GRETAKAN GIANNO


“Yang....” panggil Anandra. Gianno bungkam.

“Cinta.....” rengeknya. Andra gak tahan dicuekin.

“Aku mending di omelin kamu 24/7 daripada harus di diemin kayak gini!”

Sudah dua hari, semenjak kejadian Anandra terjun bebas dari tangga panggung, sehingga tulang kering kaki kanannya retak, dan menyebabkan pemuda itu tidak bisa berjalan normal selama beberapa minggu, Gianno mendiamkannya. Gianno kesal, sampai rasanya ubun-ubun dia mendidih, terlebih dirinya memilih bungkam daripada mengomel. Muak. Gianno muak.

“Yaang....aaa aku takut sumpah kalau kamu diem gini tuh?”

“Kayak flashback dulu kita sebelum putus....”

Gianno menatapnya nyalang. Anandra menelan ludahnya, dia tidak bisa kabur apabila Gianno memukulnya atau mencubit. Alhasil suami Gianno itu menunduk sambil memainkan kuku tangannya yang sudah panjang. Gianno kembali fokus dengan iPad-nya, membaca semua kirimam tugas mahasiswanya, lalu merevisinya, dan membalas email yang penting. Anandra hanya menghela nafas pelan, dia meraih kruknya, kemudian berjalan perlahan menuju dapur.

Dolby mengekor dari belakang, sementara Raku sudah semingguan bersama Dinar (Dinar butuh distraksi dari masalah keluarganya). Anandra mencoba meluluhkan amarah Gianno dengan membuatkannya pancake dan segelas jus mangga. Namun, berdiri lima menit saja rasanya sakit. Ngilu yang berasal dari kaki kanannya merambat hingga sekujur tubuh.

“Cukup napa Gianno yang buat gue pusing, lo juga jangan ikut-ikutan” bisik Anandra sambil duduk dan meremas celana pendeknya.

“Ibu....” lirihnya. Ya salah siapa tidak hati-hati? Kalau sudah sakitkan yang ngerasain Anandra sendiri.

“Kenapa?”

Gianno berdiri disampingnya. Wajah pria itu datar dan tidak mengenakan kacamatanya. Anandra tidak berani menatap, sumpah Gianno seram sekali.

“Ngilu....” cicit Anandra.

“Diem makanya” Gianno membuka kulkas lalu menuangkan susu.

“Ya kamu cemberut terus....aku gak tau harus gimana” tutur Anandra.

“Percuma aku marah-marah juga, kaki kamu gak bakal sembuh langsung” ujarnya sambil pergi gitu saja.

“Aku udah minta maaf, kenapa kamu masih aja judes sih?!”

Anandra mulai terpancing, pemuda itu berdiri bertumpu pada kruknya. Gianno membalikan tubuh, menatapnya datar kemudian menghampiri Andra.

“Kamu gak nurut, satu.” Gianno menunjuk wajahnya.

“Masih suka seenaknya padahal dulu sudah berjanji bakal berubah.”

“Banyak leha-leha padahal sebentar lagi kelas 12!”

“Gak pernah dengerin omongan aku”

“Sukanya main mulu belajar di skip terus”

“Maunya disayang terus tapi sama sayang diri sendiri enggak”

“Siapa coba yang rugi? Aku? Ibu? Geng kamu? Bukan!”

“TAPI KAMU!” Gianno menyentaknya. Andra bungkam.

“KAMU YANG RUGI! CONTOHNYA INI!” Gianno menunjuk kakinya.

“COBA KALAU KAMU NURUT SAMA AKU PULANG SEBELUM MAGRIB, BELAJAR, KAMU BAKAL PAKE KRUK KAYAK SEKARANG?”

“Tapi kamu malah......aku gak mau over sama kamu! Tapi kelakuan kamu tuh bikin aku pusing tau gak?!”

“Oke aku paham kamu itu remaja labil! Tapi bisa tidak mindset kamu tuh berubah? Rubah cara berpikir kamu yang selalu merasa aku ngekang—”

“Aku gak merasa dikekang!” Sambar Anandra.

“IYA KARENA KAMU BANYAK NGELAWAN” semprot Gianno.

“Aku punya sisi kelemahan yang gak bisa dan gak mau buat kamu sedih jika keinginan kamu tidak terpenuhi”

“Tapi sekarang aku gak bisa begitu terus! Lihat akibatnya?”

“Kamu repot aku juga ikut repot!”

Anandra menahan tangisnya. Ini adalah kali kedua Gianno memarahinya setelah dulu saat insiden putus 2 bulan.

“Anandra aku sayang kamu....”

“Sungguh, hampir gila rasanya karena saking cinta, bilang aku berlebihan tapi aku tulus dan serius”

“Aku mau kamu punya masa depan yang baik, aku mau kamu jadi orang yang bisa diandalkan, aku mau kamu jadi orang sukses, aku mau kamu bisa membahagiakan ibu sama aku!”

“Aku mau segalanya yang terbaik buat kamu. Sekarang, kamu bisa bantu aku membuat semuanya tercapai?”

Anandra menunduk. Gianno meremas rambutnya.

“Cukup kamu nurut sama aku, nurut sama ibu terutama, semuanya demi kebaikan kamu juga? Pernah ibu meminta hal yang bisa merugikan kamu? Enggak bukan?”

Anandra masih bungkam.

“Anandra!”

“Maaf....”

“Maaf saja gak cukup. Kamu minta maaf hari ini minggu depan bakal ngulangin lagi kesalahan!”

“Jangan gini aku takut....” Anandra menatapnya sendu.

“Kalau aku gak gini, aku gak gretak kamu, kamu bakal seenaknya terus!” Bentak Gianno.

“Mabok bawa mobil, nabrak pembatas jalan, yang repot aku sama orang tua Martin”

“Bolos seenaknya kelas mas Zidan, sementara beliau adalah kakak tingkat aku yang paling dihormati”

“Ikut campur masalah rumah tangga Dinar”

“Main ke club malam padahal masih dibawah umur”

“Ngajarin Nauval melakukan hal tabu”

“Anandra kamu tuh.....kamu tuh maunya gimana? Bebas? Sebebas-bebasnya? Terus kamu anggap aku ini apa sih?”

“Kamu mau aku jadi pasangan yang supportif di hal itu?”

Anandra menggeleng.

“Ya makanya...kalau aku tegur itu di dengar! Jangan hanya sampai di telinga saja terus besok lupa!”

“Konotasi kamu tuh cuma mikir 'its okay guys Gianno aman, dia marah besok juga baik lagi' kamu suka gitu,kan?”

“Enggak....” lirihnya. Air matanya begitu deras mengalir.

“Kamu mau aku pergi dulu? Biar kamu in—”

“Gak mauuuuuu!”

Anandra berusaha merengkuh Gianno namun karena kakinya sakit jadi susah. Gianno mundur lima langkah, Anandra makin panik.

“Kamu kalau begini terus kita pisah rumah dulu saja!” Gretak Gianno.

“GIANNO!”

“BIAR KAMU MIKIR! BIAR BERUBAH POLA PIKIRNYA!”

“YA KAN BISA GAK USAH DITINGGAL JUGA?!”

“Terserah, aku muak.”

Gianno melangkah pergi sambil meraih kunci mobilnya. Anandra susah payah mengejarnya, namun ngilu di kakinya membuat pemuda itu jatuh tersungkur. Gianno tetap teguh pergi, Anandra menangis sejadinya.

“JANGAN PERGI! YAAANG!”

“SAYANG!”

“GIANNO!”


Gianno pergi membawa mobil Audi R8 miliknya, menembus jalanan sepi di malam hari. Otaknya butuh udara segar. Pria 27 tahun itu menghentikan kuda besi hitamnya itu di depan minimarket. Lalu dia turun dan membeli beberapa camilan dan kopi. Dia tidak kemana-mana, seperti ucapannya, Gianno hanya menggretak Anandra agar pemuda itu mau nurut padanya.

Gianno menyantap camilan snack dan kopinya begitu nikmat. Rasanya kepala dia seperti disiram air dingin, langsung tenang dan nafasnya kembali teratur. Mungkin dia berada di minimarket itu hampir 3 jam. Gianno tidak tahu gimana reaksi Anandra sekarang. Ponselnya sengaja ditinggalkan biar anak itu kesulitan mencarinya. Gianno memejamkan matanya, bermeditasi sebentar agar emosinya surut dan tensi darahnya turun. Dia harus pulang, karena Anandra pasti berantakan sekarang.

Sementara di rumah mereka, Anandra hanya diam saja duduk di karpet dengan kaki diluruskan ke depan. Dari awal kepergian Gianno anak itu terus menangis hingga suaranya serak. Menyesal, tentu saja. Anandra menyesali semua perbuatannya. Andra akan berubah, tapi dia perlu bimbingan Gianno. Dolby melengguh pelan disampingnya, ikut merasakan kesedihan tuannya.

“Ibu....” gumamnya.

“Buu....” dari tadi Anandra terus memanggil ibunya.

Sekitar satu jam kemudian, Gianno sampai di rumahnya. Semua lampu temaram, dan Gianno tidak tahu dimana Anandra sekarang. Hingga pria itu berjalan menuju ruang tengah, TV LED nya masih menyala, dan ia melihat gundukan besar tidur di atas surpet navy tersebut. Andra tertidur dengan posisi sedikit miring tanpa menekuk kedua kakinya. Sedikit terisak, dan ada Dolby menemaninya. Gianno langsung merasa bersalah. Bagaimanapun rasa kesalnya tetap kalah dengan kasih sayang dan cintanya kepada Anandra.

“Hikss....” isak Andra, matanya terpejam namun dia tetap menangis.

“Pindah yuk?”

Gianno mengusap pipinya lembut. Andra malah semakin menangis. Gianno langsung tidur di hadapannya dan mendekapnya erat. Tangisan itu pecah kembali, Anandra bergumam maaf puluhan kali. Gianno hanya menepuk bahunya.

“Udaah...maaf ya? Udah jangan nangis” Gianno mengecup pipinya.

“Hikss— kamunya jan—jangan pergi” cicitnya.

“Iyaa bentar aja tadi pusing, lapar aku jajan ke depan” bisik Gianno.

“Takut....”

“Iyaa....aku disini, udah nangisnya”

Gianno mengusap air matanya. Kalau begini, Anandra memang terlihat sekali bocah ABG labilnya. Gianno memang merindukan sifat kekanakan suaminya yang masih sangat muda itu. Tapi tidak dengan kelakuan nakalnya, memang wajar, tapi Gianno ada batas limit kesabarannya. Dia juga bisa kesal.

“Janji bakal nurut?”

“Hhmmm....janji”

“Aku pergi beneran kalau kamu gak bisa diatur dan terus seenaknya”

“Gianno....”

Anandra menangis lagi. Gianno mencium bibirnya, asin karena bibir Andra basah akibat air matanya.

“Jangan pergi” mohonnya.

“Aku gak pergi, gak akan pernah, tapi kalau kamu susah diatur, susah nurut, mau bebas terus, mending aku gak usah ada iya,kan?”

“Gak gitu....” rengek Andra.

“Ya makanya....aku gak banyak nuntut kamu ini itu, aku cuma mau kalau aku negur atau ngelarang kamu nurut. Aku melarang kamu melakukan sesuatu yang ngerugikan gak salah,kan?”

Anandra bersembunyi didada Gianno, menangis membasahi baju hitam suami kesayangannya itu.

“Maaf kalau aku kasar, tapi sayang, aku cuma mau kamu jauh dari hal yang merugikan”

“Karena aku sayang kamu Anandra...”

“Aku gak mau kehilangan kamu, aku gak mau gagal mendidik kamu, aku gak mau gagal jadi suami yang baik buat kamu,”

“Iyaa....” gumam Anandra. Gianno mengusap rambutnya yang basah karena keringat.

“Bapak udah nitipin kamu sama aku, ibu juga, jadi tolong....bantu aku ya?”

Anandra mengangguk cepat, pemuda itu memeluknya erat.

“Aku gak mau ngecewain mereka, aku yakin kamu bisa berubah, perlahan tapi harus ada hasilnya”

Gianno menangkup wajah Anandra, matanya bengkak karena menangis, Gianno tersenyum.

“Aku gretak kamu kayak gini karena aku sayang kamu” Gianno merapihkan rambut Andra.

“Maaf yaa...maaf kalau ancamannya buat kamu panik”

“Gak lucu”

“Iyaa...udah yuk tidur”

Gianno menyamankan posisi tidurnya. Kemudian Andra memeluknya posesif. Tepukan halus dibahu Anandra membuat suami mudanya itu perlahan terlelap dan berhenti menangis. Gianno pun tak lama tidur juga, hatinya lega sekali. Semoga Andra berubah setelah di gretak begini. Karena ancaman tadi itu serius. Kalau Anandra masih saja begitu, opsi pisah rumah adalah jalan terbaik.