Cigarette Daydreams.

— : a work of commission
— : Sangyeon x Chanhee
— : part of Indekos Poci (ALTERNATIVE ENDING)
— : placed after Sepotong Kue dan Sorak Sorai Bulan
— : words count // 5k
— : tags // romance, ex-reunion, unfinished business
— : 🔞 profanity, explicit sexual content
— : ⚠️ having no cause-effect into the original plot whatsoever

It started with a self-indulgent wildest dream, and ended up with a life-action fantasy.

“Lo beneran balikan sama kakak?”

Pertanyaan spontan itu sukses besar membuat Changmin di sebelahnya tersedak sebutir boba, dan jemarinya mulai sibuk mencari tisu di dalam salah satu kantung belanjaan. “Bolot kah anda? Gue bilang kita main Genshin bareng!!!”

“Iya, setelah ngewe?”

Pasca dilirik sinis, tubuh Chanhee kini terpental beberapa senti karena sundulan lengan dari sahabatnya. “Sekalian aja lo ke pusat informasi terus jarkom trivia itu kepada seluruh pengunjung mall ini.”

“Boleh, gak masalah. Mau?”

“Gue maunya lo tutup mulut.”

Dirinya terkekeh, gantian menyedot minuman. “Ya sori, gue kan cuma kepingin tau aja kelanjutannya gimana. Masa udah masuk tapi gak balikan?”

“Masuk maneee. Masuk rumah?”

“Masuk neraka.”

Belum sempat melanjutkan kalimatnya, Chanhee sudah mendapatkan dorongan dan pelototan sinis lainnya. “Gue sama kakak gak mau cepet-cepet kasih label, tau… Nanti takabur.”

“Yakin?”

“Yakin apanya?”

“Yakin kakak lo yang keluar dari Indomaret bawa kondom itu gak mau punya status yang jelas sama lo?”

“KAN!!!” Ji Changmin si paling dramatis, menjerit hingga beberapa kepala pengunjung mall lain menoleh kearah mereka. “Ini sebabnya gue gak mau ceritain soal itu ke lo!!!”

“Eh anjir, gue gak minta juga pasti lo cerita sendiri ya.”

“Iyasih… Tapi gue cerita bukan untuk diolok-olok!!! Lo cukup tau aja kisah jenaka soal si kakak bawa plastik belanjaan isi kondom dan plastiknya diserahkan kepada GUE. Udah mana masuknya sambil ngos-ngosan, terus beberapa hari yang lalu dia jujur kalau pas lagi di kasir ada lagi kejadian bodoh.”

“Ada yang lebih bodoh dari itu emangnya?”

“Jadi pas dia lagi milih kondom di belakangnya itu ada tiga anak SMA lagi ngantri dan mengambil foto MENGGUNAKAN FLASH. Yang mengalami si Younghoon yang malu sampai ke tulang itu gueee.”

Chanhee rasa, yang barusan adalah tawa terpuasnya sepanjang hari ini. “Emang ya, genre hubungan lo berdua bener-bener romcom.”

“Udah deh lo jangan kebanyakan ngurusin hubungan gue sama kakak. Pertanyaan yang tadi belom lo jawab.”

“Pertanyaan yang mana lagi?”

Changmin menarik lengan Chanhee agar berbelok ke kanan dan memasuki toko Guardian yang pada saat itu sudah lumayan ramai. “Reuni. Di Poci. Sabtu ini. Jam empat sore.”

“Jam empat sore banget? Kayak acara ulang tahun di McD, anjir.”

Stop berpura-pura tertarik untuk meneliti ingredients micellar water dan jawab pertanyaan gue dengan benar.”

Damn, this dude knows him so damn well.

Chanhee menaruh botol itu kembali ke tempatnya, mencoba terlihat tak acuh. Tangannya bertengger di pinggang dengan gelisah dan setelah berdeham dirinya mengajukan sebuah pertanyaan, “Ada Sangyeon?”

“KAN!!!” Pekikan kedua kalinya, undangan untuk beberapa kepala untuk menoleh kearah mereka. “Gue tau ini pasti yang menjadi concern lo.”

“Gue literally cuma nanya???”

“Aduh, capek…” Ji Changmin benar-benar mengaduh bersamaan dengan matanya yang memindai diskon pada setiap merek facial foam yang ditemuinya. “Oke, for your information bapak Choi Chanhee, besok itu yang dateng full team. Ya kecuali si bayi sih…”

Even Hyunjae?”

“BAHKAN Lee Hyunjae. Liat kan effort dan pengorbanannnya?”

“FYI effort dan pengorbanan itu artinya sama.”

“INTINYA adalah, gue gak terima penolakan. Apalagi penolakan GARA-GARA SANGYEON. Ini gak selalu tentang lo dan dia!!! Ini tentang persahabatan kita!!!”

Chanhee memutar bola matanya dengan malas. “Ya oke, gue dateng.”

Nice!” Changmin tersenyum dengan seringai menyebalkan khas dirinya, sebelum telapak tangannya yang meraih kedua bahu Chanhee penuh semangat. “Sekarang gue mau cari sesuatu, jadi lo tunggu disini.”

“Bawel. Jangan lama-lama!” Permintaannya tadi hilang ditelan udara bersamaan dengan sahabatnya yang telah pergi entah kemana.

Pandangannya kini memang berpendar pada beberapa produk perawatan wajah yang tertata rapi di etalase, namun pikirannya jauh melayang menembus alam bawah sadar akan berbagai hal dalam satu waktu. Tapi yang utamanya, tentang sebuah kenyataan bahwa ia akan kembali bertemu Sangyeon setelah kurun rentang waktu dua puluh empat bulan.

So… yeah. Not a big deal, right?

Oh it’s so much is.

Choi Chanhee, dalam realita yang senyata-nyatanya, kini sedang melawan kepanikan internalnya dalam diam.

“Nyet.”

“Hmm.”

“How was it?”

“Apanya?”

“Ketemu Younghoon lagi… after a while.”

“Gak tau, Chan… Jujur gak bisa dijelasin. Lo kayak… apa ya? Constantly gak bisa nebak yang kira-kira bakalan kejadian. Kayak satu detik gue salting dan asbun banget depan dia, satu detik dia nangis sambil meluk gue, satu detik ada kejadian komedi kondom, satu detik gue ada di dalam kamar dia, dan selanjutnya lo tau lah gimana. Gue yakin kok kakak juga gak mungkin tau dan udah ngerencanain semua di kepalanya. Jadi ya… jawabannya gak tau. Buat dua orang yang dulunya punya ikatan istimewa, kepisah, dan terus ketemu lagi setelah sekian lama, mungkin ekspektasi paling realistis sebenernya cuma berdamai.”

Berdamai.

Apa yang sebetulnya… harus didamaikan antara dirinya dan Sangyeon? Malahan seharusnya Chanhee yang berlutut di kakinya, dan meminta maaf karena sudah menjadi manusia paling payah dan pengecut yang mungkin pernah pria itu kenal.

Worst case of it all, mungkin Sangyeon sudi pun tidak untuk sekedar melempar senyum kearah Chanhee.

Harusnya jalan pikirannya terformulasi seperti itu. Tapi sebuah rencana yang sekarang malah bertengger di dalam kepalanya? Memindai beberapa rak lain, menemukan pelumas dan alat kontrasepsi dengan merek spesifik, menggengamnya bagaikan maling beraksi, membawanya ke depan kasir, dan membayar dua benda tersebut tanpa pikir panjang.

Kedua barang krusial itu telah tersembunyi dengan aman di dalam tasnya ketika dirinya terlonjak di tempat akibat sebuah tepukan di punggung.

“Heh! Gue udah selesai nih tinggal bayar. Lo beli apaan deh?”

“Hah, ini.” Choi Chanhee dengan tubuh gelisah dan salah tingkahnya. “Beli lipbalm doang kok.”

“Ohh… Yaudah abis bayar langsung aja deh Kintan, laper nih gue.”

Choi Chanhee dengan demaham palsunya. “Oke. Gue tunggu di depan aja ya rame banget nih disini. Abis itu baru Kintan. Gue bayarin deh.”

Ji Changmin dengan wajahnya yang sumringah dan berbinar-binar. “Seriusan?”

“Ya makanya cepetan lo bayar.”

“Oke, oke!!!”

Sahabatnya masuk ke dalam antrian, dan Chanhee berjalan dengan gugup seraya menggengam tasnya dua kali lebih erat dari biasanya seakan pelumas dan alat kontrasepsi itu berkemampuan mengeluarkan suara jeritan.

Satu yang dirinya yakini, sedang ada yang salah dengan sistem kerja otaknya.

***

“Demi Tuhan, gue mual.”

“Stop bilang kalau lo mual, lo ngga hamil!!!”

“Mual kan bukan cuma buat orang hamil!!!”

“LO MUAL KARENA NERVOUS MAU KETEMU SANGYEON!!!”

“Udah, udah…” Sunwoo berjalan kearah mereka berdua dengan piring yang ada di telapak tangan kanan dan kirinya. Wadah itu, berisikan gorengan yang sudah dipindahkan dari kantung plastik. “Nyemil dulu nyemil.”

“Ah kamu Des, masa udah dua tahun camilannya gak ada perubahan. Masih aja gorengan…”

“Wah Mbul, jangan lupa identitas gitu dong. Gorengan ini makanan adat Indekos Poci, dan budaya itu sudah seharusnya dilestarikan.”

“Biarin Mbul biarin, baru disini dia bisa bercanda ria. Kalau di kamar sendiri biasa cuma bisa nyanyi Cinta Ini Membunuhku.”

“Wah, Bangkev…” Si yang sedang terolok-olok merangkul Kevin dengan perlahan, memasang wajah dramatis yang dibuat-buat. “Ngga ada ceritanya cinta Eric membunuh gue. Yang ada dia malah mengajarkan gue untuk menjadi manusia yang kuat, sabar, dan ikhlas.”

“Lha, terus kamu tiap malem-malem nangis curhatan sama aku di telepon itu apa dong, Sunwoo?”

Anak itu mendecakan lidah dan menggertakan giginya ke arah Haknyeon, “Dahlah, lo pada kunyah aja tuh gorengan. Eh tapi kecuali yang mual mau ketemu uda, yak.”

Chanhee memicingkan matanya kepada Sunwoo dengan buas. “Bisa?”

“Bisa apaan kak?”

“Bisa musnah dari dunia ini?

“Galak bener dah…” Dagunya dicolek dengan usil. “Jangan galak-galak kak, entar Sangyeon kabur.”

“Kenapa saya kabur?”

Chanhee pada saat itu, serta merta mengalami sebuah pengalaman spiritual dimana rohnya terbang meninggalkan tubuhnya. Lirikannya yang enggan itu mau tak mau tepat sasaran, dan dalam sebuah riuh yang tumpah seisi ruang tamu itu kemudian memberikan sebuah penyambutan.

Dan mau tak mau, dirinya ikut bergabung.

Mereplika imaji tentang Sangyeon di kepalanya tidaklah mudah. Mantan kekasihnya itu bukan tipe orang yang menggembar-gemborkan kehidupannya dalam medium berbentuk media sosial, dan kekejamannya pada hari terakhir mereka bertemu dua tahun lalu tak memberi kesempatan untuk mereka menjalin sebuah silaturahmi dimana keduanya bisa dengan santai melempar pertanyaan berbunyi apa kabar.

Pun begitu, ia akan selalu ingat dengan jelas seluruh perasaan yang timbul tentang hal-hal yang menyangkut Lee Sangyeon. Pria itu bagaikan sinaran tata surya untuk segalanya yang aman dan nyaman, dan rumah sederhana berisi dia dan dirinya bersama beberapa anak mereka yang lucu acap kali timbul tanpa permisi.

Namun, permasalahannya, Choi Chanhee sedang menuju gila karena berhasil mendeteksi aura yang berbeda dari Lee Sangyeon namun tak berkemampuan untuk menjelaskan apa dan mengapa.

Pria itu datang dengan celana bahan dan sweater abu-abu hangat menutupi kemeja putih dibaliknya. Changmin selalu bergurau bahwa penampilan Sangyeon terlihat seperti duda beranak satu yang sudah lelah mengikuti sidang perceraian, dan Hyunjae selalu mengatakan bahwa Sangyeon terlihat seperti pria paruh baya dengan beban ekonomi di pundaknya.

Menurut Chanhee mereka berdua salah besar. Di dalam pandangannya, Lee Sangyeon berpenampilan seperti mas-mas biasa saja yang akan berpegang teguh kepada kata setia dan mendedikasikan hidupnya untuk menggambar senyuman pada wajah orang yang dicinta.

And now he also wonders if Sangyeon spent a solid three hours just to pick the right clothes and a decent hairstyle to set himself ready for this very particular moment just like Chanhee did.

Sebuah kenyataan yang faktanya valid, hanyalah bagaimana Sangyeon masih berkemampuan untuk membuat sesuatu di dalam diri Chanhee bergejolak riuh.

“Buset yah, rapi amat… Mana amplop CVnya?”

“Kamu nih Sunwoo,” Senyum manisnya. Suara hangat tawanya. Pindai matanya yang mengelilingi seisi ruangan. “Halo semuanya…”

“Halo udaaa…”

Chanhee yang tercekat berakhir dengan bungkam total dibibirnya dan melewatkan paduan suara yang baru saja terjadi. Sampai, akhirnya, manik itu jatuh bergilir tepat kepadanya. “Halo, Chanhee…”

Tantangan entah keberapa yang dihadapinya hari ini, adalah sebisa mungkin menahan dirinya untuk tidak cegukan. “Halo, kak…”

“Anjay, indomie warkop. Spesial telor kornet…”

Changmin dengan tangan kecilnya membekap bibir Sunwoo bersama dengan emosinya yang menggebu. Kalimat yang selanjutnya memantul diantara mereka adalah sesuatu yang terdengar seperti lo tuh jangan merusak momen!!!

Dan selanjutnya, tinggal tersisa serangkaian agenda dimana Chanhee mencoba untuk bertahan hidup.

Menghindari Sangyeon ternyata bukanlah hal yang begitu sulit. Banyak diantara teman-temannya yang mempunyai topik obrolan yang ingin mereka bicarakan dengan sang uda, dan alhasil pria itu terlalu sibuk tenggelam dalam acara reuni mereka seraya tertawa lepas acap kali mengenang ulang kejadian bodoh yang pernah terjadi di masa lalu.

Tugas Chanhee pada sore hari itu barangkali pun sama; mendengarkan, menimpali, memastikan pesanan delivery mereka datang sesuai pesanan, dan membantu menyuguhi makanan untuk teman-temannya. Satu jobdesk tambahan yang diam-diam ia lakukan pada kala itu, adalah mencuri pandang kearah Sangyeon.

Dan adalah kebohongan jika Chanhee bilang ia juga tak sesekali menangkap sang pria menoleh kearahnya.

Namun kepasrahan adalah apa yang membuatnya berlaku pasif. Dirinya yang berserah, adalah atas dasar pikir panjang yang berpusat kepada pemikiran: jika ia mencoba memulai, lalu kemana lagi akhirnya?

Tembok defensifnya berhasil bertahan hingga hampir tengah malam.

Mereka sepakat untuk tak mengikutsertakan alkohol setelah mengkonsiderasikan norma dan etika. Rumah ini bukan lagi tempat tinggal mereka, dan kedatangan mereka kesini hanya untuk berkunjung berdasarkan izin dari pemiliknya.

Jadi ketika tepat pada pukul sebelas lewat tiga puluh malam mereka memutuskan untuk membubarkan acara, sepuluh dari mereka masih dalam keadaan sadar.

Hanya saja, it’s just a tiny little bit, “Nyet, lo balik ke rumah atau nginep di rumah kakak sepupu lo?”

“Gue?” Changmin menunjuk dirinya sendiri. “Ke rumah sih. Kenapa emang?”

“Lo nginep apartemen gue aja deh, jadi kita langsung pesen Gocar berdua.”

“Duh, besok gue ada acara kondangan sama bokap dan nyokap. Males gue kalau harus cabut pagi dari kosan lo. Jeje tuh coba.”

Hyunjae is… (sudah bersiap di samping motor Juyeon yang sedang memakaikan helm di kepalanya dengan senyum manis terpatri di masing-masing) …nevermind.

“Terus lo mau balik naik apa?” Tanyanya lagi, mulai gelisah.

“Ya dianterin sama kakak, lah.”

Sumringah Ji Changmin, tatapan terhianati Choi Chanhee. “Dan membiarkan gue ngegocar jam segini sendirian, gitu?”

“Lo ngapain ngegocar, anjir? Itu Sangyeon kesini kan bawa mobil. Ya walaupun Avanza sih…”

That’s not entirely the point but, what the fuck. “Lo jangan gila, dong nyet…”

“Gue gak gila…” —Kakak sebentar yaa tungguin aku lagi ngomong sesuatu sama Chanhee!!!— “Gak ada yang salah dari Sangyeon nganterin lo pulang.”

“Ya jelas salah lah??? Emangnya Sangyeon mau?”

“—Mau apa?” Dirinya terlonjak ketika mendengar suara yang datang dari belakang. Dan ketika membalikan badan, Chanhee menemukan Sangyeon yang tengah berusaha memasang jam tangannya dengan rambut setengah basah. Katanya ketika kepalanya sudah kembali mendongak, “Jadi kan? Yuk?”

Chanhee mencoba untuk berkedip. “Jadi… apa?”

“Pulang, kan? Tadi saya udah titip pesen sama Changmin supaya kamu jangan pesen Gocar dulu.”

“Oh… Belum sih… Dan jadi sih…”

“Okedeh. Yuk?”

Chanhee menyempatkan diri untuk melirik sahabatnya yang tengah berusaha menyembunyikan seringai. “Okay.

And within a few of second, it’s Chanhee following Sangyeon’s back in complete silence from behind.

Changmin tidak berbohong ketika mengatakan bahwa mobil Sangyeon adalah Avanza. Which is a funny thing, karena the only time Chanhee pernah menaiki mobil jenis ini hanyalah setiap kali ia mendapatkannya lewat jalur pemesanan online. But there he is, duduk di kursi depan dengan Sangyeon menyetir di sebelahnya.

It’s a complication between knowing your place and be polite. Ia tahu kejahatannya dulu adalah nyata, dan kata maaf belum tentu cukup. Tetapi, sebagai orang yang paham caranya berterima kasih, Chanhee dituntut untuk bersikap baik kepada penolongnya dalam kurun rentang waktu ‘nganterin pulang’ ini.

Menjalin sebuah konversasi sekarang berubah menjadi sebuah tuntutan.

“Emangnya kamu searah, kak?” Mulainya, dengan perut mual.

“Hm?” Kepala pria itu tak menoleh, tetapi jemarinya meraih tombol music player untuk sedikit mengeraskan suaranya. “Kenapa dek?”

“Kamu mau anter aku pulang, emangnya searah?”

“Oh engga. Tadi Changmin bukannya bilang kamu yang minta anterin pulang? Aku sih mau-mau aja.”

“Aku ngga…” Ji Fucking Changmin. “…Udahlah.”

Sangyeon terkekeh. “Maaf ya, mobilnya Avanza. Ini juga belinya bekas. Tapi lumayan lah, masih bagus kayak baru. Untuk mobilitas sih oke.”

I didn’t say anything.

Seringai di wajah pria itu tergambar seakan-akan dirinya mengerti. “Iya, cuma lagi kasih briefing aja. Takutnya kan kamu gak nyaman. Tapi sebisa mungkin saya bikin nyaman.”

Chanhee menelan salivanya menuruni tenggorokan dengan susah payah, seakan organ tubuhnya itu tengah bengkak parah.

“Kamu masih ngelakuin itu.” Sangyeon kembali membuka pembicaraan, sesekali menolehkan kepalanya.

“Ngelakuin apa?”

“Gigit bibir kamu setiap kali kamu mikirin sesuatu buat diucapin.”

“Aku gak lagi mikirin apa-apa.” That’s a lie.

Beberapa detik yang lalu, Chanhee baru saja mengunjungi surga. Dan itu semua datang dalam bentuk Lee Sangyeon dengan genggamannya yang erat pada kemudi. Dalam kemeja yang digulung hingga bagian siku. Dalam pembuluh darah yang bermunculan acap kali menarik rem tangan. Dalam jakunnya yang naik dan turun.

Dan Chanhee diam-diam mencuri pandang bagaikan kriminal ulung.

“Ah.” Anggukan Sangyeon penuh indikasi meledek, tetapi Chanhee tak bisa melakukan apapun tentang itu. “Rambutnya sekarang panjang. Bagus.”

“Makasih… Kamu juga, badannya lebih berisi.”

“Perut saya bergelambir maksudnya?”

“Bukan.” Dehaman kikuk. “Otot. Ahem. Maksudku.”

Pria itu kembali menggambar senyum manisnya. So much untuk pertemuan tanpa apa kabar, aku baik, kalau kamu? dan berlari langsung kepada rambut dan otot.

Namun setelah kembali menimbang, Chanhee akhirnya dapat menemukan konteks perbedaan itu dari Sangyeon; his confidence, and his straightforwardness. He runs like a natural seakan dia bukan lagi sosok yang pesimistis.

And the thing hits Chanhee in the guts from how attractive it is.

“Chan?”

“Hm?”

“Alamat.”

“Oh… Oh.” Ia terbirit-birit membuka maps di handphone. “Ini… Apartemen… sebentar… Nanti aku arahin pokoknya.”

“Kamu sekarang tinggal di apartemen?”

Dirinya terkekeh kecil. “Gak bener-bener ‘tinggal’, sih. More like a secret getaway. Ever since Poci, aku jadi belajar kalau investasi itu penting. So i’ve been trying to save up and tried to buy anything from my own money. So it’s like, something mami couldn’t touch. Dan karena aku juga lagi skripsian, jadi lebih sering ngurung diri di apartemen aja.”

Situasi tersebut menjadi jenaka karena ketika kembali dibayangkan, alasan segala tindakan preventif yang memprovokasi dirinya berada tepat disebelahnya. Lee Sangyeon, dalam situasi yang sukar untuk dimengerti, telah mengubah Choi Chanhee menjadi sosok yang lebih dewasa.

“Oalah… Bagus itu, dek. Saya ikut seneng dengernya.”

Chanhee membalas sekedar dalam anggukan kecil, dan Sangyeon tidak mempermasalahkan nihilnya pertanyaan yang terlontar mengenai dirinya.

Dan keheningan itu berlangsung sampai tepat di depan lobi apartemen.

Ketika dirinya turun dari mobil dan melongok ke jendela yang terbuka, ucapan terima kasihnya didahului oleh Sangyeon.

“Dek?”

“Iya, kak?”

Next time, kamu bisa jangan sekikuk ini di depan saya, gak?”

Choi Chanhee, bersamaan dengan napasnya yang tercekat, mencoba begitu keras untuk mengontrol ekspresi wajahnya. “I’ll—i’ll try.

Dalam keheningan perjalanannya selama di dalam lift, ia berusaha untuk tidak tersenyum acap kali mengingat kata next time.

***

Sangyeon tidak bercanda ketika mengatakan next time dengan lantang dan jelas dari bibirnya malam itu. Tepat di hari Jumat seminggu setelahnya, sebuah pesan singkat muncul dan membuat rasa kantuk Chanhee seketika hilang.

Besok, ada waktu lowong?

Saya mau coba makanan viral yang direkomendasiin temen kantor

Tapi kok malu ya kalau sendiri… hahaha

Mungkin kamu lebih paham

Oh iya, ini sangyeon

Nomormu changmin yang kasih

Saya yang minta.

Dan dalam sekejap, dunia Chanhee jungkir balik. Satu minggu adalah dirinya dan Sangyeon yang menjadi turis di kota yang sudah ia kenal betul. Satu minggu berikutnya sebuah thrifting mengasyikan dengan tangannya yang kosong dan kantung belanjanya yang berada dalam genggaman Sangyeon. Satu minggu berikutnya ada popcorn dan kola di pangkuan mereka, bersama dua pasang mata yang terpatri pada layar lebar bioskop.

Dan satu minggu berikutnya yang juga menandakan satu bulan semenjak mereka melakukan serangkaian kegiatan tersebut dengan instan dan impulsif, mereka tengah menyusuri jalan setapak salah satu lokasi kuliner ramai di tengah kota Jakarta, sesekali memberi kesempatan pada nyanyian para mengamen untuk berdengung tepat di telinga.

“Lirik lagu yang paling saya suka itu, ‘'Cause i miss you, body and soul so strong that it takes my breath away, and i breathe you into my heart and i pray for the strength to stand today. 'Cause i love you, whether it's wrong or right.’ Daniel—”

“—Daniel,”

“Bedingfied—”

“—Bedingfield.”

Keduanya terkekeh lepas.

But isn’t that… bold?

“Apanya, dek?”

Loving someone, whether it’s wrong or right.

“Hmm…” Sangyeon diam-diam menarik pinggang Chanhee mendekat, mencegahnya dari menabrak seseorang yang datang dari arah berlawanan. “Ya gak ada salahnya, kan? Toh cinta tak harus memiliki.”

That is so corny of him that Chanhee almost throw up, tetapi dirinya tak bisa Menyusun kalimat dengan baik semenjak telapak tangan Sangyeon ada di lekuk pinggangnya.

Um, okay. Mine was, ‘It started out as a feeling. Which then grew into a hope. Which then turned into a quiet thought. And then the world grew louder and louder, ‘till it was a battle cry.’

Sangyeon dan satu alisnya yang menukik naik, Chanhee dengan tunggunya yang harap-harap cemas.

“Jelek, kah?” Coba dan pancingnya lagi.

“Oh bukan, bukan. Barusan saya nungguin kamu nyebutin nama penyanyinya.”

You don’t know?

Sangyeon menggeleng.

“Regina Spektor?”

Sangyeon kembali menggeleng.

Prince Caspian???

Sangyeon masih menggeleng.

Oh God, you haven’t watch Narnia, have you?

Tawa pria disampingnya, timbul karena Chanhee yang tengah mengusap wajahnya dengan frustasi. “Jujur, belum.”

That’s a lot to fix.

Alih-alih melempar respon balik kepada pernyataanya tadi, Sangyeon dengan tenang melepas jaketnya, mengalungkannya perlahan di pinggang Chanhee, dan kini jaket itu menutupi bagian bokong sana.

Chanhee dalam diam menundukan kepalanya; memperhatikan jemari Sangyeon yang mengikat bagian lengannya, memandang helai rambut di puncak kepalanya, dan menoleh hanya untuk menemukan beberapa pemuda berpakaian nyentrik yang tengah memberikannya pandangan penuh nafsu kepadanya.

Dan Sangyeon melakukan control damage akan hal itu tanpa perlu banyak basa-basi bicara.

Lalu dengan santainya, pria itu kembali mendongak bersamaan dengan lesung pipi pada senyumannya. Ucapnya seakan tak baru saja membuat isi perut Chanhee jungkir balik, “Ngobrolnya sampai mana tadi?”

Mantan kekasihnya banyak melakukan hal tersebut, dalam sebulanan terakhir. Ia banyak menunjukan perilaku yang dulunya tak pernah ada dalam kamus, dan ia terus-terusan membuat Chanhee jadi pihak yang terkejut.

Sangyeon has been talkative, full of initiatives, and feels alive. Alive than before.

“Aku bisa bayar sen—”

“—Ini kamu yang bayarin, ya?”

“Oh. Oke?”

“Nanti selanjutnya, baru giliran saya.”

And makes sure there is always, always, a next time. And that’s a good thing.

***

Choi Chanhee

don’t care

no excuses

it’s narnia night

Lee Sangyeon

hahaha

ya udah

saya ngikut aja

dimana enaknya?

Choi Chanhee

sejujurnya belum kupikirkan

Lee Sangyeon

dasar…

hmm

apart kamu?

Chanhee harusnya tidak pernah setuju untuk bertemu Sangyeon ketika pria itu baru saja pulang dari kantor. Atau, jika boleh direvisi, Chanhee seharusnya tidak pernah setuju untuk bertemu Sangyeon dengan alasan apapun, apalagi sampai menyetujui undangan untuk pria itu bertamu ke apartemennya.

Sekarang ketika hidupnya sengsara, yang bisa disalahkan hanyalah dirinya sendiri.

Ia tidak pernah benar-benar mengkonsiderasi dirinya sebagai sosok yang hopelessly romantic. Ia tidak bisa diburu-buru, kecuali dirinya yang menginginkan sendiri hal tersebut. Ia juga bukan Changmin, yang dengan terang-terangan menunggu agar adegan favorit fanfiksinya menjadi nyata dan terjadi kepadanya. Namun pada kenyataanya, Choi Chanhee sedang sial besar.

Kejadian ini terus-terusan terjadi selama sebulan terakhir; Chanhee, si pendosa, mencuri pandang pada lengan kekar Sangyeon acap kali pria itu tengah menyetir, terkadang usil merambat ke bagian lainnya, menikmati sendiri, diam-diam, apapun fantasi yang sedang bekerja di dalam kepalanya.

Lalu Sangyeon, dengan ketidaktahuannya, akan menoleh karena merasa dirinya sedang diamati. Namun si Chanhee itu bisa dibilang adalah segalanya yang mahir. Pandangannya, akan lebih cepat mangkir sebelum pernah sempat tertangkap basah.

Biasanya semua akan berakhir disitu. Biasanya, curi pandang itu adalah pengisian tenaga untuk energinya yang pergi entah kemana. Chanhee akan kembali diturunkan di depan lobi, kembali merendahkan tubuh sejajar kaca dan melambaikan tangannya, kembali berbunga-bunga hingga sakit kepala, dan kembali menantikan akhir pekan untuk apapun itu nanti yang mereka rencanakan.

Namun nyatanya berada di basement yang sepi dan mengizinkan Sangyeon untuk membantunya membukakan sabuk pengaman bukanlah hal yang cukup cerdik. Karena Choi Chanhee, dengan akal sehatnya yang sudah pindah ke kaki, telah kepalang tanggung melompat ke pangkuan Lee Sangyeon.

Ada sebuah skenario di dalam kepalanya tentang mendaftar menjadi warga negara Zimbabwe jika seumpama pria di depannya tak menginginkan hal seperti apa yang diinginkannya saat ini. Pertama-tama tentu saja ia harus memastikan pintu mobil ini tidak terkunci, or else rencana kaburnya akan menjadi sirkus memalukan. Di sudut pandangan tasnya juga telah menunggu untuk ikut ditarik pergi, dan Chanhee adalah manusia penuh rencana kecuali tentang berada di atas pangkuan mantan kekasihnya.

Namun ia merasa akan gila jikalau tak segera menyentuh Sangyeon sesegera mungkin, dan ini adalah salah satu usahanya untuk bertahan hidup.

Dan, untungnya, yang diharapkan menangkap sinyal tersebut.

Segera setelah kedua telapak tangan Sangyeon menangkup wajah Chanhee, si dia bertanya. “Ini yang kamu mau atau engga?”

He wants to laugh hysterically because what the fuck, Chanhee’s whoring himself and the man is still asking for consent.

Melumat bibir Sangyeon adalah jawaban Chanhee, lebih tepatnya. Ia sungguh tidak mempunyai penjelasan inkoheren tentang the goods and the bads, karena yang saat ini ia inginkan hanyalah bersama dengan Sangyeon, kulit bertemu kulit.

Ingat bagaimana dirinya menjabarkan bahwa menanti fanfiksi sampai akhirnya menjadi nyata adalah ranah Changmin? What would he thinks, ketika sahabatnya itu tahu bahwa Sangyeon masih tak melepas ciumannya sepanjang perjalanan mereka keluar dari mobil (dengan susah payah), menunggu dan memasuki lift, menerjang kantung Doraemon hanya untuk menemukan kunci kamar Chanhee yang entah ada di bagian tas sebelah mana, dan semua itu ia lakukan bersama dengan jemarinya yang dengan lihai membuka kancing kemeja Sangyeon satu demi satu.

Changmin would call it magical, Chanhee rather address it as madness.

Harusnya ia tahu bahwa cepat atau lambat punggungnya akan menemukan tempat empuk bernama tempat tidur dari entah bagaimana langkah terburu-buru mereka menuju kesana. Tangan Sangyeon memenjaranya di samping kepala, dan wajah sang pria yang menggantung tepat diatasnya mencoba bernapas dengan teratur dan mengirim rasa hangat pada setiap titik di kulitnya.

Ucapnya dengan terengah-engah, dengan bisik yang ia yakin tak dimaksudkan untuk terdengar erotis, “Chanhee, ini beneran?”

“Kamu… gak mau?”

“Saya bukan gak mau,” Rengeknya, frustasinya, seraya menjatuhkan keningnya di atas dada Chanhee. “Saya gak ada persiapan apa-apa.”

“Aku,” Tenggorokannya luar biasa sakit. “Aku ada. Um. Di laci.”

Sangyeon, of course, eyeing him with the look. A certain look. And fuck, Chanhee’s entirely blaming Changmin for that.

Tetapi tensi diantara mereka sudah terlanjur membara. Penampilan mereka sudah terlanjur berantakan. Libido mereka sudah terlanjur merangsang. Dan rasa nyeri pada sebuah organ tubuh diantara selangkangan, sudah terlanjur mendistraksi.

Nanti, begitu mata Sangyeon berbicara. Kita bahas ini nanti.

Dan itu sekaligus menjadi isyarat bagi Chanhee bahwa apapun yang selanjutnya terjadi setelah ini telah diikat oleh situasi sama-sama ingin.

Maka pada saat putingnya menjadi sebuah target untuk bisa Sangyeon lumat dan hisap, seluruh tubuhnya serta-merta mengejang. “Ngghh!

Sangyeon bukan orang yang banyak berbicara ditengah-tengah kegiatan seks, so Chanhee discovered. Dia lebih suka menggunakan bibirnya untuk banyak hal lain, seperti mencipta bercak merah gelap di lehernya atau di tempat lain yang menimbulkan nikmat bukan main. Seperti misalnya: ke bawah, ke bawah, dan terus ke arah bawah….

“S—Sang—shit—Sangyeon.”

“Hm?”

No… it’s just… it’s good.

Alih-alih merespon, pria itu menggunakan kelima jemarinya untuk menggelitik kepunyaan Chanhee yang masih berada di balik celana dalamnya. Lalu lagi, dengan suara yang kali ini dimaksudkan untuk terdengar erotis, ia berbisik.

“Buka, gak?”

And Chanhee thinks he’s crazy for that.

Menangkap sebuah pemandangan akan Sangyeon yang tengah mencondongkan tubuhnya kearah laci tempatnya menaruh peralatan tempur itu dipikir-pikir cukup jenaka. Satu bulan lalu Chanhee adalah seorang pemuda dengan sistem kerja otak yang salah akibat impulsivitasnya dalam membeli pelumas juga alat kontrasepsi berdasarkan angan-angan, dan hari ini kedua benda itu ada di genggaman sosok yang ia bayangkan, ia harapkan, akan menggengamnya.

His wildest dream is now cursed.

“Kamu tau kita akan ngapain dan gimana kan, dek?”

I know. I’m good at theory.

“Wah, berat.”

Tanpa mengetahui dimana letak kelucuannya, Chanhee terkekeh. “Meaning?

“Berarti saya bisa dibanding-bandingin sama contoh soal.”

Chanhee mengetuk halus, menggoda, ujung hidung Sangyeon dengan senyuman yang ia tahu akan membunuh. He knew his game. He knew what becomes his expertise. Karena, pertanyaan yang kemudian ia lontarkan berbunyi kira-kira seperti ini: “Up for the challenge?

It’s the ‘hell yeah i’m game’ out of Sangyeon ketika pada akhirnya ia membuat Chanhee berpresensi tanpa sehelai busana pun. It’s the starstruck moment out of him ketika napasnya yang tercekat, matanya yang terpaku, tangannya yang bergetar, adalah disebabkan oleh kekaguman luar biasa.

“Sayang…” Ucapnya, lirih, dalam, dan sungguh-sungguh. “Cantik…”

Chanhee melts into a puddle he wasn’t sure he’s gonna survive whatever the hell is this.

Please… Kak, tolong…”

“Tolong apa, cantik?”

“Aku mau…” Tubuhnya menggeliat, melengkung, meramu. “Aku mau banget aku gak bisa… Aku udah gak tahan…”

“Iya…” Bibir Sangyeon mengecup puncak penisnya, dan bibirnya hinggap disana dengan halus bagaikan terbangnya bulu. “Iya…”

“Sangyeon tolong…”

Sangyeon menolongnya, dengan mulai membalurkan pelumas ke atas telapak tangan. Ibu jarinya mengusap pipi Chanhee atas nama reasurasi, dan sebagai penanda bahwa tak ada jaminan bahwa ini tidak akan sakit tetapi aku disini.

Chanhee sudah mengaku bukan, bahwa ia bukan orang suci? He’s more than often shoving his own finger down there during his alone time. But this. This. With no other than Sangyeon’s finger himself, no words would do any justice.

Oh my God. Oh. My. God.

“Sakit?”

I’m—fuck, fuck, fuck, do it.

Dan dimundur-majukan kemudian lah jemarinya. Sampai lalu, sampai kemudian, kegiatan itu,berhasil menghantarkan Chanhee pada titik-titik dalam hidupnya yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya.

Dan seakan belum cukup, dan SEAKAN belum cukup, Sangyeon masih punya banyak rencana untuk menciptakan migrain di kepalanya. Karena pertunjukan di depan sana, pertunjukan yang ada dan terjadi di depan sana, sama gilanya dengan pembunuhan.

“Kamu mau ng—”

It’s Lee Sangyeon, disarming his pants, showing Chanhee his pride, opening the condom pack with his own teeth, all happened in one go.

Oh fuck me.” Kata-kata itu seharusnya hanya terucap di kepala, namun perkara sekarang si dia ikut mendengarnya sudah tidak lagi menjadi masalah utama.

Bibirnya dikecup sekali, matanya menangkap senyum penuh reasurasi, and the next thing he knew ada Sangyeon di dalam dirinya; besar dan memenuhi.

Holy. Shit.

“Enak, Chanhee?”

Dirinya mengangguk.

“Suka?”

Dirinya mengangguk dua kali lipat lebih keras.

The imagine of Sangyeon opening the condom pack with his teeth is so vivid inside his head that it’s so easy for him to get aroused just by that. Bahkan tanpa Chanhee harus menyentuh kepunyaanya sendiri, bahkan tanpa ia harus melakukan apa-apa.

Yang mampu ia lakukan, sejujur-jujurnya, hanya menggigit bibirnya untuk menahan lenguhan dan jeritan lebih besar daripada yang sudah ia keluarkan.

And when he had enough of the missionary, Chanhee made himself sits and bouncing on top of the Sangyeon’s lap.

“Ini posisi favorit aku.”

Sangyeon menahan rasa ngilunya dengan ringisan. “Kenapa? Bisa lebih mentok ya masuknya? Kayak begini?”

That—ahhh!—too, tapi point utamanya adalah your palm on my waist.

“Telapak tangan saya di pinggang kamu?”

It’s one of my favorite things in the world.

Noted, pak.” Sangyeon dengan senyum jahilnya, sebelum mengangkat tubuh Chanhee dengan mudah dan berlanjut menjatuhkannya kembali hingga tubuhnya melengkung dalam nikmat. Dia, menyentuh titik paling dalam. “I’ll hold you.

His world started to make no sense because it’s all black and grey. Satu detik bibir Sangyeon ada di putingnya, lalu di leher, lalu di bibir, lalu di segala titik yang nikmat, lalu alam semestanya tumpah ruah.

And without him noticing, he came. And it was one of the best ever existed.

“Kamu masih punya hutang sama saya.”

Masih dengan mereka, masih dengan tubuh tak berbusana, masih dengan napas yang sedikit terengah-engah. Namun yang kali ini, kepala Chanhee bersandar dengan nyaman di atas dada Sangyeon. Selimut tipis menutupi bagian bawah tubuhnya, dan matanya sesekali terpejam acap kali jemari sang pria menyisir rambutnya atau meraba usil punggungnya dengan buku-buku.

“Hm? Hutang apa?”

“Kenapa punya gituan di laci.”

Tubuh Chanhee bergetar karena tawa. “I have my own needs, you know?

“Iya saya tau. Pelumas, mungkin masih bisa ditoleransi. Tapi kondom?”

It’s… kind of a funny story.

Pelipisnya dikecup dengan lembut. “Cerita.”

So Chanhee did, all about the Younghoon Indomaret fiasco dan bagaimana ia tidak ingin hal memalukan itu juga terjadi kepada mereka. Technically. But of course, semuanya masih akan menjadi janggal karena dirinya yang tertangkap basah membayangkan hal tersebut jauh sebelum bertemu Sangyeon.

“Kamu nih… Ya ampun…” Sangyeon meraup wajah Chanhee dengan gemas, mencubitinya, menekannya hingga bibirnya bertransformasi menjadi berbagai bentuk lucu, dan mengacak-acak rambutnya. “Udah cantik, gemes pula. Saya tuh gemes sama kamu, Chanhee...”

I know. I’m cool.

Sangyeon menyembunyikan wajahnya dibalik bantal untuk tertawa, diam-diam ikut menarik Chanhee semakin mendekat dalam pelukan. “Dan sayang banget…”

It’s the tingles all over his chest.You do?

“Masih, selalu.”

“Okay.” Chanhee susah payah menelan salivanya. He’s scared, obviously, above anything. But for now, he thinks it’s—Okay.

“Mau temenin saya masak indomie dan seduh kopi sachet?”

Yes.And eyes, all in silent teary.Yes, please.

It’s okay.