Dulu, Ketika Muda.

🎸

Tadi malam, Wonwoo susah tidur.

Ada truk pengangkut barang pindahan yang lalu lalang di depan rumahnya ngebawa banyak furnitur berukuran lumayan besar. Dari jendela kamarnya yang ada di lantai dua, dia bisa ngeliat pasangan suami istri yang masih cukup muda beserta satu anak mereka yang juga masih keliatan kecil sibuk bulak-balik ngangkatin barang dari truk ke dalam rumah yang ada tepat disebelah rumah Wonwoo.

Konsentrasinya cukup lumayan buyar karena dia tipe orang yang sulit fokus dibawah hingar bingar. Padahal, ada dua bab LKS Sejarah yang masih harus dia kerjain sampe tuntas. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, besok kan Sabtu? Dia punya lebih banyak waktu ekstra untuk ngelarin ini-itu. Hal terakhir yang dia inget dari semalam adalah gimana dia ketiduran dengan laptop disamping kepala yang masih nyala sewaktu dia bangun.

Paginya, anak kecil yang semalam dia liat ada di ruang keluarganya. Di tempat dia dan ayah biasa main play station tiap hari Minggu sambil si Bunda ngegoreng french fries dan chiken wing untuk mereka camil. Waktu Wonwoo jalan ke dapur dan nuangin sereal ke mangkok, si anak itu nengok dan ngeliatin dia dengan pandangan lugu seakan-akan meminta. Wonwoo gak punya pilihan lain selain ngebales tatapannya dengan taikan alis.

“Mau?” Kata Wonwoo, setengah nuang susu. Si bocah ngangguk, jalan doyong ke arahnya. “Ambil mangkok deh di rak.” Kata Wonwoo lagi, dan si bocah nurut. Badannya kurus, matanya sayu, ngeliatnya Wonwoo jadi setengah gak tega dan kepengen ngurusin.

Bocah itu masih gak bersuara waktu nyodorin mangkoknya ke depan Wonwoo. Dia tuang sereal dan susunya sendiri, habis itu duduk manis dan nunduk di kursinya. Mulutnya sibuk ngunyah, matanya fokus ke sendok.

“Kamu yang baru pindahan semalem kan, ya?” Akhirnya Wonwoo yang mulai, dan si bocah mengonfirmasi dengan anggukan kepala yang cukup jelas untuk dipahami sebagai jawaban iya. “Namanya siapa?”

“Hao.”

“Hao? Kepanjangannya?”

“Apanya yang harus dipanjangin?”

Wonwoo nyurengin alisnya heran. Dia yang nanya, dia yang bingung. “Maksudnya nama lengkap.”

“Ooh...” Si bocah ngangguk lagi sebelum masukin beberapa potong Coco Crunch ke mulutnya. “Minghao.”

“Kamu umur berapa?” Si bocah—Minghao ngangkat kesembilan jarinya ke udara supaya Wonwoo bisa liat. “Sembilan?”

“Iya.”

“Masih SD berarti?”

“Iya.” Wonwoo kira Minghao bakalan terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang dia kempar, sampe beberapa detik kemudian malah anaknya yang balik nanya. “Kalau kakak kelas berapa?”

Wonwoo senyum. “Tiga SMP.”

Wonwoo banyak tanya-tanya soal Minghao. Pindahan darimana, kenapa pindahnya, dan yang paling sederhana dia tanya apa Minghao udah sempet liat sekolah barunya disini. Jawabannya terbata-bata tapi pasti. Habis itu mereka cuci peralatan makan yang tadi mereka pakai bareng, sambil Wonwoo janji ke bocah itu kalau dia bakalan ngajakin Minghao jalan-jalan keliling Jakarta weekend depan.

Yang paling menarik dari pembicaraan mereka sepanjang pagi itu adalah bukan Minghao yang dengan polosnya nanya apa rasa ice cream disini dan di Surabaya berbeda atau boleh apa engga dia naik ke puncak Monas, tapi gimana Wonwoo ngeliat cara dia berdoa sebelum makan sereal barusan. Wonwoo tau dan paham betul. Di dalam keluarganya, selalu ada toleransi yang tinggi dalam beragama dan bagaimana sebuah pandangan buruk tidak seharusnya terbentuk hanya karena mereka mempunyai Tuhan yang berbeda.

Minghao anak yang cukup dewasa untuk bocah seumurannya. Dia sopan dan mengerti etika bertamu yang baik. Hari itu mereka main play station seharian sampai bunda pulang dan ngebuka pintu supaya Minghao bisa balik ke rumahnya.

Tanpa sadar, Wonwoo jadi protektif ke bocah satu itu. Mungkin karena matanya yang sayu dan badannya yang ringkih, atau mungkin karena Wonwoo merasa umurnya yang lebih tua membuat dia secara gak langsung punya kewajiban untuk jadi panutan yang baik. Gak ada waktu yang kelewat untuk mereka main ke rumah masing-masing. Minghao dengan seragam celana merah dan kaus kutangnya, Wonwoo dengan seragam celana biru panjangnya dan kaos oblong yang selalu kebesaran di bagian pundak.

Kegiatan mereka sederhana. Duduk bersebelah di atas tempat tidur sambil baca komik, nonton kartun sambil makan, main sambil ngedengerin bunda dan mami nya Minghao baking di dapur. Setiap hari Minggu biasanya Wonwoo suka uring-uringan karena Minghao yang harus pergi ke gereja dan quality time bareng keluarganya.

Wonwoo gak pernah lupa buat ingetin Minghao untuk makan yang banyak, untuk selalu rajin ke gereja, dan untuk selalu ngerjain PR.

Tapi diantara semua hari-hari yang mereka jalanin bareng, satu yang Wonwoo tau; mereka ada untuk satu sama lain, dan ada sebagian dari diri Wonwoo yang selalu ingin ngelindungin si kecil Minghao dan ngebimbing dia untuk jadi pribadi yang baik.

🎸

Dulu kalau mereka main perosotan di taman komplek rumah dan Minghao tiba-tiba luka karena jatuh, Wonwoo selalu siap ada disana untuk ngobatin. Banyak komplikasi dalam diri Wonwoo tentang bagaimana nantinya Minghao bisa bertahan kalau udah gak ada lagi dia di sampingnya buat ngerawat dia, tapi nyatanya semakin mereka besar bukan Minghao yang butuh diurus, tapi malah kebalikannya.

Wonwoo terlalu sering minjem bahu Minghao untuk menangis, terlalu sering minjem kamar Minghao untuk tempatnya nugas, dan terlalu sering diingetin untuk makan dimasa-masa skripsinya. Segalanya jadi tumpang tindih; gak ada lagi seorang bocah yang lugu, kurus, dan bermata sayu. Yang ada hanya sosok laki-laki yang selalu bisa jadi payungnya dikala-kala terberat.

Minghao, dalam keyakinan yang bertentangan, sudah jauh bisa mengurus dirinya sendiri bahkan tanpa campur tangan Wonwoo sekalipun. Anehnya, selalu ada bayangan masa kecil mereka yang ketanam di dada Wonwoo. Selalu ada pagi itu bertahun lalu waktu mereka pertama kali makan sereal bareng, naro piring yang udah mereka cuci balik ke rak, dan jam-jam yang mereka habisin bareng waktu nunggu bunda pulang. Bedanya cuma Minghao yang sekarang lebih besar dan lebih tinggi dari dia dengan baju putih dan celana abu-abunya, yang sering masuk ke kamar Wonwoo cuma buat ngusap-ngusap kepalanya abis itu pergi lagi.

“Eh mau kemana?”

“Rumah, ganti baju.”

“Nanti sini lagi gak?”

Alis Minghao naik satu waktu ngedenger nada bicara Wonwoo berubah manja. Tandanya dia butuh, tandanya dia mau. “Temenin?”

Orangnya nganguk.

“Lagi ngerjain apa?”

“Bab 4.”

Wajah Minghao otomatis luluh. “Nanti balik lagi.”

Malam itu Minghao gak pulang lagi kerumah. Agenda paling pentingnya adalah narik Wonwoo dari depan laptopnya waktu dirasa udah terlalu larut untuk otak kakaknya itu berfungsi. Wonwoo tidur di pelukan Minghao, nenangin napasnya yang terlalu susah untuk menjadi teratur karena ouput skripsinya yang ternyata gak sesuai keinginan.

Yang susah adalah ngehindar dari apa yang gak semestinya dia rasain. Harusnya afeksi dari Minghao dia tandai sebagai kasih sayang seorang teman, seorang adik, seorang yang selalu ada disampingnya. Tapi pada pelaksanaanya selalu ada hal lebih yang dia mau dari Minghao. Rutin. Menyiksa. Menghantui.

Puncaknya adalah waktu dia wisuda, dan yang sampe sekarang ada disana, di meja belajarnya, selembar foto Wonwoo dengan bunga dan toga. Disampingnya ada Minghao yang tinggi menjulang, memiringkan sebagian badannya untuk ngecup puncak kepala Wonwoo. Dia inget hari itu pipinya merah. Alibinya keluar dalam bentuk matahari hari ini panas, padahal sebetulnya sama sekali bukan matahari.

Masa-masa transisi Wonwoo dari anak kuliahan menjadi budak korporat keliatan dari waktunya yang udah gak seluang dulu. Gak ada lagi goleran dikasur sepulang sekolah, malam-malam nugas yang panjang, atau keseluruhan hal yang kejadian di masa lalu. Sekarang yang ada cuma insting adaptasinya, terus-menerus menyita waktu dan mengkonsumsi akal sehat.

Sekonyong-koyong dia melawan kehidupan orang dewasa dan segala tanggungjawab yang harus diemban, toh selalu ada Minghao yang menyambut dengan tangan terbuka di penghujung hari.

🎸

Di tahun kedua Wonwoo kerja, Minghao punya pacar. Temen gereja katanya, dan mereka sering ikut padus sama-sama. Minghao cerita kalau sekarang mereka bimbel bareng buat persiapan Ujian Nasional yang Wonwoo bales dengan acungan jampol setengah hati. Hari itu Wonwoo akhirnya paham kalau salah satu bagian paling berharga dari seseorang adalah waktunya. Waktu dan ketersediaan yang mereka punya buat kita.

Kalau dulu banyak penolakan yang sifatnya prinsipil, sekarang Wonwoo berubah jadi lebih luwes dan impulsif. Ngegagalin agenda ngedate Minghao, nyulik dia buat gitaran di balkon rumah, intinya segala hal yang bisa ngebuat Minghao terdistraksi dari kenyataan bahwa dia punya pacar. Dalam fikirannya, kepemilikan Minghao ada pada dia, dan gak ada yang boleh ngambil itu.

Beberapa bulan setelahnya, keluarga Minghao balik pulang ke Surabaya. Minghao akhirnya ngekos sendiri di deket kampus karena udah terlanjur keterima kuliah di Jakarta. Intensitas ketemu mereka memang gak sesering waktu rumah mereka bersebelahan, tapi seengaknya semenjak kuliah Minghao udah bukan berstatus in relationship lagi. Semenjak saat itu juga, banyak realisasi yang masuk ke kepalanya.

Adele bilang di salah satu lirik lagunya, Let me photograph you in this light in case it is the last time that we might be exactly like we were before we realized we were sad of getting old it made us restless.

Rasa-rasanya mereka semakin kehilangan identitas masa lalu, semakin diburu waktu, dan semakin lelah menunggu.

Ada percik api di setiap sendi-sendi tubuh Wonwoo yang menunggu untuk berkobar dengan garang, dengan marah, dengan segala bentuk emosi yang Wonwoo gak pernah tau ada. Atas waktu yang terbuang, atas maksud yang tak tersampai, dan atas segala-galanya yang semu tentang mereka berdua.

“Minghao.” Tanya Wonwoo di suatu malam, ketika sumbunya mulai habis.

“Hm?”

“Can you change religion for a lover?”

Minghao reflek ngeberhentiin segala aktivitasnya. “Gimana?”

“Harus beneran diulang?”

Cowok didepannya langsung diem sebentar, sebelum ngegeleng pelan. “Gak usah.”

“Yaudah jawab.”

“Gue gak terlalu perduli sih sama agama pasangan gue,” Wonwoo tau kalimat barusan akan dilanjut dengan tapi dan segala kenyataan pahit yang ngikutin di belakangnya, cuma dia gak bisa ngeberhentiin hatinya untuk sedikit punya harapan. “Tapi gue perduli sama apa yang orang tua gue percayai.”

Surprise, surprise.

“Kalau lo, kak?” Minghao nanya balik walaupun sebetulnya dia tau persis apa jawabannya.

“Sama.”

Wonwoo sibuk bergulat dengan konflik batin, Minghao sibuk ngatur string gitarnya. Menurut Wonwoo, adiknya itu selalu atraktif tiap tangannya menari-nari di atas gitar. Wonwoo gak punya mata untuk siapapun kecuali dia, dan rasanya sebentar lagi semua bisa berubah jadi obsesi layaknya parasit.

“Minghao.”

“Iya, Wonwoo?”

“Menurut lo, kita gimana?”

“Gimana apanya?”

“Bisa gak... kita sama-sama aja.” Diakhiri dengan tanda titik yang artinya ini perintah, bukan bahan diskusi. Minghao cuma ngelirik dengan tenang, seakan-akan udah lama nunggu penggalan kata itu keluar dari mulut Wonwoo.

“Kak, it’s gonna be hard on us.”

“Siapa yang bilang engga?”

“Kak,” Minghao narik napas cukup dalam, cukup panjang, dan cukup frustasi. “Gue serius.”

“Aren’t you tired?“ Cuma itu yang Wonwoo ucapin, tapi mereka udah sama-sama ngerti. Tanpa dibilang, tanpa dijabar, dan tanpa dikasih tau mereka sadar gimana selalu ada tensi yang berbeda diantara mereka. Selalu ada indikasi, isyarat, dan sinyal yang cuma mereka yang paham. Tapi emang dasar budak perasaan, apa aja juga dibablasin.

“Gue bukan cuma ngomongin soal sekarang kak, tapi kedepannya juga. Mau besok, lusa, atau suatu saat nanti, ujungnya bakalan gak ada buat kita. Kalau gak belajar dari sekarang, kapan lagi?”

Wonwoo, seumur hidupnya, gak pernah seegois ini. Dia gak mau mikirin, gak mau denger, gak mau perduli, dan gak mau nurut. Intuisinya kelewat mendominasi, terlalu melawan gravitasi.

“Jangan, ya?” Kata Minghao lagi, makin membangun benteng.

“Tapi gue maunya sama lo...” Kalimat itu Wonwoo ucapin sambil nunduk, sambil narik ujung kaos Minghao pelan, dan sambil nahan pipinya supaya gak basah. “Lo gak tau rasanya jadi gue.”

Minghao kalau Wonwoo udah nangis dikit aja, aksinya langsung tersetel otomatis. Cubit dua pipi sampe muka Wonwoo keliatan lucu, dan ngegencet bibirnya biar maju. “Nangis gue tinggal.”

“Gak nangis.”

“Itu basah.”

“Engga ih.” Wonwoo nunjukin matanya yang masih merah dan ngembeng air mata.

Minghao ketawa, pipi kakaknya tambah digencet. “Bukan cuma lo yang menderita karena hidup dalam banyak penyangkalan.”

“Maaf...”

“Maksudnya gak gitu,” Lagi-lagi Minghao narik napas setengah frustasi. “Jangan sampe ketauan bunda, ya? Jangan ketauan mami juga.”

“Iya.”

“Janji?”

Anggukan mantap.

Mereka diem-dieman. Wonwoo masih nunduk, masih narikin ujung kaos Minghao. “Terus sekarang gimana?” dia nanya pelan.

“Yaudah, lo punya gue.”

Terdengar janggal, tapi menyenangkan. Sarat makna. Di satu waktu juga menantang.

Dan mereka memang menantang banyak hal. Segala aspek dari yang terparah baru aja mereka langgar. Salah satu penyakit mematikan adalah mengikuti ego dan kata hati, karena gak pernah ada yang masuk akal disana. Tapi toh, semua kembali lagi ke diri masing-masing. Apa masih mau kita masuk ke lubang walau kita tau disana ada banyak buaya?

Jawabannya iya, kalau kita berani ngerasain sakit.