FATAL TRIALS.

— : Ican x Nu
— : in affiliation with Love For Sale (ALTERNATIVE PLOT)
— : ⚠️ having no cause-effect into the original story whatsoever
— : words count // 6,4k
— : a work of commission to. @chanwonz

Sebuah alternatif garis cerita dimana alih-alih mendadak didatangi teka-teki, Chan sudah lebih lama menyadari bahwa potongan petunjuk itu memang selalu ada.

Benefit dari tinggal di lingkungan yang sama semenjak lahir bagi Lee Chan adalah semua orang dalam radius kompleks rumahnya mengenal dia dan juga keluarganya dengan sangat baik. Sewaktu dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar, pernah ada sebuah kejadian dimana Chan berjalan kaki menjauhi sekolah, motor dan mobil berlalu lalang dengan kencang sementara bocah berumur sepuluh tahun itu berdiri di pinggir trotoar dengan air mata yang menodai dasi berwarna merahnya. Seorang bapak-bapak kemudian menghampirinya dan membawanya kembali ke rumah dengan selamat. Usut punya usut, pria paruh baya itu ternyata adalah teman bapak bermain karambol.

Benefit lain dari tinggal di lingkungan yang sama dalam sepanjang hidupnya adalah adaptasi yang tidak perlu repot-repot ia lakukan. Sekolah baru, tahun ajaran baru, kelas baru? Gak masalah. Karena pada akhirnya, teman sebangkunya adalah anak kelas sebelah yang dulunya selalu berdiri bersebelahan ketika upacara tetapi tak seakrab itu untuk mereka saling mengobrol. Chan begitu mengenal lingkungan tempatnya beranjak dewasa (termasuk mandatory legenda horror bahwa tanah kosong di dekat lapangan dulunya terdapat pohon beringin yang ditebang ketika bapak dan seluruh sesepuh kompleks ini masih muda), namun dia bisa merangkum satu hal: Cendana Indah bukan tempat yang tepat untuk menyimpan rahasia. Atau setidaknya itu adalah kesimpulan yang dirinya tarik dari nihilnya kebebasan berpendapat karena masing-masing dari mereka punya rahasia yang bisa dijadikan pemerasan terhadap satu sama lain.

Dan oh, betapa sial hidupnya karena tumbuh menjadi anggota termuda di antara kakak-kakaknya yang licik dan cerdik.

Selalu memalukan membicarakan urusan romansa ketika semua orang dalam jarak lima jengkal selalu memperlakukan dirinya seakan jika sekali saja Chan mendengar kata seks telinganya akan terbakar dan meleleh. Tahun lalu pernah ada kejadian ikonik yang menghebohkan jagad Cendana Indah dimana Jisoo kehilangan sebuah buku. Mungkin kedengarannya konyol, tetapi setelah mengetahui bahwa buku tersebut berjudul Fifty Shades of Grey Jeonghan adalah orang pertama yang membulatkan matanya hingga hampir keluar dari kelopak sedangkan Mingyu dengan penuh desperasi meminta penjelasan buku macam apa yang sedang mereka cari.

Hansol merupakan orang pertama yang mengetahui bahwa Chan adalah tersangka yang menyembunyikan buku itu. Dia dengan celana seragam abu-abu dan kaos putih yang sudah keluar dari lipatan diam-diam pergi ke kamar sang tetangga, menaruh buku itu di lantai, sementara mereka berdua duduk mengelilingi sang buku seakan tengah melakukan ritual terlarang. Hansol tidak sedikit pun terlihat kaget mendengar berita bahwa buku dengan rating dewasa tersebut adalah kepunyaan Hong Jisoo, padahal alasan satu-satunya mengapa sepupunya bertingkah begitu panik adalah karena ada citra anak polos yang harus ia jaga.

Malam itu, mereka berdua membaca sang buku secara bergantian dan menyembunyikannya di dalam tas laptop kepunyaan Hansol setelahnya sampai pada akhirnya tidak pernah ada yang sadar bahwa buku itu pernah ada lalu hilang. (Dan walaupun di umur yang baru menyentuh angka enam belas Chan tahu apa itu seks, terima kasih banyak).

Dia tahu dari mana bayi berasal baik lewat sudut pandang ilmiah atau pun kiasan, dia tahu apa saja yang dibutuhkan dua orang untuk bisa saling berciuman, dia tahu ada tensi berbeda untuk membedakan rasa sayang kepada tetangga yang sudah mereka anggap saudara sendiri atau rasa sayang yang konteksnya romantisme, dan dia diam-diam tahu tentang segala komplikasi antara Mingyu dan Soonyoung, Minghao yang dengan gengsinya selalu enggan bergabung bersama anak kompleks namun selalu menuruti semua peraturan ketika mereka bermain petak umpet, dan sesuatu yang aneh tentang kakak keduanya setelah putus dari pacarnya ketika berkuliah dulu.

He can blackmail the shits out of them with that much of secret-keeping, but it’s always embarrassing enough for him to admit whenever he likes someone. Setidaknya bukan kepada kakak-kakaknya yang baru berhenti menciumi pipinya ketika menuruninya di gerbang sekolah ketika Chan akhirnya masuk SMA (“Pokoknya kalau mas Gyu sama mas Han masih cium pipi Ican setiap turun mobil Ican bakalan ngamuk dan mogok sekolah selamanya”), dibuat malu setengah mati karena berhasil dibohongi bahwa sepatu yang kita pakai harus dilepas sebelum masuk ke pesawat, atau yang memergokinya di depan lemari pendingin ketika tengah meneguk 1 liter susu yang ia minum karena katanya minum susu bisa cepet bikin kita tinggi.

Jadi ketika untuk pertama kalinya Lee Chan jatuh cinta (atau setidaknya bisa diromantisasi sejauh itu karena for crying out loud he’s seventeen! he hasn’t had that many life to experience ups and downs yet!), fakta itu dirinya bungkus rapat-rapat dalam bentuk rahasia.

Semuanya bermula dari sini: siang hari itu, dia bersumpah akan memusnahkan budaya tebeng-menebeng atau kalau tidak para people pleaser dan juga manusia gak enakan di luar sana akan menemui ajalnya lebih cepat. Chan merasa dia adalah perwujudan lima puluh persen dari dua kategori itu, yang menjadi alasan mengapa dia sekarang berdiri di depan sebuah toko di mall yang adalah musuh umat (namanya Sociolla). Yerim yang pada saat itu punya pacar pada kenyataannya lebih memilih Chan untuk mengantarnya berburu diskon skincare dengan tema midnight sale daripada mengajak pacarnya yang bertemperemen jelek dan punya kesabaran setipis tisu.

Mungkin memang pada dasarnya hari itu dia sedang sial (re: kekacauan ini terjadi sebelum Yerim sempat menepati janjinya untuk mentraktir Yammie Hotplate) and then yadda, yadda, yadda, Lee Chan pernah hampir mati ditikam pacar Yerim yang salah paham ketika melihat mereka jalan berdua malam itu. Opsi pertama adalah untuk tidak ikut campur. Opsi kedua adalah ikut campur, dengan alasan sang pemuda kurang waras di depannya akan membunuh temannya yang saat itu sudah diseret menuju pintu keluar kalau Chan tidak segera bertindak. Tapi, yah, pada dasarnya dia mungkin memang pengecut. Salah satu benefit yang entah ke berapa dari menjadi anak bontot adalah akan selalu ada dua kakak yang dapat diandalkan untuk membereskan  semua masalahnya, sehingga menyebabkan dia tidak selalu tahu harus apa dalam beberapa situasi tertentu.

Lalu di tengah perdebatan batinnya, ratusan mata pengunjung lain yang mengarah kepada mereka, dan Yerim yang sudah menjerit kesakitan, seseorang dengan tendangan Taekwondonya menyingkirkan pacar Yerim yang sakit jiwa itu hingga terlempar ke dalam toko Guardian dan tertimpa puluhan botol shampoo berukuran besar serta beberapa kotak dus cat rambut dengan berbagai warna. Jika situasi ini ada di adegan film dan bukan nyata terjadi di dalam hidupnya, comedic timing ketika salah satu botol mementung kepala pacar Yerim untuk terakhir kali akan membuat satu teater bioskop tertawa terpingkal-pingkal.

Dia tidak akan membicarakan apa yang selanjutnya terjadi kepada pemuda yang kini sudah menjadi urusan satpam mall itu, yang jelas setelah akhirnya melangkah pergi menjauh Chan menemukan dirinya dan Yerim didudukan pada salah satu restoran pasta dengan menu overpriced dan porsi yang kecilnya kurang masuk akal. Raut wajah dua anak SMA yang bahkan seragamnya masih menempel di tubuh itu mungkin begitu mudah terbaca, karena selanjutnya ada sebuah kekeh tawa seraya kalimat it’s okay kalian pesen aja i’ll take care of the bills. (Chan meminta menunya lagi dari waiter setelah itu untuk mengganti dan memesan ulang menu pilihannya dengan harga yang lebih mahal)

Yerim lebih banyak mengobrol dengan kakak itu ketimbang Chan (yang terlihat mengejutkan, mengingat beberapa saat lalu Yerim baru saja berhadapan dengan pacarnya yang psikopat dan menjadi tontonan satu mall). Chan memang tidak menangkap banyak dari isi pembicaraan mereka karena sang kakak selalu berbicara dalam bahasa teka-teki dan otaknya yang belum sepenuhnya berdevelop kesulitan dalam memahami, tetapi dia mendengar sebuah kesimpulan yang setara dengan you guys wearing a high school uniform. i was struggling as well the last time i wore it. Jelas baik Yerim dan juga Chan terlalu segan untuk meminta sebuah elaborasi, jadi selama kakak itu tidak berniat jahat dengan diam-diam meninggalkan mereka bersama tagihan yang tak terbayar keduanya tidak masalah sekedar menjadi teman ngobrol.

Kakak itu juga memberikan Yerim banyak wejangan yang bahkan teman terdekatnya sendiri belum bisa berhasil tembus. Bukan cuma sekali mereka mencoba untuk menyadarkan bahwa sekuat apa apun cinta bayarannya tidak akan pernah  lewat kekerasan, dan pria di depan mereka entah bagaimana berhasil membuat Yerim terisak dalam diam karena akhirnya sadar telah luput dalam menyayangi dirinya sendiri. Di akhir diskusi, Chan menjerit dalam hati ketika sang kakak memberikan nomor kontaknya kepada mereka (kepada Yerim, yang Chan minta secara paksa keesokan harinya) untuk melapor jika suatu saat pacarnya memutuskan untuk menuntut.

Tuntutan itu tidak pernah datang, namun deru adrenalin di dalam hidup Chan tidak pernah setinggi ini.

Dulu ketika tengah melewati masa MOPDB, Yerim pernah naksir berat dengan salah satu kakak osis yang membantunya sewaktu hampir kena hukum karena tali sepatu yang berwarna hitam ketika harusnya putih. Kakak kelas itu mendudukinya di warung kecil dekat sekolah, lalu pemandangan yang terjadi selanjutnya ada mereka yang saling bertukar dan memasangnya pada sepatu masing-masing. Yerim memasuki gerbang sekolah dengan tali sepatu berwarna putih, dan tidak akan ada anak baru yang berani mempertanyakan Komdis yang melanggar aturan ketika mereka adalah orang yang membuat aturan tersebut.

Yerim mengumpulkan segala fakta tentang pujaan hatinya sebanyak yang ia mampu dari seluruh penjuru sumber informasi, dan dengan kemampuan stalkingnya yang begitu luar biasa dua minggu kemudian Yerim sudah mengetahui nama kakek sang kakak kelas sekaligus zodiaknya (Chan menggantung rahangnya begitu lama, dan Yerim merengek ketakutan kalau-kalau ajaran Aries dari sang kakek akan diturunkan kepada cucunya).

Dia berakhir dengan bergidik keheranan sepanjang sisa hari itu sampai akhirnya sebuah ide brilian muncul di dalam kepalanya.

“Oke deh si paling self-proclaimed the best stalker, gue tantang lo buat nyari semua info tentang kakak yang waktu itu nolongin kita di mall.”

Ajaran licik namun pintar dari kakak keduanya mungkin sudah merasuk ke dalam nadinya, namun ego Yerim yang barusan dia tantang itu akhirnya menyanggupi permintaan tersebut. Namun satu minggu berlalu, hasilnya adalah nihil. Untuk pertama kali dalam karir bersosial medianya, Kim Yerim merasa bahwa menjadi anggota FBI ternyata tidak pernah segampang itu. Di dalam okasi normal Chan mungkin akan berteriak atas kemenangannya. Namun ini adalah jauh dari okasi normal dan kalau seorang Kim Yerim tidak bisa menemukan satu pun informasi tentang kakak itu, seorang Lee Chan mungkin hanya bisa menunggu hingga wajah sang kakak hingga menghilang dari ingatannya.

Lalu seperti ketidaksempurnaan cara kerja otak anak berumur tujuh belas tahun lainnya, ia berakhir dengan menggunakan jalan keluar paling konyol dan kekanak-kanakan.

Alright, what is it? Are you hurt? Cowok itu gangguin teman lo lagi?”

Lee Chan dibalik balutan hoodie kuningnya, menggengam tali tas selempangnya seerat yang dirinya mampu. “Um.

Sang kakak berkedip kebingungan. “Hey?

Ketika dalam kurun waktu jeda sepuluh detik kepala kecil itu masih terus-terusan menunduk, kekehan tempo hari yang pernah menjadi melodi di telinganya akhirnya kembali muncul. Pria di depannya mencoba mensejajarkan wajah dengan Chan sebelum mengatakan,

Do you prefer hot or iced chocolate?

Chan baru menyadari bahwa segalanya kemudian bereskalasi dengan cepat ketika dalam hitungan beberapa hari ia telah mengetahui fakta bahwa kakak itu mempunyai umur yang sama dengan mas Han (yang sempat membuatnya berkontemplasi, karena ada tembok berjarak sembilan tahun disana dan jika rasa suka ini benar-benar ada simulasinya menjadi bagaimana jika ia menyukai kakaknya sendiri, yang artinya menjijikan). Dia juga akhirnya mengetahui bahwa pria itu bernama Nu, dan misteri mengapa mustahil untuk mengorek kehidupannya lewat sosial media tidak pernah benar-benar terpecahkan.

Setelah Nu mengetahui bahwa alasan Chan menghubunginya hari itu adalah sama sekali bukan karena suatu urgensi dan semuanya hanya kebohongan belaka, sang pria tidak menunjukan tanda-tanda kemarahan sebagaimana prediksi awalnya menerka-nerka. Nu, sekali lagi membuat segala aksinya terlihat bagaikan potongan teka-teki paling susah di dunia tapi di waktu yang sama menuntunnya dengan begitu natural. Pria itu bahkan tak mempertanyakan mengapa Chan harus berbohong dan membuat skenario seakan-akan pertemuan dadakan hari itu terjadi demi Yerim. 

Nu hanya mengangguk penuh pengertian setelah Chan mengatakan bahwa dia lebih suka minumannya dingin, dan mereka duduk bersebelahan di dalam bangku MRT sore hari itu.

Nu memang punya umur yang sama dengan mas Han, tetapi caranya berpikir sama sekali tak mencerminkan kalau mereka lahir di tahun yang sama terutama dari cara mereka memperlakukan Chan. Awalnya dia setengah mati mencari bagaimana dan dimana letak perbedaanya, tetapi kemudian ia sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa Nu mungkin bersikap seperti itu karena tidak pernah menyaksikan Chan keluar dari dalam rahim ibu, menggantikan popoknya sewaktu bayi, dan melihat seluruh tubuhnya tanpa busana setidaknya sampai umur sepuluh tahun. Nu juga tidak memegang rahasia apa pun tentang Chan. Pria itu tidak tahu-menahu tentang dia yang pernah menangis tersedu-sedu karena harus menjadi orang miskin dalam permainan saya orang miskin saya orang kaya, dan terlihat seperti remaja dimabuk cinta di depan Nu bukanlah sesuatu yang memalukan.

Nu mengajaknya berkunjung ke apartemen untuk pertama kali setelah langit Jakarta memutuskan untuk menjadi menyebalkan dan membuat hujan turun dengan deras di hari ketika sebuah ide tentang mengitari kota Jakarta dengan sepeda motor terdengar seperti hal paling brilian. Tawaran yang mungkin bagi Nu hanyalah sekedar niat baik agar Chan tidak harus mengharungi kota Jakarta dari Selatan menuju Timur dengan sekujur tubuh menggigil, namun tawaran yang diam-diam bagi Chan terasa mencekik leher dan membuat lidahnya kelu.

Ternyata, Nu dan apartemennya sama misteriusnya dengan dirinya. Ketika memasuki gerbang rumah Minghao warga Cendana Indah akan menemukan mobil sport mahal di garasi yang tidak pernah benar-benar dipakai dan hanya dijadikan koleksi yang menandakan keluarga mereka punya lebih dari cukup uang untuk itu, di rumah kak Jihoon (walaupun Chan hanya pernah masuk ke sana dua kali dalam hidupnya) terdapat sebuah foto keluarga bersama papanya yang berdiri di atas kaki sendiri yang menandakan bahwa pria paruh baya itu dulu pernah segar bugar sebelum kemudian jatuh sakit, di rumah Hansol ada patung Yesus yang menempel di dinding yang dengan jelas menunjuk identitas kepercayaanya, dan selalu ada paling tidak beberapa warga sekitar yang mampir ke rumah Soonyoung lalu bertemu sang babeh sebagai ketua RT untuk keperluan kepengurusan administratif.

Dalam kasus ini, Chan lebih menemukan kejanggalan bahwa tidak ada satu pun foto keluarga di seluruh sudut apartemen Nu daripada lemari pendingin besar yang isinya hanyalah alkohol. (Petunjuk terkecil yang bisa dibacanya hanyalah jumlah sikat gigi yang tergantung satu buah di dalam kamar mandi ketika Chan mengganti bajunya dengan kaos dan celana yang Nu pinjamkan dan menyimpulkan bahwa Nu tinggal sendirian)

Do you want some?” Adalah hal pertama yang pria itu tanyakan setelah Chan bergabung dengannya di meja makan. Pertanyaan biasa dan sederhana, kalau saja konteks dibaliknya bukan Nu yang sedang menuang wine ke dalam gelasnya dan bersiap untuk mengambil gelas lain seumpama Chan menganggukan kepalanya.

Um. Gue baru tujuh belas tahun.” Dia hanya bisa menjawab sejauh itu dengan wajah datar dan pupil yang sedikit bergetar.

“Oh.” Nu dan tangannya yang tengah menggengam botol menggantung kikuk di udara. “Right.

Satu lagi sobekan petunjuk yang setidaknya bisa Chan kantungi: Nu, jelas bukan berasal dari keluarga yang punya batasan ketat dalam setiap peraturan yang berjalan di dalam rumah. Yang sebetulnya bisa dimengerti, karena Nu adalah orang dewasa pertama yang tidak pernah memperlakukan Chan sesuai dengan etika umur. And that actually feels great. And he doesn’t want to let it go that fast.

I like my wine with cheesecake.” Nu lalu berkata setelah mungkin menyaksikan Chan yang terlalu lama tenggelam dalam isi kepalanya. Satu potongan kue yang diletakan di piring kecil kini sudah mendarat di hadapannya, menandakan bahwa kue ini sepenuhnya pantas untuk diberikan kepada seorang anak SMA tanpa konfirmasi terlebih dahulu.

Untungnya, keju tidak pernah adalah musuhnya. Jadi Chan memberanikan diri untuk perlahan memotong sedikit bagian yang ada di piringnya setelah melihat Nu mulai mengunyah. 

“Ooh, ini yang kayak kakak gue biasa beli deh.”

“Oh ya?”

“Iya, kakak gue yang kedua tapi. Kalau yang pertama tuh rada kolot, alias kalau bawa makanan pasti yang lokal banget gitu.”

“Kayak apa contohnya?”

“Martabak?”

Nu serta-merta terkekeh kecil. “I see.

Chan dan mata elangnya memindai jakun sang pemilik rumah yang turun lalu kembali naik ketika tengah menyisip minumannya. Diam-diam, duduknya mulai gelisah. “Nu.”

“Hm?”

“Kalau nanya sesuatu boleh gak sih?”

Nu dan sudut bibirnya yang terangkat naik itu terlihat begitu usil. Seakan-akan meladeni seorang anak bau kencur di depannya adalah sepenuhnya hiburan baginya. “Boleh aja, tapi akan ada jawabannya atau engga itu nanti sesuai pertanyaan yang lo ajukan.”

“Yeh, itu mah sama aja dong.”

Jemari pria itu memainkan sendok di atas kuenya sebelum membawa satu potongan kecil untuk kembali memasuki mulutnya. Lalu dengan kedua sisi bahu yang terangkat santai ia berkata. “Take it or leave it.

Well. “Ulang tahun lo kapan?”

Nu dan binar di matanya bukan hal yang sesulit itu untuk dibaca. Petunjuk disana mengatakan, bahwa ini bukanlah sebuah pertanyaan yang ia prediksikan akan keluar dari lidah sang tamu. Dan jika ekspektasinya sebesar ini Chan agaknya menyesal menanyakan hal sesepele tadi. Mungkin dirinya bisa membuat rasa penasaran ini pergi lebih cepat dengan mempertanyakan hal-hal yang lebih misterius.

My birthday?” Nu membeo, masih dengan binar di matanya.

“Kalau terlalu privasi lo gak harus jawab kok!” Sela Chan cepat-cepat. Tangannya mengeluarkan seluruh jenis gerakan untuk membarikade Nu dan jawabannya yang terlihat seperti akan segera keluar. “Sori kalau pertanyaan gue menyinggung.”

“Kenapa menyinggung?”

Jujur, dia juga tidak tahu. Tetapi dipojokan oleh orang dewasa yang umurnya lebih tua sembilan tahun darinya dengan alis yang terangkat penuh penghakiman membuatnya merasa seperti sedang dikeroyok.

“Memangnya engga?”

“Tujuh belas Juli.”

Chan mengangkat kepalanya yang tanpa disadari menunduk dengan sendirinya. “Tujuh belas Juli?”

“Mhm.”

Senyum Nu yang terlihat tulus sebetulnya adalah apa yang membuat Chan merasa lega dan kemudian ikut tersenyum. Seakan-akan segala kekhawatirannya tadi kini berhasil meluntur, dan Nu merasakan sesi mengobrol ini sama menyenangkan seperti bagaimana Chan merasakannya.

Kalau dipikir-pikir, dia itu memang gambaran dan perwujudan dari anak bontot. Chan belum pernah melihat kehidupan nyata yang sesungguhnya, dan memencet tombol pengoprasian mesin cuci bahkan membuatnya bergidik ngeri. Sebagai anak bontot Chan juga tidak perlu pusing memikirkan kebutuhan finansial yang harus dirinya penuhi. Atau bahkan sekedar menentukan siapa yang akan membelikan jajanan dalam daftar ngidamnya, karena para kakak di sekitarnya merasa terobligasi dan berpikir bahwa membuat seseorang dengan umur beberapa tahun lebih muda dari mereka untuk mengeluarkan uang dari dompet adalah sebuah kejahatan besar.

Namun ujian terbesar dalam hidupnya sejauh ini, adalah selalu ketika meminta uang untuk kebutuhan pribadi apalagi rahasia. (Jenis rahasia yang daripada terbongkar Chan lebih baik menjual barang pribadinya alih-alih meminta uang tersebut). Namun ia sadar kapabilitasnya. Dan barang ini, bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan uang jajan yang ia sisihkan atau jika celengan ayam di pojokan kamar itu ia pecahkan.

Jadi pada suatu hari ketika kedua kakaknya sedang tidak ada dirumah (poin penting untuk meminimalisir interogasi), Chan menghampiri sang ibu yang sedang menonton televisi di ruang tengah (siapa coba makhluk hidup jaman sekarang yang masih menonton TV lokal yang entah apa tayangannya? Itu dia, ibunya).

“Bu.”

“Ya, le?”

“Kalau Ican minta uang… ibu lagi ada gak?”

Sang ibu belum menolehkan matanya dari layar di depan sana. Jemarinya sibuk memencet remote untuk menemukan saluran yang tampaknya belum sesuai dengan inginnya. “Berapa memangnya?”

“Um. Satu… juta?”

Oke, disclaimer: Chan pernah meminta lebih banyak dari jumlah itu. Walaupun sudah pensiun, bapak masih menerima uang setiap bulannya karena statusnya yang dulu adalah PNS dan kedua kakaknya juga selalu menyisihkan uang untuk keperluan rumah dan finansial keluarga mereka lebih dari cukup untuk membiayai Chan sampai lulus kuliah nanti. Masalahnya adalah semua uang yang dia minta sebelumnya pasti jelas keperluannya. Dan berbohong tentang keperluan sekolah terlalu riskan karena mas Han tahu segalanya.

Bodoh memang, berlutut di depan ibunya dan yakin akan segera ditodong dengan pertanyaan akan diapakan uang sebanyak itu tanpa memegang jawaban yang telah dipikirkan matang-matang. Namun ibunya pasti adalah segalanya yang baik di dunia karena dengan satu tepukan di bahu, usapan di kepala, dan senyum yang seakan-akan mengatakan dengan lantang bontotku sudah besar dan sudah punya keperluan pribadi sendiri, wanita paruh baya itu meraih dompet dan memberikan kartu ATM kepada sang anak.

Dan pada tanggal tujuh belas Juli di tahun 2019, Chan menghadiahkan Nu satu botol wine dan sekotak cheesecake.

***

Nu punya pacar.

Atau setidaknya, Chan berpikir bahwa Nu punya pacar setelah acara berkemahnya di warung dekat pintu masuk apartemennya (dia tahu betapa salah perbuatan ini) berakhir dengan dia yang menyaksikan Nu pulang kantor beberapa kali dengan laki-laki yang berbeda. Mungkin hipotesisnya bisa saja salah. Ada banyak kemungkinan mereka hanya sekedar teman atau apa pun itu sebutannya. Namun beberapa kali Chan pernah memberanikan diri untuk mengajak Nu pergi bermain, pria itu bilang bahwa dia sudah punya rencana lebih dulu dengan sang pacar.

Yah, oke, kalau memang kenyataannya seperti itu. Toh selama ini dia tidak pernah merasa Nu menuntunnya atau membuat Chan berpikir sosok seperti dia akan punya perasaan lebih untuk seorang bocah SMA. Diantara pertemuan yang diselipkannya sepulang sekolah, sesi tunggu-menunggu di halte Transjakarta hingga akhirnya salah satu pintu terbuka dan Nu bersama earphone di telinga dan kepala yang tadinya menunduk akhirnya tersenyum ketika menemukan Chan duduk di salah satu bangkunya, it’s all been fun. Meeting Nu has been fun and it’s always been fun.

Untuk seseorang yang katanya sedang berada di dalam hubungan percintaan, Nu juga kerap mempertanyakan hal-hal yang sifatnya hipotesis. Seakan dia selalu meragukan banyak hal dalam satu waktu. Seakan kehidupan yang dia jalani saat ini sifatnya adalah sementara, dan pada suatu hari dirinya bisa menghilang dan menjadi sosok yang sepenuhnya berbeda.

Chan ingat hari itu adalah hari Minggu. Nu biasanya tidak pernah menghubunginya pada spesifikasi hari itu karena Chan yang berstatus sebagai seorang pelajar dan malam Senin artinya tidur lebih awal untuk persiapan sekolah esok hari. Namun akhir pekan yang sudah ia jadwal dengan dihabiskan pada permainan futsal di lapangan kompleks itu dengan cepat terlupakan karena satu ajakan ambigu pada notifikasi di layar handphonenya.

Nu

Hey.

Mau temenin gue ke suatu tempat?

Selain misterius, Nu juga punya kecenderungan untuk melakukan hal- hal mistis. Atau mungkin begitulah pendapatnya, karena Chan dengan hidupnya yang lumayan monoton hanya punya sedikit referensi tentang berpetualang diluar ruang lingkupnya. Ada satu peraturan yang dengan tegas pria itu buat jadi jelas semenjak mereka sering menghabiskan waktu bersama-sama: Nu tidak suka difoto, apalagi kalau sampai diam-diam Chan mempostingnya di media sosial tanpa izin. Namun dari lubuk hati yang terdalam Chan tahu pun diberi izin, foto itu tidak akan pernah boleh keluar dari galeri handphonenya.

Ironisnya, tujuan kemana Nu mengajaknya hari itu bertentangan dengan prinsip yang selama ini dia pegang. Karena pun harus lebih dulu memecahkan teka-teki, Chan akan selalu tahu bahwa mereka pada saat itu berada di sebuah foto studio. Pertanyaanya yaitu: untuk apa?

“Untuk persiapan foto pemakaman.”

Chan hampir, hampir menyemburkan kopinya yang belum turun ke tenggorokan dan akan mengotori kemeja putih yang Nu kenakan.

“Hah?”

Ah, itu dia, lagi-lagi Nu dan kekehannya yang amat enteng. Terkadang Chan menerka-nerka kapan sekiranya dia bisa menangkap basah seorang Nu yang tak siap dalam menjawab sebuah pertanyaan?

“Beneran, gak lagi bercanda.”

“Oke…” Sirkulasi otaknya mulai korslet. “Tapi kenapa?” Lo sakit? Hidup lo udah gak lama lagi? Ada yang berusaha jahatin lo? Ada masalah apa sampai lo bisa dengan santainya mulai mempersiapkan foto pemakaman?

For it to be pretty.” Lagi-lagi sebuah jawaban enteng. “Gue gak mau orang-orang pakai foto asal karena gue belum siapin sebelumnya.”

“Iya tapi kenapa?” Dia mulai tak sabaran. “Lo sakit Nu?”

Nu memandangi Chan dengan kedua alisnya yang terangkat usil. “No? Apa orang-orang yang mempersiapkan asuransi kesehatan artinya mereka juga bersiap-siap untuk sakit? Malahan sebaliknya, kan?”

Masuk akal dan juga tidak masuk akal dalam satu waktu. Mungkin, pembicaraan ini memang belum termasuk dalam kapabilitasnya. Bohong kalau Chan bilang rasa herannya akan berakhir sampai disitu. Untuk dia ada disana dan menyaksikan Nu berpose di depan kamera yang nanti hasilnya akan dijadikan sebagai foto pemakaman membuat sirkulasi darah di dalam otaknya menjadi tidak terpompa dengan baik.

Tapi mau bagaimana pun Nu akan selalu menjadi Nu, yang setelah selesai menjalani sesi foto kemudian bertingkah seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan mengajaknya makan malam di kedai Ramen favoritnya seraya mengajukan pertanyaan hipotesis lainnya.

Do you believe in love?

Kunyahan mie di dalam mulutnya seketika terasa hambar. “Gue?”

“Mhm, lo.”

“Uh…” Sumpit itu terpaksa harus ia letakan kembali ke dalam mangkuk. “Apa menurut lo gue udah valid untuk ngerasain cinta, Nu?”

“Kenapa engga?” Suara Nu sedikit meninggi, seakan dia tak percaya konsepsi itu terpikirkan di kepalanya. “Cinta itu banyak bentuknya.”

Otaknya kembali dipaksa bekerja. “Ya… percaya mungkin? Kalau gak ada cinta, generasi kita pasti akan habis karena gak ada lagi pasangan yang menikah dan punya anak.”

“Tapi menghasilkan anak gak harus selalu diawali dengan cinta? They can just have sex, aren’t they?

Lee Chan beserta kedua sisi pipinya diam-diam memerah, seketika teringat dengan kandidat pacar Nu yang kerap berganti. Apa ini ada hubungannya dengan itu? Apa ini alasan Nu enggan menyimpan rasa percaya hanya pada satu orang?

Chan memutuskan untuk mengambil jalan paling aman dengan memutar pembicaraan. “Lo sendiri? Memang percaya sama cinta?”

“Tergantung.”

“Tergantung dari apa?”

“Kalau definisinya adalah lagu bertemakan cinta atau pasangan kakek dan nenek yang bertoleransi satu sama lain sampai menua bersama mungkin gue berani percaya cinta, tapi kalau tanpa konteks mungkin gue harus jujur kalau cinta itu cuma sekedar manipulasi.”

Untuk pertama kali semenjak mereka saling mengenal, Chan tertawa. Bukan jenis tertawa dimana dia mengajak pria di depannya untuk ikut berbahagia, tetapi jenis tawa dimana tujuannya adalah menertawakan.

“Lo punya trust issue sama orang ya Nu?”

Yang ditanya serta-merta merapatkan bibir bersama pandangan penuh penasaran. “Kenapa nyimpulinnya gitu?”

Entah, selain kenyataan bahwa segalanya tentang lo selalu terasa seperti fiksi? Kadang Chan bangun di pagi hari dan berpikir mungkin ini adalah gilirannya keluar dari mimpi. Mungkin Nu memang cuma ada ketika menolong Yerim di mall tempo lalu dan sisanya hanyalah khayalan yang terjadi di dalam kepalanya. Mungkin jika diminta untuk membuktikan ada wujud nyata dari pria bernama Nu, Chan hanya akan berakhir di rumah sakit jiwa.

Dan mungkin semua kekhawatiran itu lebih baik dia simpan sendiri saja. “Gak apa-apa, lupain.”

Hening yang berlangsung di antara mangkuk makanan yang tak terjamah itu terasa seperti selamanya sebelum akhirnya Nu tersenyum dan meraih telapak tangan Chan di atas meja. Bisa dibilang ini adalah kontak fisik pertama yang Nu inisiasi secara sadar dan sengaja, dan lagi- lagi ada napas yang kemudian tertahan di dadanya.

I’m sorry if i’m not the best brother figure for you so far.

Pernyataan itu membuat Chan ingin tertawa dan menangis di saat yang bersamaan. Usapan kecil yang Nu bubuhkan pada punggung tangannya bahkan tak membantu meredakan penderitaan yang tengah ia rasakan. “Ya gak perlu kali, kayak-kakak gue udah banyak di rumah. Lagian nih, semisal mas Mingyu tau kalau gue–”

Chan menyegel bibirnya rapat-rapat ketika merasakan genggaman pada telapak tangannya melonggar, dan Nu beserta kedua pupil matanya yang bergetar kini sepenuhnya membeku di tempat.

“Nu? Lo gak apa-apa?”

Ingat ketika Chan bilang Nu selalu terlihat seperti orang yang punya jawaban atas seluruh pertanyaan di dunia layaknya dia telah bersiap jauh sebelum dirinya lahir? Kali ini, akhirnya, untuk pertama kalinya, Chan diberikan sebuah kehormatan untuk melihat Nu di dalam penjagaan yang sepenuhnya runtuh.

Namun fenomena itu hanya berlangsung dalam beberapa detik. Pada detik berikutnya, sang pria telah kembali pada mode misterius dan profesionalnya. “Yeah.

“Seriusan? Gue ada salah ngomong kah?”

No, it’s nothing.” Gelengan kepalanya sedikit diburu-buru. “Makan gih, nanti Ramen lo keburu dingin.”

“Oh.” Chan merubah ekspresinya menjadi sepenuhnya datar. “Oke.”

Itu merupakan percakapan dan juga pertemuan terakhirnya dengan Nu, yang bisa dibilang membuatnya ketakutan setengah mati lebih dari pada film thriller yang ditontonnya tempo lalu mempertimbangkan hal yang mereka lakukan sebelum itu adalah mengambil potret yang akan pria itu pakai pada upacara pemakamannya.

Nu lalu menghilang tanpa jejak, dan Chan melanjutkan hidupnya.

Satu tahun kemudian, Chan menemukan Nu di ruang tamu rumahnya dengan status sebagai pacar sang kakak pertamanya. Bukan sebuah pertemuan yang ia harapkan jika memang mereka ditakdirkan untuk bertemu kembali, namun jika seluruh situasi ini dapat diwakilkan lewat pepatah bunyinya akan terdengar seperti nasi sudah menjadi bubur.

Bagian terberatnya mungkin adalah tahapan proses dalam menerima keadaan. Poin pertama bisa dimulai dari Nu yang menghilang tanpa jejak lalu kembali sebagai calon suami mas Mingyu, dan Chan butuh tahu apakah mereka sudah saling mengenal semenjak dia dan Nu juga saling mengenal atau Nu memang menjauhinya karena alasan lain. 

Harapannya mulai pupus ketika diam-diam mencoba melirik mas Han. Kakak keduanya itu punya ekspresi wajah yang sama kagetnya dengan dia, dan dalam segala tumpang tindih itu dia juga menemukan sebuah trivia bahwa mas Han pun baru mengetahui fakta bahwa Nu dan mas Mingyu berpacaran meskipun Nu ternyata adalah sahabatnya.

Dan disitu. Lalu disitu Chan mulai menyadari bahwa oh, mungkin    Nu memang mengkonsepsikan dirinya untuk menjadi tidak terbaca. Mungkin memang bukan Yerim dan kemampuan stalkingnya yang harus diragukan. Mungkin memang satu sikat gigi yang menggantung di dalam kamar mandi adalah simbol bahwa tempat di sebelahnya boleh diisi sesuai dengan giliran. Mungkin kehidupan yang pria itu jalani memang sifatnya adalah sementara dan ini adalah dia dengan versi paling terbarunya.

Mungkin, hari-hari dengan membiarkan film berjudul Love For Sale terputar pada layar televisi apartemennya memang dimaksudkan untuk menjadi petunjuk paling akurat yang bisa Chan dapatkan.

Secara waras hal paling masuk akal yang dapat dirinya lakukan adalah kabur. Tadinya ia bertekad membuat kepergiannya menjadi sedramatis mungkin, tetapi setelah dipikir-pikir kedua orang tuanya tidak pantas mendapatkan atau diperlakukan seperti itu. Chan yang pada akhirnya ikut duduk dan berkumpul di ruang tamu dengan memasang wajah berpura-pura terus mengutuk Nu dan mas Mingyu di dalam hati.

Spot favoritnya di seluruh Cendana Indah adalah lapangannya. Jika ditanya alasan, mungkin karena di antara semua sudut kompleks tempat itu yang di dalamnya hanya punya memori baik. Aspal di depan rumah pernah menjadi saksi dari lututnya yang berdarah-darah ketika jatuh akibat belajar menyetir motor, selokan dekat pos ronda pernah menjadi lokasi tenggelamnya Tamiya yang dulu Minghao berikan sebagai kado di hari ulang tahunnya, dan taman di pojokan sana pernah membuatnya digigiti nyamuk hingga bentol-bentol.

Walaupun terkadang harus direalisasikan lewat ide absurd pada proker gotong royongnya, Soonyoung selalu memastikan anggotanya sesekali berkumpul di lapangan dan memaksa mereka semua untuk menelan pil kenyataan bahwa sesekali melarikan diri dari masalah dengan bermain terkadang adalah solusinya. Mungkin itu alasan mengapa Chan kemudian ada di sana alih-alih tempat lainnya, mendapat keistimewaan tidak tertulis bahwa dirinya sedang tidak ingin diganggu dan kemudian dibiarkan menyendiri.

Namun orang sepintar Nu pasti paham bahwa kunci dari masalah sekaligus penyelesaiannya harus dimulai dari dirinya. Jadi dibawah matahari sore yang sedang berbaik hati itu Chan dan sudut matanya menangkap Nu yang tengah berjalan menghampiri, sebelum kemudian ikut mendudukan diri di lantai lapangan berdebu; Chan bersila, Nu dengan lengan yang memeluk kaki menekuknya di depan dada.

“Hey.” Satu tahun. 365 hari, dan sebuah sapaan dengan suara familiar yang tersimpan dengan baik pada satu sisi pojok memori masih mampu menusuknya hingga ke ulu hati.

Dalam jangka waktu itu Chan juga berusaha mencari jawaban dari hal-hal yang selama ini belum sempat terpikirkan. Seperti arti dari Nu yang sempat mampir di hidupnya, dan mengapa kenyataan bahwa Nu meninggalkannya terasa meruntuhkan dunia dan harapannya. Apakah ini ada hubungannya dengan hati, dan apakah segala yang dirinya rasakan terhadap Nu berbeda dengan definisi sayang Chan kepada orang dewasa lain dalam hidupnya?

“Hey.” Dia mencoba menjawab dengan mulutnya yang terasa pahit.

“Gue tadi udah izin mas buat ngobrol sama lo.”

Chan dan alam bawah sadarnya mengeluarkan sebuah dengusan penuh sarkasme, membuat Nu meliriknya bersama tatapan penuh pertanyaan. Is there anything funny? mungkin itu kira-kira yang akan keluar dari bibirnya jika kalimat itu bersuara, dan seluruh refleks dalam dirinya bertarung untuk menahan diri dari berteriak sampai seisi kompleks mendengarnya. “Oh.”

I'm so sorry.” Mulai Nu lagi, ketika mungkin sadar bocah di sebelahnya akan sulit untuk diajak bekerjasama atau pun diajak berbicara dengan kepala dingin.

Engga, gue gak mau maafin batinnya dalam hati sebelum memutuskan untuk mengganti jawabannya. “Mungkin gue akan maafin kalau gue tahu lo lagi minta maaf untuk apa.”

Nu memeluk dirinya lebih erat sebelum membiarkan hening di antara mereka bertumbuh dan menyelimuti. Mungkin berbicara dengan kepala dingin memang selalu menjadi keahliannya karena jika Chan duduk bersama mas Han membahas kejanggalan yang dia dan Nu punya, perang dunia seketika akan segera terjadi.

Do you hate me?

Chan menghabiskan sepuluh detik penuh untuk meresapi pertanyaan tadi sebelum akhirnya menggeleng. Ibu selalu memberitahunya bahwa benci adalah sebuah kata yang kuat, dan sekomplikasi apa pun hati manusia masih banyak definisi lebih baik yang bisa kita pilih. “Engga.”

Nu menyeringai dengan jahil. “Yakin?”

“Yakin.”

Do you like me, then?

Pertanyaan tiba-tiba itu, jelas terasa seperti sebuah motor yang tengah menabraknya hingga terpental ke kolong bus. Chan mencoba meresapi sebuah imajinari dari rasanya terlindas. Lalu merasakan sakit. Lalu menyaksikan dunia perlahan menjadi abu-abu dan hitam. Satu-satunya hal paling nyata dari kontemplasinya adalah telapak tangannya yang mulai merasakan sakit dari betapa keras dia meremasnya.

Chan mencoba memposisikan dirinya pada sepatu mas Mingyu. Jika dia adalah orang yang memegang status sebagai pacar, membawa Nu ke depan ibu dan bapak, mengemban tanggungjawab untuk menikah sesegera mungkin, apakah perasaanya akan menjadi lebih baik?

Chan juga mencoba memposisikan dirinya jauh kembali berkelana pada satu tahun lalu, merekayasa sebuah skenario jika Nu tidak pernah pergi dan mereka masih akan dengan rutinitas pulang sekolahnya yang terisi dengan Nu, wine, dan cheesecake. Lalu Chan dengan boba yang dipesannya lewat aplikasi akan menemani mereka di ruang tamu; matanya terfokus pada film yang mereka pilih dari Netflix setelah menghabiskan tiga puluh menit menjalani proses seleksi, dan samar suara hujan akan terselip dari jendela di pojokan sana. Dalam satu okasi tak terduga mungkin mereka akan menggeser diri di atas sofa untuk dapat berada lebih deket dengan satu sama lain. Mungkin selimut yang tadinya hanya ada di atas pangkuan Nu akan berpindah menutupi mereka berdua, dan mungkin darah di dalam otaknya yang tak terpompa dengan baik karena jantungnya yang berdetak begitu kencang akan memicu impulsivitasnya untuk segera menolehkan kepala, mendekatkan wajah pada Nu, memiringkan sudut kepalanya hingga bibir mereka bisa bertemu dengan sempurna dan–

–God, no. Membayangkan dirinya mencium Nu membuat asam lambungnya naik dan merasakan mual setengah mati. He doesn’t wanna do that.

Chan kembali membedah skenario lain; dia menyebutnya IKEA Date, Nu mungkin menyebutnya memanfaatkan oportunitas yang ada dengan mengajak Chan sebagai partnernya dalam membawa belanjaan. Bisa dibilang acara itu adalah kegiatan mainnya dengan Nu yang paling membuatnya ketakutan setengah mati karena ketika pria itu terlihat menikmati kegiatannya sebagai orang dewasa ditengah dilema antara fungsi microwave mana yang lebih ia butuhkan, Chan berdiri di sampingnya dengan keringat menuruni pelipis setelah meresapi kenyataan bahwa harga keran air ternyata mahalnya tidak masuk akal.

Pada saat itu seluruh keberanian dalam dirinya serta-merta menciut dan Chan harus menelan kenyataan bahwa bahkan alam bawah sadarnya sendiri pun tahu, kalau mas Mingyu akan lebih cocok berada disana bersama Nu alih-alih dirinya.

Apakah Chan menyukai Nu? No, he doesn't think so. Jadi kalau tidak, lalu perasaan kacau dalam hatinya ini disebabkan oleh apa?

Bungkamnya yang berlangsung cukup lama itu ternyata Nu jadikan patokan untuk merapatkan bibirnya dalam sebuah simpul senyum. Kepalanya mengangguk seakan pria itu bisa membaca segalanya yang transparan dan tidak transparan dari Chan, sebelum lalu membuang pertanyaan itu jauh ke belakang dalam satu tarikan napas.

Are you going to tell your parents?

Jika ini adalah sebuah permainan, pertanyaan tadi mungkin bisa disimpulkan sebagai final boss dari keseluruhan level yang harus mereka tempuh. Pada akhirnya, hal terpenting dari resolusi masalah ini adalah Lee Chan yang menangkap basah kakaknya tengah menyewa sebuah layanan dimana seseorang harus berpura-pura menjadi calon suaminya dan terang-terangan berbohong di depan wajah orang tuanya bersamaan dengan dia yang mengetahui fakta tersebut.

Satu baut kecil di dalam kepalanya terasa begitu gatal dan akan mati penasaran jika pertanyaan ini tak keluar sesegera mungkin. Walaupun, yah, kedengarannya akan aneh. “Lo sayang sama kakak gue, Nu?”

Nu terbahak begitu kencang hingga kepalanya terlempar ke belakang. “That's not the first base of this kind of relationship don't you think? Kinda naive, if anything.

Yeah...” Tenggorokannya benar-benar luar biasa nyeri. “Yeah.

“Gue sama mas akan respect semua keputusan lo, Chan.”

Dirinya menarik napas pelan. “Mas tahu... kalau kita saling kenal?”

Pria di sebelahnya tersenyum dengan lembut dan kepalanya kembali menggeleng pelan. “No, not yet.

Untuk pertama kalinya di hari itu, Chan mengizinkan dirinya untuk berpikir dalam kepala jernih dan hati yang lebih tenang. Dia mencoba mempertimbangkan konsekuensi keputusan yang akan diambilnya, mempertimbangkan ibu dan bapak, mempertimbangkan mas Han yang akan memakan Nu hidup-hidup, mempertimbangkan apa kata seisi kompleks, dan juga mempertimbangkan perasaan mas Mingyu; kakaknya, yang selalu menaruh keluarga di atas segalanya. Mas Mingyu yang beberapa tahun belakangan menderita karena penolakan yang Soonyoung umumkan dengan lantang, mas Mingyu yang tengah dikejar-kejar ekspektasi, dan mas Mingyu yang akan melompat ke dasar jurang jika Chan memintanya.

Mungkin… ini adalah waktu dan kesempatan paling tepat untuk Chan berbalas budi atas apa yang selama ini sudah kakaknya korbankan.

“Ya gue bisa lah, pura-pura akting dikit.”

Dia sudah pernah bilang belum ya, bahwa selalu menyenangkan menangkap basah Nu di luar tembok penjagaanya? Karena Nu yang terlihat terkejut dengan kelopak mata bulat di sampingnya terlihat jauh lebih manusiawi dibanding Nu versi mana pun.

You’re really a good person, Chan.”

Dirinya kembali mendengus, namun kali ini meninggalkan bumbu sarkasmenya di belakang. “Gak ada definisi orang baik yang tukang bohong, Nu.”

“Ada, if it’s for the greater good.

“Kita baru bisa lihat itu nanti.”

Nu beserta seringai dan juga sudut mata jahilnya menjadi begitu menyenangkan untuk dilihat karena artinya mereka berada dalam frekuensi pengertian yang sama. Karena artinya Chan tidak perlu susah payah menjelaskan bahwa maksud terselubung dari ancaman barusan adalah kalau lo sama mas bikin ini semua jadi berantakan, gue adalah orang pertama yang akan jadi musuh kalian jadi please kesempatan ini jangan dibuat menjadi berantakan.

Dalam akal tersehatnya dia juga tidak benar-benar tahu bagaimana dan dengan cara apa kakaknya akan memutar balik semua kebohongan ini agar tetap pada tempatnya. Yang jelas, dari dalam lubuk hati Chan sudah merasa bangga pada dirinya sendiri karena berhasil menahan emosi kekanak-kanakannya untuk lebih membuka pikiran.

Dan itu mungkin kunci jawaban terakhir yang dia butuhkan. Selama ini sudut pandangnya terhadap Nu selalu dipenuhi dengan ide-ide bahwa tidak ada orang lain yang pernah rela beradaptasi dan mencapai standar bagaimana Nu memperlakukannya. Pria itu adalah orang pertama yang membuat Chan mengerti bahwa menjadi anak bawang artinya sama sekali tidak sama dengan menjadi bagian dari permainan. Maka dari itu, dia harus menciptakan permainannya sendiri dimana dia lah yang akan menentukan segala aturannya.

Sehingga sekarang Lee Chan sepenuhnya mengerti bahwa dia bukan menyimpan rasa cinta kepada Nu; dia hanya ingin menjadi Nu ketika dewasa nanti, yang punya pengertian dan pandangan ulung tentang banyak hal di dunia.

Dipeluk erat oleh Nu setelah mendapatkan closure dari segala kegundahan hatinya selama ini terasa seperti diterbangkan ke udara. Tubuh dan kepalanya kini terasa begitu enteng, dan yang terpenting diantara segalanya pelukan erat yang tengah Nu berikan mulai terasa seperti kakak kepada adik alih-alih cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Nice to meet you, Chan.”

Nice to meet you too, Wonwoo.”

Dan ini lebih baik. Ini , jauh lebih baik.