yugi juga?” Tanya Rosè.

“Hao ngewe sama cowoknya, hahahaha” Bambam ketawa garing.

“Bacot enyah sana!” Mingyu mendorong masuk Bambam ke mobilnya.

Wonwoo ada di belakangnya, tampak setengah mengantuk dan kedinginan. Jaket Mingyu pun bahkan dikenakan olehnya karena terlalu dingin. Jam tangannya menunjukan pukul 03.15 dini hari.

“Kita anterin Bambam sama Jungkook dulu, lalu pulang ya?” Tutur Mingyu.

“Aku ngantuk” rengeknya. Mingyu mengecup pucuk kepalanya.

“Yuk, bobo dimobil aja ya?”

Akhirnya mereka pulang. Seokmin mengantarkan Jaehyun bersama Rosè, dan Mingyu juga bersama Wonwoo mengantarkan Bambam dan Jungkook yang kebetulan satu kost. Setelah selesai mengantarkan dua sahabatnya, Mingyu dan Wonwoo pun pulang juga akhirnya. Karena tidak tahan ingin buang air kecil, akhirnya Mingyu mampir ke SPBU. Wonwoo lapar, dia pun turun dan masuk ke dalam minimarket disana.

Saat sedang memilah snack, dia melihat teman Mingyu, dan Wonwoo lupa tidak mengenakan kacamatanya jadi wajahnya sedikit buram. Pemuda itu menghampirinya, dan senyum kepada Wonwoo. Yugyeom.

“Hai?” Sapanya. Wonwoo hanya senyum.

“Mana pacarnya kak?” Yugyeom mengambil beberapa aqua dan camilan.

“Toilet” sahutnya. Wonwoo berjalan ke kasir, lalu menyerahkan belanjaannya.

Tidak ada perbincangan lagi setelah itu. Wonwoo sedikit tidak nyaman dengan sahabat Mingyu itu. Beda kala dia mengobrol dengan Jungkook, atau Seokmin, Yugyeom menurutnya cukup tidak enak di ajak ngobrol. Karena sedari awal mereka berkenalan, pandangan Yugyeom kepadanya beda.

“Duluan ya?” Wonwoo pun pergi. Yugyeom hanya memandanginya.

Saat tengah berjalan menuju mobilnya, Wonwoo terkejut dan langsung berlari saat melihat Mingyu terkapar tidak sadarkan diri di samping mobil mereka. Wonwoo panik setengah mati, tubuhnya mulai tremor. Belanjaanya berserakan.

“TOLONG!” Teriaknya histeris, wajah Mingyu babak belur parah sekali.

“TOLONG! YUGI!” Seru Wonwoo kala melihat Yugyeom datang. Namun—

“HMMPHH—”

Kepala Wonwoo dibungkus kain hitam oleh seseorang, dan tubuhnya diseret masuk ke dalam sebuah mobil pick up. Tubuh kurus Wonwoo bergerak berusaha melepaskan diri dan berhasil, namun saat kepalanya terlepas dari kain hitam itu—

“Mau kemana kak?”

Wonwoo terpojok didalam mobil pick up itu, memeluk lututnya ketakutan. Yugyeom bersama lima orang temannya berdiri mengelilinginya. Wonwoo takut, dia takut sekali, juga teringat kondisi Mingyu yang terkapar tak berdaya.

Mingyu....” gumamnya.

Sedetik kemudian terdengar suara teriakan minta tolong dan jeritan histeris Wonwoo. Yugyeom dan yang lainnya bergantian menyentuh tubuh Wonwoo yang dipaksa telanjang bulat, dan—

“Gu....”

“Gu....hikss—”

Teriakan minta tolong itu menghilang. Wonwoo tak sadarkan diri.


Mingyu kacau saat dia terbangun di rumah sakit dengan keadaan tubuh penuh luka lebam bekas pukulan benda tumpul. Minghao berusaha menenangkannya saat pemuda itu tahu Wonwoo sudah menghilang selama 3 hari.

“LO KALAU MAU MENCARI COWOK LO MINIMAL SEHAT DULU KIM MINGYU!” Teriak Minghao.

“Ayo— please Gyu....kita semua lagi usaha juga, ayo istirahat dulu” Hao melembut kembali.

Mingyu menangis didekapan Hao. Saat dia sadarkan diri, yang Mingyu ingat langsung adalah Wonwoo. Terakhir ia ingat sebelum kejadian tragis itu, Mingyu di hajar oleh segerombol orang bertopeng, dan dia tidak bisa melawan karena kepalanya dihantam oleh kayu. Hal itu juga yang membuatnya tak sadarkan diri selama tiga hari, dan Wonwoo menghilang.

“Kak Won....” bisiknya. Minghao miris melihatnya.

“Makan dulu ayo” bujuknya.

“Dia kemana?” Mingyu meringkuk memunggungi Hao.

Junhui, pacar Minghao muncul dengan deru nafas tak beraturan. Pemuda itu langsung menarik Hao keluar.

“Ketemu” bisiknya. Hao melotot.

“Dimana? Dia sehat,kan?” Cerca Hao.

Junhui menunduk, lalu mengusap wajahnya. Ekspresi wajahnya redup dan matanya berair. Minghao panik, perasaannya tidak enak.

“Ge?” Panggil Hao. Junhui meremas bahu Minghao.

He was—

No

Rap—ped...

Minghao lemas. Junhui mengusap air matanya. Dia memang tidak mengenal Wonwoo secara personal, namun kala mendapat kabar buruk itu, hatinya ikut teriris. Apalagi dirinya melihat langsung kondisi— kekasih Mingyu itu.

“Dia ditemukan di semak-semak dekat rumah kosong sebelah SMA, kondisinya mengenaskan, tidak berbusana, penuh sundutan rokok, luka lebam, but he's still breathing saat aku dan tim polisi menemukannya”

Minghao duduk meremas kepalanya. Bagaimana reaksi Mingyu nanti, dia saja yang mendengarnya merinding parah dan sakit hati.

“Mau tau apa yang diucapkannya saat ditemukan?”

No...

“Dia manggil Mingyu, sayang”

Minghao menutup telinganya tak sanggup lagi mendengar cerita dari Junhui.

“Cukup, kamu yang kasih tau Mingyu” Minghao bangkit dan pergi gitu saja.

Junhui pun masuk ke dalam kamar Mingyu. Dia melihat sosok sahabat pacarnya itu tengah melamun dan memainkan ujung bantal. Tatapannya kosong, penuh putus asa dan penyesalan.

“Makan belum?” Tanya Junhui. Mingyu menatapnya.

“Gyu, Wonwoo ketemu”

Mingyu langsung duduk, dan selang infusnya sampai terlepas. Junhui panik namun tangannya ditahan Mingyu.

“Dimana? Dia kesini?”

“Gyu...”

Junhui membisikan ucapannya. Telinga Mingyu langsung berdengung, ucapan Junhui tak sampai saat pacar Hao itu menyebut satu kata yang membuat hidupnya hancur detik itu juga.

“Dia sedang di visum, di rumah sakit ini juga” tutur Junhui. Mingyu hanya diam, pendengarannya masih berdengung.

“Siapa orangnya?” Mingyu akhirnya buka suara. Junhui membisikannya kembali.

Yugyeom dan lima orang lainnya....

Mingyu semakin hancur. Kepalanya sakit, dan langsung histeris. Junhui kewalahan menghadapinya. Minghao datang bersama dokter dan dua perawat. Mereka bersama menahan gejolak emosi Mingyu.

“Bawa gue ke kantor polisi sekarang!” Teriak Mingyu.

“Lo harus—”

“BAWA GUE POKOKNYA ANJING!”

“BAWA GUE KESANA!”

“BAWA GUE!!!”


Kala itu Andra sedang terlelap, bermimpi indah dengan mulut setengah terbuka. Saat itu juga Gianno muncul membawa seperangkat alat pendukung pekerjaannya. Laptop, charger, ponsel dan lembaran dokumen juga jurnalnya. Gianno melihat Anandra tidur, tumben sekali jam 20.12 malam anak itu sudah bermimpi. Tapi ini justru waktu yang tempat untuknya bekerja. Anandra itu seperti bayi, repot kalau bangun dan dirinya harus bekerja. Diganggu yang ada.

Gianno duduk disamping Andra yang tidur menyamping, kemudian tengkurap berlawanan arah dengan posisi Andra. Kaki panjangnya tak sengaja menendang bahu tunangannya itu, namun Andra tampak damai tak tergubris. Gianno sedikit bergeser agar tidak mengganggu kegiatan tidur Anandra. Pria itu sibuk mengemut permen alpenlible-nya, dan mengetik. Untuk setengah jam ke depan, Gianno khyusuk mengerjakan tugas, Anandra sibuk mendengkur. Suara merdu NIKI yang melantunkan Lowkey menemani Gianno.

Perlahan Andra membalikan tubuhnya, menghadap ujung kaki Gianno. Tangannya memeluk betis Gianno, dan mendusel pelan meskipun matanya tertutup rapat. Gianno melirik sekilas ke belakang, dan kembali memeriksa email dan mengecek tugas mahasiswanya.

“Mmhh....” lengguh Andra.

“Hhngg....”

Anandra bergerak tidak nyaman, dan bibirnya manyun, kemudian mengucek mata, dan bangun. Pemandangan yang pertama dilihat olehnya adalah, Gianno yang sedang tengkurap, dengan kedua kaki terangkat menyilang, dan sibuk mengetik. Anandra mengumpulkan nyawanya, kemudian melirik jam digital di atas nakas, pukul 21.23 malam. Wah dia tidur dari sehabis shalat Isya, karena kepalanya mendadak pusing.

Tangan Andra yang awalnya asyik memainkan anak rambut, terjatuh dengan sendirinya mengenai pantat Gianno. Pemiliknya tersentak kemudian menengok ke samping. Anandra hanya memandanginya kosong, nyawanya belum terkumpul. Gianno hanya menggeleng pelan. Beberapa menit ke depan hening menyelimuti pasangan manis itu.


“Diam....” ujar Gianno saat pantatnya di remas memutar oleh siapa lagi, ya Andra.

“Tepos” celetuk anak SMA itu. Gianno melotot tidak terima tapi tidak menganggapnya.

“Servis aku kurang apa gimana ya?”

Anandra masih terbaring dengan punggung bersandar headboard ranjang. Memandangi kaki jenjang nan ramping milik Gianno. Terlebih pria itu hanya mengenakan celana pendek di atas lutut, membuat paha putihnya terekspose. Andra suka. Dia terus mengusap betis, merambat ke paha, kemudian memijat sensual pantat Gianno.

“Yang....” suara Gianno memberat.

“Aku cuma ngagumi kaki kamu, kok engas?” Andra menyeringai.

“Diem tangannya ih” rengeknya.

Bukannya nurut, Andra duduk tegak menyilangkan kedua kaki. Kemudian menarik karet celana Gianno, hingga pantatnya menyembul gemas. Gianno pasrah, dia tidak bisa menolak, dan hanya menatap Anandra. Celana pendek navy itu ditarik lepas, hingga membuat tunangan Andra itu setengah telanjang. Gianno menyembunyikan wajah merah padamnya di balik lengan, menggigit bibir bawah kala Anandra memijat lembut pantat sintalnya.

“Mmmhh....” lengguh Gianno pelan. Andra meliriknya dan hanya tersenyum, kemudian kembali memainkan dua gundukan kenyal itu.

“Hhhuumm—” Gianno bergerak menyamankan diri. Andra sedikit merekahkan pantat kiri Gianno, mengintip lubang kesukaannya.

“Andd—raah~~” Gianno mengangkat pantatnya keatas kala kecupan kupu-kupu menimpa kulit pantatnya. Lubangnya dijilat dan lidah Andra menari lincah.

“Bentar—pleas—aah” Gianno meremat bedcover putih tersebut. Andra meremas kedua bongkahan pantatnya seolah bermain squishy.

“Mau tau selain collarbone, bibir, sama mata kamu, apa yang paling aku sukai, Gianno?” Suara Andra begitu seduktif.

Your butt....damn Gianno

Anandra meremasnya kuat, Gianno tersenyum sedikit. Jemari berisi milik calon suaminya itu mulai menjalar ke belahan pantat Gianno. Mengusapnya sensual dari bawah ke atas. Nafas Gianno memburu, dia suka, dan sangat merangsang.

“Aaahh—” desahan Gianno terdengar. Andra mengecup punggung putih itu. Lalu kembali terpesona dengan pinggang super ramping Gianno.

“Mahasiswi kamu gak iri dosennya punya pinggang ramping begini?” Tanya Andra.

“Gak tau....” Gianno menatapnya kebelakang.

“Indah kamu itu, sayang” Andra ikut tengkurap disampingnya, dan bibir mereka bertemu.

Awalnya kecupan manis, kemudian berubah menjadi lumatan, lalu pagutan saling menuntut, dan berakhir Gianno di kuasai Anandra. Tubuh tengkurapnya ditindih sosok besar itu, wajah Gianno Andra tangkup dan diarahkan ke samping, dan meraupnya begitu rakus. Suara saliva beradu dan lengguhan keduanya mewarnai ciuman penuh nafsu dan kasih sayang itu.

“Ugghh....” Gianno memejamkan matanya saat lehernya dihisap.

“Buka bajunya ya?” Bisik Andra. Gianno mengangguk, dan dia telanjang total sekarang. Laptopnya dibiarkan menyala, kertas dokumennya Andra taruh kebawah takut rusak.

Namun disaat aktivitas Anandra membubuhkan tanda cintanya di leher Gianno, ponsel pak dosen itu begetar tanda panggilan masuk. Andra mendesah kesal, dan Gianno meraih benda persegi itu. Muncul nama wakil ketua prodi satu, Pak Lingga. Andra masih menindihnya, dan Gianno menerima panggilan tersebut.

“Ya, halo pak?” Gianno sebaik mungkin mengatur deru nafasnya.

'Perihal laporan keuangan—'

Ucapan Pak Lingga tak terdengar Gianno, karena bibirnya kembali diraup Anandra. Ponsel itu Gianno jauhkan dari telinganya takut— terdengar ke lawan bicaranya.

“Reject” perintah Anandra.

“Bentar ya? Please sayang ini pen—”

Anandra merebut ponselnya, kemudian men-loud speaker, dan full volume. Suara Pak Lingga menggema di kamar mereka.

'Hallo, Pak Gianno?'

“Yaa— iya saya menyi—nyimak” Gianno sekuat mungkin tidak mendesah saat Anandra mulai memainkan penisnya.

Tubuhnya dibuat menyamping, dengan posisi Anandra tidur dibelakangnya. Bahasa lumrahnya, spooning. Gianno bahkan tidak bisa konsentrasi karena Anandra mengocok cukup kasar penisnya. Mulutnya menganga, mata setengah terpejam, tangan meremas lengan Anandra.

“Aahh—” Gianno sigap menutup mulutnya. Andra menyembunyikan wajahnya di pundak Gianno.

'Begitu pak, jadi besok—'

“Saya telepon balik—aah!” Gianno tersentak saat gerakan kocokan dipercepat.

'Pak? Apa bapak baik-baik saja?' Pak Lingga terdengar khawatir.

Gianno dibuat menghadap Anandra. Wajah mereka begitu dekat, Gianno berusaha meraih ponsel hitamnya. Klimaksnya hampir sampai, bahkan tangan Andra sudah basah dengan cairan precumnya.

“Saya telepon besok!” Ucap Gianno. Satu tangan bebas Anandra memilin nipple-nya.

'Pak?'

“Be—besok!”

Panggilan pun berakhir. Ponsel tak bersalah itu Anandra lempar entah kemana, dan desahan Gianno semakin menjadi. Akhirnya dia klimaks. Gianno berkeringat banyak, mereka saling menatap begitu sayu dan penuh nafsu.

“Kenapa dimatiin?” Anandra kembali memainkan pantatnya.

“Aku masih waras” sahut Gianno, sambil menangkup wajah Andra.

“Padahal aku mau ngasih tau kalau kaprodi kampus mereka desahannya merdu” tutur Anandra. Selalu saja begitu. Dulu pas Gianno rapat online, sekarang pas di telepon rekan kerjanya.

“Aku mau cuma kamu aja yang denger—hhmm...” ucap Gianno. Dia merasakan lubangnya dilumasi cairan miliknya.

“Eksklusif?” Andra terkekeh pelan.

“Hmm....hanya kamu”

Then show me

Dua jari langsung menyusup masuk ke lubangnya. Tadi sore mereka sempat having sex di balkon rumah, jadi anal Gianno tak begitu sempit. Masih ada bekasnya. Gianno mencapit kaki Anandra dengan kakinya. Memberi akses kepada laki-laki itu agar lebih mudah menggempur prostatnya.

“Aahh—yaa—” Gianno menyukainya. Sangat.

“Tambah?”

“Dua pleas—AHH!”

Gianno melengkung sempurna saat keempat jari Andra bergerak menggunting lubang analnya. Rasanya lebih dari nikmat, ini gila. Gianno memeluknya erat, wajah Andra bersembunyi didada Gianno.

Sweet spot...” bisiknya.

“Ughh—Andraah, aahh—”

Gianno masih melengkungkan tubuhnya, mulutnya terbuka lebar, dan penisnya kembali basah. Gempuran kasar terus menyerang titik nikmat Gianno. Tak lama, dia mendapatkan klimaks keduanya. Andra mendongak menatap Gianno yang tengah mengatur nafasnya.

“Lanjut?” Goda Andra. Gianno mensejajarkan wajah mereka. Kemudian mencium penuh nafsu Andra.

“Besok aku rapat” ucap Gianno. Anandra mengangguk saja. Tangan Gianno mengusap miliknya yang bengkak.

“Terus kenapa disentuh?” Anandra mengangkat satu alisnya.

“Jangan kasar tapi ya?”

Anandra tertawa gemas. Padahal Gianno yang senang rough sex, sekarang minta vanilla.

“Bukan kemauan aku ngasarin kamu sayang” Anandra mengusap bibirnya sensual.

“Apa mau aku deep throat saja?” Tawar Gianno. Anandra tersenyum miring.

“Entar suara kamu serak, gimana?”

Gianno mengedip cepat, kemudian Andra mencium keningnya, lalu pipinya, berakhir bibirnya tentu.

“Dua-duanya deh ya?” Ucap Anandra. Gianno menelan ludahnya.

“Sekarang deep dulu”

Andra menariknya duduk. Gianno duduk dihadapannya, dan Andra berdiri menurunkan celana training putihnya. Wajah Gianno tepat didepan penisnya yang berdiri gagah. Ini mimpi buruk, namun Gianno menyukainya.

Untuk beberapa belas menit ke depan, mulut Gianno penuh dengan benda panjang itu. Menerobos masuk ke dalam pangkal tenggorokannya, membuatnya menangis, namun enggan segera mengakhirinya karena enak. Kepalanya didorong maju mundur dengan kasar oleh Anandra yang sedang menengadah, merancau menyebut nama Gianno. Beberapa kali penis Andra masuk ke dalam tenggorokan Gianno, membuat pemiliknya susah bernafas. Hingga akhirnya dia cum. Melepaskan semua cairan kental putihnya tepat di wajah Gianno.

Good job pak dosen...” Andra memujinya. Gianno tersenyum, meski mulutnya pegal dan rahangnya sakit. Pria itu menjilat ujung kepala penis Andra yang basah karena klimaksnya.

“Ayo nungging” perintah Andra. Wajah Gianno bahkan masih penuh dengan cairan putih itu.

“Aahh—!” Lengguhnya keras, rambut hitamnya dijambak Anandra hingga dia mendongak ke atas.

Setengah jam kemudian, lubang nikmat Gianno masih digempur. Kini posisinya berubah, Gianno berada diatas Anandra. Panggung terbaik untuknya memamerkan kehebatannya kepada Anandra, dan jelas pemuda 17 tahun itu selalu terpukau.

“Gianno—fuck!” Anandra meremas pinggangnya. Gianno tersenyum sambil tersenyum lebar.

“Suka?” Tubuhnya bergerak naik turun cepat.

“Aah—” Andra memejamkan matanya, begitu juga Gianno.

Genjotan itu bertambah cepat, dan cepat, melupakan waktu yang kini sudah masuk dini hari. Kedua insan yang dimabuk asmara itu masih saling bersahutan memanggil satu sama lain, dengan suara gesekan kulit terdengar begitu sensual, dan gerakan pinggul Gianno yang begitu erotis.


Anandra duduk bersandar di dalam mobil Range Rover putihnya. Duduk di sebelah bangku kemudi yang kosong karena supirnya sedang ke toilet. Gianno mengantar Andra ke rumah sakit karena harus check up kaki kanannya. Andra mati bosan, ponselnya bukan lagi smartphone, melainkan Nokia 6600 yang isinya hanya game bounce sama snake xenzia. Tapi Andra gak bisa protes, atau nanti dirinya di pulangkan ke Batam.

“Anjin—” Andra terkejut saat melihat ke kaca mobil ada seorang gadis cantik tengah bercermin.

Andra mengerutkan alisnya bingung, kok bisa cewek ini ngaca santai begitu. Apa gak tahu di dalamnya ada manusia. Seringaian jahil muncul dari bibir Anandra, 'gue kerjain aja ni bocah' batinnya.

“Permisi??”

Kaca mobil itu turun perlahan, gadis itu langsung beku dan tidak mengedip sama sekali. Anandra menahan tawanya, gemas sekali.

“Ngaca dek?” Tanyanya santai. Perempuan itu langsung bergegas pergi. Anandra ketawa.

Tawanya langsung berhenti saat suaminya kembali. Anandra masih sedikit takut kepada Gianno, padahal Gianno udah normal lagi. Ya sekalipun judes dan galaknya masih ada.

“Ngetawain apa?” Tanya Gianno.

“Ada yang ngaca, dikira gak ada orang di mobil” jawab Andra.

Gianno hanya bergumam saja, kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah sakit. Selama di jalan, Anandra hanya sibuk bermain game bounce, dan Gianno fokus nyetir. Mobil mewah itu turun ke bassement RS dan parkir di tempat parkir khusus.

“Mau pake kruk apa kursi roda?” Ujar Gianno sambil turun.

“Bebas” sahut Anandra yang sedang sibuk push rank game bounce-nya.

“AaaAAA—”

Anandra menjerit histeris saat ponsel nokianya dirampas Gianno. Pria itu sudah menurunkan kursi roda, Andra langsung turun dan duduk. Gianno menutup pintu mobilnya, kemudian mendorong Anandra yang cemberut duduk diatas kursi roda.

“Aku tuh lagi push rank! Main rampas aja!” Protesnya.

“Bisa lagi nanti” Gianno datar.

“Iyalah aku ngalah aja” Andra menyilangkan tangannya di dada. Gianno mengecup pucuk kepalanya.

“Hari ini gak usah sekolah ya?”

Andra melotot kaget, wow dia libur? Hukuman yang menimpa pemuda itu adalah sekolah seminggu full dan jam belajar sama dengan sekolah pada umumnya. Bayangkan betapa mumetnya kepala Anandra.

“Serius????”

“Hmm, kita istirahat”

“Bali yuk? ADUH!”

Gianno memukul kepalanya pelan, kemudian keluar lift dan berjalan kebagian spesialis ortopedi. Saat menyusuri lorong panjang, Anandra berpas-pasan dengan gadis tadi yang ngaca. Pemuda itu bahkan menunjuknya sambil tersenyum lebar. Gianno mengikuti arah tunjukan suaminya dan langsung mengangkat satu alis.

“Siapa?” Tanya Gianno.

“Ahahahaa hooyyy!” Andra malah menyapa gadis itu. Jelas perempuan itu langsung kikuk dan pura-pura tidak tahu.

“Itu yang ngaca tadi! Kok bisa ketemu lagi?” Andra masih tertawa. Gianno menggeleng jengah.

“Hai? Kontrol?” Dr. Galih menyambut mereka.

“Masih ngilu Da?” Tanyanya.

“Kalau berdiri masih sedikit” jawab Andra.

“Okay, langsung masuk saja!” Dokter tampan itu mendorong masuk Andra ke ruangan pemeriksaan, disusul Gianno yang masih memandangi gadis cantik itu.


Anandra menunggu Gianno yang sedang menebus obat. Hp Nokia-nya kembali, dan dia langsung fokus membuat rekor baru snake xenzia-nya. Suara keypad ditekan terdengar begitu nyaring, membuat beberapa orang menatapnya. Mungkin keheranan karena masih ada yang mengenakan hp jadul.

“Buntu! Buntu ALAAH!” Andra memekik kesal. Ularnya mencium ekor, dan game over.

“Sakit apa kamu?”

Anandra mengedarkan pandangan, dan mendongak ke atas saat melihat—

“Ohh hai tukang ngaca” sapa Andra. Gadis itu mendengus.

“Hati-hati lain kali, takut yang liatin lo kakek mesum gimana?”

Gadis itu kesal dan mengibaskan rambutnya lalu duduk di samping Andra.

“Gue check up kaki, lo sendiri?” Tatap Anandra.

“Nunggu papah beres praktek” ujarnya.

“Ohh? Dokter disini?”

“Iya dokter Tjandra”

Anandra mengangguk saja. Lalu memainkan ponselnya lagi. Sebentar—

“Dokter Tjandra....lah dokter gue dong?”

Anandra menatap gadis itu lagi. Sementara yang di tatap hanya mengangkat bahunya saja.

Sempit banget dunia....” gumam Anandra.

“Sama siapa kesini? Kok sendirian?” Tanya gadis itu.

“Ohh— sama suami haha” Andra ketawa garing.

“Pardon?”

“Suami. Gue udah nikah”

Anandra menunjukan cincin nikahnya. Perempuan cantik itu cukup kaget.

“Ohh....aku pikir masih anak SMA?” Ujarnya.

“Oh gue emang masih SMA, tapi homeschooling

Sekali lagi perempuan itu terkejut, Anandra terkekeh pelan saja. Mereka pun mengobrol santai, dan seolah sudah lama bertemu. Padahal Andra sendiri tidak tahu nama teman ngobrolnya itu. Gianno lama sekali, daripada bosan mending ngobrol ya,kan? Apalagi lawan bicaranya cukup asyik.

What? Ohh kamu jadi sedang di hukum karena nakal?” Perempuan itu tak berhenti mentertawakannya.

“Lucu memang, tapi gue serius” Andra mencebik kesal.

“Okay, make sense kok suami kamu marah juga, aku pun kalau punya suami kayak kamu bakal kesal sih” tuturnya.

Jadi Anandra menceritakan kecelakaan yang menimpanya, dan tanpa sadar malah curhat colongan. Padahal dia sendiri tipe yang tidak akan menceritakan hal random pada orang asing. Tapi gak bohong, Andra nyaman ngobrol bersama perempuan itu.

“Btw, gue Anandra”

“Ohh, Yuna”

Mereka berjabat tangan dan saling tersenyum. Senyuman manis Andra membuat perempuan itu salah tingkah dan pipinya memerah.

“Kelas berapa lo?” Tanya Andra.

“SMP kelas 3” jawabnya.

“Hah? Wow hai adik kicik” Andra kaget. Karena penampilan Yuna sedikit lebih dewasa.

“Kelas berapa kamu?” Tanya Yuna balik.

“Otw kelas 12,” Andra tersenyum bangga.

“Kuliah dimana nanti?”

“Gak tau, usulan suami gue sih katanya dalam negeri aja, gue masih belum punya tujuan to be honest

Anandra menghela nafas pelan. Yuna hanya mengangguk saja. Tiba-tiba hening menyelimuti, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Gak punya tujuan bukan berarti hidup kita buruk,kan?” Celetuk Yuna.

“Bisa saja saat kita menjalani hidup, tujuan kita muncul, tanpa perlu rencana, jadi ngalir gitu aja?”

Anandra mengangguk pelan.

“Orang dewasa gak bakal setuju. Tapi gue paham maksud lo” ucap Anandra.

“Tahu gak? Selama gue hidup, bernafas sampai saat ini, gue cuma ingin menjadi lebih baik? Baik kepada ibu, baik kepada suami, baik kepada teman juga”

“Soal sukses itu mengikuti? Karena menurut gue, selama kita berusaha memperbaiki diri agar lebih baik, maka kesuksesan pun akan menghampiri, ya gak?”

Yuna menatapnya, begitu juga Anandra. Tatapan mereka terkunci untuk beberapa detik, hingga—

“Lama ya?”

Gianno muncul. Andra langsung menatap suaminya itu. Lalu cemberut, merajuk karena lelah menunggunya.

“Kamu tuh nebus obat ke Jedah?” Anandra manyun.

“Tadi ada pak Dekan, ya jadi ngobrol dulu” tutur Gianno, namun pandangannya menatap Yuna. Andra peka dengan tatapan suaminya itu.

“Ohh, ini Yuna yang. Anaknya dokter Tjandra!” Andra mengenalkan gadis itu.

“Yang aku ceritain ngaca—”

Andra mengerang pelan karena Yuna mencubit lengannya. Yuna kikuk dan malu tentu saja. Terlebih Gianno menatapnya tidak ramah. Yuna tebak pasti suami pasien papahnya itu posesif.

“Gianno” Gianno mengulurkan tangannya. Yuna menyambutnya ramah.

“Yuna, om?” Yuna bingung memanggilnya.

“Pfffffttt....” Andra menahan tawanya.

“Dia emang om-om, mau 30 tahun” celetuk Andra. Gianno menghela nafas pelan.

Yuna menunduk, dia merasa terintimidasi oleh tatapan Gianno. Mungkin dia harus pergi saja, karena kondisi mulai tidak kondusif.

“Kak aku duluan ya?” Yuna bangkit. Andra mengangguk.

“Yaa....” sahut Anandra.

“Sampai jumpa?”

Yuna mengulurkan tangan. Gianno menatap keduanya. Andra menyambutnya ramah dan mengangguk pelan.

“Sampai jumpa juga” ucap Andra. Yuna pergi dan melambaikan tangannya sambil senyum.

“Akrab sekali”

Gianno mendorong kursi roda Anandra.

“Ya kamu lama....aku kan bosen gak ada temen, dia muncul yaudah aku ajak ngobrol” terang Anandra.

“Gak nyangka juga dia putra dokter Tjandra” Andra mendongak menatap Gianno.

“Fate?” Dengus Gianno.

“Maksudnya?” Andra bingung.

“Aku gak suka dia”

Andra menghela nafas. Ya sejak kapan Gianno suka sama perempuan yang dekat dengannya? Kadang sama ibu aja, Gianno cemburu.

“Yang....cukup” Andra jengah.

“Aku cuma bilang” Gianno menekan tombol lift.

“Iyaa....tapikan dia itu orang asing,” Ucap Andra.

Andra menarik tangan Gianno, lalu melahunnya. Gianno terkejut, takut kaki kanan Andra sakit.

“Ngapain? Kaki kamu—”

Anandra menciumnya lembut, Gianno terbuai. Kemudian pria itu memeluk lehernya erat.

“Kalau kamu cemburu, ingat ini ya?”

Anandra mengangkat jari manis Gianno, ada cincin emas melingkar cantik, lalu senyum.

“Kita di ikat seumur hidup, kita menikah, singkatnya aku milik kamu, kamu milik aku juga”

Gianno mengangguk pelan, dan langsung mencium bibir Anandra kembali. Keduanya cukup intens berciuman, dan harus melepaskan diri kala pintu lift terbuka.

“Mereka boleh akrab sama aku, tapi aku tetap milik kamu, Gianno”

“Posisi kamu itu nomor satu, dan akan selalu menjadi yang nomor satu”

Anandra mengusap pipinya, kemudian Gianno berdiri dan mendorong kursi rodanya kembali. Berjalan menuju mobil mereka sambil berbincang pelan. Tanpa sadar, Tuhan baru saja menambahkan lakon lain di skenario hubungan keduanya, dan siap menguji mereka, terutama Gianno.

Ya. Selamat datang musuh baru Gianno.


“Yang....” panggil Anandra. Gianno bungkam.

“Cinta.....” rengeknya. Andra gak tahan dicuekin.

“Aku mending di omelin kamu 24/7 daripada harus di diemin kayak gini!”

Sudah dua hari, semenjak kejadian Anandra terjun bebas dari tangga panggung, sehingga tulang kering kaki kanannya retak, dan menyebabkan pemuda itu tidak bisa berjalan normal selama beberapa minggu, Gianno mendiamkannya. Gianno kesal, sampai rasanya ubun-ubun dia mendidih, terlebih dirinya memilih bungkam daripada mengomel. Muak. Gianno muak.

“Yaang....aaa aku takut sumpah kalau kamu diem gini tuh?”

“Kayak flashback dulu kita sebelum putus....”

Gianno menatapnya nyalang. Anandra menelan ludahnya, dia tidak bisa kabur apabila Gianno memukulnya atau mencubit. Alhasil suami Gianno itu menunduk sambil memainkan kuku tangannya yang sudah panjang. Gianno kembali fokus dengan iPad-nya, membaca semua kirimam tugas mahasiswanya, lalu merevisinya, dan membalas email yang penting. Anandra hanya menghela nafas pelan, dia meraih kruknya, kemudian berjalan perlahan menuju dapur.

Dolby mengekor dari belakang, sementara Raku sudah semingguan bersama Dinar (Dinar butuh distraksi dari masalah keluarganya). Anandra mencoba meluluhkan amarah Gianno dengan membuatkannya pancake dan segelas jus mangga. Namun, berdiri lima menit saja rasanya sakit. Ngilu yang berasal dari kaki kanannya merambat hingga sekujur tubuh.

“Cukup napa Gianno yang buat gue pusing, lo juga jangan ikut-ikutan” bisik Anandra sambil duduk dan meremas celana pendeknya.

“Ibu....” lirihnya. Ya salah siapa tidak hati-hati? Kalau sudah sakitkan yang ngerasain Anandra sendiri.

“Kenapa?”

Gianno berdiri disampingnya. Wajah pria itu datar dan tidak mengenakan kacamatanya. Anandra tidak berani menatap, sumpah Gianno seram sekali.

“Ngilu....” cicit Anandra.

“Diem makanya” Gianno membuka kulkas lalu menuangkan susu.

“Ya kamu cemberut terus....aku gak tau harus gimana” tutur Anandra.

“Percuma aku marah-marah juga, kaki kamu gak bakal sembuh langsung” ujarnya sambil pergi gitu saja.

“Aku udah minta maaf, kenapa kamu masih aja judes sih?!”

Anandra mulai terpancing, pemuda itu berdiri bertumpu pada kruknya. Gianno membalikan tubuh, menatapnya datar kemudian menghampiri Andra.

“Kamu gak nurut, satu.” Gianno menunjuk wajahnya.

“Masih suka seenaknya padahal dulu sudah berjanji bakal berubah.”

“Banyak leha-leha padahal sebentar lagi kelas 12!”

“Gak pernah dengerin omongan aku”

“Sukanya main mulu belajar di skip terus”

“Maunya disayang terus tapi sama sayang diri sendiri enggak”

“Siapa coba yang rugi? Aku? Ibu? Geng kamu? Bukan!”

“TAPI KAMU!” Gianno menyentaknya. Andra bungkam.

“KAMU YANG RUGI! CONTOHNYA INI!” Gianno menunjuk kakinya.

“COBA KALAU KAMU NURUT SAMA AKU PULANG SEBELUM MAGRIB, BELAJAR, KAMU BAKAL PAKE KRUK KAYAK SEKARANG?”

“Tapi kamu malah......aku gak mau over sama kamu! Tapi kelakuan kamu tuh bikin aku pusing tau gak?!”

“Oke aku paham kamu itu remaja labil! Tapi bisa tidak mindset kamu tuh berubah? Rubah cara berpikir kamu yang selalu merasa aku ngekang—”

“Aku gak merasa dikekang!” Sambar Anandra.

“IYA KARENA KAMU BANYAK NGELAWAN” semprot Gianno.

“Aku punya sisi kelemahan yang gak bisa dan gak mau buat kamu sedih jika keinginan kamu tidak terpenuhi”

“Tapi sekarang aku gak bisa begitu terus! Lihat akibatnya?”

“Kamu repot aku juga ikut repot!”

Anandra menahan tangisnya. Ini adalah kali kedua Gianno memarahinya setelah dulu saat insiden putus 2 bulan.

“Anandra aku sayang kamu....”

“Sungguh, hampir gila rasanya karena saking cinta, bilang aku berlebihan tapi aku tulus dan serius”

“Aku mau kamu punya masa depan yang baik, aku mau kamu jadi orang yang bisa diandalkan, aku mau kamu jadi orang sukses, aku mau kamu bisa membahagiakan ibu sama aku!”

“Aku mau segalanya yang terbaik buat kamu. Sekarang, kamu bisa bantu aku membuat semuanya tercapai?”

Anandra menunduk. Gianno meremas rambutnya.

“Cukup kamu nurut sama aku, nurut sama ibu terutama, semuanya demi kebaikan kamu juga? Pernah ibu meminta hal yang bisa merugikan kamu? Enggak bukan?”

Anandra masih bungkam.

“Anandra!”

“Maaf....”

“Maaf saja gak cukup. Kamu minta maaf hari ini minggu depan bakal ngulangin lagi kesalahan!”

“Jangan gini aku takut....” Anandra menatapnya sendu.

“Kalau aku gak gini, aku gak gretak kamu, kamu bakal seenaknya terus!” Bentak Gianno.

“Mabok bawa mobil, nabrak pembatas jalan, yang repot aku sama orang tua Martin”

“Bolos seenaknya kelas mas Zidan, sementara beliau adalah kakak tingkat aku yang paling dihormati”

“Ikut campur masalah rumah tangga Dinar”

“Main ke club malam padahal masih dibawah umur”

“Ngajarin Nauval melakukan hal tabu”

“Anandra kamu tuh.....kamu tuh maunya gimana? Bebas? Sebebas-bebasnya? Terus kamu anggap aku ini apa sih?”

“Kamu mau aku jadi pasangan yang supportif di hal itu?”

Anandra menggeleng.

“Ya makanya...kalau aku tegur itu di dengar! Jangan hanya sampai di telinga saja terus besok lupa!”

“Konotasi kamu tuh cuma mikir 'its okay guys Gianno aman, dia marah besok juga baik lagi' kamu suka gitu,kan?”

“Enggak....” lirihnya. Air matanya begitu deras mengalir.

“Kamu mau aku pergi dulu? Biar kamu in—”

“Gak mauuuuuu!”

Anandra berusaha merengkuh Gianno namun karena kakinya sakit jadi susah. Gianno mundur lima langkah, Anandra makin panik.

“Kamu kalau begini terus kita pisah rumah dulu saja!” Gretak Gianno.

“GIANNO!”

“BIAR KAMU MIKIR! BIAR BERUBAH POLA PIKIRNYA!”

“YA KAN BISA GAK USAH DITINGGAL JUGA?!”

“Terserah, aku muak.”

Gianno melangkah pergi sambil meraih kunci mobilnya. Anandra susah payah mengejarnya, namun ngilu di kakinya membuat pemuda itu jatuh tersungkur. Gianno tetap teguh pergi, Anandra menangis sejadinya.

“JANGAN PERGI! YAAANG!”

“SAYANG!”

“GIANNO!”


Gianno pergi membawa mobil Audi R8 miliknya, menembus jalanan sepi di malam hari. Otaknya butuh udara segar. Pria 27 tahun itu menghentikan kuda besi hitamnya itu di depan minimarket. Lalu dia turun dan membeli beberapa camilan dan kopi. Dia tidak kemana-mana, seperti ucapannya, Gianno hanya menggretak Anandra agar pemuda itu mau nurut padanya.

Gianno menyantap camilan snack dan kopinya begitu nikmat. Rasanya kepala dia seperti disiram air dingin, langsung tenang dan nafasnya kembali teratur. Mungkin dia berada di minimarket itu hampir 3 jam. Gianno tidak tahu gimana reaksi Anandra sekarang. Ponselnya sengaja ditinggalkan biar anak itu kesulitan mencarinya. Gianno memejamkan matanya, bermeditasi sebentar agar emosinya surut dan tensi darahnya turun. Dia harus pulang, karena Anandra pasti berantakan sekarang.

Sementara di rumah mereka, Anandra hanya diam saja duduk di karpet dengan kaki diluruskan ke depan. Dari awal kepergian Gianno anak itu terus menangis hingga suaranya serak. Menyesal, tentu saja. Anandra menyesali semua perbuatannya. Andra akan berubah, tapi dia perlu bimbingan Gianno. Dolby melengguh pelan disampingnya, ikut merasakan kesedihan tuannya.

“Ibu....” gumamnya.

“Buu....” dari tadi Anandra terus memanggil ibunya.

Sekitar satu jam kemudian, Gianno sampai di rumahnya. Semua lampu temaram, dan Gianno tidak tahu dimana Anandra sekarang. Hingga pria itu berjalan menuju ruang tengah, TV LED nya masih menyala, dan ia melihat gundukan besar tidur di atas surpet navy tersebut. Andra tertidur dengan posisi sedikit miring tanpa menekuk kedua kakinya. Sedikit terisak, dan ada Dolby menemaninya. Gianno langsung merasa bersalah. Bagaimanapun rasa kesalnya tetap kalah dengan kasih sayang dan cintanya kepada Anandra.

“Hikss....” isak Andra, matanya terpejam namun dia tetap menangis.

“Pindah yuk?”

Gianno mengusap pipinya lembut. Andra malah semakin menangis. Gianno langsung tidur di hadapannya dan mendekapnya erat. Tangisan itu pecah kembali, Anandra bergumam maaf puluhan kali. Gianno hanya menepuk bahunya.

“Udaah...maaf ya? Udah jangan nangis” Gianno mengecup pipinya.

“Hikss— kamunya jan—jangan pergi” cicitnya.

“Iyaa bentar aja tadi pusing, lapar aku jajan ke depan” bisik Gianno.

“Takut....”

“Iyaa....aku disini, udah nangisnya”

Gianno mengusap air matanya. Kalau begini, Anandra memang terlihat sekali bocah ABG labilnya. Gianno memang merindukan sifat kekanakan suaminya yang masih sangat muda itu. Tapi tidak dengan kelakuan nakalnya, memang wajar, tapi Gianno ada batas limit kesabarannya. Dia juga bisa kesal.

“Janji bakal nurut?”

“Hhmmm....janji”

“Aku pergi beneran kalau kamu gak bisa diatur dan terus seenaknya”

“Gianno....”

Anandra menangis lagi. Gianno mencium bibirnya, asin karena bibir Andra basah akibat air matanya.

“Jangan pergi” mohonnya.

“Aku gak pergi, gak akan pernah, tapi kalau kamu susah diatur, susah nurut, mau bebas terus, mending aku gak usah ada iya,kan?”

“Gak gitu....” rengek Andra.

“Ya makanya....aku gak banyak nuntut kamu ini itu, aku cuma mau kalau aku negur atau ngelarang kamu nurut. Aku melarang kamu melakukan sesuatu yang ngerugikan gak salah,kan?”

Anandra bersembunyi didada Gianno, menangis membasahi baju hitam suami kesayangannya itu.

“Maaf kalau aku kasar, tapi sayang, aku cuma mau kamu jauh dari hal yang merugikan”

“Karena aku sayang kamu Anandra...”

“Aku gak mau kehilangan kamu, aku gak mau gagal mendidik kamu, aku gak mau gagal jadi suami yang baik buat kamu,”

“Iyaa....” gumam Anandra. Gianno mengusap rambutnya yang basah karena keringat.

“Bapak udah nitipin kamu sama aku, ibu juga, jadi tolong....bantu aku ya?”

Anandra mengangguk cepat, pemuda itu memeluknya erat.

“Aku gak mau ngecewain mereka, aku yakin kamu bisa berubah, perlahan tapi harus ada hasilnya”

Gianno menangkup wajah Anandra, matanya bengkak karena menangis, Gianno tersenyum.

“Aku gretak kamu kayak gini karena aku sayang kamu” Gianno merapihkan rambut Andra.

“Maaf yaa...maaf kalau ancamannya buat kamu panik”

“Gak lucu”

“Iyaa...udah yuk tidur”

Gianno menyamankan posisi tidurnya. Kemudian Andra memeluknya posesif. Tepukan halus dibahu Anandra membuat suami mudanya itu perlahan terlelap dan berhenti menangis. Gianno pun tak lama tidur juga, hatinya lega sekali. Semoga Andra berubah setelah di gretak begini. Karena ancaman tadi itu serius. Kalau Anandra masih saja begitu, opsi pisah rumah adalah jalan terbaik.


Gianno buru-buru masuk ke dalam toilet, saat selesai melakukan gladi kotor wisuda kampusnya. Pria 29 tahun itu kerepotan dengan setelan toganya, dia ingin buar air besar, jadi terpaksa harus melepaskan terlebih dahulu.

“Ribet astaga....” keluhnya. Namun akhirnya, dia bisa menuntaskan panggilan alamnya.

Setelah cuci tangan dan merapihkan pakaiannya, Gianno bergegas kembali ke hall. Karena terburu-buru, topi toganya terlepas kala dirinya berlari menaiki anak tangga. Gianno mendesah kesal, saat membalikan tubuhnya, raut wajahnya langsung kaku. Gianno mematung.

Seorang pemuda tinggi tegap, rambut disisir rapih mengenakan setelan jas formal biru tua, berdiri menghadap Gianno dan tengah menyodorkan topi toga miliknya. Anandra tersenyum seperti biasanya. Mantan kekasih Gianno itu tampak lebih bugar, bahunya begitu tegap, semakin....tampan, Gianno terpesona. Tentu saja, 4 tahun tidak bertemu, Gianno pantas terpesona.

“Terima kasih” Gianno meraih topinya.

“Katanya sekarang Dekan? Benar?” Anandra masih tersenyum. Gianno hanya mengangguk pelan.

“Wow, congratulation then,” Anandra mengajaknya bersalaman. Gianno hanya memandangi tangan besar itu.

Gianno tremornya kambuh, dia ragu membalas uluran tangan Anandra. Takut, takut perasaannya kembali. Namun dia melawan rasa takutnya, dan ada sengatan listrik menghantar ke aliran darah Gianno. Anandra masih tersenyum.

“Saya duluan” Gianno langsung melepaskannya tak lama. Pria itu langsung berlari menaiki tangga, meninggalkan Anandra yang hanya memperhatikannya.

Masih sama” batin Anandra. Dia pun merasakan getaran menggelitik itu.


Gianno tidak fokus selama gladi. Beberapa kali dia melakukan kesalahan, hampir tersandung saat berjalan menuju podium, keringat dingin membasahi punggungnya. Nafasnya tidak beraturan. He's messed up.

“Mas Gianno?” Pak Tjahja menepuk bahunya, beliau adalah Rektor kampus Gianno.

“Iya pak? Maaf saya kurang fokus” Gianno menunduk, tidak enak.

“Istirahat dulu saja, anda berkeringat banyak, apa sedang sakit?” Tanyanya.

“Tidak pak. Saya....saya hanya kurang fokus, maafkan saya” Gianno mengusap keringat wajahnya dengan sapu tangan.

“Jangan dipaksakan mas, bilang kepada saya kalau sedang tidak sehat” pak Rektor itu mengusap bahunya.

“Baik, maaf sebelumnya karena saya banyak melakukan kesalahan” Gianno tersenyum palsu.


Upacara wisuda digelar dan semuanya lancar. Gianno tidak melakukan kesalahan, semuanya sesuai dengan rencana dan protokol. Gianno menghembuskan nafas lega, pria itu meregangkan dasi, dan melepaskan jas hitamnya. Lalu dia membuka jendela ruang kerjanya, membiarkan angin menerpa wajah tampannya. Gianno penasaran, sedang apa Anandra di kampusnya? Apa seseorang yang dikenalnya kuliah di kampus Gianno? Siapa? Kenapa Gianno tidak tahu.

Setahunya Anandra pindah ke Batam ikut bersama Bu Diah, tapi— kenapa dia muncul disini. Gianno memijat pelipisnya. Perjuangan move on nya selama 4 tahun luluh lantah hanya kejadian jabat tangan di tangga tadi pagi. Gianno hanya menghela nafas, kemudian memejamkan matanya. Bisa saja pemuda itu datang ke acara wisuda— kekasihnya? Tidak menutup kemungkinan.

Gianno keluar kantornya, membiarkan kakinya melangkah kemanapun. Beberapa mahasiswa yang berpas-pasan dengannya menyapa Gianno, dan hanya tersenyum kecil. Pria itu tanpa sadar berjalan menuju kerumunan wisudawan dan wisudawati yang tengah berfoto bersama keluarga. Gianno hanya memandangi kehangatan itu. Senyuman bangga, tawa bahagia, pelukan hangat, membuat Gianno iri.

“Pak Gian?”

Seorang wanita paruh baya menyentuh bahunya. Gianno terkejut saat melihat Bu Diah menyapanya. Pria itu langsung tersenyum.

“Bu....” mantan kekasih putra angkatnya itu mencium punggung tangannya.

“Waah, astaga....hahaha sudah lama sekali kita gak ketemu” Bu Diah mencium pipi kanan dan kiri Gianno.

“Ibu apa kabar? Sehat? Betah sekali di Batam ya?” Ucap Gianno sambil senyum kecil.

“Betahkan rumah ibu sendiri? Ibu baik pak, bapak sendiri? Sehat,kan? Mas Juna datang?”

Gianno hanya tersenyum lalu menggeleng. Bu Diah melihat jari manis Gianno kosong, tidak ada cincin satu pun tersemat satu pun.

“Ibu datang kesini sama siapa? Saudara ibu kuliah disini? Kenapa saya tidak tahu?” Tanya Gianno mendistrak perhatian Bu Diah.

“Ohh— ibu di ajak Anandra” Bu Diah menatap Gianno.

“Pacarnya wisuda pak” lanjutnya. Gianno perih mendengarnya, namun dia tetap tersenyum.

“Begitu ya, dia sehat bu?” Gianno tersenyum sendu.

“Yaa....Anandra seadanya saja, sehat selalu, walau suka murung”

Mereka duduk berdua memandangi hilir mudik orang-orang yang menghadiri acara penting tersebut. Bu Diah menggenggam tangan Gianno erat, Gianno merasakan kasih sayang wanita 58 tahun itu.

“Anandra baru satu tahun berpacaran lagi pak” tuturnya.

“Dekatnya sudah lama, tapi yaa— anak muda namanya juga, susah sekali move on” sambung Bu Diah.

“Dia kuliah bu?” Tatap Gianno. Bu Diah menggeleng pelan.

“Anandra menang SNMPTN pak, di kampus besar malahan, ibu sudah bujuk dia.....tapi Anandra malah memilih bekerja jadi barista” ucapnya.

“Sayang sekali ya? Orang lain menangis saat gagal SNMPTN, dia malah dengan santainya menolak,” Bu Diah menggeleng pelan.

“Katanya, kalau bisa dikasih ke temannya, mending dia kasih saja karena tidak mau kuliah”

Gianno menelan salivanya. Ada campur tangannya saat pengumuman SNMPTN dilaksanakan. Gianno meminta staffnya untuk meluluskan Anandra, dan menjadikannya mahasiswa bidik misi juga agar kuliahnya lebih mudah. Namun, Anandra malah menolaknya. Gianno merasa sia-sia, langkahnya mendekatkan diri dengan sang mantan gagal.

“Ibuu~~~ dicariin ihh!”

Seorang perempuan cantik dengan rambut tergerai dan mengenakan toga wisuda menghampiri mereka. Gianno menatapnya dari bawah sampai atas. Ini pacar Anandra?

“Ohh? Pak Gianno” perempuan itu tersenyum manis, kemudian membungkuk hormat.

“Senja...” sapanya penuh wibawa. Gianno kenal karena masuk ke dalam mahasiswi dengan predikat cumlaude.

“Ibu kok akrab sama Pak Dekan aku? Kalian kenal?” Senja merenggut gemas.

“Anak ibu juga ini, kamu gak tau ya?” Bu Diah mengusap lutut Gianno lembut.

“Ibu masih mau ngobrol? Anandra udah di mobil, kan kita mau makan?” Ucap Senja. Gianno hanya diam saja. Bahkan Anandra sudah kenal dengan keluarganya.

“Pak Gianno mau ikut juga? Kami mau makan bersama kebetulan” tawar Senja. Bu Diah hanya tersenyum.

“Terima kasih Senja, saya masih ada pekerjaan,” Gianno berdiri, di ikuti Bu Diah.

“Barangkali, biar makin ramai, soalnya bunda saya senang sekali sama bapak, naksir katanya” Senja tertawa pelan.

“Salam buat bunda kamu ya...” Gianno mengulurkan tangannya lagi. Senja menyambutnya penuh antusias.

“Bu....titip salam buat dia juga ya?” Gianno mengecup punggung tangannya Bu Diah.

“Iya pak, jaga kesehatan ya? Bapak kurusan loh” Bu Diah mengusap punggungnya lembut.

“Pasti, hati-hati dijalannya” ujar Gianno. Bu Diah pergi bersama Senja, dengan senyuman hangat tak lepas dari wajah cantik keduanya.

Gianno kembali ke gedung. Langkahnya begitu berat, mungkin memang tidak ada harapan lagi untuk kembali bersama Anandra. Gianno merenung sepanjang jalan, tidak tergubris dengan sapaan orang-orang. Matanya hanya memandang ke depan, dengan kedua tangan bersembunyi di dalam saku celana bahannya.

“Pak....” Gianno tersentak saat Indri, asistennya memanggil.

“Iya?” Gianno menghampirinya. Wanita 27 tahun itu memberikan buket bunga daisy dan baby breath yang indah sekali.

“Ada Anandra tadi” bisiknya. Gianno langsung menatapnya.

“Lama banget dia disini pak, saya sudah berusaha menghubungi bapak, tapi ponsel bapak tidak aktif terus” tuturnya.

“Kenapa dia kemari?”

“Kurang tahu, tapi dia menitipkan buket itu”

Gianno menaruh buket bunga itu, lalu berlari menyusul Anandra. Semoga dia tidak terlambat. Gianno berlari mengikuti nuraninya. Air mata mengalir dari ujung mata rubahnya. Gianno tidak tahu dimana Anandra, dia hanya berharap, dia tidak kehilangan kesempatan kembali. Namun setelah menghabiskan waktu dua jam lebih berkeliling mencarinya, Gianno menyerah. Orang-orang bahkan kebingungan melihatnya. Tampilannya begitu acak-acakan.


Gianno melirik buket bunga pemberian Anandra. Dia sudah di rumahnya lagi. Tangan lentiknya meraih satu bunga daisy putih itu, memutarnya perlahan, dan hanya memandanginya saja. Takdir Tuhan memang sudah berbeda. Anandra-nya bukan milik Gianno lagi. Gianno bukan takdir Anandra lagi.

'Gianno?'

'Aneh banget ngisi pesan suara, keliatan gaptek banget gak sih, yang?'

Gianno tengah memutar pesan suara yang ditinggalkan Anandra dahulu kala mereka masih bersama.

'Gianno? Ehehehe aku lupa gak bawa kunci pagar'

'Yang? Sotonya habis mau apa? Baca chat aku gercep!'

'Sayang? Semangat pelatihannya, huhuhu aku kangeeeeeen'

'Lembang dingin ya? Pake jaket aku yaa biar kehangatanku terasa sampai sana'

'Gianno aku minta maaf, aku gak maksud bohong tapi sumpah aku gak jadi provokator tawuran, aku cuma self defense saja'

'Gianno? Marah beneran? Kamu dimana mau aku jemput?'

'Gianno? Maaf....please angkat telepon aku'

Gianno tersenyum miris mendengar suara lirih Anandra.

'Gianno, gak bisa kasih aku kesempatan?'

Gianno menangis sekarang.

'Aku sayang kamu, aku janji gak nakal lagi, aku janji nurut sama kamu, tapi please......jangan putusin aku'

'Gianno.....aku cinta kamu'

'Gianno aku barusan nonton Bohemian Rhapsody, jadi inget kita pernah karokean nyanyi lagu itu sampai tenggorokan kita sakit'

'Gianno? Aku beneran gak ada kesempatan lagi?'

Gianno memutar rekaman terakhir kotak suara yang ditinggalkan Anandra. Rekaman yang paling membuatnya menyesal.

'Gianno last, kamu gak ngasih aku kesempatan lagi? Aku akan mundur....'

Gianno menangis, air matanya membasahi lengan kurusnya.

'Just ask me to stay....then I'll....' suara Anandra parau.

'Just say it.....'

'Or maybe....we are really over now?'

'Kak Juna bisa buat kamu bahagiakan?'

Gianno menggeleng keras.

'Then I'll leave. Be happy Gianno. Keep smiling, you—'

'You are the love of my life, Gianno. Goodbye.'

Gianno menangis keras, menangisi penyesalannya. Raungan penuh sakit hati memenuhi ruang kerja rumahnya yang sepi dan dingin. Tangisan histeris karena tidak bisa mengembalikan waktu. Tangisan penuh kerinduan. Tangisan penuh permohonan.

“Anandra.....”

Please comeback....


Hujan mengguyur begitu Anandra tiba di depan rumahnya Gianno. Iya, rumah minimalis bercat putih itu bukan 'rumah' Anandra lagi. Mereka sudah berpisah sekitar 2 bulan, dan Andra mendapat kabar jika Gianno akan menikah minggu depan. Jika ditanya apa reaksinya kala mendengar kabar bahagia itu, Anandra hanya bisa tersenyum. Hubungan mereka terbilang cukup singkat, hanya 10 bulan saja. Tepat hari ini, mereka genap 1 tahun. Seharusnya.

Anandra menekan bel rumah itu. Aneh, biasa masuk nyelonong tanpa melepaskan sepatu kotornya, kali ini Andra harus menekan bel. Pemuda itu melihat tumpukan kardus besar di garasi. Gianno sudah menjual rumah ini. Jujur, kalau Andra punya uang, dia akan membeli rumah penuh kenangan ini. Namun, uang 100 rb saja tidak ada di dalam dompet lepeknya.

“Masuk....”

Suara berat Gianno mengejutkan Andra yang sedang melamun. Bukannya masuk, Andra malah membuka isi tas besarnya, Gianno tidak tahu apa yang dibawa mantan kekasihnya itu.

“Saya gak lama pak” Andra berdiri lalu memberikan sebuah bingkisan berbentuk kotak berukuran 30x40 tersebut.

“Harusnya....ini hadiah buat first anniv kita pak—” Anandra gugup.

“Tapi—”

Gianno hanya memandangi bingkisan itu. Anandra mengusap rambut basahnya kebelakang, menelan ludah dan membasahi bibir bawahnya.

“Itu untuk hadiah pernikahan bapak sama kak Juna” Anandra senyum kecil.

“Mau disimpan, mau dibuang....itu hak bapak,”

“Setidaknya, janji saya terpenuhi. Pengen ngelukis bapak, jadi gak punya hutang” Anandra menatapnya dalam.

Gianno membalas tatapannya. Dua bulan mereka berpisah, tidak banyak yang berubah memang. Hanya status keduanya yang berbeda. Anandra menunggu Gianno berbicara, namun jadinya mereka hanya saling bertatapan. Tidak bersuara. Anandra masih sama. Tatapan penuh cinta, hangat, penuh kagum, dan sayang yang begitu tulus. Sementara Gianno, tatapannya penuh dengan keraguan, dan tidak sehangat dulu.

“You are still the love of my life, Gianno” bisik Anandra.

“Mungkin kamu anggap itu hanya gombalan anak kecil, tapi sayang....”

Anandra menahan diri untuk tidak menyentuh Gianno. Tangannya bergetar hebat, begitu pun dengan bibirnya.

“Lagu Queen itu, memang buat kamu,” sambungnya.

“Terima kasih kepada Fredie Mercury yang sudah menulisnya, aku merasakan posisi dirinya juga”

Gianno masih bungkam. Hujan semakin deras, bahkan terdengar beberapa kali petir menyambar. Anandra menghela nafas pelan, lalu mundur perlahan, berniat pulang. Namun saat bahu kanannya terkena rintik hujan, sebuah tangan melingkar di lengannya.

“Hujan” Gianno menahannya.

“Saya bawa mantel kok” Anandra senyum.

“Motor bapak— kan suka mogok” bisiknya. Anandra tidak bisa mendengarnya karena derasnya hujan.

“Masuk”

Gianno menariknya kembali masuk. Anandra pasrah, dia membiarkan ujung jaket hitam lusuhnya ditarik Gianno. Mereka pun masuk ke dalam rumah. Anandra mencelos karena semua barang dan furniture sudah di kemas. Tidak ada sofa, tidak ada lemari kaca yang penuh dengan piagam penghargaan Gianno. Tidak ada— potret dia dan pria yang kini sibuk menyeduh teh hangat itu. Bahkan dapur pun sudah bersih. Hanya tinggal meja makan saja. Anandra memandang ke sekeliling, otaknya memutar memori indah yang terjadi selama dirinya tinggal bersama Gianno.

'PAAAK! HELM AKU MANA? ADA RAZIA MASAAA?!'

'Anandra filmnya mulai!'

'ANANDRA HANDUK ITU DI JEMUR KE BELAKANG BUKAN DI GELETAKAN DI SOFA!'

'Yaaaang! Ada cuangki mau gak?'

'Peluk...dingin' mereka berdua berpelukan di sofa.

'Ulangan aku 100 loh?! Gak mau kasih kiss gitu?'

Anandra terkekeh pelan mengingat kenangan itu. Kenapa waktu begitu cepat berputar.

'Anandra ada tikus!'

'TELEPON DAMKAR?!'

'KOK DAMKAR? KAMU TAKUT—'

'AAAAAA!' Mereka berdua naik ke atas sofa sambil merangkul pinggang satu sama lain.

'DAMKAR TELEPON DAMKAR SI JERRY NYA BAWA PASUKAN!'

Anandra tidak sadar sudah berdiri di belakang bahu lebar Gianno. Setiap pagi di hari Minggu, akan ada rutinitas Anandra yang manja dan memeluk pinggang Gianno yang sedang mencuci piring. Akan ada percakapan ringan, berakhir kecupan manis.

“Aku gak mungkin datang nanti...” Anandra memeluk Gianno erat dari belakang.

“Jadi— dengarkan semua ucapanku” Anandra mematikan kompor listriknya terlebih dahulu.

“Hari ini, aku masih bisa bebas, istilahnya, meluk kamu, ketemu kamu, ngobrol sama kamu, kelak— saat kamu resmi menikah dengan orang lain, aku gak bisa begini lagi”

“Jadi izinkan aku buat meluk kamu untuk terakh— terkahir kalinya”

Gianno menunduk, air matanya keluar begitu saja. Anandra mendekap bahu dan pinggangnya begitu erat.

“Sumpah demi Tuhan, aku sayang kamu Gianno”

“Saat pertama kali bertemu kamu, aku udah jatuh cinta”

“Setahun aku berusaha mengejar kamu, hingga akhirnya kamu sempat jadi milik aku untuk 10 bulan”

“Kenapa singkat sekali? Its not fair for me...” lirihnya.

“Aku gak ikhlas kamu dipinang orang lain to be honest, aku gak bakal pernah ikhlas, tapi—”

“Itu tidak akan mengubah situasi. Itu hanya akan menyakiti diri aku sendiri,kan? So I learn to let you go...”

“Jadi....Gianno, terima kasih atas semua pelajaran dan kenangan yang kamu berikan untuk aku, itu sangat membantu dimasa depan nanti”

“Pesanku, jangan banyak begadang, makan yang banyak, semangat ngedosennya, banyak tersenyum karena senyum kamu itu indah, jangan banyak pikiran, karena aku gak bisa nemenin kamu lagi, jangan terus kelupaan bawa sesuatu karena aku gak bisa nganterin lagi nanti”

“Semoga pilihan kamu lebih dewasa dari aku, lebih—menyayangi kamu dibanding aku, lebih membahagiakan—”

“Kamu. Kak Juna baik, aku yakin. Dia cocok bersanding dengan kamu sayang. Dia enggak kekanakan seperti aku—”

“Jangan sedih, karena kalau bapak sedih kerasanya sampai ke aku juga, karena nanti kalau bapak sedih, aku gak bisa ngehibur lagi”

Be happy Gianno. Aku selalu mendoakan kebahagian kamu sampai kapan pun. Menjauh dari manusia toksik yang merugikan kamu, yang baik kepada mahasiswanya, selamat atas kenaikan pangkatnya, kamu kaprodi sekarang”

“Tapi— jika hal buruk terjadi menimpa kamu nanti, kamu disakiti oleh siapapun, dan butuh bahu untuk bersandar....”

“Aku selalu siap untuk dijadikan sandaran kamu”

Gianno menangis, rasanya untuk menyesal pun sudah terlambat. Anandra menatapnya dari samping, ada senyuman manis dibibirnya, sekalipun air mata membasahi pipinya.

“Tapi itu gak bakal terjadi. Kamu akan selalu bahagia, kamu dijauhkan dari segala sesuatu yang akan membuat kamu sedih, karena aku selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu”

“Hikss—” Gianno memeluk Andra erat, pria itu membalikan tubuhnya.

“Maaf....” lirihnya. Anandra menggeleng cepat.

“Tidak ada yang salah. Disini aku yang gagal, tapi semuanya sudah terjadi”

“Aku gagal karena buat kamu jenuh” Anandra menangkup pipinya.

“Anandra...” bisik Gianno.

“Bahagia ya, pak?” Andra tersenyum tulus.

“Kalimat bahagia kamu bahagia aku itu bukan mainan, itu doa aku setiap hari” tuturnya.

“Aku cinta kamu. Selalu. Tapi katanya, kasta tertinggi dalam mencintai itu, merelakan....”

“Merelakan orang yang kita cintai bahagia dengan pilihannya.”

Anandra mengecup dahi pak dosen kesayangannya itu cukup lama. Gianno meremat pergelangan tangan Anandra. Pria 25 tahun itu masih menangis, sementara Andra sudah tidak menangis. Dadanya sedikit lega, tidak sesesak dulu.

“Bohong....” gumam Gianno. Anandra menatapnya.

“Kamu gak rela Anandra, aku tau....” ucapnya. Anandra tertawa pelan.

“Yang punya hati aku, jangan sok tau” Anandra melepaskan tangkupannya namun ditahan Gianno.

“Aku bisa batalin semuanya....” Gianno menatap Anandra.

Just say it” tatapnya penuh harap.

Ask me to stay...” bisiknya.

“Kamu bahkan ngehapus nomor hp aku? Why should I asking you to stay?” Ucap Anandra.

“Itu—”

“Canda pak. Aku udah bilang, keputusan kamu jangan sampai di sesali, okay?”

“Kita tidak bisa bersama lagi”

“Kita bisa”

“Kita. Tidak. Bisa.”

Gianno menangkup pipi Anandra, kemudian memagut bibirnya lembut. Anandra membalas ciuman itu, air matanya turun kembali membasahi pipi. Tak lama pemuda itu melepaskan tautan bibir mereka. Andra mundur satu langkah. Gianno menghampirinya, namun lagi pemuda itu melangkah mundur.

“Anandra....” lirihnya.

“Pak aku pun gak mau putus”

“Tapi....semuanya sudah selesai. Kamu akan menikah, dan aku gak mau menjadi pihak yang menggagalkan pernikahan seseorang” tutur Anandra.

You said, you are still love me

Yes, I do. I love you so much Gianno, tapi kamu mau menikah”

“Kak Juna baik, aku percaya.” Ujar Anandra.

Goodbye, Gianno.

Anandra pergi dengan langkah besar keluar rumah Gianno. Sontak dia langsung di kejar olehnya. Mantan kekasih Gianno itu langsung bergegas mengenakan helm, dan menstater motor mio jadul tersebut. Keadaan mendukung karena motor itu langsung nyala, dan Gianno tak sempat meraih lengan Anandra. Pria itu menangis sambil memeluk kedua lututnya.

“Anandra, I love you too....” bisiknya.

Please stay.....

UNTOLD STORY


Hujan mengguyur begitu Anandra tiba di depan rumahnya Gianno. Iya, rumah minimalis bercat putih itu bukan 'rumah' Anandra lagi. Mereka sudah berpisah sekitar 2 bulan, dan Andra mendapat kabar jika Gianno akan menikah minggu depan. Jika ditanya apa reaksinya kala mendengar kabar bahagia itu, Anandra hanya bisa tersenyum. Hubungan mereka terbilang cukup singkat, hanya 10 bulan saja. Tepat hari ini, mereka genap 1 tahun. Seharusnya.

Anandra menekan bel rumah itu. Aneh, biasa masuk nyelonong tanpa melepaskan sepatu kotornya, kali ini Andra harus menekan bel. Pemuda itu melihat tumpukan kardus besar di garasi. Gianno sudah menjual rumah ini. Jujur, kalau Andra punya uang, dia akan membeli rumah penuh kenangan ini. Namun, uang 100 rb saja tidak ada di dalam dompet lepeknya.

“Masuk....”

Suara berat Gianno mengejutkan Andra yang sedang melamun. Bukannya masuk, Andra malah membuka isi tas besarnya, Gianno tidak tahu apa yang dibawa mantan kekasihnya itu.

“Saya gak lama pak” Andra berdiri lalu memberikan sebuah bingkisan berbentuk kotak berukuran 30x40 tersebut.

“Harusnya....ini hadiah buat first anniv kita pak—” Anandra gugup.

“Tapi—”

Gianno hanya memandangi bingkisan itu. Anandra mengusap rambut basahnya kebelakang, menelan ludah dan membasahi bibir bawahnya.

“Itu untuk hadiah pernikahan bapak sama kak Juna” Anandra senyum kecil.

“Mau disimpan, mau dibuang....itu hak bapak,”

“Setidaknya, janji saya terpenuhi. Pengen ngelukis bapak, jadi gak punya hutang” Anandra menatapnya dalam.

Gianno membalas tatapannya. Dua bulan mereka berpisah, tidak banyak yang berubah memang. Hanya status keduanya yang berbeda. Anandra menunggu Gianno berbicara, namun jadinya mereka hanya saling bertatapan. Tidak bersuara. Anandra masih sama. Tatapan penuh cinta, hangat, penuh kagum, dan sayang yang begitu tulus. Sementara Gianno, tatapannya penuh dengan keraguan, dan tidak sehangat dulu.

“You are still the love of my life, Gianno” bisik Anandra.

“Mungkin kamu anggap itu hanya gombalan anak kecil, tapi sayang....”

Anandra menahan diri untuk tidak menyentuh Gianno. Tangannya bergetar hebat, begitu pun dengan bibirnya.

“Lagu Queen itu, memang buat kamu,” sambungnya.

“Terima kasih kepada Fredie Mercury yang sudah menulisnya, aku merasakan posisi dirinya juga”

Gianno masih bungkam. Hujan semakin deras, bahkan terdengar beberapa kali petir menyambar. Anandra menghela nafas pelan, lalu mundur perlahan, berniat pulang. Namun saat bahu kanannya terkena rintik hujan, sebuah tangan melingkar di lengannya.

“Hujan” Gianno menahannya.

“Saya bawa mantel kok” Anandra senyum.

“Motor bapak— kan suka mogok” bisiknya. Anandra tidak bisa mendengarnya karena derasnya hujan.

“Masuk”

Gianno menariknya kembali masuk. Anandra pasrah, dia membiarkan ujung jaket hitam lusuhnya ditarik Gianno. Mereka pun masuk ke dalam rumah. Anandra mencelos karena semua barang dan furniture sudah di kemas. Tidak ada sofa, tidak ada lemari kaca yang penuh dengan piagam penghargaan Gianno. Tidak ada— potret dia dan pria yang kini sibuk menyeduh teh hangat itu. Bahkan dapur pun sudah bersih. Hanya tinggal meja makan saja. Anandra memandang ke sekeliling, otaknya memutar memori indah yang terjadi selama dirinya tinggal bersama Gianno.

'PAAAK! HELM AKU MANA? ADA RAZIA MASAAA?!'

'Anandra filmnya mulai!'

'ANANDRA HANDUK ITU DI JEMUR KE BELAKANG BUKAN DI GELETAKAN DI SOFA!'

'Yaaaang! Ada cuangki mau gak?'

'Peluk...dingin' mereka berdua berpelukan di sofa.

'Ulangan aku 100 loh?! Gak mau kasih kiss gitu?'

Anandra terkekeh pelan mengingat kenangan itu. Kenapa waktu begitu cepat berputar.

'Anandra ada tikus!'

'TELEPON DAMKAR?!'

'KOK DAMKAR? KAMU TAKUT—'

'AAAAAA!' Mereka berdua naik ke atas sofa sambil merangkul pinggang satu sama lain.

'DAMKAR TELEPON DAMKAR SI JERRY NYA BAWA PASUKAN!'

Anandra tidak sadar sudah berdiri di belakang bahu lebar Gianno. Setiap pagi di hari Minggu, akan ada rutinitas Anandra yang manja dan memeluk pinggang Gianno yang sedang mencuci piring. Akan ada percakapan ringan, berakhir kecupan manis.

“Aku gak mungkin datang nanti...” Anandra memeluk Gianno erat dari belakang.

“Jadi— dengarkan semua ucapanku” Anandra mematikan kompor listriknya terlebih dahulu.

“Hari ini, aku masih bisa bebas, istilahnya, meluk kamu, ketemu kamu, ngobrol sama kamu, kelak— saat kamu resmi menikah dengan orang lain, aku gak bisa begini lagi”

“Jadi izinkan aku buat meluk kamu untuk terakh— terkahir kalinya”

Gianno menunduk, air matanya keluar begitu saja. Anandra mendekap bahu dan pinggangnya begitu erat.

“Sumpah demi Tuhan, aku sayang kamu Gianno”

“Saat pertama kali bertemu kamu, aku udah jatuh cinta”

“Setahun aku berusaha mengejar kamu, hingga akhirnya kamu sempat jadi milik aku untuk 10 bulan”

“Kenapa singkat sekali? Its not fair for me...” lirihnya.

“Aku gak ikhlas kamu dipinang orang lain to be honest, aku gak bakal pernah ikhlas, tapi—”

“Itu tidak akan mengubah situasi. Itu hanya akan menyakiti diri aku sendiri,kan? So I learn to let you go...”

“Jadi....Gianno, terima kasih atas semua pelajaran dan kenangan yang kamu berikan untuk aku, itu sangat membantu dimasa depan nanti”

“Pesanku, jangan banyak begadang, makan yang banyak, semangat ngedosennya, banyak tersenyum karena senyum kamu itu indah, jangan banyak pikiran, karena aku gak bisa nemenin kamu lagi, jangan terus kelupaan bawa sesuatu karena aku gak bisa nganterin lagi nanti”

“Semoga pilihan kamu lebih dewasa dari aku, lebih—menyayangi kamu dibanding aku, lebih membahagiakan—”

“Kamu. Kak Juna baik, aku yakin. Dia cocok bersanding dengan kamu sayang. Dia enggak kekanakan seperti aku—”

“Jangan sedih, karena kalau bapak sedih kerasanya sampai ke aku juga, karena nanti kalau bapak sedih, aku gak bisa ngehibur lagi”

Be happy Gianno. Aku selalu mendoakan kebahagian kamu sampai kapan pun. Menjauh dari manusia toksik yang merugikan kamu, yang baik kepada mahasiswanya, selamat atas kenaikan pangkatnya, kamu kaprodi sekarang”

“Tapi— jika hal buruk terjadi menimpa kamu nanti, kamu disakiti oleh siapapun, dan butuh bahu untuk bersandar....”

“Aku selalu siap untuk dijadikan sandaran kamu”

Gianno menangis, rasanya untuk menyesal pun sudah terlambat. Anandra menatapnya dari samping, ada senyuman manis dibibirnya, sekalipun air mata membasahi pipinya.

“Tapi itu gak bakal terjadi. Kamu akan selalu bahagia, kamu dijauhkan dari segala sesuatu yang akan membuat kamu sedih, karena aku selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu”

“Hikss—” Gianno memeluk Andra erat, pria itu membalikan tubuhnya.

“Maaf....” lirihnya. Anandra menggeleng cepat.

“Tidak ada yang salah. Disini aku yang gagal, tapi semuanya sudah terjadi”

“Aku gagal karena buat kamu jenuh” Anandra menangkup pipinya.

“Anandra...” bisik Gianno.

“Bahagia ya, pak?” Andra tersenyum tulus.

“Kalimat bahagia kamu bahagia aku itu bukan mainan, itu doa aku setiap hari” tuturnya.

“Aku cinta kamu. Selalu. Tapi katanya, kasta tertinggi dalam mencintai itu, merelakan....”

“Merelakan orang yang kita cintai bahagia dengan pilihannya.”

Anandra mengecup dahi pak dosen kesayangannya itu cukup lama. Gianno meremat pergelangan tangan Anandra. Pria 25 tahun itu masih menangis, sementara Andra sudah tidak menangis. Dadanya sedikit lega, tidak sesesak dulu.

“Bohong....” gumam Gianno. Anandra menatapnya.

“Kamu gak rela Anandra, aku tau....” ucapnya. Anandra tertawa pelan.

“Yang punya hati aku, jangan sok tau” Anandra melepaskan tangkupannya namun ditahan Gianno.

“Aku bisa batalin semuanya....” Gianno menatap Anandra.

Just say it” tatapnya penuh harap.

Ask me to stay...” bisiknya.

“Kamu bahkan ngehapus nomor hp aku? Why should I asking you to stay?” Ucap Anandra.

“Itu—”

“Canda pak. Aku udah bilang, keputusan kamu jangan sampai di sesali, okay?”

“Kita tidak bisa bersama lagi”

“Kita bisa”

“Kita. Tidak. Bisa.”

Gianno menangkup pipi Anandra, kemudian memagut bibirnya lembut. Anandra membalas ciuman itu, air matanya turun kembali membasahi pipi. Tak lama pemuda itu melepaskan tautan bibir mereka. Andra mundur satu langkah. Gianno menghampirinya, namun lagi pemuda itu melangkah mundur.

“Anandra....” lirihnya.

“Pak aku pun gak mau putus”

“Tapi....semuanya sudah selesai. Kamu akan menikah, dan aku gak mau menjadi pihak yang menggagalkan pernikahan seseorang” tutur Anandra.

You said, you are still love me

Yes, I do. I love you so much Gianno, tapi kamu mau menikah”

“Kak Juna baik, aku percaya.” Ujar Anandra.

Goodbye, Gianno.

Anandra pergi dengan langkah besar keluar rumah Gianno. Sontak dia langsung di kejar olehnya. Mantan kekasih Gianno itu langsung bergegas mengenakan helm, dan menstater motor mio jadul tersebut. Keadaan mendukung karena motor itu langsung nyala, dan Gianno tak sempat meraih lengan Anandra. Pria itu menangis sambil memeluk kedua lututnya.

“Anandra, I love you too....” bisiknya.

Please stay.....