cichanlvr

•▪︎•

“Mpok thank you so much, love u pol,” ucap Juliandre alih-alih berpamitan dengan Mpok-sang pemilik warung kopi.

Setelah berpamitan ketiganya berjalan menuju kendaraan yang membawanya kesini masing-masing. Juliandre dengan ducati hitam, Umbara dengan Vespa putih dan Kendra dengan motor custom scorpio japstyle. Ngomongin soal motor, nama motor Juliandre “Titam” Kalau Vespa putih Umbara “Pipih” dan punya Kendra “Moca” entah dari mana mereka bisa memberikan nama itu.

“Titam, are you ready?”

“Take care bro,” teriak Juliandre yang sudah melaju lebih dulu dan di susul Umbara.

Lalu terakhir Kendra, motor Kendra melaju cepat meninggalkan Warung Mpok, membelah jalanan pejuang raya yang sudah sepi. Tapi Kendra menyukainya, Kendra suka berada di jalan luas tanpa ada yang terus menklaksoninnya jika ia berjalan di tengah-tengah.

Kendra melirik ke arloji yang ia pakai, pukul 00.15 Ini bukan kali pertama Kendra pulang jam segini, Ibunda Kinan sudah sering kali mengomelinya karna terus pulang malam, tapi Kendra keras kepala, sama seperti ayahnya.

“Ini kenapa jalannya panjang amat sih.” gerutu Kendra di balik helm full face yang ia pakai. Kendra selalu bertanya-tanya kenapa Jl. Pejuang Raya ini sangat panjang? padahal sudah sering kali ia lewat sini, hampir setiap hari, tapi setiap hari juga Kendra mengucap kalimat itu.

Jarak rumah Kendra ke Warung Mpok memang lumayan jauh, ia harus melewati 3 kali lampu merah. “Untung gua sabar orangnya.”

“Apa gua buka cabang Warpok deket rumah ya.” Ini juga kalimat yang sering ia ucap ketika mengeluh pulang dari Warpok. kalo kata Juliandre “Ngomul, nggak pernah berjalan itu omongan.”

“Modalin dong,” jawab Kendra.

“Bapak lo jenderal Kendra.”

“Ya itu kan bapak gue, bukan gue.”

“Pinjol aja pinjol,” sahut Umbara.

“Astagfirullah, jangan ya Ken. Meski hidup ini berat, kadang akhir bulan juga cuman makan mie sama nasi, tapi kita tidak boleh terjerat pinjol,” ucap Juliandre seraya mengelus pelan pundak Kendra.

“Lo dramatis banget, Jul. Suer deh.” kata Umbara.

Dan tidak akan berakhir percakapan mereka mengenai rencana Kendra membuat cabang Warpok.

Motor Kendra berhenti dilampu merah terakhir yang harus ia lewati. Masih sama, jalanan sepi sekali, hanya ada Moca dan 1 mobil truk, sepertinya mobil pengantar barang.

Kendra kembali melirik arloji, 01.05 dini hari. “Udah jam segini aja.”

Menjelajahi pandangan di sekitar lampu merah Mataram, Kendra menjatuhkan pandangan pada Halte sebelah kanan yang tak jauh dari lampu merah. “Cewe?” beo Kendra bertanya-tanya. karna Kendra hanya bisa melihat punggung dan rambut sepunggung yang terkuncir kuda. Pikirnya, pasti cewe kan?

Kendra acuh, saat lampu merah berubah menjadi hijau, ia kembali melajukan motornya. Memutar kesebalah kanan. Kendra mengurangi kecepatan saat ia melewati halte. Cuman mau mastiin aja ko.

“Tuh kan bener, cewe.”

“Kayanya habis jatuh dari motor,” saat melewati halte, Kendra melihat cewe itu sedang memberi semacam obat merah ke bagian telapak tangannya. Pikirnya lagi, kasian malem-malem gini jatuh, terus sendirian.

Entah kenapa, Kendra merasa harus menolongnya. “Kasian.”

Kendra memutar arah kembali ke jalan Mataram dan berhenti tepat di depan Halte. Saat Kendra membuka helm full face nya, dapat ia lihat wajah bingung sekaligus takut dari cewe di depannya itu.

“Gue nggak berniat macem-macem ko, cuman mau nolongin aja,” sebelum cewe itu berteriak karna ketakutan, lebih baik Kendra berbicara niat baiknya lebih dulu.

“Gue Kendra Ariellio.” tangan Kendra mengulur ke hadapan gadis itu, dapat Kendra lihat gadis itu masih enggan untuk menerima keberadaan Kendra, namun setelah beberapa detik tangannya terulur menyambut uluran tangan Kendra. “Nalaya,” ucapnya.

“Cantik, namanya cantik,” ucap Kendra di dalam hatinya.

“Lo jatuh dimana?” tanya Kendra saat ia lebih dekat dengan Nalaya dan duduk di sampingnya. Memperhatikan wajah Nalaya, Kendra seperti pernah melihat wajahnya. “Oh yang tadi di warpok,” ucap Kendra di dalam hatinya.

“Gue beneran nggak akan macem-macem, lo bisa telpon bunda gue sekarang kalau nggak percaya,” Kendra kembali meyakinkan Nalaya, karna ia lihat Nalaya justru sedikit menjauh darinya.

Tak dapat reaksi dari Nalaya. Kendra menarik ponselnya di dalam jaket leather yang ia pakai, lalu menekan salah satu nama yang ada di kontak dan meneleponnya.

“Bunda, Kendra di jalan mataram,” ucap Kendra saat panggilan tersambung.

“Dia nggak bercanda?” ucap Nalaya di dalam hati.

“Iya Kendra mau arah pulang, tapi ketemu cewe habis jatuh dari motor, Nda.”

“Ya ampun ko bisa jatuh,” suara kaget tapi masih terdengar lembut di telinga meraup kependengaran Nalaya saat Kendra menekan loudspeaker.

“Jawab aja,” ucap Kendra.

“Iya tante, tadi meleng naik motornya,” jawab Nalaya.

Kendra Speechless, 6 kata menurut Kendra lumayan menjadi kalimat panjang yang baru ia dengar dari Nalaya setelah beberapa detik lalu ia berkenalan dan mengajaknya berbincang. “Gilaaa beneran alus suaranya.” teriak Kendra di dalam hati.

“Apa yang luka? sudah di obati belum? rumah kamu dimana? kalau jauh dari Mataram kamu kerumah Tante saja dulu,”

“Jawab yang menurut lu menjawab semua pertanyaan aja,” ucap Kendra kembali melihat wajah bingung Nalaya.

“Sudah di obati ko tante,”

“Syukurlah kalau sudah di obati,”

“Udah Nda, tidur bundaku, udah malem masih nonton drakor aja,”

“Iya siap ibunda ratu.” Nalaya dapat mendengar bunyi telepon terputus.

“Gue nggak nipu kan?”

“Iya,”

“Lo bisa bawa motor?”

“Bisa,”

“Jangan maksain, luka lo di telapak tangan, sebelah kanan pula, bahaya kalo lo bawa motor sendiri,”

“Lo mau nawarin tebengan?”

“Kalo lo ngizinin,”

“Gue ngekost di Jl. Taman Citra, lumayan jauh dari sini,”

“Deket, ayok,” ajak Kendra sembari membantu merapikan obat merah dan kapas yang Nalaya habis pakai lalu membuang kapas itu kedalam tempat sampah yang ada disana.

Di dalam hati Nalaya ingin menolak, tapi kalau di pikir-pikir memang terlalu bahaya jika ia paksakan. Mau tak mau, ia menerima tawaran laki-laki itu.

“Motor gue?”

“Gampang, temen gue yang urus,”

Kembali ia melihat Kendra menarik ponsel dan menelepon seseorang.

“Bang, tolong ambil Motor Vespa merah maroon dijalan Mataram, ya,”

“Oke bang, thanks.”

“Beres, yuk pulang,” Kendra naik keatas motornya, “Lo mau nunggu berapa lama lagi?” tanya Kendra saat melihat tak ada pergerakan apa-apa dari Nalaya.

“Gue bawa pelan-pelan, santai aja.”

Saat sudah yakin dengan pilihannya kali ini, Nalaya langsung menaiki motor custom itu, di bantu Kendra sedikit karna lumayan susah jika tidak berpegangan.

“Gue tau ini ngerepotin, sorry,” ucap Nalaya sebelum motor Kendra melaju.

“Gue suka di repotin,” jawab Kendra.

“Apalagi di repotinnya sama lo, gue suka,” lanjutnya dalam hati.

•▪︎•