Jakarta malam itu diguyur hujan. Dari balik kaca mobil, lampu kelip diluaran tampak seperti titik warna-warni di kejauhan yang ikut meramaikan ibukota dan segala kesemrawutannya. Wonwoo duduk di jok belakang, mengamati dua kepala yang ada di kursi depan dengan tangan saling terkait di dada dan mulut terkatup rapat, mencoba untuk memecahkan banyak misteri di dalam kepalanya.

Wonwoo bisa jamin ia mengenal Seungcheol seperti dirinya sendiri; Seungcheol di masa kanak-kanaknya, Seungcheol dimasa remajanya, Seungcheol dengan proses pendewasaanya, dan Seungcheol yang selalu menjadi kebanggaan di dalam keluarganya. Wonwoo ada disana, dalam banyak fase di hidup Seungcheol dan terbiasa dengan Seungcheol yang dunianya terpusat hanya pada Wonwoo.

Ketika perhatian tersebut perlahan-lahan terbagi, ada banyak konteks yang akhirnya berubah bentuk menjadi pertanyaan-pertanyaan yang menggantung semu.

“Lo mau pindah kesini aja, gak? Gue agak ngga nyaman duduk di depan gini.”

Wonwoo menegakkan badannya yang sebelumnya bersandar santai lalu mengangguk sopan ke arah Jeonghan yang memutar kepalanya ke belakang. “Oh gak usah kak, nanggung. Nanti juga kakak turun, kan?” Ia tak bermaksud untuk terdengar mengusir, tapi agaknya kepala dan mulutnya enggan berjalan singkron.

“Iyasih,” Jeonghan tertawa, terdengar dipaksakan. “Padahal tadi gue udah bilang sama Cheol gak usah pakai segala nganterin, tapi dianya maksa.”

Seungcheol mulai batuk-batuk di kursinya. Kedua tanganya erat menggengam kemudi, dan beberapa detik kemudian bukan hanya Jeonghan yang bisa memalsukan tawa. “Deres banget ya hujannya diluar.”

Hening.

Ada dua pasang mata yang memandang Seungcheol dengan intens.

Seungcheol kembali berdeham. “Kalau lo capek harusnya tadi langsung pulang aja dek, besok kan masih harus kerja.”

“Ya gue takutnya lo besok on duty, terus kapan lagi dong kita ketemunya?”

“Cheol libur kok weekend ini.”

Suara Jeonghan yang tiba-tiba menyelak semakin menambah ketegangan diantara mereka bertiga.

“Oh gitu?” Kali ini Wonwoo memang berusaha terdengar se-sarkastis mungkin. “Lo tau banget nih kak kayaknya?”

“Tadi Cheol yang cerita waktu lagi dirumah gue.”

Cheol this. Cheol that. Kenapa orang baru ini bertingkah seakan-akan dia yang lebih mengenal Seungchel lebih dari Wonwoo?

Alih-alih menjawab, Wonwoo mengangguk sesantai mungkin, mencoba untuk kembali mengambil alih keadaan. “Good then. Sabtu besok anniversary wedding ayah sama bunda, temenin balik ke Bandung ya, kak?”

Cengkraman Seungcheol di kemudi kembali mengerat, persetan kemacetan Jakarta yang membuatnya semakin harus berlama-lama di dalam situasi ini. “Boleh.”

Wonwoo tersenyum kearah Jeonghan sebelum kembali bersandar di jok. Jeonghan memalingkan kepalanya ke depan dengan anggun.

Dua puluh menit kedepan diisi dengan dia yang kembali memandang dua kepala itu dari jok belakang. Beralih dari kanan ke kiri, tangan tetap terkait di dada dengan bibir tertekuk.

Jeonghan cukup pintar untuk mengimbangi Seungcheol dalam berkomunikasi. Ketidaktahuannya tentang banyak hal yang Seungcheol suka menjadi keuntungannya sendiri untuk lebih mencari banyak cela dalam membuka obrolan. Jika mobil ini hanya diisi oleh dirinya dan Seungcheol, mungkin sederet pertanyaan menyangkut Game of Thrones barusan hanya akan berakhir dengan mereka yang berdebat tentang banyak teori. Tapi Jeonghan berhasil membangkitkann gairah Seungcheol seperti kali pertama ia jatuh cinta kepada series tersebut.

Jadi maksudnya setelah berseason-season, inti dari permasalahannya cuma memperebutkan this so-called Iron Throne? Banyak pertanyaan bodoh Jeonghan yang ingin Wonwoo balas dengan sederet gunjingan, tapi Seungcheol tetap menjawab dengan sabar dan senyum tersungging di bibir. Seperti Seungcheol yang dia kenal. Seperti Seungcheol memperlakukannya. Seungcheol-nya.

Wonwoo berharap ada Mingyu disini. Wonwoo berharap lelaki tersebut mengiyakan ajakannya untuk pergi tadi. Wonwoo berharap punya seseorang yang akan menyertakannya dalam obrolan mereka. Wonwoo berharap Mingyu bisa menjadi anestesi-nya ketika enggan merasakan perasaan yang tidak ingin ia rasakan. Seengaknya, Wonwoo tidak harus duduk disana, menjadi satu-satunya yang terlihat diselimuti oleh kesendirian.

Nobody’s gonna come and save you, we pulled too many false alarm.

Matanya. Kata Chan, dia bisa lihat semua dari matanya. Wonwoo bukan seorang masokis, jadi sebisa mungkin ia menghindar dari mata Seungcheol yang kerap hilang ditelan senyuman acap kali Jeonghan terkikik manis. Ketik laki-laki itu meninju lengan Seungcheol pelan ketika melempar candaan satu sama lain. Atau ketika Jeonghan membukakan bungkus permen dan memasukan potongannya ke dalam mulut Seungcheol.

Misi nya dalam menghindari mata Seungcheol jelas gagal total.

We’re going down, and you know that we’re doomed.

Air hujan yang berjatuhan di luar rasanya menembus atap mobil dan membasuh kepalanya secara bersamaan. Menangkap banyak realisasi yang bertentangan dengan keinginannya terasa seperti didorong dari atap tebing dan jatuh di lembah tanpa ujung, tidak tahu bagaimana untuk berhenti, dan bagaimana ia akan sampai.

Menjadi terbiasa dalam membagi sesuatu miliknya bukan hal yang seenaknya mampir dalam kamus Wonwoo, dan semua juga bukan hal yang menyenangkan untuk dirasa,

bahwa sesuatu yang menjadi sebuah kebiasaan akan tetap bisa berubah, bahwa kita tidak dapat memiliki semua yang kita ingini,

bahwa setiap orang dapat selalu datang dan pergi.