Kalau Wonwoo diijinkan untuk menjabarkan apa itu ide buruk, ia akan jadikan hari ini sebagai sebuah studi kasus.

Mengapa dia dan Seungcheol membuat perjalanan yang seharusnya tentram menjadi sebuah perang dingin, seakan menjadi kebodohan lainnya dari kebodohan-kebodohan mereka yang tak pernah ada habisnya.

Semua bermula dari penyambutan hangat orang tuanya ketika mereka tiba siang itu. Bunda dengan logat sunda super kentalnya, menyapa satu persatu dari mereka terutama adiknya yang paling susah diajak bertandang kemari. Lalu ada pelukan hangat untuk Wonwoo,

dan tepukan hangat di punggung untuk Seungcheol dari ayahnya.

Setelah tepukan hangat di punggung, selanjutnya adalah rangkulan akrab di bahu.

Setelah rangkulan akrab di bahu, Seungcheol menjadi sepenuhnya properti ayahnya untuk dijadikan teman bercengkrama.

Ayahnya adalah seorang pensiunan TNI Angkatan Udara, dan Seungcheol adalah sebuah lambang akan kenangan dan kejayaannya di masa muda. Entah itu tentang pekerjaan, tentang kenalan kolega, tentang destinasi traveling, atau pembahasan sesederhana catur, Seungcheol selalu bisa mengimbangi ayahnya.

Ikatan diantara mereka bukan hanya sekedar Seungcheol yang mencoba bersikap sopan, namun Seungcheol pun menikmati perannya. Kalau boleh Wonwoo mempercayakan orang tuanya kepada seseorang jikalau suatu saat ia meninggalkan dunia ini, Seungcheol lah orangnya.

Dan kesenjangan sosial inilah yang membuat hari ini menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.

“Chan! Psst!

Ketika akhirnya adiknya membuka satu earphone dari telinga, Wonwoo bernapas lega.

Naon?” Jawabnya ogah.

Please jangan cuekin Mingyu. Lo ajak ngobrol kek, apa kek.”

“Kenapa gua harus?”

“Lo ngga liat ayah daritadi nyuekin dia?”

Chan mengangkat bahunya acuh. “Kita aja yang anaknya dicuekin, apalagi dia?”

Sebuah realisasi yang menyebalkan, tapi terlalu banyak mengandung kebenaran.

“Bener juga. Duh, yaudah makanya lo friendly dikit ke dia. Seengaknya dia tau ada satu anggota keluarga gue yang mendukung perselingkuhan ini.”

Chan mengerutkan alis, heran mengapa ia harus satu darah dengan lelaki absurd didepannya.

“Ck.” Chan melepas satu earphone nya yang masih menyangkut, dan bergegas untuk berdiri dengan malas dari sofa lalu berjalan kearah teras.

Setelah adiknya menghilang, Wonwoo menjatuhkan dirinya keatas sofa dan menutupi seluruh wajahnya dengan bantal frustasi.

Tepukan pelan di lengan lah yang menggangu sesi mental breakdown nya. Setelah bantal tersingkirkan, ia disambut oleh senyum Mingyu.

“Hey.”

“Hey.”

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa mukanya ditutupin bantal gitu.”

Wonwoo menggerakan bola matanya kesana kemari, ada senyum teduh didepannya yang harus ia hindari. “Ngilangin jetlag.

Mingyu menaikkan kedua alisnya bingung, dan Wonwoo dalam hati mengutuk dirinya sendiri.

“Hah? kok jadi jetlag, sih? haha??” Stupid. Stupid. Stupid. Stupid. “Ngilangin pusing maksudnya, Gu.”

“Mau ikut nyari jajanan, gak?”

“Lo sama siapa?”

“Adek lo. Tadi ngajakin, bosen katanya.”

“Nitip aja boleh...?” Ada cengiran usil di wajah Wonwoo.

“Boleh. Capek ya? Yaudah Wonwoo bobo aja dulu gih.”

Detik itu Wonwoo punya cita-cita untuk menguasai gerakan karate, supaya ia bisa menangkis kalau-kalau Mingyu mengusap kepalanya lagi seperti barusan.

“Oke.”

Selepas Mingyu pergi, Wonwoo lari ke kamarnya secepat kilat, menenggelamkan kepalanya dibalik selimut, dan berteriak sekencang mungkin. Teriakannya semakin lama semakin mendramatisir, ditambah dengan badannya yang berguling asal kesana kemari.

“Lo kenapa deh?”

AAAAA!” Buru-buru Wonwoo membuka gulungan selimutnya. “LO SEJAK KAPAN ADA DISITU?!”

Jeonghan menutup koper kecilnya sembari mengoleskan handcream di telapak tangannya santai. “Nyokap lo bilang gue boleh pakai kamar mandi yang disini.”

Lagi-lagi Wonwoo menenggelamkan wajahnya kedalam selimut. “ARGH.”

Wanna talk about it?

Wonwoo bisa merasakan ujung tempat tidurnya mengempis, tanda Jeonghan sudah menyandang tempat itu untuk ia duduki. “Gue suka banget sama Migu...”

Jeonghan terkekeh mendengar suara lirih lelaki yang lebih muda darinya itu. “I see.

“Gue harus gimana, kak?”

Jeonghan otomatis mendengus. “Lupain aja. Have you seen your dad? That poor kid wouldn’t stand a chance.

“Terus lo?”

“Gue kenapa?”

“Lo gak masalah, gitu? Kalau Migu wouldn’t stand a chance, same thing goes to you as well.

“Gue gak pernah bilang kalau gue suka sama tunangan lo?”

Wonwoo memandangi Jeonghan dengan tatapan curiga. “Terus kenapa lo disini? Please jangan jawab karena lo bosen dirumah.”

Jeonghan terkekeh lagi. “Karena dia yang minta. Gue cuma berusaha membalas niat baik dia dengan kebaikan.”

Bohong kalau Wonwoo gak terganggu dengan jawaban barusan. Jeonghan terdengar seperti seratus kali lipat lebih baik dari Wonwoo, dan egonya meninggi dengan sendirinya. “Masa? Jadi lo gak masalah gitu, ngeliat gue sama Kak Cheol?”

“Kenapa harus masalah?”

Nada skeptis Jeonghan, gerak tubuhnya yang santai, dan alisnya yang terangkat seakan mempertimbangkan kadar kebodohannya membuat Wonwoo detik itu juga memutuskan untuk membuat sebuah deklarasi bahwa ia tidak menyukai laki-laki ini.

“Gue gak percaya sama lo.” Ucap Wonwoo provokatif.

“Bagian mana yang lo gak percaya?”

“Semuanya. Gue tau kak, Seungcheol itu kadang suka terlalu baik sama semua orang. Dia bisa ngebuat orang ngerasa nyaman dan diperhatikan, dan gue tau lo secrectly enjoying it. You crave for it. In fact, somehow, lo pasti mau nuker hidup lo dengan semua yang gue punya. Kenapa gue bisa bilang gini? ’Cause i’ve been there, done that. Jadi jangan kasih gue semua yang palsu dengan bilang secuilpun lo gak ada rasa sama Seungcheol gue.”

Seungcheol lo?” Jeonghan bangun dari posisi duduknya, masih dengan bahasa tubuh santainya. “Wonwoo, sebelum lo marah-marah panjang lebar kayak gini ke gue, belajar dulu caranya untuk gak menjadi serakah ya, dek. Nanti kalau udah belajar, baru cari gue lagi.”

Jeonghan berlalu dengan senyum, Wonwoo ditinggalkan dengan kepala mendidih.

//

Wonwoo menarik Seungcheol ke halaman belakang sewaktu lelaki itu akhirnya selesai mandi. Rambutnya masih dipenuhi titik-titik air, handuknya masih tersampir di pundak.

Aw sakit, sakit, sakit, pelan-pelan dong nariknya.” Seungcheol meringis pasrah. “Kenapa sih, dek?”

“Lo darimana aja coba?”

“Ya biasa...? Nemenin si om ngopi.”

“Kenapa lama?”

“Keasikan ngobrol. Kenapa sih? Biasanya juga ngga nanya-nanya.”

“Gatau ah.”

Seungcheol meringis, sebelum kemudian memposisikan dirinya dengan nyaman. Telapak tangannya membekap pipi Wonwoo yang menunduk, menariknya untuk bisa sejajar dengan wajah Seungcheol. “Apa?”

“Gue bingung gimana bilangnya.”

“Kenapa bingung?”

“Ya gak tau.”

“Soal apa?”

“Soal kita.”

Alis Seungcheol tertarik keatas. “Oke...?”

“Kak.” Wonwoo menarik napas.

“Iya?”

Do you like me?”

“Hah?”

Romantically.” Wonwoo memastikan bahwa penekanannya pada kata tersebut terdengar jelas. “Suka gak?”

“Hah?” Seungcheol semakin panik.

“Gue gatau, kak. Kalau lo lempar balik pertanyaan itu, gue juga pasti gak bisa jawab. Karena gue gak tau. Tapi gue udah capek banget. Gue susah napas. Gue suka banget sama Mingyu, sesuka itu sampai gue kepikiran untuk mempermaluin diri gue sendiri dengan ngaku ke orangnya. Tapi gue juga gak mau lo hilang. Gue maunya lo selalu jadi Seungcheol-nya gue. Lo pasti bingung. Sama, gue juga. So let’s fucking figure this shit out.

Seungcheol diam tak berkutik. Matanya membulat, menunggu dan meminta penjelasan.

“Cium gue deh kak.” There, he said it. “Cium gue supaya gue bisa tau. Supaya gue gak capek mikir lagi. Supaya gue gak jadi gila. Supaya gue bisa napas.”

I guess second best, is all I will know.

Di dalam eksistensinya, intimasi antara dia dan Seungcheol belum pernah disirami api yang benar-benar berkobar. Cahayanya selalu tertutup dan redup, hangat dan tersembunyi. Merasakan bibir Seungcheol juga bukan salah satu bagian yang ada di kamusnya. Yet here they are. Here they are, bend and broken.

He kissed my lips, i taste your mouth.

Terlalu banyak namun yang berputar-putar dikepalanya saat ini. Salah satunya adalah ketika sentuhan bibir membuat mereka lupa akan dua pasang mata lain yang memandang,

yang termenung,

yang membeku,

namun nasi sudah menjadi bubur.