Chynummw

Hujan mengguyur begitu Anandra tiba di depan rumahnya Gianno. Iya, rumah minimalis bercat putih itu bukan 'rumah' Anandra lagi. Mereka sudah berpisah sekitar 2 bulan, dan Andra mendapat kabar jika Gianno akan menikah minggu depan. Jika ditanya apa reaksinya kala mendengar kabar bahagia itu, Anandra hanya bisa tersenyum. Hubungan mereka terbilang cukup singkat, hanya 10 bulan saja. Tepat hari ini, mereka genap 1 tahun. Seharusnya.

Anandra menekan bel rumah itu. Aneh, biasa masuk nyelonong tanpa melepaskan sepatu kotornya, kali ini Andra harus menekan bel. Pemuda itu melihat tumpukan kardus besar di garasi. Gianno sudah menjual rumah ini. Jujur, kalau Andra punya uang, dia akan membeli rumah penuh kenangan ini. Namun, uang 100 rb saja tidak ada di dalam dompet lepeknya.

“Masuk....”

Suara berat Gianno mengejutkan Andra yang sedang melamun. Bukannya masuk, Andra malah membuka isi tas besarnya, Gianno tidak tahu apa yang dibawa mantan kekasihnya itu.

“Saya gak lama pak” Andra berdiri lalu memberikan sebuah bingkisan berbentuk kotak berukuran 30x40 tersebut.

“Harusnya....ini hadiah buat first anniv kita pak—” Anandra gugup.

“Tapi—”

Gianno hanya memandangi bingkisan itu. Anandra mengusap rambut basahnya kebelakang, menelan ludah dan membasahi bibir bawahnya.

“Itu untuk hadiah pernikahan bapak sama kak Juna” Anandra senyum kecil.

“Mau disimpan, mau dibuang....itu hak bapak,”

“Setidaknya, janji saya terpenuhi. Pengen ngelukis bapak, jadi gak punya hutang” Anandra menatapnya dalam.

Gianno membalas tatapannya. Dua bulan mereka berpisah, tidak banyak yang berubah memang. Hanya status keduanya yang berbeda. Anandra menunggu Gianno berbicara, namun jadinya mereka hanya saling bertatapan. Tidak bersuara. Anandra masih sama. Tatapan penuh cinta, hangat, penuh kagum, dan sayang yang begitu tulus. Sementara Gianno, tatapannya penuh dengan keraguan, dan tidak sehangat dulu.

“You are still the love of my life, Gianno” bisik Anandra.

“Mungkin kamu anggap itu hanya gombalan anak kecil, tapi sayang....”

Anandra menahan diri untuk tidak menyentuh Gianno. Tangannya bergetar hebat, begitu pun dengan bibirnya.

“Lagu Queen itu, memang buat kamu,” sambungnya.

“Terima kasih kepada Fredie Mercury yang sudah menulisnya, aku merasakan posisi dirinya juga”

Gianno masih bungkam. Hujan semakin deras, bahkan terdengar beberapa kali petir menyambar. Anandra menghela nafas pelan, lalu mundur perlahan, berniat pulang. Namun saat bahu kanannya terkena rintik hujan, sebuah tangan melingkar di lengannya.

“Hujan” Gianno menahannya.

“Saya bawa mantel kok” Anandra senyum.

“Motor bapak— kan suka mogok” bisiknya. Anandra tidak bisa mendengarnya karena derasnya hujan.

“Masuk”

Gianno menariknya kembali masuk. Anandra pasrah, dia membiarkan ujung jaket hitam lusuhnya ditarik Gianno. Mereka pun masuk ke dalam rumah. Anandra mencelos karena semua barang dan furniture sudah di kemas. Tidak ada sofa, tidak ada lemari kaca yang penuh dengan piagam penghargaan Gianno. Tidak ada— potret dia dan pria yang kini sibuk menyeduh teh hangat itu. Bahkan dapur pun sudah bersih. Hanya tinggal meja makan saja. Anandra memandang ke sekeliling, otaknya memutar memori indah yang terjadi selama dirinya tinggal bersama Gianno.

'PAAAK! HELM AKU MANA? ADA RAZIA MASAAA?!'

'Anandra filmnya mulai!'

'ANANDRA HANDUK ITU DI JEMUR KE BELAKANG BUKAN DI GELETAKAN DI SOFA!'

'Yaaaang! Ada cuangki mau gak?'

'Peluk...dingin' mereka berdua berpelukan di sofa.

'Ulangan aku 100 loh?! Gak mau kasih kiss gitu?'

Anandra terkekeh pelan mengingat kenangan itu. Kenapa waktu begitu cepat berputar.

'Anandra ada tikus!'

'TELEPON DAMKAR?!'

'KOK DAMKAR? KAMU TAKUT—'

'AAAAAA!' Mereka berdua naik ke atas sofa sambil merangkul pinggang satu sama lain.

'DAMKAR TELEPON DAMKAR SI JERRY NYA BAWA PASUKAN!'

Anandra tidak sadar sudah berdiri di belakang bahu lebar Gianno. Setiap pagi di hari Minggu, akan ada rutinitas Anandra yang manja dan memeluk pinggang Gianno yang sedang mencuci piring. Akan ada percakapan ringan, berakhir kecupan manis.

“Aku gak mungkin datang nanti...” Anandra memeluk Gianno erat dari belakang.

“Jadi— dengarkan semua ucapanku” Anandra mematikan kompor listriknya terlebih dahulu.

“Hari ini, aku masih bisa bebas, istilahnya, meluk kamu, ketemu kamu, ngobrol sama kamu, kelak— saat kamu resmi menikah dengan orang lain, aku gak bisa begini lagi”

“Jadi izinkan aku buat meluk kamu untuk terakh— terkahir kalinya”

Gianno menunduk, air matanya keluar begitu saja. Anandra mendekap bahu dan pinggangnya begitu erat.

“Sumpah demi Tuhan, aku sayang kamu Gianno”

“Saat pertama kali bertemu kamu, aku udah jatuh cinta”

“Setahun aku berusaha mengejar kamu, hingga akhirnya kamu sempat jadi milik aku untuk 10 bulan”

“Kenapa singkat sekali? Its not fair for me...” lirihnya.

“Aku gak ikhlas kamu dipinang orang lain to be honest, aku gak bakal pernah ikhlas, tapi—”

“Itu tidak akan mengubah situasi. Itu hanya akan menyakiti diri aku sendiri,kan? So I learn to let you go...”

“Jadi....Gianno, terima kasih atas semua pelajaran dan kenangan yang kamu berikan untuk aku, itu sangat membantu dimasa depan nanti”

“Pesanku, jangan banyak begadang, makan yang banyak, semangat ngedosennya, banyak tersenyum karena senyum kamu itu indah, jangan banyak pikiran, karena aku gak bisa nemenin kamu lagi, jangan terus kelupaan bawa sesuatu karena aku gak bisa nganterin lagi nanti”

“Semoga pilihan kamu lebih dewasa dari aku, lebih—menyayangi kamu dibanding aku, lebih membahagiakan—”

“Kamu. Kak Juna baik, aku yakin. Dia cocok bersanding dengan kamu sayang. Dia enggak kekanakan seperti aku—”

“Jangan sedih, karena kalau bapak sedih kerasanya sampai ke aku juga, karena nanti kalau bapak sedih, aku gak bisa ngehibur lagi”

Be happy Gianno. Aku selalu mendoakan kebahagian kamu sampai kapan pun. Menjauh dari manusia toksik yang merugikan kamu, yang baik kepada mahasiswanya, selamat atas kenaikan pangkatnya, kamu kaprodi sekarang”

“Tapi— jika hal buruk terjadi menimpa kamu nanti, kamu disakiti oleh siapapun, dan butuh bahu untuk bersandar....”

“Aku selalu siap untuk dijadikan sandaran kamu”

Gianno menangis, rasanya untuk menyesal pun sudah terlambat. Anandra menatapnya dari samping, ada senyuman manis dibibirnya, sekalipun air mata membasahi pipinya.

“Tapi itu gak bakal terjadi. Kamu akan selalu bahagia, kamu dijauhkan dari segala sesuatu yang akan membuat kamu sedih, karena aku selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu”

“Hikss—” Gianno memeluk Andra erat, pria itu membalikan tubuhnya.

“Maaf....” lirihnya. Anandra menggeleng cepat.

“Tidak ada yang salah. Disini aku yang gagal, tapi semuanya sudah terjadi”

“Aku gagal karena buat kamu jenuh” Anandra menangkup pipinya.

“Anandra...” bisik Gianno.

“Bahagia ya, pak?” Andra tersenyum tulus.

“Kalimat bahagia kamu bahagia aku itu bukan mainan, itu doa aku setiap hari” tuturnya.

“Aku cinta kamu. Selalu. Tapi katanya, kasta tertinggi dalam mencintai itu, merelakan....”

“Merelakan orang yang kita cintai bahagia dengan pilihannya.”

Anandra mengecup dahi pak dosen kesayangannya itu cukup lama. Gianno meremat pergelangan tangan Anandra. Pria 25 tahun itu masih menangis, sementara Andra sudah tidak menangis. Dadanya sedikit lega, tidak sesesak dulu.

“Bohong....” gumam Gianno. Anandra menatapnya.

“Kamu gak rela Anandra, aku tau....” ucapnya. Anandra tertawa pelan.

“Yang punya hati aku, jangan sok tau” Anandra melepaskan tangkupannya namun ditahan Gianno.

“Aku bisa batalin semuanya....” Gianno menatap Anandra.

Just say it” tatapnya penuh harap.

Ask me to stay...” bisiknya.

“Kamu bahkan ngehapus nomor hp aku? Why should I asking you to stay?” Ucap Anandra.

“Itu—”

“Canda pak. Aku udah bilang, keputusan kamu jangan sampai di sesali, okay?”

“Kita tidak bisa bersama lagi”

“Kita bisa”

“Kita. Tidak. Bisa.”

Gianno menangkup pipi Anandra, kemudian memagut bibirnya lembut. Anandra membalas ciuman itu, air matanya turun kembali membasahi pipi. Tak lama pemuda itu melepaskan tautan bibir mereka. Andra mundur satu langkah. Gianno menghampirinya, namun lagi pemuda itu melangkah mundur.

“Anandra....” lirihnya.

“Pak aku pun gak mau putus”

“Tapi....semuanya sudah selesai. Kamu akan menikah, dan aku gak mau menjadi pihak yang menggagalkan pernikahan seseorang” tutur Anandra.

You said, you are still love me

Yes, I do. I love you so much Gianno, tapi kamu mau menikah”

“Kak Juna baik, aku percaya.” Ujar Anandra.

Goodbye, Gianno.

Anandra pergi dengan langkah besar keluar rumah Gianno. Sontak dia langsung di kejar olehnya. Mantan kekasih Gianno itu langsung bergegas mengenakan helm, dan menstater motor mio jadul tersebut. Keadaan mendukung karena motor itu langsung nyala, dan Gianno tak sempat meraih lengan Anandra. Pria itu menangis sambil memeluk kedua lututnya.

“Anandra, I love you too....” bisiknya.

Please stay.....


Suara alarm yang berasal dari ponsel Mingyu membangunkan pemuda itu. Suara gaduh dari penghuni kosan terdengar samar-samar. Mingyu mengucek matanya, memainkan rambutnya sebentar, kemudian duduk. Saat dia menengok ke samping, kasur berukuran queen size itu kosong. Wonwoo tidak ada. Mingyu merapihkan rambutnya, kemudian merapihkan seprai kasur Wonwoo.

Suara pintu kamar mandi terbuka mengalihkan perhatiannya. Wonwoo keluar, dengan rambut basah dan hanya mengenakan handuk dipinggangnya. Mingyu tersenyum lalu menghampiri Wonwoo. Pipinya di tangkup, kemudian mengecup bibir kakak tingkatnya itu.

“Kenapa gak bangunin gue sih? Kan bisa mandi bareng” ujar Mingyu.

“Gu....” panggil Wonwoo.

“Hm?”

“Kamu kenapa begini?”

Mingyu berhenti mengusap pipi Wonwoo.

“Kamu punya Bona, tapi kenapa kamu gini ke aku?” Bisiknya.

“Aku tidak mau jadi.....perusak hubungan orang,” Wonwoo menatap Mingyu.

“Stop ya? Aku udah seneng kamu jadi temen aku, aku bakal lupain semua yang terjadi antara kamu dan—”

Mingyu menghimpit Wonwoo ke tembok, kemudian meraup bibir laki-laki didepannya. Ciuman lembut, penuh perasaan, manis, dan sedikit menuntut. Wonwoo tidak mau salah tangkap, namun dia merasakan perasaan lebih Mingyu padanya. Tidak ada keraguan, tidak main-main, perasaan Mingyu tulus kepadanya.

“Kerasa?” Gumam Mingyu sesaat tautan bibir mereka lepas.

“Gue sempat denial kak,”

“Tapi ternyata udah dua bulan gue punya rasa lebih sama lo”

Wonwoo blushing, pipinya memerah, dan dia menunduk. Mingyu tersenyum kecil, lalu kembali mencium bibirnya. Kali ini Wonwoo membalasnya, dan mengalungkan lengannya di leher Mingyu. Mereka tenggelam dalam ciuman penuh kasih sayang itu, begitu tulus, tanpa saling mendominasi. Keduanya saling memagut, menghisap bibir mereka bergantian, Mingyu mendekap erat pinggang ramping Wonwoo, melepaskan handuk yang melilitnya, kemudian meremas pantat Wonwoo.

“Gue udah selesai sama Bona, kak....” ucap Mingyu. Wonwoo menatapnya.

“Kami putus semalam” Mingyu mengusap pipinya.

“Hubungan gue sama Bona udah gak sehat, lo tau, dan selesai—”

We broke up

Wonwoo mengangguk, Mingyu menarik dagunya agar dia tidak menunduk terus.

“Dan lo hadir, meyakinkan bahwa masih ada orang yang lebih baik dari dia” tutur Mingyu.

“Gue tanya dulu”

“Kak, lo suka gue?”

Wonwoo semakin memerah, tanpa sadar dirinya menggigit bibir bawahnya. Mingyu ikut menggigit bibir Wonwoo.

“Jawab dong” Mingyu meluruskan lengannya di samping kepala Wonwoo, menatapnya intens.

“Iya.....” Wonwoo mengangguk pelan.

“Iya?”

“Iya aku juga suka kamu” Wonwoo menatapnya. Mingyu mengecup kening Wonwoo lama.

“Yuk, jadi pacar gue ya?”

Wonwoo tersenyum cerah, senyuman terindah yang menjadi favorit Mingyu dari 4 bulan yang lalu.


Hubungan mereka berjalan sampai sekarang. Sudah 6 bulan, dan kurang lebih 1 tahun mengenal satu sama lain. Wonwoo menunggu Mingyu di kostnya sambil sibuk dengan kertas data penelitiannya. Saat pemuda itu sibuk memilah data, pintu kamar Mingyu ada yang mengetuk. Kebetulan pintu kamar Wonwoo terbuka, jadi dia bisa mendengar dan bahkan melihat tamunya.

Wonwoo menegang saat melihat Bona muncul kembali setelah 6 bulan menghilang. Perempuan itu mengetuk pintu kamar Mingyu terus menerus. Perihal hubungan Wonwoo dan Mingyu, memang tidak semua orang tahu. Jadi tidak menutup kemungkinan, Bona pun belum mengetahuinya.

“Mingyu! Gyu! Buka!” Ucap Bona. Wonwoo hanya mengintip. Dia gusar.

“Gyu, buka!” Intonasinya mulai naik.

“Buka atau aku dobrak?!”

“Dia tidak ada”

Bona mengurungkan niat mendobrak pintu cokelat itu. Wonwoo berdiri di depan kamarnya, meskipun tangannya tremor karena takut, Wonwoo tetap memberanikan diri menghadapi Bona.

“Kemana dia?” Tanyanya.

“Pindah” jawab Wonwoo.

“Lo pikir gue percaya?” Bona mendecih. Wonwoo meremat jemarinya, dia harus berani.

“Saya punya kunci kamarnya kalau gak percaya”

Wonwoo mengambil kunci kamar Mingyu, kemudian menghampiri Bona yang memandangnya sinis. Wonwoo membuka kamar 06 itu, dan— kosong. Bona masuk, wajahnya berubah menjadi sendu dan meremas rambutnya.

“Kemana pindahnya?” Bona meremat bahu Wonwoo.

“Kurang tahu” Wonwoo mundur. Bona menangis.

Dibalik wajah datar dan dinginnya, Wonwoo was-was takut Mingyu muncul. Perihal kepindahan pacarnya, Mingyu memang pindah. Tepatnya, pindah ke kamarnya. Mereka satu kamar sekarang, dan Bona tidak tahu.

“Dia ghosting gue udah 6 bulan” lirihnya. Wonwoo menutup kembali kamar Mingyu.

“Bukan urusan saya” sahut Wonwoo sambil sesekali melirik ke gerbang.

“Mingyu brengsek”

Bona melangkahkan kakinya keluar kost itu. Wonwoo lega, karena Mingyu baru datang saat mobil jazz Bona pergi. Pemuda itu tersenyum lebar sambil menggoyangkan plastik berisi fast food favorit keduanya. Wonwoo tersenyum cerah, lalu merankul pinggang Mingyu erat.

“Nanti Minggu ikut yuk yang?” Ajak Mingyu.

“Kemana?” Wonwoo menyantap makanannya.

“Festival band di fakultas aku, lumayan guest stars-nya” ucap Mingyu.

“Malam?”

“Hmm, sampai jam 3 paling malam” Mingyu menatapnya. Wonwoo menimang ajakan pacarnya itu.

“Kalau entry data aku selesai sampai rabu, aku ikut, tapi kalau enggak skip ya?”

Mingyu merenggut lucu. Cowok itu langsung sibuk mengaduk McFlurry nya. Mingyu merajuk Wonwoo langsung menyuapinya dengan burger sisa miliknya, dan langsung dikunyah.

“Makanya bantuin ya?” Wonwoo senyum gemas.

“Tapi datang” Mingyu memohon.

“Gak janji” Wonwoo memamerkan giginya. Mingyu langsung menerkamnya, dan Wonwoo tertawa sembari mendorong bahu Mingyu yang berusaha menggigit hidungnya.

“Ya masa nanti aku jomblo? Yang lain bawa pasangan yang” Mingyu masih merajuk.

“Temen kamu tau?” Wonwoo teringat Bona tiba-tiba.

“Tau dong, mereka tau kamu cowok aku” Mingyu mulai membantu Wonwoo meng-entry datanya.

“Gak papa?” Wonwoo berbisik. Mingyu meliriknya.

“Gak papa apanya sayang?”

“Kamu.....pacaran sama aku?”

Mingyu terkekeh pelan, lalu mengusak rambut hitam Wonwoo gemas.

“Hao juga pacarnya cowok,” ucap Mingyu.

“Bukan itu maksudnya” Wonwoo menghela nafas.

“Gak papa, kamu gak bakal aku biarkan di ganggu mereka” Mingyu mengecup punggung tangan Wonwoo.

“Nanti kamu sama aku aja tenang” Mingyu senyum.

“Ikut ya?? Kita sampai jam 12 aja mau?”

Akhirnya Wonwoo mengangguk. Mingyu senyum semakin lebar.

“Kuy cicil entry-nya, biar rabu malam kelar” tutur Mingyu. Kemudian keduanya fokus dengan kegiatan masing-masing.


Setelah selesai menyicil entry data untuk skripsi Wonwoo, sepasang kekasih itu terlihat berjalan bergandengan tangan menyusuri trotoar yang sepi. Mereka lapar mendadak, di tengah malam, tepatnya pukul 02.25 WIB. Walaupun pagi buta, pertigaan tak jauh dari kost Wonwoo dan Mingyu tetap ramai. Banyak berjajar pedagang kaki lima yang menjual beragam jenis makanan. Wonwoo ingin nasi goreng sapi, sementara Mingyu beli nasi bakar.

“Gu....” Wonwoo menyandarkan bahunya, mereka sedang menunggu pesanan masing-masing.

“Hmm?” Mingyu meliriknya.

“Pantai yuk?”

“Wow, tiba-tiba banget yang”

Wonwoo memainkan jemari berisi Mingyu. Pemuda itu tersenyum kecil.

“Aku belum pernah kesana soalnya” ucap Wonwoo.

“Hah?” Mingyu kaget. Wonwoo ngangguk pelan.

“Terakhir pas umur 2 tahun, aku gak ingat” bisiknya.

“Hmm....yaudah, minggu depan mau?” Tawar Mingyu. Wonwoo antusias.

“Yuuuk! Piknik seru kali ya??? Terus entar kita buat camping car gitu?! Aku udah banyak lihat referensi—”

Mingyu hanya memandangi Wonwoo yang begitu antusias. Senyumnya begitu lebar, indah, dan membuat jantung Mingyu berdebar setiap melihatnya. Mingyu tidak mengerti, Wonwoo itu sebenarnya ada apa sehingga dia banyak murung sebelum bertemu dengannya? Mingyu masih belum tau banyak soal Wonwoo.

“Guu??” Wonwoo noel pinggangnya.

“Aw! Apa?” Mingyu kaget.

“Ayo dimakan” Wonwoo menunjuk pesanan Mingyu.

“Kamu tuh....” Mingyu merangkul pinggang Wonwoo.

“Apaa?”

“Senyumnya jangan bikin jantung orang jadi gak sehat gini, sayang” Mingyu mengecup pipinya. Wonwoo merona.

“Tapi kamu suka” bisik Wonwoo.

“Tentu saja, apalagi aku penyebab kamu senyum terus” Mingyu mengusak rambutnya. Wonwoo tertawa saja.

Saat tengah menyantap pesanan, Mingyu dan Wonwoo diperhatikan oleh seseorang. Seorang pemuda dengan hoodie navy dan beanie senada terus memperhatikan gerak-gerik keduanya. Mulutnya menghisap rokok, dan ada senyuman miring dibibirnya.

“Konfrim bos, si Wonwoo pacarnya” ucapnya sambil menelepon.

'Pastikan kalau cowok rubah itu datang ke festival'

“Beres”

Pemuda itu pergi, sambil menginjak rokoknya.


Kalau Anandra mabuk, maka dia akan mendadak short amnesia, a.k.a tidak akan mengenali orang yang dia lihat.

Lalu bagaimana kalau Gianno mabuk berat? Sejujurnya, Gianno itu begitu suka minum, dia lebih senang kopi atau enggak teh hijau. Namun, dalam beberapa kesempatan, dia terpaksa berinteraksi dengan minuman keras. Gianno harus bisa mengontrol diri agar minuman keras itu tidak mempengaruhi tubuhnya.

Namun, pada suatu hari, Dinar mengajaknya minum di bar milik Hans. Dalihnya adalah grand opening bar indoor tersebut. Awalnya Gianno hanya menyicipi saja, satu gelas kecil. Lehernya terbakar seiring cairan itu mengalir di tenggorokannya. Dinar hanya tertawa, sudah jelas mabuk berat jangan ditanya lagi kalau dia. Bisa jadi Dinar tiba-tiba mengaku jadi pemain sinetron 7 manusia harimau. Tapi malam itu, Dinar normal, namun ya— miris. Ketawa sambil menangis, dan tepuk tangan tidak jelas, karena rumah tangganya sedang dirundung masalah.

Gianno masih sadar, dia tidak mabuk sama sekali. Karena Dinar super mabuk, membuatnya merasa punya tanggung jawab. Takut berulah, atau mungkin salto tiba-tiba, (dulu pada saat perayaan wisuda, Dinar beneran salto karena mabuk berat). Tapi Galih terus memprovokasinya. Diledek payah, diledek cupu, dan ledekan basi lainnya. Kalau Gianno mabuk, hanya Andra yang bisa mengendalikannya. Kenapa?

Karena—

TIIN!

Suara klakson mengejutkan Andra yang sedang bersantai di balkon rumahnya bersama Dolby dan Raku. Pagar kayu berwarna cokelat itu terbuka otomatis, Anandra berdiri menajamkan penglihatannya, Gianno masuk, berjalan seperti zombie. Andra langsung bergegas turun di ikuti dua anabulnya.

Sementara Gianno, sudah tak sadar, a.k.a, mabuk berat. Dalam bayangannya, dia seperti berada di tengah kerumunan, dan banyak orang yang menyenggol bahunya. Makanya dia berjalan sempoyongan seolah tengah ditabrak bahunya.

“Gianno?”

Anandra langsung menangkup wajahnya. Gianno menatapnya sambil terkekeh pelan, lalu mengalungkan tangannya.

“Bau anjir....” batin Anandra. Gianno memang bau alkohol.

“Halo brondongku?” Gianno mengecupnya.

“Halo pak kaprodi pemabuk” Andra menggendong Gianno dipunggungnya.

“Aku gak mabuk” Gianno cemberut. Anandra membawanya masuk, kemudian mendudukannya ke sofa.

Gianno menyipitkan matanya sesipit mungkin, lalu tersenyum lebar. Wajahnya merah padam tanda mabuk berat, kemudian dia menangkup rahang pemuda dihadapannya.

“Gianno kamu beli apa?” Anandra meraih ponsel pintar milik suaminya itu.

“Aku beli pulau di Hawaii” Gianno mendusel manja.

Hikk— kita bangun tambang emas disana” sambungnya.

“Ngaco! Astaga!” Anandra kewalahan karena Shera, PA Gianno, kelimpungan mendapat notifikasi bosnya membeli pulau pribadi.

“Beli apalagi?” Anandra menatap Gianno yang sedang asyik memainkan daun telinganya.

“Aku jual setengah saham tambang batu bara kamu”

Anandra sesak nafas, tapi dia selangkah lebih maju? Yang jelas kalau Gianno mulai membeli atau menjual sesuatu yang tidak masuk akal tanpa ada angin, berarti dia sedang mabuk. Andra sudah tahu kebiasaan suaminya itu, soalnya dulu kejadian. Rumah mereka yang lama, Gianno gadaikan, dan uangnya dipakai membeli mobil BMW. Pada saat itu chaos. Andra pusing mengurusnya, dia dibantu papah Rafael yang kebetulan seorang pengacara untuk menyelesaikan semuanya. Pada akhirnya, Dinar turun tangan dan menghubungi keluarga Gianno.

Dan sekarang? Tanpa sadar, Gianno membeli pulau, dan menjual saham tambang batu bara Anandra. Sudah jelas itu menimbulkan kekacauan, namun semuanya teratasi, karena sudah ada wanti-wanti sebelumnya. Meskipun tetap membuat panik satu dunia. Bagaimana kalau tiba-tiba Gianno menghubungi petinggi militer dan meminta rudal balistik menghantam musuhnya?

“Aku masih dendam” Gianno menekan pipi Anandra dengan dua ibu jarinya.

“Soal?”

“Amsterdam.....”

“Yang, itu kan udah kita kubur di palung Mariana” Andra dramatis.

“Tau gak?” Gianno mengelus pipinya, bau alkohol menyapa penciuman Andra.

“Apa?”

“Aku beneran mau rudal pesawat dia” Gianno datar. Andra merinding.

“Gianno”

“Persetan soal nyawa yang lain, aku marah”

“Gianno kamu serem sumpah”

“AKU TUH HAMPIR GILA ANANDRA!”

Anandra mendekapnya, namun Gianno mendorongnya. Lalu berdiri, Menatapnya nyalang. Andra menghela nafas.

“SEENAKNYA KAMU TIDUR SAMA ORANG LAIN?! MIKIR GAK SIH?”

“Gianno....” Andra dirundung rasa bersalah.

“Sayang...” Anandra berdiri lalu menangkup pipinya. Gianno menangis keras.

“Aku benci orang itu” bisiknya.

“Dia gak salah, udah—”

“Kamu dipukul sampai babak belur sama pacarnya, tapi aku?”

Andra hanya tersenyum. Ah kejadian itu membuat wajah tampannya bengkak selama lima hari.

“Aku gak nyentuh dia sedikitpun” ucap Gianno.

“Terus kamu mau apa? Ya kamu mau ngerudal dia— jangan itu kriminalitas” Andra meremat jemari Gianno, membawanya ke bahu tegap miliknya.

Mereka berdua berdansa di kamar. Emosi Gianno sering meluap tiba-tiba apabila tengah mabuk, mungkin karena ketika sadar, dia sering memendam amarahnya. Terbukti, sumpah serapah atas kejadian di Amsterdam memenuhi kamar besar itu. Gianno memaki Anandra, dan Andra menerimanya karena tahu dia salah. Makanya Gianno menghindari alkohol, karena pasti tumpah semua keluh kesahnya.

“AKU BENCI KAMU!” Jeritnya. Andra hanya memeluk Gianno.

“Iyaa maaf sayang....” Andra mengusap punggungnya.

“Tapi aku lebih sayang sama kamu, hikss—” lirihnya.

“Aku gak suka kamu terlalu deket sama Nauval”

“Aku gak suka kalau Martin bawa mobil kita”

“Aku gak suka kalau kamu akrab sama mas Zidan”

“Aku gak suka kamu baik sama semua orang, karena mereka ujungnya salah paham”

“Aku gak suka kamu ngobrol sama Gianna”

“Aku cemburu kalau kamu sudah bersama grandpa terus aku dilupain”

“Aku gak suka kamu main sama Dinar....”

“Aku maunya kamu sama aku aja, kemanapun, jangan sama yang lain”

Anandra hanya mengangguk, dia sebenarnya peka dengan semua hal yang tidak disukai Gianno. Tapi menurut Andra, selama dia tahu batas dan tidak melangkah jauh, seharusnya bukan jadi masalah. Gianno itu overprotektif sebenarnya, cuma tidak terlihat, tapi Andra merasakannya dengan jelas.

“Tapi aku gak mau disebut over.....” Gianno menangis di dadanya.

“Karena aku mau buat kamu nyaman”

“Aku mau jadi pasangan yang pengertian hikss—”

“Aku mau jadi yang terbaik”

Anandra senyum, Gianno sudah menjadi yang terbaik dari awal. Tiba-tiba Gianno berjongkok, memeluk perutnya, dan—

“Keluar juga akhirnya” Anandra lega karena Gianno mengeluarkannya.

“Andra....” Gianno meremat tangannya.

“Iya sayang...” Andra menekan tengkuknya, dan Gianno kembali muntah.

“Pusing? Kuat jalan gak?”

Gianno pingsan, dan itu akhir dari segala drama Gianno mabuk. Paling nanti pagi, dia akan merasa sakit sekujur tubuh, namun semua sesak di dadanya akan menghilang.

Andra menidurkan Gianno di bathup, melepaskan pakaiannya yang kotor karena muntah, mengelap wajahnya dengan handuk basah, lalu mengenakan pakaian tidurnya. Kemudian menggendongnya ke kamar, dan merebahkannya di atas kasur king size tersebut. Setelah itu, dia membereskan tumpahan isi perut Gianno, lalu kembali ke kamarnya. Dolby dan Raku juga Anandra hanya memandangi wajah damai Gianno yang terlelap. Sangat tampan, dan Anandra semakin cinta.

“Mommy kalian tuh kalau kata Gita Gutawa—”

“Kau begitu sempurna, dimataku kau begitu indah~”

“Meskipun mabuk berat”

Anandra ikut membaringkan tubuhnya, disusul Dolby yang merebahkan diri disamping ranjang, dan Raku yang tidur si sofa kecil kamar mereka. Wajah mulus Gianno diusap oleh Andra, dan ucapan rasa syukur terus ia panjatkan karena beruntung memiliki pria sesabar Gianno.

“Gianno?”

“Terima kasih....” Andra berbisik.

“Untuk segalanya, untuk semuanya,”

“Aku sayang kamu.”


'Halo, apa benar ini dengan Gianno?'

Suara pria asing menyapa telinga Gianno.

“Betul, siapa ini maaf?”

'Saya karyawan Starry Night Club, pemilik ponsel ini mabuk berat, dan terus merengek—'

Gianno memijat pelipisnya. Kemudian ia menghela nafas. Dari semua kontak nomor diponsel Andra, kenapa harus miliknya yang dihubungi.

“Saya tidak bisa menjemput,” Gianno menutup laptopnya.

'Tapi kontak darurat nomor satunya anda mas'

“Telepon temannya, Radika atau Rafael, atau Askal”

'Mereka datang bersama, temannya sudah pulang dijemput orang tuanya'

Gianno memejamkan matanya. Kemudian mematikan panggilan tersebut. Pria 25 tahun itu langsung meraih kunci mobil, dan juga jaket parasit hitamnya.

Sementara di club itu, Anandra tidur meringkuk memeluk tubuhnya. Ini pertama kalinya dia mabuk berat. Pertama kalinya menyicip alkohol, pertama kalinya main club malam juga. Berkat koneksi orang dalam Askal, dia dan yang lainnya bisa masuk dengan bebas tanpa perlu menunjukan kartu identitas. Anandra terlalu kalut dan galau karena putus dengan Gianno.

“Brengsek....gini rasanya mabok” gumam Andra dengan suara seraknya.

“Nyesel anjing” bisiknya, lalu mengeratkan pelukan pada lututnya.

“Jangan bilang Gianno, hikk— dia makin benci gue nanti” lirihnya.

“Please....jangan kasih tau dia”

Namun itu terlambat. Gianno sudah dihadapannya. Setangah duduk dengan lutut kanan di tekuk, samar Anandra bisa mendengar percakapan seseorang. Pandangan Andra sudah buram sekali, kepala berputar, perut sakit, sekujur tubuh remuk, dan sangat lemas. Tapi, aroma parfum familiar menghampiri penciumannya.

“Parfum dia mahal...siapa yang nyontek ya?” Gumamnya. Gianno menunduk, lalu menarik lengan remaja labil itu.

“Sakit! Pelan-pelan napa nolong itu!” Seru Andra saat dipaksa berdiri disaat kepalanya pusing berat.

“Bisa tidak jangan merepotkan terus?” Gianno menatapnya nyalang. Andra yang mabuk berat tertawa garing, lalu sekuat mungkin membuka mata, sayang dia tidak bisa melihatnya dengan jelas.

“Niat bantuin gak? Kalau enggak pergi” Andra menabrak bahunya, lalu berjalan sempoyongan. Benar, dia tidak tahu Gianno yang menjemputnya.

Gianno berjalan di belakangnya, dia membiarkan mantan kekasihnya itu jalan sendirian. Sesekali Andra menabrak dinding disampingnya, tersungkur kala naik tangga, dan Gianno tak menolongnya sama sekali.

“Masuk” Gianno menyeretnya masuk ke dalam mobil civic-nya.

“Siapa sih anjing sok akrab banget” Andra mendorong dadanya. Gianno membuang muka tidak percaya.

“Sudah merepotkan ditambah tidak sopan” dengus Gianno. Tapi Gianno harusnya sabar, Andra mabuk berat. Wajar kalau kasar.

“Suara lo kayak dia” Andra bersandar ke mobil sedan itu, perlahan tubuhnya merosot.

“Bangun” perintah Gianno. Andra terduduk dengan lutut yang ditekuk.

“Jangan bilang dia please” bisik Anandra. Gianno meremas rambutnya.

“Jangan bilang Gianno....”

Gianno hanya memandanginya. Wajah Andra kusut, basah karena keringat, dan sendu sekali, tenggelam diantara lengannya. Pemuda itu terisak, lama-lama isakan semakin keras.

“Gue salah apa diputusin dia....”

“Karena gini, susah diatur, labil, kasar, mabuk padahal masih dibawah umur,” ucap Gianno.

“Hikss—” Anandra menangis sambil memeluk lututnya.

“Kan bisa dibimbing....” lirih Andra. Gianno bungkam.

“Dia bisa marahin gue tanpa harus mutusin...”

“Bangun Anandra, ini sudah subuh”

Gianno menariknya agar berdiri, Anandra limbung, tubuhnya terjatuh menabrak Gianno. Refleks pria itu mendekapnya erat.

“Titip salam buat dia ya?”

Gianno diam. Jantungnya berdebar, kenapa afeksi ini selalu muncul?

“Bilang, kalau nanti Arjuna nyakitin dia, pulang ke gue, gue selalu terbuka untuknya” bisik Anandra.

“Sampaikan juga—”

Gianno memeluknya erat tanpa sadar.

“Bahagianya dia, itu bahagia gue. Senyum dia, senyum gue, tangisannya....tangisan gue juga”

“Bilang pada Gianno, kalau dia akan selalu jadi cinta dalam hidup gue” Andra tersenyum kecil.

“Sampai kapan pun. Semoga bahagia sama pilihannya sekarang ya.”


Gianno tak berhenti memandangi wajah damai Andra yang tidur pulas di sofa rumah mereka. Bekas muntahan anak itu masih tercacar dimana-mana. Entah, dia ingat kilas balik dulu saat Anandra mabuk berat untuk pertama kalinya. Andra baru pulang dari pesta ulang tahun Miko. Mereka semua minum-minum, dan pastinya Andra mabuk berat.

“Mau titip salam buat Gianno lagi gak?” Bisik Gianno. Andra bergumam tidak jelas, matanya bergerak tidak nyaman.

“Anandra?”

Suaminya itu bangun. Namun Gianno tahu, Andra masih belum sadar. Anak itu hanya membuka matanya, menatapnya datar dengan alis menukik tajam.

“Siapa lo?” Andra bertanya.

“Temen Gianno” jawabnya.

“Dia marah gue mabuk?”

“Hmm, banget”

“Pantesan gak mau jemput”

Gianno menahan tawanya. Dia tidak mengerti, kenapa setiap mabuk Anandra suka mendadak tidak mengenali orang dihadapannya.

“Lagian kenapa mabuk?” Tanya Gianno sambil duduk sila disamping sofa yang ditiduri Anandra.

“Martin ultah, jadi pesta” Andra menggaruk pelipisnya.

“Gianno tau harusnya, dia peka kalau gue bakal mabuk” lanjutnya.

“Tau dia bakal marah?” Gianno menangkup dagunya. Andra menatapnya lekat.

“Mata lo mirip dia, siapa sih?”

Gianno ketawa akhirnya, Anandra merenggut tidak suka. Gianno mengecup pipinya, dan Andra langsung duduk tegang.

“Gue udah nikah!” Semprotnya. Gianno jadi ingin isengin.

“Ya terus? Kan Gianno gak ada ini”

Gianno duduk dilahunannya. Anandra berontak, namun karena lemas, Gianno berhasil mendekapnya erat.

“Jangan.....gue gak mau dia kecewa lagi” Andra menahan tangisnya.

“Kenapa kecewa?” Gianno tersentuh.

“Gak perlu tau! Lepasin anjing, gue udah punya suami!” Andra berontak kembali. Gianno menciumnya.

“Kamu tuh....aneh banget”

Anandra mengerjapkan matanya, namun tetap, didepannya itu menurutnya bukan Gianno.

“Kok bisa gak ngenalin suami sendiri pas mabuk?” Gianno merapihkan rambutnya. Andra menekuk alisnya hingga seperti angry bird.

“Suami gue Gianno, lo siapa?”

Gianno ketawa gemas. Dia mengecup bertubi-tubi pipi Anandra, dan langsung diusap kasar oleh pemuda 17 tahun itu. Bukannya kesal atau sedih, Gianno kembali menghujami wajah Anandra dengan kecupan manis. Anak itu mengerang tidak suka, namun Gianno tidak segera berhenti.

“Aku sayang kamu anak nakal....” Gianno menangkup wajah Andra yang kesal dan menatapnya tidak suka.

“Jangan keseringan mabuk ya? Kurangi rokok atau vapenya, belajar yang rajin biar bisa masuk PTN, jangan berhenti mencintai aku juga” tutur Gianno.

“Tcihh, siapa lo pengen gue cintai?”

“Siapapun aku, kamu akan selalu mencintai aku Anandra sayang” Gianno mengecup keningnya.

“Karena kata kamu, aku ini cinta dalam hidup selamanya.”

“Cinta dalam hidup gue Gianno”

“Iya, emang Gianno”

“Bukan lo”

Gianno tertawa lagi. Andra kepalanya sakit, dan langsung bersandar ke bahu Gianno.

“Jangan bilang Gianno ya?”

“Soal apa?”

“Mobilnya lecet kena pembatas jalan”

Gianno langsung diam, Anandra memeluknya erat, menciumi bahunya. Tangan pria itu mengepal kesal. Awas saja nanti kalau sudah sadar.

“Dipake siapa?” Gianno jadi dingin.

“Martin....yang Tesla lagi, jangan cepu ya?” Andra tersenyum polos. Gianno menahan amarahnya.

“Parah?”

“Duapuluh senti, lumayan panjang”

Anandra terkekeh pelan, lalu tangannya memainkan kancing cardigan Gianno.

“AAAKKKHHH!”

Erangan keras terdengar menggaung di ruang tengah rumah besar itu. Gianno menjewer telinga Anandra. Wajahnya datar, tapi tenaganya kuat dan sangat menyakitkan.

“AAAAAHHH!”

Andra disemprot air dingin dari shower. Sembari dijewer, dia dibawa ke kamar mandi oleh Gianno yang emosi karena untuk kesekian kalinya mobil dia lecet.

“Dingiiin! Aduuuh GIANNO TOLONG!”

“SUMPAH DEMI APAPUN AKU BENCI KAMU!!” Gianno menyemprotkan air itu terus menerus kearah wajah tampan suaminya.

“GIANNO TOLONG!”

“TOLONG!”


Mungkin terlintas di benak kita semua apabila seorang mahasiswa hampir setiap saat dipanggil oleh salah satu petinggi kampus, yakni dekan, hal genting menimpa mahasiswa itu. Tapi tidak untuk satu mahasiswa, pengecualian untuknya, Anandra sering bolak-balik ke kantor dekan bukan untuk menghadap karena terlibat masalah.

Tapi....karena seseorang yang menjabat dekan itu adalah suaminya. Gianno. Ya, mereka sudah menikah hampir 2 tahun sekarang. Pasangan beda usia terpaut 10 tahun itu semakin terlihat bahagia dan serasi setelah mantap mengikrar janji suci mereka di Amsterdam saat menjelang tahun baru.

Semua heboh, terlebih untuk beberapa orang yang baru tahu mengenai pasangan manis itu. Acap kali ketika Anandra berjalan menyusuri lorong menuju kantor dekan, apabila ada mahasiswa lain yang melihatnya, mereka akan berbisik:

'Itu tuh! Andra suaminya pak Gian, dekan kita'

'Suami dekan Ilkom, Anandra tuh'

'Suaminya pak Gian, ganteng ya?'

Namun Anandra itu acuh, atau tepatnya tidak peka. Pemuda yang kini berusia 19 tahun itu berjalan riang menaiki tangga menuju kantor suaminya, Gianno. Pria itu buru-buru berangkat duluan, biasanya mereka pergi bersama, tapi katanya ada briefing mingguan, Gianno jadi berangkat duluan. Namun karena pelupa, Gianno tidak membawa ponselnya. Tadi saja dia menghubungi Anandra lewat telepon kantornya.

“Pak Gian,nya ada?” Andra pasti akan mengatakan itu apabila dia sampai di depan kantor sang suami.

“Masuk saja, beliau ada” sahut salah satu asisten Gianno. Setahu Andra namanya Indi.

Anandra permisi untuk masuk, dan menggeser pintu kaca buram tersebut. Tertulis di hadapannya nama sang suami lengkap dengan gelar akademiknya yang panjang seperti jalan Anyer sampai Panarukan. Gianno tersenyum manis menyapa Andra, pak dekan itu (Gianno masih beradaptasi karena kebiasaan dipanggil pak dosen), langsung mengalungkan tangannya ke leher Andra, dan mereka berciuman manis.

“Mmh...” Gianno melengguh pelan. Andra melepaskan ciumannya.

“Ini aku bawa sarapan, belum makan ya?” Andra membawa Gianno duduk di sofa putih ruangan tersebut.

“Makasih....” Gianno membuka tupperware ungu itu.

“Udah briefingnya?” Tanya Andra.

“Udah” angguk Gianno.

“Ada kelas?” Andra menyuapinya.

“Kelas kamu....”

Anandra terkekeh pelan, lalu dia kembali menyuapi Gianno. Ini adalah moment pertama dalam hidup keduanya bertatap muka di kelas sebagai dosen dan mahasiswa. Mata kuliah yang diampu Gianno memang hanya ada di tingkat dua saja, dan juga hanya di semester 4, jadi kesempatan Andra melihat Gianno menjadi dosen hanya sementara saja.

“Aku mau duduk di depan boleh?” Candanya. Gianno diam.

“Atau aku yang jadi asdosnya?” Andra senyum menggodanya.

“Kamu gak ada kelas pagi?” Gianno mengubah topik.

“Nggak, jadwal pak Susanto di undur ke sore, after kamu yang....”

Anandra merebahkan dirinya dilahunan Gianno setelah selesai menyuapi suaminya. Ruang kerja Gianno itu cukup luas, di dekor serba putih cokelat, membuat Andra kadang betah tiduran disana. Gianno hanya mengusap pipinya, membiarkan Andra tiduran dilahunannya.

“Aku kangen kamu pake seragam SMA” celetuk Gianno. Andra senyum lalu menatapnya.

“Dulu aja malu aku jemput pas pake seragam pramuka” dengus Andra.

“Kamu ganteng.....makanya aku malu, bukan malu kearah hal buruk” bisik Gianno.

“Tapi aku udah jadi mahasiswa, gimana dong?” Andra meremat jari Gianno, lalu mengecup punggung tangannya.

“Bisa gak jangan tumbuh lagi? Udah segini aja....” Gianno memainkan rambut Andra.

“Ngaco, aku meninggal dong?”

“Ih! Bukan gitu!”

“Kamu gak ada kerjaan, btw?”

“Ada kok”

“Jadi dekan pasti sibuk” Andra mendengus kembali.

“Akunya di cuekin” protesnya.

“Aku bahkan jadi dekan belum sebulan....” ucap Gianno.

“Pulang dari kampus mau bareng gak? Tapi nanti aku mau ketemu dulu dengan kaprodi Ilkom yang baru” lanjutnya.

“Siapa gitu?” Andra mendongakan kepalanya. Gianno berhenti ngelus rambut Anandra.

“Janur....”

Andra langsung diam, yang awalnya sibuk memainkan kukunya, lalu duduk dan merapihkan pakaiannya. Gianno menghela nafas, ternyata tensi panas antara Andra dan Janur itu masih kebawa sampai sekarang.

“Yang—”

“Kayak gak ada opsi lain aja?” Ucap Anandra.

“Bukan begitu” Gianno gusar.

“Yaudah sih, mungkin dia memang masuk kualifikasi dan CV-nya memenuhi syarat, semua orang juga percaya sama DIA.” Andra menekankan kata DIA.

“Yang.....masalah itu,kan udah selesai? Udah lama, pas dia jadi dosen juga kita banyak ketemu tapi as partner pekerjaan aja, selebihnya enggak ada interaksi” tutur Gianno.

“Tetap membekas. Aku pulang ya, aku bawa motor juga mau ke bengkel kak Dinar dulu” ujar Anandra.

“Yaudah aku ikut” Gianno menahan tangan Andra yang akan pergi.

“Kamu bawa mobil” ucap Andra. Gianno meremat jari Anandra.

“Soal pemilihan Janur, aku gak bisa seenaknya, ini keputusan bersama, bukan aku aja, Anandra.....tolong paham” Gianno mengecup punggung tangannya.

“Rapatnya pun bersama pak rektor, semua staff, dan aku memang punya wewenang untuk menolak, tapi aku butuh alasan konkret, dan aku tidak punya”

“Sesuai ucapan kamu, Janur masuk kualifikasi, dia kompeten, dan aku tidak bisa menolak soal kompetensi dia” terang Gianno.

“Iya aku paham, gimana sore nanti aja,” sahut Andra.

“Aku ketemunya sebentar, dan ada staff lain juga” Gianno berdiri, lalu mendekap Andra.

“Aku paham tensi kamu dengan dia itu masih panas....”

“Aku gak tahu kalau masalahnya bisa sejauh ini, tapi Anandra ingat, aku udah milik kamu, mau di kampus, di rumah, dimanapun, aku punya kamu”

“Aku suami kamu, kamu suami aku” Gianno blushing saat mengatakan kalimat itu.

“Aku sayang kamu juga, banget....” bisiknya.

“Iya, aku sayang kamu” Andra mengusap kepala Gianno.

“Jadi aku boleh ketemu?” Gianno memandangnya. Anandra jujur, dia tidak mau Gianno dan dia berurusan dengan pria jangkung tersebut. Namun nyatanya, takdir mereka masih belum selesai.

“Boleh jujur?”

Gianno ngangguk.

“Gak mau. Aku gak mau kamu ketemu dia, wakilkan saja”

Gianno sudah menebak. Anandra menyikap rambutnya kebelakang sambil membasahi bibirnya.

“Tapi aku tidak mungkin minta itu,kan? Ini soal kerjaan kamu, aku— tidak bisa melarang Gianno, meskipun hati aku gak ikhlas kamu urusan sama dia lagi”

“Jadi gak boleh?”

“Kalau aku disini sebagai suami, aku gak izinkan kamu ketemu dia”

“Tapi karena aku disini mahasiswa, dan kamu dekan aku, kamu berhak bertemu bawahanmu, tanpa perlu izin aku” tutur Anandra.

“Tapi kamu suami aku, mau dimanapun juga...” ucap Gianno.

“Makanya ikut yuk?” Lanjutnya.

“Aku gak mau berurusan sama dia lagi, mau urusan kampus sekalipun, dia juga bukan kaprodi fakultas aku” ujar Andra.

“Aku pamit, pasti udah ada gosip lagi karena pagi-pagi dipanggil pak Dekan” Andra menepuk lembut pipi Gianno.

Have a nice day pak dekan.” Anandra tersenyum sekilas, lalu keluar ruangan Gianno, meninggalkannya dengan dilema yang cukup berat.

Hingga akhirnya, Gianno membuat keputusan. Pria itu menelepon asistennya,

“Indi? Wakilkan saya sama bu Ratna ketemu kaprodi baru, ada schedule diluar yang tidak bisa saya batalkan”

'Mohon maaf pak, bu Ratna sedang cuti melahirkan'

Gianno memijat hidungnya.

“Wakil dua? Pak Dean?”

'Saya konfirmasi dulu ya pak, beliau baru sampai dari Denmark, takut tidak datang ke kampus'

“Wakil tiga? Bu Sari?”

'Sama dengan pak Dean saya harus konfirmasi lagi'

Gianno pusing.

“Saya tunggu sampai pukul sepuluh”

'Baik pak'

“Terima kasih”

'Sama-sama pak'

Gianno menutup panggilannya. Kemudian ia memejamkan mata, berusaha berpikir jernih, dan membuat keputusan yang tepat apabila wakilnya tidak bisa mewakilkannya. Dia jadi bertemu pun, Anandra tidak akan marah karena sudah bilang, paling jutek sedikit, tapi tidak akan ada pertengkaran hebat seperti sebelumnya. Namun tetap saja, restu Andra tuh hal paling penting dalam hidupnya sekarang. Suara dering telepon kabel membuyarkan lamunannya.

“Yaa?”

'Bu Sari bisa mewakilkan bapak,'

Gianno lega.

“Baik, minta beliau temui saya terlebih dahulu” Gianno tersenyum.

'Baik pak'

“Terima kasih sekali lagi”

Tuhan berpihak kepadanya kali ini. Gianno langsung kembali bekerja dengan nyaman, tanpa khawatir apapun.


Wonwoo mendongak ke atas, menatap rintik hujan yang membasahi bumi. Tangannya terulur, membiarkan hujan membasahi tangannya. Setelah kabur mendadak dari kost, Wonwoo mendekam di kafe tak jauh dari kampusnya. Dia membawa beberapa buku novelnya, dan berhasil menamatkan satu series novel yang ia baca sebelumnya. Sekarang dia akan pulang, namun bodohnya, dia tidak membawa dompet, dan saldo gopay-nya limit. Wonwoo hanya menghela nafas, mungkin menunggu hujan reda bisa sampai malam.

Saat tengah sibuk memandangi jalan raya yang ramai, sebuah vespa hitam berhenti tak jauh dari hadapannya. Pria yang membawa vespa itu menghampirinya, Wonwoo refleks mundur, takut karena tidak tahu siapa orang itu. Hingga sosok itu melepaskan helm bogonya, dan menghela nafas lega. Wonwoo menunduk, kenapa Mingyu tahu dia disini?

“Jas hujannya cuma satu, jadi lo aja yang pake ya kak?” Ucapnya. Wonwoo bungkam.

“Kak?”

“Kamu kenapa kesini?”

“Jemput lo lah, udah mau magrib,”

“Aku gak bilang kalau mau pergi kesini”

Wonwoo tengah dipakaikan jas hujan merah Mingyu. Mingyu mengabaikan ucapan Wonwoo, setelah selesai memakaikannya, Mingyu mengenakan helm ungu itu ke Wonwoo juga. Dia senyum sedikit.

“Terus kamu gimana?” Wonwoo menarik tangannya yang ditarik Mingyu barusan.

“Deket ini, ayo naik!” Mingyu meraih tangannya lagi.

“Enggak! Kamu basah, hujan deras gini!” Tolak Wonwoo. Mingyu menghela nafasnya.

“Naik kak, gue gak papa, udah biasa ujan-ujanan” tuturnya lembut.

“Yaudah aku juga gak usah pake kalau kamu enggak” ujar Wonwoo sambil melepaskan jas hujan, namun ditahan Mingyu.

“Kemeja lo tipis, bakal transparan nantinya, mana putih sayang kak kotor” kata Mingyu sambil senyum.

“Yuk pulang! Temen-temen gue udah balik juga”

Wonwoo akhirnya mengalah. Membiarkan Mingyu basah kehujanan, sementara dirinya terlindungi jas hujan tersebut. Mereka pun pergi dari kafe, Wonwoo meremas kaos Mingyu erat, saat naik motor, rintik air hujan akan terasa menusuk kulit apabila tidak mengenakan jas hujan. Wonwoo merasa tidak enak, namun Mingyu tampaknya sudah biasa. Tangannya ditarik agar bisa melingkar sempurna dipinggangnya. Wonwoo memeluknya erat, Mingyu menutupi punggung tangan Wonwoo dengan tangan kirinya.

“Langsung bersih-bersih” celetuk Wonwoo saat mereka tiba di garasi kost.

“Iyaa,” Mingyu sedikit menggigil. Wonwoo melepaskan setelan jas hujan juga helmnya, lalu bergegas membawa handuk, kemudian memberikannya kepada Mingyu.

“Makasih kak,” Mingyu senyum lebar, rambut basahnya menutupi setengah wajahnya. Tampan sekali.

“Yuk masuk” ucapnya. Wonwoo ngangguk pelan.


Wonwoo bukannya mandi dan ganti baju, pemuda itu malah tertidur. Dua jam kemudian, dia bangun, kamarnya gelap, lalu ia menyalakan lampu, dan meregangkan tangannya. Hujan masih mengguyur, Wonwoo malas mandi, tapi ia tetap harus. Fasilitas kostnya juga menyediakan air panas, jadi Wonwoo tidak ada alasan mandi karena dingin. Wonwoo meraih handuknya, kemudian membuka lemari memilih baju tidur untuk malam ini, lalu ia melepaskan baju yang dipakai hari ini, dan masuk ke kamar mandi.

Sementara tetangganya, pengisi kamar 06, Mingyu tengah bersiap akan mencuci pakaiannya yang sudah menggunung, namun saat tangannya membuka pintu, sosok cantik hanya sebatas bahunya berdiri menatapnya dengan tatapan sendu. Mingyu membanting keranjang pakaian kotornya.

“Ngapain kesini?” Mingyu sewot.

“Kamu gak ngabarin aku dari kemarin, aku khawatir” lirih Bona.

“Kan lagi marah? Bukannya kata kamu kalau lagi marah please leave me alone?” Mingyu senyum miring.

“Maaf....soal kejadian di sek—”

“Kak, kamu nampar orang yang gak salah! Aku ngerasa salah banget sama Yuna! Kamu tuh kalau gini terus mending kita break dulu aja mau?”

“Intropeksi diri, memperbaiki diri—”

“AKU GAK MAU BREAK!” Bona memukul dadanya.

“Aku kesini mau minta maaf! Bukan langsung ditodong minta break Kim Mingyu!” Serunya.

“Minta maaf sama Yuna jangan aku! Kamu yang nampar dia!” Mingyu meraih keranjang cuciannya, dan melengos keluar menuju beranda kost.

“Gyu...sayang, hei—”

Kala Bona dan Mingyu berdebat sengit, pintu kamar 04 terbuka, ada Wonwoo dengan kantong kresek hitam di tangannya. Mereka bertiga bertatapan, namun Wonwoo langsung berjalan keluar, pura-pura tidak tahu dan kenal. Samar telinganya bisa mendengar adu argumen pasangan itu. Wonwoo melempar plastik sampahnya ke tong, lalu kembali ke kamar. Melewati Mingyu dan Bona yang masih berargumen, sebisa mungkin Wonwoo tidak menguping, tapi telinganya menangkap ucapan yang cukup mengejutkan.

“Lo jalan sama Seungcheol tujuh kali gue pergok! Ada gue marah? Enggak! Karena gue percaya sama lo!” Mingyu menatap nyalang Bona.

“Hitung berapa kali gue ke pergok 'main sama cewek' dengan lo yang jalan sama Seungcheol”

“Ngaca coba kak, jangan terus salahin gue! Gue gak pernah buat salah tapi posisi gue—”

BLAM!

Wonwoo menutup pintu kamarnya, dia tidak sepenuhnya menguping. Pemuda 21 tahun itu bersandar ke pintu, menghela nafas pelan. Dia memutuskan untuk menyalakan laptopnya, dan melihat apa ada tugas yang belum selesai.

Sekitar pukul 23.40, pintu kamarnya ada yang membuka namun tak bisa karena dikunci. Wonwoo yang sedang fokus dengan tugasnya langsung sedikit mengintip dari jendela. Mingyu melirik kearahnya, lalu menunjuk pintu meminta untuk dibuka. Wonwoo pun membukanya, dan langsung disambut dekapan hangat dari tetangga kamar kostnya. Kali ini Mingyu tidak bau alkohol, meskipun masih tercium bau rokok. Wonwoo hanya berdiri mematung, bingung apa yang harus dilakukan. Membalasnya, atau hanya seperti ini saja.

Sori ya, tadi cewek gue kesini buat keributan” gumam Mingyu. Wonwoo hanya mengangguk.

“Lapar gak? Gue bawa burger king sama taichan, mau?” Tawarnya sambil mengangkat kresek putih.

“Aku udah makan” Wonwoo duduk, dan kembali menghadap laptopnya.

Mingyu duduk di sampingnya, keduanya sama-sama bersandar ke tembok putih kamar Wonwoo. Mingyu menyantap fast food itu dalam diam, begitu juga Wonwoo yang sibuk mengetik tugas presentasinya. Bahu kiri Wonwoo memberat saat Mingyu bersandar ke bahunya, sembari mengunyah kentang goreng, dan ikut melihat isi tugas Wonwoo.

“Gak ngantuk?” Tanya Wonwoo.

“Gue temenin lo kak, santai” Mingyu mengarahkan satu kentang goreng ke mulut Wonwoo.

“Buat kapan tugasnya?” Tanya Mingyu saat Wonwoo mengunyah kentang gorengnya.

“Jumat sih, tapi dicicil dari sekarang” jawab Wonwoo.

“Rajin....” Mingyu senyum, lalu menyandarkan kepalanya lagi.

Wonwoo menahan diri dari siang untuk tidak menanyakan perihal kejadian pagi tadi. Wonwoo bingung, bagaimana bisa Mingyu terlihat biasa saja saat dia dan dirinya having sex, bahkan tidak sekali pagi tadi. Wonwoo meremat seprainya, berusaha untuk tidak emosional. Namun dia berhak minta kejelasakan?

“Gu...” panggilnya.

“Hmm?”

“Kamu gak papa?” Wonwoo jujur takut bertanya soal itu.

“Gak baik, mood gue hancur gara-gara dia kesini”

“Ohh....” Wonwoo urung diri. Takut menambah jelek mood Mingyu.

Mingyu menutup laptop Wonwoo, setelah menyimpan filenya terlebih dahulu. Rahang Wonwoo Mingyu tangkup, kemudian dicium olehnya. Bibir Wonwoo diraup rakus, menuntut, tidak beraturan, membuat Wonwoo kehabisan nafasnya. Dalam sekali dorongan, Wonwoo berhasil melepaskan pagutannya.

“Jangan.....” bisik Wonwoo sedikit terengah-engah.

“Cukup Gu, jangan gini” Wonwoo menyeka air matanya. Mingyu hanya memandanginya, kemudian mengusap pipi Wonwoo, namun langsung di tepis.

“Aku mau sendiri” ujar Wonwoo sambil berdiri lalu membuka pintu.

“Pergi ke kamar kamu please.” Suara Wonwoo datar, sekalipun air matanya berlinang di pelupuknya.

Mingyu berdiri, berjalan menghampirinya. Wonwoo menunduk dan buang muka. Tapi ternyata pemuda itu bukannya keluar, Mingyu malah menutup pintu dari dalam, lalu kembali menangkup leher Wonwoo dan menciumnya lagi. Kali ini tidak ada penolakan juga tak ada balasan, Wonwoo pasrah dicium Mingyu, dia diam saja. Dia tidak mengerti apa maksud tujuan Mingyu seperti ini padanya.

“Lo itu charger alami gue kak....” bisik Mingyu. Wonwoo masih bungkam.

“Entah sejak kapan—gue suka kalau kita berduaan seperti ini” Mingyu mengusap bibir bawah Wonwoo.

“Gu...” Wonwoo kelu, sulit bicara tiba-tiba.

“Ayo tidur”

Mingyu menariknya untuk tidur. Sekali lagi tanpa perlawanan, Wonwoo nurut. Mingyu melepaskan kaos hitamnya, begitu pun pakaian Wonwoo. Wonwoo tidak mengenakan sehelai benang pun, dan tidur di dekap erat Mingyu dari belakang. Selimut menambah kehangatan pelukan mereka, tengkuk Wonwoo Mingyu kecup beberapa kali. Pemiliknya hanya memejamkan mata, namun mata rubahnya terus menitihkan air mata. Wonwoo tidak bisa menolak, tapi dia pun tidak bisa terus begini bersama Mingyu. Sakit rasanya.


Anandra mengerjapkan matanya, dan bangun dari mimpi indah. Pemuda itu perlahan membuka matanya, menguceknya pelan, lalu memainkan anak rambutnya sambil nguap. Kamarnya sepi, tirainya masih tertutup, tapi jam digital di nakas samping ranjangnya menunjukan pukul 09.30 AM. Gianno sudah menghilang dari sampingnya, suatu keajaiban, karena yang bangun pertama itu biasa Anandra.

Setelah peregangan dan mengumpulkan nyawa, Andra berjalan ke kamar mandi, cuci muka, gosok gigi, dan setor pagi hari seperti biasanya. Sementara sang suami, yakni Gianno, tengah iseng membuat sarapan ala ala Amerika, yakni roti panggang plus telur orak arik (Gianno mau membuat omelet tapi gagal), lalu secangkir kopi itu untuknya. Kalau untuk suaminya, semangkuk sereal koko crunch, dan segelas milo, hanya itu sarapan Anandra.

Mereka berdua tinggal sementara di Amsterdam, tepatnya di rumah mendiang orang tua Anandra yang sudah di beli lagi oleh putranya. Gianno bergumam pelan, menyanyikan lagu Sam Smith – To Die For, sambil menunggu telurnya matang. Sebuah tangan kekar melingkar di pinggangnya, bahunya yang terekspose karena mengenakan kaos oversized dikecup pelan oleh Anandra. Gianno tersenyum, ah dia senang sekali kalau domestik begini.

Morning ganteng” bisik Andra.

Morning sayang” Gianno membalikan tubuhnya lalu mereka saling memagut bibir satu sama lain.

“Gilaaa resolusi after married jadi masak sarapan sendiri?” Ucap Anandra.

“Itu sanjungan apa ledekan?” Gianno mendengus.

“Sanjungan dong, kagum akhirnya pak dosen masak sarapan sendiri” Anandra meminum susu milonya.

“Aku gak tahu kalau koko crunch sampai Amsterdam juga”

“Ohh, aku sengaja bawa sih”

“Lagian aku bukan anak SD kenapa sarapannya sereal sama susu?”

“Terus kenapa suka protes kalau koko crunchnya aku makan?”

“Ya kamu gak izin!”

Gianno memukul kepala Andra sengan spatula.

“Aku bukan sangkuriang!” Andra mencebik.

“Makan saja serealnya!” Sembur Gianno. Mereka pun sarapan bersama, pertama kali dengan status pasangan yang sudah menikah.

“Yang” panggil Andra.

“Hmm?”

“Bunda suka dasteran kalau di rumah, kamu gak mau?”

Gianno menginjak kaki Anandra, dan yang di injak mengaduh.

“Masih hangat kita nikah kamu udah banyak kdrt aja sama aku!” Andra manyun.

“Lagian kamu tuh....aneh banget masa aku dasteran!” Seru Gianno.

“Kan biar gampang aku ewe—”

“ADUH SAKIT!”

Anandra dicubit perutnya oleh Gianno.

“Mulutnya!” Gianno melotot, tapi pipinya merah.

“Dulu aku mergokin papah sama bunda lagi gituan di dapur terus bunda dasteran” tutur Andra.

“Umur berapa kamu? Bohong banget” dengus Gianno.

“Enam tahun, dulu aku gak paham, kirain bunda lagi disakiti papah, taunya—”

“Gak usah aneh-aneh!” Serobot Gianno.

“Kita gak malam pertama ya?” Celetuk Andra.

“Sekalipun bukan first time, tapikan first time as newly married couple tetep harus,kan?” Lanjutnya.

“Males, capek aku” Gianno habis menyantap sarapannya.

“Gitu memang kamu tuh. Pas kamu capek, aku pengen gitu kamu marah-marah, pas aku yang capek kamu ngerengek terus” hela Andra.

“Diam ihh!” Gianno bangkit lalu menaruh piring ke wastafel.

“Suka mau enaknya sendiri”

Gianno berhenti mengupas jeruknya. Andra lanjut menyantap sereal cokelatnya, sambil mengscroll chat grup paradise city. Tiba-tiba Gianno teringat ucapan Rafael seminggu menjelang pernikahannya dengan Anandra. Soal menyadap, Andra sepertinya memang tidak sadar.

“Mau ganti hp baru?” Tanya Gianno tiba-tiba.

“Ini masih bagus” sahut Andra.

Gianno duduk dilahunan Anandra, kemudian menaruh jeruk dimulutnya lalu memberikannya kepada sang suami. Andra menerimanya, kemudian mengunyahnya.

“Nanti honeymoon gimana jadinya?” Tatap Anandra.

“Katanya camping ke Kanada?” Gianno membalas tatapannya.

“Kalau di Indo aja mau?”

“Voucher dari Dinar aja kalau gitu kita pakai”

“Hisshh”

“Gianno, kita udah sering kemana-mana berduakan?”

“Santorini, Venice, Valencia, Madrid, London, Zurich, LA, New York, Singapura, Serawak, Bangkok—”

“Kalau aku minta kita di rumah aja mau gak?” Ucap Anandra.

“Gak perlu jauh ke luar negeri, kita seharian aja di rumah, berkebun, main sama anabul, nonton film, masak, mandi bareng,”

“Belanja ke supermarket, kalau bosan kita bisa jalan-jalan keliling kompleks, work out bareng”

Gianno hanya diam menyimak ucapan Anandra sembari memainkan rambut suaminya.

“Tapi kan kamu pengen kita hs di depan danau” bisik Gianno.

“Danau kompleks juga jadi” Anandra terkekeh.

“Ngaco!”

Public sex sayang”

“Udah pernah”

“Kapan?”

“Pas dies natalis....”

“Wew, itu kamunya engas sih liat aku main drum”

Gianno menunduk, lalu memainkan jari gendut Andra. Kemudian kedua jemari mereka bertautan, dan Anandra mengecup punggung tangannya. Terus dikecup berkali-kali, dan Gianno hanya tersenyum saja.

“Seneng gak punya suami anak SMA?” Tanya Anandra.

“Gak tau, nikahnya aja baru” sahut Gianno.

“Tapi karena kamu suami aku, pasti senang sama bahagia tentu” sambungnya. Anandra langsung menghujami pipi Gianno kecupan manis.

“Mandi yuk? Berendam?” Ajak Andra. Gianno mengangguk setuju.


Kamar mandi rumah Anadra itu cukup terbuka, dengan kaca besar menjulang, memanjakan mata dengan pemandangan hamparan salju di halaman belakang. Bathub-nya menghadap langsung kaca tersebut, kacanya satu arah, jadi orang luar tidak akan melihatnya. Gianno bersandar di dada Andra sambil membasuh lengannya, dan menggosok sela-sela jarinya, sementara Anandra tengah menyesap rokoknya.

“Percaya gak bathub ini usianya mau 20 tahun?” Ujar Anandra.

“Masa?” Gianno melirik ke belakang sedikit.

“Hmm...ini bathub usianya 20 tahun, dari jaman papah masih SMA udah ada” tuturnya.

“Kamu pernah mandi disini dong?”

“Sesekali, aku mandi seringnya di kolam renang balon gitu”

“Tapi kami bertiga sering berendam bareng kayak gini,”

“Kamu mulai punya ingatan itu kapan sih? Maksudnya pas umur berapa?” Gianno duduk menghadapnya. Andra berpikir sambil menghembuskan asap rokoknya ke atas.

“Hmm.....tiga gitu? Pokoknya aku ingat itu pas lagi digendong dibahu papah, terus aku sama papah lagi ninjau tambang” ucapnya.

“Tambang apa kebun ya? Samar-samar, yang utamanya, aku mulai punya ingatan itu pas di gendong papah”

Gianno meraup bibirnya, rasa rokok Marlboro Premium Black, pahit tapi nagih. Anandra menghisap kuat bibir bawah Gianno, bahkan sampai sedikit bengkak.

“Kalau kamu? Ingatan pertama kali gimana?” Andra mematikan rokoknya, lalu memperbaiki posisi duduk, dan melahun Gianno.

“Digandeng Gianna pas birthday party grandpa” ucap Gianno.

First and last juga, aku ketemu grandma, dia cantik sekali” Gianno tersenyum.

“Aku gak inget wajah enyang sama mbah, karena mereka gak ada pas aku masih diperut bunda” ujar Anandra.

“Tapi kalau sama abah juga nenek, aku ingat banget waktu itu kita piknik bertiga naik motor astrea, ke waduk gitu” Anandra tersenyum lebar.

“Seru bangeeet! Apalagi abah jago bikin bakar jagung! Sayang kita gak sempet nyobain lagi” Anandra menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Gianno.

“Aku gak akrab sama grandpa dari mommy, wajahnya judes banget mungkin karena Panglima kali ya?” Ucap Gianno.

“Coba liat cermin tuh,” Andra mengarahkan dagu Gianno ke cermin.

“Kamu judes juga”

“Ya kan aku masih kecil waktu itu!” Elak Gianno. Anandra ketawa.

“Lucu banget orang judes ngatain orang lain judes juga”

“Aku gak judes!”

“Wajah aja sangar, aku ewe mah kamu ngedesahnya kayak cewek”

Gianno memukul pipi Andra pelan. Tak lama pria itu memejamkan matanya, saat benda panjang nan besar menggesek belahan pantatnya. Mulutnya menganga, tangannya meremat bahu licin Andra.

“Hhhh....” desah Gianno.

“Enak?” Andra setengah melayang.

“Banget” Gianno ikut bergerak maju mundur.

Bibir mereka kembali menyatu, saling memagut begitu lembut, penuh kasing sayang, mengulum satu sama lain. Gerakan bawah tubuh mereka pun sama lembutnya, Gianno lebih tersiksa apabila soft begini.

“Ahh....” lengguh Gianno saat lubangnya di mainkan dua jari Andra.

“Makin elastis gini, tanda sering dipake” bisik Anandra menggoda.

“Kamu yang pake juga” Gianno mengigit bibir bawahnya.

Kneel, ngadep kaca” perintah Anandra. Gianno nurut, tubuhnya sedikit menungging, dan—

Anandra masuk ke dalam tubuhnya. Begitu hangat. Suara gesekan kulit mereka begitu nyaring, bersautan dengan desahan nikmat keduanya. Kalau sudah begini, jelas kegiatan intim itu tidak akan berakhir satu ronde saja.

“Buat aku gak bisa jalan—aah!” Pinta Gianno. Anandra menyeringai.

“Sesuai permintaan tuan muda, be ready for it.”

Dan suara lengguhan Gianno menggema hampir seharian di rumah tersebut. Dia benar-benar di buat lumpuh oleh Anandra sesuai keinginannya.


Pertemanan Mingyu dan Wonwoo benar-benar semakin dekat. Setiap pagi, mereka akan sarapan bersama meskipun punya jadwal kuliah yang berbeda. Sesekali Wonwoo meminta Mingyu untuk mengantarnya ke supermarket, atau jajan ke depan, dan Mingyu tidak menolak sama sekali. Keduanya sudah akrab, Mingyu gak sekali dua kali suka godain Wonwoo. Sementara Wonwoo, dia nyaman dan aman kala bersama Mingyu. Tidak peduli bau asap rokok yang akan menemani mereka kala jalan berdua, Wonwoo tetap senang.

Malam ini rencananya, Wonwoo ingin mengajak Mingyu makan di mambo kuliner yang sedang ramai diperbincangkan. Dari sore dia sudah chat pemuda itu, namun belum ada balasan sampai malam juga. Kamarnya pun tertutup rapat, mungkin Mingyu menginap di tempat pacarnya lagi. Wonwoo sedikit sedih, tapi dia kan hanya temannya, jelas pacar Mingyu lebih prioritas. Wonwoo tidak tahu yang mana pacar Mingyu, dan lebih baik tidak tahu. Akhirnya ia memutuskan untuk tidur saja, tugasnya selesai, Wonwoo bisa sedikit santai. Hingga suara pintu yang dipaksa dibuka membangunkannya kembali.

Anjing, dimana lagi kuncinya” Gerutu seseorang. Wonwoo mengintip dari balik jendela kamarnya.

“Mingu?” Gumamnya. Mingyu terlihat mengobrak-abrik isi ranselnya, bahkan isinya tercecer kemana-mana.

“Monyet, ngeselin banget, dimana sih!?” Kesal Mingyu.

“Gu?”

Wonwoo membuka pintu kamarnya. Merasa ada yang bicara, pemuda yang sepertinya sedang mabuk itu membalikan tubuhnya. Awalnya sedikit kesal, namun berubah jadi melunak. Mingyu senyum sedikit kepada Wonwoo.

“Kak kunci kamar gue ilang” ucapnya. Wonwoo langsung bergerak merapihkan barang bawaan teman kostnya itu.

“Disimpen dimana biasanya?”

“Di tas, tapi tadi isi tas gue di obrak-abrik Bona”

Wonwoo menemukan kunci dengan ganci Darth Vader itu, tergeletak disamping satu kotak kondom, tak jauh dari hadapan Mingyu. Dasar memang mungkin terpengaruh alkohol, atau sedang emosi, Mingyu gak lihat kunci itu.

“Ini” Wonwoo memberikan kuncinya. Mingyu terkejut.

“Lah? Dimana?”

“Depan kamu”

Mingyu ketawa pelan, lalu meraih kunci itu. Wonwoo memasukan barang bawaan Mingyu ke dalam tasnya, kecuali kotak kondom itu, dia agak ragu menyentuhnya. Wonwoo anggap itu barang privasi.

“Kerjaan siapa nyelipin kotak kondom kosong?” Dengus Mingyu, sambil membuangnya gitu aja.

“Darimana?” Tanya Wonwoo.

“Kostan cewek” jawabnya judes.

“Berantem ya?”

Wonwoo mencium bau alkohol yang sangat menusuk hidungnya. Bukan berarti Wonwoo tidak suka alkohol, dia hanya tidak biasa. Mingyu menatapnya, matanya sayu tidak secerah biasanya, Wonwoo mengulurkan tangan kemudian merapihkan rambut acak-acakan Mingyu.

“Temenin gue mau gak kak?” Bisik Mingyu. Wonwoo mengangguk.


Dua jam kemudian, kamar Mingyu sedikit berisik dengan suara dengkuran Mingyu, memang tidak keras, tapi cukup membuat Wonwoo terjaga karena bingung dia harus tidur dimana. Wonwoo jarang masuk ke dalam kamar Mingyu sekalipun mereka sudah akrab, kamar temannya rapih sekali, bau stela aroma stella ocean escape menilisik masuk ke penciumannya. Wonwoo hanya duduk di atas kasur lantai Mingyu, mengamati rentetan polaroid yang dirangkai seestetik mungkin. Ada satu foto perempuan cantik dengan rambut sebahu, tersenyum manis menatap kamera. Ah itu Bona. Wonwoo sekarang tahu pacar Mingyu.

“Gu...” Wonwoo terkejut saat Mingyu tiba-tiba bangkit, berjalan ke kamar mandi, dan terdengar suara muntahan.

“Jangan kesi—” Mingyu menyalakan keran air, meredam suara muntahnya.

“Gak papa, buka pintunya” Wonwoo berdiri dan membawa handuk kecil.

Pintu kamar mandi terbuka, dia langsung masuk, membantu Mingyu menuntaskan gejolak mual di perutnya. Wonwoo tidak jijikan kok, dia sudah biasa membantu Soonyoung yang kalau mabuk pasti muntah dimana-mana.

“Gak jijik?” Bisik Mingyu.

“Aku ada susu jahe, mau?” Mingyu menyeringai, lalu mengangguk.

“Cuci muka dulu aja, ini handuknya aku ambil sebentar di kamar” Wonwoo berdiri, namun tangannya ditahan.

“Kak....”

“Iya?”

“Temenin gue please”

“Iyaa aku ambil dulu susu jahenya bentar”

Setelah minum susu jahenya, Mingyu kembali tepar, pakaiannya sudah ganti meskipun bau alkohol karena masih menempel ditubuhnya. Wonwoo hanya duduk bersandar ke dinding, dengan bantal jadi alas punggungnya. Mingyu tidur dilahunannya, begitu pulas, dan dari tadi enggan melepaskan tangan Wonwoo. Tangannya di peluk erat seperti sebuah guling. Mungkin efek mabuk, Mingyu jadi sedikit manja.

“Kak....”

“Iya?”

“Gue dituduh selingkuh”

Wonwoo hanya menyimak.

“Tau gara-gara apa alasannya?”

“Apa?”

“Gue bantuin Yuna beres-beres sekte karena abis rapat, terus cewek itu kelaparan, gue beliin nasgor dong ya, eh anjing dituduh selingkuh” tuturnya.

“Kepergok sama pacar kamu?”

“Iya, chatnya gak sempet gue bales karena sibuk beres-beres, pusing gue astaga, jadi gak enak si Yuna kena semprot Bona”

“Gue ujungnya yang minta maaf....bucin banget emang”

“Padahal satu fakultas tahu si Yuna pacarnya anak dekan, ini—” Mingyu tertawa pelan.

“Udah lama dia curigaan?”

“Tiga bulan belakangan”

“Dari awal dia over banget, apa karena gue ganteng?”

Wonwoo tersenyum, ya Mingyu emang tampan, dia mengakuinya. Tapi kalau sampai terlalu overprotektif juga kan tidak boleh.

“Terus tadi lucunya, dia pulang dianter sama presiden BEM anjing lawak” ucap Mingyu.

“Presiden BEM?”

“Seungcheol”

Wonwoo meremat rambut Mingyu pelan. Matanya bergerak tidak nyaman saat mendengar nama itu.

“Selingkuh kali ya mereka?” Bisik Mingyu.

“Kak?”

Merasa tidak ada tanggapan, Mingyu sekilas melirik jam digital di meja belajarnya, pukul 01.20 dini hari. Pemuda itu bangkit duduk menghadap Wonwoo yang hanya diam memandangnya. Lampu di kamarnya temaram, tapi mereka masih bisa melihat wajah satu sama lain. Mingyu terpaku memandang wajah Wonwoo, hidungnya, matanya, alisnya, bibirnya....kok bisa semenarik itu. Wonwoo menunduk, dia tidak bisa lama-lama menatap Mingyu, tidak sehat untuk jantungnya.

Hingga dahi Mingyu bersandar di bahunya, mencium aroma tubuhnya, pinggangnya didekap erat. Wonwoo menggeliat tidak nyaman, ingatan buruk itu muncul kembali di benaknya.

'Kak jangan'

'Lo suka gue bukan? Harus mau'

'Jangan, kak, aku mohon—'

'Lo cemen banget, gak bakal sakit kok'

'Gak mau, kak—'

Wonwoo berusaha mendorong tubuh Mingyu yang semakin rapat dengannya. Hidung Mingyu mengendus belakang cupingnya, Wonwoo merinding, dia takut. Ada kecupan kecil yang ia rasakan kali ini, tubuhnya mulai bergetar.

'Dia yang mulai, dia yang maksa pak'

'Dia yang mencium saya duluan!'

'Saya sudah menolak, tapi Wonwoo terus memojokan saya'

Mingyu sadar, dia merasakan tubuh Wonwoo tremor hebat. Pemuda itu langsung sadar sepenuhnya, dan menatap Wonwoo yang hanya memejamkan matanya dengan tangan menyilang didadanya.

“Kak!”

“Kak Won!” Mingyu mengguncang bahunya. Wonwoo semakin bergetar hebat.

“Kak! Astaga! Sorry, kak! Kak Won!” Mingyu panik, kakak tingkatnya itu menangis sambil terus melindungi tubuhnya dengan kedua tangannya.

“Bukan aku—”

“Huh?”

“Bukan aku yang mulai”

Mingyu peka, ada sesuatu yang tidak beres. Mungkin berhubungan dengan gosip yang mengelilingi Wonwoo.

“Kak, hei! Ini gue Mingyu” Mingyu mendekapnya erat.

“Maaf....maaf gue buat lo takut”

“Maaf....maaf gue kelewatan”

“Kak”

Perlahan Wonwoo membalas pelukan Mingyu, tangannya masih bergetar hebat, menangis pelan dibahu Mingyu. Dia aman, Wonwoo aman, tadi hanya kilas balik kejadian buruk itu.

“Tarik nafas kak...” Mingyu menangkup rahangnya.

“Ayo, breathe...” mereka melakukan inhale dan exhale nafas bersama.

Inhale...” Wonwoo mengikuti arahan Mingyu.

Exhale....” bisiknya. Lima menit mereka habiskan untuk bisa membuat tubuh Wonwoo berhenti bergetar.

“Maaf....gue kelewatan” ucap Mingyu saat Wonwoo sudah tenang.

“I—iyaa ma—maaf tadi aku takut” gumamnya. Mingyu mengusap pipinya lembut.

“Gue yang salah, udah baikan?”

Wonwoo mengangguk, meskipun tangannya masih tremor, tapi dia jauh lebih baik sekarang.

“Kalau lo ketakutan seperti tadi lagi, panggil gue oke?” Ucap Mingyu.

“Makasih....” Wonwoo menatapnya.

“Mau tidur disini apa dikamar lo?”

“Bo—boleh disini?”

“Boleh, lo di kasur aja, biar gue yang di karpet”

Mingyu bergerak sedikit memberi ruang agar Wonwoo bisa berbaring. Kasur Mingyu cukup besar menampung keduanya sebenarnya, tapi karena kejadian tadi, Mingyu jadi khawatir, dan sedih melihat Wonwoo begitu ketakutan seperti tadi.

“Tidur kak, nanti gue bangunin lo, ada kuliah pagi gak?”

“Ada....jam sembilan”

“Gue bangunin jam tujuh ya?”

“Iya, makasih Gu”

Mingyu mengusak pelan rambut hitam Wonwoo. Kemudian merapihkan selimutnya agar bisa menutupi tubuh Wonwoo sampai bahunya. Mingyu yang ngantuk berat, langsung meraih gulingnya dan tidur di atas karpet beludru hitam itu. Karpetnya empuk, jadi punggungnya tidak akan sakit apabila bangun pagi nanti.

“Gu...”

“Mingu?”

“Apa? Mau minum?”

“Gak papa”

“Hah?”

“Tidur dikasur aja, aku gak papa”

“Bener?”

“Hmm...”

Wonwoo tidur menghadap dinding, dan perlahan ia merasakan ada gerakan di belakangnya. Mingyu menaruh gulingnya ditengah sebagai perbatasan, takut Wonwoo tersentuh olehnya. Tak lama, mereka pun terlelap, pergi alam mimpi masing-masing. Wonwoo mengeratkan pelukan gulingnya, dan Mingyu tidur terlentang dengan lengan menutupi matanya.

Besoknya, tanpa sadar karena keduanya tidur lelap, tubuh Mingyu semakin rapat dengan Wonwoo. Guling tadi entah kemana, tangannya memeluk erat pinggang ramping Wonwoo, wajahnya sembunyi di tengkuk Wonwoo, dan Wonwoo tidak terganggu sama sekali. Suara pintu garasi terbuka membangunkan keduanya, perlahan mereka menggeliat pelan, namun pelukan Mingyu tidak lepas.

Wonwoo membalikan badannya, wajah mereka begitu dekat. Deru nafas Mingyu terasa menyapa wajah Wonwoo. Apa memang setiap tidur Mingyu bakal menjadi seperti bayi? Tenang sekali tidurnya, dan sesekali mulutnya bergumam dan bibirnya manyun. Wonwoo langsung kembali membalikan tubuhnya menghadap dinding saat Mingyu membuka matanya.

“Kak jam tujuh...” suara serak Mingyu menyapa telinga Wonwoo.

“Hmm...iya” sahut Wonwoo pelan.

“Berisik banget anjing” keluh Mingyu kala mendengar suara ribut penghuni kost lain.

“Ada yang pindah” ucap Wonwoo sambil duduk dan merentangkan tangannya.

“Pantesan” hela Mingyu. Hening sejenak di kamar 04 itu.

“Mau sabu gak kak?” Celetuk Mingyu. Wonwoo mengernyit bingung.

“Sarapan bubur, bukan narkoba” Mingyu tertawa pelan. Wonwoo baru paham.

“Kaget” Wonwoo tersenyum.

“Boleh deh, gak pake kacang sama bawang daun ya” sambungnya. Mingyu duduk juga meregangkan otot tubuhnya, kemudian sedikit memainkan rambutnya.

“Bubur depan gang melati enak gak kak?” Tanya Mingyu saat sudah selesai cuci muka dan mengenakan hoodie navynya.

“Enak yang depan pos satpam sih, tapi disana juga enak, pake ati ampela sama telur puyuh” ucap Wonwoo.

“Mau sama itunya juga?”

“Iyaa pisahin aja”

“Bentar ya,” Mingyu meraih kunci motornya, kemudian pergi beli sarapan untuk mereka.


Mingyu entah kelaparan atau memang rakus, anak itu habis tiga bungkus bubur ayam tersebut. Wonwoo bahkan baru selesai makan, Mingyu sudah nambah lagi. Ada gelengan tak mengerti di kepala Wonwoo. Pantas badannya tinggi besar, makannya saja sebanyak ini.

“Perut gue ngeyel banget” Mingyu tersenyum polos.

“Ngeyel apa emang rakus?” Ledek Wonwoo.

“Nyerempet? Gue kalau makan indomie baru kenyang kalau udah abis dua bungkus” ucap Mingyu, Wonwoo kagum.

“Aku sukanya mie sedap” ujar Wonwoo sambil meremas styrofoam bekas buburnya agar tidak di daur ulang pemulung.

“Mie sedap, mienya tipis” gumam Mingyu, Wonwoo manyun.

“Bubur di aduk atau enggak?” Tanya Mingyu.

“Aduk, bumbunya gak rata dong kalau gak di aduk” jawab Wonwoo.

“Nahkan, heran gue sama Hao dan Seokmin, mereka makan buburnya gak di aduk, mana suka ledekin gue disebut sekte sesat!” Gerutu Mingyu.

“Soonyoung juga makan buburnya gak di aduk, dia rapih banget makannya, dari kanan ke kiri, katanya biar tidak merusak estetika buburnya, aku bengong aja lihatnya” tutur Wonwoo.

“Lebih aneh temen lo” geleng Mingyu. Mereka ketawa bersama.

“Temen lo kuliah dimana emang?”

“Semarang, ikut papahnya dinas disana”

Hening kembali menyelimuti keduanya. Wonwoo harusnya selesai sarapan ya pergi ke kamarnya, siap-siap karena mau kuliah. Tapi dia hanya diam saja, memperhatikan Mingyu yang lahap sekali makan buburnya.

“Kamu ada kuliah, Gu?” Tanya Wonwoo.

“Gue mau skip hari ini” jawabnya.

“Kenapa?”

“Ngantuk kak hehe”

“Mau gue anterin? Apa jemput?”

“Aku bawa motor sendiri kok, gak papa”

“Gue di kostan aja, mau tidur, sakit kepala gue”

“Butuh obat?” Wonwoo sedikit khawatir.

“Butuh lo” celetuk Mingyu. Wonwoo mengedip pelan.

“Canda kak” Mingyu menepuk kepalanya gemas.

“Soal tadi malam, maaf banget ya kak”

Wonwoo menatap Mingyu, lalu senyum dan mengangguk pelan. Bukan salah Mingyu, Mingyu kan gak tahu soal masa lalunya.

“Aku pikir rasa takut itu sudah hilang” bisik Wonwoo.

“Tapi ternyata masih ada, udah lama juga kenapa tetap ada” lanjutnya.

“Lo bisa cerita nanti kapan pun, biar beban lo sedikit berkurang” Mingyu senyum membuat Wonwoo menghangat.

“Makasih, udah mau jadi temen aku”

“Iyaa sama-sama kak Wonwoo”

Entah sejak kapan tensi diantara mereka menyeruak, mengelilingi keduanya apabila bersama seperti ini. Mingyu tidak pernah seintens begini kala menatap lawan bicaranya, apalagi sesama laki-laki. Saat bersama Wonwoo, dia selalu ingin jadi dominan, yang melindungi, yang mengayomi, dan— sudah gila. Tidak mungkin Mingyu ingin menyayangi Wonwoo. Beda rasa sayangnya dia ke Seokmin dan Hao yang memang jelas keduanya sahabat baik, dengan sayang kepada Wonwoo. Sayang kepada Wonwoo itu seperti, rasa sayang dia kepada Bona. Rasa sayang karena menyukainya.

Mingyu tidak pernah ikut tes orientasi seksualnya, dia selalu melabeli dirinya seorang straight. Namun semenjak bertemu Wonwoo, berteman dengannya, ada gejolak aneh di dadanya apabila mereka kontak fisik. Entah itu berpegangan tangan saat menyebrang, atau saat tangan Wonwoo ia tarik agar memeluknya saat naik motor, atau bahkan ketika mereka tidur bersama semalam. Mingyu sedekat apapun dengan temannya, dia tidak mau kalau harus berbagi tempat tidur bersama. Nyatanya semalam dia bisa tidur lelap sambil mendekap Wonwoo. Oh Mingyu sadar saat ia melakukan hal itu.

“Aku ke kamar dulu” Wonwoo memutus kontak mata keduanya. Kemudian berdiri dan mengenakan kacamatanya, namun pergelangan tangannya di tahan lagi oleh Mingyu. Entah Mingyu masih terpengaruh alkohol atau memang kerasukan apa, punggung tangan Wonwoo dikecup olehnya.

“Mingyu....” genggamannya di lepas. Bulu halus Wonwoo meremang, dia tidak pernah merasakan hal ini lagi.

Wonwoo pun berjalan kembali, tangannya mengusap pelan punggung tangan kanannya yang bekas dikecup Mingyu. Wajahnya merah padam bahkan sampai telinganya, saat dia akan meraih gagang pintu, memutarnya akan terbuka, tiba-tiba seseorang menutupnya dari belakang.

Wonwoo mematung, Mingyu berdiri mengukungnya dari belakang, deru nafasnya terasa sampai ke kulit leher Wonwoo. Jangan ditanya jantung mereka berdebar kencang atau tidak. Sudah tidak wajar lagi detak jantung keduanya.

“Gu...” gumam Wonwoo.

“Aku mau kuliah” tubuhnya dibalikan Mingyu.

“Gue gak pernah sebetah ini berduaan sama cowok lagi” suara Mingyu begitu rendah.

“Apalagi sampe tidur sekasur”

“Maaf...” Wonwoo menunduk.

“Maaf kenapa?” Wajah Mingyu semakin dekat.

“Harusnya aku tidur di kamar saja” bisik Wonwoo.

Nafas Wonwoo tercekat saat bibirnya dikecup oleh Mingyu. Sedikit, tapi membekas hebat setelahnya. Tubuhnya tidak bergetar seperti malam tadi, Wonwoo, Wonwoo ingin dicium lebih lama. Mingyu terus menatap manik rubah Wonwoo, tangannya bergerak melepaskan kacamata Wonwoo, dan menaruhnya ke dalam saku celananya. Tangan kirinya mengusap pipi Wonwoo, lembut dan memutar, membuat pemiliknya blushing hebat.

“Gue suka liat lo blushing begini” bisik Mingyu.

“Gu...” lirih Wonwoo.

Mereka berciuman, dengan Mingyu yang menciumnya begitu menuntut, Wonwoo hanya diam saja, dia tidak tahu harus bagaimana. Dia memang pernah dicium tapi tidak semanis ini. Ditengah lumatannya, Mingyu membuka matanya, melihat Wonwoo yang memejamkan matanya, tangannya meremas ujung kaos hitamnya. Ciuman mereka terlepas, mata Wonwoo menatap Mingyu.

Ciuman itu kembali dilanjutkan, dengan Mingyu yang memagutnya rakus, kepala Wonwoo bahkan sampai menekan pintu kamar Mingyu. Perlahan tangan Wonwoo memeluk pinggang Mingyu, mulai membalas pagutan Mingyu, berusaha mengimbanginya. Mereka terbawa suasana, Mingyu memeluknya erat sekali, dan terus menyesap bibir Wonwoo, mengulumnya, melilit lidahnya. Hingga Wonwoo mulai kehabisan nafas, laki-laki itu berusaha melepaskan pagutan Mingyu, namun yang ada kepalanya didorong dari belakang agar ciumannya semakin dalam.

“G—gu! Ming—mmh...” Wonwoo mendorong dadanya. Mingyu berhenti menciumnya.

Fuck” desisnya sambil melepaskan pelukan. Kemudian meremas rambutnya.

Wonwoo menghirup oksigen sebanyak mungkin, ciuman tadi menguras oksigennya. Mingyu menyandarkan dahinya di ceruk leher Wonwoo, dan itu membuatnya geli.

“Maaf kak....” bisiknya. Wonwoo diam.

“Boleh gue cium lehernya?”

“Jangan....” balas bisik Wonwoo. Tangannya mulai bergetar.

“Please?” Mohonnya. Tangan Mingyu meremas jemarinya, mengusap punggung tangannya, memberi afeksi agar Wonwoo tenang.

“Biar lo sembuh, biar lo gak takut lagi” Mingyu masih berbisik. Wonwoo memejamkan matanya, lehernya dihujami kecupan kupu-kupu, kejadian itu kembali menghampiri kepalanya.

“Jangan— aku mohon” Wonwoo berontak, Mingyu mendekapnya erat.

“Ini aku, ini aku” gumam Mingyu di telinganya. Wonwoo langsung tenang, dan memeluknya erat.

“Ini aku kak” bibirnya dicium lagi, kali ini ciuman lembut penuh kasih sayang.

Ciuman Mingyu turun kembali ke leher Wonwoo, kulit putih mulus itu mulai memerah karena bekas hisapan Mingyu. Suhu mendadak panas, penuh tensi seksual, dan deru nafas berat. Mingyu mendekap Wonwoo erat, wajahnya masih bersembunyi di leher Wonwoo. Membubuhkan banyak tanda merah keunguan. Wonwoo meremas rambutnya, matanya terpejam.

“Mandi disini aja” ucap Mingyu. Wonwoo mematung, dia mendadak tidak bisa bicara bahkan diam saja saat bajunya dilucuti.

“Kuliahnya skip juga” lanjutnya. Wonwoo tidak bisa menolak, dia nurut saat tubuhnya didorong masuk ke kamar mandi.

Suara keran air terdengar, baju keduanya berceceran di kamar Mingyu. Sayup-sayup terdengar suara lengguhan, dan suara kecupan basah berasal dari sepasang teman kost itu yang sedang mandi bersama.


Anandra tertidur lelap di samping Gianno yang tengah menyetir. Anandra baru pulang dari acara tim pecinta alam sekolahnya. Pemuda itu kelelahan, bahkan tidur dengan mulut terbuka. Gianno mengulurkan tangannya, mendorong dagu Andra agar mulut anak itu tertutup. Anandra menggeliat, tangan Gianno ia genggam erat di perutnya. Beruntung mobil Tesla Gianno bisa matic, dia tidak perlu repot memindahkan gigi mobil.

Gianno sedikit tersentak saat punggung tangannya tak sengaja menyenggol gundukan milik Andra. Sejujurnya dari awal dia ditelepon oleh Anandra minta di jemput, hawa nafsunya sudah merasuki tubuhnya. Gianno merindukan sentuhan Andra. Gianno ingin bercinta dengan kekasihnya itu. Namun, melihat Andra yang terlelap juga kelelahan, Gianno urung diri. Dia pun tak mengerti, kenapa setelah having sex dengan Anandra hormon libidonya jadi sulit dikontrol.

Gianno iri, Andra bisa begitu baik mengontrol diri agar tidak mudah terangsang karena hal kecil. Gianno sebal, karena dari total mereka having sex, terhitung yang memulai duluan adalah dirinya, Anandra mungkin hanya 30% saja dari total 100%, sisanya Gianno yang minta dan merengek.

Anandra membuka matanya, sedikit melirik Gianno yang fokus menyetir. Ada senyuman di bibirnya, tangannya langsung meremat jemari Gianno dan mengecupnya beberapa kali. Gianno tersentak lagi, dia tersenyum sekilas, kecupan manis itu semakin merangsangnya.

“Kok jalan sini?” Andra sadar Gianno mengambil jalur sedikit jauh menuju rumah mereka.

“Huh? Tadi ditutup, ada perbaikan jalan” bohong Gianno. Andra yang memang ngantuk manggut saja.

“Tidur lagi saja”

Anandra memainkan jari Gianno, mengecup setiap buku kukunya, kemudian mendusel dipunggung tangan Gianno. Ini sudah habit Anandra, harusnya Gianno biasa saja. Tapi—

“Kenapa?” Anandra bingung, Gianno menghentikan mobilnya di bahu jalan.

“Pengen....”

Andra menatapnya, kemudian menghela nafas. Bukan dia tidak ingin having sex dengan Gianno, tapi demi apapun, tubuhnya lelah, ingin tidur, dan rebahan sebentar. Tapi melihat ekspresi melas Gianno, dia tidak tega. Tidak enak menahan hasrat biologis itu. Terasa olehnya sendiri, apalagi kalau Gianno sedang engas dan tidak terealisasikan, pria itu akan murung dan mendiamkannya.

“Di rumah aja yuk? Aku yang nyetir deh” ucap Anandra.

“Gak bisa— gak kuat” Gianno meremas gundukan Andra, pemuda itu jelas melengguh.

“Gianno, please ini jalan umum” Anandra menahan tangannya. Tapi bukannya berhenti, dia malah membuka pakaiannya, melucuti semua kain hingga tubuhnya polos.

“Gianno”

Andra ditindih dari atas oleh kekasihnya itu. Bibirnya memagut bibir miliknya, kalau sudah begini Anandra hanya bisa mengikuti alur saja. Gianno kebanyakan memulai, tapi selalu dia yang mengakhiri, dan menyelesaikan. Gianno akan sangat liar di menit awal hubungan badan mereka, namun selanjutnya Gianno hanya pasrah digempur Anandra, merengek minta tolong, dan berakhir dengan Andra menuntaskan permainan mereka.

“Aku kangen...” gumam Gianno sambil menggoyangkan pantatnya di atas gundukan Andra.

“Kamu tuh— aah” Andra mendesah saat Gianno menggesekan belahan pantatnya.

“Kamu yang suka sange duluan, tapi kamu juga yang suka cape duluan” Andra mencubit nipplenya. Gianno menjerit pelan.

“Aah—” Gianno menengadahkan kepalanya, lehernya tengah dibubuhi tanda cinta Andra.

“Ohh—yaahh” Gianno melengguh nikmat saat tangan Anandra bermain dengan pantatnya.

“Hhmm....” Gianno meremas rambut Andra kuat.

Bibir mereka bertemu kembali, saling menghisap, melumat, dan memagut rakus. Gianno memimpin ciuman itu, Andra membiarkannya, tangannya bergerak membuka dashboard, meraih lube biru yang memang sengaja di sediakan untuk berjaga-jaga kalau Gianno high, dan terbukti. Gianno sangat needy sekarang.

“Kamu tuh jadi needy-an gini” Andra mengusap bibirnya sensual. Gianno langsung melahap tiga jari tebalnya.

“Hhmm....” Gianno masih mengulum jarinya. Andra takjub, pesona Gianno kalau sedang high itu— gila membuatnya ikut high.

“Aahh....” Gianno membusungkan dadanya saat tiga jari yang dikulumnya masuk menerobos lubang analnya.

Belum juga bergerak, cairan precumnya sudah mengalir deras. Anandra mendekapnya, tangan kirinya mulai bergerak seperti menggunting, menusuk sweet spot Gianno beberapa kali sehingga pemiliknya mendesah keras dengan dada membusung.

“Aaaah! Andra—aaaah!” Gianno bergetar hebat, tangannya sibuk mengocok penisnya.

“Punya aku kocokin please” perintah Anandra. Gianno langsung menelusup masuk ke dalam celana training hitam Andra, menarik keluar penisnya.

“Aahh! Cepetin!” Andra menyandarkan kepalanya ke jok mobil, gerakan menggunting di lubang anal Gianno pun semakin menjadi.

“Aah!! AAH!!” Gianno cum, cairannya membasahi celana hitam Andra. Gianno sedikit berdiri, bertumpu pada lututnya, kemudian ia arahkan sendiri penis Andra yang sudah dilumasi lube.

“Anjing—” Andra mencengkram pinggang ramping Gianno.

“Aku gak suka pake lube” bisik Gianno, pantatnya bergerak naik turun perlahan.

“Ya kenapa gak kamu kulum saja?” Tatap Anandra.

“Susah, sempit....” Gianno memeluk lehernya erat.

“Kata aku juga di rumah aja” Anandra tidak bergerak sama sekali, ia membiarkan Gianno bermain.

“Gak tahan....AHH!” Gianno bergerak naik turun cukup cepat.

“Aahh!! Andraa” Gianno meraup bibirnya. Hentakan tubuh Gianno, membuat penisnya sempurna masuk ke dalam lubang surgawi itu.

“Ughh!” Gianno meremas safetbelt, tubuhnya terus bergerak beringas naik turun. Anandra hanya memeluknya, mengecup tulang selangka cantik miliknya.

“Hnng...aah” Gianno meremas rambut Anandra saat nipplenya dihisap kuat.

“Gianno gila....” Anandra memundurkan sedikit joknya, bersandar santai menikmati servis Gianno.

“Aaah!” Gianno sesekali menggoyangkan pantanya, kemudian menghentakan tubuhnya tak karuan.

Andra menangkup pipinya, ibu jarinya masuk ke dalam mulut Gianno, dan langsung dijilat olehnya. Gianno semakin gila, terlebih saat ujung kepala penis anandra menumbuk berkali-kali sweet spot-nya. Memabukan, Gianno tidak mau berhenti. Anandra itu adiktif baginya.

“Bantuin jangan?” Anandra meremas pantatnya, Gianno memeluknya erat, bibirnya dipagut kembali.

“Aku bisa....AHH!” Gianno terus menghentakan tubuhnya, menenggelamkan penis Andra sedalam mungkin.

“Yaudah, show me then” Andra meremat pinggang rampingnya.

“Ughh! Andraah!”

Gianno bergerak semakin liar, menungganginya begitu erotis, suara gesekan kulit begitu nyaring, ditambah cairan Andra melumasi penisnya membuat gerakan Gianno semakin kacau.

“Aaaah! AHH!” Gianno cum akhirnya, nafasnya memburu, gerakan perlahan melambat.

“Kok stop?” Andra tidak terima, dia belum keluar.

“Hmm? Seben—ugh AHH!”

Tubuh Gianno bergerak tak karuan karena hujaman cepat dan tidak beraturan yang dilakukan Anandra. Sweet spot-nya digempur terus, dadanya membusung sempurna. Mereka sadar, beberapa kali ada mobil dan bus melintas, mungkin penumpangnya akan melihat mobil mewah mereka bergoyang hebat. Telapak tangan Gianno menempel di kaca mobil, kacanya sedikit berembun akibat karbon dioksida yang dihasilkan dari deru nafas keduanya.

“Ampuun! Aaah! AHH!” Gianno terus digempur, kepalanya semakin sakit, cairan cumnya terciprat kemana-mana.

“Ahh! Gianno” Andra hanya memejamkan matanya. Gianno memeluknya erat. Tubuhnya ia buat naik turun cepat. Kaki kiri Gianno bergetar hebat, Anandra mencium bibirnya saat klimaksnya tiba.

“Hmm...” Gianno mengusap pipinya. Keringat mereka melebur, menyatu bersama cairan klimaks keduanya.

“Enak saja ya nge-fly sendirian!” Andra menampar pantatnya keras. Gianno menjerit.

“Maaf—akh!” Lagi pantatnya ia spank keras. Gianno memeluknya erat, entah berapa kali ia menerima spank dari Anandra.

“Maaf....” Gianno menatapnya sayu. Andra mencium keningnya.

“Jangan mau enak sendiri” bisik Andra. Gianno mengangguk pelan.

“Aku aja yang nyetir” Andra bergerak melepaskan diri dari dekapan Gianno.

“Gak usah dipake bajunya” celetuk Anandra. Gianno tidak jadi memakai bajunya.

“Udah gitu aja” Andra mulai menjalankan mobilnya.

Gianno tidak merasa kedinginan, tubuhnya masih panas. Terlebih tangan Anandra terus mengocok penisnya, meskipun tengah fokus nyetir.

“Nungging” perintahnya. Gianno manut, dia pun menungging, lengannya bertumpu pada dashboard mobil.

“Aaah.....” lengguhan keluar lagi saat empat jari Anandra masuk lubangnya.

Desahan Gianno tidak terputus selama perjalanan mereka. Bahkan sebelum masuk rumah pun, Gianno harus rela di gempur terlebih dahulu, dan saat sampai kamar pun, desahan Gianno tidak berhenti, malah semakin kencang. Terutama kala dirinya ditindih dari belakang, dengan pantat menungging keatas. Gianno suka, sangat.

“Gianno?”

“Hmm?”

“Jangan tidur, ini ulah kamu, tuntaskan.”

“Ampun...” lirih Gianno. Andra menatap mata rubah itu yang sudah mengantuk berat.

“Lain kali, nurut kalau aku bilang enggak, ya enggak, dan itu mutlak Gianno” Andra memainkan bibirnya.

“Iya....” bisik Gianno.

“Masa harus aku terus yang menuntaskan?” Andra menindihnya dari atas.

“Ngantuk aku” Gianno kelelahan pada akhirnya, dan akibat ulah sendiri.

Anandra mendekapnya erat, mereka tidak melanjutkan hubungan intim itu. Andra pun lelah. Sejoli itu akhirnya tumbang, tidur tanpa melepaskan koneksi terlebih dahulu.


Anandra hanya duduk melamun memandang tempat yang sudah di dekorasi cantik, penuh hiasan serba putih, bunga-bunga nan indah, meja yang di tata apik, dan beberapa orang berlalu lalang mempersiapkan pesta resepsi pernikahannya dengan Gianno. Benar, tepat pada hari ini tanggal 31 Desember 2020, menjadi momen bersejarah dalam kehidupan Anandra setelah lahir ke dunia. Menikah. Gianno dengannya resmi menikah.

Kalau meresmikan pernikahannya di depan penghulu sudah dilaksanakan satu hari sebelumnya, tanggal 30 kemarin. Alasannya agar lebih pribadi, dan mereka resmi menikah secara agama. Hari ini, adalah resepsinya, tapi memang tidak banyak mengundang tamu, mungkin yang hadir hanya 100 orang saja, dari masing-masing kedua pihak pengantin.

Di tengah lamunannya karena masih merasa ini tidak nyata, Andra dirangkul oleh Dinar, well, pria itu banyak campur tangan selama persiapan pesta resepsinya dengan Gianno. Bahkan hadiah pernikahan dari Dinar adalah, liburan full satu bulan ke Skandinavia, dan—

“Kak, beneran Ariana sama Train datang?” Anandra menatap Dinar yang hanya senyum sampai matanya sipit.

“Iyalah, mereka udah di hotel, keduanya nyanyi dua lagu, hadiah dari gue sama Amanda, harus langgeng” Dinar menyenggolnya.

“Anjirlah kak. Ariana Grande bakal nyanyi di pesta resepsi gue? Train juga? Gila!” Anandra masih tidak menyangka, tapi itu benar, Dinar yang mendatangkan mereka langsung.

“Lo suka MUSE juga,kan? Gue gak ada relasi buat ngundang mereka jadi agak susah” Dinar menyalakan rokoknya. Tenang acara masih H-5 jam.

“Bayar berapa lo? Tau gini gue request Adele aja sama Maroon 5” dengus Anandra.

“Kalau pesta lo dua hari, gue bisa sih ngurusin—”

“Sinting!”

Dinar ketawa lalu mengangkat satu alisnya. Apa sih yang tidak bisa ia lakukan? Uang dia memang cukup untuk mengundang penyanyi hollywood tersebut. Apalagi untuk Gianno, sahabatnya, Dinar tidak sungkan.

“Serius, Dra. Gue gak sungkan sama sekali, nanti deh ya pesta aniv pertama kalian? Hadiah dari gue, Adele sama Maroon 5” tutur Dinar dengan santai menghembuskan asap rokoknya.

“Makasih ya kak” Andra senyum, Dinar memukul bahunya.

“Anjing merinding gue, pokoknya—”

Dinar menepuk dada Anandra sambil tersenyum.

“Saat lo resmi menikah dengan Gianno, gue cuma minta, jaga baik-baik hubungan kalian, jangan ngutamain ego masing-masing, KOMUNIKASI, saling percaya satu sama lain,”

“Nikah gak mudah, kita tahu semua, tapi gue percaya lo sama Gianno, kalian bakal berusaha menjaga janji suci” Tutur Dinar.

Once again, happy wedding yaa” mereka berpelukan. Anandra menepuk punggung Dinar.

“Kalian udah sah, silakan ngewe sebebas—”

Dinar dipukul pelan Anandra, mereka pun ketawa, hingga salah satu staff menghampiri keduanya mendiskusikan tentang guest list, apakah sudah betul semuanya. Terutama nomor meja tamu tersebut.

I guess, you can asking for make sure the list to my husband, he knows more anything than me” ucap Anandra.

Yes mr. Andra, I'll talk with him” Staff itu pamit.

Anandra melihat Gianno dan Maudy tengah mengarahkan staff WO mereka. Jika ditanya apa yang berbeda dari sebelum menikah dan setelah menikah, mungkin hanya satu jawabannya. Semakin cinta. Anandra semakin mencintai pria 27 tahun itu. Anandra semakin terjatuh pada pesona Gianno. Tiga tahun menjalin kasih, lima tahun saling mengenal, dan terus berjalan hingga sekarang, Anandra akan selalu mencintai Gianno.


Pesta di gelar sore hari, langit cerah, meskipun tadi sempat di guyur hujan salju, tapi tidak sampai mengganggu acara resepsi Gianno dan Anandra. Tamu satu persatu datang, disambut oleh orang tua kedua mempelai. Geng Anandra bersorak heboh saat memasuki lokasi garden party sahabat mereka. Dika hanya tersenyum kecil, andai Rosè masih bersamanya, perempuan itu pasti senang. Terlebih photo booth-nya aesthetic sekali, semua perempuan pasti akan betah berlama-lama di pesta resepsi Anandra dan Gianno.

“Dika!” Seru Martin. Dika tersentak, dan langsung menyusul mereka.

“Ini kita _bestman^,kan? Apa groomsman sih?” Tanya Askal heboh. Geng Anandra serempak mengenakan tuxedo serba hitam.

“Sama aja anjay, dua-duanya juga cowok, gak ada bridesmaid,” sahut Rafael.

“Yang datang dari sebelah hawanya manusia kalangan sosialita ya?” Bisik Miko, sambil membenarkan letak dasi kupu-kupunya.

“Tamu dari orang tua Gianno pasti, atau mungkin sanak saudaranya” ucap Jaka.

“Pudingnya enak sumpah!” Nauval melipir tadi dan membawakan puding buat mereka.

“Anjaayy gue lapar, keliatan kampungan banget kita” Dika meraih cup puding itu. Mereka semua ketawa pelan, mana di liatin keluarga Gianno.

Anandra's friend right?” Seorang staff wanita menghampiri mereka.

Oh yes,” sahut Jaka.

Come with me” Staff itu mengarahkan mereka menuju paviliun tempat Anandra bersiap.

Di tempat Gianno, pria itu duduk menghadap cermin yang memantulkan bayangannya. Gugup, jangan ditanya lagi. Tangannya tidak mau berhenti bergetar, antara tremor karena suhu cukup dingin, atau mungkin gugup karena dia akan menjadi pengantin sore ini. Saat meresmikan pernikahan secara agama saja, kala menandatangani buku nikah, tangannya bergetar hebat. Hari ini pun ada sesi pembacaan surat terbuka untuk suaminya, Anandra. Tremornya semakin kuat.

Breathe.....Gianno, breathe....” batinnya. Gianno memejamkan matanya, dia belajar meditasi sederhana dari Rafael beberapa hari ke belakang. Itu sangat membantu.

“Pak Gian?”

Suara lembut membuyarkan meditasinya. Gianno menengok ke arah pintu dan tersenyum manis kala Bu Diah masuk, lalu menghampirinya. Gianno berdiri, kemudian mereka berpelukan erat. Bu Diah sedikit terisak, lalu pipi menantunya itu ditangkup. Gianno mengusap air matanya.

“Astaga....ibu mimpi apa punya menantu tampan seperti kamu” Bu Diah meremat pelan bahunya.

“Bu....” Gianno malu.

“Ibu udah banyak bicara sama kamu, mungkin kamu sampai bosan mendengarnya,”

“Tapi pak, terima kasih sekali lagi sudah memilih, dan sudah siap menerima Anandra sebagai pendamping hidup”

“Kita tahu, Anandra masih remaja, mohon sabar apabila dia mulai lagi dengan tingkah kanak-kanaknya,”

“Tolong bimbing Andra pelan-pelan, tegur apabila dia mulai seenaknya atau nakal, jangan sungkan jewer telinganya kalau ngeyel”

Mereka tertawa sekilas. Gianno menggenggam erat tangan lembut Bu Diah.

“Jangan malu minta tolong sama ibu kalau ada apa-apa ya? Kamu anak ibu juga sekarang,”

“Jaga hubungan kalian, setelah semua rintangan yang dilewati, ibu yakin, hubungan kalian semakin kuat, fondasinya kokoh, tidak akan mudah goyah”

“Jaga Anandra ya, jaga anak nakal ibu, ibu minta maaf kalau Andra susah diurusnya,”

“Kamu pasti bisa jadi sosok suami, teman, dan kakak untuk Anandra”

Gianno mengangguk paham, mereka kembali berpelukan. Tangan Bu Diah meraih tangan Gianno, kemudian memasangkan sebuah gelang cantik.

“Simpan, ini milik ibu, tapi buat kamu” bisiknya.

“Bu, sudah cukup dengan ibu hadir dan merestui—”

“Ssstt, ini turun menurun, sudah hak kamu menerimanya, dan kewajiban ibu memberikannya, tidak terlalu perempuan juga,kan? Dipakai ya” tutur Bu Diah. Gianno mengangguk.

“Pestanya akan dimulai, ibu tunggu di luar” Wanita 53 tahun itu keluar sambil melambaikan tangan dan tersenyum hangat.

“Bu, terima kasih....” ucap Gianno. Bu Diah mengedipkan sebelah matanya, Gianno terkekeh pelan, diajarin Anandra pasti.


Semua tamu sudah memenuhi meja yang disediakan, di sebelah kanan khusus tamu pihak Anandra, dan di sebelah kiri khusus tamu pihak Gianno. Mereka semua berbincang hangat, sambil menyantap hidangan yang sudah di sediakan, sembari menunggu mempelai muncul. Kemudian suara microphone di ketuk, seorang MC pria dibalut jas hitam formal, berdiri sambil tersenyum kepada para tamu. Acara pun dimulai.

Sang MC sebelumnya menyapa tamu, menanyakan kabar, hanya sekadar basa-basi sebelum masuk ke acara inti. Geng Anandra sibuk mengabadikan moment sakral itu, berulang kali Askal berdecak kagum dengan dekorasi indah dan unik. WO-nya mahal pasti.

“Ini berapa em kira-kira?” Bisiknya.

“Anandra bilang sih total semuanya sampai tetek bengek 250.000 ribu” sahut Rafael yang sibuk memakan tiramisunya.

“Hah?” Askal bingung.

”—Euro” sambung Jaka. Askal langsung membuka ponsel pintar, lalu mengkonversi mata uang rupih ke euro—

“Anjing. Empat kali lipat harga rumah gue brengsek” Askal memijat pelipisnya.

“Sederhana loh” lirik Rafael santai.

“Belum guest star-nya, asoy banget” sambung Martin.

“Sederhana tapi ngundang Ariana sama Train” bisik Miko.

“Sumpah ada Ariana sama Train? Lihat entar gue duet sama Ari” Askal joget heboh meskipun duduk.

“Ssstt!” Nauval mengetuk mejanya pelan.

Semua tamu langsung menengok ke belakang. Lampu mulai di redupkan, staff WO meminta para undangan untuk menyalakan lilin yang sudah disediakan. Dinar dan Amanda menyalakan lilin, Dennis heboh dan antusias menggenggam lilin putih yang di lilit pita warna cream itu.

“Panas ganteng, aduh ibu kamu yang marah sama papah kalau kena lelehannya” Dinar berisik sendiri karena putranya ingin memegang lilin.

“Yiyin! Pengen yiyin!” Dennis kekeh.

“Lilin!” Koreksi Dinar.

“Yiyin!”

“Berisik!” Amanda merampas mereka. Dinar dan Dennis langsung hening.

Dika diminta Anandra untuk menjadi penyanyi yang menyambut kala dirinya dan Gianno berjalan bersama di altar. Pemuda itu berdiri di samping MC, dan band pengiring mulai memainkan musiknya. Lagu pertama yang dinyanyikan oleh sahabat Anandra itu adalah Michael Jackson – One Day In Your life.

One day in your life

You'll remember a place

Someone touching your face

You'll come back and you'll look around, you'll

Para undangan diminta berdiri, Dika melantunkan lirik lagu itu dengan begitu merdu. Tidak salah dia dijuluki bapak paduan suara SMANTA. Semua orang menggenggam lilin itu, Dinar masih ribut dengan Dennis, Askal dan yang lain sibuk dengan ponselnya, Bu Diah tersenyum antusias. Keluarga Gianno tak mau kalah, Maudy tampil cantik dengan balutan dress mewah dan cantik, berdiri disamping Manggala yang tampak gagah dan berwibawa, Gianna tersenyum dan mengagumi suara merdu Dika. Perempuan itu tak sedetik pun melepaskan pandangan kagumnya kepada sahabat suami adiknya itu.

You'll remember me somehow

Though you don't need me now

I will stay in your heart, and when things fall apart

You'll remember one day

Anandra dan Gianno muncul. Andra mengangkat tangan kirinya, dan Gianno menyambutnya hangat, kemudian mereka saling tersenyum manis, berjalan menyusuri altar. Dika ikut tersenyum dari panggung, pemuda itu menghayati lirik lagu romantis tersebut. Entah hanya bayangannya atau memang itu benar, Dika beradu pandangan dengan kakak Gianno.

One day in your life

When you find that you're always lonely

For a love we used to share

Just call my name, and I'll be there

Lagu selesai, Anandra dan Gianno sudah berdiri di depan para tamu. Tepatnya di tengah-tengah, karena meja para tamu dibuat melingkar. Pasangan manis itu, saling memandang, dengan tangan menggenggam satu sama lain. Keduanya kompak mengenakan pakaian serba putih, rambut ditata rapih, bunga mawar tersemat di saku kiri jasnya. Dika dan Gianna masih saling bertatapan, Gianna menatap penuh kagum, sementara Dika menatap hanya untuk memastikan perempuan itu kakak Gianno atau bukan.

Acara berlanjut, MC meminta Gianno dan Anandra membacakan surat untuk keduanya. Gianno menatap Anandra, pemuda itu yang duluan membaca suratnya, jantungnya berdegup kencang. Berusaha menebak isi surat suaminya itu. Setelah menerima mic dari MC, Anandra berdehem terlebih dahulu, kemudian, membuka selembar kertas lusuh yang ujungnya sudah sobek dan terlipat. Kapan dia menulisnya? Ada senyuman sebelum dia membaca surat itu.

“Pertama, surat ini aku tulis dalam bahasa Indonesia, mungkin tiga tahun yang lalu, saat kami berdua putus”

Gianno meremas ujung jasnya.

“Makanya, terlihat lusuh, isinya....akan membuat kalian tertawa, karena tulisan pujangga yang tengah patah hati”

Geng Anandra menyorakinya. Rafael hanya menggeleng sambil tertawa. Dika sudah bergabung dengan mereka lagi.

“Untuk, Pak Gianno, yang mungkin sekarang sudah resmi menikah, hallo pak, ini Anandra,”

“Pertama......aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Tuhan yang sudah menciptakan kamu dengan begitu indah dan mempesona pada saat pertama kali aku bertemu dengannya”

“Klise, kita bertemu memang tidak seperti sinetron pada umumnya, tapi....satu hari ditengah teriknya panas matahari membakar kulitku, kamu muncul, dengan ransel hitam dipunggungnya. Berjalan melewati lapang upacara, dan disana pertama kalinya mataku menangkap kamu”

“Bercahaya, yaa, kamu bercahaya. Untuk orang awam mungkin tidak bisa melihatnya, tapi aku yang melihatmu langsung begitu silau dan terpesona, bahkan kamu hanya jalan saja sudah seindah itu”

“Status kita hanya sebatas guru dan murid, dengan rentan usia cukup jauh, almost ten years. Tapi— ibu aku pernah bilang, jangan terpaku pada suatu hal yang tidak bisa dirubah, lalu jadi penghalang kamu jatuh cinta, mencintai seseorang tidak ada salahnya meskipun beda usia 25 tahun sekalipun”

Bu Diah menggeleng pelan, Dinar hanya tertawa menemani Bu Diah bersama istri dan putranya . Ada senyuman bangga dari wanita itu. Semua tamu begitu serius mendengar surat Anandra.

“Dengan bekal percaya diri, dan nekat, tentu, aku kejar kamu. Tentu, untuk pria seusia kamu, itu akan sangat risih, malu, kesal, dan tidak suka. Aku tahu, aku bisa menebaknya dari cara kamu menjewer, mencubit, aku tahu kamu tidak suka pada awalnya”

“Hingga satu waktu dimana usaha aku mulai berbuah hasil, dimana kamu tidak lagi menjewer dan mencubitku, aku tahu, Tuhan mungkin sudah mengubah takdirku. Atau mungkin, menambah takdirku, dengan masuknya kamu ke kehidupanku, Gianno”

“Kita bersama akhirnya. Mengubah status menjadi sepasang kekasih. Tidak bohong, aku bangga sekali ketika kamu jadi kekasihnya aku. Teman-temanku tidak percaya—”

Anandra melirik meja gengnya. Askal dan Martin pura-pura terharu dengan menyeka air mata. Rafael menggeleng terus, Miko sibuk merekam dengan ponselnya.

“Tapi kita bersama. Hingga dua bulan yang lalu, kita resmi berpisah”

Gianno menunduk. Dia hanya diam, kisah pahit itu terulang kembali di kepalanya.

“Kisah kita berakhir, kamu memilih cinta pertama kamu, aku paham. Hari ini katanya kamu menikah, kalau boleh jujur, aku tidak ikhlas sampai kapan pun, Gianno. Bagaimana bisa kamu melepaskanku disaat nama kamu akan selalu ada di bagian terdalam hatiku. Tapi— Tuhan mungkin memang hanya memberikanku kesempatan—”

“Anandra” Gianno memotongnya. Andra senyum.

“Belum selesai sayang” bisiknya.

“Kesempatan untuk membahagiakannya hanya sementara. Sekilas, seperti angin yang berhembus.” Andra membuka lembar berikutnya.

“Dan bolong, suratnya hanya selesai sampai disini”

Semua tamu tertawa pelan. Maudy bahkan ikut tertawa bersama Manggala. Darimana putranya bisa bertemu pemuda unik seperti Anandra. Gianno membuang mukanya, dia tersenyum. Anandra menautkan tangan kanannya dengan jemari Gianno. Surat lusuh itu ia taruh di dalam sakunya.

But here we are right now. Kamu, berdiri di depanku, dengan jari manismu mengenakan cincin yang disematkan oleh aku, tanda kisah kita masih berlanjut”

“Tidak mudah untuk bisa menyematkan cincin itu, banyak latar belakang drama sabun colek yang kita lewati bersama, dibantu orang sekitar kita, hingga kita bisa berdiri disini”

“Ini tidak terlihat nyata. Kayak mimpi, yang. Aku nikah sama kamu, itu beneran gak sih?”

Tamu ketawa kembali, Rafael meringgis pelan. Dika hanya ketawa saja sambil tepuk tangan.

“Apapun yang akan kita hadapi setelah menikah.....kita jangan sampai melepaskan cincinnya,”

“Mandi sekalipun, pakai apabila bisa” Gianno memukul bahunya. Anandra ketawa sekilas.

“Gianno, mungkin ini cheesy, tapi aku sayang kamu. Aku sayang kamu dari awal kamu lewat di depan aku, sampai detik ini,dan akan terus berlangsung sampai Tuhan memisahkan kita”

“Terima kasih, sudah mau menerimaku, si anak nakal ini yang masih banyak kekurangannya, bantu aku—”

“Bantu aku melengkapinya, bantu aku mempertahankan pernikahan kita, sayangi aku juga, jangan bosan tegur aku kalau aku ada salah”

“Sambut aku dengan senyuman kamu saat bertemu, peluk aku saat kita tidur, bisikan namaku saat kita bercinta, simpan namaku di hati kamu sayang”

Gianno tidak bisa menahan air matanya dari awal Anandra membacakan suratnya. Pria itu mengangguk setiap Anandra berbicara.

“Hari ini akan menjadi hari terbaik dalam hidup kita bukan?”

“I—iya” bisik Gianno.

“Maka esok dan seterusnya pun harus menjadi yang terbaik, karena kamu dan aku, akan terus bersama selamanya.”

Anandra mengakhiri pembacaan suratnya dengan kecupan manis di kening Gianno. Askal tepuk tangan heboh, bersuit heboh, Nauval begitu bangga, dia mengepalkan tangannya keatas. Para tamu berdiri dan tepuk tangan. Bu Diah menggeleng pelan meskipun matanya berurai air mata. Keluarga Gianno ikut tepuk tangan, Manggala tersenyum dan merangkul istrinya, Maudy. Bimasena, dia memang tidak pernah salah pilih. Dinar menggendong putranya, mengangkat jempolnya, dia bangga sekali.

“Cium bibirnya Da!” Seru Jaka. Anandra melotot kearahnya.

“Ayo giliran kamu” Anandra menunjuk surat Gianno.

Para tamu duduk kembali. Suasana kembali hening, menunggu Gianno yang gemetar membuka suratnya. Andra membantunya, lengannya digenggam oleh pemuda itu.

“Rileks sayang....” Andra berbisik sambil mengusap punggung tangannya.

“Aku pegangin saja” Andra bergerak mendekat, memegang mic dan surat Gianno. Wajah mereka sangat dekat, alih-alih melihat isi suratnya, Andra memilih menatap pahatan sempurna Tuhan di hadapannya. Gianno, semakin indah setiap harinya.

“Untuk Anandra, suamiku” Suara Gianno sedikit bergetar.

“Rileks....” bisik Andra.

“Aku tidak sempurna seperti yang diucapkan olehmu. Tapi mungkin, dengan hadirnya kamu, membuatku semakin lebih baik. Kehadiranmu sudah membawa warna baru dalam kehidupan abu-abuku. Cara kamu memperhatikanku, cara kamu mencintai aku, cara kamu berbicara denganku, semuanya hal yang kamu lakukan, begitu membuatku terpesona.”

“Berhenti memujiku dengan mengatakan aku indah, karena asal kamu tahu, kamu lebih daripada indah”

“Benar, butuh waktu cukup lama agar aku bisa yakin memberikan hatiku untuk kamu, tapi cukup lama itu terasa singkat bagiku, Anandra”

“Pertama kita bertemu, berlanjut kita berpacaran, dan sampai sekarang—”

“Kita menikah” Gianno membalas tatapan Anandra.

“Sangat singkat rasanya. Kamu tumbuh begitu saja bersamaku, menjadi seorang pemuda tinggi tegap, dengan senyuman khasnya. Membuatku, dan siapapun yang melihatnya ikut tersenyum dan kagum”

“Aku suka saat kamu senyum, karena ketika senyum, kamu membuatku terus jatuh, jatuh, dan jatuh cinta kepada kamu”

“Maaf apabila kamu sempat menangis karena aku, air mata kamu berbuah manis karena berganti dengan senyuman bahagia hari ini”

Anandra tersenyum. Tangannya menggenggam erat pergelangan tangan Gianno.

“Bahkan sekalipun kita tidak menikah, kita masih tetap akan terus bersama, saling mencintai, melindungi, melengkapi—”

“Bersama. Kamu dan aku. Aku akan berusaha untuk menjadi partner terbaik hidup kamu, mungkin aku tidak banyak sesuai ekspetasimu, tapi aku terus, terus berusaha menjadi lebih baik”

“Tolong peringatkan aku kalau ada salah, jangan segan tegur aku juga, jangan banyak mendiamkanku”

Dinar berdehem keras, disambut kekehan dari geng Anandra.

“Amsterdam!” celetuk Rafael. Andra tidak peduli dengan celetukannya.

“Terima kasih sudah mau bertahan denganku sampai sekarang, banyak kesalahan yang aku lakukan dan membuatmu sedih, tapi kamu tetap bersedia menerimaku”

Gianno meremas surat itu, manik keduanya tidak lepas, saling berpandangan.

“Jangan tinggalkan aku lagi, aku butuh kamu, hanya kamu, Anandra” Gianno wajahnya basah karena menangis. Anandra tertawa pelan, pemuda itu hanya berkaca-kaca saja. Tangannya menangkup pipi Gianno.

“Aku sayang kamu. Dari hari pertama aku menyadari rasaku terhadap kamu, aku sangat sayang kamu” lirihnya. Andra mengusap air mata Gianno.

“Jangan dilepas cincinnya, aku takut—hiks”

Anandra mendekapnya, Gianno jadi emosional. Para tamu kembali tepuk tangan, Gianno menangis sejadinya di bahu Anandra. Pembacaan surat keduanya selesai. Gianno masih terisak, sementara Anandra menenangkannya. Acara tetap berlanjut, dan sekarang adalah yang paling ditunggu. Guest stars, Train muncul disambut suara riuh tamu yang tidak tahu kalau pengisi acara malam ini penyanyi hits hollywood itu.

Band itu membawakan salah satu lagu hitsnya, Hey Soul Sister. Para tamu berdiri, bertepuk tangan kembali. Geng Anandra berlarian ke depan panggung, tidak ingin berada di barisan belakang. Bu Diah ditemani Amanda, sementara Dinar menggendong Dennis ikut menonton di barisan depan.

“Di jaga Dennisnya! Jangan joget!” Seru Amanda. Dinar mengangguk mantap.

“Train, bisa request nyanyi pacar lima langkah, gak ya?” Ucap Martin disambut geplakan keras Rafael.

“Hey, soul sister Ain't that Mr. Mister on the radio, stereo”

“The way you move ain't fair, you know”

Jaka dan Dika saling merangkul dan bernyanyi bersama. Askal melambaikan tangannya ke kiri kanan dan bernyanyi juga.

“Hey, soul sister I don't wanna miss a single thing you do tonight”

“Hey, soul sister I don't wanna miss a single thing you do tonight”

Dika terkejut saat bahunya menabrak seorang perempuan. Refleks tangannya meraih pinggang ramping— Dika melotot saat sadar yang ditabrak olehnya kakak Gianno.

Sorry, sorry” Dika kelabakan. Gianna hanya tersenyum.

“Gianna,” perempuan itu mengulurkan tangannya.

Dika bengong, kemudian menerima uluran tangan itu.

“Radika, hehe” Dika cengengesan karena gugup.

Tidak ada percakapan lagi selanjutnya. Dika tidak sadar saat tampil diawal tadi, dirinya menggetarkan hati Gianna. Kakak Gianno itu tertarik kepadanya.

“Promise me you'll always be happy by my side~”

“I promise to sing to you when all the music dies~”

Semua tamu ikut bernyanyi kala band itu membawakan lagu lamaran Anandra kemarin, Marry Me.

“Marry me”

“If I ever get the nerve to say hello in this cafe”

“Say you will”

“Say you will”

“Marry me....”

Anandra dan Gianno hanya berpelukan sambil menonton penampilan Train. Gianno masih menangis, Anandra terus mengusap punggungnya. Mengecup kepalanya, sementara tamu yang lain mulai berdansa, diiringi lagu Marry Me.

“Udah dong nangisnya” Anandra menangkup wajah Gianno.

“Jelek tuh, bengkak” Andra merapihkan poni Gianno yang berantakan.

“Aku sayang kamu....” bisiknya.

“Iyaa satu alam semesta tahu, Gianno sayang Anandra, Anandra sayang Gianno juga” Anandra mengecup punggung tangannya.

“Sini”

Anandra membawanya ke tengah lalu keduanya berdansa. Maudy berdansa dengan Manggala, hubungan mereka sedang kurang baik sebenarnya, tapi mungkin sedikit meluruh dengan acara hari ini. Dika sibuk berjoget bersama gengnya, setelah Train selesai tampil, Askal naik panggung dan mulai bernyanyi lagu Maroon 5 – Sugar. Rafael melihat Dika asyik berjoget dengan kakak Gianno, Gianna.

Sugar!

Yes, please!

Won't you come and put it down on me?

I'm right here, 'cause I need

Little love and little sympathy

Yeah, you show me good loving

Make it alright

Need a little sweetness in my life

Sugar!

Yes, please!

Won't you come and put it down on me?

“Hilang satu tumbuh seribu, gak sih?” Celetuk Jaka. Rafael meliriknya.

“Jodoh itu lebih lawak dari jokes kakek lo” Rafael kembali berjoget. Askal suaranya boleh juga.

“Kita kondangan lagi nanti?”

Mereka tertawa. Andra bergabung bersama gengnya. Gianno membaur dengan tamu lainnya. Askal bersemangat melantunkan lagu kebangsaannya itu. Dinar ikut join, bersama Dennis dipangkuannya.

“Om Andaaa!” Dennis melentangkan tangannya, Andra menggendongnya. Dinar langsung heboh jogetnya.

“Kasihan kamu, punya papah gila” Anandra menggeleng miris.

I want that red velvet

I want that sugar sweet

Don't let nobody touch it

Unless that somebody is me

I gotta be a man

There ain't no other way

'Cause, girl, you're hotter than the southern California day

I don't wanna play no games

I don't gotta be afraid

Don't give all that shy shit

No make up on

SUGAR! YES PLEASE!” Seru Dinar bersama Dika dan Rafael.


Pesta berlangsung meriah. Gianno merangkul pinggang Anandra, keduanya mengecup satu sama lain, dan ikut menggerakan tubuhnya sesuai irama lagu. Setelah saudara Gianno, Harris menyumbangkan suaranya dengan menyanyi lagu Westlife – Nothing Gonna Change My Love For you, Martin tadi sempat iseng ingin bernyanyi lagu Pacar Lima Langkah, tapi urung diri saat dilirik sinis Gianno.

“Ariana! Woylah!” Seru Askal saat MC memanggil bintang utama malam ini, Ariana Grande.

Semua tamu menjerit histeris dan bertepuk tangan heboh, saat penyanyi pop terbaik di dunia itu naik ke atas panggung. Anandra dan Gianno jelas sudah paling depan, karena mereka pemilik pestanya. Dinar menggendong Dennis di pundaknya. Gianna selalu berusaha mendekati Dika, sekalipun dia sudah ada tunangan, Samuel.

Suhu dingin tidak mengurangi semangat mereka bernyanyi bersama Ariana. Penyanyi itu kembali menyanyikan lagu yang dikutip oleh Anandra saat mereka selesai break. Gianno tersenyum, dia menyukai liriknya, terlebih pas bagian 'Id love to see me in from your point of view'. Sesuai judul lagunya, POV. Andra mengajaknya melipir, menuju tempat yang sedikit sepi. Suara merdu Ariana masih terdengar, disambut seruan heboh tamu undangan.

“Mmmh....” Gianno memejamkan mata saat bibirnya dicium rakus Anandra.

First kiss sebagai suami...” bisik Andra. Gianno memukul pelan bahunya.

“Kok kesini? Kan Ariana lagi tampil” Gianno mengalungkan tangannya ke leher Anandra.

“Biar lebih romantis, ramai disana”

Dahi mereka bersentuhan. Anandra perlahan menyanyikan lirik lagu yang tengah dinyanyikan. Gianno tersenyum, oh mungkin Andra malu kalau ketahuan tengah bernyanyi. Padahal suaranya bagus, tidak kalah dengan Askal dan Dika.

“Eksklusif? Hanya untuk aku?” Gianno tertawa pelan. Anandra terus menyanyikan lagu itu.

“I wanna trust me, the way that you trust me, baby,”

“Cause nobody ever loved me like you do, I'd love to see me from your point of view”

Gianno mengecup bibirnya. Tepuk tangan terdengar kembali. Anandra kembali memagut bibirnya. Lagu selanjutnya adalah Stuck With You, setelah penyanyi itu mengobrol sebentar bersama penonton. Samar-samar ditengah ciuman hangat itu, seseorang memanggilnya.

“Heey!! Ayo dipanggil Ariana!” Seru Gianna.

“Ayoo!” Perempuan itu menarik tangan keduanya.

Pesta terus berlanjut. Mereka bernyanyi bersama melantunkan lirik lagu Stuck With U. Askal dan Miko sudah mabuk, mereka menenggak satu botol campagne berdua saja. Para orang tua hanya mengawasi dari belakang. Oh, grandpa Gianno absen karena kesehatannya tidak mendukung untuk datang. Tapi beliau kemarin menjadi salah satu saksi saat menikah secara agama. Bu Diah tak lelah tersenyum melihat putra satu-satunya bahagia dan tak berhenti tertawa. Dia lega, dia tidak khawatir lagi bagaimana kehidupan nanti kelak saat ia dipanggil Tuhan.

“Anandra, ibu tahu, kamu bisa menjadi seseorang yang berhasil di masa depan. Bukan hanya karena dukungan orang sekitar kamu, tapi karena usaha gigihmu, sifat tangguhmu yang membawa kesuksesan ke genggaman kamu, anak lanang ibu” batin bu Diah.

“Buu!” Anandra tersenyum memanggilnya, lalu mengedipkan matanya. Bu Diah hanya tersenyum.

“Semua orang disekitarmu akan sangat membantu, mereka pun akan sangat membutuhkanmu, terutama Gianno. Semoga kamu bahagia bersamanya, melihat senyuman cerah kamu apabila tengah menceritakannya, ibu tahu, seberapa pentingnya Gianno untuk kamu”

“Kesedihan masa kecil kamu, berbalas kebahagian tak terduga,kan? Tuhan memberi kamu hadiah berupa kebahagian dan orang-orang yang menyayangimu, terutama ibu dan bapak disana...”

“Anandra, saat ibu tidak ada nanti, kamu harus terus bahagia, karena bahagia kamu, bahagia ibu juga, bahagia kami, bahagia semua orang”

“Anandra.....” pemuda itu menatapnya kembali.

“Selamat atas pernikahannya, terima kasih sudah menjadi salah satu sumber kebahagian ibu”

“Ibu sayang kamu.”

Anandra menghampirinya, lalu memeluknya erat sekali. Bu Diah terisak pelan, dia bisa pergi dengan tenang nanti. Putranya sudah ada yang menjaga, Anandra-nya tidak sendirian lagi.

“Makasih atas doanya bu...” gumam Anandra. Ah ikatan batin mereka kuat.

“Anandra juga sayang ibu, selalu.”

Gianno yang melihatnya tersenyum manis. Dia pun menatap mommy-nya, dan langsung berjalan menghampirinya. Gianno pun tak kalah, dia juga punya ibu, dan Maudy tersenyum bahagia saat putra bungsunya menghampirinya, dan memeluknya hangat. Pesta malam ini berakhir dengan begitu hangat. Di tutup senyuman penuh bahagia dari semua orang dan kembang api pertanda tahun sudah berganti. Anandra dan Gianno kembali berpelukan, dan kemudian juru foto mengambil potret manis keduanya bersama yang lain. Senyuman tidak ada surut sedikitpun dari wajah semua yang hadir. Terutama Anandra dan Gianno.

Happy wedding, Anandra & Gianno.

Happy New Year, also.