UNTOLD STORY


Hujan mengguyur begitu Anandra tiba di depan rumahnya Gianno. Iya, rumah minimalis bercat putih itu bukan 'rumah' Anandra lagi. Mereka sudah berpisah sekitar 2 bulan, dan Andra mendapat kabar jika Gianno akan menikah minggu depan. Jika ditanya apa reaksinya kala mendengar kabar bahagia itu, Anandra hanya bisa tersenyum. Hubungan mereka terbilang cukup singkat, hanya 10 bulan saja. Tepat hari ini, mereka genap 1 tahun. Seharusnya.

Anandra menekan bel rumah itu. Aneh, biasa masuk nyelonong tanpa melepaskan sepatu kotornya, kali ini Andra harus menekan bel. Pemuda itu melihat tumpukan kardus besar di garasi. Gianno sudah menjual rumah ini. Jujur, kalau Andra punya uang, dia akan membeli rumah penuh kenangan ini. Namun, uang 100 rb saja tidak ada di dalam dompet lepeknya.

“Masuk....”

Suara berat Gianno mengejutkan Andra yang sedang melamun. Bukannya masuk, Andra malah membuka isi tas besarnya, Gianno tidak tahu apa yang dibawa mantan kekasihnya itu.

“Saya gak lama pak” Andra berdiri lalu memberikan sebuah bingkisan berbentuk kotak berukuran 30x40 tersebut.

“Harusnya....ini hadiah buat first anniv kita pak—” Anandra gugup.

“Tapi—”

Gianno hanya memandangi bingkisan itu. Anandra mengusap rambut basahnya kebelakang, menelan ludah dan membasahi bibir bawahnya.

“Itu untuk hadiah pernikahan bapak sama kak Juna” Anandra senyum kecil.

“Mau disimpan, mau dibuang....itu hak bapak,”

“Setidaknya, janji saya terpenuhi. Pengen ngelukis bapak, jadi gak punya hutang” Anandra menatapnya dalam.

Gianno membalas tatapannya. Dua bulan mereka berpisah, tidak banyak yang berubah memang. Hanya status keduanya yang berbeda. Anandra menunggu Gianno berbicara, namun jadinya mereka hanya saling bertatapan. Tidak bersuara. Anandra masih sama. Tatapan penuh cinta, hangat, penuh kagum, dan sayang yang begitu tulus. Sementara Gianno, tatapannya penuh dengan keraguan, dan tidak sehangat dulu.

“You are still the love of my life, Gianno” bisik Anandra.

“Mungkin kamu anggap itu hanya gombalan anak kecil, tapi sayang....”

Anandra menahan diri untuk tidak menyentuh Gianno. Tangannya bergetar hebat, begitu pun dengan bibirnya.

“Lagu Queen itu, memang buat kamu,” sambungnya.

“Terima kasih kepada Fredie Mercury yang sudah menulisnya, aku merasakan posisi dirinya juga”

Gianno masih bungkam. Hujan semakin deras, bahkan terdengar beberapa kali petir menyambar. Anandra menghela nafas pelan, lalu mundur perlahan, berniat pulang. Namun saat bahu kanannya terkena rintik hujan, sebuah tangan melingkar di lengannya.

“Hujan” Gianno menahannya.

“Saya bawa mantel kok” Anandra senyum.

“Motor bapak— kan suka mogok” bisiknya. Anandra tidak bisa mendengarnya karena derasnya hujan.

“Masuk”

Gianno menariknya kembali masuk. Anandra pasrah, dia membiarkan ujung jaket hitam lusuhnya ditarik Gianno. Mereka pun masuk ke dalam rumah. Anandra mencelos karena semua barang dan furniture sudah di kemas. Tidak ada sofa, tidak ada lemari kaca yang penuh dengan piagam penghargaan Gianno. Tidak ada— potret dia dan pria yang kini sibuk menyeduh teh hangat itu. Bahkan dapur pun sudah bersih. Hanya tinggal meja makan saja. Anandra memandang ke sekeliling, otaknya memutar memori indah yang terjadi selama dirinya tinggal bersama Gianno.

'PAAAK! HELM AKU MANA? ADA RAZIA MASAAA?!'

'Anandra filmnya mulai!'

'ANANDRA HANDUK ITU DI JEMUR KE BELAKANG BUKAN DI GELETAKAN DI SOFA!'

'Yaaaang! Ada cuangki mau gak?'

'Peluk...dingin' mereka berdua berpelukan di sofa.

'Ulangan aku 100 loh?! Gak mau kasih kiss gitu?'

Anandra terkekeh pelan mengingat kenangan itu. Kenapa waktu begitu cepat berputar.

'Anandra ada tikus!'

'TELEPON DAMKAR?!'

'KOK DAMKAR? KAMU TAKUT—'

'AAAAAA!' Mereka berdua naik ke atas sofa sambil merangkul pinggang satu sama lain.

'DAMKAR TELEPON DAMKAR SI JERRY NYA BAWA PASUKAN!'

Anandra tidak sadar sudah berdiri di belakang bahu lebar Gianno. Setiap pagi di hari Minggu, akan ada rutinitas Anandra yang manja dan memeluk pinggang Gianno yang sedang mencuci piring. Akan ada percakapan ringan, berakhir kecupan manis.

“Aku gak mungkin datang nanti...” Anandra memeluk Gianno erat dari belakang.

“Jadi— dengarkan semua ucapanku” Anandra mematikan kompor listriknya terlebih dahulu.

“Hari ini, aku masih bisa bebas, istilahnya, meluk kamu, ketemu kamu, ngobrol sama kamu, kelak— saat kamu resmi menikah dengan orang lain, aku gak bisa begini lagi”

“Jadi izinkan aku buat meluk kamu untuk terakh— terkahir kalinya”

Gianno menunduk, air matanya keluar begitu saja. Anandra mendekap bahu dan pinggangnya begitu erat.

“Sumpah demi Tuhan, aku sayang kamu Gianno”

“Saat pertama kali bertemu kamu, aku udah jatuh cinta”

“Setahun aku berusaha mengejar kamu, hingga akhirnya kamu sempat jadi milik aku untuk 10 bulan”

“Kenapa singkat sekali? Its not fair for me...” lirihnya.

“Aku gak ikhlas kamu dipinang orang lain to be honest, aku gak bakal pernah ikhlas, tapi—”

“Itu tidak akan mengubah situasi. Itu hanya akan menyakiti diri aku sendiri,kan? So I learn to let you go...”

“Jadi....Gianno, terima kasih atas semua pelajaran dan kenangan yang kamu berikan untuk aku, itu sangat membantu dimasa depan nanti”

“Pesanku, jangan banyak begadang, makan yang banyak, semangat ngedosennya, banyak tersenyum karena senyum kamu itu indah, jangan banyak pikiran, karena aku gak bisa nemenin kamu lagi, jangan terus kelupaan bawa sesuatu karena aku gak bisa nganterin lagi nanti”

“Semoga pilihan kamu lebih dewasa dari aku, lebih—menyayangi kamu dibanding aku, lebih membahagiakan—”

“Kamu. Kak Juna baik, aku yakin. Dia cocok bersanding dengan kamu sayang. Dia enggak kekanakan seperti aku—”

“Jangan sedih, karena kalau bapak sedih kerasanya sampai ke aku juga, karena nanti kalau bapak sedih, aku gak bisa ngehibur lagi”

Be happy Gianno. Aku selalu mendoakan kebahagian kamu sampai kapan pun. Menjauh dari manusia toksik yang merugikan kamu, yang baik kepada mahasiswanya, selamat atas kenaikan pangkatnya, kamu kaprodi sekarang”

“Tapi— jika hal buruk terjadi menimpa kamu nanti, kamu disakiti oleh siapapun, dan butuh bahu untuk bersandar....”

“Aku selalu siap untuk dijadikan sandaran kamu”

Gianno menangis, rasanya untuk menyesal pun sudah terlambat. Anandra menatapnya dari samping, ada senyuman manis dibibirnya, sekalipun air mata membasahi pipinya.

“Tapi itu gak bakal terjadi. Kamu akan selalu bahagia, kamu dijauhkan dari segala sesuatu yang akan membuat kamu sedih, karena aku selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu”

“Hikss—” Gianno memeluk Andra erat, pria itu membalikan tubuhnya.

“Maaf....” lirihnya. Anandra menggeleng cepat.

“Tidak ada yang salah. Disini aku yang gagal, tapi semuanya sudah terjadi”

“Aku gagal karena buat kamu jenuh” Anandra menangkup pipinya.

“Anandra...” bisik Gianno.

“Bahagia ya, pak?” Andra tersenyum tulus.

“Kalimat bahagia kamu bahagia aku itu bukan mainan, itu doa aku setiap hari” tuturnya.

“Aku cinta kamu. Selalu. Tapi katanya, kasta tertinggi dalam mencintai itu, merelakan....”

“Merelakan orang yang kita cintai bahagia dengan pilihannya.”

Anandra mengecup dahi pak dosen kesayangannya itu cukup lama. Gianno meremat pergelangan tangan Anandra. Pria 25 tahun itu masih menangis, sementara Andra sudah tidak menangis. Dadanya sedikit lega, tidak sesesak dulu.

“Bohong....” gumam Gianno. Anandra menatapnya.

“Kamu gak rela Anandra, aku tau....” ucapnya. Anandra tertawa pelan.

“Yang punya hati aku, jangan sok tau” Anandra melepaskan tangkupannya namun ditahan Gianno.

“Aku bisa batalin semuanya....” Gianno menatap Anandra.

Just say it” tatapnya penuh harap.

Ask me to stay...” bisiknya.

“Kamu bahkan ngehapus nomor hp aku? Why should I asking you to stay?” Ucap Anandra.

“Itu—”

“Canda pak. Aku udah bilang, keputusan kamu jangan sampai di sesali, okay?”

“Kita tidak bisa bersama lagi”

“Kita bisa”

“Kita. Tidak. Bisa.”

Gianno menangkup pipi Anandra, kemudian memagut bibirnya lembut. Anandra membalas ciuman itu, air matanya turun kembali membasahi pipi. Tak lama pemuda itu melepaskan tautan bibir mereka. Andra mundur satu langkah. Gianno menghampirinya, namun lagi pemuda itu melangkah mundur.

“Anandra....” lirihnya.

“Pak aku pun gak mau putus”

“Tapi....semuanya sudah selesai. Kamu akan menikah, dan aku gak mau menjadi pihak yang menggagalkan pernikahan seseorang” tutur Anandra.

You said, you are still love me

Yes, I do. I love you so much Gianno, tapi kamu mau menikah”

“Kak Juna baik, aku percaya.” Ujar Anandra.

Goodbye, Gianno.

Anandra pergi dengan langkah besar keluar rumah Gianno. Sontak dia langsung di kejar olehnya. Mantan kekasih Gianno itu langsung bergegas mengenakan helm, dan menstater motor mio jadul tersebut. Keadaan mendukung karena motor itu langsung nyala, dan Gianno tak sempat meraih lengan Anandra. Pria itu menangis sambil memeluk kedua lututnya.

“Anandra, I love you too....” bisiknya.

Please stay.....