cikicuba

POV: Boo Seungkwan.

[⚠️] indekos poci major spoiler.


Semakin sering dipikirin, semakin kepikiran juga kalau dari semua anak Cendana Indah gue adalah kandidat mutlak yang paling pantas disebut orang luar. Gue datang pertama kali karena orang tua gue menitipkan, dan salah satu penghuni rumah tempat gue dititipi kala itu tidak begitu menyukai gue. Bener-bener setidaksuka itu malahan if we’re being real, sampai tahap dimana dia mati-matian membeberkan kesalahan gue pada suatu malam di pulau Bali sana dan berteriak-teriak di depan muka gue serta bersumpah serapah seperti orang gila.

Tapi ternyata awal yang buruk itu kebanyakan waktu cuma jembatan aja untuk sampai pada akhir yang baik. Dan buat gue, semua itu dimulai ketika Hansol membalas keusilan gue dengan kekehan tawa dan gelengan samar alih-alih ucapan kasar yang susah payah ditujukan untuk menyakiti. Bagi gue itu adalah garisnya, dan tahun demi tahun kemudian berlalu hingga tiba sebuah masa dimana gue secara magis menciptakan sebuah kenangan buatan dimana gue merasa telah berada di kompleks ini dari semenjak gue lahir.

Gue gak pernah menceritakan ini ke siapa pun dan hal ini masih jadi satu rahasia yang gue simpan sendiri, tapi salah satu ketakutan terbesar gue adalah gak lagi punya cinta yang cukup besar sampai akhirnya terpaksa harus berpisah sama Hansol. Karena apa pun bentuk narasinya dan sebanyak apa pun orang yang menahan, gue gak akan punya banyak sisa alasan lagi untuk menjadi bagian dari mereka. Kedua mata gue yang sudah banyak menyaksikan seberapa jauh dan besar Cendana Inda berubah semenjak pertama kali gue menginjakan kaki disana, hanya akan menjadi catatan memori yang numpang lewat sebelum sesekali dikenang.

Mungkin itu adalah alasan mengapa dari semua orang, gue merupakan sosok yang paling punya sentimentil besar kepada Indekos Poci.

Sewaktu dulu kak Minghao pulang dari Dubai dengan membawa resolusi besar dan menunjuk bangunan bertingkat yang dibangun tepat di sebelah rumahnya, dia tersenyum dibalik kata-kata tuh, itu disana, adalah tempat dimana gue akan membangun legasi Cendana Indah. Mungkin dia sendiri tahu bahwa cepat atau lambat kami bukan lagi kami yang menjadikan rumah sebagai prioritas, namun di satu sisi sayang rasanya jika rasa kebersamaan itu harus berhenti di kami. Namun seharusnya gue juga sadar, kalau indekos itu sedari awal bukan tempat untuk menetap; disana, orang-orang hanya datang untuk singgah sementara.

Dan salah satu cara untuk mempersatukan mereka semua yang dikemudian hari sudah punya jalan dan tujuan masing-masing, adalah lewat sebuah trik bernama reuni.

Reuni membawa kak Bonge kembali berkujung dan memboyong Rose & Jack untuk bersenang-senang di atas panggung. Dua minggu kemarin sempat ada sebuah fase dimana kita semua tahu kalau bang Nyongi dan kak Wonwoo sedang berada dalam hubungan tidak baik, namun kemudian pada suatu hari setelah mereka mengobrol berdua dan setelah hampir sebulan bang Nyongi pusing memikirkan penghormatan terakhir yang pantas untuk babeh, kini ada iringan musik yang terdengar di seluruh penjuru kompleks lewat lagu-lagu lawas yang konon katanya adalah lagu dan suasana yang sama seperti ketika pertama kalinya babeh dilantik sebagai ketua RT.

Reuni membawa Eric kembali ke Indonesia setelah dua tahun dan membuat Sunwoo tidak berhenti menyunggingkan sumringahnya sepanjang malam. Namun bukan hanya Sunwoo yang malam itu berada di atas awan, tapi juga Flora yang membuat Naeun iri dengan terus-terusan membisikan kakak ganteng itu om aku lho, dia baru pulang dari Amerika! Om aku sekarang bertambah satu! (Naeun kemudian berlari sambil tersedu-sedu ke pelukan om Cheol dan kak Han dan meminta om baru juga bersama pipinya yang basah kuyup)

Mungkin untuk sebagian orang seperti om Cheol dan kak Jeonghan misalnya, reuni bisa menjadi sebuah hal yang penuh trauma. Namun proses dari reuni itu sendiri juga yang kemudian membangkitkan sebuah konseptualitas bernama keberanian.

Reuni, juga membawa Hyunjae dan Juyeon untuk bertemu setelah perpisahan yang tidak baik-baik saja dulu. Selain berterima kasih kepada gue kayaknya mereka juga harus berterima kasih atas kecerobohan Changmin, yang walaupun hampir terjebak di tengah jalan toll karena lupa membawa kartu Flazznya juga membuat Younghoon mencetak permintaan maaf pertamanya yang diterima karena tragedi kartu tersebut. Reuni membawa Chanhee dan Sangyeon untuk meromantisasi stasiun Manggarai seperti sedia kala. Reuni membawa Jacob dan Kevin untuk kembali menaklukan dunia di atap Indekos Poci. Reuni membawa kita semua untuk menyaksikan kemampuan memasak Haknyeon yang luar biasa pada final Masterchef.

Dan reuni, membuat kami semua terbahak-bahak menertawakan keempat anggota Pejantan Tangguh mengenakan kalung emas di leher mereka yang dulu sempat menghebohkan jagad raya yang lagi-lagi adalah hasil dari kepulangan setelah Dubai.

Acara penghormatan terakhir babeh malam itu bukan ditandai dengan penyerahan buket bunga dan plakat. Bukan juga dengan jabat tangan resmi dan pengalungan piagam, dan bukan juga dengan sebuah pidato perpisahan. Untuk pertama kalinya malam itu, bersama bang Nyongi yang menggunakan jas lusuh berwarna abu-abu sama seperti yang babeh kenakan bertahun-tahun lalu, bapak dan anak itu berdansa dengan asal dan seadanya ditengah-tengah kami semua. Seperti bagaimana dulu engkong juga menemani babeh berdansa.

Dengan kak Bonge yang menabuhkan drum penuh energi, dengan lirik lagu Kemesraan yang dihapal oleh semua orang di luar kepala, dengan Rojak yang tak hentinya tertawa dan berlari mengelilingi lapangan, dengan mas Mingyu dan kak Wonwoo bersama kehidupan pertama mereka bersama Flora, dengan kak Han dan om Cheol yang sekarang sudah tidak akan punya trauma lagi dengan bulan November, dengan kak Jisoo dan kak Seokmin yang sudah tidak bermusuhan dengan jarak, dengan kak Jihoon yang tahu betul kaptennya sedang berbahagia, dengan kak Minghao yang memandangi satu-persatu anak Indekos Poci dengan perasaan lega, dengan kak Juju dan Ican yang perlahan menerima keadaan, dan mungkin dengan gue yang tidak takut akan apa pun karena gue punya cinta dan kasih sayang untuk Hansol.

Keistimewaan malam itu, ditambah dengan kami semua yang berdiri mengelilingi Eric dan menemaninya meniup lilin di atas kue ulang tahunnya.

Ada sebuah percakapan di salah satu pojok lapangan yang gak sengaja gue curi dengar saat tengah berniat mengambil beberapa potong kue di meja prasmanan. Disana ada bang Nyongi, kak Wonwoo, juga sebuah kotak hitam besar yang diserahkan ke atas pangkuan tangan Choi Chanhee dan seringai usilnya.

Alright kiddo, show’s over.

Chanhee mau tak mau menerima kotak itu dan menggengamnya seraya melempar sebuah tawa kepada kak Wonwoo. “Did i really caused so much trouble?

Almost.” Balas kak Wonwoo dengan bibirnya yang ditekan menutup rapat dan membentuk garis lurus dan satu alisnya yang menukik naik.

“Lagian ini bocah satu ada-ada aja dah.” Kali ini bang Nyongi yang bersuara sambil menjitak pelan kepala Chanhee sebelum berganti mengusap dan mengacak-acak poninya. “Kenapa harus pake cara neror segala sih? Kan bisa langsung nanya aja.”

Hello?? Ethic code, remember? Kalau aku tiba-tiba datengin kak Wonwoo dan nodong dia dengan pertanyaan apa bener dia itu Nu dan dulu working under Love.Inc apa dia akan langsung ngaku gitu aja?”

“Ya kan yang ini beda Chan, elu bosnya bocaaah. Elu juga pan yang sekarang pegang tuh perusahaan. Masa iya Wonwoo gak mau jujur?”

Well.” Choi Chanhee, dengan kedua bahunya yang diangkat santai itu bergumam tanpa beban. “Where’s the fun?

Kak Wonwoo dan bang Nyongi saling melirik sebelum beberapa detik kemudian mengeluarkan sebuah dengusan penuh desperasi. Seakan secara tidak langsung mereka paham Chanhee ada benarnya, seakan dalam otomatisasi mereka juga paham memperdebatkan permasalahan ini lebih jauh juga tidak ada gunanya.

“Tapi lo gak beneran kepengen ngerekrut Wonwoo balik kan, Chanhee?”

NO!” Yang ditanya serta-merta mengelak. Kepalanya kini ditolehkan ke arah bang Nyongi. “Of course not. Don’t you see how happy he is right now?

Dan kali ini, giliran bang Nyongi yang memaksimalkan seluruh radius diantara matanya untuk memandang kak Wonwoo tulus sebelum kemudian mengatakan, “Iya, lihat kok.”

Dengan langkah kaki yang diseret sepelan mungkin sehingga tak menimbulkan suara, gue berbalik badan dan berjalan kembali ke arah dimana anak-anak lain sedang berkumpul.

“Ambil aja itu bebas terserah kalau mau.” Kata Hansol kepada gue ketika rolling door sudah terbuka. Warung sembako yang kini sepenuhnya dibeli oleh keluarga Hansol itu memang sengaja ditutup seharian, cuma tadi Hansol baru inget kalau katanya uang yang seharusnya dia kasih ke Inong masih tertinggal di laci. Gue tentu jadi korban yang sekarang harus menjauh dari keramaian di lapangan sana dan menemani dia disini.

“Menurut kamu, kejadian yang kemarin bakalan keulang gak sih?” Gue bertanya setelah alih-alih mengambil salah satu minuman dari lemari pendingin malahan mencomot lolipop rasa melon dari kardus di etalase. “Bang Nyongi kan sekarang udah gantiin babeh, berarti semua urusan administratif kompleks juga bang Nyongi yang ngurusin. Tapi kan, dia juga masih kerja di kantornya. Gimana kalau tragedi kemarin kejadian lagi? Gimana kalau… kapten kita hilang lagi?”

Gue memang tidak bisa melihat secara langsung kepala Hansol yang tertutup beberapa tumpukan kardus, namun gue sedikit jelas bisa mendengar kekehannya. “Ya… gak ada yang bilang kalau posibilitasnya gak ada. Cuma ini kan kita lagi ngomongin Ucup, dan kita tau cara berpikirnya dia kayak gimana. Lagian setau aku kayaknya Ucup emang niat mau hire asisten, terus dia juga baru naik jabatan atau apa gitu lah. Gak tau juga sih ngaruhnya apa, yang pasti kemungkinan besar makin banyak yang bekerja di bawah dia.”

“Hmm.” Ada senyum yang diam-diam gue sembunyikan setelah mendengar ocehannya barusan. Hansol itu memang sebagian waktunya dipakai untuk membangun sebuah personifikasi aneh dimana hanya dirinya sendiri yang akan mengerti bagaimana cara kerja dunianya, tapi Hansol dan sudut pandang rasionalnya juga adalah orang paling bisa diandalkan ketika diajak mendiskusikan topik serius. Lihat bagaimana dia menggunakan kosakata besar seperti posibilitas barusan tadi? adalah orang yang sama dengan Hansol yang mengidolakan willy the kid.

“Dibanding sama Ucup, aku sebenernya lebih khawatir sama Begeng.” Lanjut Hansol, dan bohong kalau pernyataan berusan gak otomatis menyedot perhatian gue sepenuhnya.

“Khawatir kenapa?”

“Bingung juga jelasinnya.” Hansol akhirnya berjalan keluar dari kantor yang terletak di bagian belakang warung, jemarinya sibuk menutup zipper tas selempang kecilnya di depan dada. “Dia kayak lagi… hmm. Lagi melawan dirinya sendiri? Karena terpaksa, bukan karena mau.”

Gue baru berniat akan merespon dengan teori sekenanya ketika mendengar suara ribut-ribut dari sebelah. Yang artinya adalah dari rumah keluarga mas Mingyu, yang artinya mustahil karena seharusnya semua orang masih berkumpul di lapangan dan mengagumi tubuh kak Bonge dengan kaosnya yang tengah dibuka karena basah kuyup oleh keringat.

Hansol segera berkomunikasi dengan gue lewat sorot mata sebelum kembali menutup dan menggembok rolling door warungnya. Entah kecemasan dan ketakutan macam apa yang membuat gue kemudian meraih tangannya dan menautkan jemari kami sebelum berjalan, seraya langkah demi langkah menyaksikan lebih banyak dan lebih banyak lagi orang yang berkumpul di depan sana dengan air muka penuh keterkejutan.

Ternyata, reuni kami tidak berakhir hanya sampai disitu. Satu lagi sosok yang malam itu datang berkunjung namun tidak diduga-duga, adalah seorang bocah laki-laki kurang lebih berumur empat tahun yang tengah berdiri kebingungan dengan sepucuk surat dalam genggamannya. Kelopaknya membulat ketika menyadari begitu banyak pasang mata yang kini memandangnya dengan harap-harap cemas dan menginterogasinya di dalam kepala, dan tubuh bocah kecil yang sedari tadi membeku itu kemudian berjengit ketika mas Mingyu menghampirinya perlahan sebelum kemudian berjongkok dan membaca kata-kata yang ada di balik surat tersebut.

Kalimat singkat dengan huruf acak yang terlihat ditulis dengan terburu-buru itu berbunyi,

Nu, tolongin gue. Maaf.

—Uyon

Dan tanpa harus dijelaskan panjang lebar gue sudah bisa mengerti, bahwa dalam semalam mas Mingyu dan kak Wonwoo kini punya dua anak yang akan menjadi tanggung jawab mereka.

— : Ican x Nu
— : in affiliation with Love For Sale (ALTERNATIVE PLOT)
— : ⚠️ having no cause-effect into the original story whatsoever
— : words count // 6,4k
— : a work of commission to. @chanwonz

Sebuah alternatif garis cerita dimana alih-alih mendadak didatangi teka-teki, Chan sudah lebih lama menyadari bahwa potongan petunjuk itu memang selalu ada.

Benefit dari tinggal di lingkungan yang sama semenjak lahir bagi Lee Chan adalah semua orang dalam radius kompleks rumahnya mengenal dia dan juga keluarganya dengan sangat baik. Sewaktu dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar, pernah ada sebuah kejadian dimana Chan berjalan kaki menjauhi sekolah, motor dan mobil berlalu lalang dengan kencang sementara bocah berumur sepuluh tahun itu berdiri di pinggir trotoar dengan air mata yang menodai dasi berwarna merahnya. Seorang bapak-bapak kemudian menghampirinya dan membawanya kembali ke rumah dengan selamat. Usut punya usut, pria paruh baya itu ternyata adalah teman bapak bermain karambol.

Benefit lain dari tinggal di lingkungan yang sama dalam sepanjang hidupnya adalah adaptasi yang tidak perlu repot-repot ia lakukan. Sekolah baru, tahun ajaran baru, kelas baru? Gak masalah. Karena pada akhirnya, teman sebangkunya adalah anak kelas sebelah yang dulunya selalu berdiri bersebelahan ketika upacara tetapi tak seakrab itu untuk mereka saling mengobrol. Chan begitu mengenal lingkungan tempatnya beranjak dewasa (termasuk mandatory legenda horror bahwa tanah kosong di dekat lapangan dulunya terdapat pohon beringin yang ditebang ketika bapak dan seluruh sesepuh kompleks ini masih muda), namun dia bisa merangkum satu hal: Cendana Indah bukan tempat yang tepat untuk menyimpan rahasia. Atau setidaknya itu adalah kesimpulan yang dirinya tarik dari nihilnya kebebasan berpendapat karena masing-masing dari mereka punya rahasia yang bisa dijadikan pemerasan terhadap satu sama lain.

Dan oh, betapa sial hidupnya karena tumbuh menjadi anggota termuda di antara kakak-kakaknya yang licik dan cerdik.

Selalu memalukan membicarakan urusan romansa ketika semua orang dalam jarak lima jengkal selalu memperlakukan dirinya seakan jika sekali saja Chan mendengar kata seks telinganya akan terbakar dan meleleh. Tahun lalu pernah ada kejadian ikonik yang menghebohkan jagad Cendana Indah dimana Jisoo kehilangan sebuah buku. Mungkin kedengarannya konyol, tetapi setelah mengetahui bahwa buku tersebut berjudul Fifty Shades of Grey Jeonghan adalah orang pertama yang membulatkan matanya hingga hampir keluar dari kelopak sedangkan Mingyu dengan penuh desperasi meminta penjelasan buku macam apa yang sedang mereka cari.

Hansol merupakan orang pertama yang mengetahui bahwa Chan adalah tersangka yang menyembunyikan buku itu. Dia dengan celana seragam abu-abu dan kaos putih yang sudah keluar dari lipatan diam-diam pergi ke kamar sang tetangga, menaruh buku itu di lantai, sementara mereka berdua duduk mengelilingi sang buku seakan tengah melakukan ritual terlarang. Hansol tidak sedikit pun terlihat kaget mendengar berita bahwa buku dengan rating dewasa tersebut adalah kepunyaan Hong Jisoo, padahal alasan satu-satunya mengapa sepupunya bertingkah begitu panik adalah karena ada citra anak polos yang harus ia jaga.

Malam itu, mereka berdua membaca sang buku secara bergantian dan menyembunyikannya di dalam tas laptop kepunyaan Hansol setelahnya sampai pada akhirnya tidak pernah ada yang sadar bahwa buku itu pernah ada lalu hilang. (Dan walaupun di umur yang baru menyentuh angka enam belas Chan tahu apa itu seks, terima kasih banyak).

Dia tahu dari mana bayi berasal baik lewat sudut pandang ilmiah atau pun kiasan, dia tahu apa saja yang dibutuhkan dua orang untuk bisa saling berciuman, dia tahu ada tensi berbeda untuk membedakan rasa sayang kepada tetangga yang sudah mereka anggap saudara sendiri atau rasa sayang yang konteksnya romantisme, dan dia diam-diam tahu tentang segala komplikasi antara Mingyu dan Soonyoung, Minghao yang dengan gengsinya selalu enggan bergabung bersama anak kompleks namun selalu menuruti semua peraturan ketika mereka bermain petak umpet, dan sesuatu yang aneh tentang kakak keduanya setelah putus dari pacarnya ketika berkuliah dulu.

He can blackmail the shits out of them with that much of secret-keeping, but it’s always embarrassing enough for him to admit whenever he likes someone. Setidaknya bukan kepada kakak-kakaknya yang baru berhenti menciumi pipinya ketika menuruninya di gerbang sekolah ketika Chan akhirnya masuk SMA (“Pokoknya kalau mas Gyu sama mas Han masih cium pipi Ican setiap turun mobil Ican bakalan ngamuk dan mogok sekolah selamanya”), dibuat malu setengah mati karena berhasil dibohongi bahwa sepatu yang kita pakai harus dilepas sebelum masuk ke pesawat, atau yang memergokinya di depan lemari pendingin ketika tengah meneguk 1 liter susu yang ia minum karena katanya minum susu bisa cepet bikin kita tinggi.

Jadi ketika untuk pertama kalinya Lee Chan jatuh cinta (atau setidaknya bisa diromantisasi sejauh itu karena for crying out loud he’s seventeen! he hasn’t had that many life to experience ups and downs yet!), fakta itu dirinya bungkus rapat-rapat dalam bentuk rahasia.

Semuanya bermula dari sini: siang hari itu, dia bersumpah akan memusnahkan budaya tebeng-menebeng atau kalau tidak para people pleaser dan juga manusia gak enakan di luar sana akan menemui ajalnya lebih cepat. Chan merasa dia adalah perwujudan lima puluh persen dari dua kategori itu, yang menjadi alasan mengapa dia sekarang berdiri di depan sebuah toko di mall yang adalah musuh umat (namanya Sociolla). Yerim yang pada saat itu punya pacar pada kenyataannya lebih memilih Chan untuk mengantarnya berburu diskon skincare dengan tema midnight sale daripada mengajak pacarnya yang bertemperemen jelek dan punya kesabaran setipis tisu.

Mungkin memang pada dasarnya hari itu dia sedang sial (re: kekacauan ini terjadi sebelum Yerim sempat menepati janjinya untuk mentraktir Yammie Hotplate) and then yadda, yadda, yadda, Lee Chan pernah hampir mati ditikam pacar Yerim yang salah paham ketika melihat mereka jalan berdua malam itu. Opsi pertama adalah untuk tidak ikut campur. Opsi kedua adalah ikut campur, dengan alasan sang pemuda kurang waras di depannya akan membunuh temannya yang saat itu sudah diseret menuju pintu keluar kalau Chan tidak segera bertindak. Tapi, yah, pada dasarnya dia mungkin memang pengecut. Salah satu benefit yang entah ke berapa dari menjadi anak bontot adalah akan selalu ada dua kakak yang dapat diandalkan untuk membereskan  semua masalahnya, sehingga menyebabkan dia tidak selalu tahu harus apa dalam beberapa situasi tertentu.

Lalu di tengah perdebatan batinnya, ratusan mata pengunjung lain yang mengarah kepada mereka, dan Yerim yang sudah menjerit kesakitan, seseorang dengan tendangan Taekwondonya menyingkirkan pacar Yerim yang sakit jiwa itu hingga terlempar ke dalam toko Guardian dan tertimpa puluhan botol shampoo berukuran besar serta beberapa kotak dus cat rambut dengan berbagai warna. Jika situasi ini ada di adegan film dan bukan nyata terjadi di dalam hidupnya, comedic timing ketika salah satu botol mementung kepala pacar Yerim untuk terakhir kali akan membuat satu teater bioskop tertawa terpingkal-pingkal.

Dia tidak akan membicarakan apa yang selanjutnya terjadi kepada pemuda yang kini sudah menjadi urusan satpam mall itu, yang jelas setelah akhirnya melangkah pergi menjauh Chan menemukan dirinya dan Yerim didudukan pada salah satu restoran pasta dengan menu overpriced dan porsi yang kecilnya kurang masuk akal. Raut wajah dua anak SMA yang bahkan seragamnya masih menempel di tubuh itu mungkin begitu mudah terbaca, karena selanjutnya ada sebuah kekeh tawa seraya kalimat it’s okay kalian pesen aja i’ll take care of the bills. (Chan meminta menunya lagi dari waiter setelah itu untuk mengganti dan memesan ulang menu pilihannya dengan harga yang lebih mahal)

Yerim lebih banyak mengobrol dengan kakak itu ketimbang Chan (yang terlihat mengejutkan, mengingat beberapa saat lalu Yerim baru saja berhadapan dengan pacarnya yang psikopat dan menjadi tontonan satu mall). Chan memang tidak menangkap banyak dari isi pembicaraan mereka karena sang kakak selalu berbicara dalam bahasa teka-teki dan otaknya yang belum sepenuhnya berdevelop kesulitan dalam memahami, tetapi dia mendengar sebuah kesimpulan yang setara dengan you guys wearing a high school uniform. i was struggling as well the last time i wore it. Jelas baik Yerim dan juga Chan terlalu segan untuk meminta sebuah elaborasi, jadi selama kakak itu tidak berniat jahat dengan diam-diam meninggalkan mereka bersama tagihan yang tak terbayar keduanya tidak masalah sekedar menjadi teman ngobrol.

Kakak itu juga memberikan Yerim banyak wejangan yang bahkan teman terdekatnya sendiri belum bisa berhasil tembus. Bukan cuma sekali mereka mencoba untuk menyadarkan bahwa sekuat apa apun cinta bayarannya tidak akan pernah  lewat kekerasan, dan pria di depan mereka entah bagaimana berhasil membuat Yerim terisak dalam diam karena akhirnya sadar telah luput dalam menyayangi dirinya sendiri. Di akhir diskusi, Chan menjerit dalam hati ketika sang kakak memberikan nomor kontaknya kepada mereka (kepada Yerim, yang Chan minta secara paksa keesokan harinya) untuk melapor jika suatu saat pacarnya memutuskan untuk menuntut.

Tuntutan itu tidak pernah datang, namun deru adrenalin di dalam hidup Chan tidak pernah setinggi ini.

Dulu ketika tengah melewati masa MOPDB, Yerim pernah naksir berat dengan salah satu kakak osis yang membantunya sewaktu hampir kena hukum karena tali sepatu yang berwarna hitam ketika harusnya putih. Kakak kelas itu mendudukinya di warung kecil dekat sekolah, lalu pemandangan yang terjadi selanjutnya ada mereka yang saling bertukar dan memasangnya pada sepatu masing-masing. Yerim memasuki gerbang sekolah dengan tali sepatu berwarna putih, dan tidak akan ada anak baru yang berani mempertanyakan Komdis yang melanggar aturan ketika mereka adalah orang yang membuat aturan tersebut.

Yerim mengumpulkan segala fakta tentang pujaan hatinya sebanyak yang ia mampu dari seluruh penjuru sumber informasi, dan dengan kemampuan stalkingnya yang begitu luar biasa dua minggu kemudian Yerim sudah mengetahui nama kakek sang kakak kelas sekaligus zodiaknya (Chan menggantung rahangnya begitu lama, dan Yerim merengek ketakutan kalau-kalau ajaran Aries dari sang kakek akan diturunkan kepada cucunya).

Dia berakhir dengan bergidik keheranan sepanjang sisa hari itu sampai akhirnya sebuah ide brilian muncul di dalam kepalanya.

“Oke deh si paling self-proclaimed the best stalker, gue tantang lo buat nyari semua info tentang kakak yang waktu itu nolongin kita di mall.”

Ajaran licik namun pintar dari kakak keduanya mungkin sudah merasuk ke dalam nadinya, namun ego Yerim yang barusan dia tantang itu akhirnya menyanggupi permintaan tersebut. Namun satu minggu berlalu, hasilnya adalah nihil. Untuk pertama kali dalam karir bersosial medianya, Kim Yerim merasa bahwa menjadi anggota FBI ternyata tidak pernah segampang itu. Di dalam okasi normal Chan mungkin akan berteriak atas kemenangannya. Namun ini adalah jauh dari okasi normal dan kalau seorang Kim Yerim tidak bisa menemukan satu pun informasi tentang kakak itu, seorang Lee Chan mungkin hanya bisa menunggu hingga wajah sang kakak hingga menghilang dari ingatannya.

Lalu seperti ketidaksempurnaan cara kerja otak anak berumur tujuh belas tahun lainnya, ia berakhir dengan menggunakan jalan keluar paling konyol dan kekanak-kanakan.

Alright, what is it? Are you hurt? Cowok itu gangguin teman lo lagi?”

Lee Chan dibalik balutan hoodie kuningnya, menggengam tali tas selempangnya seerat yang dirinya mampu. “Um.

Sang kakak berkedip kebingungan. “Hey?

Ketika dalam kurun waktu jeda sepuluh detik kepala kecil itu masih terus-terusan menunduk, kekehan tempo hari yang pernah menjadi melodi di telinganya akhirnya kembali muncul. Pria di depannya mencoba mensejajarkan wajah dengan Chan sebelum mengatakan,

Do you prefer hot or iced chocolate?

Chan baru menyadari bahwa segalanya kemudian bereskalasi dengan cepat ketika dalam hitungan beberapa hari ia telah mengetahui fakta bahwa kakak itu mempunyai umur yang sama dengan mas Han (yang sempat membuatnya berkontemplasi, karena ada tembok berjarak sembilan tahun disana dan jika rasa suka ini benar-benar ada simulasinya menjadi bagaimana jika ia menyukai kakaknya sendiri, yang artinya menjijikan). Dia juga akhirnya mengetahui bahwa pria itu bernama Nu, dan misteri mengapa mustahil untuk mengorek kehidupannya lewat sosial media tidak pernah benar-benar terpecahkan.

Setelah Nu mengetahui bahwa alasan Chan menghubunginya hari itu adalah sama sekali bukan karena suatu urgensi dan semuanya hanya kebohongan belaka, sang pria tidak menunjukan tanda-tanda kemarahan sebagaimana prediksi awalnya menerka-nerka. Nu, sekali lagi membuat segala aksinya terlihat bagaikan potongan teka-teki paling susah di dunia tapi di waktu yang sama menuntunnya dengan begitu natural. Pria itu bahkan tak mempertanyakan mengapa Chan harus berbohong dan membuat skenario seakan-akan pertemuan dadakan hari itu terjadi demi Yerim. 

Nu hanya mengangguk penuh pengertian setelah Chan mengatakan bahwa dia lebih suka minumannya dingin, dan mereka duduk bersebelahan di dalam bangku MRT sore hari itu.

Nu memang punya umur yang sama dengan mas Han, tetapi caranya berpikir sama sekali tak mencerminkan kalau mereka lahir di tahun yang sama terutama dari cara mereka memperlakukan Chan. Awalnya dia setengah mati mencari bagaimana dan dimana letak perbedaanya, tetapi kemudian ia sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa Nu mungkin bersikap seperti itu karena tidak pernah menyaksikan Chan keluar dari dalam rahim ibu, menggantikan popoknya sewaktu bayi, dan melihat seluruh tubuhnya tanpa busana setidaknya sampai umur sepuluh tahun. Nu juga tidak memegang rahasia apa pun tentang Chan. Pria itu tidak tahu-menahu tentang dia yang pernah menangis tersedu-sedu karena harus menjadi orang miskin dalam permainan saya orang miskin saya orang kaya, dan terlihat seperti remaja dimabuk cinta di depan Nu bukanlah sesuatu yang memalukan.

Nu mengajaknya berkunjung ke apartemen untuk pertama kali setelah langit Jakarta memutuskan untuk menjadi menyebalkan dan membuat hujan turun dengan deras di hari ketika sebuah ide tentang mengitari kota Jakarta dengan sepeda motor terdengar seperti hal paling brilian. Tawaran yang mungkin bagi Nu hanyalah sekedar niat baik agar Chan tidak harus mengharungi kota Jakarta dari Selatan menuju Timur dengan sekujur tubuh menggigil, namun tawaran yang diam-diam bagi Chan terasa mencekik leher dan membuat lidahnya kelu.

Ternyata, Nu dan apartemennya sama misteriusnya dengan dirinya. Ketika memasuki gerbang rumah Minghao warga Cendana Indah akan menemukan mobil sport mahal di garasi yang tidak pernah benar-benar dipakai dan hanya dijadikan koleksi yang menandakan keluarga mereka punya lebih dari cukup uang untuk itu, di rumah kak Jihoon (walaupun Chan hanya pernah masuk ke sana dua kali dalam hidupnya) terdapat sebuah foto keluarga bersama papanya yang berdiri di atas kaki sendiri yang menandakan bahwa pria paruh baya itu dulu pernah segar bugar sebelum kemudian jatuh sakit, di rumah Hansol ada patung Yesus yang menempel di dinding yang dengan jelas menunjuk identitas kepercayaanya, dan selalu ada paling tidak beberapa warga sekitar yang mampir ke rumah Soonyoung lalu bertemu sang babeh sebagai ketua RT untuk keperluan kepengurusan administratif.

Dalam kasus ini, Chan lebih menemukan kejanggalan bahwa tidak ada satu pun foto keluarga di seluruh sudut apartemen Nu daripada lemari pendingin besar yang isinya hanyalah alkohol. (Petunjuk terkecil yang bisa dibacanya hanyalah jumlah sikat gigi yang tergantung satu buah di dalam kamar mandi ketika Chan mengganti bajunya dengan kaos dan celana yang Nu pinjamkan dan menyimpulkan bahwa Nu tinggal sendirian)

Do you want some?” Adalah hal pertama yang pria itu tanyakan setelah Chan bergabung dengannya di meja makan. Pertanyaan biasa dan sederhana, kalau saja konteks dibaliknya bukan Nu yang sedang menuang wine ke dalam gelasnya dan bersiap untuk mengambil gelas lain seumpama Chan menganggukan kepalanya.

Um. Gue baru tujuh belas tahun.” Dia hanya bisa menjawab sejauh itu dengan wajah datar dan pupil yang sedikit bergetar.

“Oh.” Nu dan tangannya yang tengah menggengam botol menggantung kikuk di udara. “Right.

Satu lagi sobekan petunjuk yang setidaknya bisa Chan kantungi: Nu, jelas bukan berasal dari keluarga yang punya batasan ketat dalam setiap peraturan yang berjalan di dalam rumah. Yang sebetulnya bisa dimengerti, karena Nu adalah orang dewasa pertama yang tidak pernah memperlakukan Chan sesuai dengan etika umur. And that actually feels great. And he doesn’t want to let it go that fast.

I like my wine with cheesecake.” Nu lalu berkata setelah mungkin menyaksikan Chan yang terlalu lama tenggelam dalam isi kepalanya. Satu potongan kue yang diletakan di piring kecil kini sudah mendarat di hadapannya, menandakan bahwa kue ini sepenuhnya pantas untuk diberikan kepada seorang anak SMA tanpa konfirmasi terlebih dahulu.

Untungnya, keju tidak pernah adalah musuhnya. Jadi Chan memberanikan diri untuk perlahan memotong sedikit bagian yang ada di piringnya setelah melihat Nu mulai mengunyah. 

“Ooh, ini yang kayak kakak gue biasa beli deh.”

“Oh ya?”

“Iya, kakak gue yang kedua tapi. Kalau yang pertama tuh rada kolot, alias kalau bawa makanan pasti yang lokal banget gitu.”

“Kayak apa contohnya?”

“Martabak?”

Nu serta-merta terkekeh kecil. “I see.

Chan dan mata elangnya memindai jakun sang pemilik rumah yang turun lalu kembali naik ketika tengah menyisip minumannya. Diam-diam, duduknya mulai gelisah. “Nu.”

“Hm?”

“Kalau nanya sesuatu boleh gak sih?”

Nu dan sudut bibirnya yang terangkat naik itu terlihat begitu usil. Seakan-akan meladeni seorang anak bau kencur di depannya adalah sepenuhnya hiburan baginya. “Boleh aja, tapi akan ada jawabannya atau engga itu nanti sesuai pertanyaan yang lo ajukan.”

“Yeh, itu mah sama aja dong.”

Jemari pria itu memainkan sendok di atas kuenya sebelum membawa satu potongan kecil untuk kembali memasuki mulutnya. Lalu dengan kedua sisi bahu yang terangkat santai ia berkata. “Take it or leave it.

Well. “Ulang tahun lo kapan?”

Nu dan binar di matanya bukan hal yang sesulit itu untuk dibaca. Petunjuk disana mengatakan, bahwa ini bukanlah sebuah pertanyaan yang ia prediksikan akan keluar dari lidah sang tamu. Dan jika ekspektasinya sebesar ini Chan agaknya menyesal menanyakan hal sesepele tadi. Mungkin dirinya bisa membuat rasa penasaran ini pergi lebih cepat dengan mempertanyakan hal-hal yang lebih misterius.

My birthday?” Nu membeo, masih dengan binar di matanya.

“Kalau terlalu privasi lo gak harus jawab kok!” Sela Chan cepat-cepat. Tangannya mengeluarkan seluruh jenis gerakan untuk membarikade Nu dan jawabannya yang terlihat seperti akan segera keluar. “Sori kalau pertanyaan gue menyinggung.”

“Kenapa menyinggung?”

Jujur, dia juga tidak tahu. Tetapi dipojokan oleh orang dewasa yang umurnya lebih tua sembilan tahun darinya dengan alis yang terangkat penuh penghakiman membuatnya merasa seperti sedang dikeroyok.

“Memangnya engga?”

“Tujuh belas Juli.”

Chan mengangkat kepalanya yang tanpa disadari menunduk dengan sendirinya. “Tujuh belas Juli?”

“Mhm.”

Senyum Nu yang terlihat tulus sebetulnya adalah apa yang membuat Chan merasa lega dan kemudian ikut tersenyum. Seakan-akan segala kekhawatirannya tadi kini berhasil meluntur, dan Nu merasakan sesi mengobrol ini sama menyenangkan seperti bagaimana Chan merasakannya.

Kalau dipikir-pikir, dia itu memang gambaran dan perwujudan dari anak bontot. Chan belum pernah melihat kehidupan nyata yang sesungguhnya, dan memencet tombol pengoprasian mesin cuci bahkan membuatnya bergidik ngeri. Sebagai anak bontot Chan juga tidak perlu pusing memikirkan kebutuhan finansial yang harus dirinya penuhi. Atau bahkan sekedar menentukan siapa yang akan membelikan jajanan dalam daftar ngidamnya, karena para kakak di sekitarnya merasa terobligasi dan berpikir bahwa membuat seseorang dengan umur beberapa tahun lebih muda dari mereka untuk mengeluarkan uang dari dompet adalah sebuah kejahatan besar.

Namun ujian terbesar dalam hidupnya sejauh ini, adalah selalu ketika meminta uang untuk kebutuhan pribadi apalagi rahasia. (Jenis rahasia yang daripada terbongkar Chan lebih baik menjual barang pribadinya alih-alih meminta uang tersebut). Namun ia sadar kapabilitasnya. Dan barang ini, bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan uang jajan yang ia sisihkan atau jika celengan ayam di pojokan kamar itu ia pecahkan.

Jadi pada suatu hari ketika kedua kakaknya sedang tidak ada dirumah (poin penting untuk meminimalisir interogasi), Chan menghampiri sang ibu yang sedang menonton televisi di ruang tengah (siapa coba makhluk hidup jaman sekarang yang masih menonton TV lokal yang entah apa tayangannya? Itu dia, ibunya).

“Bu.”

“Ya, le?”

“Kalau Ican minta uang… ibu lagi ada gak?”

Sang ibu belum menolehkan matanya dari layar di depan sana. Jemarinya sibuk memencet remote untuk menemukan saluran yang tampaknya belum sesuai dengan inginnya. “Berapa memangnya?”

“Um. Satu… juta?”

Oke, disclaimer: Chan pernah meminta lebih banyak dari jumlah itu. Walaupun sudah pensiun, bapak masih menerima uang setiap bulannya karena statusnya yang dulu adalah PNS dan kedua kakaknya juga selalu menyisihkan uang untuk keperluan rumah dan finansial keluarga mereka lebih dari cukup untuk membiayai Chan sampai lulus kuliah nanti. Masalahnya adalah semua uang yang dia minta sebelumnya pasti jelas keperluannya. Dan berbohong tentang keperluan sekolah terlalu riskan karena mas Han tahu segalanya.

Bodoh memang, berlutut di depan ibunya dan yakin akan segera ditodong dengan pertanyaan akan diapakan uang sebanyak itu tanpa memegang jawaban yang telah dipikirkan matang-matang. Namun ibunya pasti adalah segalanya yang baik di dunia karena dengan satu tepukan di bahu, usapan di kepala, dan senyum yang seakan-akan mengatakan dengan lantang bontotku sudah besar dan sudah punya keperluan pribadi sendiri, wanita paruh baya itu meraih dompet dan memberikan kartu ATM kepada sang anak.

Dan pada tanggal tujuh belas Juli di tahun 2019, Chan menghadiahkan Nu satu botol wine dan sekotak cheesecake.

***

Nu punya pacar.

Atau setidaknya, Chan berpikir bahwa Nu punya pacar setelah acara berkemahnya di warung dekat pintu masuk apartemennya (dia tahu betapa salah perbuatan ini) berakhir dengan dia yang menyaksikan Nu pulang kantor beberapa kali dengan laki-laki yang berbeda. Mungkin hipotesisnya bisa saja salah. Ada banyak kemungkinan mereka hanya sekedar teman atau apa pun itu sebutannya. Namun beberapa kali Chan pernah memberanikan diri untuk mengajak Nu pergi bermain, pria itu bilang bahwa dia sudah punya rencana lebih dulu dengan sang pacar.

Yah, oke, kalau memang kenyataannya seperti itu. Toh selama ini dia tidak pernah merasa Nu menuntunnya atau membuat Chan berpikir sosok seperti dia akan punya perasaan lebih untuk seorang bocah SMA. Diantara pertemuan yang diselipkannya sepulang sekolah, sesi tunggu-menunggu di halte Transjakarta hingga akhirnya salah satu pintu terbuka dan Nu bersama earphone di telinga dan kepala yang tadinya menunduk akhirnya tersenyum ketika menemukan Chan duduk di salah satu bangkunya, it’s all been fun. Meeting Nu has been fun and it’s always been fun.

Untuk seseorang yang katanya sedang berada di dalam hubungan percintaan, Nu juga kerap mempertanyakan hal-hal yang sifatnya hipotesis. Seakan dia selalu meragukan banyak hal dalam satu waktu. Seakan kehidupan yang dia jalani saat ini sifatnya adalah sementara, dan pada suatu hari dirinya bisa menghilang dan menjadi sosok yang sepenuhnya berbeda.

Chan ingat hari itu adalah hari Minggu. Nu biasanya tidak pernah menghubunginya pada spesifikasi hari itu karena Chan yang berstatus sebagai seorang pelajar dan malam Senin artinya tidur lebih awal untuk persiapan sekolah esok hari. Namun akhir pekan yang sudah ia jadwal dengan dihabiskan pada permainan futsal di lapangan kompleks itu dengan cepat terlupakan karena satu ajakan ambigu pada notifikasi di layar handphonenya.

Nu

Hey.

Mau temenin gue ke suatu tempat?

Selain misterius, Nu juga punya kecenderungan untuk melakukan hal- hal mistis. Atau mungkin begitulah pendapatnya, karena Chan dengan hidupnya yang lumayan monoton hanya punya sedikit referensi tentang berpetualang diluar ruang lingkupnya. Ada satu peraturan yang dengan tegas pria itu buat jadi jelas semenjak mereka sering menghabiskan waktu bersama-sama: Nu tidak suka difoto, apalagi kalau sampai diam-diam Chan mempostingnya di media sosial tanpa izin. Namun dari lubuk hati yang terdalam Chan tahu pun diberi izin, foto itu tidak akan pernah boleh keluar dari galeri handphonenya.

Ironisnya, tujuan kemana Nu mengajaknya hari itu bertentangan dengan prinsip yang selama ini dia pegang. Karena pun harus lebih dulu memecahkan teka-teki, Chan akan selalu tahu bahwa mereka pada saat itu berada di sebuah foto studio. Pertanyaanya yaitu: untuk apa?

“Untuk persiapan foto pemakaman.”

Chan hampir, hampir menyemburkan kopinya yang belum turun ke tenggorokan dan akan mengotori kemeja putih yang Nu kenakan.

“Hah?”

Ah, itu dia, lagi-lagi Nu dan kekehannya yang amat enteng. Terkadang Chan menerka-nerka kapan sekiranya dia bisa menangkap basah seorang Nu yang tak siap dalam menjawab sebuah pertanyaan?

“Beneran, gak lagi bercanda.”

“Oke…” Sirkulasi otaknya mulai korslet. “Tapi kenapa?” Lo sakit? Hidup lo udah gak lama lagi? Ada yang berusaha jahatin lo? Ada masalah apa sampai lo bisa dengan santainya mulai mempersiapkan foto pemakaman?

For it to be pretty.” Lagi-lagi sebuah jawaban enteng. “Gue gak mau orang-orang pakai foto asal karena gue belum siapin sebelumnya.”

“Iya tapi kenapa?” Dia mulai tak sabaran. “Lo sakit Nu?”

Nu memandangi Chan dengan kedua alisnya yang terangkat usil. “No? Apa orang-orang yang mempersiapkan asuransi kesehatan artinya mereka juga bersiap-siap untuk sakit? Malahan sebaliknya, kan?”

Masuk akal dan juga tidak masuk akal dalam satu waktu. Mungkin, pembicaraan ini memang belum termasuk dalam kapabilitasnya. Bohong kalau Chan bilang rasa herannya akan berakhir sampai disitu. Untuk dia ada disana dan menyaksikan Nu berpose di depan kamera yang nanti hasilnya akan dijadikan sebagai foto pemakaman membuat sirkulasi darah di dalam otaknya menjadi tidak terpompa dengan baik.

Tapi mau bagaimana pun Nu akan selalu menjadi Nu, yang setelah selesai menjalani sesi foto kemudian bertingkah seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan mengajaknya makan malam di kedai Ramen favoritnya seraya mengajukan pertanyaan hipotesis lainnya.

Do you believe in love?

Kunyahan mie di dalam mulutnya seketika terasa hambar. “Gue?”

“Mhm, lo.”

“Uh…” Sumpit itu terpaksa harus ia letakan kembali ke dalam mangkuk. “Apa menurut lo gue udah valid untuk ngerasain cinta, Nu?”

“Kenapa engga?” Suara Nu sedikit meninggi, seakan dia tak percaya konsepsi itu terpikirkan di kepalanya. “Cinta itu banyak bentuknya.”

Otaknya kembali dipaksa bekerja. “Ya… percaya mungkin? Kalau gak ada cinta, generasi kita pasti akan habis karena gak ada lagi pasangan yang menikah dan punya anak.”

“Tapi menghasilkan anak gak harus selalu diawali dengan cinta? They can just have sex, aren’t they?

Lee Chan beserta kedua sisi pipinya diam-diam memerah, seketika teringat dengan kandidat pacar Nu yang kerap berganti. Apa ini ada hubungannya dengan itu? Apa ini alasan Nu enggan menyimpan rasa percaya hanya pada satu orang?

Chan memutuskan untuk mengambil jalan paling aman dengan memutar pembicaraan. “Lo sendiri? Memang percaya sama cinta?”

“Tergantung.”

“Tergantung dari apa?”

“Kalau definisinya adalah lagu bertemakan cinta atau pasangan kakek dan nenek yang bertoleransi satu sama lain sampai menua bersama mungkin gue berani percaya cinta, tapi kalau tanpa konteks mungkin gue harus jujur kalau cinta itu cuma sekedar manipulasi.”

Untuk pertama kali semenjak mereka saling mengenal, Chan tertawa. Bukan jenis tertawa dimana dia mengajak pria di depannya untuk ikut berbahagia, tetapi jenis tawa dimana tujuannya adalah menertawakan.

“Lo punya trust issue sama orang ya Nu?”

Yang ditanya serta-merta merapatkan bibir bersama pandangan penuh penasaran. “Kenapa nyimpulinnya gitu?”

Entah, selain kenyataan bahwa segalanya tentang lo selalu terasa seperti fiksi? Kadang Chan bangun di pagi hari dan berpikir mungkin ini adalah gilirannya keluar dari mimpi. Mungkin Nu memang cuma ada ketika menolong Yerim di mall tempo lalu dan sisanya hanyalah khayalan yang terjadi di dalam kepalanya. Mungkin jika diminta untuk membuktikan ada wujud nyata dari pria bernama Nu, Chan hanya akan berakhir di rumah sakit jiwa.

Dan mungkin semua kekhawatiran itu lebih baik dia simpan sendiri saja. “Gak apa-apa, lupain.”

Hening yang berlangsung di antara mangkuk makanan yang tak terjamah itu terasa seperti selamanya sebelum akhirnya Nu tersenyum dan meraih telapak tangan Chan di atas meja. Bisa dibilang ini adalah kontak fisik pertama yang Nu inisiasi secara sadar dan sengaja, dan lagi- lagi ada napas yang kemudian tertahan di dadanya.

I’m sorry if i’m not the best brother figure for you so far.

Pernyataan itu membuat Chan ingin tertawa dan menangis di saat yang bersamaan. Usapan kecil yang Nu bubuhkan pada punggung tangannya bahkan tak membantu meredakan penderitaan yang tengah ia rasakan. “Ya gak perlu kali, kayak-kakak gue udah banyak di rumah. Lagian nih, semisal mas Mingyu tau kalau gue–”

Chan menyegel bibirnya rapat-rapat ketika merasakan genggaman pada telapak tangannya melonggar, dan Nu beserta kedua pupil matanya yang bergetar kini sepenuhnya membeku di tempat.

“Nu? Lo gak apa-apa?”

Ingat ketika Chan bilang Nu selalu terlihat seperti orang yang punya jawaban atas seluruh pertanyaan di dunia layaknya dia telah bersiap jauh sebelum dirinya lahir? Kali ini, akhirnya, untuk pertama kalinya, Chan diberikan sebuah kehormatan untuk melihat Nu di dalam penjagaan yang sepenuhnya runtuh.

Namun fenomena itu hanya berlangsung dalam beberapa detik. Pada detik berikutnya, sang pria telah kembali pada mode misterius dan profesionalnya. “Yeah.

“Seriusan? Gue ada salah ngomong kah?”

No, it’s nothing.” Gelengan kepalanya sedikit diburu-buru. “Makan gih, nanti Ramen lo keburu dingin.”

“Oh.” Chan merubah ekspresinya menjadi sepenuhnya datar. “Oke.”

Itu merupakan percakapan dan juga pertemuan terakhirnya dengan Nu, yang bisa dibilang membuatnya ketakutan setengah mati lebih dari pada film thriller yang ditontonnya tempo lalu mempertimbangkan hal yang mereka lakukan sebelum itu adalah mengambil potret yang akan pria itu pakai pada upacara pemakamannya.

Nu lalu menghilang tanpa jejak, dan Chan melanjutkan hidupnya.

Satu tahun kemudian, Chan menemukan Nu di ruang tamu rumahnya dengan status sebagai pacar sang kakak pertamanya. Bukan sebuah pertemuan yang ia harapkan jika memang mereka ditakdirkan untuk bertemu kembali, namun jika seluruh situasi ini dapat diwakilkan lewat pepatah bunyinya akan terdengar seperti nasi sudah menjadi bubur.

Bagian terberatnya mungkin adalah tahapan proses dalam menerima keadaan. Poin pertama bisa dimulai dari Nu yang menghilang tanpa jejak lalu kembali sebagai calon suami mas Mingyu, dan Chan butuh tahu apakah mereka sudah saling mengenal semenjak dia dan Nu juga saling mengenal atau Nu memang menjauhinya karena alasan lain. 

Harapannya mulai pupus ketika diam-diam mencoba melirik mas Han. Kakak keduanya itu punya ekspresi wajah yang sama kagetnya dengan dia, dan dalam segala tumpang tindih itu dia juga menemukan sebuah trivia bahwa mas Han pun baru mengetahui fakta bahwa Nu dan mas Mingyu berpacaran meskipun Nu ternyata adalah sahabatnya.

Dan disitu. Lalu disitu Chan mulai menyadari bahwa oh, mungkin    Nu memang mengkonsepsikan dirinya untuk menjadi tidak terbaca. Mungkin memang bukan Yerim dan kemampuan stalkingnya yang harus diragukan. Mungkin memang satu sikat gigi yang menggantung di dalam kamar mandi adalah simbol bahwa tempat di sebelahnya boleh diisi sesuai dengan giliran. Mungkin kehidupan yang pria itu jalani memang sifatnya adalah sementara dan ini adalah dia dengan versi paling terbarunya.

Mungkin, hari-hari dengan membiarkan film berjudul Love For Sale terputar pada layar televisi apartemennya memang dimaksudkan untuk menjadi petunjuk paling akurat yang bisa Chan dapatkan.

Secara waras hal paling masuk akal yang dapat dirinya lakukan adalah kabur. Tadinya ia bertekad membuat kepergiannya menjadi sedramatis mungkin, tetapi setelah dipikir-pikir kedua orang tuanya tidak pantas mendapatkan atau diperlakukan seperti itu. Chan yang pada akhirnya ikut duduk dan berkumpul di ruang tamu dengan memasang wajah berpura-pura terus mengutuk Nu dan mas Mingyu di dalam hati.

Spot favoritnya di seluruh Cendana Indah adalah lapangannya. Jika ditanya alasan, mungkin karena di antara semua sudut kompleks tempat itu yang di dalamnya hanya punya memori baik. Aspal di depan rumah pernah menjadi saksi dari lututnya yang berdarah-darah ketika jatuh akibat belajar menyetir motor, selokan dekat pos ronda pernah menjadi lokasi tenggelamnya Tamiya yang dulu Minghao berikan sebagai kado di hari ulang tahunnya, dan taman di pojokan sana pernah membuatnya digigiti nyamuk hingga bentol-bentol.

Walaupun terkadang harus direalisasikan lewat ide absurd pada proker gotong royongnya, Soonyoung selalu memastikan anggotanya sesekali berkumpul di lapangan dan memaksa mereka semua untuk menelan pil kenyataan bahwa sesekali melarikan diri dari masalah dengan bermain terkadang adalah solusinya. Mungkin itu alasan mengapa Chan kemudian ada di sana alih-alih tempat lainnya, mendapat keistimewaan tidak tertulis bahwa dirinya sedang tidak ingin diganggu dan kemudian dibiarkan menyendiri.

Namun orang sepintar Nu pasti paham bahwa kunci dari masalah sekaligus penyelesaiannya harus dimulai dari dirinya. Jadi dibawah matahari sore yang sedang berbaik hati itu Chan dan sudut matanya menangkap Nu yang tengah berjalan menghampiri, sebelum kemudian ikut mendudukan diri di lantai lapangan berdebu; Chan bersila, Nu dengan lengan yang memeluk kaki menekuknya di depan dada.

“Hey.” Satu tahun. 365 hari, dan sebuah sapaan dengan suara familiar yang tersimpan dengan baik pada satu sisi pojok memori masih mampu menusuknya hingga ke ulu hati.

Dalam jangka waktu itu Chan juga berusaha mencari jawaban dari hal-hal yang selama ini belum sempat terpikirkan. Seperti arti dari Nu yang sempat mampir di hidupnya, dan mengapa kenyataan bahwa Nu meninggalkannya terasa meruntuhkan dunia dan harapannya. Apakah ini ada hubungannya dengan hati, dan apakah segala yang dirinya rasakan terhadap Nu berbeda dengan definisi sayang Chan kepada orang dewasa lain dalam hidupnya?

“Hey.” Dia mencoba menjawab dengan mulutnya yang terasa pahit.

“Gue tadi udah izin mas buat ngobrol sama lo.”

Chan dan alam bawah sadarnya mengeluarkan sebuah dengusan penuh sarkasme, membuat Nu meliriknya bersama tatapan penuh pertanyaan. Is there anything funny? mungkin itu kira-kira yang akan keluar dari bibirnya jika kalimat itu bersuara, dan seluruh refleks dalam dirinya bertarung untuk menahan diri dari berteriak sampai seisi kompleks mendengarnya. “Oh.”

I'm so sorry.” Mulai Nu lagi, ketika mungkin sadar bocah di sebelahnya akan sulit untuk diajak bekerjasama atau pun diajak berbicara dengan kepala dingin.

Engga, gue gak mau maafin batinnya dalam hati sebelum memutuskan untuk mengganti jawabannya. “Mungkin gue akan maafin kalau gue tahu lo lagi minta maaf untuk apa.”

Nu memeluk dirinya lebih erat sebelum membiarkan hening di antara mereka bertumbuh dan menyelimuti. Mungkin berbicara dengan kepala dingin memang selalu menjadi keahliannya karena jika Chan duduk bersama mas Han membahas kejanggalan yang dia dan Nu punya, perang dunia seketika akan segera terjadi.

Do you hate me?

Chan menghabiskan sepuluh detik penuh untuk meresapi pertanyaan tadi sebelum akhirnya menggeleng. Ibu selalu memberitahunya bahwa benci adalah sebuah kata yang kuat, dan sekomplikasi apa pun hati manusia masih banyak definisi lebih baik yang bisa kita pilih. “Engga.”

Nu menyeringai dengan jahil. “Yakin?”

“Yakin.”

Do you like me, then?

Pertanyaan tiba-tiba itu, jelas terasa seperti sebuah motor yang tengah menabraknya hingga terpental ke kolong bus. Chan mencoba meresapi sebuah imajinari dari rasanya terlindas. Lalu merasakan sakit. Lalu menyaksikan dunia perlahan menjadi abu-abu dan hitam. Satu-satunya hal paling nyata dari kontemplasinya adalah telapak tangannya yang mulai merasakan sakit dari betapa keras dia meremasnya.

Chan mencoba memposisikan dirinya pada sepatu mas Mingyu. Jika dia adalah orang yang memegang status sebagai pacar, membawa Nu ke depan ibu dan bapak, mengemban tanggungjawab untuk menikah sesegera mungkin, apakah perasaanya akan menjadi lebih baik?

Chan juga mencoba memposisikan dirinya jauh kembali berkelana pada satu tahun lalu, merekayasa sebuah skenario jika Nu tidak pernah pergi dan mereka masih akan dengan rutinitas pulang sekolahnya yang terisi dengan Nu, wine, dan cheesecake. Lalu Chan dengan boba yang dipesannya lewat aplikasi akan menemani mereka di ruang tamu; matanya terfokus pada film yang mereka pilih dari Netflix setelah menghabiskan tiga puluh menit menjalani proses seleksi, dan samar suara hujan akan terselip dari jendela di pojokan sana. Dalam satu okasi tak terduga mungkin mereka akan menggeser diri di atas sofa untuk dapat berada lebih deket dengan satu sama lain. Mungkin selimut yang tadinya hanya ada di atas pangkuan Nu akan berpindah menutupi mereka berdua, dan mungkin darah di dalam otaknya yang tak terpompa dengan baik karena jantungnya yang berdetak begitu kencang akan memicu impulsivitasnya untuk segera menolehkan kepala, mendekatkan wajah pada Nu, memiringkan sudut kepalanya hingga bibir mereka bisa bertemu dengan sempurna dan–

–God, no. Membayangkan dirinya mencium Nu membuat asam lambungnya naik dan merasakan mual setengah mati. He doesn’t wanna do that.

Chan kembali membedah skenario lain; dia menyebutnya IKEA Date, Nu mungkin menyebutnya memanfaatkan oportunitas yang ada dengan mengajak Chan sebagai partnernya dalam membawa belanjaan. Bisa dibilang acara itu adalah kegiatan mainnya dengan Nu yang paling membuatnya ketakutan setengah mati karena ketika pria itu terlihat menikmati kegiatannya sebagai orang dewasa ditengah dilema antara fungsi microwave mana yang lebih ia butuhkan, Chan berdiri di sampingnya dengan keringat menuruni pelipis setelah meresapi kenyataan bahwa harga keran air ternyata mahalnya tidak masuk akal.

Pada saat itu seluruh keberanian dalam dirinya serta-merta menciut dan Chan harus menelan kenyataan bahwa bahkan alam bawah sadarnya sendiri pun tahu, kalau mas Mingyu akan lebih cocok berada disana bersama Nu alih-alih dirinya.

Apakah Chan menyukai Nu? No, he doesn't think so. Jadi kalau tidak, lalu perasaan kacau dalam hatinya ini disebabkan oleh apa?

Bungkamnya yang berlangsung cukup lama itu ternyata Nu jadikan patokan untuk merapatkan bibirnya dalam sebuah simpul senyum. Kepalanya mengangguk seakan pria itu bisa membaca segalanya yang transparan dan tidak transparan dari Chan, sebelum lalu membuang pertanyaan itu jauh ke belakang dalam satu tarikan napas.

Are you going to tell your parents?

Jika ini adalah sebuah permainan, pertanyaan tadi mungkin bisa disimpulkan sebagai final boss dari keseluruhan level yang harus mereka tempuh. Pada akhirnya, hal terpenting dari resolusi masalah ini adalah Lee Chan yang menangkap basah kakaknya tengah menyewa sebuah layanan dimana seseorang harus berpura-pura menjadi calon suaminya dan terang-terangan berbohong di depan wajah orang tuanya bersamaan dengan dia yang mengetahui fakta tersebut.

Satu baut kecil di dalam kepalanya terasa begitu gatal dan akan mati penasaran jika pertanyaan ini tak keluar sesegera mungkin. Walaupun, yah, kedengarannya akan aneh. “Lo sayang sama kakak gue, Nu?”

Nu terbahak begitu kencang hingga kepalanya terlempar ke belakang. “That's not the first base of this kind of relationship don't you think? Kinda naive, if anything.

Yeah...” Tenggorokannya benar-benar luar biasa nyeri. “Yeah.

“Gue sama mas akan respect semua keputusan lo, Chan.”

Dirinya menarik napas pelan. “Mas tahu... kalau kita saling kenal?”

Pria di sebelahnya tersenyum dengan lembut dan kepalanya kembali menggeleng pelan. “No, not yet.

Untuk pertama kalinya di hari itu, Chan mengizinkan dirinya untuk berpikir dalam kepala jernih dan hati yang lebih tenang. Dia mencoba mempertimbangkan konsekuensi keputusan yang akan diambilnya, mempertimbangkan ibu dan bapak, mempertimbangkan mas Han yang akan memakan Nu hidup-hidup, mempertimbangkan apa kata seisi kompleks, dan juga mempertimbangkan perasaan mas Mingyu; kakaknya, yang selalu menaruh keluarga di atas segalanya. Mas Mingyu yang beberapa tahun belakangan menderita karena penolakan yang Soonyoung umumkan dengan lantang, mas Mingyu yang tengah dikejar-kejar ekspektasi, dan mas Mingyu yang akan melompat ke dasar jurang jika Chan memintanya.

Mungkin… ini adalah waktu dan kesempatan paling tepat untuk Chan berbalas budi atas apa yang selama ini sudah kakaknya korbankan.

“Ya gue bisa lah, pura-pura akting dikit.”

Dia sudah pernah bilang belum ya, bahwa selalu menyenangkan menangkap basah Nu di luar tembok penjagaanya? Karena Nu yang terlihat terkejut dengan kelopak mata bulat di sampingnya terlihat jauh lebih manusiawi dibanding Nu versi mana pun.

You’re really a good person, Chan.”

Dirinya kembali mendengus, namun kali ini meninggalkan bumbu sarkasmenya di belakang. “Gak ada definisi orang baik yang tukang bohong, Nu.”

“Ada, if it’s for the greater good.

“Kita baru bisa lihat itu nanti.”

Nu beserta seringai dan juga sudut mata jahilnya menjadi begitu menyenangkan untuk dilihat karena artinya mereka berada dalam frekuensi pengertian yang sama. Karena artinya Chan tidak perlu susah payah menjelaskan bahwa maksud terselubung dari ancaman barusan adalah kalau lo sama mas bikin ini semua jadi berantakan, gue adalah orang pertama yang akan jadi musuh kalian jadi please kesempatan ini jangan dibuat menjadi berantakan.

Dalam akal tersehatnya dia juga tidak benar-benar tahu bagaimana dan dengan cara apa kakaknya akan memutar balik semua kebohongan ini agar tetap pada tempatnya. Yang jelas, dari dalam lubuk hati Chan sudah merasa bangga pada dirinya sendiri karena berhasil menahan emosi kekanak-kanakannya untuk lebih membuka pikiran.

Dan itu mungkin kunci jawaban terakhir yang dia butuhkan. Selama ini sudut pandangnya terhadap Nu selalu dipenuhi dengan ide-ide bahwa tidak ada orang lain yang pernah rela beradaptasi dan mencapai standar bagaimana Nu memperlakukannya. Pria itu adalah orang pertama yang membuat Chan mengerti bahwa menjadi anak bawang artinya sama sekali tidak sama dengan menjadi bagian dari permainan. Maka dari itu, dia harus menciptakan permainannya sendiri dimana dia lah yang akan menentukan segala aturannya.

Sehingga sekarang Lee Chan sepenuhnya mengerti bahwa dia bukan menyimpan rasa cinta kepada Nu; dia hanya ingin menjadi Nu ketika dewasa nanti, yang punya pengertian dan pandangan ulung tentang banyak hal di dunia.

Dipeluk erat oleh Nu setelah mendapatkan closure dari segala kegundahan hatinya selama ini terasa seperti diterbangkan ke udara. Tubuh dan kepalanya kini terasa begitu enteng, dan yang terpenting diantara segalanya pelukan erat yang tengah Nu berikan mulai terasa seperti kakak kepada adik alih-alih cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Nice to meet you, Chan.”

Nice to meet you too, Wonwoo.”

Dan ini lebih baik. Ini , jauh lebih baik.

— pov: Migu.
— words count: 8k.
— a work of commission.
— 🔞 for profanity & mild sexual content.
in affiliation with | Renjana
mandatory read:
1: The Retirement Of You
2: Baby Steps
3: Rainbow Steps
4: All That Jazz

Vengeance, the worst of it all.

I never actually scared of death. Buat gue kematian itu ya... cuma kematian. Mereka gak jahat, gak juga berlaku tidak adil.

Tapi waktu jaman gue SMA dulu ada satu rumor aneh yang skalanya hampir mencangkup seluruh dunia: katanya, kiamat akan jatuh pada tahun 2012. Bukan pertama kali internet dampaknya bisa sampai mempergaduh teori asal yang entah muncul dari mana, tapi lucunya yang kali ini berhasil membuat sebagian orang yang gue kenal menjadi was-was dan kocar-kacir.

Gak cuma sampai di situ, salah satu production house Hollywood ternyata berhasil mengambil kesempatan lewat ciptaan filmnya dengan tema dan judul yang sama. Gue sempat nonton sekali bareng anak-anak kelas sepulang sekolah. Intensinya iseng aja karena kita juga gak tau mau pada nongkrong dimana, tapi yang jelas film itu sempat menyedot perhatian teman-teman gue sampai sekitar sebulan kedepan.

Movie aftermath jujur gue gak pernah merasa film itu punya dampak yang gimana-gimana buat diri gue sendiri, tapi sedikit banyak berhasil bikin gue sadar kalau gue gak pernah takut mati. Dari film itu gue belajar, kalau kita cukup gak perlu punya apa-apa di dunia untuk gak merasa terbebani jika sewaktu-waktu terpaksa harus meninggalkan nya. Dan kiamat sekali pun gak akan menjadi semenakutkan itu.

Film tersebut sebenarnya bukan satu-satunya hal yang menyadarkan gue kalau kehidupan duniawi itu rumit. Aturannya memang semakin banyak kita mengambil peran dan porsi, semakin besar pula tanggung jawabnya. Dan dampak paling jenaka dari itu semua, adalah membuat hal senikmat ngewe bahkan udah gak mampu lagi menyelamatkan seseorang dari pikirannya yang bercabang.

Gue seorang talent yang profesional. Dan jika profesi gue adalah membawa seseorang untuk melupakan sejenak urusan duniawi lewat jalur seksualitas, maka yang akan gue lakukan hanya sekedar itu. Gue gak peduli mereka yang sebenarnya adalah siapa, bahkan punya pengaruh apa. Maka ketika gue yang sudah sepenuhnya siap tidak diperkenankan untuk melakukan perkerjaan yang semestinya, disitu lah gue tahu bahwa seks gak selalu bisa menjadi problem solver.

What do you want me to do, adalah hal yang sewaktu itu gue utarakan. Apakah dia mau gue peluk, gue cium, gue sentuh di bagian tertentu, gue puaskan di salah satu titik sensitif, apa pun. Dan usaha kami yang sudah jauh-jauh bersembunyi di kamar hotel itu, hanya berakhir dengan dia minta ditemani dan didengarkan.

“Kamu pernah menyesal, Mingyu?”

“Apa yang perlu disesali, tante?”

“Ini. Kehidupan seperti ini.”

“No. Not... exactly.”

“Good for you, i think. I have everything, my family is everything. But sometimes, everythings can be a burden itself.”

Malam itu, tubuh yang tadinya terlanjur tak berbusana akhirnya gue tutup kembali. Malam itu, gue menuangkan wine ke dalam gelas alih-alih di atas kulit manusia. Malam itu, gue memberikan konsolasi lewat telinga yang siaga mendengar. Malam itu, kami hanyalah dua orang asing yang mencoba mentoleransi keluh kesah.

Mungkin itu adalah pemicu keputusan mutlak yang membulatkan tekad gue untuk menancapkan gas sekencang yang gue mampu sebelum meninggalkan seseorang di salah satu titik kilometer tol. Mungkin dari situ akal sehat, realisasi, dan kesimpulan gue berasal. Mungkin dari situ gue akhirnya menyadari bahwa melarikan diri sama artinya dengan menyelamatkan diri dari komitmen yang selama ini gue hindari. Mungkin menjadi tersiksa sepanjang tahun-tahun sebelumnya adalah hukuman atas ketakutan yang gue tak beritahukan pada siapa-siapa.

Gue gak pernah repot-repot membeli rumah. Atau menabung untuk apa pun yang bentuknya investasi masa depan. Atau punya brankas tempat menyimpan surat-surat berharga. Atau melabel seseorang dengan kata sosok terdekat yang presensinya akan selalu gue hargai. Semua karena gue tidak ingin dihantui rasa takut bernama kematian. Semua karena gue harus menjamin tidak akan perlu mengalami rasa kehilangan. Semua karena gue diam-diam adalah pengecut yang ulung.

Jadi pada suatu hari ketika gue memberanikan diri untuk bertanya kamu mau apa kepada Jeon, gue tahu bahwa gue tidak akan bisa lari kemana-mana lagi.

Aku mau... rumah yang terasa seperti rumah, gue ingat dengan sejelas-jelasnya jawabannya kala itu. Kami berdiri di atas tanah kosong dengan ukuran sekian meter persegi, pandangan mata memindai sekitar hanya bermodalkan imajinasi. Jemari gue dan dia saling bertaut, namun kami punya fokusnya masing-masing. Seperti misal, gue sedang memutar dapur khayalan dimana gue nantinya akan dapat mengangkat tubuh si dia ke atas kitchen island dan memberinya lumatan di bibir tepat di pagi hari seraya potongan roti bakar bertengger di meja, dan Jeon bersama visi hangat tentang beberapa jenis interior yang akan terpasang pada ruang tengah masa depan kami.

It’s a fairytale, and it kills all the monsters that live inside my head.

Dia tidak lebih lanjut menjabarkan secara detail apa yang dimaksud dengan rumah yang terasa seperti rumah, tapi mungkin disitu letak tantangannya. Atau mungkin juga adalah salah satu bentuk pembuktian tentang seberapa jauh kami saling mengenal. Jadi masih dengan kami yang berdansa kecil di atas lantai rumah mahoni yang adanya hanya dalam khayalan, gue serta merta mengiyakan dan menyanggupi. Gue akan menjadikan rumah impiannya menjadi nyata.

Which is kind of a funny scenario, karena gue belum dan tidak pernah seberkomitmen ini sebelumnya. Dan untuk pertama kalinya, gue takut akan kematian.

Sekitar dua bulan yang lalu gue baru aja resign dari kantor yang ironisnya dulu mempertemukan gue dengan Wonwoo dan Jeon secara bersamaan walaupun dalam rentang waktu yang berbeda. Alasannya karena for good aja sih, gue cuma merasa in a desperately need for new environment. Jadi sambil cari-cari kerja dan joinan beberapa projek bareng Minghao, gue akhir-akhir ini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah yang saat ini progressnya baru sampai tembok semen. Kadang sendirian, kadang gue disana sampai Jeon datang sepulang kerja.

“Wow.” That’s him, walking closer to me with a box of Pizza in hand. Suara manusia pertama yang gue dengar setelah berjam-jam ditemani hanya oleh keheningan. “Itu yang kamu kerjain dari pagi?”

“Yep.” Gue merangkul Jeon di bagian lekuk pinggang, menarik si dia mendekat sebelum melayangkan kecup singkat di bagian pelipis. “It’s not much, dan kayaknya nanti juga akan ketutupan sama beberapa furniture. But i don’t know, i just feel like muraling.

Kalau ada yang gue pelajari dari kepindahan ke Jakarta yang membuat gue bisa lebih sering bertemu Minghao, adalah dia yang banyak melibatkan gue dalam beberapa sesi workshop lukisannya. Few chances into the meeting and now i’m a Picasso myself.

Looking good, Mr. Painter.” Jeon melemparkan sumringahnya kepada gue, lalu melirik overall denim yang hari ini gue kenakan. “You even dressed like one!

“Ha-ha, very funny.

“Saran aku mungkin kamu bisa gambar juga muralnya di sisi lain? Yang gak akan terlalu ketutupan perabotan, maksudku.”

“Boleh, that can be done. Bayarannya apa nih? Coldplay yang di SG kali ya?”

“Bayarannya ini.” Jeon menangkup kedua sisi wajah gue dengan telapak tangan dan mengecup pipi sebanyak lima kali masing-masing. “Kan kamu tahu aku kurang suka yang fomo gitu... Mainstream thingy are less meaningful. Lebih mending nemenin kamu ngelukis.”

Gerlingan mata yang baru gue lakukan dibarengi dengan gue yang semakin erat membawanya ke pelukan. “How’s your day, Pumpkin?

Jawaban dari pertanyaan barusan gak langsung keluar dari bibirnya. Dia masih sempat mengayun kakinya kecil dan bergelendot di lengan gue, sebelum balik mempertanyakan, “Kamu tahu hal ternyebelin dari kamu yang resign dari kantor gak?”

Gue juga pada saat itu gak spontan menjawab. Detik pertama gue pergunakan untuk mengecup puncak kepalanya, lalu mengangkat dagunya, lalu menatap matanya, “Apa?”

“Tiap hari... tiap hari tuh jadi gak ada cenat-cenutnya. Ya hampir semua anak-anak departemen juga udah tau sih kita pacaran, tapi kantor kan tetap kantor. Aku dan kamu sama-sama sadar apa itu profesionalitas, so we behaved. Tapi excitmentnya jadi disitu: because we are behaving. The idea of papasan sama kamu di lift, lirik-lirikan pas lagi meeting, janjian makan siang bareng, itu ngebuat aku jadi semangat ngantornya. Jadi pengen cepet-cepet besok lagi, jadi...”

“...Jadi bisa ngayal skenario romantis pas lagi bosan sama kerjaan?”

Tebakan gue bener, dan bukti dari fakta tersebut adalah keningnya yang otomatis berkerut. “It’s worth living, you know?

I know.” Pelipis itu gue kecup kembali. “Just like this house.

Just like how the extra space next to me belongs to you.

“Minghao cerita ke Junhui which is pasti dia cerita lagi ke aku, katanya kamu sempet coba natoin customer di tattoo studio temen kamu itu.”

Gue mendengus geli sambil menarik si dia untuk duduk bersilah di lantai. Kotak Pizza itu akhirnya terbuka, dan gue memberikan satu potong untuk Jeon dan satu untuk gue sendiri. “Cuma iseng coba-coba aja.”

Well i like that you tried. Aku gak mau kamu cuma stuck mikirin apply kerjaan atau semacamnya. I want you to take your time.

I am taking my time. See? Mukaku udah cemong gini seharian ngecat.”

Jeon menjulurkan lidahnya dengan usil, namun ibu jarinya mengusap noda di pipi gue dengan perlahan. Senyum sendunya perlahan demi perlahan bermunculan. “Thank you... for taking so much consideration into the house.

Of course i took it seriously. I’m crafting your dreams.

Our dreams.

Gue gak tahu kenapa gue harus sampai terdiam beberapa saat. Mungkin alasan utamanya karena gue gak sampai hati untuk merevisi kalimat tadi, mungkin karena menjadi optimis gak pernah adalah bidang gue, atau mungkin karena gue malu. Gue malu untuk mengakui bahwa Jeon, rumah ini, dan semua mimpi-mimpi kami, adalah hal yang dulunya begitu gue benci dan hindari mati-matian.

Yeah... our dreams.” Gue membeo dalam bisik bersama sebuah senyum reasurasi. The saliva tasted bitter than ever.

I’ll see you tomorrow at birthday party mami?

Alright. See you, Pumpkin.

My head is one hell of a ride, and yet another scary thing awaits.

***

Selain tidak pernah menaruh rasa takut pada kematian, gue juga gak pernah takut dengan rasa cemburu. I’ve never been someone’s official to be jealous in the first place, and eventhough i’m a lust substitute they’re gonna simping over me more anyway. And i like the feeling of it. Gue suka bermain-main dengan hasrat manusia, dan gue senang dikejar daripada mengejar.

But if i were to learn one or two things about jealousy, it runs just like a bad disease. And it’s totally a new experience for me. And i do bad at self convincing. Terutama karena sebelumnya masalahnya gak pernah ada pada gue. Tapi kali ini iya. Dan itu juga yang menjadi inti permasalahannya: rasa cemburu ini, gak pernah Jeon yang menciptakan. Semua hanya ada di dalam kepala, berkembang biak dan menggerogoti sampai gue gak punya pilihan selain melupakan jati diri.

Perayaan ulang tahun maminya Jeon bukan perayaan yang gimana-gimana. Bentuknya cuma kumpul keluarga dan makan-makan biasa, dan puncak agenda hari itu adalah buka kado. Harusnya begitu, sampai akhirnya beberapa hari yang lalu gue mendapat kabar kalau salah satu sahabat si tante akan ikut datang bersama anaknya yang kebetulan dapat dapat jatah libur di Jakarta. Yang kebetulan juga kenal sama Jeon.

Yang ternyata bukan sekedar kenal, but they’re kind of bondedly close dari sewaktu masih sama-sama kuliah di Columbia University.

Changkyun is... well, he’s quite a package if i’m being honest. He’s a family man but not the old school or boring kind of way, malahan he’s actually pretty cool and stuff. Kalian bisa percaya karena gue udah banyak bertemu segala jenis manusia dan kepribadiannya, hal itu secara gak langsung membuat gue mahir dalam mengobservasi. And this guy... means no harm.

He’s just easy going on his own way, knowledgeable, established, not to mention fit and handsome, knows Jeon and his family by heart, and he’s a saint. Oh trust me, he is.

Tipe laki-laki yang punya mindset kuat di kepala tentang sakralnya pernikahan, and sex before marriage is just as bad as betraying God and the whole squad of holy spirit. Changkyun jelas gak akan memperkenalkan diri dengan cara itu. Dia juga gak memvisualisasikan teori tadi kepada gue secara terang-terangan. It’s all happening inside my head, but the truth hurts is always pretty much there.

Mungkin itu alasan paling masuk akal mengapa gue hari ini punya self esteem yang lebih rendah dari beberapa bulan belakangan. Mungkin melihat Changkyun berbaur dengan semua anggota keluarga Jeon seakan dia memang sudah ada disini sepanjang hidupnya membuat gue diam-diam mempertimbangkan apakah aksi gue dalam mengusahakan kami memang berada pada titik maksimalnya.

But the worst of all, the fucking worst of it all, Im Changkyun is reminding me that if Jeon deserves every healthy romance fantasy of him to become true, then it’s definitely not with me.

“Migu selama Changkyun di Jakarta ajak main dong nih, siapa tahu bisa ditawarin ke temennya yang sama-sama lagi jomblo.”

Gue tertawa sewaktu ibunya Changkyun membuka pembicaraan dengan basa-basi. Ibu yang sangat terlihat mengutamakan keluarga di atas segalanya, yang kemungkinan besar akan mengeluh jika anak-anaknya jajan fast food alih-alih memakan masakan beliau. This might sound petty, but for once i’m actually dying to know what it feels like to have such a caring and warm family like that.

“Boleh aja sih tante kalau Changkyun mau. Tapi saya gak janji ya, nanti kan balik lagi nih usaha mancingnya gimana kalau udah ketemu.”

“Haduh, dia tuh.” Tangan si tante mengusap-usap lutut anaknya. Changkyun di sebelah, menjadi defensif dengan menutup mata erat-erat serta gelengan kepala. “Susah Gu dia anaknya. Terlalu teknis. Yang namanya PDKT kan dibuat natural aja ya, tapi anak tante tuh gak bisa basa-basi dan ambil hati orang. Jadi gak keliatan gitu, maksudnya lagi ngedeketin. Ujung-ujungnya ditinggal duluan sebelum maju. Lama.”

Is that...

Gue melirik Jeon di meja makan, yang gak melirik balik karena fokusnya pada kue ulang tahun yang sedang ia potong dan bagikan di atas masing-masing piring.

“Kenapa wordingnya jelek banget sih bu, ditawarin... Memangnya Changkyun belajaan ibu di Thamrin City?”

Sang ibu tak menggubris protes barusan. “Dulu nih Changkyun sama Jeon, berdua sama-sama payah. Kerjaanya kalau gak di perpustakaan seharian ya ngumpet di kamar. Yang satu nonton series, yang satu bikin aransemen musik. Untung aja cuma hobi, terlalu malu dia kalau disuruh nyanyi di depan orang banyak.”

Introvert ya, kayak Jeon.” Pancing gue, entah tujuannya apa.

“Ya makanya, cocok deh si duo culun. Duo pemalu. Jarang punya pacar jadinya. Makanya waktu maminya Jeon cerita udah ada Migu, tante bercandain terus Changkyun dan bilang nanti ditinggal Jeon nikah duluan. Eh, tetep aja tuh keras kepala. Dibilang katanya kerjaanya lagi banyak, gak sempet mikirin pacaran.”

“Beneran lagi banyak, bu...” Rengekan sang anak lebih terdengar lelah alih-alih memohon. Gue rasa ini bukan pertama kalinya Changkyun dipojokan pada situasi yang sama, jadi seengaknya dia udah paham gimana cara untuk mengatasi sang ibu.

“Iya ibu paham, tapi kan...”

Gue memberikan jarak untuk sang ibu dan anak saling beradu argumen dengan kembali melirik dia di kursi meja makan. Kali ini Jeon berhasil menangkap pandangannya, dan ada sunggingan manis yang dilempar balik kepada gue setelahnya.

Jeon is a hopelessly romantic kind of person. Hal yang menurut gue wajar, bisa aja dikategorikan oleh dia sebagai sebuah tindakan yang salah satu dampaknya adalah menyebabkan salah tingkah. Mungkin Jeon gak tahu kalau gue tahu, tapi banyak dari konversasinya bersama Junhui yang isinya adalah seputaran Serius Ju... Gue tuh udah kayak, gak enak banget sama dia gara-gara ngilangin karcis parkir. Tapi lo tau gak sih Ju, dia ngebahas aja engga. Malah waktu ngobrol sama petugas parkirnya pas bayar denda di loket dia cuma ketawa-tawa aja habis itu nanya gue lagi kepengen makan apa sambil ngecupin jari gue satu persatu. Sumpah gue baper banget... yang hanya bisa membuat gue mendengus keheranan, karena kalau semua klien gue mendeklarasikan perlakukan gue kepada mereka dengan sebutan heartflutering, the industry would be doomed.

But that’s the thing about Jeon. Kayak, hal-hal yang secara gak sadar dia ajarkan atau perkenalkan kepada gue sebetulnya klise dan kekanak-kanakan, but i surprisingly liked it. Siapa yang lagian bisa sangka, kalau seorang Migu akan berusaha menahan senyuman hanya karena tangan gue dan dia gak sengaja bersentuhan sewaktu berjalan dari lobi ke parkiran. And those hours i spent reading Nicholas Sparks novel dan mencoba untuk gak ketiduran di tengah-tengahnya. Or trying to understand the appeal from A Little Thing Called Love plot twist.

It’s the fantasy i will never be able to live up to. And it’s killing me, because Jeon might get one if i can just step out of his way.

Pun menghabiskan banyak waktu untuk mendambakan hal-hal romansa, Jeon is also bad at it. Just as bad as Changkyun, and the way they didn’t even realized that they’re perfectly fits to each other. Jeon mungkin gak akan sadar kalau yang selama ini dia cari sebenarnya ada di depan mata dari bagaimana gue mencuri dengar cerita-cerita mereka semasa kuliah, dan Jeon juga mungkin gak akan sadar kalau alasan satu-satunya mengapa Changkyun terlihat gak punya intensi lebih dari berteman adalah karena gak pernah ada dari mereka yang benar-benar memulai.

It’s a cliche trop, but it’s something special. And it makes me jealous.

Karena gue gak pernah merasakan cemburu terhadap Changkyun karena dia bisa aja ngerebut Jeon dari gue, tapi gue cemburu karena segala aspek positif yang ada di dalam diri dia bukanlah kepunyaan gue.

Gue berhasil bertahan untuk gak terlihat seperti laki-laki payah yang isi pikirannya penuh dengan sampah dan hal-hal pesimistis lainnya di depan keluarga Jeon. I’m mastering this art of poker face anyway, and it’s been saving me for almost my whole life. Namun ternyata, keberhasilan itu masih harus diuji pada saat-saat terakhir nya karena apa artinya hidup tanpa tantangan dan rintangan, kan?

“Eh before go home aku mau take a picture sama kamu dulu ya. Atau bareng-bareng aja sekalian. Yuk, yuk.” That’s Jeon’s mom announcing, mulai berdiri dari sofa dan menarik kami satu persatu untuk berdiri, mempersiapkan handphonenya pada mode kamera, dan mencari sudut paling bagus di antara sisi rumahnya.

And then here comes the confusion. Sebuah kebingungan yang gue tahu arahnya kemana, dan bentuknya lagi-lagi klise. Dan entah mengapa autopilot membawa gue kepada sisi pasrah dan menerima.

“Migu, can you help us to take the picture, dear?

Dalam keadaan yang sepenuhnya normal, situasi ini hanya hal biasa dimana gue tinggal mengatakan siap, memencet tombolnya, dan lalu mengembalikan handphone kepada sang empunya. Namun sayangnya gue masih harus melalui proses yang lebih panjang dari pada itu, dimulai dari ragu. Pun setelah gadget itu kini berada di dalam genggaman keadaan gue masih sepenuhnya linglung. Alasan pertama karena gue tengah diserang oleh perasaan iri. Gue rasa Jeon tahu, kesimpulan itu sedikit gue tarik setelah netra kami saling mengunci, wajahnya seketika berubah sendu, dan nyeri di dada yang tiba-tiba menggerogoti.

But then i looked at them all. Gue mencuri pandang pada keluarga yang ada di depan gue dengan seksama; Jeon bersama kedua orang tua dan kakak yang begitu disayanginya, Changkyun bersama ibu dan ayahnya, lalu ada gue—Migu si sebatang kara, yang ketika ditawari mama sama papa kamu boleh banget dateng lho Gu, harusnya datang malah. I would love to berakhir dengan sengaja untuk tidak menyampaikan sang undangan sama sekali hanya karena dia selalu tahu kekacauan macam apa yang akan terjadi ketika menaruh kedua orang tuanya pada sebuah situasi dan kondisi fungsional.

Jadi kembali pada gambaran kesempurnaan yang ada di depan sana, for the first time ever i feel like i didn’t belong here.

And i’m keeping the raging jealousy inside of me and only to myself, until it kills me slowly.

***

Let me tell you a little bit of secret: Changkyun bukan orang pertama yang membuat gue sadar kalau di dalam menjalin sebuah hubungan, ada usaha besar untuk mempertahankan. Ya oke gue dan Jeon mungkin bisa aja memproklamirkan kepada dunia kalau kita cinta mati, tapi masalah gak cuma akan datang dari perasaan satu sama lain yang diuji. But again, it’s all completely new to me. Gue belum pernah harus repot-repot mikirin dimana tempat paling baik untuk bisa memposisikan diri supaya hubungan ini bisa sampai di kesepakatan langgeng.

It’s kind of embarrassing to admit, tapi ada waktu dimana gue dulu begitu percaya diri kalau gue akan selalu menang dibandingkan Seungcheol. I knew by heart Wonwoo will always choose me over him no matter what it takes, tapi sayangnya masalah yang gue dan Wonwoo hadapi gak pernah tertitik berat pada sang pilot. We were just a flight risk to each other.

On the other side, Jeon had a few of his friends simping over him with a normal amount. Setiap dia posting makanan ada aja yang akan basa-basi tanya wah, enak tuh kelihatannya. pedes banget gak sih? Atau kalau dia lembur sampai malam dan update pemandangan gedung pencakar langit ibu kota balesannya akan langsung loh kantor lo disini juga? Sama dong! Kapan-akan pulang bareng bisa kali hahaha.

Tanggapan Jeon ke mereka ya aslinya gak gimana-gimana. Tetap berusaha friendly dan no harmful, terus habis itu merekanya juga gak maksa. Gue? Ya gak gimana-gimana juga. Gak bertingkah posesif ngga jelas, atau memantau DM Instagramnya seakan gue satpam, atau melarang dia main sama teman-temannya. Toh, gue tahu bahwa gue akan selalu menang dibanding mereka. Kalau ada satu pelajaran yang bisa gue ambil dari sana, malahan pandangan gue terhadap Jeon: that he was worth every attention that he gets. And i’ll give him the same. I should give him the same and even more.

But i guess Changkyun is different, karena dia gak pernah punya intensi untuk mendekati Jeon, and that he’s genuinely just some guy.

Mereka banyak menghabiskan waktu berduaan selama semingguan terakhir dalam konsepsi mengenalkan Jakarta Nowadays karena sahabat pacar gue itu udah lama juga gak stay disini. It turned out to be such a happy little go bonding, dan Jeon banyak posting di sosial media hasil berpetualang mereka yang kebanyakan terjadi setelah jam pulang kerja atau di akhir pekan. Dia juga gak pernah absen untuk laporan ke gue perkara hari itu akan kemana dan ngapain aja, dan kita kembali menjadi pasangan yang selalu berada dalam keadaan kepala dingin ketika tengah menghadapi satu sama lain.

Ironisasi yang kemudian gue hadapi datangnya dari Minghao, yang pada suatu hari menginisiasi percakapan dengan mengatakan Wah gak bener lo Gu sembari menaruh tasnya pada salah satu sofa kembali pada tattoo studio milik teman kami.

Jelas sewaktu itu gue refleks bertanya balik, “Kenapa lagi anjir?”

Yang kemudian direspon dengan, “Menuju gila gue dengerin itu anak berdua teleponan tiap malam. Bisa kasih space buat gue ngewe dengan tenang tanpa harus menampung keluh kesah laki lo gak?”

...That’s one way to look at it. “Dia curhat apaan emangnya?”

“Katanya dia bingung, kenapa lo kok kayak kelihatan fine-fine aja padahal akhir-akhir ini kalian jarang bisa ketemu.”

Fun fact: pun belum dalam tahap mahir, gue tahu arti dari setiap clickbait tersembunyi dalam postingan atau laporan yang Jeon paparkan kepada gue. Gue paham betul respon seperti apa yang ingin dia dengar, dan satu-satunya alasan mengapa tujuannya tidak tercapai adalah karena gue sengaja melakukannya. Gue sengaja bersikap seakan jalan-jalan akhir pekan mereka di sepanjang pelataran Blok M tidak mempengaruhi gue dalam skala apapun, dan gue sengaja membuka kesempatan lebih banyak untuk mereka bertemu lagi.

Tapi, apa yang kalian harapkan dari seseorang yang belum pernah merasakan apa itu rasa cemburu sebelumnya?

Puncak dari kekonyolan gue ini akhirnya terjadi pada suatu malam ketika undangan ‘makan-makan’ ditujukan dari Junhui untuk gue, Jeon, dan juga Changkyun di rumahnya. Gue mengiyakan atas dasar janji memperkenalkan Changkyun kepada Minghao yang belum sempat gue tepati, dan Jeon menyetujui karena ide tentang mengumpulkan kami dalam satu ruangan membuat dia begitu kegirangan. It went well, i might say. Kami berempat sudah sering melakukan ini, dan Changkyun selalu pintar dalam mengimbangi.

Ada satu janji yang diam-diam berusaha gue tepati kepada Jeon. Janji itu tak pernah berdasar dari paksaan, namun dari gue yang mencoba memilah dan memilih hal yang dia sukai dan tidak. Salah satu contoh paling mudah mungkin adalah minuman beralkohol. Pun kadar toleransi alkohol gue gak sekecil itu untuk membuat gue mabuk hanya dari beberapa teguk, tapi ide secara general dari mengkonsumsi alkohol itu sendiri yang sama sekali bukan preferensi Jeon.

Bisa dibilang malam ini lagi-lagi gue sengaja melakukan hal-hal bodoh untuk tujuan dan alasan yang entah apa. Jika diantara kalian familiar dengan salah satu adegan pada Harry Potter and the Deathly Hallows, gue adalah pemeran yang mengalungkan Slytherin’s Locket dan tanpa sadar membiarkan kekuatan jahat di dalamnya merubah gue menjadi sosok dengan personaliti yang bahkan gue sendiri tidak kenali.

Jadi bersama gue yang pada malam itu berada dalam keadaan 75% mabuk, sebuah peran dingin kemudian terjadi.

“Gu, kok kamu minum? Nanti nyetir pulangnya gimana...”

Ironis bagaimana bahkan ketika tengah menegur barusan, Jeon sama sekali tak melakukannya dalam nada otoriter. Dia murni khawatir, dan itulah yang semakin membuat gue ingin terjun payung dari atap tertinggi dunia menuju lantai bumi.

“Ih yaudah sih, kalian nginap sini aja... Pulangnya besok pagi.”

“Bukan masalah nginepnya. Jun...”

Sebuah dengusan dan kekehan kemudian gue keluarkan ketika Junhui dan Jeon memulai debatnya. Mungkin hanya gue yang tahu pada saat itu bahwa ini memang sepenuhnya bukan tentang bagaimana kami akan membawa diri agar bisa sampai di rumah dalam keadaan mabuk, ini adalah tentang Jeon dan ketidaknyamanannya dalam melihat gue dalam sebuah situasi yang... mengingatkannya pada Migu yang dulu.

Membiarkan Junhui dan Jeon kembali dalam tawar-menawar argumen, gue melirik Changkyun bersama kaleng soda yang tengah diteguknya. Pria yang malam itu datang dengan jeans, kaos putih polos, leather jacket dan rambut hitam legamnya, kembali membuat gue iri dalam beberapa versi cerita tentang hidupnya. Im Changkyun dengan keluarga harmonisnya, privilege pendidikanya, wajah tampannya, pekerjaan dan prestasinya, visi misi dan prinsipnya, juga tubuhnya yang tidak pernah sembarangan dilempar pada dunia malam atau dia yang hampir bunuh diri hanya karena cinta.

I’m so sick of him. So sick of myself. So sick of everything.

“Gak bisa Jun seriusan, kapan-kapan aja ya... Harus balik gue, besok pagi ada acara. Ngga masalah nanti gue aja yang nyetir terus Migu nginepnya di rumah gue.”

“Kamu mending pulangnya sama Changkyun aja.”

Sama Seungcheol aja ya, Wonwoo?

Kalau ini adalah salah satu sitkom komedi, seisi ruangan yang pada kala itu menoleh kepada gue secara bersamaan mungkin akan menjadi situasi paling ikonik untuk dibumbui dengan efek suara tertawa. Wajah dua sang pemilik rumah yang berubah komikal, Changkyun yang penuh keterkejutan, dan lalu Jeon. Jeon, dengan seluruh kekecewaan yang tergambar nyata di wajahnya.

“Kenapa aku harus pulang sama Changkyun? Kan kesini nya sama kamu.”

“Aku terlihat seperti bisa nganterin kamu pulang gak?”

“Kamu ada mikir gitu gak sebelum mulai minum tadi?”

Sedari awal gue udah bilang bukan, bahwa ini adalah puncak dari segala kekonyolan yang gue ciptakan sendiri semenjak penyakit cemburu sialan itu bermunculan?

Well no i’m sorry. For now kamu bisa minta anterin dia dulu.”

Jeon dan gue sama-sama jarang marah. Setelah gue pikir lagi malahan hampir gak pernah, seengaknya dalam konteks yang menyangkut hubungan kami. Dia bertemu gue ketika gue tengah berada dalam posisi untuk belajar bangkit dalam keterpurukan, dan gue bertemu dia sebagai sosok yang bijak dan dewasa. Untuk seorang Jeon bisa memberikan pandangan yang begitu penuh dengan kebencian, then i must have done some great big deal.

“Aku yang nyetir Migu, it’s okay.

It’s not okay.

And that is Jeon’s last straw. Gue udah pernah bilang bukan, kalau kita sama-sama lebih senang berpikir dengan kepala dingin? Jeon menyadari bahwa situasi ini bukanlah salah satunya dan memutuskan untuk menyudahi dari caranya terdiam, menarik napas, menghembuskannya, berdiri perlahan seraya mengambil tas, sebelum kemudian berjalan perlahan ke arah pintu keluar.

Changkyun understood the assignment immediately. Pun Jeon gak sama sekali mengatakan barang satu kalimat, pria itu tetap menyimpulkan bahwa oke, rasanya malam ini benar-benar dia yang harus mengantar Jeon pulang. Dan gue mendakan inisiatif itu sebagai tusukan bilah pisau tepat di bagian dada walaupun gue adalah penyebab mengapa situasi ini bisa terjadi. Diam-diam gue bersyukur bahwa alkohol yang gue konsumsi berkontribusi dalam mencegah gue untuk berpikir dengan akal sehat. Hal sekonyol ini hanya mampu dilakukan oleh orang bodoh.

Jeon took a last glance at me, though. Kepalanya yang ditolehkan kepada gue itu masih bersama raut kekesalannya, kemarahannya, kebenciannya, yang semua ditujukan kepada gue.

Lalu kemudian sebuah pertanyaan ia layangkan sebelum sepenuhnya pergi: “What the hell is wrong with you?

I was a flight risk with the fear of falling, but i didn’t exactly tell him that out loud.

***

Kalau ditanya apa alasan terkonyol dari penyebab apakah gue pernah menangis di tempat umum, gue pikir kayaknya gue bisa menjawab pertanyaan itu. Buka tipe tangisan di mana gue tersedu-sedu sampai semua orang berakhir menoleh, tapi tangisan ketika bulir air mata yang turun bahkan tanpa suara dan hanya gue yang tahu dari betapa basah pipi itu ketika gue usap dengan sehelai tisu.

Semua berawal dari gue yang pada kala itu kebetulan sedang makan di salah satu kedai Mie Ayam kaki lima sambil menunggu mobil yang dicuci. Ada satu bapak-bapak yang sudah cukup tua terduduk di salah satu meja di depan, posisinya memungkinkan gue untuk melihat beliau yang mengatur handphonenya agar bisa berdiri dan bersandar pada kotak tisu sebelum kemudian wajah seorang wanita yang juga seumuran dengannya muncul di layar.

Harus gue akui pada saat itu gue tidak sengaja dan sengaja mencuri dengar semua hal-hal yang mereka ceritakan kepada satu sama lain. Turns out, pasangan paruh baya itu tengah dipisahkan oleh jarak karena pekerjaan yang memaksa. Mereka membicarakan beberapa hal ringan, memberi kabar tentang bagaimana hari mereka berjalan, saling mengakui kerinduan yang mereka rasakan, semua dengan kesabaran dan senyuman pada wajah masing-masing yang membuat semua orang yang menyaksikan akan tahu seberapa besar kasih sayang yang mereka punya terhadap satu sama lain.

Mungkin gue yang pada saat itu terbawa jauh terlalu emosional. Atau mungkin karena menjadi jatuh cinta dan membuat pasangan kita dapat merasakannya bahkan di umur mereka tak selalu mudah. Atau mungkin karena diam-diam gue sadar bahwa hal yang mereka lakukan adalah sesuatu yang selama ini belum mampu gue lakukan.

Bahwa di dalam hidup ini, sebenarnya kita cuma butuh satu orang untuk diajak ngejalanin semuanya bareng-bareng sampai tua nanti.

Gue gak pernah berhasil dalam hal itu. Dan disaat gue kira gue sudah bertemu dengan orang yang tepat, lalu gue sendiri yang membuat semua menjadi tidak baik-baik saja.

I think i’m a paradox.

Sewaktu mendengar gue yang tiba-tiba ngomong gitu, Minghao cuma memberikan gue respon dalam bentuk dengusan. Mungkin dia udah terlanjur muak juga menghadapi gue yang bukannya mencari closure atas masalah gue sama Jeon, tapi malah gangguin dia yang pagi ini sibuk ganti air karburator di garasi rumah.

“Masih mabok lu?”

“Gue abis lari pagi di GBK, yakali nyetir kesini mabok.”

Well... yang kemarin gue akuin emang pretty fucked up, but you’re not necessarily a paradox.” Minghao menutup kap mobilnya, melepas sarung tangannya, lalu menancapkan netranya untuk memandang gue dengan seksama. “Ibaratnya nih, lo seharusnya bersyukur masih bisa jungkir balik perkara cemburu. Karena artinya cinta lo ya masih utuh ada di hati dan pikiran. Tinggal gimana lo kasih resolusi buat keraguan lo itu. Dan gue rasa minder bukan jawabannya, Gu. Minder itu seharusnya jadi sekedar skill issue lo aja. You know what you have to to do selain talk it out?

What?

The sex, man. Seriously. Gak ada waktu terbaik dari ini untuk ngaku ke Jeon kalau lo cuma cemburu dan bilang ini gak ada hubungannya sama sekali ke sayang lo sama dia atau apa pun itu. You just have to tell him, lo berdua ngobrolin enaknya gimana, and then you do the after-fight sex. Trust me, it’ll be worth it.

Maybe it will, or will not. “Gue boleh tanya sesuatu gak sama lo?”

Minghao menenggak isi botol air mineranya sampai habis tak bersisa sebelum menjawab pertanyaan yang gue ajukan dengan anggukan, tanda mempersilakan.

“Menurut lo... apa gue terlihat seperti barang bekas?”

Minghao bukan seorang teman yang baru mengenal gue minggu kemarin. Dia ada disana dan menyaksikan segala kisah jatuh bangun gue, dan mengerti posisi gue lebih dari siapapun. Gue gak harus repot-repot menjabarkan secara rinci maksud dari pertanyaan tadi dan dia tetap akan mengerti. Karena gue Migu. Dan gue punya masa lalu yang gak kebanyakan orang punya. I am a paradox.

Compared to siapa? Changkyun?” Minghao menertawakan gue seakan-akan gue adalah bocah yang butuh dibimbing, dan sejumput rasa malu mulai bermunculan di dada.

Maybe? I don’t know.

“Gu.” Ada satu telapak tangan yang tengah diremaskan pada bahu gue saat ini. Minghao membiarkannya menetap di sana hingga kalimat yang ia ucapkan tuntas terutarakan. “Lo mau tau gak kenapa gue bisa langgeng sama Junhui, atau gue yang gak punya concern yang sama kayak lo despite gue juga bukan orang yang suci?”

Gue menggeleng, Minghao melanjutkan.

“Gue kasih dia cinta yang lebih besar dari yang Junhui kasih buat gue, Gu. Itu cara gue mengkonpensasi ketidaksempurnaan gue: dengan menyayangi dia kayak gak akan ada lagi hari esok. Lo punya hak untuk mendeklarasikan kepemilikan lo atas Jeon, dan itu salah satu hal yang lo bisa lakuin dan Changkyun engga. Embrace it.

The talk with Minghao knocked some sense out of me, fortunately. Walaupun gue masih gak tau harus mulai dari mana, tapi seengaknya hari itu gue ada inisiatif untuk memulai. Mungkin ketika berhadapan dengan Jeon hal pertama harus gue lakukan setelah semua kekonyolan kemarin adalah bersujud. Atau meminta ampun. Atau menangis seperti pria payah. Apa pun itu, langkah awal yang gue lakukan akhirnya adalah mengirimkan sebuah pesan di mana gue berani mengungkapkan bahwa gue merasakan rindu. I yearned for him.

Satu minggu. Jarak terlama gue dan dia tak berkomunikasi sejauh ini, bisa dibilang. Walaupun pada dasarnya kami bukan remaja yang harus tahu kegiatan masing-masing dalam kurun 24 jam, namun ini pertama kalinya gue bahkan kehilangan arah tentang kabar dan keberadaan Jeon. Jadi jika memang  bahkan dia pun gak ada niatan untuk membalas pesan yang gue kirim enam jam lalu, mungkin gue hanya akan tidur agar kepala yang berisik ini setidaknya bisa berhenti untuk sementara waktu.

Gue sedang terduduk di meja makan bersama beberapa potong kentang goreng dan laptop yang tengah menayangkan Love Island season ketiga saat mendengar bunyi pintu apartemen dibuka. Jelas gue tahu itu Jeon. Tidak akan ada lagi seseorang yang bisa membuka kode pintu tanpa gue harus membantu, dan jelas gue tahu itu Jeon dari dia yang berjalan masuk ke dapur dan menaruh beberapa stok makanan ke dalam lemari pendingin layaknya rumah sendiri.

Bisa dibilang gue tidak benar-benar tahu harus menyapanya dengan cara atau kalimat seperti apa. Lagi-lagi gue hanya melirik si dia yang melakukan hal ini dan itu di dalam apartmen gue tanpa mengatakan sepatah katapun, dan gue yang berpura-pura terfokus pada acara yang tengah gue tonton walaupun isi kepala dan dengung di telinga gue terlalu berisik untuk mampu melakukan itu.

Jeon keluar dari kamar mandi bersama rambutnya yang setengah basah dan kaos gue yang terlalu besar di tubuhnya. Panjangnya hingga bagian paha, namun gue tahu hanya ada boxer yang ia kenakan dibaliknya. Dia kemudian mendekat, memutar tubuh gue agar dia bisa masuk dan berdiri di antara kedua kaki gue, menyandarkan kepala gue tepat di dadanya, dan menjatuhkan pipinya di puncak kepala gue seraya memeluk dengan seerat-eratnya.

My sex experience is always loud. At least loud means i give them a good bangs, and i needed that kind of review to tell the world that i’m expertise at my job. Yang gue tidak pernah tahu adalah apakah lenguhan dan desahan yang mereka lontarkan berdasar pada kejujuran, atau mereka hanya sekedar orang-orang disfungsi yang mencari pelarian untuk berteriak lewat jalur klimaks, atau ego gue yang sedang diberi makan. Apa pun jawabannya, i just knew the sex wasn’t real. It’s good, but it wasn’t real.

I didn’t know how to get involved in real sex until Jeon because he never lets out a sound, he just makes me feel it.

Seperti saat ini misalnya, ketika dia yang dengan lembut mengecupi puncak kepala gue terjadi bersamaan dengan gue yang menyisipkan tangan untuk masuk ke dalam kaosnya, menggenggam erat lekuk pinggangnya dan menyentuh kulitnya yang tak terhalang kain. Mata gue pada kala itu terpejam dengan erat. Gue tahu bahwa gue tidak akan jatuh, ada dia disana yang memeluk gue dengan begitu erat.

Setelah terus menerus meraba, ada satu waktu dimana Jeon akhirnya menangkup pipi gue dengan kedua telapak tangannya, membawanya mengadah hingga kini kami dapat saling menembus bola mata satu sama lain. Sendu pada air mukanya belum menghilang, gue masih harus bekerja ekstra keras untuk bagian itu.

Dan pada akhirnya, kata-kata pertama yang Jeon lontarkan kepada gue di malam hari itu adalah, “I miss you too.

He replied to my message.

Gue kemudian melayangkan sebuah kekehan seraya kembali menyembunyikan wajah di depan dadanya. Ada perasaan nyaman ketika punggung gue mulai diusap naik dan turun dengan intensi yang sepenuhnya tulus, dan wangi shampoo kelapa kesukaanya serta kaos yang baru dicuci merasuk perlahan ke dalam penciuman.

You do realize that we just had our first fight, right?

I do.” Jawab gue, bersamaan dengan kaos yang gue singkap ke atas sehingga kini gue dapat layangkan sebuah kecupan tepat pada bagian perutnya; di sisi atas, kanan, kiri, bawah, lalu tengah. Tekanannya hanya akan mampu membuat Jeon merasakan sapuan tipis dari permukaan bibir, namun sentuhan itu mampu membuat dia meremas rambut gue dua kali lebih erat.

The kiss going up and up higher. Dari perut menuju dada, dari dada menuju rahang, dan dari rahang menuju bibir. Kami saling melumat bersama dengan Jeon yang melepaskan kacamata yang tengah gue kenakan dan menaruhnya di meja, kami saling melumat bersama dengan kedua sisi pinggangnya yang gue genggam begitu erat sampai mungkin akan ada bercak merah yang tercetak disana, dan kami saling melumat hingga tak ada lagi oksigen yang tersisa hingga kami terpaksa harus memisahkan diri dari satu sama lain.

I smiled at him. And he smiled at me. Lalu dengan pandangan yang sama sekali tak meninggalkan matanya, gue memindahkan bibir itu pada puting bagian kanannya. Jeon serta merta menghentakan tubuhnya atas nama rasa nikmat. Lidah gue bermain di sana seakan ada pistol yang tengah ditodongkan pada pelipis jika gue berhenti memberi gesekan gigi kecil di sana atau sekedar memutar-mutar lidah agar menciptakan friksi. Dan sebagai gantinya, Jeon harus menopang tubuh dengan lebih keras lewat remasan helai rambut gue di dalam genggamannya.

Gue suka rintihan kecil yang kerap Jeon keluarkan setiap gue melakukan sesuatu pada tubuhnya. Cara dia melafalkannya membuat gue tertawa sarkas ketika mengingat semua hal yang pernah gue tonton melalui porn site, dan menertawakan diri sendiri atas fakta bahwa gue pernah bisa-bisanya dibuat terangsang oleh opera sabun murahan.

Karena ini, tensi seksual yang tengah terjadi di dalam apartmen remang ini, membuat gue seribu kali lebih terbakar dari skenario konyol tentang seks hardcore manapun. Jeon membuat gue sadar bahwa titik terpayah dari si yang katanya mahir dalam urusan ranjang, adalah bisa merasakan desiran darah yang tak karuan hanya perkara intimasi.

Maka ketika lagi-lagi Jeon menjauhkan bibir gue dari putingnya untuk sepenuhnya melepas kaos yang ia kenakan dari tubuh, pandangan gue seketika berubah menjadi abu-abu efek dari giginya yang menggigit bibir dan tangannya yang secepat kilat kembali mencari apa pun dari tubuh gue agar bisa kembali ia genggam. Gue membawanya mendekat, semakin mendekat walaupun sudah tak ada lagi jarak yang bisa kami isi disana, satu tangan meremas bokong dan satu tangan mengusap bibir bawahnya. Jeon memejamkan mata.

I love him so much it hurts this isn’t even funny anymore.

“Kamu bikin aku sedih, Migu.”

“Aku tahu, sayang.”

“Kamu sadar gak seberapa malunya aku tiap Changkyun nanya memang Migu gak ngambek kita pergi bareng? Memang Migu gak mau join sekalian aja? Memang Migu gak ada janjian mau ketemuan juga? Aku cuma bisa senyum aja karena kenyataanya kamu gak kelihatan punya masalah sama sekali dengan itu. Kamu kayak gak peduli aku mau ngapain aja. Alright fine aku bisa jawab kamu bukan tipe orang yang suka mempermasalahkan hal begini to fit our understanding but deep down Migu, i wanted you to. Karena bukannya aku tuh punya kamu ya? Aku mau ditanya habis dari mana, ngapain aja, gak macam-macam kan? But you don't. And do you know how shitty that makes me feel?

Alih-alih menjawab. Gue mulai membubuhkan beberapa kecupan di sepanjang rahangnya. Menilai betapa intens gue melakukannya, bisa dipastikan akan ada bercak merah bertengger di sana keesokan hari. Dari rahang kemudian gue berpindah ke leher. Distraksi ini cukup untuk membuat Jeon memindah konsentrasi dari amarah untuk berpegangan pada lengan atas gue. Kepalanya terlempar ke belakang, dan kemiringan sudut yang kemudian ia tambahkan mempermudah akses eksplorasi gue selanjutnya.

I’m sorry, i know. It’s not you, it’s me.

“Kalau aku melangkah pergi dari kamu atau menutup pintu di depan kamu itu artinya bukan aku mau kamu bener-bener pergi, Migu. Aku mau kamu kejar aku, tahan aku, tunggu sampai aku buka pintunya lagi buat kamu. It should be that simple. Kita berantem, tapi sehabis itu ya udah kita maafan. Karena aku pasti maafin kamu. Aku pasti—“

I go for the lips this time. I devour his lips like a madman. Like he’ll be gone if i blink. Maybe he might, that’s why i did it so desperately. Dan desperasi itu semakin terlihat dari gue yang secara tiba-tiba mengangkat tubuhnya agar dapat gue gendong naik. Masih bersama bibir kami yang belum terlepas dari satu sama lain, gue kemudian berjalan ke arah kamar dan menjatuhkan Jeon ke atas tempat tidur segera setelah tiba di dalam.

Sangking cepat melakukannya, gue kehilangan konsentrasi tentang kapan mulai membuka seluruh pakaian yang ada di tubuh hingga kini tak ada satu pun helai yang menutupi. Masih sambil tetap egois dan enggan memutus lumatan kami, gue bermultitasking antara melucuti celana pendek yang Jeon kenakan dan memetakan setiap sudut sang tubuh. Kami kini dapat bertemu kulit dan kulit, dan gue tak menunda untuk kembali memindahkan kecupan pada lehernya.

Satu lagi hal unik dari seks yang kerap gue lakukan bersama Jeon: we only go by missionary. Selain diam-diam mengetahui trauma gue tentang suara desahan kencang dan rasa nikmat yang dibuat-buat, dia akan selalu berada di bawah sana dan membiarkan kami menyatukan tubuh dengan gue yang diizinkan untuk selalu melihat wajahnya. Gue akan berada tepat di atasnya, menautkan jemari pada salah satu telapak tangannya yang berposisi tepat di samping kepala, sesekali melumat dan sesekali mengecup, seraya memaju-mundurkan tubuh pelan tapi pasti.

Malam ini tak jauh berbeda. Gue memberikan banyak stimulus pada kulit yang setiap sentinya tak terlewat gue kecup, dan pasukan jemari di bawah sana diam-diam mempreparasi lubangnya agar tak merasakan sakit nanti. Gue punya sebuah misi malam ini untuk tidak akan memberi selain rasa nikmat, dan gue ingin membayar semua kekonyolan yang gue lakukan dalam beberapa minggu terakhir disini.

Mata gue kala itu memindai banyak titik dalam satu waktu: telapak tangan kiri Jeon yang meremas sprei sedangkan telapak kanannya tengah gue genggam, ekspresi wajahnya yang penuh rasa nikmat, kelopak matanya yang tertutup erat, tubuhnya yang sesekali terangkat dan mengejang, penisnya yang membesar dan bergerak tak karuan, dan lubangnya yang sedikit demi sedikit semakin mudah untuk dimasuki.

Rintihan dan lenguhan kecil itu terus menerus terngiang bagaikan musik erotika bagi orang-orang yang mendambakan cinta, dan tidak ada waktu lebih baik dari suasana sentimentil ini untuk membubuhkan kecup pada keningnya: penanda bahwa di atas segalanya, di atas sebesar apa pun nafsu yang tengah bergejolak pada setiap darah yang terpompa di dalam tubuh, gue akan membuatnya teringat semua ini terjadi karena cinta.

Karena gue berusaha memberikan cinta yang lebih besar dari yang dia berikan kepada gue.

Bibir gue berada di atas keningnya untuk waktu yang begitu lama. Kesempatan yang kami gunakan untuk sama-sama mengatur napas, meredakan debar jantung, mendinginkan kepala, merasakan satu sama lain, menelan keheningan, dan juga mengapresiasi momen ini.

I like the pace. I like our pace. I like it so much hingga rasanya gue tidak akan pernah mau lagi mengenal apa itu bercinta selain dengan Jeon. Gue tidak akan pernah mau lagi menjadi terbuka jika itu bukan dengan Jeon. Dan gue tidak akan pernah mau lagi kembali pada kehidupan dimana Jeon tidak ada di dalamnya.

“Hei.” Sapanya.

“Hei.” Jawab gue.

Netra kami terkunci untuk beberapa saat, dan setiap hembusan dari napasnya menerpa kulit wajah gue hingga menggelitik. Perasan intimasi yang tengah gue rasakan begitu melimpah dan bergemuruh sampai perut gue terus menerus merasakan nyeri dan mual.

“Ada yang sakit gak, Pumpkin?”

Gelengan pelan. “Engga, Migu.”

Can i continue?

“Iya.” Kecupan di bibir yang entah keberapa kali malam itu. “Boleh.”

Banyak orang sering bertanya kepada gue apakah jika para penyewa jasa seksual menggunakan jalur tersebut untuk kabur sementara dari realita dan semua yang mereka rasakan adalah fana, apa artinya konsepsi itu juga berlaku kepada gue? Sehingga segala reaksi yang pernah keluar dari dalam diri gue juga adalah palsu. Sehingga tak pernah ada kenikmatan yang benar-benar terjadi. Sehingga seni pertunjukan peran memang adalah satu-satunya yang terjadi. Sehingga bersenggama sama artinya dengan dicambuk dan diludahi.

Jawabannya kurang lebih seperti ini: penulis yang beruntung adalah penulis yang tidak menjadikan menulis sebagai pekerjaan utamanya, atau tidak semua kebahagiaan dari menulis yang selama ini ia rasakan akan hilang karena beban dan tanggung jawab. Aplikasikan teori itu kepada gue, dan terbentuk lah kesimpulan bahwa gue memandang seks sebagaimana orang-orang merasakan stress ketika mengejar target bulanannya: a job’s still a job, you’ll just need to get through it, and no matter how hard it is at the end of the day you’ll get the sweet pay.

Dan Jeon adalah libur panjang akhir tahun. Jeon adalah tanggalan merah di kalendar. Jeon adalah cuti impulsif setelah memesan tiket murah dengan itinerary yang sebagian isinya bertujuan hanya agar alasan untuk mematikan notifikasi WhatsApp bisa terjadi. Jeon adalah rumah yang dinanti-nanti setelah perjalanan pulang dari semrawut ibu kota.

Jeon adalah dia yang membuat gue merasa mempersatukan tubuh kami di bagian bawah sana sama artinya pula dengan mengikat cinta kami menjadi satu. Jeon adalah dia yang membuat gue punya kesabaran setebal tembok Cina dalam memaju-mundurkan tubuh dalam ritme lambat karena itu artinya gue bisa dengan seksama melihat wajahnya yang tengah merasakan nikmat yang tiada tara. Jeon adalah ketenangan dari tautan jemari kami yang semakin menguat seiring dengan klimaks yang perlahan mendekat. Dan Jeon adalah kunci kotak paradoks yang ketika sepenuhnya terbuka, mengizinkan jutaan kembang api untuk meletup-letup di atasnya.

And life has not forgotten me; it holds me in its hands.

***

I like watching him sleep in the morning instead of waking him up. It’s extremely lame and cheesy, but at least i knew i fulfilled whatever fantasy that Jeon always up to. Gue suka ide bahwa kejadian ini nantinya akan ia ceritakan kepada sahabat terdekatnya, gue suka ide bahwa mereka akan melihat betapa bahagianya Jeon bersama gue.

I also like stealing kisses from him sampai nanti akhirnya matanya akan membuka sendiri. Dan setelah itu kami akan saling menyapa dengan senyuman, dengan mengagumi eksistensi satu sama lain, dengan sinar matahari yang tak seindah film atau buku, dan dengan kicau burung yang diganti lewat entah itu suara mesin atau denting jam.

Biasanya salah satu di antara kami akan mulai menjadi usil karena jemari yang entah mulai menyisir rambut, memetakan setiap anatomi dari wajah, kembali tersenyum, kembali mencuri kecupan kilat, lalu kembali mengantuk, kembali tertidur. And that’s the thing about Sunday: we’re defining it as a rest feast. Dan hari ini, mungkin juga kesempatan untuk gue dan dia kembali berbaikan.

I’m so sorry if this phase of my annoyed you, Pumpkin.

Kalau gue adalah seorang pembaca pikiran, kepala Jeon pasti sudah menyiarkan satu kalimat berbunyi it’s too early for this. Tapi gue menolak untuk memulai hari ini dengan kami yang masih gagal dalam memahami satu sama lain. Atau, gue yang gagal memahami seperti apa seharusnya menjadi manusia fungsional. Gue dan dia harus mengobrol.

“Aku terkadang bener-bener gak ngerti kamu, Migu.”

I know. Mentalitasku selalu membuat kesimpulan bahwa aku itu masalahnya. It’s my entire life. I’ve been my own problems. And you’re a sunshine. And so does Changkyun. And i just—i want the best for you, you know?

No.” Jawaban itu datang lebih cepat dari gue mengedipkan mata, sepenuhnya dengan nada yang sama ketika Jeon sudah terlanjut lelah membuat gue sadar kalau gue tidak lagi sendiri. “You don’t know.

No, listen to me—

—You really don’t know, Migu. Gimana kamu bisa tahu yang terbaik buat aku tanpa diskusiin hal itu ke aku?”

Gue terbungkam lama. He’s right, i don’t know.

“Aku gak ngerti caranya untuk mengatasi rasa cemburu. Aku belum pernah sebelumnya, Pumpkin. Aku... ini bukan keahlianku.”

Then i'll hotspot it for you.” Begitu katanya, seakan yang baru dikatakanya adalah hal termudah untuk dilakukan. “Kamu mau apa dan gimana, Migu? Aku bisa kasih kamu semua instruksi manualnya. We’ll make it work.

Aku mau sebuah malam hari. Aku mau menunggu kamu sampai di rumah setelah melalui berbagai macam dinamika manusia dalam KRL Jabodetabek. Aku mau berdiri di depan wastafel dan menemukan kamu di belakang ketika membalikkan badan. Aku mau teh hangat yang sudah ada di teko tetap hangat begitu kamu tuang ke dalam gelas. Aku mau sebuah pagi hari. Aku mau membuka styrofoam dan menemukan bubur beserta sate tusuk di dalamnya. Aku mau sebuah strategi hitung-menghitung yang kita lakukan di supermarket agar stok makanan nanti di kulkas cukup untuk satu minggu bahkan satu bulan. Aku gak ingin tenggelam sendiri di keramaian. Aku mau kamu mengisi ruang kosong yang ada di sebelahku. Aku ingin kamu disini. Aku ingin selamanya.

...Dan aku tidak takut lagi akan kematian.

I don’t wanna be a paradox anymore.

Okay. You won’t. We will make it work.

The spirits injected into my body. And the extra space next to me still belongs to him.

POV: Choi Seungcheol.

⚠️—: mild sexual content 🔞


Kalau ditelaah ke belakang, hidup saya itu seperti terbagi dua bagian antara sebelum dan sesudah mengenal Cendana Indah. Sebelum artinya adalah ketika visi dan misi saya tidak pernah ada niatan untuk punya rencana cadangan karena segalanya tentang rencana awal begitu mantap dan jelas, dan sesudah artinya adalah ketika saya lebih banyak mensyukuri sisi baik atas sesuatu selagi masih bisa menikmatinya.

Dulu semasa remaja saya punya pengetahuan nol besar tentang mobil dan mesin. Atau memasang lampu yang tingginya harus diraih dengan tangga, atau bukan orang pertama yang akan dimintai tolong untuk memalu paku ke tembok, atau menangkap kecoa yang tiba-tiba menghebohkan seisi rumah. Saya punya papa yang pun tidak mahir tapi akan selalu tahu apa yang salah dengan mobilnya ketika enggan berfungsi, punya kakak yang punya nyali besar untuk memanjat dan mengganti bohlam yang rusak, punya supir yang bermultitasking dalam menggantung foto keluarga kami pada paku yang telah kokoh menempel, dan punya mama yang tidak takut pada serangga apa pun.

Lalu ironisnya, saya dipertemukan dengan dia pertama kali bersama ban mobilnya yang kempes dan harus diganti. Mungkin jika ditantang menjabarkan satu-persatu hapalan anatomi tubuh manusia yang saya pelajari tadi malam dari buku setebal dosa saya akan lebih percaya diri, namun meninggalkan seorang wanita di jalan raya sepi karena ketidakmampuan dalam membantu agaknya sedikit banyak mencoreng harga diri saya.

Malam itu saya sepenuhnya jujur bahwa saya bukan orang yang tepat untuk dimintai tolong. Malam itu dia mengajak saya untuk jangan ikut khawatir karena ada montir langganannya yang akan segera menuju kesini bersama ban cadangan. Malam itu saya mengucap kata syukur dengan senyum yang dilontarkan bersama perasaan lega. Malam itu dia menanyakan apakah saya adalah juga mahasiswa kampus ini sama seperti dia. Malam itu saya menjawab bahwa saya hanya ada disana seusai mengunjungi kost teman.

Malam itu saya juga menambahkan, pun sama sekali tidak mumpuni dalam bidang otomotif tapi saya dapat menawarkan bantuan lain. Dia tidak menanyakan apa, namun saya yang ada di pinggir jalan sana menemani hingga sang montir akhirnya tiba sudah dapat menjawab segalanya. Saya berpisah dengannya malam itu bersama sebuah nomor telepon yang sudah saya kantungi. Lalu dia pergi dengan ban mobil baru, dan saya pergi dengan vespa berknalpot nyaring.

Di hari Minggu pagi, saya menggeret papa ke garasi untuk mengajari saya caranya mengganti ban beserta trivia tentang peran esensial dari air radiator mobil.

Pengetahuan tentang dia yang kemudian saya ketahui setelah namanya adalah pendidikan yang ia tengah tempuh sebagai guru sekolah dasar. Pilihan yang tidak banyak orang-orang sekitaran saya pilih mengingat nasib seorang pengajar yang tak begitu beruntung di negara ini, tapi saya bisa tahu hanya dalam sekali pandang bahwa dia memilih karena dia menyukainya. Rasa nasionalismenya dalam memajukan pendidikan tanah air adalah sesuatu yang tidak akan pernah saya punyai, dan cerita kujungannya ke Banda Neira adalah dongeng tidur saya.

Kencan pertama kami berdestinasi pada sebuah tempat bernama Caringin Tilu. Di sela-sela kesibukan kami dalam mengupas kulit ubi cilembu saya berkeluh kesah tentang kelebihan dan kekurangan memilih jurusan Kedokteran, di sela-sela jahe susu yang tengah kami seruput saya mencoba menghapal silsilah keluarganya, dan di sela-sela potongan cabai rawit di dalam semangkok Indomie kuah dia tahu bahwa saya tidak suka bawang goreng dan saya tahu bahwa dia tidak suka makan sayur.

Salah satu kawan saya ada yang pernah berkata, bahwa dua insan manusia dengan gender yang berbeda tidak akan pernah bisa menjadi sahabat. Rasa cinta akan tiba-tiba muncul lalu mengacaukan segalanya, dan hal selanjutnya yang terjadi adalah mereka yang tadinya dekat lambat laun menjadi asing. Saya tidak pernah memulai apapun dengan dia atas nama pertemanan. Segalanya selalu jelas bahwa saya melihat dia bukan dengan cara seperti itu, dan saya bersyukur karena dia menjadi sahabat seraya dengan kami berpacaran.

Dia ada di dalam setiap jatuh bangun persoalan akademis saya, atau mimpi dan cita-cita, atau impulsivitas dalam merencanakan destinasi liburan khayalan yang mustahil akan terjadi. Dia ada di setiap pesananan sate padang saya untuk mengatakan pak jangan pakai bawang goreng ya, dan saya siap siaga bersama satu mangkok mie ayam tanpa sawi. Pengertian yang dia punyai terhadap saya bukan hanya sekedar amarah sepele karena sms yang tak berbalas akibat kesibukan duniawi, pengertiannya adalah dengan setia menunggu hingga saya siap.

Jadi bersamaan dengan saya yang perlahan belajar caranya menabung, mempelajari langkah demi langkah dalam sistemasi mencicil sebuah rumah, melatih keberanian dalam mengganti lampu kamar mandi sekaligus membasmi laba-laba di balkon rumah, mencoba mengerti sudut pandangnya terhadap anak-anak dengan masuk ke dunianya, gelar Sarjana Kedokteran itu berhasil saya dapatkan.

Determinasi terbesar saya ketika tengah menjalani hari-hari dalam mengejar gelar Spesialis adalah menjadikan rumah yang saya persiapkan untuk menjadi tempat ternyaman bagi dia dan anak saya kelak. Saya mengecat temboknya, memastikan tangganya aman untuk dinaikki, mempersiapkan rak buku agar kelak mereka dapat mengisi waktu luang dengan membaca, dan mempelajari lebih banyak tentang mobil dan mesin.

Sembilan bulan kehamilannya bukan waktu yang begitu saya nikmati. Walaupun di awal semua masih diselimuti dengan perasaan bahagia dan ekspektasi tinggi, perlahan semua menjadi pengalaman horror bagi saya ketika harus melihat dia yang masih terus bekerja sampai nanti waktu cuti hamilnya tiba. Atau malam dimana mualnya begitu menggangu. Atau saya yang tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengurangi kesulitanya dalam beraktivitas karena perut yang membesar. Saya hanya ingin dia bak-baik saja dan tidak merasa kesusahan.

Mimpi-mimpi itu setidaknya menguatkan. Di dalamnya, ada keinginan kami dalam mendorong troli bayi di sepanjang lorong akuarium Sea World. Atau berpiknik di Lembang, atau sekedar kami yang akan saling tersenyum; saya di bangku supir dan dia di bangku penumpang, mendengarkan anak kami dan celotehnya tentang bagaimana pelajaran di sekolah tadi. Atau kastil pasir yang akan kami bangun di pinggir pantai sana. Atau modus operandi akhir pekan dimana kami akan bekerja bakti dalam membersihkan rumah.

Jadi ketika saya kehilangan dia tiga hari setelah prosesi lahiran bahkan ketika kami masih belum pulang dari rumah sakit, saya lebih terpukul karena ditinggalkan oleh seorang sosok sahabat alih-alih seorang istri.

Jeonghan dulu pernah bertanya apakah saya bertemu istri saya di rumah sakit dengan dia yang berprofesi sebagai suster. Saya lalu menjawab bukan, istri saya adalah sahabat saya. Mungkin Jeonghan sendiri sudah lupa percakapan itu pernah ada, walaupun saat itu dia berkata memang bisa menebaknya karena you look like the type of guy who would marry your bestfriend, katanya. Jeonghan mungkin bisa menebak yang satu itu, atau yang menurut pendapat dia saya terlihat begitu lihai menjadi seorang single parent apalagi ketika posisi saya adalah seorang laki-laki.

Yang dia tidak ketahui, adalah ada sebuah masa dimana saya tidak pernah melirik apalagi menyentuh anak saya selama satu bulan penuh. Saya tidak membencinya, saya menghindarinya karena acap kali melihat nyata wujudnya saya diingatkan untuk segera membuang mimpi lama dan menggantinya dengan yang baru. Sedangkan saya, tidak punya visi dan misi apa-apa untuk rencana cadangan.

Saya masih tetap ingin mengingat bahwa duduk di pinggiran trotoar sambil menunggu montir datang diselimuti atmosfer kikuk adalah awal dari segalanya, masih tetap ingin mengingat bahwa mengerti pentingnya untuk selesai dengan diri kita sendiri sebelum memutuskan untuk mempunyai seorang anak adalah ilmu yang dengan sukarela dia bagikan kepada saya, dan masih tetap ingin mengingat ada ukiran nama saya, dia, dan Naeun di tembok kamar yang dengan penuh cinta dan kasih sayang kami bangun untuk mengingat bahwa keluarga kecil kami beranggotakan tiga orang.

Dan kalau salah satunya kini sudah tidak lagi ada, bukan artinya mereka sudah tidak lagi bisa dianggap sebuah keluarga?

Namun lambat laun saya tahu dia di surga sana akan membenci saya yang begini. Saya juga tahu bahwa dosa terbesar yang saya lakukan saat ini adalah melupakan bahwa masih ada potongan jiwa atas dirinya pada anak kami. Menyayangi Naeun, artinya sama dengan saya yang terus dan tidak akan pernah putus menyalurkan cinta sebagai pengingat bahwa pernah ada dia di dalam hidup saya.

Jadi sebenci-bencinya saya mengatakan sendiri kepada penjual nasi goreng langganan untuk tidak menaruh bawang goreng pada pesanannya, saya masih bisa tersenyum ketika mengingat bahwa Naeun tidak menyukai sayur sama seperti bundanya.

Parameter kehidupan setelahnya mungkin bisa dihitung semenjak keputusan saya untuk pindah ke Jakarta. Sewaktu dulu Seokmin menceritakan tentang Jisoo kepada saya, mungkin saya bukan sosok yang serta-merta kemudian langsung menyetujui idenya karena resiko yang terlalu riskan. Namun jika saya ingin melampaui dua tiga pulau, mungkin inilah saatnya saya mulai mendayung.

Saya tidak benar-benar punya teman yang bisa diajak berbagi untuk mengatakan oh iya, anak saya gak pernah kenal bundanya karena dia meninggal tiga hari setelah melahirkan karena kondisi yang terlalu lemah. Mungkin orang asing pertama yang pernah saya ajak bicara sedetail itu di kompleks hanyalah Jihoon, dan saya tidak berencana untuk mengekspansinya lebih luas. Asumsi liar itu bagi saya tidak jadi masalah, selama tidak ditujukan langsung kepada anak saya yang bahkan sampai dengan detik ini tidak pernah tahu penyebab dari dia yang tidak pernah mengenal sang bunda.

Saya percaya ada mimpi-mimpi yang masih bisa saya teruskan jika saya memang punya niat dan tekad, yang saya tidak percaya adalah bahwa kedepannya saya masih punya kemampuan untuk mencintai dan dicintai.

Sampai akhirnya tiba suatu hari dimana saya kembali ditempatkan pada situasi familiar. Bedanya hanya yang kali ini terjadi pagi hari, di dalam sebuah kompleks alih-alih jalanan yang gelap, dan saya sudah berteman akrab dengan mesin mobil kala itu.

“Hey.”

“Hey.”

“Gak mau nyala mobilnya?”

“Bukan, bannya kempes. Jadinya mau pesen Gocar aja mungkin.”

“Ban cadangannya gak ada kah?”

“Ada sih. Tapi kakak gue belum bangun dan hari ini dia masuk siang, gak tega juga banguninnya. Gue gak bisa dan gak mau juga nyentuh-nyentuh gituan.”

“Oh, yaudah biar saya aja yang ganti?”

“Yakin mau megang-megang ginian? Lo udah pake kemeja putih sama jas gitu.”

“No it's okay.”

“Alright... Beneran bisa ganti ban mobil kan?”

“Iya, bisa.”

“Thanks...—?'

“—Seungcheol.”

“Yang baru pindah?”

“Yang baru pindah.”

“Thank you, Seungcheol.”

“Welcome...—?”

“—Han.”

“Han.”

Han.

“Kak??”

Jihoon yang malam itu membukakan pintu. Saya seharusnya menjawab segala pertanyaan yang terlihat di matanya, tapi saya sedang punya prioritas lain saat ini. Saya harus segera memberikan konfirmasi kedatangan kepada dia yang tengah duduk dengan pandangan kosong di sofa sana. Selimut yang membungkus tubuhnya bahkan tidak bisa menyembunyikan tulangnya yang gemetar. Saya tahu itu walau dari kejauhan karena saya menghabiskan banyak waktu untuk menghapal segalanya tentang dia di luar kepala.

Jeonghan tidak memberikan respon apapun ketika saya memeluknya. Probabilitasnya adalah antara dia yang masih tidak menyadari bahwa saya ada disana, atau dia yang tenggelam begitu dalam pada hiperfikasi mimpi buruk. Saya tidak peduli. Yang saya pedulikan, adalah dia yang nantinya akan berjumpa dengan rasa aman yang saya curahkan ketika bangun nanti. Jika saya harus duduk dan merengkuh disana hingga berjam-jam kemudian, semua tidak akan jadi soal.

“Junhui, Jihoon, makasih banyak ya. Ini Jeonghan biar sama saya, kalian pulang dan istirahat aja gak apa-apa.”

Jihoon masih memandangi saya dengan pertanyaan kok kakak bisa ada disini yang terdengar begitu keras walaupun dalam keheningan, tapi kami sama-sama paham bahwa ini bukanlah waktu terbaik untuk bertukar cerita. Dan saya paham bahwa yang Jeonghan butuhkan saat ini hanya— “Han, kamu mau aku bawa kesana?”

Jeda sepuluh detik yang terasa seperti selamanya itu akhirnya berakhir setelah Jeonghan menganggukan kepalanya. Tubuh itu kemudian saya rangkul perlahan seakan jika saya bergerak lebih dari ini dia akan hancur dan melebur, sebelum kemudian saya tuntun dia menuju kamar kami. Sesampainya disana saya membuka pintu lemari pakaian selebar mungkin sebelum ikut masuk ke dalamnya lalu mendudukan diri. Pintunya kembali saya tutup, dan kini yang tersisa hanyalah saya, Jeonghan, deru napas, dan kegelapan.

Untuk pertama kalinya semenjak saya tiba di depannya malam itu, Jeonghan akhirnya melihat saya dengan sadar dan jelas.

“Hey.” Sapa saya setengah berbisik, setengah tersenyum. Pun gelap gulita itu menghalangi kami untuk mengenali wajah satu sama lain, saya tetap akan terus tersenyum.

“Hey.” Jeonghan merespon saya dengan suara seraknya. Entah bagaimana saya langsung tahu bahwa dia akan segera meledak dalam tangis, dan asumsi itu terbukti dari dia yang kemudian menjatuhkan keningnya di atas bahu saya. Tubuh keciilnya kembali bergetar hebat.

Pada salah satu konversasi saya bersama istri saya dulu pada malam-malam ketika kami masih enggan tertidur, dia memberi saya sebuah tips untuk menangani seseorang kala mereka menangis. Yang pertama kita harus pintar dalam membaca situasi tentang mana yang lebih mereka butuhkan: mendengarkan, atau didengarkan? Dan ketika mereka hanya butuh didengarkan, yang kita tinggal lakukan adalah mengusap punggungnya dengan hangat. Dengan perlahan. Dengan intensi tulus bahwa sentuhan tersebut akan mengalirkan perasaan nyaman kepada penerimanya. Jadi entah untuk berapa lamanya, saya berakhir dengan menimangnya di tengah kegelapan sana.

Ada beberapa album foto dan kaset rekaman berisi memori saya dengan istri saya dulu. Dua benda yang tersimpan baik-baik di dalam kotak besar itu memang tidak pernah punya intensi untuk saya sembunyikan, dan Jeonghan apalagi dapat dengan mudah menemukannya. Saya tahu akhir-akhir ini dia sering membuka album biru itu kemudian berpindah menonton rekamannya. Dia melakukan itu ketika dia sangka saya sudah terlelap tidur. Tapi ikatan batin antara saya dan suara tawa itu begitu erat, sehingga bahkan hanya sayup-sayupnya mampu membuat saya kembali membuka mata dan tersenyum. Saya rindu membuat istri saya tertawa seperti itu.

Dan saya juga rindu melihat Yoon Jeonghan tersenyum.

Why are you here?

Saya masih tidak bisa melihat ekspresinya diantara kegelapan, namun wajahnya kini telah diangkat untuk berdiri tegak. “Gak boleh kah?”

“Gak gitu.” Pergelangan tangan saya basah. Satu butir air matanya jatuh ketika kepalanya tengah menggeleng. “Biasanya kamu gak akan balik sebelum tanggal 30 Novembernya selesai.”

“Bukannya kamu ya, yang telepon aku dan ngediemin gitu aja?”

“Aku gak—” Hening. “—kepencet.”

Saya terkekeh dan kemudian membeo, “Kepencet.”

I'm so sorry, kamu tahu kan biasanya aku gak pernah berani ganggu? Aku pasti gak sadar udah dial nomor kamu. I just—it was too scary, dan aku—”

“—Han, hey, breathe.” Saya menggengam kedua lengannya erat-erat. “Gak ada yang salah dari kamu yang telepon saya sewaktu kamu ngerasa ketakutan. That was a good decision.

I ruined your day.

No, you didn't. Aku memang udah on the way pulang pas kamu telepon.”

”...Why?”

“Maksudnya?”

“Kamu biasanya baru akan pulang besoknya.”

“Entah.” Jawab saya dengan kedua bahu yang diangkat. “Sepanjang perjalanan saya cuma berpikir, mungkin udah saatnya saya gak main kesana sendirian. Seharusnya saya bisa ajak orang lain untuk merasakan kesenangan ini sama saya.”

Tangan saya yang tadi menggengam lengan atasnya kini sudah ditarik agar dapat Jeonghan genggam, dan saya diam-diam mencoba untuk mengontrol deru napas yang mulai tak karuan. Baju saya basah karena keringat. Ruangan ini terlalu kecil dan pengap untuk kami.

“Jadi bener, kamu pergi ke makam?”

Saya kembali terkekeh, namun yang kali ini penuh kepahitan. “Engga.”

So where did you go?

“Banyak.” Mulai saya ragu-ragu. “Yang pertama ke pinggir jalan tempat saya dulu pernah nunggu di pinggir trotoarnya, lalu ke depan pagar rumah persis pada posisi saya selalu antar dia pulang, lalu warung kecil tempat saya biasa nunggu dia keluar kampus, lalu ke Caringin Tilu buat ngupas ubi cilembu dan makan Indomie rebus.”

Saya bernapak tilas, agar bisa kembali bermain bersama sahabat saya.

Jeonghan menangkup tengkuk leher saya sebelum menyatukan kening kami. Deru napasnya, kini berada begitu dekat dan terus-terusan menerpa wajah saya. Ada sekilas aroma alkohol yang saya endus disana. “That's nice. Are you happy?

Saya mengangguk. “Tapi mungkin lain kali seharusnya saya dateng sama kamu dan Naeun.”

Tangkupan di tengkuk leher itu kini berpindah pada pipi, membuat saya sekuat tenaga menahan air mata agar tetap berkemah di pelupuk. Jeonghan masih dengan suara seraknya kembali melontarkan jawabannya, “I would love to.

Setengah alam bawah sadar saya pada saat itu terpaku pada keringat yang terus menerus mengalir turun di bagian punggung, dan setengahnya lagi memiringkan kepala hingga saya kini dapat dengan mudah melumat bibirnya. Impulsivitas tersebut mungkin terlalu tiba-tiba untuk dapat Jeonghan proses, dan telapak tangannya kini berakhir dengan turun dan meremas ujung kemeja saya seakan itu adalah satu-satunya cara untuk dia tetap memijakan kaki di atas lantai bumi.

Kesempatan itu saya pergunakan untuk berganti giliran dalam menangkup pipinya. Saya yang kini punya lebih banyak kuasa untuk menahkodakan kapal ini menarik kepala Jeonghan agar berjarak jauh lebih dekat pun sudah tidak lagi ada jarak yang bisa kami kikis, namun toh dia menurutinya bersama dengan lenguhan kecil dan suara bibir kami yang tengah bergulat. Refleks saya dalam memejamkan mata menjadi begitu jenaka mengingat disana sudah cukup gelap baik dipejamkan atau tidak. Namun yang pasti, ruangan gelap dan sempit ini berhasil mengembalikan keberanian seorang Jeonghan serta menghapus rasa takutnya yang tadi sempat singgah.

“Cheol, can you—” Jeonghan yang terengah-engah kemudian melepas bibirnya sejenak. “Tunggu aku di tempat tidur? I gotta go to the bathroom.

Okay.” Saya beri satu kecupan penuh reasurasi pada keningnya. “Take your time.

Kami keluar dari dalam lemari, Jeonghan menghilang di balik pintu kamar mandi, dan untuk pertama kalinya malam itu saya punya waktu untuk berpikir.

Notifikasi paling atas yang ada di layar telepon selular saya adalah Mingyu yang mengucapkan rasa terima kasihnya karena saya ada disini. Lalu dari anak saya yang melaporkan foto sesi menginapnya bersama Flora beserta tenda-tendaan yang mereka bangun dari bantal dan selimut, dan yang selanjutnya adalah dari Jihoon. Yang belum sempat saya buka isinya karena—

“Han.”

“Hm?”

“Aku ngga...” Saliva itu saya telan dengan susah payah. “Kamu baru aja ketrigger trauma kamu lagi setelah bertahun-tahun.”

Yes.

I don't think this is the right time for any red lingerie.

Jeonghan melepas rambutnya yang sedari tadi diikat setengah, masih berdiri lebih dekat dengan pintu kamar mandi alih-alih saya. Bagaimana pakaian itu secara magis bisa berada disana, jawabannya saya dapatkan setelah dia perlahan berjalan ke arah tempat tidur.

I was gonna get a revenge with this when you're home, but you're home early.

Saya cepat-cepat menggeleng. “Kita punya banyak waktu untuk ini, Han. Kapan pun, selain malam ini.”

“Kamu jijik ya sama aku?”

What? No!” Kepanikan barusan membuat saya buru-buru berdiri dan menghampiri si dia yang berjarak tinggal beberapa langkah. “Of course not, baby. It's about the timing.

Right,” Jeonghan mendudukan dirinya di pinggir tempat tidur, kepalanya menuduk dengan lesu. “It's just... i hate that the feels of his touch lingers. Aku bingung gimana cara ngehapusnya. Aku butuh kamu, Cheol.”

Transisi dari realisasinya sekarang menjadi seperti ini: pertama, informasi bahwa ada kontak fisik yang terjadi yang baru saya ketahui informasinya detik ini. Mungkin hanya sekedar jabat tangan, mungkin hanya tepukan di pundak, mungkin sentuhan pada jemari. Entah. Apa pun itu, saya tidak menyukainya. Yang kedua, dia benar-benar terlihat begitu membutuhkan ini. Jeonghan butuh diingatkan bahwa—

I need to be reminded that sex is not a crime. It's not something so disgusting and terrifying.

Mungkin, saya juga hanya butuh untuk tahu bahwa dia tidak melakukan ini semata-mata untuk saya. Mungkin saya hanya butuh tahu melakukan ini artinya menghilangkan segala mimpi buruk yang dia alami malam ini. Maka dari itu lagi-lagi telapak tangan saya bisa dengan cepat menangkup kedua pipinya agar saya dapat kembali menahkodakan kapal ini.

Posisi saya yang berdiri itu mengharuskan dia utuk mengadah dengan lebih ekstra, dan saya mengikis jarak itu dengan perlahan-lahan mendorong tubuhnya agar dapat terbaring di atas tempat tidur masih dengan bibir kami yang bertautan.

“Dia tadi sentuh kamu dimana, Han?”

Here.” Jeonghan mengangkat pergelangan tangannya untuk diarahkan kepada saya. Lalu saya, dengan tekat yang kuat membubuhkan kecupan lembut di sekitarnya agar jejak tak kasat mata itu segera menghilang.

“Dimana lagi?”

Here.” Dia menggoyangkan bahu kirinya, dan saya mengukung tubuhnya lebih dekat untuk buru-buru melumat bagian tubuh itu. Jeonghan mulai menutup matanya, dan tubuhnya sedikit demi sedikit bergerak gelisah.

Saya tidak lagi bertanya dimana sentuhan itu berlabuh, karena kalau dipikir-pikir semua sudah kepalang tanggung dan disuruh atau tidak disuruh saya memang pasti akan menyentuh Jeonghan pada setiap inci tubuhnya. Jadi bahu yang kini sudah dipenuhi bercak merah itu kini saya tinggalkan untuk berpindah ke tulang selangka. Disana saya kembali melukis—membawa gigi-gigi kecil untuk menciptakan friksi, meminimalisir rasa sakit lewat jilatan, menghisapnya seakan hisapan itu mampu ikut menarik sang kenangan buruk, dan membubuhkan kecupan kecil sebagai sentuhan terakhir.

You are so precious, and beautiful, and kind in your own way, and i love you so so much Yoon Jeonghan.” Lumatan bibir yang entah keberapa kali sebelum saya kembali berkelana dan Jeonghan bersama jemari lincahnya membuka kancing kemeja saya satu-persatu.

Salah satu cara yang paling saya sukai untuk memuja seorang Jeonghan adalah dengan menyiksa paha bagian dalamnya. Saya akan menghabiskan banyak waktu disana untuk membubuhkan kecupan dan menghisap kulitnya yang berada begitu dekat dengan kepunyaanya, hingga nanti tubuhnya hanya tinggal sesekali terangkat membentuk lengkungan dan mengejang dalam nikmat ketika friksinya begitu menjadi-jadi. Dan tangannya akan saya kunci agar tidak bisa bergerak kemana-mana.

Malam itu alih-alih merobek saya punya kesabaran luar biasa dalam melepas tali sang lingerie yang entah ada berapa lapis dan bagian. Saya memang sempat terkekeh ketika dikabari harganya setelah merobek yang sebelumnya, tapi yang kali ini benar-benar bukan tentang uang. Saya ingin mengapresiasi Yoon Jeonghan sebagai sebuah kotak hadiah berpita emas, dan salah satu caranya adalah membukanya dengan hati-hati.

You're too slow.

Sebuah senyum saya lontarkan atas celotehnya barusan. “I am.

But you're giving me those eyes.

What eyes?

Like you want to devour me whole.

I am?” Yang kali ini adalah seringai, dan Jeonghan yang tidak menyadari bahwa jemari yang sudah saya lumuri itu kini tengah perlahan mencoba masuk ke dalam untuk menstimulasi.

Jemari lentiknya serta-merta mencakar punggung saya kencang, dan saya membiarkannya seperti itu tanpa protes. “My God.

Good?

Perfect.

Okay.

Saya kembali memberikan senyuman reasurasi sebelum terus bekerja dibawah sana dalam usaha melonggarkan. Lalu ketika dalam konsiderasi saya sudah cukup, saya mulai memposisikan diri untuk masuk. Namun, demi memastikan, saya bertanya sekali lagi. “Like this?”

Jeonghan mengangguk. “Exactly my style.

Ada kepala yang saya lempar ke belakang ketika mengambil momen untuk terbahak lepas. Sepanjang saya mengenalnya, Jeonghan enggan merotasi posisinya ketika tengah berhubungan intim. Dia akan selalu terbaring di bawah sana, dan saya akan berada di atasnya. Namun saya tidak pernah benar-benar menanyakan, “Alasannya?”

It's the only way... that feels like we're really making love. And you are loving me. And i'm being loved.

Salah satu memori terkuat saya di kompleks ini adalah ketika pada sebuah okasi impromptu Jeonghan mengajak saya pergi ke supermarket untuk belanja bulanan. Mungkin segala chaos yang terjadi di Bali sana melumpuhkan energinya untuk menarik ulur, jadi pada hari itu Jeonghan menurunkan pertahanannya pada persen sembilan puluh terhadap saya. Lalu sesuatu tentang dia yang berani lebih dahulu mengaitkan lengannya pada lengan saya bersama troli belanjaan yang sedang kami dorong, fokusnya dalam mencari barang-barang yang ada di buku catatannya, caranya membandingkan benefit dari produk diskon satu dan lainnya, serta alis dan dahinya yang berkerut ketika tengah berpikir terlalu keras adalah yang membuat saya pada saat itu berpikir oh, mungkin, ini adalah saatnya saya mulai menyusun rencana cadangan.

Karena saya ingin melakukan ini selamanya. Karena saya ingin bulan depan kami kembali kesini dan kembali melakukan ini.

Dan Yoon Jeonghan yang berada di bawah sana bersama lingerie merah darahnya yang kini compang camping, matanya yang sembab, rambutnya yang lepek, dan bercak merah di atas kulitnya adalah teman hidup saya dan papa dari anak saya.

Jadi bersama kepalanya yang masih saya kukung di antara kedua siku, kepunyaan saya yang sepenuhnya ada di dalam dirinya, gerakan maju mundur yang berhasil mengeluarkan lenguhan serta desahan, putingnya yang sesekali saya sesap, cakarannya pada punggung saya yang semakin meliar serta bola matanya yang menggerling ke belakang ketika ombak orgasmenya menyapa, saya berbisik di salah satu sisi telinganya,

Thank you, for letting me love you.

And i meant it. This is my way of telling him that he is safe and will always be safe with me, and i'm ready to give him the purest shape of love wholeheartedly, selflessly, without any charge and any granted.

“Udah ngerasa baikan kah?” Tanya saya lagi setelah lima menit belakangan yang Jeonghan lakukan hanya memandangi saya dengan senyuman di wajah.

“Udah kok.”

“Kamu punya rambut yang panjangnya sama dengan dia, di hari saya bantuin kamu ganti ban mobil.”

Matanya seketika berbinar. Ibu jarinya mengusap tulang pipi saya lembut. “Oh ya?”

“Mhm. Tapi terus kamu potong rambut.”

Jeonghan menekukan bibirnya. “Do you want me to not to...?

“Ya engga.” Kekeh saya. “Engga dong, kamu kan bukan dia. Dan aku sama sekali gak mau bawa bekel apa pun kalau itu artinya tangan kamu harus luka setelah kecipratan minyak, Han.”

Pria di depan sana menghela napas dan menunduk malu. “I hate November.

Saya kembali tertawa lepas. “Let's not make it so. Mulai tahun depan, mungkin? Temani saya ke Caringin Tilu.”

“Dan bantu kamu pesen Indomie gak pakai bawang goreng?”

No.” Saya menarik Jeonghan dan menyandarkannya di dalam pelukan. Lebih hangat. Lebih erat. “Saya mau belajar untuk suka bawang goreng. And i'll tell you the whole truth. Semuanya, yang belum pernah sempat atau berani terceritakan.”

Because i'm home now.

Okay.” Gumamnya, bersama dengan anggukan mantap. Suaranya terpendam dan samar-samar di balik dada sana. “Okay, Cheol.

Pesan dari Jihoon baru sempat saya buka keesokan hari. Isinya kurang lebih,

Makasih ya kak karena gak ngebiarin Han nunggu sampai Novembernya berakhir. I'm proud of you.

POV: Lee Chan.

Sori semisal kedengerannya rada pengecut, tapi gue bersyukur semua ini kejadian sewaktu kita lagi pada bareng-bareng. Sewaktu gue gak harus memikirkan tindakan apa yang harus dilakukan seorang diri, sewaktu gue punya banyak orang disekitar yang lebih mampu membantu gue untuk menjadi orang waras.

Karena kalau sekiranya aja sendirian, kayaknya gue cuma bisa ikutan jongkok di pojokan dan digerogoti hingga mati oleh kenyataan.

Anehnya, gue bisa inget segalanya yang kejadian malam itu dengan begitu jelas; mas Mingyu yang berlari secepat kilat untuk mengambil mobilnya, lalu menjemput gue, Juju, mas Han, dan Nu untuk naik ke dalamnya. Terakhir kali gue pernah melihat mas Mingyu lari sekencang itu, mungkin dulu waktu mas Han pernah ngabarin kalau dia baru aja kecopetan dan nangis-nangis di telepon.

Kini gue berada pada situasi yang sama menegangkannya, dan segala sesuatu tentang pemandangan Juju yang duduk di kursi belakang bersama dua sahabat yang memeluknya dari sisi kanan kiri dan menemaninya menangis begitu membuat gue ingin membotakan seluruh rambut di kepala.

Gue selalu akan mengatakan iya setiap kali Juju punya rencana dan minta diantar untuk menemani ibu. Gue paham bahwa akhir-akhir ini pergi kesana merupakan salah satu hal yang berat untuk dia karena kondisi ibu yang sudah semakin memburuk, jadi konsiderasi gue adalah untuk tidak akan pernah membiarkan dia harus melangkah sendirian.

Yang gue sesali kemudian, adalah kenapa gue malah bisa-bisanya gak ada disana di saat terakhirnya? Kenapa gue harus gak sempet buat sisihin waktu? Kenapa gue gak bisa sedikit lebih peka? Kenapa gue malah harus bekerja semalaman? Kenapa yang ada disana itu Minghao, bukan gue? Dan kenapa gak ngebolehin dia pergi sama orang lain kesannya kekanak-kanakan dan pada akhirnya gue gak bisa nunjukin kalau gue cemburu?

Kenapa... gue dan dia harus ditempatkan pada situasi ini?

Pemakaman terakhir yang terjadi di Cendana Indah adalah sewaktu engkong. Kami semua memang belum pernah sesering itu mengalaminya, dan semoga juga tidak akan berubah frekuensi. Tapi itu terjadi beberapa tahun lalu, saat semuanya kembali pulang masih dengan amarah masing-masing. Dan saat seorang Lee Chan bahkan baru berusia delapan belas tahun.

Kepergian engkong memang membuat gue berduka, tapi gak ada beban yang harus gue tanggung pada saat itu. Titik beratnya hanya ada pada Ucup, dan dia yang harus lebih banyak beradaptasi.

Namun kali ini gue semacam adalah pemeran utamanya. Gue punya andil besar dalam perginya ibu Juju, karena mau tak mau gue menjadi satu-satunya sisa yang dia punya. Yang dipercaya jadi tempat dia bersandar. Yang mungkin adalah opsi terakhir dalam mencari jalan pulang dan menyebutnya rumah. Tapi pertanyaanya adalah: apakah gue siap?

Gue tau seharusnya masih banyak hal krusial lain yang bisa gue pikirkan selain insekuritas tolol yang munculnya gak liat waktu dan keadaan. Seharusnya mau kayak apapun situasinya, buat sekarang udah paling bener kalau gue cuma harus nemenin dan ada disamping dia.

Tapi sayangnya, dari semenjak sampai di Panti Jompo tadi malam untuk menjemput ibu lalu membawanya pulang ke Cendana Indah dengan mobil ambulance, belum ada satu patah kata pun yang pernah keluar dari bibir seorang Wen Junhui. Dia bagaikan mayat hidup berjalan, yang harus bantu digerakan atau langkah kosongnya akan berakhir dengan membuatnya jatuh ke jurang dengan sengaja.

Situasi itu membuat mas Han dan Nu untuk pada akhirnya gak pernah meninggalkan sisinya barang sedetik. Gue pun di bangku plastik bawah tenda yang sengaja dipasang khusus untuk para tamu yang melayat, selalu didampingi tiga orang ini tanpa terkecuali. Mereka ada disana tanpa mengatakan apapun, menanyakan apapun, menawarkan apapun.

Dan mungkin tanpa sadar hanya itu yang gue butuhkan untuk saat ini. Gue butuh ditemani disaat harus menyaksikan seluruh penghuni kompleks lain berfungsi kesana dan kemari mengurusi urusan pemakaman.

“Tank, baju lu ganti dulu dah. Pengen banget apa jadi Romeo selamanya?”

“Entar Jul, gampang.”

“Elu Cok, masuk dulu sana tidur. Ke makamnya juga masih besok pagi, kali. Mata lu udah merah banget itu.”

“Banyak cakap lah kau, orang aku maunya duduk disini.”

Gue beralih ke orang terakhir. “Geng—”

“—Ibunya hapal, kalau yang dateng sama dia itu biasanya lo.”

Tenggorokan bengkak itu masih harus gue paksa untuk menelan saliva. “Masa?”

“Pun kesusahan berbicara dan pelafalannya gak jelas, dia masih sempet nanyain kabar lo Jul.”

Gue menundukan kepala dan tak berniat untuk mengangkatnya lagi sepanjang sisa subuh itu.

Gue tau ini adalah mimpi. Sebuah formulasi aneh karena kebanyakan orang tidak tahu menahu ketika mereka sedang bermimpi, tapi gue selalu akan menyadari bahwa itu adalah mimpi karena di dalam sana gue tidak bisa berlari. Gue selalu kesusahan untuk melangkahkan kaki dua kali lebih cepat di dalam mimpi, dan rasanya menyesakkan.

Selain tidak berkemampuan untuk berlari, di dalam mimpi itu gue juga mengalami kejadian lain yang tidak mengenakan; gue ada di sebuah bandara bersama satu koper yang terduduk tak kalah kesepiannya dengan gue. Di mimpi itu gue punya harapan besar agar kepergian ini bisa ramai dengan wajah-wajah familiar yang ikut mengantar, namun pada kenyataanya tempat itu kosong melompong.

Ican yang penakut itu lalu berlari. Tujuan larinya adalah untuk pulang, untuk menggagalkan rencananya, untuk merubah pikirannya. Namun seberapa kencang dan lamanya pun berlari, ternyata yang gue lakukan hanyalah berjalan di tempat.

Dan setelah itu gue terbangun dengan dramatis.

“Chan—Chan!

Mas Han dengan pakaian serba hitamnya sudah berdiri di samping tempat tidur gue sambil mencoba memasang jam tangan di pergelangan.

Gue masih dengan baju tadi malam seketika melonjak. “Lah, ketiduran gue mas! Niatnya cuma mau ganti baju.”

“Gapapa, tapi lo buruan mandi dan siap-siap sekarang.”

Pukul sepuluh pagi. Mimpi buruk itu hanya terjadi dalam kurun waktu satu jam; jatah tidur yang baru gue dapatkan dari sepanjang malam. “Oke... Uhh, Juju?”

“Ada, di ruang tengah. Lagi dipaksa makan sama Wonwoo.”

Suara mas Han yang seakan tengah menahan isaknya membuat seluruh sendi di tubuh gue mengilu. Apalagi ketika menyadari, bahkan gue pun tidak berkemampuan meluluhkannya dengan cara apapun.

“Kalau masih gak mau gue coba lagi abis ini.”

Mas Han mengadahkan kepalanya untuk menahan air matanya agar tak jatuh. “Yaudah.”

Baru gue berencana untuk menyibak selimut, tiba-tiba kakak gue itu menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur dan duduk di pinggirnya. Gue otomatis mengernyit. “Kenapa mas?”

Mas Han berkontemplasi untuk beberapa saat; bibirnya digigit gelisah, pandangannya memindai kemana-mana asal bukan gue, dan kakinya terus-terusan bergerak bagai mesin jahit.

Gue mulai tak sabaran. “Mas?”

Kakak gue itu, akhirnya memberanikan diri untuk mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. Surat itu ditodongkan tepat di depan wajah gue, dan dari napasnya yang berat dan mata gue yang membulat seketika gue paham kita sudah sama-sama tau situasi macam apa ini.

“Chan—”

“—Mas, gak sekarang.”

“Iya gue tau.” Potongnya cepat-cepat, seketika membuat gue terbungkam. “Gue cuma mau minta maaf sama lo selagi sempet.”

“Minta maaf?”

“Karena lo ngerasa ini bukan hal yang bisa diceritain ke gue.”

Ah, ngentot. Kemarin sama hari ini kenapa berat banget sih? “Mas, gak gitu...”

“Gue juga kakak lo, Ican. Ya gue tau sih gue emang gak bisa kayak mas. Gak akan bisa, karena pada dasarnya gue keras kepala dan egois. Gue minta maaf kalau lo gak pernah bisa lihat karena gue jarang nunjukin. Tapi gue cuma mau lo tau... kalau mau digimanain juga, i'm always on your side. Because we're family.

Ngentot, ngentot, ngentot. “Mas jangan nangis woy... Ini kalau si om masuk bisa-bisa gue dikirim ke pesantren dikiranya ngapa-ngapain lu.”

Kakak gue tertawa bersama dengan air mata yang tengah menciptakan waduk di kelopak matanya. “Peluk gue dulu.”

“OGAH.”

“Yudah gue akan nangis lebih kenceng.”

“OKE, OKE.”

Untuk pertama kalinya selain bukan di hari lebaran, gue memeluk mas Han. Dan mungkin, tanpa sadar ini juga adalah yang sedang gue butuhkan untuk saat ini.

Menurut gue, yang aneh tuh bukan acara pemakamannya. Yang aneh adalah begitu serangkaian acara selesai dan tubuh dingin itu sudah diantar ke rumah terakhirnya, lalu sekembalinya dari sana muncul sebuah perasaan sepi dan kosong yang menggerogoti. Udah gak ada lagi tamu yang hadir memenuhi rumah dan mengirim doa, gak ada lagi suara dari banyak orang-orang yang berkumpul di setiap sudut rumah, sebuah pemandangan perubuhan tenda yang tadinya terpasang di depan rumah, dan bukti bahwa masing-masing dari kami sudah kembali ke tempat masing-masing.

Junhui meringkuk terlelap dalam tidurnya di kamar gue sepanjang sisa hari itu. Gue meninggalkan dia di kamar yang gelap, AC yang menyala, dan selimut yang menangkal dinginnya sendirian, dan gue tidak masuk ke dalam sana kecuali dia yang memintanya.

Lagipula kalau gue pun bisa merasa sesedih dan sehampa ini ketika mencoba mencerna berbagai macam perasaan dalam satu waktu, apalagi dia?

Jadi gue memutuskan untuk tidur di sofa ruang tengah siang hari itu. Menjelang malam, gue dibangunkan oleh suara dapur yang riuh dengan macam-macam: suara wajan yang sedang dioseng, bumbu rempah yang menyerbakan wanginya, bocah-bocah yang tertawa karena kartun di televisi, dan burung beo yang tak lelah berceloteh.

Flora menyambut gue dengan kedua telapak tangannya yang menyodorkan sebutir Kinderjoy. Katanya dengan mata cantiknya yang bersinar, “Aku sama Naeun tadi beli.”

“Boleh buat om?”

“Kalau makan cokelat nanti bisa jadi good feeling lagi.”

Gue menerima sambil mengusap puncak kepalanya. “Gitu ya?”

“Tapi satu aja, nanti habis itu makan sama-sama. Eyang putri yang masak.”

“Oke, siap.” Dua jempol gue berikan kepada sang ponakan, sebelum pipinya kemudian ikut gue kecup. “Makasih, Flora sayang.”

“Kembali kasih, om Ican...”

Juju masih dengan porsi makannya yang sedikit, bibirnya yang bungkam seribu bahasa, kulitnya yang pucat, matanya yang kosong, dan tubuhnya yang lemas, tapi dia menangis di dalam dekapan gue malam itu. Wajahnya bersembunyi di ceruk leher, tubuhnya terus-terusan bergetar, dan jemari kami saling bertaut begitu erat dan enggan terlepas.

Gue kembali ke sofa ruang tengah setelah tidurnya telah lelap.

Penderitaan dan kehampaan itu terus terjadi sampai hari selanjutnya. Dan hari selanjutnya. Dan hari selanjutnya. Terkadang gue akan berangkat kerja di pagi hari, dan menemukan dia masih berada pada posisi yang sama di kamar begitu pulang larut malam. Nu sesekali mengajaknya pergi ke luar. Mas Han juga terkadang menculiknya untuk bersembunyi di rumahnya.

Sedangkan gue yang masih menjadi pengecut dan kebingungan untuk bersikap ini, pasrah dengan segala keadaan. Karena gue merasa jarak ini benar-benarada. Karena gue merasa, perbedaan pandangan ini tercipta karena gue belum satu visi dan misi dengan bagaimana cara orang dewasa mengatasi dukanya.

Gue kehilangan arah dimana seharusnya menempatkan diri.

Lalu sampai pada suatu ketika, hari itu akhirnya tiba.

“Nu, si Juju jadi udah masuk kerja kan hari ini?”

“Hmm, jadi kok?” Yang ditanya menjawab disela-sela tegukan orange juicenya. “Kenapa memangnya? Lo tau kan?”

“Tau, tau. Ini berarti belom pulang apa gimana dah?”

“Lho, udah sih pasti? Soalnya Han—” Kakak gue muncul dari dapur dengan mangkuk yang entah apa isinya. “—udah pulang.”

“Kenapa?” Mas Han melirik gue kemudian.

“Juju mana?”

“Mandi? Di kamar?”

“Gak ada.”

“Coba chat, mungkin ke Indomaret depan beli sesuatu?”

“Oke.”

Gue buru-buru mengeluarkan handphone dari saku.

kamu dimana? <
kak? <

`> sori baru liat...

`> di poci

Ransel yang masih menggantung di pundak itu gue lempar dengan sembarang.

Aneh bagaimana perjalanan gue dari rumah menuju Indekos Poci itu menjadi salah satu perjalanan paling sentimentil yang pernah gue rasakan. Gue tetap bertemu pandang dengan Ucup bersama sarung yang melilit di pinggang dan tengah terduduk di teras depan rumah, tetap memergoki wajah Ucok yang cemong oleh oli ketika tengah membetulkan mobil rongsoknya di garasi, mendapati lampu kamar Tatank yang masih menyala, dan berpapasan dengan Begeng yang baru aja turun dari mobilnya.

Namun entah apa yang berat. Entah apa yang berat, sehingga menaiki tangga ke atap Indekos Poci terasa begitu familiarnya seperti mimpi tempo hari lalu. Seakan yang tengah gue lakukan hanyalah berjalan di tempat. Seakan gue tidak benar-benar mau menjadi bertanggung jawab dan memberi reasurasi kepada siapapun saat ini. Seakan gue ini tengah merasakan kelelahan yang teramat sangat.

Seakan semua ini sudah melampaui batas yang gue mampu hadapi.

“Hey.”

Sejumput rambutnya ditiup angin ketika menolehkan kepalanya kepada gue. “Hey...”

“Belum ganti baju?”

“Hm?”

“Itu, masih pakai baju kantor.” Gue membalas seraya mendudukan diri di sampingnya. “Bukannya mandi sama makan dulu.”

“Ooh... nanti aja, sekalian di kost.”

Gue menoleh begitu cepat sampai-sampai bangku kayu itu ikut bergoyang. “Kamu mau pulang?”

“Aku udah lebih dari seminggu disini, Ican.”

“Ya terus kenapa?”

“Ya harus apa-apa lah... Kan gak enak.”

“Ya elah kak, gak ada yang peduli dan permasalahin juga. Ketua RTnya babeh si Ucup, jadi gak perlu lapor tamu 1x24 jam.”

Si dia tersenyum, gue bersyukur. “Gak apa ya, aku pulang...”

Yaelah. Kalau dia sendiri udah ketok palu, lalu gue bisa apa? “Kalau gitu aku aja yak, yang gantian nginep di kost kamu.”

Yang ditanya menggeleng pelan. “Itu juga gak usah.”

“Gimana sih? Aku gak berani lah ninggalin kamu sendirian.”

“Aku udah gak apa-apa.”

“Ju, kamu jangan gini lah...”

“Aku beneran, Ican.”

Chan yang sebelumnya mungkin akan bilang ah tau lah, terserah deh dengan lantang tanpa pikir dua kali. Chan yang sekarang, harus diam-diam menggigit lidahnya sebagai bentuk kebijaksanaan.

Bagaimana mas Mingyu bisa melakukan hal ini sepanjang hidupnya?

Karena baru sekali aja, gue rasanya udah seperti ditelanjangi dan dipermalukan. “Aku... bingung, Ju.”

Senyum tenang itu kembali tergambar di wajahnya. “Aku juga bingung.”

“Kamu lagi ngerasain apa?”

“Aku gak bisa ngerasain apa-apa.”

“Oke.” Monyet, kalau bisa lompat udah lompat gua dari atas sini. “Yaudah. Aku mandi sama makan dulu kali yak, abis itu nganterin kamu bal—”

“Aku mau putus.”

”...Hah?”

“Diudahin aja ya, sampai sini hubungannya.”

Mungkin kalau sekarang ada audiens selain gue dan dia, mereka bisa liat gimana ekspresi gue menunjukan bahwa gue tengah merasakan mual dan akan segera muntah. “Apaan sih?”

“Aku udah gak bisa.”

“Alasannya apa?”

“Gak bisa.”

“Ya gak bisanya itu karena apa?” Gue sadar yang ini jatohnya agak ngebentak, tapi gue udah gak peduli.

“Ada hal-hal yang gak bisa aku jelasin ke kamu.”

“Ya itu namanya kamu egois. Ini kamu nih selama ini pacarannya sendiri apa sama aku sih? Kok bisa-bisanya ngerasa aku gak punya hak buat dapet penjelasan alasannya? Dikira aku anak kecil kali ya? Oh, apa emang iya?

“Ican...”

“Jawab dulu, Ju.”

“Can—”

“Jawab. Dulu. Setelah kamu jawab baru—”

Aku mau kamu pergi jauh-jauh dari aku.

”....baru aku bisa terima.”

Bajingan.

Loncat kebawahnya bisa gue realisasikan sekarang aja kali ya?

“Hidup aku akan susah kalau masih ada kamu, Can. Kamu kayak... beban. Dan aku udah gak punya apa-apa dalam hidup untuk ngebantu aku buat menopang beratnya. Jadi kamu harus pergi.”

Gue mencoba tenang. Mencoba berpikir rasional. Mencoba meresapi bahwa yang hidupnya sedang tidak baik-baik aja disini adalah dia. Yang baru aja kehilangan adalah dia. Dia bukan sedang bertingkah menggunakan akal sehat. Yang waras disini adalah gue.

“Ju. Kamu sadar kan, kalau gak seharusnya disaat saat kayak gini kamu malah ngajak putus? Sekarang bener-bener bukan waktu yang tepat. Kamu tuh butuh ditemenin. Jangan dorong aku pergi, please...

Alih-alih menjawab, Junhui hanya bisa menundukan kepalanya dalam-dalam. Gue tau dia sedang menangis dalam diamnya. Gue tau ada bulir air mata yang melayang jatuh ke atas celananya, gue juga tau punggungnya lagi-lagi bergetar hebat. Dan gue mulai menyadari mungkin butuh dunia yang runtuh di hari kiamat nanti untuk gue berkemampuan merayu dan membuat dia merubah keputusannya.

Tapi gue ini sejujurnya sudah kehabisan tenaga. Gue sudah benar-benar kelelahan, dan gue tidak pernah berani mengungkapkannya kepada siapapun. Timeline kehidupan versi ini begitu membuat gue lelah berkejar-kejaran sampai tidak ada lagi tekat yang tersisa untuk gue meraih garis akhirnya.

Tapi gue gak mau kehilangan dia.

Dan pikiran gue mulai kalut.

“Ini keputusan sepihak. Kamu gak mikirin perasaan aku.”

“Memang engga. Jahat kan aku?”

“MAKSUDNYA GAK BEGITU ASTAGA TUHAAANNN!” Kefrustasian itu gue ungkapkan lewat gue yang bangkit dari kursi dan mulai melompat-lompatKan diri menginjak lantai bumi. Rambut yang tadinya rapi itu kini mencuat tak karuan kesana kemari hasil dari jambakan asal, dan seluruh darah yang berkumpul di wajah itu membuat gue seakan habis direbus air panas mendidih. “Maaf, maaf. Kamu gak salah, gak jahat juga. Maaf. Maafin aku ya?”

“Yang harusnya minta maaf itu aku, Ican. Maaf...”

“AAARRRGGGHHH KONTOL! NGENTOT! GOBLOK BANGET NIH DUNIA!”

“Can...”

Gue resmi kalut. Gue begitu kalut sampai-sampai yang selanjutnya dapat gue lakukan hanyalah berlutut di kakinya. Gue akan melakukan sejauh itu jika memang harus. Dengan rintihan parau lalu gue berkata, “Aku gak tau salah aku apa, Ju... Ini harusnya gak berakhir begini... Aku kerja keras buat kamu... Aku udah coba sebisa mungkin buat planning semuanya...”

“Kamu gak salah apa-apa, Ican. Yang salah itu bener-bener sepenuhnya aku. Aku salah karena aku cuma punya kamu, tapi kamu punya segalanya...

...dan kamu gak seharusnya menahan banyak hal itu hanya demi aku.”

Sewaktu lagi jadi pohon di panggung beberapa hari lalu, hal yang kepingin banget gue lakuin pas acara nanti selesai sebenernya ngeceng-cengin Tatank. Memuji dikit juga sih, karena gue baru tau kalau dia bisa akting dengan sebagus itu. Untuk ukuran drama receh level kompleks, perannya sebagai Romeo jatohnya terlalu berkelas.

Yah, tapi sayang, agenda itu gak pernah kesampaian karena huru-hara yang kejadian setelahnya.

Kurang ajar tuh si Tatank, obat tetes yang disediain Ucup buat jadi air mata bohongan malah jadi gak kepake sama sekali. Hati kecil gue juga diem-diem tersentuh, yang padahal gak ada ngerti-ngertinya sama sekali dengan apalah itu kekuatan cinta sampai si Romeo dan Juliet mau bela-belain minum racun dan nyusul pasangannya mati.

Tapi gue kebayang sedihnya. Mungkin bisa tiba-tiba kebayang sedihnya karena gue juga sekarang lagi ngerasain sedih, ngerasain ditinggal, ngerasain relate sama Romeo dan mindest di kepalanya dan kemudian berpikir: oh iya, bener, rasa sedihnya itu bikin kayak mau mati.

Terus gue lagi-lagi jadi membentuk sebuah kesimpulan aja, bahwa inimah dari awal sebenernya gue gak pernah kalah vote. Dari awal gue juga gak harus repot-repot segala kampanye. Karena Romeo dan Juliet Cendana Indah itu gak pernah Tatank dan Kwan,

It's always been me and Juju.

Perjalanan dari atap Indekos Poci hingga turun lagi ke bawah itu gue lakukan sembari menertawakan diri sendiri. Dan saat gue bilang tertawa, gue bener-bener tertawa. Orang lain yang melihat mungkin akan nuduh bahwa gue udah berubah jadi gila. Apalagi disitu posisinya gue jalan sendirian, dan yang lagi gue tertawakan itu sebuah posibilitas bahwa mungkin ketika gue kembali ke rumah nanti Junhui udah gak ada.

Gue maunya dia ada.

Gue berharap dia ada.

FYP Tiktok gue akhir-akhir ini algoritmanya lagi asbun dan ngawur. Gak tau karena perbuatan siapa, disitu jadi banyak mbak dan mas social justice warrior yang menampar audiensnya dengan sebuah realita tentang dinamika dalam hubungan.

Salah satu video terlucu yang gue temukan adalah tentang seorang cowok yang frustasi, karena setiap dia menceritakan sebuah keseruan dalam harinya dari A sampai Z ke pacarnya dan di dalam cerita itu ada nama satu cewek, dari keseluruhan cerita pacarnya hanya akan repot-repot memotong pembicaraan itu dan kemudian dengan santai bertanya: itu, tadi, yang cewek itu siapa?

Gue tunjukan video itu kepada Juju sambil bilang, nih, ini kamu. kagak pernah nyambung ceritanya apa yang ditanya apa. Dia mengerucutkan bibirnya dan mencubit pinggang gue gemas.

Sekarang gue udah gak punya lagi sosok yang bisa gue tunjukin penemuan video-video kayak gitu.

Oh, sama kayaknya gue juga harus ceritain contoh soal yang tersedihnya juga. Videonya simple; cuma mas-mas yang lagi duduk di cafe sambil bengong, matanya kosong menatap kejauhan, background musiknya itu Tulus nyanyi lagu Perahu Kertas. Tulisan di atas kepalanya terpampang besar dengan kalimat begini: bisa gak diperbaikin aja? aku udah gak ada tenaga buat kenal orang baru.

Terus tulisan dibawah videonya, dilanjut dengan ...tapi bukankah kita sudah sama-sama hancur? apa masih mau mencoba?

Ku bahagia kau telah terlahir di dunia, dan kau ada di antara milyaran manusia.

Sekarang gue udah gak punya lagi sosok yang bisa gue tunjukin penemuan video kayak gitu, tapi seengaknya untuk yang satu ini gue bisa relate.

Yah, walaupun sedih.

Tapi gak jadi sedih-sedih amat, waktu ngeliat tiga serangkai—Ucok, Tatank, Begeng, yang udah nungguin gue di depan rumah bersama Tesla yang diparkir rapi disana.

Mau gak mau gue tertawa getir. “Kok bisa, pas banget waktu si Tatank lagi di disini.”

“Gue bela-belain ke Jakarta buat Jisoo yee, bukan buat lu.”

“Ah masa?”

Belum sempat si Tatank membalas, Ucok mendecakan lidahnya duluan. “Banyak cakap kau, cepatlah naik.”

Begeng menggelengkan kepalanya penuh kekaguman. “Asli, aneh banget kita berempat.”

“Sori nih, jadi ngerepotin.”

Sang sultan Dubai menepuk kap mobilnya santai. “Bros before hoes, Jul. Always. Playlistnya juga udah siap di dalem mobil.”

Gue lagi-lagi tertawa getir. “Oke.”

Malam itu kami berangkat menembus angin malam Jakarta dengan tujuan yang masih belum benar-benar jelas. Kadang kami belok ke kanan, lalu ke kiri, lalu ke kiri lagi, lalu kembali ke kanan. Jalanan lowong kala itu seakan mengajak kami berteman sejenak untuk meromantisasi gedung-gedung pencakar langit hingga terciptalah sebuah suasana melankolis.

Gue ingat tertawa sampai mengeluarkan air mata sewaktu Ucok mendalangkan salah satu cerita lucunya ketika kami tengah menyantap Bubur Cikini. Gue sadar bahwa beberapa saat membahagiakan itu berhasil membuat gue lupa akan segalanya yang tengah terjadi; akan status hubungan gue dan dia. Atas betapa ulu hati gue rasanya seperti sedang diremas-remas. Atas tak adanya pertanggungjawaban tentang siapa yang seharusnya mengobati luka di dada yang terus menganga.

Atas sejarah tempat ini yang salah satu isinya adalah kami.

Namun kemudian gue kembali masuk ke dalam mobil. Kembali mendengar lagu-lagu cinta tahi kucing. Kembali dihajar hingga babak belur oleh kenyataan. Kembali membiarkan jendela mobil itu terbuka dan mengajak angin untuk ikut menampar wajah yang bahkan telah lebam.

Kami berempat bernyanyi. Atau lebih tepatnya, mereka bertiga menemani gue meluapkan segalanya yang harus diluapkan. Setidaknya untuk malam itu.

“BEEEGINIII RAAASAAANYAAA TERLATIH PATAH HAAATI!!!

HAAADAPIII GEEETIRRRNYAAA TERLATIH DISAKIIITIII!!!

BERTEPUK SEBELAH TANGAN SUDAH BIASA!!!

DITINGGAL TANPA ALASAN SUDAH BIASA!!!

TERLUKA ITU PASTI TAPI AKU TETAP BERNYANYEEEEE!!!!!”

Gue menertawakan kebodohan mereka bertiga. Mereka bertiga, menertawai kebodohan gue.

Masih bersama angin malam Jakarta yang menerpa wajah dengan khidmat dan sukarela, gue menaruh dagu di atas lengan yang menggantung di kaca jendela setelahnya. Rasuna Said biasanya hanya mampu menciptakan sakit kepala karena macetnya yang ampun-ampunan, namun setidaknya malam itu mereka memberikan gue sebuah kesempatan untuk bersedih dengan bahagia.

Lalu gue tak sengaja merogoh kantung celana. Dan merasakan sebuah benda yang gue kenal betul apa. Dan mengeluarkannya dari sana. Dan menatap selembar kertas yang kini telah sepenuhnya lusuh, yang sudah berkali-kali dalam sebulanan terakhir ini disodorkan oleh semua orang ke depan mata gue namun jawaban yang selalu gue berikan masihlah tidak.

Mungkin memang sedari awal, musuh gue tidak pernah adalah surat penerimaan beasiswa S2 ini.

POV: Xu Minghao.

[⚠️] indekos poci spoiler.


Bener kata Chan beberapa hari lalu, Cendana Indah sudah benar-benar sembuh. Bukti konkret dari pernyataan tersebut dapat gue jabarkan lewat kejadian yang ada di depan gue saat ini: keberadaan panggung nyentrik yang bang Soonyoung bangun di lapangan kompleks, dan berbagai dari kami yang sibuk dengan jobdesk kepanitiaan masing-masing tapi masih sempat menyelipkan sebuah sketsa komedi diantaranya.

Test, test, mic check one two three, tombo ati...”

“PANJUL BACOOOT!” Teriak ketua Karang Taruna kami itu dari lapangan bagian seberang. Urat-urat dilehernya bermunculan dan menjadi penanda akan seberapa keras dirinya baru saja berteriak. “Jangan lu bikin gua mimpi buruk gara-gara itu lagu.”

Sang tiga serangkai yang tengah mengerubungi bagian sound system—Panjul, Ucok, Tatank, tertawa sekencang-kencangnya. Gue pun sebagai penonton, diam-diam tersenyum ketika mengingat peristiwa hari pernikahan dan slide powerpoint bodoh beberapa tahun lalu.

Memindai ke arah lain, gue menemukan bang Seungcheol tengah sibuk menata dekorasi panggung dan hal-hal teknis seperti proyektor juga lain sebagainya. Jisoo dan Seungkwan terlihat begitu sakit kepala dengan urusan perkostuman, Jeonghan dan Junhui harus mengejar-ngejar Chan agar mau dihias wajahnya mirip dengan pohon, kak Jihoon yang berkali-kali mengingatkan semua pemain agar tak lupa dialog, dan mas Mingyu juga kak Wonwoo yang tak kenal lelah membimbing Flora dalam menciptakan familiaritasnya pada segalanya tentang kompleks ini.

Lalu gue, lagi-lagi, ditinggalkan bersama Choi Chanhee.

You know, somehow, gue bisa relate dengan apa yang lo rasain deh kak.” Katanya dengan nada sok tahu khas Chanhee, namun juga kepercayaan diri tinggi khas Chanhee.

Jadi, gue menantang balik kemudian. “Memangnya gue lagi ngerasain apa?”

Overwhelmed? Lo dulu gak banyak ikut serta main sama mereka because of... your issue. Terus giliran lo udah sembuh, merekanya yang sakit. Padahal lo nyimpen banyak harapan begitu pulang dari Dubai. Terus ditambah, mereka punya urusannya masing-masing. Tapi, lo gak bisa bilang apa-apa. Karena lo tau disini posisinya lo yang terlambat.”

“Wow.” Gue menoleh dengan seringai yang dipampangkan sejelas-jelasnya untuk dapat dia lihat. “Untuk ukuran seseorang yang nolak gue karena katanya gak punya perasaan apa-apa, you understands me so well.

I don't have feelings for you kak, bukan ignorant. Tapi juga bukan itu alasan kenapa gue nolak lo. We're in this situation, because Sangyeon came in first. You're just twenty-five minutes too late.

Yeah, there were always that.

Hidungnya gue sentil dengan usil. Yang disentil, meringis berlebihan. “Gue gak inget udah pernah bilang ini atau belum, tapi lo mirip banget sama seseorang yang gue kenal.”

“Jeonghan?” Gue tidak punya pilihan selain membulatkan mata. Namun Chanhee, seperti bagaimana dirinya selalu, menanggapinya dengan begitu santai seraya bola matanya yang menggerling. “Yeah, i think you have a type. But anyway gue kalau berdoa suka ikut ngedoain lo juga tau, kak. Di dalam doa itu... gue berharap lo bisa menaruh hati lo di tempat yang benar dikemudian hari. Bukan di kak Han, bukan juga di gue, tapi pada sosok yang mengatur posisi lo selalu pada opsi bagian pertama. From the very beginning.

Pandangan gue dalam instruktur manualnya jatuh kepada Wen Junhui yang sedang terbatuk-batuk karena debu yang bertebaran dari salah satu properti drama yang tengah ia angkat; wajahnya meringis dengan menggemaskan, telapak tangannya mencoba mengusir partikel-partikel itu untuk pergi menjauh.

Dan Chanhee menyadari kemana arah netra gue itu berlabuh. Satu sisi dari pundaknya ia gunakan untuk mendorong lengan gue pelan. “Ngomong-ngomong, gue belum diceritain lengkapnya gimana waktu itu di Puncak. Oh, sama yang lo nganterin ketemu ibunya.”

“Apanya yang harus diceritain? Gue malah bisa dosa besar kalau diantara dua agenda itu kejadian yang macem-macem, hey.”

“Gue minta lo untuk bercerita, not spilling some tea. Kalau lo begini, gue malah merasa memang seharusnya ada yang ditutup-tutupin.

...You don't, don't you?

No, i don't. Sejatinya gue hanya tengah berusaha menjadi orang baik ketika menawarkan bantuan-bantuan itu. Setidaknya gue menganggapnya sebagai sebuah perbuatan baik, karena itulah yang selama ini gue usahakan untuk jalani dalam setiap muhasabah diri sepulangnya dari perantauan sana.

Tetapi yang salah dari setiap tali hubungan yang ada di Cendana Indah, kami seringkali kesulitan untuk mendeteksi batasan dan menggambar jarak atas nama pribadi. Kami harus selalu dituntut menjadi sebuah kesatuan, dimana di dalamnya kami adalah mereka yang sudah saling mengenal selama seumur hidup.

Jadi bukanlah sebuah hal yang sulit bagi gue ketika mengiyakan permintaan tolong Chan untuk menggantikan mengantar pergi pacarnya yang dulu sempat menaruh hati kepada gue. Waktu itu, yang ada di kepala gue hanyalah excitement meninggalkan hiruk pikuk Jakarta untuk berkunjung ke bagian kota yang lebih asri dan dingin. Sisanya akan seperti apa, itu urusan nanti.

Gue mengerti bagaimana caranya menjadi seorang oportunis. Tetapi selain itu, gue juga adalah sosok yang tahu diri. Setidaknya sejauh itu yang dapat gue lakukan untuk Chan yang bahkan gue lihat seperti apa dulu bentukannya ketika masih berusia satu hari. Yang dalam sepanjang eksperimen itu gue coba untuk teguhkan, adalah hanya cara membawa penumpang di kursi sebelah dan belakang agar mereka akan tetap aman sampai tujuan.

Namun pertahanan tahu diri gue hanya akan menjadi sia-sia ketika si dia sendiri yang memohon kepada gue untuk menurunkannya.

“Villanya... kebesaran gak, sih?” Itu tadi Junhui yang bersuara. Kata-kata itu disebutkan seraya dengan tubuh yang dijatuhkan ke atas sofa ruang tengah, lengkap dengan selimut yang dikalungkan dari belakang dan sukses menenggelamkan tubuhnya.

Posisi gue pada saat itu juga sedang terduduk di atas sofa. Bedanya, kami dibarikade oleh meja kayu berbentuk kotak ditengah-tengahnya. Gue bersyukur akan jarak ini. Semenjak ditinggalkan berdua oleh dia dan tiga bocah yang sekarang sudah terlelap di salah satu kamar villa ini, gue banyak bersyukur karena hal-hal kecil seperti Junhui yang membawa speakernya agar waktu menginap kami disana tidak hanya akan dihiasi keheningan dalam dunia maisng-masing.

Dan ngomong-ngomong, pendapatnya tadi gue timpali dengan sebuah kekehan kecil. “Tadi lo udah komentar begitu kak perasaan, waktu baru nyampe sini.”

“Gapapa, gue ungkapkan kembali karena setelah gue pikir-pikir serem juga kalau harus tidur sendirian di kamar.”

Mau tak mau satu alis itu harus gue naikkan dengan skeptis. “Terus, gimana dong?”

“Boleh gak tidur disini aja? Gue di sofa ini, lo disitu. Kamar anak-anak juga depan mata, jadi kalau ada apa-apa kita bisa langsung nyamperin.”

“Gak masalah.” Jawab gue dengan bahu yang terangkat santai.

“Oke.” Mungkin gue yang kurang peka, sampai baru menyadari bahwa Junhui sedari tadi menahan napas dan baru mengeluarkannya setelah gue mengiyakan. Si dia—lengkap dengan piyama bermotif kucingnya, kini sedang mengatur posisi paling nyaman untuk dirinya dan juga bantal-bantalnya. Dan mungkin, tatapan gue yang tak berpindah itulah yang membuatnya kembali angkat bicara. “Kenapa?”

“Oh engga, cuma lagi amazed aja.”

Amazed karena...?”

“Terakhir kalinya kita ada di ruangan—berdua, yang bener-bener isinya cuma kita, itu kayaknya pas lo masih tutorin gue deh.”

Matanya serta-merta membulat komikal, dan tubuhnya membeku di tempat. “Oh my God.

“Udah lama banget ya itu?”

“Eh demi apasih...”

Gue tidak punya pilihan selain menertawakan ekspresi gemasnya di depan sana. “Sekarang gue udah kerja, kita disini sama anaknya Han, bang Ucup punya adik, dan lo pacaran sama Panjul.”

“Wow.” Junhui bertepuk tangan. “Hidup gue bener-bener jungkir balik setelah mengenal kalian.”

Gue bisa bilang hal yang sama tentang lo, kak. Tentang kita semua.

“Eh by the way,”

“Hmm?”

“Gue boleh tanya sesuatu gak sih?”

Si dia lagi-lagi sempat membeku di tempat, seakan tengah menelan pahit kenyataan bahwa membuka kesempatan untuk memperdalam arah pembicaraan ini sama saja dengan bunuh diri. “Tanya apa?”

“Lo... apakabar?”

Junhui awalnya hanya menatap gue bagaikan pertanyaan tadi bukan disebutkan dalam bahasa Indonesia. Bibirnya yang ranum hanya terbuka sedikit, tanda pikirannya terlalu terokupasi untuknya menyadari hal tersebut. “Hah?”

Lagi-lagi gue mendahuluinya dengan sebuah kekehan. “I know, i know, pertanyaan aneh. Frekuensi kita ketemu masih termasuk sering. Tapi ngobrol kayak gini kan jarang, gue gak pernah bener-bener tahu kabar lo. Yang sebenarnya, maksudnya.”

“Emang... lo kira kabar yang lo denger atau lihat tentang gue selama ini gak bener?”

Bahu itu kembali terangkat. Kali ini, indikasinya agar sebuah pesan kalimat berbunyi i don't know, you tell me sedang berusaha agar dapat tersampaikan tanpa harus repot-repot diformulasikan dalam bentuk suara.

“Kabar...” Jedanya. “Baik.

“Baik.” Gue mengempasisi, mengkonfirmasi, namun seberusaha mungkin tidak terdengar menghakimi.

“Iya, baik.”

“Oke.”

“Oke.”

Kalau boleh jujur lakon gue pada kala itu cukup sulit: di satu sisi gue tahu yang tadi itu hanya sekedar jawaban defensif, sisi yang lain melarang gue untuk menjadi sosok yang sok serba tahu. Lagipula, tak ada urgensi yang ingin gue capai dari mengorek-orek informasi tentang seorang Wen Junhui.

Walaupun gue harus merasa simpati setiap kali melihat atensinya terbang kemana-mana. Walaupun ia harus berpura-pura menikmati waktunya disana. Walaupun perasaan kecewanya karena tak berada disana bersama Chan harus berusaha ia tutup-tutupi. Walaupun Faithfully dari Journey masih harus diputar ulang untuk seribu kali lagi.

Tapi yang jelas, gue dan dia kala itu berkesempatan untuk bermain rumah-rumahan tanpa kami sadari; sebuah keluarga muda nan harmonis, yang tengah berlibur bersama ketiga anak kami.

Kali kedua gue punya kesempatan untuk kembali berduaan dengan dia adalah ketika lagi-lagi gue berusaha untuk menjadi orang baik dengan menyodorkan sebuah tawaran. Gue paham ini berbahaya dan beresiko, tetapi situasinya selalu bisa dibalik kalau konteks ini kita ambil hanya atas dasar nama pertemanan.

Junhui terlihat lebih cerah daripada waktunya bertamasya ke Puncak tempo lalu. Mungkin karena masalah pembatalan tiba-tiba itu sudah lama lewat, dan mungkin karena perjalanan ini adalah pintu kunjungan menuju sang ibu. Apapun itu, segala suasana hati ceria itu membawa gue dan dia untuk melahap ice cream gelato kami hingga tak bersisa pada salah satu taman di daerah Tebet.

“Ya oke, gue tidak akan menghakimi acara blind date lo yang gagal semua itu.” Paparnya dengan tangan kanan yang menggengam cone dengan erat. “Yang ingin gue tanyakan adalah, kenapa harus dipaksa dengan agenda jodoh-jodohan? Kenapa lo gak coba cari sendiri? Apa lo pernah ada niatan buat cari sendiri?”

Gue mengemut bersih sendok berisi sisa-sisa ice cream itu sebelum menjawab. “Pertama: engga, gak dipaksa. Gue disuruh begitu ya karena nyokap tau gue gak akan ada effort buat nyari sendiri. Tapi percaya sama gue, nyokap malah lebih seneng dengan gue yang effortless karena itu artinya dia juga lebih punya kontrol dengan bibit, bebet, dan bobot calonnya. Tapi kalau gue mau bawa sendiri, ya boleh aja. Apakah gue ada niatan? Itu dia masalahnya.”

“Kenapa?” Tanpa disangka-sangka, penjelasan tadi menahan kami untuk seketika berhenti berjalan. “Bukannya lebih baik kalau lo cari sendiri sesuai pilihan lo? Itu malah gak bikin lo tersiksa, kan?”

“Iya, emang. Tapi gue bingung kak, nyarinya dimana. Ternyata tanpa gue sadarin, Cendana Indah is really growing on me. Gue ternyata gak punya orang-orang yang gue percayain selain kalian. Gue ternyata gak punya temen sebanyak itu. Temen yang bener-bener temen, yang tau gue mantan pemakai narkoba tapi gak ada takut-takutnya sama sekali. Yang memanfaatkan isi rekening gue tapi maksimal paling cuma minta dibayarin bubur Cikini, yang malah ngerjain dan bikin nyasar kurir waktu nganter mobil Tesla gue, yang senengnya sesederhana ngumpul bareng-bareng. Gue punya masalah dengan kepercayaan, dan itu bikin gue susah untuk ngijinin orang asing masuk.”

Ah. Oke... Gue paham maksudnya gimana.” Kami kembali mengambil langkah maju dan berjalan. “Orang tua lo... ahem, udah maksa-maksa buat buru-buru, emangnya?”

“Buru-buru apa? Menikah?” Dia mengangguk, gue tersenyum, dan kami entah mengapa sama-sama menggigit bibir masing-masing kemudian. “Merekanya engga, guenya iya.”

“Hah? Maksudnya?”

Gue harus diam-diam menahan tawa ketika mendengar nada keterkejutannya. “Nah, ini nih yang gue maksud dengan masalah kepercayaan tadi. Kalau gue jelasin ke orang lain, mereka pasti akan jadi salah pengertian. Minimal dibilang over proud, lah. Ini gue berani jawab karena ngomongnya ke elo ya, kak.”

“Iya, bawel. Udah cepet jelasin!”

“Hmm... gak beneran buru-buru sih, tapi ya mau. Karena: why not? Gue udah ada segalanya, udah berada di umur yang cukup, udah memperbaiki diri sebelum ngajak orang lain untuk masuk ke hidup gue, dan udah punya mental juga finansial yang stabil. Terus apalagi yang gue cari kalau bukan keluarga?”

Ketika gue menoleh, Junhui tengah menunduk bersama pandangannya yang terpatri pada aspal dan langkah kaki. Air mukanya sulit untuk dibaca. “Tapi apa in the end nanti gak akan ada masalah?”

“Masalah gimana nih maksudnya?”

“Kalau orangnya udah ketemu... tapi mami sama papi lo berujung gak setuju sama orangnya, dan lo akan kembali ke lingkaran awal: dijodohin.”

“Dari semenjak gue setuju buat dibuang ke Dubai sampai dengan pulangan gue, nyokap sama bokap belajar untuk mulai mempercayai gue dan setiap keputusan yang gue ambil, kak. Itu, cara mereka ngungkapin rasa terima kasih karena gue udah berusaha untuk sembuh. Dan gue percaya mereka gak akan rampas hak itu dari gue.”

Disana itu tengah terjadi sebuah panggung pertunjukan ala kadarnya. Gue paham betul acara ini jauh dari kata pantas ataupun layak, tapi toh selama ini pun kami selalu punya gaya dan cara kami sendiri dalam bersenang-senang atas nama harmoni bertetangga. Seberapa absurdnya nanti sirkus yang kami suguhkan, gue tetap akan menjadi penggemar nomor satunya.

Dan ketika melihat wajah-wajah dari orang tua dan para ponakan kami kini merona merah dihiasi senyuman, itu sudah lebih dari kata cukup. Itu bukan, tujuannya? Agar kami bersilaturahmi, agar kami tak lapuk dimakan waktu dan bertransformasi menjadi orang asing bagi satu sama lain.

Gue sepenuhnya amatiran tentang segala hal atas nama drama teater. Gue jarang menonton film atau series, dan gue lebih suka hal-hal praktis tanpa harus dibumbui skenario hiperbolisme. Pun begitu, nyatanya gue tetap meringis geli ketika Seokmin berpura-pura memanjat tanaman rambat buatan untuk dapat naik ke balkon kamar Seungkwan sang Juliet. Atau meledek lakon bang Seungcheol, Jeonghan, mas Mingyu dan kak Wonwoo sebagai dua kubu keluarga yang saling bermusuhan dan menentang hubungan masing-masing anaknya, menjahili Chan sebagai pohon dan menyoraki Hansol ketika adegan menjual racun yang nantinya akan dipakai sang Romeo untuk membunuh dirinya sendiri akhirnya tiba, dan terkagum membeku di tempat menyaksikan Seokmin dan akting bersedihnya yang luar biasa di samping peti sang Juliet yang ia kira pada saat itu telah tiada.

Ada satu adegan di awal tadi ketika Seokmin diharuskan mencium pipi Seungkwan. Namun Hansol (yang sudah pasti sengaja itu) sekonyong-konyong menggagalkannya dengan berpura-pura lewat di atas panggung bersama dengan papan tulis besarnya. Atau pada saat air mata Seokmin yang menetes di pipi bersama jemarinya yang bertaut dengan Seungkwan membuat Jisoo harus berpaling menjauh dan enggan memandang.

Hal-hal itu sejenak membuat gue memikirkan: apa ya, yang sekiranya mereka rasakan pada saat itu?

Apa dasar formulanya adalah rasa cemburu yang ada timbul karena rasa sayang? Atau semua itu hanyalah mekanisme pertahanan dari ego yang enggan mengalah? Apa opera sabun yang murni dilakukan di atas sana atas nama berakting akan selalu berakhir dengan penciptaan impulsivitas bodoh?

Apa rasa itu setara dengan seperti bagaimana gue selalu menyaksikan Junhui dan Chan dari kejauhan?

Apakah keputusan junhui untuk ikut menemani Chan berperan sebagai pohon itu membuat gue merasakan sesuatu? Apakah itu menyentil ego gue sebagai bentuk kekalahan bahwa gue sekarang sudah bukan berada pada posisi opsi bagian pertama? Apakah ada kemarahan di dalam diri gue yang muncul karena semuanya sudah terlalu lama terlambat dan selalu akan terlambat?

Lalu bagaimana jika dibalik: ada Chanhee yang berada disana bersama Sangyeon? Atau Jeonghan bersama Seungcheol? Apakah rasanya juga akan sama?

Apakah...

...yang sebetulnya sedang gue coba untuk analisa?

Tepukan riuh dari arah panggung berhasil membangunkan gue dari lamunan panjang. Gue dengan terburu-buru mengatur audio ke bagian penutup, merubah layar proyektor menjadi background norak pilihan bang Soonyoung, dan keduabelas dari mereka mengundang gue untuk ikut naik ke atas dan memberikan hormat terakhir kami.

Pandangan gue kemudian sekali lagi jatuh kepada Junhui yang memeluk Chan dengan begitu erat setelahnya. Dengan begitu penuh juga khidmat, seakan tengah ia tumpahkan segala sisa dalam dirinya agar dapat terkubur dalam disana. Dan siapapun dapat dengan mudah merasakan cinta; karena manik mata hangat itu, meradiasikannya.

Namun, ternyata, drama teater yang kami kira telah usai itu hanya sebuah layar ilusi. Karena gue berani bilang: kami baru memulainya sekarang. Lakon itu kembali dimulai ketika Junhui mengeluarkan telepon selular dari kantung celananya. Wajahnya diiluminasi cahaya dari layar yang menyinari dalam ketiba-tibaan, dan dalam hitungan sekejap segalanya yang bahagia tadi ternyata hanya dapat kami cicipi sebagai bahan percobaan.

“Kayaknya gue ngerti deh, konsepsi lo dengan mau buru-buru menikah tadi.”

“Masa? Beneran ngerti atau cuma basa-basi aja nih?”

“Ih, beneran ngerti!”

“Iya, iya... Yaudah coba jelasin, kenapa lo bisa ngerti?”

“Jadi dulu semenjak semua saudara gue menolak untuk dimintain tolong jagain ibu, gue bersumpah untuk gak pernah sudi minta tolong apapun lagi sama mereka. Gue terlanjur sakit hati, dan mengambil keputusan untuk memutus tali silaturahmi selamanya. Gue kerja keras urus biaya panti jompo sendiri, disaat gue juga harus mikirin gimana gue akan hidup sehari-harinya. Yang bikin gue gak sebatang kara dan punya keluarga lagi ya Cendana Indah, kalau gak ada kalian jujur gue sebenernya hanya tinggal punya ibu. Dan itu beneran. Ibu sama gue, yang kita punya sisa satu sama lain aja. Mungkin alasan gue ini gak sepenuhnya sama kayak lo karena banyak aspek dalam diri gue yang belum sesiap itu untuk kesana, apalagi di bagian finansial. Tapi gue mau ibu juga ngerasain hangat yang gue rasain. Gue mau beliau juga jadi bagian dari kalian, disayang sama kalian. Seengaknya, hal yang bisa gue lakuin untuk kita berdua ya cuma sejauh itu.”

Musik dimatikan, panggung menyepi, dan kami mendapat kabar bahwa ibu dari seorang pria malang bernama Wen Junhui baru saja meninggal dunia dengan damai tepat di atas tempat tidurnya.

Lampu sorot panggung nan luar biasa terang itu kini hanya terpatri pada dirinya seorang.

Namun kami semua tahu, dunianya tengah gelap gulita.

POV: Wen Junhui.
mandatory read: 99 Red Balloons

[⚠️] indekos poci spoiler.


Pengalaman terseru gue dengan berbagai dating apps, sebagian besar terjadi ketika gue sedang berkuliah dulu. Tentu saja kisah ini akan lagi-lagi mengikutsertakan Jeonghan dan Wonwoo, karena mereka merupakan salah satu condiment yang akan memeriahkan festival ini.

Gue dan kedua sahabat gue itu bisa dibilang hobi mengerjai orang. Kita akan dengan sengaja meladeni manusia-manusia mesum di dalam berbagai platform tersebut, dan kita akan terguling dalam tawa di balik layar bersama plushies kelinci kepunyaan Jeonghan sebagai samsaknya.

Gue singkatnya akan berperan mencari korban potensial; mereka yang otaknya apa-apa selangkangan, ngabers dompet pas-pasan dengan rekomendasi hotel ala kadarnya, dan mereka yang selalu merasa paling superior dengan ukuran genital yang gambarnya akan tiba-tiba dikirim tanpa diminta. Lalu Wonwoo akan mengambil alih permainan dengan menyulap ruangan obrolan menjadi seakan kami menginginkan hal-hal tersebut sebanyak mereka menginginkannya. Sahabat gue yang satu itu akan membuat ego orang-orang tersebut menjadi begitu besar sampai tidak ada lagi tempat untuk menampung, lalu pada akhirnya mereka akan bertekuk lutut hingga tak berkemampuan untuk berdiri kembali.

Peran selanjutnya akan disutradai oleh Jeonghan. Tugasnya adalah menguji kesabaran orang-orang itu, dan mengulik bukti nyata tentang sampai mana mereka akan melakukan apapun atas nama seksualitas. Terkadang kami akan berakhir dengan delivery McDonald di jam satu pagi dengan uang hasil dari 'transferan' impulsif setelah kami membblock nomor-nomor tersebut, terkadang kami berakhir dengan rahang yang begitu sakit karena terlalu banyak tertawa.

It was fun while it lasted, beberapa orang bahkan bertahan dari seleksi alam dan malahan menjadi kawan mengobrol. Sampai lalu gue dihantam oleh sebuah trivia menarik setelah banyak bermain-main: gue ini, punya tendensi untuk cenderung menyukai pria yang lebih tua. Gue mampu menyebutkan faktor-faktor dibaliknya dari mulai bagaimana mereka lebih bisa mengayomi sampai bagian gue akan menurunkan pertahanan sejenak ketika berhadapan dengan mereka, namun apapun itu fakta yang gue jabarkan disana akan kembali hanya menjadi sebuah trivia.

Karena pada kenyataanya, yang berada di samping gue saat ini dengan nyata dan jelas mempunyai perbedaan umur sembilan tahun lebih muda daripada gue.

“Tapi koh Uyon engga tuh, dia kan seumuran kamu.”

Gue memutarkan bola mata dengan sarkas seraya mengambil satu buah pisang goreng panas di atas meja sana. “Uyon tuh beda. Dulu aku sama dia lebih banyak menyalurkan birahi daripada pacarannya.”

Sekarang gantian gue yang dipelototi. “Kalau mau TMI bisa yang biasa-biasa aja gak?”

Terkekeh adalah satu-satunya hal yang dapat gue lakukan. “Uyon tuh bisa tau... jadi dewasa disaat-saat tertentu. Coba tanya ke Wonwoo.”

“Yakali gue tanya ke dia.” Chan menaikan satu kakinya menjadi menekuk di atas sofa. Lalu tubuhnya yang sedari tadi terduduk tegak itu, diputar kesamping agar menghadap langsung ke arah gue.

Kesempatan tersebut gue gunakan untuk menyentuh usil gagang kacamatanya. “Dan kamu juga bisa kayak gitu.”

Pernyataan itu membuat si dia menaikkan kedua alisnya penuh rasa penasaran. “Masa?”

Jemari usil gue kini berpindah menusuk-nusuk pipi. “Ican kamu tau gak sih kalau lagi pakai kacamata gini kamu mirip banget sama Mingyu?”

“Yeeeh... Ya kan adeknya, lahirnya dari rahim yang sama.”

“Ih engga, miripnya cuma pas lagi kacamataan aja.”

“Sisanya engga?”

“Sisanya gantengan kamu.”

“HOEK.”

Gue kembali terkekeh, bernapak tilas ingatan kepada hari-hari dimana Chan masih berfrekuensi sering dala menanyaka kamu beneran gak suka sama mas, kan? Aku trauma nih. Di sela-sela pikiran gue yang berkelana itu Chan menyempatkan diri untuk menjauhkan telapak tangan gue dari wajahnya dan menguncinya lewat tautan jemari kami.

“Tapi kan... kalau dipikir-pikir kamu juga gitu.”

“Gitu gimana?”

“Ih, preferensi pasangan lo maksudnya.”

“Lah, Juhak kaga?”

“Ya kamu kenapa pacaran sama dia?”

“Sedih nungguin lu, menemukan kenyamanan sementara pada orang lain.”

“YA ITU!” Here comes the almighty cubit-cubit pinggang. “Ngerti kan maksudnya gimana?”

Gue tahu dia paham, tapi gengsinya ditutup-tutupi lewat sikap tak acuh dan pundak yang diangkat.

Gue bisa saja kembali melakukan banyak hal usil lain seperti mencubit sisi pinggang satunya atau berpura-pura manja dengan membenturkan dahi ke bahunya, namun semua taktik itu harus gue hentikan karena Hansol yang masuk dan berjalan santai dengan piring di dalam genggamannya. Alat makan itu ia angkat sejenak sebagai penanda ada maksud dibaliknya, dan setelah anak itu mengatakan mau minta nasi Jul, nyokap gak masak lalu ia hilang di dalam dapur sana.

Telapak tangan kami masih bertaut dengan erat ketika kemudian Mingyu dengan celana pendek juga kaos hitamnya masuk bersama pot tanaman yang ia jepit diantara lengan. Maniknya yang menangkap kehadiran gue seakan tak satupun menyiratkan keheranan, dan setelah mengacak-acak rambut di puncak kepala adiknya ia pun beranjak ke arah taman kesayangannya.

Gue dan Chan saling bertatapan bersama tekat besar untuk menahan tawa kemudian. Selalu adalah salah kami memilih tempat kencan seperti ruang tengah rumahnya sebagai arena berteduh ketika berencana saling berbagi cerita, namun toh pada akhirnya kami akan selalu menemukan alasan untuk kembali kesini.

“Kemana nih enaknya?”

“Gak tau...”

“Yeeeh... Ada lagi kepengen makan apa gitu gak?”

“Gak ada sih... Yaudah kayak biasa aja kita beli apa gitu terus makannya di rumah kamu.”

“Wokeeeh, laksanakan.”

Bukan sebuah konsep kencan paling romantis di dunia, tetapi gue selalu merasa jauh lebih nyaman ketika melakukannya. Pada saat itu Chan masih seorang anak kuliah, dan gue hanya mas-mas biasa aja dengan gaji UMR plus bonus dan insentif. Agaknya, terlalu membuang-buang uang untuk kami memikirkan sebuah tempat pertemuan kencan yang megah dan mewah. Baik gue ataupun Chan, tidak pernah ingin repot-repot membebani diri pada hal-hal seremeh itu.

Kencan kami memang sederhana, tetapi Cendana Indah membantu menyulapnya menjadi khas dan istimewa.

Menyandang status menjadi pacar Lee Chan juga membuat gue terkadang mendapatkan hak istimewa untuk merasakan semalam menjadi adik dari Kim Mingyu. Gue dulunya selalu berpikiran ide dari kedua sahabat yang ternyata mengencani kedua saudaranya adalah mimpi buruk bagi Jeonghan, tetapi ternyata makan malam berisikan enam orang (terkadang tujuh dengan Naeun) di sebuah restauran dengan dompet sang kakak tertua menjadi jaminannya itu tidak buruk-buruk amat.

Terkadang cara Tuhan memberikan gue jalan pintas itu terlalu mulus dan lancar sampai gue harus menciptakan sebuah praduga yang belum tentu terjadi. Bagaimana sebelum hubungan gue, Jeonghan, dan Wonwoo menjadi adil, pernah ada gue yang selalu dipaksa untuk menjadi mandiri. Bahwa gue tidak mumpuni berbagai persyaratan untuk menjadi adik kecil yang diperhatikan, dan gue akan dari lama kehilangan kemampuan untuk mengingat apa itu keluarga jika bukan karena Cendana Indah.

Sebuah pemikiran untuk melepas Lee Chan, setara dengan gue yang harus bersedia melepaskan sang hak istimewa.

Pemikiran mengerikan yang muncul secara tiba-tiba itu membuat gue secara impulsif menarik Chan lebih dekat sehingga lengannya bisa gue bawa dalam sebuah peluk. Lalu kemudian dagu si dia, jatuh tepat di atas puncak kepala sana. “Lah, kenapa dah?”

Gelengan itu dimaksudkan sebagai sebuah kamuflase. “Gak apa, dingin.”

“Buset... Jaktim nih bos, bukan Puncak.”

“Yaudah sih... Peluk emang gak boleh?”

“Boleh lah, masa gak boleh.”

“Okedeh.”

“Okesip.”

“Ihiy.” Pada suara yang satu itu, gue dan Chan sekonyon-konyong menoleh ke belakang dan menemukan Hansol tengah berdiri disana bersama nasi yang kini mengepul panas di atas piring. Wajahnya dipasangkan senyum menggoda, alisnya yang naik lalu turun diarahkan kepada kami.

What a perfect date place, isn't it?

Alasan gue putus dari Seungyoun selalu berbanding terbalik dengan mengapa gue berada bersama Lee Chan. Lingkungan pertemanan mantan gue yang satu itu selalu membuat gue banyak mengalami sakit kepala atas pikiran-pikiran bahwa gue tidak akan pernah bisa mengimbanginya, dan gue selalu merasa kelelahan karena dikejar-kejar oleh ekspektasi tak kasat mata.

Berada bersama Lee Chan memberikan sebuah reasurasi kepada gue bahwa ada seseorang diluar sana yang mampu mengimbangi gue dalam banyak hal-hal aneh tanpa perlu malu karenanya. Seperti misalnya memperhitungkan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan uang, dan membagi dengan adil rata pembayaran-pembayaran yang menyangkut kami berdua; tak ada gengsi, tak ada rasa ngga enakan.

Pergi bersama Chan juga tidak membuat gue mual ketika memikirkan baju apa dan bagaimana yang sekiranya pantas gue pakai. Tidak ada social pressure dalam mengoleksi barang-barang bermerk, dan banyak kesederhanaan lain yang membuat kami hanya harus menjadi kami; ada untuk satu sama lain, saling memberi dukungan dan saling menyayangi.

“Ju, do you think that's okay?” Adalah pertanyaan yang pernah muncul dari bibir Jeonghan pada suatu hari ketika kami bertiga tengah makan di restaurant hot pot. Pada saat itu jemari gue tengah sibuk mencelupkan daging ke dalam kuah panas, kemudian mendongak untuk menemukan Jeonghan sudah memandang ke arah sini.

“Apanya yang oke atau engga?”

“Chan kalau jemput lo.”

“Hah? Yang salah gimananya?”

“Iya, dia kan kalau jemput selalu pakai helm gojek terus ngasih lo helm itu juga yang buat penumpang.”

Gue sempat terdiam seketika. “.....Itu seharusnya jadi masalah?”

“Han mungkin mikirnya lo bisa aja malu atau gimana gitu, Ju.” Balas Wonwoo mewakili, yang membuat gue setelah itu seketika membatin ah.

“Hmm... biasa aja, sih?”

“Lo jangan gapapa-gapapa aja, kalau malu nanti biarin anaknya gue tegur.”

“Engga, bentar,” Gue meletakan kembali sumpit di atas meja. “Dia bawa itu kan karena memang abis sekalian kerja nyari penumpang?”

I know!” Jeonghan lagi, dengan matanya yang kini bergantian dari makanannya lalu kedua bahu yang terangkat ringan. “Tapi orang kantor kan gak tau. If they see it, mereka akan ngiranya ya lo pesen dari aplikasi aja.”

Gue tahu maksud Jeonghan baik. Gue tahu dia menyayangi Chan lebih dari apapun walaupun tak selalu menunjukannya, dan gue tahu mereka berdua adalah orang paling tepat untuk gue bisa mendiskusikan hal-hal seperti ini. Tetapi anehnya, segala yang gue rasakan sekarang adalah ketidaknyamanan dan rasa malu yang seketika mengguyur pada sebuah kenyataan bahwa:

Oh, ada ya ternyata orang yang akan mikir kayak gitu. Ada aja mereka yang akan berpikir kalau hal-hal seperti itu bisa menjadi sebuah faktor. Dan gue... dengan lugu dan polosnya melupakan variabel tersebut.

Malam itu gue kumat dan membangkitkan sebuah kebiasaan buruk yang selalu gue lakukan: sekonyong-konyong merasakan perasaan ilfeel, dan memutus kontak komunikasi secara tiba-tiba. Mungkin pada hakikatnya gue hanya butuh waktu untuk menetralisasi diri, namun orang yang gue tinggalkan itu pasti tidak tahu menahu tentang hal tersebut. Di dalam pikiran mereka gue hanya menghilang dan mengabaikan, dan pada akhirnya gue menjadi si dia yang menyakiti.

Gue buru-buru memikirkan sepuluh juta cara untuk memperbaikinya pada keesokan harinya. Chan memang tidak memborbardir gue dengan rentetan pertanyaan yang bertujuan menuntut kejelasan, tetapi dia yang menjadi pengertian malah membuat gue semakin merasa bersalah. Karena biar bagaimanapun, dia selalu melakukan yang terbaik sedangkan yang gue lakukan hanyalah dimakan hidup-hidup oleh insekuritas.

Hari itu, Chan menjemput gue tidak hanya dengan helm pribadinya tetapi juga dengan motor ninjanya.

Beberapa hari kemudian gue menerima sebuah informasi bahwa Chan akan beralih dari mencari penumpang dengan motor menjadi menggunakan mobil.

Dan gue tidak pernah merasakan perasaan bersalah sebesar itu dalam hidup sebelumnya.

Gue pernah ikut Chan masuk ke dalam satu hari dalam hidupnya. Kala itu gue sedang tidak besemangat untuk bekerja dan memutuskan untuk mengambil cuti, dan entah bagaimana dalam sekejap gue adalah Wen Junhui yang kembali ke umur mudanya dan duduk di bangku perkuliahan.

Yang menarik dari pengalaman itu adalah tentang banyak keajaibannya; tentang kami yang diam-diam menahan tawa di dalam kelas ketika dosen tengah menjelaskan, tentang mulut kami yang sibuk mengunyah dan kemah diam-diam yang kami bangun di bangku pLing belakang, tentang perasaan aneh ketika mencoba mengerti lebih dalam seorang Lee Chan dan dinamikanya ketikabmenjalani hari, tentang teman-temannya yang memperlakukan gue dengan begitu baik, dan tentang kami yang berlari kecil seraya diguyur hujan saat menuju ke parkiran.

Semuanya selalu terasa begitu mudah, begitu sederhana, begitu bebas, begitu menyenangkan.

Tapi, sayangnya, itu dulu.

Pendewasaan itu terkadang menyebabkan urgensi terpendam untuk mengulang waktu. Gue dan Chan memang bukan dalam fase bulan madu kami mengingat durasi berpacaran yang sudah tidak seumur jagung, pun begitu apa yang kami rasa masih tetaplah sama. Dia masihlah tetap Lee Chan yang menghapus banyak kekhawatiran berlebihan yaang terkadang gue pikirkan, dan kami masih saling melengkapi seperti bagaimana kami selalu.

Bedanya adalah, akir-akhir ini gue selalu merasa seperti diburu-buru waktu. Dan keburu-buruan gue itu ternyata menyengsarakan orang lain. Dan dalam kasus ini, adalah orang yang paling gue sayangi.

Gue dan Lee Chan yang baru saja digoda oleh Hansol itu sama-sama menghela napas dan mendecakan lidah. Bukan hal baru dan pertama kalinya untuk kami, namun selalu terasa jenaka ketika sedang terjadi.

“Mau pindah tempat aja gak?” Tanya si dia kepada gue ketika kembali hanya kami yang berada disana. Gue dan dia sama-sama paham apa maksudnya, dan kata iya yang telah berada di ujung lidah itu direalisasikan lewat tubuh yang akhirnya beranjak dan kaki yang akhirnya berdiri, lengkap denga seringai yang terpatri di wajah.

Melihat keseluruhan Cendana Indah dari atap tertinggi Indekos Poci pertama kali gue alami atas ajakan Chan beberapa tahun yang lalu. Sewaktu itu gue menjadi penasaran ketika banyak mendengar cerita-ceritanya, dan setelah meminta ijin kepada Minghao entah bagaimana tempat itu selalu jadi spot persembunyian gue dan Chan.

“Aku selalu penasan, tapi lupa terus masa mau nanya.”

“Penasaran apa tuh?”

“Itu,” Gue menunjuk rumah kayu sederhana di atas sana dengan dagu setelah mendudukan diri di salah satu bangku. “Siapa yang bikin sih?”

“Rumahnya?”

“Mhm.”

“Denger-denger dari ceritanya sih bang Juyeon yang bikin. Jadi dulu kak Hyunjae suka minta tolong temenin latihan script kan disini, tapi kadang-kadang terlalu panas atau lagi hujan. Terus bang Juyeon atas izin dari si Bengeng inisiatif aja bikin gituan.”

“Wow... Keren... Sampe segitunya.”

“Yoi. Beberapa bulan setelah bang Juyeon dan banyak penghuni generasi satu Poci yang cabut, tempatnya dibagusin sama si Begeng sampai jadi kayak begitu. Terus ya... siapa aja boleh kesini. Bebas mau dipake buat apaan. Tapi rata-rata buat anak Poci pada ngumpul sih.”

“Sama buat kita ngumpet dan berpacaran.”

Chan bertepuk tangan dan memberikan jempolnya. “Betul sekali.”

“Semenjak terinspirasi dari Minghao, aku jadi punya cita-cita baru.”

“Cita-cita baru? Apa tuh?”

“Jadi juragan indekos.”

Si dia di sebelah gue menyemburkan tawa menggelegar. “Buset.”

“Ih, bener tau... Gue sudah menghabisi setengah hidup untuk bekerja menjadi karyawan, tapi ya kekayaanya akan tetep segitu-segitu aja. Kalau jadi juragan indekos, kita bisa leha-leha tapi tetep dapet uang. Penghasilannya muter terus.”

“Yaa... iya sih. Berarti tabungannya kita pakai buat itu aja apa? Nanti kita tanya si Ucup lahan kosong yang disana bisa dibeli atau engga.”

“Tabungan apa?”

“Tabungan nikah, atuh.”

Ludah itu gue telan dengan penuh kegugupan. “Anjir... Hahaha...”

“Kita nikahnya kayak Suhay Salim aja tuh, langsung ke KUA terus udah deh beres.”

“Dih, tau-tauan Suhay Salim lo.”

“Temen-temen aku yang cewek pada gak jelas suka nontonin itu dulu di kelas.”

“Emang boleh, kalau nikahnya kayak begitu?”

“Ya gak tau sih, gak pernah nanya. Terus gak ada clue juga, soalnya mas Mingyu sama mas Han nikahnya semua heboh.”

Gue diam-diam memeluk dan mencubit diri sendiri. “Aah...”

“Emang kamu mau?”

Gue menoleh begitu cepat. “Hm??”

“Maksudnya, kalau kamu maunya gimana.”

“Oooh...” I wanted to have the dream wedding i've always dreamed about. “Aku gak masalah gimana aja.”

Chan menganggukan kepalanya. “Oh gitu...”

Kami sama-sama terdiam setelahnya. Kebanyakan karena gue yang membuat situasinya menjadi seperti itu, dan sebagian lagi karena mungkin masing-masing dari kami memang butuh waktu untuk mencerna obrolan barusan. Karena topiknya adalah bukan karena iseng semata. Salah satu dari opsinya, mungkin akan terjadi kepada kami secara nyata.

If, we keeps this going.

Tapi permasalahannya, mengapa gue harus khawatir tentang itu? Mengapa baik Wonwoo dan juga Jeonghan tidak pernah terlihat memusingkan hal-hal seperti itu? Mengapa mereka berdua tidak pernah menceritakan gue kekhawatiran tentang akan seperti apa kondisi finansial mereka nantinya? Mengapa hanya gue yang lagi-lagi harus mempunyai banyak kekhawatiran ketika hidup gue bahkan sudah sesusah itu?

“Aku rencananya mau jual motor yang Ninja.”

“Hah... kenapa?”

“Ya... kepikiran aja. Lumayan gak sih hasilnya? Lagipula itu motor udah jarang aku pake, terlalu heboh. Aku mau benerin dan modifikasi Kijangnya bapak buat dipake mobilitas sehari-hari. Atau mungkin aku bisa beli motor yang agak murahan, yang biasa-biasa aja. Ya begitulah, kalau udah ada uang hasil ngejualnya nanti baru bisa dipikirin dan diatur-atur.”

“Emangnya gak apa-apa?”

“Apanya?”

“Ninja itu bahkan udah ada disini dari sebelum segala huru-hara Cendana Indah, Ican. Itu diwarisin dari Mingyu ke kamu, dan dulu kamu selalu bilang kalau kamu sayang banget sama motor itu.”

Pemaparan gue tadi dibalas dengan tawa. Walaupun, gue masih belum bisa menyimpulkan apakah di dalamnnya mengandung kepahitan. Namun lalu gue menemukan bahwa hati kecil gue kembali terasa seperti dicubit ketika Chan membuka mulutnya.

“Hahaha... Itu mah kata Ican di umur tujuh belas kali, kak. Kalau sekarang aku haru bisa pasang mindset orang dewasa. Ya supaya... aku bisa ngimbangin kamu. Bener kan?”

Pikiran gue lagi-lagi terbang kepada kami yang terbahak puas ketika lari menerobos hujan, basah kuyup, dan menertawakannya di bawah atap parkiran. Atau kepada banyak distraksi jenaka ketika kami memutuskan untuk berkencan di Cendana Indah, atau pada obrolan jam satu pagi di atas motor pada kota Jakarta yang lowong ketika sebagian besar penduduknya tengah tertidur, pada kami yang masuk ke dalam mall berpikir akan membeli sesuatu dan berakhir putar haluan untuk thrifting di Pasar Baru, pada kunjungan kami ke tempat-tempat viral Tiktok yang berakhir dengan antrian super panjang, pada keinginan impulsif kami untuk makan mie kocok Bandung langsung di Bandung, pada malam-malam suntuk ketika kami tidak ingin melakukan apa-apa namun masih ingin berada di sisi masing-masing, pada setiap makan malam hangat yang terjadi di atap rumah keluarganya, pada telepon tengah malam yang berakhir dengan kami yang sama-sama tertidur dan baru menyadarinya di pagi hari, dan atas segala gelisah yang selalu kami ceritakan dengan leluasa kepada satu sama lain.

Namun, tidak untuk yang satu ini. Tidak untuk satu kekhawatiran yang tengah dan masih menyangkut di dalam benak tepat ketika gue mengatakan ini.

Mengapa segalanya tak lagi bisa sesederhana ungkapan rasa suka pada malam tahun baru dan kecupan singkat di pipi? Mengapa segalanya tak lagi bisa bisa semagis dia yang menemukan gue menangis di kedai Bubur Cikini sehabis putus cinta? Mengapa segalanya tak lagi bisa semudah dia yang mengajak gue berlari pergi dari Minghao beberapa tahun lalu? Mengapa segalanya tak lagi bisa seyakin dia yang menyusuli gue dengan begitu terburu-buru hingga sepatunya hanya terpasang satu sisi?

“Gue mau lo tau kalau gue suka sama lo agar supaya dada gue plong aja, sama mau lo tau kalau di dunia ini ada cowok namanya Lee Chan yang gemes dengan semua keanehan lo, yang seneng ngingetin kalau lo tuh bukan sekedar bayang-bayang sahabat lo, yang ikhlas jemput lo tiap lo diterlantarkan orang yang jahat sama lo, dan yang rela lo jadian sama cowok lain kalau artinya itu bakalan bikin lo seneng. Jelas gak?”

We're not the only ones, i don't regret a thing, Every word i've said, you know i'll always mean, It is the world to me that you are in my life, But i want to live and not just survive.

Mengapa... gue mengalami sebuah krisis atas the exactly style of my own yang sekarang harus kembali gue pertanyakan?

— : JPRDZ//VOLII//YOYOK

Soonyoung.

Jadi manajer R&J emang gak pernah adalah sebuah alasan. Tapi jadi manajer R&J yang ngeapproach calon vokalis baru secara personal, itu baru alasan. Soonyoung sendiri udah dari dulu lah, familiar sama orang ini. Sering lalu-lalang nyumbang suara di banyak acara kampus, tapi ya sendiri aja. Selalu sendiri. Setelah diulik-ulik lagi, ternyata emang bakatnya tuh natural. Dia gak perlu banyak persiapan, gak perlu juga neko-neko. Tinggal kasih waktu, tempat, dan alat musiknya, terus jadi deh.

Pertama kali ketemunya juga klise abis. Dia sama R&J satu acara, terus Lee Jihoon dengan semena-menanya ngira Soonyoung itu panitia dan main asal aja minta es batu buat coca-colanya. Kwon Soonyoung jelas jauh dari profesi panitia, tapi es batu itu tetap dihantarkannya kepada sang pemuda dengan sukarela. Jihoon bilang makasih, Soonyoung bilang sama-sama. Terus karena memang lagi ada waktunya dia ikutan nonton performnya sekalian. Kalau gak salah, malam itu Soonyoung minimal rada gak bisa tidur gitu lah setelahnya.

Pertemuan selanjutnya bareng Jihoon itu kejadian di tukang fotocopy sekitaran kampus. Waktu itu dia kelihatan kayak lagi buru-buru, cuma kebetulan tempatnya juga lagi rada penuh. Jadi saat abangnya nyamperin Soonyoung dan nanya apa keperluannya, dia nyuruh si abang buat ngelayanin Jihoon duluan. Sebagai gantinya dia jadi gak sengaja ngobrol sama salah satu temennya yang nyapa disana dan nanya-nanya tentang R&J.

“Weh... Jihoon dah itu.”

“Lu pelan-pelan dong ngomongnya ngehe, kaga nyaman tuh dia entar.”

Gak salah dong, kalau sewaktu Soonyoung dan ketiga sisa member bandnya berdiskusi alot siapa selanjutnya calon-calon potensial yang bisa menggantikan gitaris dan vokalis mereka, Soonyoung gak mungkin gak menyodorkan Jihoon sebagai salah satunya.

Masalahnya temen-temennya pada pesimis. Group musik mereka isinya mahasiswa biasa-biasa aja yang kalai ngulang matkul gak dikasih keringanan juga, paling ujungnya cuma dikenal karena ganteng. Persoalan prestasi baik akademis maupun karir bermusik, Jihoon jelas lebih punya nama. Lebih legit. Lebih terlihat profesional.

“Lu kalo berhasil bahwa Jihoon itu antara lu menyantet dia, atau lu menyantet dia.”

“Bacot Raja Amer.”

“Bawa Jihoon kemari, nanti gaji lu gue naikin.”

“HIRARKI LU AMA GUA SAMA YA BANGSAT.”

“Manusia boleh berharap Nyong, tapi yang menentukan tetap seberapa canggih usaha lu tetep beliau.”

Seberapa canggih usaha lu, buat Soonyoung sendiri adalah sebuah tantangan. Jadi biarin deh temen-temennya itu sibuk dengan problematika masing-masing. Dia, mau menantang dunia yang kalau hasilnya baik juga akan jadi kejutan buat dirinya sendiri.

Kocaknya, Soonyoung jadi punya beberapa okasi buat diceritain. Goals utamanya adalah dengan bikin Jihoon tau dia itu siapa; bukan panitia acara, atau sekedar temen kampus yang sama-sama butuh fotocopy tugas. Dia memegang kemudi sebuah band, dan dia mau Jihoon mengkomandokan suaranya.

Dan ironisnya, usahanya juga tergagalkan karena Jihoon lebih dulu mengelabui.

“Hey, boleh—“

“Sori, bisa gue tolak duluan aja gak? Gue lagi buru-buru banget.”

—kenalan gak…

“Gue lagi buru-buru, Soonyoung.”

“Hah?”

“Hah kenapa?”

“Lo kenal gue.”

“Dan lo mau nawarin gue join R&J.”

“Uh… iya?”

“Gak dulu ya, makasih.”

Selama seminggu berikutnya, Soonyoung bisa dibilang hampir gila mikirin berbagai probabilitas tentang gimana Jihoon bisa begitu tepat sasaran. Yang lebih parahnya lagi, Jihoon tau siapa dia.

Tapi setelah dipikir-pikir masalah terberatnya itu bukan kejutan yang Lee Jihoon suguhkan. Mimpi buruknya adalah dia itu yang sedari awal sudah menyatakan bahwa ia enggan bergabung.

Sekarang mari kita masuk ke dalam bagian terkonyolnya: anggaplah Soonyoung kini berakhir dengan menghalalkan segala cara untuk menciptakan koinsidensi antara dirinya dan Jihoon. Tetapi kemudian semua probabilitasnya berujung petaka.

Atau, mungkin, petakanya diam-diam adalah simbol kebetuntungannya.

Hari itu Soonyoung sengaja berkunjung ke auditorium kampus. Mata-mata rahasianya mengatakan Jihoon akan berada disana sebagai salah satu panitia, dan sama sekali tidak mungkin Soonyoung akan melewatkan kesempatan itu.

Pun belakangan dirinya lebih terlihat seperti stalker yang terobsesi, toh Lee Jihoon tetap paling parah hanya akan memutarkan bola matanya malas ketika yang dilihatnya adalah lagi-lagi Kwon Soonyoung.

“Nyari apaan lagi?”

Dia cuma bisa nyengir. “Udah sarapan, Jihoon?”

Yang ditanya mulai membuka jaket kulit dan ranselnya perlahan. “Udah.”

“Ooh.”

“Ngopi gak?”

“Engga, makasih.”

Tengkuk yang diusap asal itu adalah simbol dari kekikukannya ketika Jihoon mulai sibuk dengan telepon selularnya. Soonyoung berusaha memindai seisi ruangan agar matanya jatuh kemana pun asal bukan Jihoon.

Sirkusnya, selalu berakhir seperti ini. Dirinya dan Jihoon hanya akan saling berdiam, pun kesempatan Soonyoung untuk kembali menjadi persuasif banyak adanya.

Sampai akhirnya Jihoon untuk pertama kalinya duluan menyapa.

“Ada korek?”

“Hah?”

“Korek.”

Soonyoung kepalang salah tingkah. “Ko—bentar—kor—ini—nih. Korek.”

Jihoon menertawakannya. “Pegangin.”

“Gimana?”

“Nyalain, terus pegangin.”

Soonyoung dengan wajah datarnya menurut, gemetar memfungsikan benda di genggaman. Di depannya, Jihoon menyelipkan sebatang rokok pada kedua bibirnya sebelum maju mendekat.

Soonyoung memundurkan satu langkah kakinya ke belakang dengan panik, dan berakhir menjatuhkan korek itu ke lantai bumi. Atau, korek itu menjatuhkan dirinya sendiri.

Lalu ruangan itu terbakar api.

Shit!

Kwon Soonyoung kalang kabut mencari sesuatu untuk memadamkannya, dan di sisi lain Lee Jihoon sibuk tertawa.

Shit, shit, shit!

Lee Jihoon masih tertawa, Kwon Soonyoung panik menyirami kain yang terbakar dengan air.

“Ji, bantuin dong!”

Lee Jihoon semakin terbahak, Kwon Soonyoung menginjak-injak api dengan sembarang.

Beberapa kru panggung akhirnya ikut menghampiri dan dengan sigap membantu Soonyoung memadamkannya. Masih dengan paniknya Kwon Soonyoung mengusap pelipisnya yang berkeringat, dan Lee Jihoon berani-beraninya bersandar pada salah satu tembok dengan tangan yang dilipat dan asap rokok yang mengepul di depan wajahnya.

Brengsek, Soonyoung membatin dalam hati.

Tragedi itu membuatnya harus berurusan dengan beberapa ganti rugi dan segala macamnya atas nama fasilitas kampus, lalu masih dengan cengeges di wajah Jihoon menepuk pundak dan memberinya jempol.

Nice.

“Bacot.” Adalah satu-satunya sumpah serapah yang dapat ia lontarkan, namun alih-alih terdengar kasar hanya ada kefrustrasian di dalamnya.

Keduanya sekarang tengah mendudukan diri di trotoar; bersebelahan, saling berdiam. Namun entah mengapa heningnya bukan dalam artian buruk.

Dan lagi-lagi Lee Jihoon dan bibir ranumnya mengeluarkan hal-hal yang tak terduga.

“Jadi, offeringnya gimana?”

Dirinya mendengus. “Udahlah Ji, gak usah mancing-mancing.”

Si dia membalas dengan kekehan. “Langsung ketemu yang lain aja atau lewat lo?”

“Ini serius atau bercandaan si?”

“Lo maunya gue bercanda?”

“ENGGA, ENGGA!” Dengan sigap ia menoleh ke arah pemuda di sebelahnya. “Ketemu yang lain dulu. Deal?

Jihoon mengangkat kedua bahunya santai. “Oke.”

Soonyoung mencoba menahan senyumnya dengan menyembunyikannya dibalik telapak tangan, namun kalau dipikir-pikir Jihoon bahkan sudah melihat sisi termemalukannya dalam kurun waktu beberapa menit.

Jadi, apa lagii yang perlu ditakuti?

Junhui.

Bukan, awalnya bukan disengaja. Iya, yang seterusnya itu disengaja. Galon pecah, itu tragedi. Token listrik abis, itu namanya akal-akalan.

Kenapa dia ngelakuin itu? Kurang lebih karena tetangga sebelahnya terlalu seru untuk gak dikerjain. Tutur katanya yang selalu sabar dan atentif dalam menanggapi segala kebodohan Junhui, dan caranya dalam membimbing dan mengayomi pada setiap hal absurd yang Junhui ciptakan.

Makanya itu, dia jadi betah ngerjain. Betah ngulang-ngulang kesalahan bodoh yang cuma akan bikin dia diceramahin, dan betah ngeliat gimana tentangga samping kamarnya yang notabene orang asing itu berperan dengan begitu bisa diandalkan pun Junhui hanya bisa menjadi beban.

Ditambah lagi, beliau bisa main gitar. Ditambah lagi, R&J lagi butuh gitaris.

Lama-lama, dia baru sadar bahwa ini adalah rasanya diaminkan semesta. Lama-lama, Junhui jadi sadar kalau ada ketertarikan tersendiri yang ngebuat dia akhirnya ngelakuin ini. Lama-lama juga, dia mendapat pencerahan kalau tingkahnya agak konyol.

Junhui tadinya mau beralih ke cara konvensional. Maksudnya ya bertingkah normal aja, tanpa embel-embel Eh bon cabe gue kayaknya kadaluarsa. Punya lo kadaluarsa juga gak? Kalo engga berarti gue bisa minta. Tapi belum sempat menjadi waras, dia tuh lupa kalo punya temen-temen super bangsat.

Dan yang lebih bangsat dari temen-temen super bangsat, “Yang lain sebenernya masih masuk akal sih, cuma gue gak ngerti aja kenapa galon lo selalu pecah.”

Junhui menutupi wajahnya yang memerah dengan telapak tangan, berharap dengan cara itu bumi akan segera menelannnya. “Oke, gak perlu dilanjutin.”

“Terus tuh, kamar sering ada yang ketok-ketok beneran kejadian atau kejadiannya di dalam khayalan lo aja?”

Tadi tuh sewaktu anaknya jawab hahaha di group, perasaan dia udah gak enak. Ini kan berarti antara beliau ngerti, sama pure ketawa aja. Terus jadi Junhui pura-pura bego dengan main ke kamarnya seperti biasa. Gak taunya, dia malah ditodong dengan lebih parah.

Terus sekarang, Junhui harus diduk di kursi meja belajar si empunya kamar dengan seluruh penjagaan yang bisa ia keluarkan jurusnya.

“Gue cabut ya lama-lama hak lo untuk berbicara.”

Tanggapan Minghao pada saat itu hanya dengan kekehan. Dan kalau boleh jujur, Junhui merasa seperti akan membotakan rambutnya sampai habis.

“Gapapa, gak akan gue laporin ke bapak kost juga hal-hal unik yang biasanya lo perbuat.”

“SUMPAH YA…”

Tawa Xu Minghao semakin meledak-ledak. “Apa?”

“Jujur sama gue.”

“Jujur apa?”

“Lo nih sebenernya udah tau dari awal ya?”

Yang ditanya menggigit bibirnya. “Menurut lo?”

“Menurut gue gak ada orang yang lebih merasa dipermalukan daripada gue sekarang.”

Si dia menggelengkan kepala keheranan. “Lucu dah lu.”

“Memang.”

“Memang lucu?”

“Betul, memang saya lucu.”

“Yaudah, lucu aja terus.”

“Gak. Usah. Nyindir.” Entah kerasukan apa, emosinya itu menyulut jemarinya untuk mencubit pinggang sang pemilik kamar. Dan bukannya mengajukan sebuah protes, si Minghao itu malahan menyimpulnya bersama sebuah tawa.

“Ampun, ampun.”

Bola matanya diputar penuh sarkas. “Eh, ngomong-ngomong…”

“Iya, ngomong-ngomong kenapa?”

“Bonge pernah curhat sesuatu ke gue.”

“Oke… curhat apa tuh?”

“Sebenernya lebih ke uring-uringan ajasih, pas awal-awal. Lo kayaknya beneran nunjukin ke kak Wonwoo kalau lo tuh anti banget gitu sama si Bonge. Ya iya sih, kawan gue tuh track recordnya emang jelek ya… Tapi lebih masalahnya, alasan dibalik lo sebegitunya untuk hal yang berkaitan dengan kak Wonwoo. Gitu…

“Urusannya sama Bonge apa, nih?”

Junhui memasang wajah skeptisnya. “Emang harus banget ditanya dulu urusannya apa? Kalau ditanya gitu, kesannya jadi kayak ada urusan dan lo gak mau orang-orang tau.”

“Kalau mau tau gue sama kak Wonwoo ada hubungan apa nanyanya gak usah sebelibet itu juga sih, Pi...”

Skak mat. Junhui sekarang, terasa seperti sedang terjun payung secara bebas tanpa parasut dan terus melayang namun dasar bumi tak jua kunjung tiba.

You know what? I think i don’t really like you that much.”

“Ooh, berkurang gitu? Sebelumnya berarti lebih banyak?”

Pelipisnya ia pijiti dengan frustasi. “Ya oke, skenario yang kemarin-kemarin itu semua gue yang memalsukan. Ini adalah deklarasi kebohongan gue. Fine. Puas? Udah bisa dipotong sarkasnya? Ini kan yang lo mau? Apa gue perlu berlutut juga atas ajakan bergabung dengan R&J?”

Xu Minghao mengulum bibirnya sebelum menjawab pelan, perlahan. “Murni tetangga dari kecil aja sih, gue sama kak Wonwoo.”

Tanpa disadari Junhui menemukan dirinya menahan napasnya.

“Gak pernah ada rasa suka karena emang udah kayak kakak sendiri, dan ini beneran bukan cuma asal ngomong aja. Jadi wajar dong kalau gue defensif dia dideketin orang kayak Bonge?”

“Iya sih…”

“Pun rasanya lebih dari perasaan adik ke kakak, gue sama kak Wonwoo juga temboknya ketinggian.”

“Tembok…”

“Iya.”

“…Ketinggian”

“Heeh.”

“Tembok keti—sori, GIMANA?

Seokmin.

Dari dulu, kayaknya dia udah skip banyak hal deh. Pertama karena pas baru masuk ke kantor si Seokmin ini udah direkrut sama Duta Jajan Kantor yang tak lain dan tak bukan adalah kak Jeonghan dan kak Wonwoo. Keistimewaan yang dia dapat datang dalam bentuk Seokmin yang gak harus banyak ngelewatin pengalaman-pengalaman otentik dalam menjadi seorang fresh graduate.

Karena terlalu fokus menjadi dayang-dayang mereka dan memantau permasalahan romansa yang terkadang dipunyai masing-masingnya, Seokmin juga berakhir sering ngelupain hal-hal potensial yang ada disekitarnya. Misalnya nih: kemarin itu dia jadi sibuk dengan seluruh huru-hara Mingyu si anak magang dan Wonwoo si kakak mentor senior, terus lupa bahwa pada sisinya sendiri dia pun bisa menjadi si pemeran utama.

Semua berawal dari program televisi yang projectnya udah dia fokus garap dari awal tahun banget. Konsepnya mirip-mirip Indonesian Idol, tapi udah jadi tugas dia dan tim untuk menemukan apa yang beda. Dan lalu seiring berjalannya waktu project ini mendapatkan approve dan develop yang solid.

Ini project pertama banget yang dia garap sendiri tanpa campur tangan senior yang lain, jadi buat Seokmin excitmentnya beda sendiri.

Ada juga sebuah excitment yang rasanya beda tapi dia gak pernah nyadar kalau itu ada sampai momentnya dateng sendiri: having Hong Jisoo around, accompanying him during this project.

Ya, susah sih. Dia sama si anak magangnya sendiri gak punya momen-momen magis kayak si kakak senior sama ‘Bonge’nya. Dia cuma mas-mas biasa aja kadang kemeja flannel kotak-kotak kadang kemeja katun Uniqlo, dan gak banyak aspek dalam hidupnya yang bisa diglorifikasi jadi kisah novel.

Jisoo ke dia juga biasa-biasa aja. Anaknya kadang rada lemot dan butuh kesabaran buat kasih dia briefing dengan pattern yang belibet, untungnya pas lagi kerja critical thinkingnya jalan banget. Cuma ya, gitu, pulang kerja terus makan ketoprak bareng dia isinya dari awal sampe akhir hening doang.

Tapi terus Seokmin punya sebuah okasi bernama titik balik. Menuju akhir tahun ini, dia harus syuting episode pertama program yang udah kayak anaknya sendiri. Dan deg-degannya bukan main.

Cuma tantangan terbesarnya, acara ini tayangnya live. Kesalahan dikit aja dia kelar.

Dan sialnya, beneran kejadian.

Klasik dan klise, bukan?

“Ini seriusan apa bercandaan?” Suaranya mungkin terdengar tenang. Tapi kalau boleh jujur, tenggorokannya itu kayak habis kepental tonjokan samsak.

Salah satu timnya dengan papan jalan di genggaman memberinya tatapan prihatin. “Muntaber, Seok.”

“Dari seluruh waktu yang ada di dunia ini, harus sekarang...”

Tatapan prihatin itu berubah menjadi raut kepanikan. “Sori banget… tapi kita bener-bener harus mikirin solusinya.”

“Umumin kalau peserta yang ini gak jadi tampil dan kita cut ke yang selanjutnya?”

“Di broadcast pertama kita banget?”

Rambut di kepalanya ia acak-acak dengan begitu ekstrim hingga kulit kepalanya kini merasakan nyeri. “Tolong bantuin gue mikir.”

Partner kerjanya memasang wajah horor. “Oke… uh… mungkin—“

“Kak biar aku yang pura-pura jadi pesertanya!!!”

Hong Jisoo si anak magang yang butuh lebih dari setengah jam untuk bisa mengerti denah acara setelah dijelaskan berkali-kali, berlari menghampiri mereka.

“…Gimana, Soo?”

“GAK ADA WAKTU BUAT NGEJELASIN!!!” Barusan adalah pertama kalinya Seokmin mendengar suara Jisoo selantang itu. Yang bersangkutan kini sedang melucuti seragam kantornya secepat kilat, dan pun telah dibentak dan diberitahu bahwa mereka tidak punya waktu, Seokmin masih butuh waktu untuk memproses.

“Ini kamu mau maju? Mau dibroadcast?”

“Aku butuh keyboard.”

“Oke.” Instingnya langsung bergerak menjentikan jari agar salah satu krunya mulai bergerak.

“Dan mic.”

“Dan—“ Jedanya itu ia gunakan untuk menggantung rahang. “Buat ngomong, atau buat—“

“KAK!”

Jarinya kembali dijentikan. “Oke. Mic. Let’s go.

Dalam hitungan detik semua kru bergegas dan bergerak cepat. Bahkan ditengah sistem kerja otaknya yang masih mempertanyakan ini dan itu, Seokmin masih bisa melakukan banyak hal di waktu yang bersamaan; mengomandokan kru-krunya yang lain, memantau keseluruhan rundown, memastikan acaranya tetap dalam jalur, dan berdiri di pinggir panggung gelap tanpa sorotan lampu ketika Hong Jisoo menjejakan kakinya ke atas panggung.

Banyak rasa penasarannya terhadap dunia yang belum tertuntaskan seperti bagaimana rasanya pingsan, atau mimisan, atau kesurupan, atau terhipnotis. Tentu masing-masing dari hal tersebut minimal sudah pernah direpresentasikan oleh teman-temannya, namun tak ada satupun dari itu yang pernah benar-benar ia mengerti.

Lalu secara tiba-tiba hari ini ia diberi kesempatan untuk merasakan pengalaman terhipnotis. Dan penyebabnya, adalah Hong Jisoo. Katanya dalam kasus paling sering terjadi, hipnotis artinya mengerti bahwa ada yang salah dalam sesuatu namun pada kenyataanya tak ada penolakan yang dapat keluar dari bibir.

Seokmin menerapkannya dengan berdiri mematung dan sepenuhnya terpesona oleh si anak magang yang tengah menunjukan kebolehannya dalam semua yang adalah elemennya, and it was magical.

Dia tetap berdiri disana walaupun ear innya dihujani sejuta pertanyaan dan permohonan. Ia tetap berdiri disana, disaat walkie talkie di dalam genggamannya sedang berisik bukan main.

Seokmin menemukan dirinya menggiring Jisoo ke tempat yang lebih sepi setelahnya. Menyerahkan seluruh bakti tugasnya kepada sang asisten untuk beberapa waktu, dan berdeterminasi untuk menitikberatkan fokusnya disini.

Karena ia merasa ini adalah kebutuhan.

Karena ia merasa ini lama-kelamaan menjadi permasalahan hidup dan mati.

“Jisoo.”

Si anak magang yang punggungnya kini menempel pada tembok dingin itu berkedip dengan polos. “Iya, kak Seokmin?”

“Kamu bisa nyanyi.”

“Aku udah pernah bilang kalau aku anak band…”

“Kamu bilangnya kamu itu keyboardist.

“Barusan aku main keyboard.

“Bukan—“ Kepalanya menggeleng setengah mati. “—bukan itu.”

“Terus…? Gimana kak maksudnya?”

“Kamu gak pernah bilang kalau suara kamu sebagus itu.”

“Aku—“

“Atau kamu bisa jadi segemerlap itu di atas panggung.”

“Uh…”

Ear in dan walkie talkienya sekali lagi mengamuk, dan Seokmin dituntut untuk segera memotong pembicaraan ini atau karirnya akan segera menjadi serpihan.

Jadi dengan tangan yang bertolak di pinggang dan mikrofon yang menggantung di depan bibirnya itu ia mulai lagi mengumandangkan komando, sebelum mengembalikan netranya ke arah Jisoo.

“Abis acara, jangan kemana-mana dulu.”

“Ya kan emang ada evaluasi, kak…”

“Bukan itu maksud saya Jisoo…” Giginya menggertak, suaranya mengeram penuh kefrustasian. “Kita makan ketoprak.”

“…Hah?”

“Tapi kali ini, sambil ngobrol. Bener-bener ngobrol. Oke?”

“Ketoprak. Ngobrol. Oke.”

Keduanya mulai berlomba-lomba menampilkan senyum terbaiknya.

“Oke, kak Seokmin.”

Mingyu.

Kadang kalau lagi menghukum diri, luapan frustasinya gak akan jauh-jauh dari nyewa studio buat beberapa jam dan gebuk-gebuk drum sampe tangannya capek sendiri. Sampe sendi dan ototnya teriak minta ampun, sampe kaosnya udah basah banget dan badannya jadi menggigil kedinginan di bawah AC.

Terima kasih karena di dunia ini ada lagu-lagunya Avenged Sevenfold, marah-marahnya bisa dikamuflase jadi latihan ngeband. Biasanya sih gitu, kebanyakan waktu sih gitu.

Tapi belakangan semenjak ngerasa makin lama makin dewasa, di sadar kalau itu tuh problem solvingnya gak ada. Outputnya gak ada. Sisi positifnya paling-paling dada jadi plong.

Terus sekarang nih, dia lagi kepikiran macem-macem pas lagi magang gini. Pas waktunya disini udah tinggal bentar lagi, pas banget juga dia harus ngejalanin pembuktian lewat project yang dikasih ke dia.

Payahnya, Mingyu gak pernah ngerasa siap akan itu. Dia selalu ngerasa adalah anak tunggal yang nantinya gak harus urgent-urgent amat untuk langsung cari kerja, dan menganggur bukanlah sebuah hal yang begitu menakutkan.

Tapi terus bokapnya memutuskan untuk jadi brengsek, dan dalam sekejap dia dituntut memasang mindset sebagai orang dewasa.

Si Bonge yang tadinya petantang-petenteng, sekarang sibuk muter otak untuk bisa upgrade diri.

Jadi pusingnya sekarang, dia salurkan kepada misi penyendirian di kantor yang sudah kosong melompong dan gelap itu, seraya meninjau kembali laporan program yang hari Senin besok akan dipresentasikan secara final kepada para senior divisi.

Pun niatnya mulia, yang namanya hidup mah kebanyakan setannya. Banyak dari pertanyaan-pertanyaan programnya yang menurut dia sendiri faedah dan maknanya masih rancu, dan Mingyu gak pernah bener-bener ngerasa pernah mendapatkan jawaban.

Kalau udah kayak gini, kepalanya bakalan pecah bahkan bukan lagi secara harfiah. Pas udah kayak gini juga, dia malah kepikiran Wonwoo. Kepikiran rasa bersalahnya. Kepikiran kalau maaf dia gak pernah ada artinya. Kepikiran bahwa beban ketololannya malah dia limpahkan ke orang lain. Kepikiran kangennya.

Yang terakhir agak akut sih. Ternyata buah paling manis sekaligus pahit dari menghabiskan banyak waktu bersama seseorang, adalah rasa rindu. Dan dia lagi gak bisa merindu. Gak boleh.

Gak lama dari huru-hara yang terjadi di kepalanya, ada satu sosok yang siluetnya lama kelamaan mendekat. Orang itu refleksnya langsung ketawa waktu liat dia lagi merana duduk di kubikelnya.

Buat orang-orang penting kayak Seungcheol, ya wajar aja sih kalo dia masih ada di kantor sampe jam segini. Secara workload dia banyak, dan kita gak pernah tau juga dia ada urusan apa. Gak kayak kacung kampret modelan Mingyu, yang kelihatannya jadi kayak sengsara banget jam segini ngumpet sendirian disana.

Tapi permasalahannya itu adalah— “Lah, bapak bukannya harusnya di Singapur?”

Bosnya itu cengar-cengir, pelipisnya digaruk dengan jari sebagai jeda untuknya merangkai sebuah jawaban solid.

“Iya nih, cancel.”

“Waduh, kenapa pak?”

“Itu,” Seungcheol menunjuk gelas di meja dengan dagunya. “Ada lagi?”

“Kopi?” Balasnya, sebelum akhirnya mengerti kode yang diberikan si bapak. Kedua jempolnya diangkat ke atas dengan mantap. “Siap.”

Skenario ini gak pernah ada di kepalanya sebelumnya; ngopi bareng seorang Choi Seungcheol, di kantor yang udah sepenuhnya sepi. Biasanya dia menghadap si bapak kalau lagi di ambang hidup dan mati aja, dan Mingyu rada jiper juga secara ini orang yang nanti akan menentukan nasib permagangannya (setelah Wonwoo).

“Tadi tuh gue udah hampir mau jalan Gyu, masuk pesawat.”

“Oh iya pak, terus?”

Disclaimer dulu ini gue sejujurnya lagi ribut kecil sama pacar gue, makanya mau berangkat firasat rada gimana gitu.”

“Ribut kenapa pak kalau boleh tau?”

“Gitu lah, gue skip lagi acara keluarganya. Tapi yang bikin gue pusing tuh dia gak marah. Padahal kalau dimarahin gue malah akan jadi agak lebih plong berangkatnya.”

Dirinya terkekeh. “Paham, paham.”

“Susah sih, ngimbanginnya.”

“Agak lain ya pak, saya sebagai kacung kampret mah mau pake banget tukeran gaji sama bapak.”

“Tukeran tanggung jawab juga gak?”

“Nah kalau itu pikir-pikir dulu.”

Gantian bosnya yang tertawa. “Kecelakaan tuh, Jeonghan.”

“Hah?” Mingyu melongo.

“Itu kalau gue masuk ke pesawat terus take off, bener-bener gak ada harapan buat balik lagi.”

“Jadi taunya pas banget lagi jalan ke pesawat?”

“Iya. Terus disitu gue mikir, kaki gue nih maunya melangkah kemana. Yang tanpa sadar setara sama simulasi ketakutan gue selama ini; kalau dia bener-bener minta dilepas karena capek nunggu, gue bakalan baik-baik aja gak ya tanpa dia?”

“Terus bapak sekarang ada disini.”

Pria di depannya mendengus. Wajahnya terlihat lelah, beberapa helai rambutnya mencuat kemana-mana. “Dompet dia ketinggalan di kantor, gue nawarin buat ngambil. Sekalian nyuri-nyuri waktu buat mikir juga.”

“Bentar pak, gak ngerti saya.” Mingyu menahan Seungcheol untuk tak berbicara lebih lanjut. “Ini jadi bapak udah milih apa belom? Kenapa butuh waktu? Kenapa masih galau bener gue liat-liat?”

Yang ditanya hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh. “Gue milih Jeonghan, lah. Karena selama ini ternyata konflik batin gue cuma kejadian di kepala, cuma buat nakut-nakutin aja. Dan ternyata itu gue sendiri yang bikin jadi masalah. Problematikanya gak pernah bener-bener ada. Semuanya, cuma what if semata. Dan gue galau karena gue merasa tolol aja. Butuh waktu untuk gue nerima kenyataan bahwa gue salah, dan gue harus menyalahkan diri gue atas itu. Ego dan gengsi gue masih terlalu tinggi.”

Butuh waktu untuk gue nerima kenyataan bahwa gue salah, dan gue harus menyalahkan diri gue atas itu. Ego dan gengsi gue masih terlalu tinggi.

Mingyu pikir daripada belati, yang tadi itu lebih menusuk sakit tepat ke ulu hatinya.

“Jadi gimana, buat presentasi?”

Alis Choi Seungcheol yang naik dan turun itu malah membuat lututnya melemas sempurna karena gugup. “Gitu dah pak.”

Question udah oke semua?”

“Ini kalo boleh jujur dari kemaren konsep saya cuma bismillah atas izin Allah dan restu mama papa aja sih.”

Bosnya puas terbahak. “Coba lah, dicrosscheck lagi.”

“Sebenernya gue ada beberapa pertanyaan yang belom kejawab sih, belom nemu mau nanya ke siapa.”

Ekspresi yang ada di wajah Seungcheol sekarang agaknya rada unik. Terkadang, Mingyu bagaikan dapat berkaca disana. Atau memang sebagian besar mereka itu agaknya mirip, dan lagi-lagi mengakuinya adalah bagian yang tersulit.

“Mungkin sebenernya lo tau harus tanya ke siapa, Nge…” Matanya otomatis membulat ketika si bapak tiba-tiba melontarkan panggilan tersebut. Bibirnya tersungging lebar, seraya dengan telapak tangan Seungcheol yang jatuh pada bahunya. Lalu kalimatnya yang barusan menggantung ditutup rapi dengan, “…tapi mungkin lo masih ragu aja buat nanya ke orang yang tepat ini.”

Butuh waktu untuk gue nerima kenyataan bahwa gue salah, dan gue harus menyalahkan diri gue atas itu. Ego dan gengsi gue masih terlalu tinggi.

“KAK SUMPAH, lama banget lo ngambil—Nge? Eh, sori, Mingyu…”

“Nih.” Seungcheol mengangkat tinggi-tinggi dan menggoyangkan dompet Jeonghan yang ada di genggamannya. “Udah.”

Namun segala konfirmasi itu sama sekali tak menarik bagi Wonwoo. Netranya, hanya sempat berbinar-binar memandang ke arah si anak magang. “Mingyu ngapain disini?”

“Gapapa sih kak, ngelarin kerjaan dong.”

“Ooh…”

“Iya.”

“Oke.”

Seungcheol berusaha berdiri dari tempatnya dengan sepelan mungkin, dengan kedua tangannya yang kini terangkat ke atas seakan polisi tengah menodongnya dengan pistol.

“Gue tunggu di mobil, guys.” Ucap si bapak seraya mengulum senyum.

“Buat presentasi hari Senin?”

“Iya.”

“Nanti aja, besok kan weekend.”

“Nanggung sih kak, dikit lagi. Males juga bawa-bawa kerjaan ke rumah.”

“Oh, yaudah terserah.”

“Oke.”

“Oke.”

“Sebenernya, gue butuh bantuan buat crosscheck salah satu pertanyaanya.”

“Oke…?”

“Boleh minta tolong bantu jawab?”

Mingyu tak terbiasa dengan Wonwoo yang seserius ini. Wonwoonya, yang dagunya selalu bertengger di bahunya acap kali mereka bermotor. Yang celotehnya masuk tepat di telinga. Yang permohonan manjanya membuat seluruh kupu-kupu di perutnya riuh berdansa.

Wonwoo yang ini, adalah murni kakak mentornya.

Fine.” Si dia mendudukan dirinya di bangku yang tadi Seungcheol sempat duduki. Dagunya digoyangkan santai, dan sorot matanya penuh penjagaan. “Ask away.

“Seriusan gapapa?”

Yang ditanya merapatkan bibirnya, dan atmosfer mencekam itu membuatnya mual. “Tinggal ditanya aja, Mingyu.”

“Oke.” Napasnya ditarik pelan-pelan, dalam-dalam. “Do you… do you believe in second chance?

Yang ditanya tak serta-merta menjawab. Dibanding itu, dia lebih sibuk mematrikan pandangannya kepada Mingyu, menguliti sang bocah tanpa niat mengatakan apa-apa.

“Telat, Mingyu.”

“…Gimana, kak?”

Second chance itu, hasil dari orang-orang yang selalu telat. Karena dari awal udah telat, mereka gak boleh cepet-cepet balik. Harus ada yang dibenahin dulu dari penyebab ketelatannya itu. Supaya gak buang-buang waktu. Supaya gak jadi kesalahan yang sama.”

“Ah…” Angguknya. “I see.

“Kenapa lo kabur?”

“Hah?”

“Kenapa lo selalu kabur… kenapa lo lari-lari.”

Dalam seumur hidupnya, Mingyu tidak pernah tahu menelan rasanya bisa sesusah ini.

“Karena gak punya jawaban. Kayak… lebih gampang, daripada jawab engga. Karena sejujurnya gue gak mau bilang engga. Kalau jawabannya engga, berarti semua selesai.”

“Lo… jahat banget, tau gak?”

“Iya kak.”

“Gue bukan orang masokis yang akan bertahan pada situasi kayak gitu. Gue cengeng Nge, dan lo tau itu.”

“Iya…”

Dan hening.

“Gue harus—“ Wonwoo buru-buru berdiri dari kursinya. “—rumah sakit. Kak Jeonghan tangannya patah.”

“O—“ Mingyu pun, ikut bangkit dengan kikuk. “—Oke.”

“Oke, duluan ya.”

“Kak Cing.”

Yang dipanggil mematung secara instan. Nama itu terlalu mengandung banyak sihir, banyak mantra, banyak dongeng, untuknya bisa sekedar lupakan. Nama itu akan selalu membuatnya istirahat di tempat, walaupun itu artinya mengorbankan harga diri.

Namun mungkin batasannya hanya sampai disitu. Namun mungkin Jeon Wonwoo memberikan teka-teki tentang kesempatan keduanya lewat kaki yang dipaksa memaku ke lantai bumi untuk sekedar meladeni seorang Kim Mingyu.

Bonge nya untuk waktu yang begitu singkat.

“Iya, Nge…”

Ada tangan-tangan tak kasat mata yang kini meremas dadanya. “Nanti, kapan-kapan, kalau semuanya udah dibenahin… boleh? Mungkin—mungkin gak disini. Mungkin status gue juga udah bukan mahasiswa lagi. Mungkin sewktu R&J udah lebih besar. Mungkin lewat temen yang mungkin saling kenal. Mungkin juga bisa lewat dating apps.

Dengan air mata yang berkumpul di kelopak dan keras kepala enggan turun itu, Wonwoo mengangguk. Penglihatannya buram, namun mungkin itu opsi terbaik yang saat ini dipunyainya. Melihat Mingyu berpresensi dengan begitu nyata, hanya akan membuat prosesnya semakin sulit.

Dan bibirnya itu untuk saat ini hanya mampu berkata, “Mungkin juga bisa lewat dating apps.”

“Dan kalau itu kejadian, gue akan tanya setiap harinya sama lo: jantungnya udah deg-degan belom gara-gara Nge?

Bulir air mata itu kini resmi turun. “I’ll be looking forward to it.

“Oke, kak Cing.”

“Oke, Bonge… Farewell.

Farewell.

— : a work of commission
— : Sunwoo x Eric
— : part of Indekos Poci (ALTERNATIVE ENDING)
— : words count // 7k
— : tags // adolescence, romantic comedy, domestic fluff
— : 🔞 profanity, mild sexual content
— : ⚠️ having no cause-effect into the original plot whatsoever

Sisi lain dari Sunwoo, sisi baru dari Eric; bertemu pada 31 Desember di malam tahun baru.

Cerita ini akan diawali dengan sebagaimana harusnya sebuah cerita diawali jika itu menyangkut tentang Kim Sunwoo; ketololan gue. Karena apa? Karena gue selalu tolol. Cuma ya, yang kali ini variannya beda aja. Kayak semisal kalau kemarin gue sempet tolol gara-gara ngebercandain orang sampe keterlaluan, yang kali ini gue lagi dapet giliran buat dicap gak peka.

Wkwkwk, gak peka.

Yang bilang gitu bukan subjeknya langsung sih, melainkan Mahkamah Agung cabang Poci beranggotakan tiga biduan. Curhat sama mereka bisa jadi hal yang tricky banget; di satu sisi gue bisa dapet jawaban instan, di sisi lain gue cuma bisa dapet hikmah sama makiannya aja.

Padahal pertanyaan gue cukup sederhana: kenapa ya kak, Eric selalu nolak gue jemput di sekolah? Gak cuma di sekolah sih, in general aja disaat kita tau kalau bakalan ada orang lain disana.

“Masa kak, tempo hari gue samper dia kelar kerja kelompok tapi dikasih share loc sekitaran gang sepi? Emangnya gue abang Grab? Ojek online aja jemputnya sesuai titik.”

“Ya lo tanya ke dia gak alasannya?”

“Udah bang Je. Tapi lu kayak gak tau adek lu aja dah, juara satu olahraga cabang mengganti topik pembicaraan.”

Lagi-lagi bukan solusi yang gue dapet, tapi mereka yang ngangguk-ngangguk setuju doang. Kayak, ya buat apa ngehe.

“Jadi gimana nih?” Gue mulai gregetan dan demanding.

“Tadi rumusan masalahnya apa ya guys?”

Lirikan gue segera setelah itu ke kak Changmin udah menyerupai meme gue udah muak banget. “Eric gak mau gue menampakan diri di depan teman-temannya.”

“Oh. Kenapa tuh?”

Gue, kak Chanhee, bang Hyunjae, sama-sama menghela napas frustasi sambil sengaja mendorong tubuh kak Changmin sampai doyong ke atas karpet. “Udah lah kak, emang gak seharusnya gua berekspektasi.”

“Eh, eh, mau kemana?! Gondes? GONDES!”

“MANDI!”

Sepengingatan gue, kayaknya gue udah pernah cerita sebelumnya kalau mantan gue yang dulu semuanya cewek. Dan atas dasar pengalaman itu pula gue berani berspekulasi bahwa semua cewek-cewek itu gak ada apa-apanya dibanding Eric. Karena kalau mereka bisa bersikap ambigu, Eric Sohn BISA LEBIH ambigu sampai kadang gue gak bisa ngapa-ngapain selain ngerasa kayak orang tolol.

Ini gue bicara diluar misteri tentang keluarganya ya, itu sih beda kasus deh. Gue gak ada hak menilai indikator sikap dia soal masalah gituan. Konteks ambigu yang gue maksud disini adalah moodnya ke gue yang suka naik turun. Bedanya kalau tombol bisa dipilih mau on atau off, nah ini saklarnya keburu korslet.

Dulu gak begitu amat, tapi setelah urusan gue dan Mbul udah kelar semua makin menjadi-jadi.

Gue inget banget awal mula kejadiannya tuh semenjak peristiwa sepulang kita dari Indomaret. Gue pegang satu kantung plastik isi camilan di tangan kiri dan es krim stick di tangan kanan, dan Eric pun sama kecuali tangan kirinya yang kosong dan dimasukin ke dalam kantung.

Dari gapura sampai depan pos ronda kita santai-santai aja ngobrol. Gue guyon dia ketawa, dia curhat gue ngedengerin, gue nyanyi dia ngatain bacot, dia bilang rasa es krim yang dia pilih enak terus gue iseng gigit sampai sisa setengah.

“Sunwoo lu yang bener lah.”

Gue masih berada diantara situasi brainfreeze dan perhitungan strategi genjatan senjata ketika mendapati Eric dengan wajah datar namun mematikan. “Iya bener Gong rasanya enak.”

Wajah datar itu sekarang jadi sepaket sama tatap mata ojan. “Banyak banget lu gigitnya bangsat gue aja baru nyobain sedikit.”

“Yaelah.”

“KAGA ADA YAELAH NYET—”

“Mau balik beli lagi?”

“Bukan esnya yang harus dibeli lagi tapi akhlak lu yang harus diperbaikin.”

“Yaudah nih gue balikin.”

Yang gue maksud dari balikin, itu bukan apa yang udah gue telen terus dilepeh lagi. Bukan juga gue sprint ke Indomaret buat beli yang baru. Bukan juga solusi lain yang mungkin lo pada kira tapi sama gue gak kepikiran. Solusi yang pada kala itu gue tawarkan adalah; gue yang memposisikan diri di depan Eric, berjalan mundur mengikuti si dia yang berjalan maju, merangkuk ceruk lehernya, dan mencuri kecup di bagian bibir sana.

Gue gak tau sih pada saat itu lagi kesurupan khodamnya siapa, tapi sebagian besar impulsivitas dalam hidup gue lakukan dengan mengabaikan akal sehat. Yang artinya, barusan itu salah satu contohnya.

Respon Eric lumayan bikin rasa panik gue surut dikit sewaktu anaknya malah ngebercandain situasi dengan membenturkan kening gue dan kening dia, cukup kencang karena gue bisa denger suara DUG! Habis itu gue lanjut sok-sok mau nyerang lagi, Eric yang cemberut mau tapi malu, gue yang masih berjalan mundur santai sambal mengedipkan mata genit, Eric yang pura-pura menendang kesal, dan gue yang melempar kepala ke belakang untuk tertawa hingga akhirnya memeluk Eric begitu erat.

Masalahnya cuma ketololan gue (kan, gak ada abisnya tuh tingkah tolol) barusan kurang crosscheck dan berakhir bencana. Kecupan platonis (alah tahi kucing) tadi, disaksikan oleh mas Mingyu yang sedang menyiram tanaman dan aspal (apakah menyiram aspal merupakan sebuah syarat wajib dalam menjadi pria paruh bayah yang seutuhnya?), dan penduduk Cendana Indah lain yang entah bagaimana berkonspirasi dalam menyaksikan kejadian tersebut dari rumah masing-masing.

Gue dan Eric, berdiri di tengah jalan kompleks bagaikan remaja yang baru aja terkena grebek satpol PP sedang kumpul kebo di dalam rumah kontrakan.

Eric berjalan meninggalkan gue tanpa mengatakan apapun setelahnya. Langkah yang pelan untuk ukuran orang yang sedang menahan malu seraya kepalanya yang menunduk, walaupun gue gak kalah kikuk dengan tangan mengepal serta malu yang ditahan. Ditambah keheningan yang memenjarakan kala itu, dan suara kucuran air dari selang mas Mingyu sebagai pelengkap sitkom kami.

“Permisi, abang dan kakak-kakak…” Ucap gue datar dan tertekan.

Dan kemudian kabur bersama harga diri yang tersisa.

Eric memusuhi gue setelah itu. Ketika gue bilang memusuhi, artinya adalah bangkitnya sisi kekanak-kanakan dia dengan ngambek yang tak ada habisnya. Gak ngebolehin gue masuk ke kamarnya lah, gak mau makan bubur yang udah gue beliin lah, gak mau ngomong sama gue lah, dan papasan sama gue tuh kayak semacem dosa besar gitu.

Tapi nih, begitu gue todong, begitu gue labrak dengan pertanyaan Eric marah sama Sunwoo? feedbacknya malah bikin gue tambah migrain. Gue harap sih jawabannya engga. Bukan karena gue gak mau dia marah, tapi lebih ke bingung nyari alasan marahnya. Ya masa gara-gara-gara gue peluk doang marah sampe segitunya? Biasa pas di kamar juga lebih.

Jawaban fix no revisinya (ambigu lagi anjeeeng) cuma kaos gue yang ditarik-tarik dan digulung pelan barengan sama kalimat, “Engga kok. Sunwoo mau nemenin Eric nonton film hantu di Disney Hotstar gak? Yuk.”

Ujung-ujungnya, hari-hari penyiksaan yang gue alami cuma bisa gue telen sendiri tanpa kunci jawaban.

Nah, itu baru yang kesatu. Sekarang gue ceritain yang kedua.

Jadi waktu itu gue inget banget lagi hari Sabtu. Sebenernya sih gue gak harus kerja keras motoran Kalimalang – Depok buat ngampus, tapi ada satu dosen kampret yang dengan semerdekanya mindahin kelas pengganti di weekend. Jadi disaat sebagian anak Poci pagi itu pada santai sarapan, gue harus fafifu wasweswos dari mulai mandi, nyari baju, nyiapin tas, dan turun ke bawah dengan perut keroncongan pada pukul tujuh waktu Indonesia bagian barat.

“Lah, mau kemana lo Des?”

“Menuntut ilmu, bang Kev.”

“Ke negeri Cina?”

“Ke negeri Depok.”

“Ooh. Mangat, mangat.”

“Kasih bunga dong biar mangat beneran.”

“Bunga mawar?”

“Bunga bank.”

Kepala gue kena geplak kak Chanhee. “Tuh, roti bakar makan.”

“Pagi juga kak… Tengkyu loh atas sambutan meriahnya.”

Sarkasme gue diabaikan, dan mata gue mulai memindai ke seluruh ruangan untuk mencari seseorang. “Eric mana dah?”

“Belom bangun deh kayaknya, Des…” Barusan yang jawab itu bang Jacob, tangannya sibuk ngoles mentega ke roti tapi matanya berfokus ke gue. “Gih bangunin, biar sarapan bareng. Nanti dia bangun lo gak ada jadinya ngambek.”

“Dia mah tiada hari tanpa ngambek, bang.”

Respon bang Jacob cuma ketawa. Terus kepalanya noleh ke samping. Abis itu matanya membulat. Gue juga jadi ikutan noleh. Ternyata, ada Eric yang baru turun dari tangga dengan piyama dan rambutnya yang mencuat kemana-mana. Jangan lupakan jemarinya yang mengusap kelopak mata dan menyebabkan jalannya jadi oleng ke kanan dan ke kiri.

“Pagi…”

“Pagi, bayi…” Satu Poci berpaduan suara.

Dia kayaknya belum sadar akan kehadiran gue disana. Dia kayaknya juga belum sadar kalau gue berpakaian rapi dari ujung kaki sampai ujung kepala (kalau jeans, kaos, dan kemeja flannel oversized bisa disebut rapi), dan dia juga belum sadar kalau gue lagi ngeliatin dia dengan senyum sumringah sambil ngunyah roti.

“Iler bersihin dulu, iler.”

Anak itu langsung mencari-cari sumber suara. “Lah.”

“Apeee.”

“Udah bangun lu.”

“Udah dong.”

“UDAH RAPI LU.”

“Udah lah.”

“Mau kemana?”

“Ngampus.”

“Ngampus mulu sarjana kagak.”

“Sekarang siapa gua tanya yang kuliah baru maba langsung loncat sarjana?”

“Gue entar.”

“Bener ya? Kalau kagak? Taruhannya apa?”

Uda mengintervensi. “Pamali taruh-taruhan…”

Gue dan Eric lanjut berdebat. “Taruhannya ya gak ada.”

“Dih, masa gitu. Curang.”

“Tau ah.” Si dia meninju pinggang gue. “Sunwoo pulangnya jam berapa?”

“Sore dah kayaknya.”

“Emang kelasnya banyak?”

“Cuma satu.”

“Kok pulangnya sore?”

“Ya kan abis itu main.”

“Yaelah…”

“Kok yaelah?”

“Kagak tau.”

Sama dah, gue juga kagak tau. Sama lagi males ngeladenin. “Yaudah gue jalan yak. Oleh-oleh apa nih?”

“Bakso Cuanki khas Bandung yang belinya harus langsung di Bandung.”

“Ke Depok dah ini gua, Gong.”

“Alah, gitu aja gak bisa.”

Monyet, gemesin bat. “Seriusan jalan dulu gua. Sarapan tuh lu.”

“Iye.”

Nah, kita mulai lagi dulu blundirnya. Untuk kesekian kalinya gue gak tau kesurupan khodam apa, tapi lagi-lagi impulsivitas gue cuma bisa ngehasilin petaka doang. Kayak semisal yang kali ini, gue reflek aja ngusap rambut di atas puncak kepalanya dan maju mendekat buat ngecup pipi.

Pas lagi kayak gitu tuh, tiba-tiba semua orang jadi nengok ke arah kita sambil bengong. Abis itu memicingkan mata. Abi situ menggeleng penuh prihatin. Kan kampret. Terus ditambah Eric yang langsung mengambil satu langkah mundur ke belakang dengan wajahnya yang merah padam.

Kalimat terakhirnya sebelum berbalik badan dan meninggalkan gue di tempat adalah, “Sunwoo bego.”

Dan yang terjadi selanjutnya kurang lebih kalian udah tau. Lagi-lagi gue dimusuhin, lagi-lagi gue gak dikasih penjelasan, lagi-lagi pas ditodong Ini Eric marahnya gara-gara apa sih? jawabannya cuma Apaan dah lu, cepet tuh tuang bumbu mie airnya udah mau mendidih.

Harusnya gue bisa counter omongan itu. Harusnya gue bisa berargumen dengan kalimat yang diawali dengan Engga Gong, nanti dulu. Terus ngambek dan ngediemin gue tuh maksudnya gimana? Ini masalah cium pipi di depan yang lain? Gak nyaman? Atau gak boleh? Kenapa? Gue kelewatan? Tapi kaga gue lakuin weh. Jalan pintasnya, ya anggap kayak gak pernah kejadian aja.

Nah, kasus kedua tuh. Sekarang kita berangkat ke prahara ketiga. Yang masih anget. Yang masih belum bisa gue ceritain secara tuntas karena ceritanya emang masih menggantung. Yang barusan banget gue curhatin ke The Biduans dan tak membawakan faedah.

Ini kebetulan gue lagi ngobrol sama orangnya di telepon, tapi daritadi intinya muter-muter gak jelas aja gitu. “Lu tadi pagi emang ke sekolah dianter siapa?”

“Bareng sama bang Ujuy.”

“Terus pulangnya gue jemput nih?”

“Lu dimana sih? Emang gak ngampus apa.”

“Udah balik, ini nongkrong di tempat biasa bareng bang Ibop.”

“Ooh.”

“Lu lagi istirahat?”

“Lagi nyalin PR temen.”

“Yang bener-bener aja lah, Gong.”

“Ya sambil makan, kan gue bawa bekel dari bang Juhak.”

“Yaudah nanti jadinya gue jemput nih?”

“Kaga usah.”

“Dih, gimana dah?”

“Pokoknya lu jangan ke sekolah.”

“Ya terus mau dimana jemputnya?”

“Gue gojekan aja ke tempat lu sama bang Ibop…”

“Kaga jelas bat lu ERIC SOHN.”

“Gua serius, Des.”

“Gua juga serius, Gong. Udah lu diem nanti gue jemput di sekolah.”

“AH ELU.”

Daripada makin panas aja kuping gue ngangong-ngangong gak jelas, sambungan teleponnya gue matiin. Kalau emang gue harus labrak lagi (labrak mulu) anaknya buat masalah yang ini juga, yaudah nanti aja pas ketemu biar sekalian kelar.

Dan sebagai bentuk antisipasi biar anaknya gak kabur, gue udah cegat di depan pager sebelum bel sekolahan bunyi. Dilan kalah dah pokoknya.

Sebelum Ericnya keluar gue udah ketemu sama temen-temennya duluan. Udah tos bro-broan juga, udah ngobrolin perekonomian negara juga. Jangan tanya gimana gue bisa deket sama mereka, kadang ya tiba-tiba kejadian aja.

“Nungguin Youngjae, bang?”

“Iye. Mana tuh temen lu? Kaga keluar bareng dah.”

“Ke Kantin Kejujuran dulu dah kayaknya ngambil risol.”

“Et, ada aja bocah kegiatannya.”

“Nah, tuhkan orangnya dateng sambil ngunyah.”

“Enak banget apa itu Risol?”

“Enak bang, dalemnnya smoke beef.”

“Ape nih, ngobrol gak ngajak-ngajak gue?” Yang ditunggu akhirnya nyampe ke depan motor gue, dan mayonnaise yang nyangkut di ujung bibirnya refleks gue bersihin pakai jempol.

“Lu lama.”

“Risol dulu.”

“Iye. Cobain dong.”

“Ambil nih dari mulut gue.”

Gue menggertak dengan nyosor, anaknya mundur kaget. Kayak déjà vu, soalnya kita emang gini-gini aja. “Yah, cupu.”

“Tolol dah lu Sunwoo. Kagak jelas.”

“Lu berdua nyet, yang kagak jelas.” Felix ngegas, mungkin dia muak dan lelah.

Gue dan Eric sama-sama berdecak. “Udah lah Lix, cabut dulu gue.”

“Yooo. Have fun pacarannya.”

“Kita engga—” Eric memotong argumennya sendiri seketika, berdiam dan menarik napas dalam-dalam, menundukan kepala dengan bahu yang menurun, sebelum kembali mengadah dan naik ke atas motor gue. “Jangan lupa bagian PPT lu, Lix. Nanti kalau udah kirim ke gue yak.”

“Oke, Ric.”

“Sip.”

“Duluan, Lix.” Sapa gue sambil kembali memasang helm dan memberikan helm satunya ke belakang. “Tiati lu.”

“Siap bang.”

Gue yang langsung tancap gas, Eric yang pegangannya ke besi belakang bukan ke pinggang gue.

“Eric marah lagi nih ceritanya sama Sunwoo?” Adalah kalimat pertama yang keluar dari bibir gue sewaktu kita udah melaju cukup jauh dari sekolah.

“Marah apa sih? Emangnya Sunwoo liat Eric lagi marah?”

“Nih. Liat nih.”

“Fokus nyetir!!!”

Dengan kepala yang didorong paksa kembali menghadap depan gue kemudian berargumen, “Kan tadi ditanya bisa liat apa engga.”

“Ya terus? Abis itu kita nabrak masuk rumah sakit?”

“Sebenernya mah tanpa nengok juga Sunwoo bisa tau Eric lagi marah. Kan aku si paling ngerti kamu banget.”

“Geli.”

“Seriusan dulu weh, marah kenapa?”

“Gimana bisa jelasin kalau gue gak lagi marah, monyet.”

“Sunwoo tau Eric lagi ngambek, pasti itu. Yang Sunwoo gak tau alesannya apa. Abisan, perasaan daritadi aku gak ngelakuin sesuatu yang aneh-aneh dah.”

Bibir gue tersungging ketika jarak keheningan antara pertanyaan tadi diisi dengan Eric yang menjatuhkan dagunya ke atas pundak gue. Salah satu kegiatan yang paling gue suka dari motoran bareng dia ya ini, dan perasaan sewaktu digelendotin tuh. Begh.

“Karena Sunwoo jemput.”

Jawaban tadi sempat teredam suara gas motor. “Hah? Apaan?”

“Karena Sunwoo jemput.”

Gue merenung cukup lama pada saat itu. “Hah?”

“DENGERINNN kalau gue ngomong.”

“DENGEEERRR, elu yang gak jelas!” Gue mencoba mengalah sejenak. “Eric bener-bener gak mau dijemput sama Sunwoo?”

“Bukaaan.”

“Ya terus?”

“Ih… Eric cuma capek harus jelasin ke semua orang kalau kita gak pacaran. Kayak, ngebosenin dan repetitif. Terus ujung-ujungnya gak ada yang percaya. Setiap Sunwoo bikin keputusan yang misleading, yang harus ngeberesin masalahnya tuh ya Eric. Tapi bukan berarti Eric marah dan gak suka diperlakuin kayak gitu sama Sunwoo. Eric suka dicium pipi di depan banyak orang. Makanya Eric gak pernah bisa jelasin atau bilang kalau Eric marah karena Eric emang gak marah. Malah suka. Tapi aku males klarifikasinya habis itu!! Sama aja kayak peristiwa Sunwoo jemput ini. Masa, sampe ke anak kelas sebelah yang gak kenal-kenal amat sama gue juga taunya kita pacaran??? Aneh. Jadi, ya gitu. Sunwoo ngerti gak apa yang daritadi Eric jelasin?”

Sore itu, alih-alih menjawab pemahaman gue akan penjelasannya yang panjang lebar namun masih dengan pemaparan bayi khas Eric, gue mengajak dan menu-ruti segala permintaaanya untuk melakukan segala hal yang dia mau.

(Salah satunya adalah kegiatan norak bernama melihat sunset dari pinggir BKT. Pun begitu, ada gue di atas motor berstandarkan satu melirik ke samping dengan seringai yang melebar karena di wajah si dia juga sedang ada seringai merah jambu yang tak kalah merekahnya.

(Dan gue mengerti, tapi gue menghindar.)

***

Pada tanggal 22 Desember pagi di kediaman tercinta kami yaitu Indekos Poci, gue mendapati sebuah sidang isbat dadakan yang pada saat gue keluar dari dalam kamar dan turun dari atas tangga, belum diketahui apa visi dan misinya.

Baru setelah gue mencuci muka dan menggosok gigi, membuka salah satu bungkus nasi uduk, mencuci beberapa piring kotor di wastafel karena gue adalah warga negara yang baik, gue mengetahui bahwa rapat itu adalah tentang rencana ulang tahun Eric yang jatuh pada… hari itu.

“Maksudnya gimana?”

“Ya gitu. Bayi lo udah kasih warning duluan, kalau dia hari ini gak mau ada dan dikasih apa-apaan.”

“Kok gitu?”

“Mana gue tau, cowok lo kan tuh?”

Gue tau celetukan itu dateng dari kak Changmin dan dia mah orangnya emang gitu, tapi Eric ada benernya. Segala urusan klarifikasi ini… harus dilakukan secara repetif. Dan kadang capek juga.

“Sekarang anaknya mana kak?”

“Ya sekolah. Intinya gue sama Chanhee nawar, mau gak surprais-surprisnya nanti sekalian tahun baru? Katanya bebas aja. Nah!” Kak Changmin menggebrak meja dengan dramatis. “Itulah yang sedang kita rapatkan.”

“Dekorasi ultah mekdi?”

“KADONYA, SUNWOO!!!” Kepala gue ditoyor bang Jacob, bang Kevin, kak Chanhee, dan kak Changmin secara bersamaan.

“Ooh, kado…” Gue membalas pura-pura polos sambil menahan sakit.

“Ah oh ah oh aja lo, mikir.”

Kalau kak Chanhee sudah bersabda bersamaan dengan titik dan penekanan di akhir kalimatnya, gue hanya bisa iya pak, siap pak. “Yaudah itu nanti gue kak.”

“Yakin?”

“Yakin.”

“Bisa jamin cukup special and worth to remember gak?”

Suasana ospek yang sedang gue jalani ini… “Bisa. Jaminan 100%.”

“Nyet, catet.”

Kak Changmin menunjuk gue tajam dengan telunjuk dan jari tengahnya.

“Emang kamu mau kasih apa, Sunwoo? Butuh bantuan?”

“Engga, bang Cob.” Balas gue dengan seringai dan handuk yang terselempang di leher—persiapan mandi. “Santai. Yang ini gue bisa handle sendiri.”

Gue melambaikan tangan kepada mereka seraya langkah yang menjauh dari ruang tengah sana.

Dulu kalau gue nonton film Amerika, gue tuh suka bertanya-tanya gimana para remaja disana yang notabene anak kuliahan malah kadang masih anak SMA, mengadakan sebuah pesta dengan undangan teman-teman mereka yang satu desa. Udah mana ngerayainnya di rumah sendiri, modalnya dari diri sendiri pula.

Gue sih kalau ketauan bawa temen sekampung masuk rumah menyentuh dapur dan Tupperware keramat apalagi bisa sampe ada yang ngewe di kamar orang tua gue, yang ada bisa langsung di tip-ex dari kartu keluarga.

Belum lagi nih, mereka yang bukannya kena asam lambung karena kebanyakan tugas malah asik mabora-maboraan. Pokoknya selama gak mengalami dan melihat langsung gue akan selalu merasa film remaja Amerika itu ironis parah. Sengumpul-ngumpulnya gue bareng anak tongkrongan, paling cuma di warung terus pesen extra joss.

Harusnya begitu kan yak, sampai akhirnya kak Chanhee dan kak Hyunjae membuat gue yang jagoan ini menjadi sangat cupu dengan campur tangan mereka dalam acara tahun baruan yang diadakan di Indekos Poci ini.

“Des.”

“Oit, bang Bop?”

“Lu serius nih mengundang gua ke acara lu dan temen-temen lu yang sangat amat meriah dan gemerlap ini?”

Melihat bang Bobby ada di Poci untuk pertama kali rasanya aneh juga, tapi gue beneran cuma kepikiran dia sewaktu dijatah oleh The Biduans kalau gue boleh bawa temen. “Sans bang, gimmick doang ini. Entar rundown acaranya palingan main UNO sama truth or dare.”

“Yakali main UNO minumnya wine semahal itu, Des?”

Gue melirik salah satu meja dengan berbagai minuman di atasnya, sebelum menggaruk pelipis dengan frustasi. “Aman, bang. Kawan-kawan gue emang kadang kebanyakan duit aje. Ini lu makan-makanin aja apa yang ada, gue mencari keberadaan Eric dulu yak.”

Bang Bobby dengan baju nyentriknya memberikan gue dua jempol.

Mengelilingi Poci yang sebenernya gak gede-gede amat, gue masih belum menemukan Eric disaat gue udah berpapasan dengan hampir seluruh warga Poci. Ada Uda Sangyeon yang sedang mencoba menenangkan kak Chanhee dari kepanikannya yang gak penting atas segala hal yang gak seharusnya dipanikin (Kak ini aku takut kurang apa kita pesen lebih dari sekarang? Chanhee, makanannya udah cukup banyak itu…), ada bang Jacob dan bang Kevin yang sedang mencoba menyambungkan lantai joget timezone dengan TV ruang tengah (Are you sure this can be connected? Yes! I’ve tried it before), Bang Younghoon dan kak Camin yang sedang… ini boleh gue skip jelasin gak sih? Soalnya geli (Jangan diliatin mulu dong aku kan cuma lagi makan pudding!!! Harus diliatin soalnya adek gemes… hehe…), Bang Juyeon dan kak Hyunjae yang sedang saling membandingkan ukuran tangan entah untuk apa (Beneran… gede. Apanya yang gede, Hyunjae?), dan terakhir ada Juhak yang diem-diem lagi curi start buat nyoba seluruh hidangan yang ada (Hak, itu buat nanti! Tester dulu, kak!)

…dan satu orang lagi yang masih belum dapat gue temukan keberadaanya.

Gue berniat untuk merokok di balkon sebentar sebelum tangan gue sekelebat ditarik oleh Eric yang entah datang darimana, mencoba untuk membawa gue terus naik sampai ke atap Indekos Poci. Di atas sana, untuk pertama kalinya gue menyadari bahwa malam ini cukup berangin untuk mampu menerpa setiap titik di wajah gue dengan rasa sejuk.

“Heh, heh, heh, penculikan apaan nih?”

Si bayi mengabaikan pertanyaan gue dengan mendudukan dirinya di atas kursi panjang lusuh yang ada disana atas permintaan kak Hyunjae dan meletakan satu kotak yang dia bawa sedari tadi pada ruang kosong di sebelahnya.

Maka itu lalu gue bertanya lagi. “Apaan tuh?”

“Bomboloni.”

“Hah?” Gue berjalan mendekat seraya menggaruk pelipis.

“Pokoknya, kayak donat filling gitu.”

“Ooh.” Gue duduk, Eric ngebuka kotak, kita sama-sama menginspeksi isinya. “Siapa yang ngasih?”

“Mas Mingyu sama kak Wonwoo, dong. Waktu itu kan ya masa aku main ke rumah sana terus ada ini sisa tiga.”

“Terus semuanya lo abisin?”

“Hehe, iya. Mana ternyata punya kak Jeonghan…”

“Buset… nyali lu.”

“Terus abis itu Eric dijanjiin mau beli lagi deh.”

“Tanpa dimarahin?”

“Gara-gara ngabisin punya kak Jeonghan? Gak tuh, biasa aja.”

“Ckckck, beneran bayi semua orang.”

Gue mencoba mengambil satu dari isinya sebelum tangan gue terkena gaplokan si dia. “Heh, nanti dulu!!”

“Anjir, pelit banget. Mau nyobain kan akunya.”

“Iya boleh, Eric ngajak Sunwoo ke atas juga karena emang cuma mau bagi ini ke Sunwoo doang bukan ke yang lain, wekekekek.”

Eh anjinglah kok bisa yak kadar kegemesan manusia tuh sebanyak yang ada pada si Eric Sohn ini. “Tapi…?”

“Tapi nanti dulu, kan tiup lilin berdua.”

Gue dan mata yang mengikuti jemari Eric dalam membuka lilin itu mengulum bibir dengan senyum. “Bisa aja lu.”

“Bisa lah.”

“Yaudah cepetan buka.”

“Iye.”

Lilin ditancapkan, dinyalakan, dan ada beberapa bagian dari wajah Eric yang warnanya diiluminasi oranye gue tatap diam-diam.

“Semoga…”

“…Lah ko baca wishnya kenceng-kenceng?”

“Emang kenapa?”

“Orang baca wish mah dalem hati.”

“Tapi kan itu bukan aturan paten.”

“Tapi kan mayoritasnya begitu.”

“Berarti bukan aturan paten dong?”

“Emang bukan, tapi biasanya kalau dibacanya kenceng-kenceng jadi gak dikabulin sama Tuhan.”

“Dih, sotoy.”

“Seluruh dunia berarti sotoy anjir bukan cuma gue.”

“Ih, Sunwoo mah.”

“Serah lu deh.”

Gue dilirik dengan indikasi sinis, namun rahang tegas dan picingan mata itu gak akan pernah bisa mengelabui gue.

Eric, pada akhirnya, mengucapkan permintaanya dalam diam. Gue pun secara rahasia menghantarkan doa dalam diam.

“Udah?”

“Udah.”

“Udah boleh dicobain donatnya?”

“Udah dong.”

Rambut di atas puncak kepalanya gue usak dengan gemas. “Makasih, Youngjae.”

“Sama-sama, Gondes.”

“Si anjir.” Picingan mata yang baru aja gue lontarkan berhasil membuat Eric tertawa dengan kepalanya yang terlempar ke belakang.

“Kocak banget muka lu.”

“Ya elu kocak.”

“Ngambeeek.”

“Panggil ganteng dulu biar gak ngambek.”

Emang seharusnya gue gak pernah berekspektasi kalau dia akan nurut sama gue, karena yang sekarang dia lakuin malahan memindahkan kotak donat ke meja dan merebahkan dirinya di atas paha gue.

“Eric punya cerita.”

“Tadi perasaan gue nyuruhnya manggil ganteng.”

“Gue mau jujur sesuatu nih sama lu.”

“Hmm.”

“Inget tanggal 22 Desember waktu gue bilang sama yang lain gak mau dikasih acara perayaan apapun, kan?”

“Iye. Kenapa tuh?”

“Seharusnya, hari itu Eric balik ke Bali.”

…Nah kalau udah bawa-bawa Bali gini, biasanya gue mulai was-was. “Hah?”

“Seharusnya Eric udah gak disini, tau… gak ikutan tahun baruan sama kalian semua. 22 Desember kemarin, adalah batas waktu terakhir yang selalu Eric kodein ke Sunwoo. Dan seharusnya dari mulai hari itu gak ada satupun dari kalian yang akan ketemu Eric lagi.”

“Terus kenapa,” Gue menelan saliva yang mengolok-olok gue dengan cara menyangkut sakit di tenggorokan. “Kenapa jadinya malah gini?”

“Karena kak Wonwoo udah atasin semua masalahnya sebelum Eric sempet dibawa. Dia… aku gak tau sih tepatnya ngapain, pokoknya berhasil mecahin semua kode yang gak pernah Eric jabarin secara blak-blakan. Intinya—”

“—Intinya gue harus sujud di kaki kak Wonwoo.”

“Hah?” Bocah yang kepalanya ada di atas pangkuan gue terbahak. Barusan banget topi yang dia pakai baru aja gue lepas, dan sekarang gue bisa lebih mudah buat liat langsung ke matanya.

“Iya.” Lanjut gue lagi. “Apapun itu inti dari hal yang mampu kak Wonwoo lakuin sampe bisa nahan Eric disini, Sunwoo cuma bisa bilang makasih kan?”

Si dia mengulum senyum seraya matanya yang menyendu. “Iya sih.”

Dan hati gue mulai memberat. “Maaf ya, karena Sunwoo banyak gak mampunya. Buat jadi pahlawan kesiangan buat Eric tuh aku belum mampu. Aku juga masih bocah. Gak hebat kayak mereka yang lain yang bisa jaga pasangannya.”

“Pasangan?” Oh, gue lagi diolok-olok. Dia lagi balas dendam.

“Ya maksudnya—”

“Pasangan??”

Monyet. “Dengerin.”

“INI GUE DENGERINNN.”

“Ya lo nya diem dulu.”

Sekarang dia gak punya kemampuan untuk menahan tawa hingga seluruh tubuhnya bergetar di atas pangkuan gue. “Muke luuu.”

Gue dengan helaan napas pasrah. “Eh lu bisa gak?”

“Kenapa ya, lu selalu kalang kabut gini tiap bawa-bawa topik komitmen, Des?”

Pake segala nanya. “Ya soalnya ini elu, Ric.”

“Gimana, gimana?”

“Udah banyak yang ngasalin hidup lu. Masa, gue yang tulus peduli sama lu harus ambil sikap kayak gitu juga?”

Dan dengan kalimat yang gue lontarkan barusan, Eric menyegel bibirnya dari memberikan gue komentar selanjutnya.

Anehnya—eh, gak aneh sebenernya. Iya aneh sih, tapi konotasinya positif—anehnya abis itu gue sama dia ya udah saling diem-dieman aja dan nyaman dalam bubble masing-masing. Gue dengan pandangan ke atas langit dan jemari yang perlahan menyisir helai rambut Eric, dan si dia dengan mata yang ditutupi lengan dan jemari yang memainkan ujung kaos gue.

Diam-diam dan tanpa harus dijadikan sebuah tujuan sakral, kami sama-sama tengah menunggu perhitungan bergantinya tahun.

Gue mengeluarkan satu bungkus rokok dari kantung beserta koreknya, dan itu menarik perhatian Eric sampai dia menoleh.

“Mau ngapain?” Tanyanya, dengan nada penasaran khas Eric.

“Nyebat. Asem gua.”

Bola matanya berputar sarkastik. “Padahal biar gak asem mah bisa aja ada opsi lain. Kayak, ciuman.”

Sebenernya dalam okasi normal gue bisa aja berpura-pura bodoh dan menimpali dengan menantang balik. Tapi, momen gue dan dia berdua di atas sini terlalu dipenuhi dengan aura intimasi sampai gue jadinya panik sendiri.

Ya emang, kadang kalau dipikir gue nih cupunya akut. Ujung-ujungnya yang bisa gue lakukan hanyalah mengindari pembicaraan dengan sibuk menyalakan satu batang rokok; menghindar, menghindar, dan menghindar.

By the way, lupa dah,” Gue menyemburkan asap pertama dari bibir. “Gue udah bilang belom ya kalau earphone gue rusak?”

Earphone lu?” Si dia panik, sampai harus kembali pada posisi duduk. “Yang suaranya mantep banget dan bisa menghantar ke surga itu?”

“Iye, yang itu.”

“Yah anjir, terus gimana Des? Nanti kalau kita ke McD gak bisa deh sambil nonton mukbang.”

Sebuah kegiatan aneh lain yang teragendakan setiap gue main sama bocah satu ini: makan fast food, dan nonton siaran makan orang lain dengan earphone yang terpasang satu di telinga masing-masing. Terus, yaudah, kita kayak orang idiot aja gitu diem-dieman. Bisa puas hanya dengan presensi gue dan dia di sisi masing-masing. Orang lain berlalu lalang ngeliatin kita, itu sih bukan urusan.

“Sabar. Gue lagi order yang baru.”

“Anjay.” Sempet-sempetnya ini orang iseng nonjokin lengan gue sembari cengegesan begitu. “Demi gue yak?”

“Pastinya.”

“Sayang kah sama gue?”

“Pastinya.”

“Yang bener dong lu jawabnya, Gondes bangsat.”

“ITU GUA JAWAB PASTINYA. SALAHNYA DIMANA?”

“…Sayang Eric beneran?”

Suara menciut itu, membuat emosi gue turun lagi ke dasar perut. “Beneran.”

Belum sempat baik dia maupun gue bereaksi, letupan kembang api pertama meledak di udara; melukis langit dengan semburat dan percikan warna warni. Pada letupan kedua, warnanya mulai mengiluminasi wajah gue dan Eric menjadi Pelangi. Pada letupan ketiga, terdengar suara sorak-sorai familiar dari bawah, menghitung mundur dari sepuluh sampai satu. Dan pada letupan keempat, gue dan Eric sama-sama saling menoleh kepada satu sama lain.

Gue menggunakan kesempatan tersebut untuk mengambil posisi paling nyaman dalam menangkap si dia dan wajahnya; mengamati, mendalami.

Mungkin ya, mungkin ini sisi sentimentil dari euphoria tahun yang berganti. Atau kisah pilu nan mengharukan dimana kenyataan bahwa Eric bisa ada disini bersama gue adalah bonus. Atau mungkin kayak yang gue bilang tadi, berduaan sama dia di atas sini dan kali ini, intimasinya rada meletup-letup. Atau mungkin bisa juga, karena memang gue lagi dapet momen realisasi si pemeran utama aja.

Momen dimana pada akhirnya satu titik terang itu membuat segala koinsidensi di dalam hidup gue menjadi masuk akal. Atau jawaban atas pertanyaan juga ragu yang selama ini mengganjal.

Gue tau gue ini manusia yang ambigu. Gue tau untuk sosok dengan latar belakang seperti Eric, gue gak cukup mumpuni buat jadi support system. Gue tau gue terlalu bahaya untuk menemani dia pelan-pelan memperbaiki hidup karena gue sendiri belum memperbaiki hidup gue terlebih dahulu. Tapi kembali lagi kepada yang tadi gue bilang, ini adalah sebuah fase.

Dan fase itu meyakinkan gue untuk menjadi versi Kim Sunwoo yang pada saat itu percaya dengan keputusannya.

“Eric.”

“Hmm.”

“Met tahun baru.”

Ok.”

“Eric.”

“Apaan.”

“Dor, dor.”

“…Hah.”

“Itu. Gue lagi nembak lu.”

“…”

“Udah pacaran yak berarti.”

“…”

“Gong?”

“…FREAK ANJINGGG GONDES.”

Pada Eric yang mengamuk sejadi-jadinya tengah malam itu, gue menerima seluruh pukulan anarkis yang ia lontarkan sembari terbahak sejadi-jadinya. Pun pernyataan cinta tadi benar-benar bukan guyonan, gue ingin kami tetaplah kami; dinamika gue dan Eric, dinamika yang begitu familiar di luar kepala.

Jadi pernyataan cinta tadi… ya haruslah seperti tadi.

Dan gue yakin Eric lebih paham perihal itu lebih dari siapapun.

***

Gue dan Eric diseret paksa ke bawah tak lama setelah kejadian tembak menembak asbun tadi. Ada perayaan ulang tahun super meriah yang terjadi setelahnya, dan ada juga gue yang kelimpungan dalam memproses dan mencerna. Gue sih bisa aja santai-santai menggampangkan yang tadi, tapi di dalam lubuk hati gue tau kalau kami berdua sedang sama-sama berdebar dan berbunga-bunga.

Dari gue dan dia yang tidak pernah berhenti saling melirik. Dari jemari gue dan dia yang saling bersinggungan dan ada ribuan volt listrik serasa mengalir disana. Dari dehaman kami yang kikuk dan sukar disamarkan. Dan dari tensi yang terpancar pada kami, dan ikut menampar satu persatu penghuni Indekos Poci.

Sekitar jam dua pagi, gue yakin setengah dari mereka agaknya paham apa yang sedang terjadi diantara gue dan Eric. Namun, masih dan selalu, yang gue sukai dari mereka adalah kepahaman akan batasan yang titiknya sama-sama semua pahami tanpa harus terlalu banyak basa basi.

Pun begitu, bagaimana kak Chanhee terus-terusan melirik gue dengan bibirnya yang ditekan dan wajahnya yang berusaha dipasang datar adalah yang menjadi kiblat bagi gue kalau oh, ada bedanya juga ya setelah jadian dan engga.

Dan ternyata gak nyeremin-nyeremin amat.

“Bayi lo udah sempoyongan itu, bawa balik kamar gih.”’

Tepat di depan dispenser gue menoleh, mendapati kak Chanhee tengah bersandar di kitchen island dengan kedua tangannya yang terlipat di depan dada.

“Iye kak, baru mau gue kasih minum ini tadi anaknya minta.”

“Mm.” Balasnya dengan anggukan, sambil matanya memindai gue dari atas kepala hingga ujung kaki. Agak menakutkan, tapi gue tetap percaya diri. Karena kalimat yang kak Chanhee ucapkan setelahnya adalah, “Congrats, by the way.

Bener kan, tanpa basa-basi?

Dan sumpah, gue udah seberusaha mungkin buat nahan cengiran. Cuma ya.. gimana. “Yoo. Thanks, kak.”

“Masih inget janji lo sama gue dulu gak?”

Buset, tak ada hari tanpa ospek. “Jagalah kebersihan?”

“Gondes.”

Be committed.

Be committed.” Kak Chanhee mengempasisi kalimatnya, dan gue tau bahwa dia bersungguh-sungguh. Bahwa kalau gue kepikiran buat messed up lagi, dia kemungkinan akan ada di garda paling depan.

“Siap, laksanakan.”

Gue tersenyum. Dan terima kasih Tuhan semesta alam kak Chanhee pun tersenyum (gue udah bilang belom tadi kalau suasana ini serem kayak ospek?).

Kontemplasi pertama dalam peran gue sebagai cowok dari Eric Sohn (CIAAA COWOK BANGET GAK TUH) adalah ke kamar mana gue harus meletakan tubuh setengah mengantuknya setelah gue boyong dari ruang tengah. Kamar gue dan dia letaknya emang sebelahan, tapi kalau boleh jujur trivia tersebut sangat amat tidak membantu.

Gue sekarang lagi… balik terjebak diantara keinginan dan moral.

Kayak berbulan-bulan lalu. Kayak pertama kali sewaktu gue berkesempatan buat berada sedekat nadi sama dia.

Bedanya apa? Nah itu, yang sedang gue cari tau.

“Kamar Sunwoo.”

Gue berkedip, berkedip, dan berkedip. “Hah?”

“Sunwoo lagi mikir kan mau nganterin Eric ke kamar yang mana?”

Anjiiing, cinta bats gua ama ni anak. Sebentar, gue mau sok batuk-batuk tolol dulu. “Kamar gue nih?”

“Iya, kenapa?”

“Ya gapapa, konfirmasi.”

“Mikir jorok ya lu?”

Kenapasih kayak… selalu ada aja cobaan hidup gua. “Lu yakin banget kah gue akan berani ngapa-ngapain lu?”

“Engga sih.”

“Nah.”

Si dia yang pada saat itu berada di depan pintu dengan tangan gue merangkul lekuk pinggangnya merengek pelan. “Kado.”

“Kado?”

“Sunwoo belum kasih kado ke Eric. Tadi katanya disimpen di kamar?”

OH.” Mata batin gue mulai terbuka dengan kode njelimet yang sedari tadi gue terima. “Bilang dong, muter-muter segala.”

“LUUU gak peka.”

“Hehehe maap, maap.”

Eric membuka pintu kamar tanpa menunggu gue, tengkurap menjatuhkan dirinya sebagaimana ia selalu melakukannya acap kali berada disini, dan mengadahkan satu tangannya masih dengan wajah yang berada di balik bantal.

Paparnya dengan suara yang manja, “Mana?”

Sebuah kotak kecil gue daratkan di atas tangannya. “Tuh.”

Eric being Eric, yang langsung dalam kecepatan kilat berada dalam posisi duduknya. “Apa nih?”

“Itu tugas lu untuk membuka dan mencari tau gak sih?”

Lirikannya kepada gue jenaka dan sinis. “Iya tau.”

Lalu di lima menit kedepan, gue punya PR untuk menjadi pengawas antara Eric dengan paket dan guntingnya; mencegah dia untuk menjadi terlalu bersemangat, menjaga jarak antara benda tajam dengan jarinya, dan mengumpulkan sisa-sisa kertas kado yang bercecer di lantai.

“…Minyak telon?”

Mencoba menahan tawa, adalah PR gue yang selanjutnya. Dengan bibir yang diarapatkan itu gue bergumam, “Mhm.”

Prank kah?”

“Kagak. Serius itu kado lu, fix no revisi.”

Eric menggaruk pelipisnya malas, kembali merebahkan dirinya. “Emang seharusnya gue gak berharap banyak.”

“Keren kan? Sungguh mendeskripsikan lu kan? Apa yang sangat-sangat lu butuhkan kan?”

Plot twist dari segala plot twist, si Eric ini emang gak ada niatan mau ngejawab dengan jawaban waras sih. Ketauan banget dari jemarinya yang menarik kerah gue mendekat, sampai akhirnya wajah gue berlokasi tepat diatas wajahnya; ujung hidung menyentuh ujung hidung.

“Serius dikit bisa gak, kak Sunwoo?”

Aliran darah gue pasca ngedenger itu, lari semua ke kepala. Tiba-tiba jadi abu-abu aja tuh dunia. Parahnya lagi, seluruh tubuh gue lumpuh total gak bisa gerak. Ya pasrah aja, waktu kerah gue masih digenggam dan gue harus bertahan dengan tubuh yang melayang diatas sana. Kayak si cupu. Tadi udah ada belum sih narasi yang menyatakan bahwa gue ini cupu?

“Ini lo begini. Ahem. Karena kecewa sama kadonya?”

“Engga, biasa aja. Gue suka kok. Bisa dipake.”

“Yaudah kalau gitu.”

“Yaudah.”

“Yaudah.”

Mau cuddle?

Cara Eric tersipu malu adalah serangan jantung mendadak bagi gue. Air muka itu sekarang seakan-akan mengatakan: gue kira lo gak akan tanya, anjir. Wajahnya sempat dialihkan dari gue sejenak, menghindar dan mencari jarak sebelum kembali ke tempatnya semula dengan kepercayaan diri tingkat seratus persen.

Katanya kepada gue pada saat itu, “Ajarin.”

Dan, ya, oke. Bukannya gue adalah cokiber beneran yang bisa dengan mudah menangkis hal-hal kayak gitu. Lagi, dalam okasi dan banyak lapis rahasia yang gak banyak orang tau, gue anaknya sangat-sangat D’Masiv. Yang artinya, kembali kepada rumus bahwa gue cowok payah yang bisa panik

Tapi gue mencoba untuk engga. Daripada menghancurkan suasana yang sedang khidmat-khidmatnya ini, gue harus mencoba untuk merubah metode permainan.

“Oke.”

Hal pertama yang gue lakukan setelah memantapkan diri adalah membuka jaket yang membungkus tubuh. Lalu jeans lusuh. Lalu kaos putih. Gue kini, hanya dibalutkan celana pendek berwarna merah tua dan kulit yang berdemo kaget karena dingin yang menerpa secara tiba-tiba.

Eric tentu gak mempertanyakan itu. Udah terlalu banyak waktu dimana dia melihat gue pergi tidur dengan tampilan begini. Biasanya, kontras diantara kami adalah Eric yang malahan nanti akan tiba dengan piyama paling rumahan dan bermotif lucu yang pernah gue liat. Terkadang dengan penutup mata unicornnya, terkadang dengan guling yang gue yakin udah ada bareng dia dari ceprot lahir.

Yang kali ini minus baju tidur. Dan Eric Sohn dibalut oleh celana pendek khaki dan kaos hitamnya, ditarik dalam dekapan hingga keningnya kini berada tepat di depan dada gue dan kaki kami yang saling bertaut.

“Bagian ini,” Ucap gue dengan serak. “Namanya teknik menghangatkan.”

“Mm.” Gumam si dia acuh tak acuh.

“Dan sekarang waktu paling bagus buat lu oversharing rahasia terbesar dalam hidup lu kepada gua.”

“Kan Sunwoo udah tau semua?”

Kepolosan dalam suaranya yang membuat gue tak kuasa menahan tawa. “Oh iya.”

“Sunwoo aja.”

“Apanya?”

“Yang cerita.”

Gue menyempatkan mengecup pelipis dan memastikan untuk tak berhenti mengusap punggungnya lembut. “Hmm, apa ya… Mungkin kenyataan kalau muter image tuh susah kali ya. Dari awal orang-orang taunya kan aku nih Gondes, dia setelannya emang gitu. Gak perlu dijelasin Eric juga ngerti lah. Tapi yang kadang aku gak suka tuh tiap lagi serius orang-orang malah gak percaya. Kredibilitasnya tuh gak ada. Padahal Sunwoo juga bisa kasih input untuk hal-hal yang sifatnya dewasa dan krusial.”

“Intinya Sunwoo sebel kalau gak dipercaya dan kapabilitasnya diragukan.”

“Dih.” Mata gue melirik ke bawah dan menemukan maniknya. “Belajar darimana lu kata-kata begitu?”

“Ya gue sekolah kali???”

Lagi-lagi gue terbahak. “Iya-iya, intinya gitu.”

“Eric tau, kok.”

“Tau apa tuh?”

“Kalau Sunwoo juga bisa thoughtful. Bisa dewasa. Kadang Eric liat. Kadang Sunwoo aplikasiin itu ke Eric. Rasanya… nyaman. Kayak dijagain.”

“Mm.” Gue mendekap dia lebih erat, lebih dekat. “Bagus kalau gitu.”

“Ini tahap cuddle dari deep talk bukan?”

Masih sembari melirik ke bawah, gue sekarang tengah berusaha mensejajarkan wajah kami sehingga gue bisa gigit hidungnya. Dan gue lakukan itu. “Bener.”

Yang digigit tak mengatakan apapun. “Oke.”

“Menurut Eric yang selanjutnya apa?”

Gue tau dia mulai kalang kabut, karena gue pun juga. “Kan lo yang gurunya.”

“Kan kadang guru sama murid punya sesi tanya jawab.”

“Serius lu ah.”

“Mau gue bantuin jawab gak?”

“Mau.”

“Panggil kakak lagi.”

“MALES.”

“CEPETAN.”

“Kak Sunwoo.” Begh. “Kak Sunwoo…” Goks. “Kak Sunwoo, kak Sun—

Gue memotong kalimat Eric dengan mengecup kilat bibirnya. “Tuh.”

Eric dan matanya yang membulat komikal. “Bentar amat???”

“Lu mah sangean.”

“Bukan gitu!! Harusnya ciuman yang pake lidah gak sih?”

Ya astaga gusti, gak ada yang bisa gue lakuin kecuali gigit-gigit bibir soalnya anjinglaaah gemes. “Ric.”

“Apaan?”

“Lu sadar gak sih kalau lu tuh sangat bayi dan menggemaskan?”

“Beberapa detik lalu lu bilang gue sangean dah. Bisa gak apa-apa tuh konsis—”

Lagi, gue potong celoteh itu dengan kecupan. Namun kali ini kecupan itu berubah menjadi lumatan dengan gue yang menangkup kedua pipinya erat. Gue suka bagaimana reaksi pertama yang terjadi pada tubuh kami adalah seakan-akan kami tengah berada di tengah gurun pasir dan ini adalah hujan air lebat yang menggu-yur seluruh tubuh hingga basah kuyub.

Karena lalu kami bernapas. Karena lalu sesak itu hilang disapu perasaan sejuk.

Kapasitas keberanian gue mulai meningkat dalam beberapa detik setelahnya. Masih dengan bibir yang saling melumat, masih dengan ibu jari yang mengelus pipi si dia, masih dengan segalanya tentang tubuh kami yang saling bertaut, gue lalu meraba dan memasukan tangan ke balik punggungnya. Bukan diantara serat pakaian yang si dia kenakan, namun langsung menyentuh dan menuju kulit.

Dan Eric merespon buku-buku jari gue yang kasar itu dengan lenguhan serta rengekan. Yang kemudian mengalir ke dalam darah, sendi, juga kewarasan. Yang membuat gue pusing tujuh keliling sampai tak mampu mengendalikan lidah yang sedang bertarung di dalam sana.

Gue lalu semakin menggila dengan berusaha menggesekan segalanya. Entah itu kening kami, hidung kami, dagu kami, dada kami, jemari kami, atau sesuatu diantara selangkangan yang berdenyut dan menjerit.

Namun kalau gue bisa punya adrenaline rush, Eric pun bisa mengalami hal yang sama. Cuma mungkin bedanya batasan antara gue dan dia agaknya punya rentang yang jauh, seperti misal tubuhnya yang kini terangkat dan ada di atas gue.

Dan sebelum gue sendiri mengetahui hal tersebut, gue sedang dikerjai.

Eric berpindah dari bibir menuju leher dalam kecepatan kilat. Melumatlah ia di ceruk sana, namun dengan hisapan yang tidak berhenti membuat gue menggeliat dan mendidih. Pun begitu, tangan gue tetap siap sedia menyeimbangkan dalam genggam di lekuk pinggang. Gue rasa gue bisa melakukan sejauh ini sebagai bentuk Tindakan preventif.

Tindakan preventif.

Oh, shit.

Kenyataan bahwa gue tidak perlu repot-repot pergi ke depan kaca untuk mendeteksi warna-warni di leher sana agaknya adalah sebuah statement yang jenaka. Karena gue sendiri sadar akan passion Eric yang meletup-letup. Karena gue sendiri sadar akan kerja kerasnya dalam mencipta jejak merah membara. Yang terkadang pindah ke tulang selangka. Yang terkadang juga membuat gue kerasukan dengan lagi-lagi butuh dia untuk mengisi kekosongan di bibir sana.

It’s all fun game. Di umur gue yang sekarang, hormon seksual adalah dominasi cukup besar sebagai standarisasi dari banyak pengambilan tindakan dan juga keputusan dalam hidup. Pada bagian kali ini, akan gue mencoba mengembalikan akal sehat lebih cepat dari gue mengedipkan mata.

“Ric, Ric.”

“Hmm?” Ciuman itu mulai turun ke garis dada.

“Eric.”

“Hmm.”

Stop dulu.”

“Hmm…” Anjing… udah mau sampe titit…

“Ric stop dulu.”

Empasisi dalam suara gue, ternyata berhasil membuat si bayi mendongak dari fokusnya. “Apa sih anjir?”

“Udah.”

“Apanya.”

“Ini, udah, sampe sini aja.”

Alis si dia menukik naik. Satu, lalu keduanya. Gue begitu mengenal Eric untuk paham bawa perintah gue barusan akan menimbulkan berdebatan. Gue begitu mengenal Eric untuk mengantisipasi bahwa akan ada gue yang lelah dalam menjelaskan kenapa harus sampe sini aja. Gue juga begitu mengenal Eric, untuk paham bahwa keras kepalanya akan membuat dia menentang apa yang gue minta.

Namun Eric yang malam ini adalah Eric yang penuh kejutan. Eric yang malam ini, serta merta memindahkan dirinya kembali ke posisi awal di sebelah gue dengan aman dan nyaman tanpa protes juga penolakan.

Dia cuma bilang, dalam sebuah bisik yang berada begitu dekat dengan gue hingga napasnya menampar wajah, “Oke.”

Dan kalau seluruh dunia bingung, percaya, gue yang saat ini lebih bingung.

Tapi ya, yaudah. Gue nobatkan ini sebagai kejadian new year new me pertama antara gue dan dia. Bahwa ada sebuah garis batasan dan toleransi yang kami gambar sendiri atas sejauh mana gue dan dia akan membawa kami. Dan kalau gue, Kim Sunwoo, tidak nyaman mengeksplorasi sang bocah yang pada saat itu berumur delapan belas tahun lebih daripada yang tadi, maka Eric Sohn mungkin akan mencoba mengerti.

Dan gue menyukai keseimbangan dalam ini.

Karena artinya, gue dan dia sama-sama percaya masih dan akan ada lain kali.

“Sunwoo dingin gak?”

“Kenapa emangnya?”

“Kan lu cuma pake kolor.”

“Gak sih, biasa aja.”

“Anget ya karena dipeluk gua.”

“Hmm, bisa jadi.”

Pinggang gue dicubit kencang. “Monyet.”

Dan gue mengaduh sambil tertawa. Lagi, dengan tangan yang menarik si dia semakin erat dalam dekapan walaupun orang waras manapun akan sadar bahwa sudah tidak ada lagi jarak lowong yang tersisa diantara kami.

“Marah gak?” Konfirmasi basa-basi, karena kami adalah remaja labil.

“Engga.”

“Ngantuk?”

“Ngantuk.”

“Siap.” Gue tertawa sembari mengecup pelipisnya.

“Youngjae.”

“Iya,.”

“Maaf ya lama, buat bisa sampe disini.”

“Gapapa…” Eric memetakan wajah gue dengan telunjuknya; pelan, teliti, dan satu-persatu. “Tapi kalau sekarang udah boleh menetap?”

“Selama semua gerai McDonald di Timur Jakarta masih sama-sama bisa kita hitung jumlahnya, boleh.”

— : a work of commission
— : Sangyeon x Chanhee
— : part of Indekos Poci (ALTERNATIVE ENDING)
— : placed after Sepotong Kue dan Sorak Sorai Bulan
— : words count // 5k
— : tags // romance, ex-reunion, unfinished business
— : 🔞 profanity, explicit sexual content
— : ⚠️ having no cause-effect into the original plot whatsoever

It started with a self-indulgent wildest dream, and ended up with a life-action fantasy.

“Lo beneran balikan sama kakak?”

Pertanyaan spontan itu sukses besar membuat Changmin di sebelahnya tersedak sebutir boba, dan jemarinya mulai sibuk mencari tisu di dalam salah satu kantung belanjaan. “Bolot kah anda? Gue bilang kita main Genshin bareng!!!”

“Iya, setelah ngewe?”

Pasca dilirik sinis, tubuh Chanhee kini terpental beberapa senti karena sundulan lengan dari sahabatnya. “Sekalian aja lo ke pusat informasi terus jarkom trivia itu kepada seluruh pengunjung mall ini.”

“Boleh, gak masalah. Mau?”

“Gue maunya lo tutup mulut.”

Dirinya terkekeh, gantian menyedot minuman. “Ya sori, gue kan cuma kepingin tau aja kelanjutannya gimana. Masa udah masuk tapi gak balikan?”

“Masuk maneee. Masuk rumah?”

“Masuk neraka.”

Belum sempat melanjutkan kalimatnya, Chanhee sudah mendapatkan dorongan dan pelototan sinis lainnya. “Gue sama kakak gak mau cepet-cepet kasih label, tau… Nanti takabur.”

“Yakin?”

“Yakin apanya?”

“Yakin kakak lo yang keluar dari Indomaret bawa kondom itu gak mau punya status yang jelas sama lo?”

“KAN!!!” Ji Changmin si paling dramatis, menjerit hingga beberapa kepala pengunjung mall lain menoleh kearah mereka. “Ini sebabnya gue gak mau ceritain soal itu ke lo!!!”

“Eh anjir, gue gak minta juga pasti lo cerita sendiri ya.”

“Iyasih… Tapi gue cerita bukan untuk diolok-olok!!! Lo cukup tau aja kisah jenaka soal si kakak bawa plastik belanjaan isi kondom dan plastiknya diserahkan kepada GUE. Udah mana masuknya sambil ngos-ngosan, terus beberapa hari yang lalu dia jujur kalau pas lagi di kasir ada lagi kejadian bodoh.”

“Ada yang lebih bodoh dari itu emangnya?”

“Jadi pas dia lagi milih kondom di belakangnya itu ada tiga anak SMA lagi ngantri dan mengambil foto MENGGUNAKAN FLASH. Yang mengalami si Younghoon yang malu sampai ke tulang itu gueee.”

Chanhee rasa, yang barusan adalah tawa terpuasnya sepanjang hari ini. “Emang ya, genre hubungan lo berdua bener-bener romcom.”

“Udah deh lo jangan kebanyakan ngurusin hubungan gue sama kakak. Pertanyaan yang tadi belom lo jawab.”

“Pertanyaan yang mana lagi?”

Changmin menarik lengan Chanhee agar berbelok ke kanan dan memasuki toko Guardian yang pada saat itu sudah lumayan ramai. “Reuni. Di Poci. Sabtu ini. Jam empat sore.”

“Jam empat sore banget? Kayak acara ulang tahun di McD, anjir.”

Stop berpura-pura tertarik untuk meneliti ingredients micellar water dan jawab pertanyaan gue dengan benar.”

Damn, this dude knows him so damn well.

Chanhee menaruh botol itu kembali ke tempatnya, mencoba terlihat tak acuh. Tangannya bertengger di pinggang dengan gelisah dan setelah berdeham dirinya mengajukan sebuah pertanyaan, “Ada Sangyeon?”

“KAN!!!” Pekikan kedua kalinya, undangan untuk beberapa kepala untuk menoleh kearah mereka. “Gue tau ini pasti yang menjadi concern lo.”

“Gue literally cuma nanya???”

“Aduh, capek…” Ji Changmin benar-benar mengaduh bersamaan dengan matanya yang memindai diskon pada setiap merek facial foam yang ditemuinya. “Oke, for your information bapak Choi Chanhee, besok itu yang dateng full team. Ya kecuali si bayi sih…”

Even Hyunjae?”

“BAHKAN Lee Hyunjae. Liat kan effort dan pengorbanannnya?”

“FYI effort dan pengorbanan itu artinya sama.”

“INTINYA adalah, gue gak terima penolakan. Apalagi penolakan GARA-GARA SANGYEON. Ini gak selalu tentang lo dan dia!!! Ini tentang persahabatan kita!!!”

Chanhee memutar bola matanya dengan malas. “Ya oke, gue dateng.”

Nice!” Changmin tersenyum dengan seringai menyebalkan khas dirinya, sebelum telapak tangannya yang meraih kedua bahu Chanhee penuh semangat. “Sekarang gue mau cari sesuatu, jadi lo tunggu disini.”

“Bawel. Jangan lama-lama!” Permintaannya tadi hilang ditelan udara bersamaan dengan sahabatnya yang telah pergi entah kemana.

Pandangannya kini memang berpendar pada beberapa produk perawatan wajah yang tertata rapi di etalase, namun pikirannya jauh melayang menembus alam bawah sadar akan berbagai hal dalam satu waktu. Tapi yang utamanya, tentang sebuah kenyataan bahwa ia akan kembali bertemu Sangyeon setelah kurun rentang waktu dua puluh empat bulan.

So… yeah. Not a big deal, right?

Oh it’s so much is.

Choi Chanhee, dalam realita yang senyata-nyatanya, kini sedang melawan kepanikan internalnya dalam diam.

“Nyet.”

“Hmm.”

“How was it?”

“Apanya?”

“Ketemu Younghoon lagi… after a while.”

“Gak tau, Chan… Jujur gak bisa dijelasin. Lo kayak… apa ya? Constantly gak bisa nebak yang kira-kira bakalan kejadian. Kayak satu detik gue salting dan asbun banget depan dia, satu detik dia nangis sambil meluk gue, satu detik ada kejadian komedi kondom, satu detik gue ada di dalam kamar dia, dan selanjutnya lo tau lah gimana. Gue yakin kok kakak juga gak mungkin tau dan udah ngerencanain semua di kepalanya. Jadi ya… jawabannya gak tau. Buat dua orang yang dulunya punya ikatan istimewa, kepisah, dan terus ketemu lagi setelah sekian lama, mungkin ekspektasi paling realistis sebenernya cuma berdamai.”

Berdamai.

Apa yang sebetulnya… harus didamaikan antara dirinya dan Sangyeon? Malahan seharusnya Chanhee yang berlutut di kakinya, dan meminta maaf karena sudah menjadi manusia paling payah dan pengecut yang mungkin pernah pria itu kenal.

Worst case of it all, mungkin Sangyeon sudi pun tidak untuk sekedar melempar senyum kearah Chanhee.

Harusnya jalan pikirannya terformulasi seperti itu. Tapi sebuah rencana yang sekarang malah bertengger di dalam kepalanya? Memindai beberapa rak lain, menemukan pelumas dan alat kontrasepsi dengan merek spesifik, menggengamnya bagaikan maling beraksi, membawanya ke depan kasir, dan membayar dua benda tersebut tanpa pikir panjang.

Kedua barang krusial itu telah tersembunyi dengan aman di dalam tasnya ketika dirinya terlonjak di tempat akibat sebuah tepukan di punggung.

“Heh! Gue udah selesai nih tinggal bayar. Lo beli apaan deh?”

“Hah, ini.” Choi Chanhee dengan tubuh gelisah dan salah tingkahnya. “Beli lipbalm doang kok.”

“Ohh… Yaudah abis bayar langsung aja deh Kintan, laper nih gue.”

Choi Chanhee dengan demaham palsunya. “Oke. Gue tunggu di depan aja ya rame banget nih disini. Abis itu baru Kintan. Gue bayarin deh.”

Ji Changmin dengan wajahnya yang sumringah dan berbinar-binar. “Seriusan?”

“Ya makanya cepetan lo bayar.”

“Oke, oke!!!”

Sahabatnya masuk ke dalam antrian, dan Chanhee berjalan dengan gugup seraya menggengam tasnya dua kali lebih erat dari biasanya seakan pelumas dan alat kontrasepsi itu berkemampuan mengeluarkan suara jeritan.

Satu yang dirinya yakini, sedang ada yang salah dengan sistem kerja otaknya.

***

“Demi Tuhan, gue mual.”

“Stop bilang kalau lo mual, lo ngga hamil!!!”

“Mual kan bukan cuma buat orang hamil!!!”

“LO MUAL KARENA NERVOUS MAU KETEMU SANGYEON!!!”

“Udah, udah…” Sunwoo berjalan kearah mereka berdua dengan piring yang ada di telapak tangan kanan dan kirinya. Wadah itu, berisikan gorengan yang sudah dipindahkan dari kantung plastik. “Nyemil dulu nyemil.”

“Ah kamu Des, masa udah dua tahun camilannya gak ada perubahan. Masih aja gorengan…”

“Wah Mbul, jangan lupa identitas gitu dong. Gorengan ini makanan adat Indekos Poci, dan budaya itu sudah seharusnya dilestarikan.”

“Biarin Mbul biarin, baru disini dia bisa bercanda ria. Kalau di kamar sendiri biasa cuma bisa nyanyi Cinta Ini Membunuhku.”

“Wah, Bangkev…” Si yang sedang terolok-olok merangkul Kevin dengan perlahan, memasang wajah dramatis yang dibuat-buat. “Ngga ada ceritanya cinta Eric membunuh gue. Yang ada dia malah mengajarkan gue untuk menjadi manusia yang kuat, sabar, dan ikhlas.”

“Lha, terus kamu tiap malem-malem nangis curhatan sama aku di telepon itu apa dong, Sunwoo?”

Anak itu mendecakan lidah dan menggertakan giginya ke arah Haknyeon, “Dahlah, lo pada kunyah aja tuh gorengan. Eh tapi kecuali yang mual mau ketemu uda, yak.”

Chanhee memicingkan matanya kepada Sunwoo dengan buas. “Bisa?”

“Bisa apaan kak?”

“Bisa musnah dari dunia ini?

“Galak bener dah…” Dagunya dicolek dengan usil. “Jangan galak-galak kak, entar Sangyeon kabur.”

“Kenapa saya kabur?”

Chanhee pada saat itu, serta merta mengalami sebuah pengalaman spiritual dimana rohnya terbang meninggalkan tubuhnya. Lirikannya yang enggan itu mau tak mau tepat sasaran, dan dalam sebuah riuh yang tumpah seisi ruang tamu itu kemudian memberikan sebuah penyambutan.

Dan mau tak mau, dirinya ikut bergabung.

Mereplika imaji tentang Sangyeon di kepalanya tidaklah mudah. Mantan kekasihnya itu bukan tipe orang yang menggembar-gemborkan kehidupannya dalam medium berbentuk media sosial, dan kekejamannya pada hari terakhir mereka bertemu dua tahun lalu tak memberi kesempatan untuk mereka menjalin sebuah silaturahmi dimana keduanya bisa dengan santai melempar pertanyaan berbunyi apa kabar.

Pun begitu, ia akan selalu ingat dengan jelas seluruh perasaan yang timbul tentang hal-hal yang menyangkut Lee Sangyeon. Pria itu bagaikan sinaran tata surya untuk segalanya yang aman dan nyaman, dan rumah sederhana berisi dia dan dirinya bersama beberapa anak mereka yang lucu acap kali timbul tanpa permisi.

Namun, permasalahannya, Choi Chanhee sedang menuju gila karena berhasil mendeteksi aura yang berbeda dari Lee Sangyeon namun tak berkemampuan untuk menjelaskan apa dan mengapa.

Pria itu datang dengan celana bahan dan sweater abu-abu hangat menutupi kemeja putih dibaliknya. Changmin selalu bergurau bahwa penampilan Sangyeon terlihat seperti duda beranak satu yang sudah lelah mengikuti sidang perceraian, dan Hyunjae selalu mengatakan bahwa Sangyeon terlihat seperti pria paruh baya dengan beban ekonomi di pundaknya.

Menurut Chanhee mereka berdua salah besar. Di dalam pandangannya, Lee Sangyeon berpenampilan seperti mas-mas biasa saja yang akan berpegang teguh kepada kata setia dan mendedikasikan hidupnya untuk menggambar senyuman pada wajah orang yang dicinta.

And now he also wonders if Sangyeon spent a solid three hours just to pick the right clothes and a decent hairstyle to set himself ready for this very particular moment just like Chanhee did.

Sebuah kenyataan yang faktanya valid, hanyalah bagaimana Sangyeon masih berkemampuan untuk membuat sesuatu di dalam diri Chanhee bergejolak riuh.

“Buset yah, rapi amat… Mana amplop CVnya?”

“Kamu nih Sunwoo,” Senyum manisnya. Suara hangat tawanya. Pindai matanya yang mengelilingi seisi ruangan. “Halo semuanya…”

“Halo udaaa…”

Chanhee yang tercekat berakhir dengan bungkam total dibibirnya dan melewatkan paduan suara yang baru saja terjadi. Sampai, akhirnya, manik itu jatuh bergilir tepat kepadanya. “Halo, Chanhee…”

Tantangan entah keberapa yang dihadapinya hari ini, adalah sebisa mungkin menahan dirinya untuk tidak cegukan. “Halo, kak…”

“Anjay, indomie warkop. Spesial telor kornet…”

Changmin dengan tangan kecilnya membekap bibir Sunwoo bersama dengan emosinya yang menggebu. Kalimat yang selanjutnya memantul diantara mereka adalah sesuatu yang terdengar seperti lo tuh jangan merusak momen!!!

Dan selanjutnya, tinggal tersisa serangkaian agenda dimana Chanhee mencoba untuk bertahan hidup.

Menghindari Sangyeon ternyata bukanlah hal yang begitu sulit. Banyak diantara teman-temannya yang mempunyai topik obrolan yang ingin mereka bicarakan dengan sang uda, dan alhasil pria itu terlalu sibuk tenggelam dalam acara reuni mereka seraya tertawa lepas acap kali mengenang ulang kejadian bodoh yang pernah terjadi di masa lalu.

Tugas Chanhee pada sore hari itu barangkali pun sama; mendengarkan, menimpali, memastikan pesanan delivery mereka datang sesuai pesanan, dan membantu menyuguhi makanan untuk teman-temannya. Satu jobdesk tambahan yang diam-diam ia lakukan pada kala itu, adalah mencuri pandang kearah Sangyeon.

Dan adalah kebohongan jika Chanhee bilang ia juga tak sesekali menangkap sang pria menoleh kearahnya.

Namun kepasrahan adalah apa yang membuatnya berlaku pasif. Dirinya yang berserah, adalah atas dasar pikir panjang yang berpusat kepada pemikiran: jika ia mencoba memulai, lalu kemana lagi akhirnya?

Tembok defensifnya berhasil bertahan hingga hampir tengah malam.

Mereka sepakat untuk tak mengikutsertakan alkohol setelah mengkonsiderasikan norma dan etika. Rumah ini bukan lagi tempat tinggal mereka, dan kedatangan mereka kesini hanya untuk berkunjung berdasarkan izin dari pemiliknya.

Jadi ketika tepat pada pukul sebelas lewat tiga puluh malam mereka memutuskan untuk membubarkan acara, sepuluh dari mereka masih dalam keadaan sadar.

Hanya saja, it’s just a tiny little bit, “Nyet, lo balik ke rumah atau nginep di rumah kakak sepupu lo?”

“Gue?” Changmin menunjuk dirinya sendiri. “Ke rumah sih. Kenapa emang?”

“Lo nginep apartemen gue aja deh, jadi kita langsung pesen Gocar berdua.”

“Duh, besok gue ada acara kondangan sama bokap dan nyokap. Males gue kalau harus cabut pagi dari kosan lo. Jeje tuh coba.”

Hyunjae is… (sudah bersiap di samping motor Juyeon yang sedang memakaikan helm di kepalanya dengan senyum manis terpatri di masing-masing) …nevermind.

“Terus lo mau balik naik apa?” Tanyanya lagi, mulai gelisah.

“Ya dianterin sama kakak, lah.”

Sumringah Ji Changmin, tatapan terhianati Choi Chanhee. “Dan membiarkan gue ngegocar jam segini sendirian, gitu?”

“Lo ngapain ngegocar, anjir? Itu Sangyeon kesini kan bawa mobil. Ya walaupun Avanza sih…”

That’s not entirely the point but, what the fuck. “Lo jangan gila, dong nyet…”

“Gue gak gila…” —Kakak sebentar yaa tungguin aku lagi ngomong sesuatu sama Chanhee!!!— “Gak ada yang salah dari Sangyeon nganterin lo pulang.”

“Ya jelas salah lah??? Emangnya Sangyeon mau?”

“—Mau apa?” Dirinya terlonjak ketika mendengar suara yang datang dari belakang. Dan ketika membalikan badan, Chanhee menemukan Sangyeon yang tengah berusaha memasang jam tangannya dengan rambut setengah basah. Katanya ketika kepalanya sudah kembali mendongak, “Jadi kan? Yuk?”

Chanhee mencoba untuk berkedip. “Jadi… apa?”

“Pulang, kan? Tadi saya udah titip pesen sama Changmin supaya kamu jangan pesen Gocar dulu.”

“Oh… Belum sih… Dan jadi sih…”

“Okedeh. Yuk?”

Chanhee menyempatkan diri untuk melirik sahabatnya yang tengah berusaha menyembunyikan seringai. “Okay.

And within a few of second, it’s Chanhee following Sangyeon’s back in complete silence from behind.

Changmin tidak berbohong ketika mengatakan bahwa mobil Sangyeon adalah Avanza. Which is a funny thing, karena the only time Chanhee pernah menaiki mobil jenis ini hanyalah setiap kali ia mendapatkannya lewat jalur pemesanan online. But there he is, duduk di kursi depan dengan Sangyeon menyetir di sebelahnya.

It’s a complication between knowing your place and be polite. Ia tahu kejahatannya dulu adalah nyata, dan kata maaf belum tentu cukup. Tetapi, sebagai orang yang paham caranya berterima kasih, Chanhee dituntut untuk bersikap baik kepada penolongnya dalam kurun rentang waktu ‘nganterin pulang’ ini.

Menjalin sebuah konversasi sekarang berubah menjadi sebuah tuntutan.

“Emangnya kamu searah, kak?” Mulainya, dengan perut mual.

“Hm?” Kepala pria itu tak menoleh, tetapi jemarinya meraih tombol music player untuk sedikit mengeraskan suaranya. “Kenapa dek?”

“Kamu mau anter aku pulang, emangnya searah?”

“Oh engga. Tadi Changmin bukannya bilang kamu yang minta anterin pulang? Aku sih mau-mau aja.”

“Aku ngga…” Ji Fucking Changmin. “…Udahlah.”

Sangyeon terkekeh. “Maaf ya, mobilnya Avanza. Ini juga belinya bekas. Tapi lumayan lah, masih bagus kayak baru. Untuk mobilitas sih oke.”

I didn’t say anything.

Seringai di wajah pria itu tergambar seakan-akan dirinya mengerti. “Iya, cuma lagi kasih briefing aja. Takutnya kan kamu gak nyaman. Tapi sebisa mungkin saya bikin nyaman.”

Chanhee menelan salivanya menuruni tenggorokan dengan susah payah, seakan organ tubuhnya itu tengah bengkak parah.

“Kamu masih ngelakuin itu.” Sangyeon kembali membuka pembicaraan, sesekali menolehkan kepalanya.

“Ngelakuin apa?”

“Gigit bibir kamu setiap kali kamu mikirin sesuatu buat diucapin.”

“Aku gak lagi mikirin apa-apa.” That’s a lie.

Beberapa detik yang lalu, Chanhee baru saja mengunjungi surga. Dan itu semua datang dalam bentuk Lee Sangyeon dengan genggamannya yang erat pada kemudi. Dalam kemeja yang digulung hingga bagian siku. Dalam pembuluh darah yang bermunculan acap kali menarik rem tangan. Dalam jakunnya yang naik dan turun.

Dan Chanhee diam-diam mencuri pandang bagaikan kriminal ulung.

“Ah.” Anggukan Sangyeon penuh indikasi meledek, tetapi Chanhee tak bisa melakukan apapun tentang itu. “Rambutnya sekarang panjang. Bagus.”

“Makasih… Kamu juga, badannya lebih berisi.”

“Perut saya bergelambir maksudnya?”

“Bukan.” Dehaman kikuk. “Otot. Ahem. Maksudku.”

Pria itu kembali menggambar senyum manisnya. So much untuk pertemuan tanpa apa kabar, aku baik, kalau kamu? dan berlari langsung kepada rambut dan otot.

Namun setelah kembali menimbang, Chanhee akhirnya dapat menemukan konteks perbedaan itu dari Sangyeon; his confidence, and his straightforwardness. He runs like a natural seakan dia bukan lagi sosok yang pesimistis.

And the thing hits Chanhee in the guts from how attractive it is.

“Chan?”

“Hm?”

“Alamat.”

“Oh… Oh.” Ia terbirit-birit membuka maps di handphone. “Ini… Apartemen… sebentar… Nanti aku arahin pokoknya.”

“Kamu sekarang tinggal di apartemen?”

Dirinya terkekeh kecil. “Gak bener-bener ‘tinggal’, sih. More like a secret getaway. Ever since Poci, aku jadi belajar kalau investasi itu penting. So i’ve been trying to save up and tried to buy anything from my own money. So it’s like, something mami couldn’t touch. Dan karena aku juga lagi skripsian, jadi lebih sering ngurung diri di apartemen aja.”

Situasi tersebut menjadi jenaka karena ketika kembali dibayangkan, alasan segala tindakan preventif yang memprovokasi dirinya berada tepat disebelahnya. Lee Sangyeon, dalam situasi yang sukar untuk dimengerti, telah mengubah Choi Chanhee menjadi sosok yang lebih dewasa.

“Oalah… Bagus itu, dek. Saya ikut seneng dengernya.”

Chanhee membalas sekedar dalam anggukan kecil, dan Sangyeon tidak mempermasalahkan nihilnya pertanyaan yang terlontar mengenai dirinya.

Dan keheningan itu berlangsung sampai tepat di depan lobi apartemen.

Ketika dirinya turun dari mobil dan melongok ke jendela yang terbuka, ucapan terima kasihnya didahului oleh Sangyeon.

“Dek?”

“Iya, kak?”

Next time, kamu bisa jangan sekikuk ini di depan saya, gak?”

Choi Chanhee, bersamaan dengan napasnya yang tercekat, mencoba begitu keras untuk mengontrol ekspresi wajahnya. “I’ll—i’ll try.

Dalam keheningan perjalanannya selama di dalam lift, ia berusaha untuk tidak tersenyum acap kali mengingat kata next time.

***

Sangyeon tidak bercanda ketika mengatakan next time dengan lantang dan jelas dari bibirnya malam itu. Tepat di hari Jumat seminggu setelahnya, sebuah pesan singkat muncul dan membuat rasa kantuk Chanhee seketika hilang.

Besok, ada waktu lowong?

Saya mau coba makanan viral yang direkomendasiin temen kantor

Tapi kok malu ya kalau sendiri… hahaha

Mungkin kamu lebih paham

Oh iya, ini sangyeon

Nomormu changmin yang kasih

Saya yang minta.

Dan dalam sekejap, dunia Chanhee jungkir balik. Satu minggu adalah dirinya dan Sangyeon yang menjadi turis di kota yang sudah ia kenal betul. Satu minggu berikutnya sebuah thrifting mengasyikan dengan tangannya yang kosong dan kantung belanjanya yang berada dalam genggaman Sangyeon. Satu minggu berikutnya ada popcorn dan kola di pangkuan mereka, bersama dua pasang mata yang terpatri pada layar lebar bioskop.

Dan satu minggu berikutnya yang juga menandakan satu bulan semenjak mereka melakukan serangkaian kegiatan tersebut dengan instan dan impulsif, mereka tengah menyusuri jalan setapak salah satu lokasi kuliner ramai di tengah kota Jakarta, sesekali memberi kesempatan pada nyanyian para mengamen untuk berdengung tepat di telinga.

“Lirik lagu yang paling saya suka itu, ‘'Cause i miss you, body and soul so strong that it takes my breath away, and i breathe you into my heart and i pray for the strength to stand today. 'Cause i love you, whether it's wrong or right.’ Daniel—”

“—Daniel,”

“Bedingfied—”

“—Bedingfield.”

Keduanya terkekeh lepas.

But isn’t that… bold?

“Apanya, dek?”

Loving someone, whether it’s wrong or right.

“Hmm…” Sangyeon diam-diam menarik pinggang Chanhee mendekat, mencegahnya dari menabrak seseorang yang datang dari arah berlawanan. “Ya gak ada salahnya, kan? Toh cinta tak harus memiliki.”

That is so corny of him that Chanhee almost throw up, tetapi dirinya tak bisa Menyusun kalimat dengan baik semenjak telapak tangan Sangyeon ada di lekuk pinggangnya.

Um, okay. Mine was, ‘It started out as a feeling. Which then grew into a hope. Which then turned into a quiet thought. And then the world grew louder and louder, ‘till it was a battle cry.’

Sangyeon dan satu alisnya yang menukik naik, Chanhee dengan tunggunya yang harap-harap cemas.

“Jelek, kah?” Coba dan pancingnya lagi.

“Oh bukan, bukan. Barusan saya nungguin kamu nyebutin nama penyanyinya.”

You don’t know?

Sangyeon menggeleng.

“Regina Spektor?”

Sangyeon kembali menggeleng.

Prince Caspian???

Sangyeon masih menggeleng.

Oh God, you haven’t watch Narnia, have you?

Tawa pria disampingnya, timbul karena Chanhee yang tengah mengusap wajahnya dengan frustasi. “Jujur, belum.”

That’s a lot to fix.

Alih-alih melempar respon balik kepada pernyataanya tadi, Sangyeon dengan tenang melepas jaketnya, mengalungkannya perlahan di pinggang Chanhee, dan kini jaket itu menutupi bagian bokong sana.

Chanhee dalam diam menundukan kepalanya; memperhatikan jemari Sangyeon yang mengikat bagian lengannya, memandang helai rambut di puncak kepalanya, dan menoleh hanya untuk menemukan beberapa pemuda berpakaian nyentrik yang tengah memberikannya pandangan penuh nafsu kepadanya.

Dan Sangyeon melakukan control damage akan hal itu tanpa perlu banyak basa-basi bicara.

Lalu dengan santainya, pria itu kembali mendongak bersamaan dengan lesung pipi pada senyumannya. Ucapnya seakan tak baru saja membuat isi perut Chanhee jungkir balik, “Ngobrolnya sampai mana tadi?”

Mantan kekasihnya banyak melakukan hal tersebut, dalam sebulanan terakhir. Ia banyak menunjukan perilaku yang dulunya tak pernah ada dalam kamus, dan ia terus-terusan membuat Chanhee jadi pihak yang terkejut.

Sangyeon has been talkative, full of initiatives, and feels alive. Alive than before.

“Aku bisa bayar sen—”

“—Ini kamu yang bayarin, ya?”

“Oh. Oke?”

“Nanti selanjutnya, baru giliran saya.”

And makes sure there is always, always, a next time. And that’s a good thing.

***

Choi Chanhee

don’t care

no excuses

it’s narnia night

Lee Sangyeon

hahaha

ya udah

saya ngikut aja

dimana enaknya?

Choi Chanhee

sejujurnya belum kupikirkan

Lee Sangyeon

dasar…

hmm

apart kamu?

Chanhee harusnya tidak pernah setuju untuk bertemu Sangyeon ketika pria itu baru saja pulang dari kantor. Atau, jika boleh direvisi, Chanhee seharusnya tidak pernah setuju untuk bertemu Sangyeon dengan alasan apapun, apalagi sampai menyetujui undangan untuk pria itu bertamu ke apartemennya.

Sekarang ketika hidupnya sengsara, yang bisa disalahkan hanyalah dirinya sendiri.

Ia tidak pernah benar-benar mengkonsiderasi dirinya sebagai sosok yang hopelessly romantic. Ia tidak bisa diburu-buru, kecuali dirinya yang menginginkan sendiri hal tersebut. Ia juga bukan Changmin, yang dengan terang-terangan menunggu agar adegan favorit fanfiksinya menjadi nyata dan terjadi kepadanya. Namun pada kenyataanya, Choi Chanhee sedang sial besar.

Kejadian ini terus-terusan terjadi selama sebulan terakhir; Chanhee, si pendosa, mencuri pandang pada lengan kekar Sangyeon acap kali pria itu tengah menyetir, terkadang usil merambat ke bagian lainnya, menikmati sendiri, diam-diam, apapun fantasi yang sedang bekerja di dalam kepalanya.

Lalu Sangyeon, dengan ketidaktahuannya, akan menoleh karena merasa dirinya sedang diamati. Namun si Chanhee itu bisa dibilang adalah segalanya yang mahir. Pandangannya, akan lebih cepat mangkir sebelum pernah sempat tertangkap basah.

Biasanya semua akan berakhir disitu. Biasanya, curi pandang itu adalah pengisian tenaga untuk energinya yang pergi entah kemana. Chanhee akan kembali diturunkan di depan lobi, kembali merendahkan tubuh sejajar kaca dan melambaikan tangannya, kembali berbunga-bunga hingga sakit kepala, dan kembali menantikan akhir pekan untuk apapun itu nanti yang mereka rencanakan.

Namun nyatanya berada di basement yang sepi dan mengizinkan Sangyeon untuk membantunya membukakan sabuk pengaman bukanlah hal yang cukup cerdik. Karena Choi Chanhee, dengan akal sehatnya yang sudah pindah ke kaki, telah kepalang tanggung melompat ke pangkuan Lee Sangyeon.

Ada sebuah skenario di dalam kepalanya tentang mendaftar menjadi warga negara Zimbabwe jika seumpama pria di depannya tak menginginkan hal seperti apa yang diinginkannya saat ini. Pertama-tama tentu saja ia harus memastikan pintu mobil ini tidak terkunci, or else rencana kaburnya akan menjadi sirkus memalukan. Di sudut pandangan tasnya juga telah menunggu untuk ikut ditarik pergi, dan Chanhee adalah manusia penuh rencana kecuali tentang berada di atas pangkuan mantan kekasihnya.

Namun ia merasa akan gila jikalau tak segera menyentuh Sangyeon sesegera mungkin, dan ini adalah salah satu usahanya untuk bertahan hidup.

Dan, untungnya, yang diharapkan menangkap sinyal tersebut.

Segera setelah kedua telapak tangan Sangyeon menangkup wajah Chanhee, si dia bertanya. “Ini yang kamu mau atau engga?”

He wants to laugh hysterically because what the fuck, Chanhee’s whoring himself and the man is still asking for consent.

Melumat bibir Sangyeon adalah jawaban Chanhee, lebih tepatnya. Ia sungguh tidak mempunyai penjelasan inkoheren tentang the goods and the bads, karena yang saat ini ia inginkan hanyalah bersama dengan Sangyeon, kulit bertemu kulit.

Ingat bagaimana dirinya menjabarkan bahwa menanti fanfiksi sampai akhirnya menjadi nyata adalah ranah Changmin? What would he thinks, ketika sahabatnya itu tahu bahwa Sangyeon masih tak melepas ciumannya sepanjang perjalanan mereka keluar dari mobil (dengan susah payah), menunggu dan memasuki lift, menerjang kantung Doraemon hanya untuk menemukan kunci kamar Chanhee yang entah ada di bagian tas sebelah mana, dan semua itu ia lakukan bersama dengan jemarinya yang dengan lihai membuka kancing kemeja Sangyeon satu demi satu.

Changmin would call it magical, Chanhee rather address it as madness.

Harusnya ia tahu bahwa cepat atau lambat punggungnya akan menemukan tempat empuk bernama tempat tidur dari entah bagaimana langkah terburu-buru mereka menuju kesana. Tangan Sangyeon memenjaranya di samping kepala, dan wajah sang pria yang menggantung tepat diatasnya mencoba bernapas dengan teratur dan mengirim rasa hangat pada setiap titik di kulitnya.

Ucapnya dengan terengah-engah, dengan bisik yang ia yakin tak dimaksudkan untuk terdengar erotis, “Chanhee, ini beneran?”

“Kamu… gak mau?”

“Saya bukan gak mau,” Rengeknya, frustasinya, seraya menjatuhkan keningnya di atas dada Chanhee. “Saya gak ada persiapan apa-apa.”

“Aku,” Tenggorokannya luar biasa sakit. “Aku ada. Um. Di laci.”

Sangyeon, of course, eyeing him with the look. A certain look. And fuck, Chanhee’s entirely blaming Changmin for that.

Tetapi tensi diantara mereka sudah terlanjur membara. Penampilan mereka sudah terlanjur berantakan. Libido mereka sudah terlanjur merangsang. Dan rasa nyeri pada sebuah organ tubuh diantara selangkangan, sudah terlanjur mendistraksi.

Nanti, begitu mata Sangyeon berbicara. Kita bahas ini nanti.

Dan itu sekaligus menjadi isyarat bagi Chanhee bahwa apapun yang selanjutnya terjadi setelah ini telah diikat oleh situasi sama-sama ingin.

Maka pada saat putingnya menjadi sebuah target untuk bisa Sangyeon lumat dan hisap, seluruh tubuhnya serta-merta mengejang. “Ngghh!

Sangyeon bukan orang yang banyak berbicara ditengah-tengah kegiatan seks, so Chanhee discovered. Dia lebih suka menggunakan bibirnya untuk banyak hal lain, seperti mencipta bercak merah gelap di lehernya atau di tempat lain yang menimbulkan nikmat bukan main. Seperti misalnya: ke bawah, ke bawah, dan terus ke arah bawah….

“S—Sang—shit—Sangyeon.”

“Hm?”

No… it’s just… it’s good.

Alih-alih merespon, pria itu menggunakan kelima jemarinya untuk menggelitik kepunyaan Chanhee yang masih berada di balik celana dalamnya. Lalu lagi, dengan suara yang kali ini dimaksudkan untuk terdengar erotis, ia berbisik.

“Buka, gak?”

And Chanhee thinks he’s crazy for that.

Menangkap sebuah pemandangan akan Sangyeon yang tengah mencondongkan tubuhnya kearah laci tempatnya menaruh peralatan tempur itu dipikir-pikir cukup jenaka. Satu bulan lalu Chanhee adalah seorang pemuda dengan sistem kerja otak yang salah akibat impulsivitasnya dalam membeli pelumas juga alat kontrasepsi berdasarkan angan-angan, dan hari ini kedua benda itu ada di genggaman sosok yang ia bayangkan, ia harapkan, akan menggengamnya.

His wildest dream is now cursed.

“Kamu tau kita akan ngapain dan gimana kan, dek?”

I know. I’m good at theory.

“Wah, berat.”

Tanpa mengetahui dimana letak kelucuannya, Chanhee terkekeh. “Meaning?

“Berarti saya bisa dibanding-bandingin sama contoh soal.”

Chanhee mengetuk halus, menggoda, ujung hidung Sangyeon dengan senyuman yang ia tahu akan membunuh. He knew his game. He knew what becomes his expertise. Karena, pertanyaan yang kemudian ia lontarkan berbunyi kira-kira seperti ini: “Up for the challenge?

It’s the ‘hell yeah i’m game’ out of Sangyeon ketika pada akhirnya ia membuat Chanhee berpresensi tanpa sehelai busana pun. It’s the starstruck moment out of him ketika napasnya yang tercekat, matanya yang terpaku, tangannya yang bergetar, adalah disebabkan oleh kekaguman luar biasa.

“Sayang…” Ucapnya, lirih, dalam, dan sungguh-sungguh. “Cantik…”

Chanhee melts into a puddle he wasn’t sure he’s gonna survive whatever the hell is this.

Please… Kak, tolong…”

“Tolong apa, cantik?”

“Aku mau…” Tubuhnya menggeliat, melengkung, meramu. “Aku mau banget aku gak bisa… Aku udah gak tahan…”

“Iya…” Bibir Sangyeon mengecup puncak penisnya, dan bibirnya hinggap disana dengan halus bagaikan terbangnya bulu. “Iya…”

“Sangyeon tolong…”

Sangyeon menolongnya, dengan mulai membalurkan pelumas ke atas telapak tangan. Ibu jarinya mengusap pipi Chanhee atas nama reasurasi, dan sebagai penanda bahwa tak ada jaminan bahwa ini tidak akan sakit tetapi aku disini.

Chanhee sudah mengaku bukan, bahwa ia bukan orang suci? He’s more than often shoving his own finger down there during his alone time. But this. This. With no other than Sangyeon’s finger himself, no words would do any justice.

Oh my God. Oh. My. God.

“Sakit?”

I’m—fuck, fuck, fuck, do it.

Dan dimundur-majukan kemudian lah jemarinya. Sampai lalu, sampai kemudian, kegiatan itu,berhasil menghantarkan Chanhee pada titik-titik dalam hidupnya yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya.

Dan seakan belum cukup, dan SEAKAN belum cukup, Sangyeon masih punya banyak rencana untuk menciptakan migrain di kepalanya. Karena pertunjukan di depan sana, pertunjukan yang ada dan terjadi di depan sana, sama gilanya dengan pembunuhan.

“Kamu mau ng—”

It’s Lee Sangyeon, disarming his pants, showing Chanhee his pride, opening the condom pack with his own teeth, all happened in one go.

Oh fuck me.” Kata-kata itu seharusnya hanya terucap di kepala, namun perkara sekarang si dia ikut mendengarnya sudah tidak lagi menjadi masalah utama.

Bibirnya dikecup sekali, matanya menangkap senyum penuh reasurasi, and the next thing he knew ada Sangyeon di dalam dirinya; besar dan memenuhi.

Holy. Shit.

“Enak, Chanhee?”

Dirinya mengangguk.

“Suka?”

Dirinya mengangguk dua kali lipat lebih keras.

The imagine of Sangyeon opening the condom pack with his teeth is so vivid inside his head that it’s so easy for him to get aroused just by that. Bahkan tanpa Chanhee harus menyentuh kepunyaanya sendiri, bahkan tanpa ia harus melakukan apa-apa.

Yang mampu ia lakukan, sejujur-jujurnya, hanya menggigit bibirnya untuk menahan lenguhan dan jeritan lebih besar daripada yang sudah ia keluarkan.

And when he had enough of the missionary, Chanhee made himself sits and bouncing on top of the Sangyeon’s lap.

“Ini posisi favorit aku.”

Sangyeon menahan rasa ngilunya dengan ringisan. “Kenapa? Bisa lebih mentok ya masuknya? Kayak begini?”

That—ahhh!—too, tapi point utamanya adalah your palm on my waist.

“Telapak tangan saya di pinggang kamu?”

It’s one of my favorite things in the world.

Noted, pak.” Sangyeon dengan senyum jahilnya, sebelum mengangkat tubuh Chanhee dengan mudah dan berlanjut menjatuhkannya kembali hingga tubuhnya melengkung dalam nikmat. Dia, menyentuh titik paling dalam. “I’ll hold you.

His world started to make no sense because it’s all black and grey. Satu detik bibir Sangyeon ada di putingnya, lalu di leher, lalu di bibir, lalu di segala titik yang nikmat, lalu alam semestanya tumpah ruah.

And without him noticing, he came. And it was one of the best ever existed.

“Kamu masih punya hutang sama saya.”

Masih dengan mereka, masih dengan tubuh tak berbusana, masih dengan napas yang sedikit terengah-engah. Namun yang kali ini, kepala Chanhee bersandar dengan nyaman di atas dada Sangyeon. Selimut tipis menutupi bagian bawah tubuhnya, dan matanya sesekali terpejam acap kali jemari sang pria menyisir rambutnya atau meraba usil punggungnya dengan buku-buku.

“Hm? Hutang apa?”

“Kenapa punya gituan di laci.”

Tubuh Chanhee bergetar karena tawa. “I have my own needs, you know?

“Iya saya tau. Pelumas, mungkin masih bisa ditoleransi. Tapi kondom?”

It’s… kind of a funny story.

Pelipisnya dikecup dengan lembut. “Cerita.”

So Chanhee did, all about the Younghoon Indomaret fiasco dan bagaimana ia tidak ingin hal memalukan itu juga terjadi kepada mereka. Technically. But of course, semuanya masih akan menjadi janggal karena dirinya yang tertangkap basah membayangkan hal tersebut jauh sebelum bertemu Sangyeon.

“Kamu nih… Ya ampun…” Sangyeon meraup wajah Chanhee dengan gemas, mencubitinya, menekannya hingga bibirnya bertransformasi menjadi berbagai bentuk lucu, dan mengacak-acak rambutnya. “Udah cantik, gemes pula. Saya tuh gemes sama kamu, Chanhee...”

I know. I’m cool.

Sangyeon menyembunyikan wajahnya dibalik bantal untuk tertawa, diam-diam ikut menarik Chanhee semakin mendekat dalam pelukan. “Dan sayang banget…”

It’s the tingles all over his chest.You do?

“Masih, selalu.”

“Okay.” Chanhee susah payah menelan salivanya. He’s scared, obviously, above anything. But for now, he thinks it’s—Okay.

“Mau temenin saya masak indomie dan seduh kopi sachet?”

Yes.And eyes, all in silent teary.Yes, please.

It’s okay.