LFSACTII – Episode 3: Romeo & Juliet

POV: Wen Junhui.
mandatory read: 99 Red Balloons

[⚠️] indekos poci spoiler.


Pengalaman terseru gue dengan berbagai dating apps, sebagian besar terjadi ketika gue sedang berkuliah dulu. Tentu saja kisah ini akan lagi-lagi mengikutsertakan Jeonghan dan Wonwoo, karena mereka merupakan salah satu condiment yang akan memeriahkan festival ini.

Gue dan kedua sahabat gue itu bisa dibilang hobi mengerjai orang. Kita akan dengan sengaja meladeni manusia-manusia mesum di dalam berbagai platform tersebut, dan kita akan terguling dalam tawa di balik layar bersama plushies kelinci kepunyaan Jeonghan sebagai samsaknya.

Gue singkatnya akan berperan mencari korban potensial; mereka yang otaknya apa-apa selangkangan, ngabers dompet pas-pasan dengan rekomendasi hotel ala kadarnya, dan mereka yang selalu merasa paling superior dengan ukuran genital yang gambarnya akan tiba-tiba dikirim tanpa diminta. Lalu Wonwoo akan mengambil alih permainan dengan menyulap ruangan obrolan menjadi seakan kami menginginkan hal-hal tersebut sebanyak mereka menginginkannya. Sahabat gue yang satu itu akan membuat ego orang-orang tersebut menjadi begitu besar sampai tidak ada lagi tempat untuk menampung, lalu pada akhirnya mereka akan bertekuk lutut hingga tak berkemampuan untuk berdiri kembali.

Peran selanjutnya akan disutradai oleh Jeonghan. Tugasnya adalah menguji kesabaran orang-orang itu, dan mengulik bukti nyata tentang sampai mana mereka akan melakukan apapun atas nama seksualitas. Terkadang kami akan berakhir dengan delivery McDonald di jam satu pagi dengan uang hasil dari 'transferan' impulsif setelah kami membblock nomor-nomor tersebut, terkadang kami berakhir dengan rahang yang begitu sakit karena terlalu banyak tertawa.

It was fun while it lasted, beberapa orang bahkan bertahan dari seleksi alam dan malahan menjadi kawan mengobrol. Sampai lalu gue dihantam oleh sebuah trivia menarik setelah banyak bermain-main: gue ini, punya tendensi untuk cenderung menyukai pria yang lebih tua. Gue mampu menyebutkan faktor-faktor dibaliknya dari mulai bagaimana mereka lebih bisa mengayomi sampai bagian gue akan menurunkan pertahanan sejenak ketika berhadapan dengan mereka, namun apapun itu fakta yang gue jabarkan disana akan kembali hanya menjadi sebuah trivia.

Karena pada kenyataanya, yang berada di samping gue saat ini dengan nyata dan jelas mempunyai perbedaan umur sembilan tahun lebih muda daripada gue.

“Tapi koh Uyon engga tuh, dia kan seumuran kamu.”

Gue memutarkan bola mata dengan sarkas seraya mengambil satu buah pisang goreng panas di atas meja sana. “Uyon tuh beda. Dulu aku sama dia lebih banyak menyalurkan birahi daripada pacarannya.”

Sekarang gantian gue yang dipelototi. “Kalau mau TMI bisa yang biasa-biasa aja gak?”

Terkekeh adalah satu-satunya hal yang dapat gue lakukan. “Uyon tuh bisa tau... jadi dewasa disaat-saat tertentu. Coba tanya ke Wonwoo.”

“Yakali gue tanya ke dia.” Chan menaikan satu kakinya menjadi menekuk di atas sofa. Lalu tubuhnya yang sedari tadi terduduk tegak itu, diputar kesamping agar menghadap langsung ke arah gue.

Kesempatan tersebut gue gunakan untuk menyentuh usil gagang kacamatanya. “Dan kamu juga bisa kayak gitu.”

Pernyataan itu membuat si dia menaikkan kedua alisnya penuh rasa penasaran. “Masa?”

Jemari usil gue kini berpindah menusuk-nusuk pipi. “Ican kamu tau gak sih kalau lagi pakai kacamata gini kamu mirip banget sama Mingyu?”

“Yeeeh... Ya kan adeknya, lahirnya dari rahim yang sama.”

“Ih engga, miripnya cuma pas lagi kacamataan aja.”

“Sisanya engga?”

“Sisanya gantengan kamu.”

“HOEK.”

Gue kembali terkekeh, bernapak tilas ingatan kepada hari-hari dimana Chan masih berfrekuensi sering dala menanyaka kamu beneran gak suka sama mas, kan? Aku trauma nih. Di sela-sela pikiran gue yang berkelana itu Chan menyempatkan diri untuk menjauhkan telapak tangan gue dari wajahnya dan menguncinya lewat tautan jemari kami.

“Tapi kan... kalau dipikir-pikir kamu juga gitu.”

“Gitu gimana?”

“Ih, preferensi pasangan lo maksudnya.”

“Lah, Juhak kaga?”

“Ya kamu kenapa pacaran sama dia?”

“Sedih nungguin lu, menemukan kenyamanan sementara pada orang lain.”

“YA ITU!” Here comes the almighty cubit-cubit pinggang. “Ngerti kan maksudnya gimana?”

Gue tahu dia paham, tapi gengsinya ditutup-tutupi lewat sikap tak acuh dan pundak yang diangkat.

Gue bisa saja kembali melakukan banyak hal usil lain seperti mencubit sisi pinggang satunya atau berpura-pura manja dengan membenturkan dahi ke bahunya, namun semua taktik itu harus gue hentikan karena Hansol yang masuk dan berjalan santai dengan piring di dalam genggamannya. Alat makan itu ia angkat sejenak sebagai penanda ada maksud dibaliknya, dan setelah anak itu mengatakan mau minta nasi Jul, nyokap gak masak lalu ia hilang di dalam dapur sana.

Telapak tangan kami masih bertaut dengan erat ketika kemudian Mingyu dengan celana pendek juga kaos hitamnya masuk bersama pot tanaman yang ia jepit diantara lengan. Maniknya yang menangkap kehadiran gue seakan tak satupun menyiratkan keheranan, dan setelah mengacak-acak rambut di puncak kepala adiknya ia pun beranjak ke arah taman kesayangannya.

Gue dan Chan saling bertatapan bersama tekat besar untuk menahan tawa kemudian. Selalu adalah salah kami memilih tempat kencan seperti ruang tengah rumahnya sebagai arena berteduh ketika berencana saling berbagi cerita, namun toh pada akhirnya kami akan selalu menemukan alasan untuk kembali kesini.

“Kemana nih enaknya?”

“Gak tau...”

“Yeeeh... Ada lagi kepengen makan apa gitu gak?”

“Gak ada sih... Yaudah kayak biasa aja kita beli apa gitu terus makannya di rumah kamu.”

“Wokeeeh, laksanakan.”

Bukan sebuah konsep kencan paling romantis di dunia, tetapi gue selalu merasa jauh lebih nyaman ketika melakukannya. Pada saat itu Chan masih seorang anak kuliah, dan gue hanya mas-mas biasa aja dengan gaji UMR plus bonus dan insentif. Agaknya, terlalu membuang-buang uang untuk kami memikirkan sebuah tempat pertemuan kencan yang megah dan mewah. Baik gue ataupun Chan, tidak pernah ingin repot-repot membebani diri pada hal-hal seremeh itu.

Kencan kami memang sederhana, tetapi Cendana Indah membantu menyulapnya menjadi khas dan istimewa.

Menyandang status menjadi pacar Lee Chan juga membuat gue terkadang mendapatkan hak istimewa untuk merasakan semalam menjadi adik dari Kim Mingyu. Gue dulunya selalu berpikiran ide dari kedua sahabat yang ternyata mengencani kedua saudaranya adalah mimpi buruk bagi Jeonghan, tetapi ternyata makan malam berisikan enam orang (terkadang tujuh dengan Naeun) di sebuah restauran dengan dompet sang kakak tertua menjadi jaminannya itu tidak buruk-buruk amat.

Terkadang cara Tuhan memberikan gue jalan pintas itu terlalu mulus dan lancar sampai gue harus menciptakan sebuah praduga yang belum tentu terjadi. Bagaimana sebelum hubungan gue, Jeonghan, dan Wonwoo menjadi adil, pernah ada gue yang selalu dipaksa untuk menjadi mandiri. Bahwa gue tidak mumpuni berbagai persyaratan untuk menjadi adik kecil yang diperhatikan, dan gue akan dari lama kehilangan kemampuan untuk mengingat apa itu keluarga jika bukan karena Cendana Indah.

Sebuah pemikiran untuk melepas Lee Chan, setara dengan gue yang harus bersedia melepaskan sang hak istimewa.

Pemikiran mengerikan yang muncul secara tiba-tiba itu membuat gue secara impulsif menarik Chan lebih dekat sehingga lengannya bisa gue bawa dalam sebuah peluk. Lalu kemudian dagu si dia, jatuh tepat di atas puncak kepala sana. “Lah, kenapa dah?”

Gelengan itu dimaksudkan sebagai sebuah kamuflase. “Gak apa, dingin.”

“Buset... Jaktim nih bos, bukan Puncak.”

“Yaudah sih... Peluk emang gak boleh?”

“Boleh lah, masa gak boleh.”

“Okedeh.”

“Okesip.”

“Ihiy.” Pada suara yang satu itu, gue dan Chan sekonyon-konyong menoleh ke belakang dan menemukan Hansol tengah berdiri disana bersama nasi yang kini mengepul panas di atas piring. Wajahnya dipasangkan senyum menggoda, alisnya yang naik lalu turun diarahkan kepada kami.

What a perfect date place, isn't it?

Alasan gue putus dari Seungyoun selalu berbanding terbalik dengan mengapa gue berada bersama Lee Chan. Lingkungan pertemanan mantan gue yang satu itu selalu membuat gue banyak mengalami sakit kepala atas pikiran-pikiran bahwa gue tidak akan pernah bisa mengimbanginya, dan gue selalu merasa kelelahan karena dikejar-kejar oleh ekspektasi tak kasat mata.

Berada bersama Lee Chan memberikan sebuah reasurasi kepada gue bahwa ada seseorang diluar sana yang mampu mengimbangi gue dalam banyak hal-hal aneh tanpa perlu malu karenanya. Seperti misalnya memperhitungkan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan uang, dan membagi dengan adil rata pembayaran-pembayaran yang menyangkut kami berdua; tak ada gengsi, tak ada rasa ngga enakan.

Pergi bersama Chan juga tidak membuat gue mual ketika memikirkan baju apa dan bagaimana yang sekiranya pantas gue pakai. Tidak ada social pressure dalam mengoleksi barang-barang bermerk, dan banyak kesederhanaan lain yang membuat kami hanya harus menjadi kami; ada untuk satu sama lain, saling memberi dukungan dan saling menyayangi.

“Ju, do you think that's okay?” Adalah pertanyaan yang pernah muncul dari bibir Jeonghan pada suatu hari ketika kami bertiga tengah makan di restaurant hot pot. Pada saat itu jemari gue tengah sibuk mencelupkan daging ke dalam kuah panas, kemudian mendongak untuk menemukan Jeonghan sudah memandang ke arah sini.

“Apanya yang oke atau engga?”

“Chan kalau jemput lo.”

“Hah? Yang salah gimananya?”

“Iya, dia kan kalau jemput selalu pakai helm gojek terus ngasih lo helm itu juga yang buat penumpang.”

Gue sempat terdiam seketika. “.....Itu seharusnya jadi masalah?”

“Han mungkin mikirnya lo bisa aja malu atau gimana gitu, Ju.” Balas Wonwoo mewakili, yang membuat gue setelah itu seketika membatin ah.

“Hmm... biasa aja, sih?”

“Lo jangan gapapa-gapapa aja, kalau malu nanti biarin anaknya gue tegur.”

“Engga, bentar,” Gue meletakan kembali sumpit di atas meja. “Dia bawa itu kan karena memang abis sekalian kerja nyari penumpang?”

I know!” Jeonghan lagi, dengan matanya yang kini bergantian dari makanannya lalu kedua bahu yang terangkat ringan. “Tapi orang kantor kan gak tau. If they see it, mereka akan ngiranya ya lo pesen dari aplikasi aja.”

Gue tahu maksud Jeonghan baik. Gue tahu dia menyayangi Chan lebih dari apapun walaupun tak selalu menunjukannya, dan gue tahu mereka berdua adalah orang paling tepat untuk gue bisa mendiskusikan hal-hal seperti ini. Tetapi anehnya, segala yang gue rasakan sekarang adalah ketidaknyamanan dan rasa malu yang seketika mengguyur pada sebuah kenyataan bahwa:

Oh, ada ya ternyata orang yang akan mikir kayak gitu. Ada aja mereka yang akan berpikir kalau hal-hal seperti itu bisa menjadi sebuah faktor. Dan gue... dengan lugu dan polosnya melupakan variabel tersebut.

Malam itu gue kumat dan membangkitkan sebuah kebiasaan buruk yang selalu gue lakukan: sekonyong-konyong merasakan perasaan ilfeel, dan memutus kontak komunikasi secara tiba-tiba. Mungkin pada hakikatnya gue hanya butuh waktu untuk menetralisasi diri, namun orang yang gue tinggalkan itu pasti tidak tahu menahu tentang hal tersebut. Di dalam pikiran mereka gue hanya menghilang dan mengabaikan, dan pada akhirnya gue menjadi si dia yang menyakiti.

Gue buru-buru memikirkan sepuluh juta cara untuk memperbaikinya pada keesokan harinya. Chan memang tidak memborbardir gue dengan rentetan pertanyaan yang bertujuan menuntut kejelasan, tetapi dia yang menjadi pengertian malah membuat gue semakin merasa bersalah. Karena biar bagaimanapun, dia selalu melakukan yang terbaik sedangkan yang gue lakukan hanyalah dimakan hidup-hidup oleh insekuritas.

Hari itu, Chan menjemput gue tidak hanya dengan helm pribadinya tetapi juga dengan motor ninjanya.

Beberapa hari kemudian gue menerima sebuah informasi bahwa Chan akan beralih dari mencari penumpang dengan motor menjadi menggunakan mobil.

Dan gue tidak pernah merasakan perasaan bersalah sebesar itu dalam hidup sebelumnya.

Gue pernah ikut Chan masuk ke dalam satu hari dalam hidupnya. Kala itu gue sedang tidak besemangat untuk bekerja dan memutuskan untuk mengambil cuti, dan entah bagaimana dalam sekejap gue adalah Wen Junhui yang kembali ke umur mudanya dan duduk di bangku perkuliahan.

Yang menarik dari pengalaman itu adalah tentang banyak keajaibannya; tentang kami yang diam-diam menahan tawa di dalam kelas ketika dosen tengah menjelaskan, tentang mulut kami yang sibuk mengunyah dan kemah diam-diam yang kami bangun di bangku pLing belakang, tentang perasaan aneh ketika mencoba mengerti lebih dalam seorang Lee Chan dan dinamikanya ketikabmenjalani hari, tentang teman-temannya yang memperlakukan gue dengan begitu baik, dan tentang kami yang berlari kecil seraya diguyur hujan saat menuju ke parkiran.

Semuanya selalu terasa begitu mudah, begitu sederhana, begitu bebas, begitu menyenangkan.

Tapi, sayangnya, itu dulu.

Pendewasaan itu terkadang menyebabkan urgensi terpendam untuk mengulang waktu. Gue dan Chan memang bukan dalam fase bulan madu kami mengingat durasi berpacaran yang sudah tidak seumur jagung, pun begitu apa yang kami rasa masih tetaplah sama. Dia masihlah tetap Lee Chan yang menghapus banyak kekhawatiran berlebihan yaang terkadang gue pikirkan, dan kami masih saling melengkapi seperti bagaimana kami selalu.

Bedanya adalah, akir-akhir ini gue selalu merasa seperti diburu-buru waktu. Dan keburu-buruan gue itu ternyata menyengsarakan orang lain. Dan dalam kasus ini, adalah orang yang paling gue sayangi.

Gue dan Lee Chan yang baru saja digoda oleh Hansol itu sama-sama menghela napas dan mendecakan lidah. Bukan hal baru dan pertama kalinya untuk kami, namun selalu terasa jenaka ketika sedang terjadi.

“Mau pindah tempat aja gak?” Tanya si dia kepada gue ketika kembali hanya kami yang berada disana. Gue dan dia sama-sama paham apa maksudnya, dan kata iya yang telah berada di ujung lidah itu direalisasikan lewat tubuh yang akhirnya beranjak dan kaki yang akhirnya berdiri, lengkap denga seringai yang terpatri di wajah.

Melihat keseluruhan Cendana Indah dari atap tertinggi Indekos Poci pertama kali gue alami atas ajakan Chan beberapa tahun yang lalu. Sewaktu itu gue menjadi penasaran ketika banyak mendengar cerita-ceritanya, dan setelah meminta ijin kepada Minghao entah bagaimana tempat itu selalu jadi spot persembunyian gue dan Chan.

“Aku selalu penasan, tapi lupa terus masa mau nanya.”

“Penasaran apa tuh?”

“Itu,” Gue menunjuk rumah kayu sederhana di atas sana dengan dagu setelah mendudukan diri di salah satu bangku. “Siapa yang bikin sih?”

“Rumahnya?”

“Mhm.”

“Denger-denger dari ceritanya sih bang Juyeon yang bikin. Jadi dulu kak Hyunjae suka minta tolong temenin latihan script kan disini, tapi kadang-kadang terlalu panas atau lagi hujan. Terus bang Juyeon atas izin dari si Bengeng inisiatif aja bikin gituan.”

“Wow... Keren... Sampe segitunya.”

“Yoi. Beberapa bulan setelah bang Juyeon dan banyak penghuni generasi satu Poci yang cabut, tempatnya dibagusin sama si Begeng sampai jadi kayak begitu. Terus ya... siapa aja boleh kesini. Bebas mau dipake buat apaan. Tapi rata-rata buat anak Poci pada ngumpul sih.”

“Sama buat kita ngumpet dan berpacaran.”

Chan bertepuk tangan dan memberikan jempolnya. “Betul sekali.”

“Semenjak terinspirasi dari Minghao, aku jadi punya cita-cita baru.”

“Cita-cita baru? Apa tuh?”

“Jadi juragan indekos.”

Si dia di sebelah gue menyemburkan tawa menggelegar. “Buset.”

“Ih, bener tau... Gue sudah menghabisi setengah hidup untuk bekerja menjadi karyawan, tapi ya kekayaanya akan tetep segitu-segitu aja. Kalau jadi juragan indekos, kita bisa leha-leha tapi tetep dapet uang. Penghasilannya muter terus.”

“Yaa... iya sih. Berarti tabungannya kita pakai buat itu aja apa? Nanti kita tanya si Ucup lahan kosong yang disana bisa dibeli atau engga.”

“Tabungan apa?”

“Tabungan nikah, atuh.”

Ludah itu gue telan dengan penuh kegugupan. “Anjir... Hahaha...”

“Kita nikahnya kayak Suhay Salim aja tuh, langsung ke KUA terus udah deh beres.”

“Dih, tau-tauan Suhay Salim lo.”

“Temen-temen aku yang cewek pada gak jelas suka nontonin itu dulu di kelas.”

“Emang boleh, kalau nikahnya kayak begitu?”

“Ya gak tau sih, gak pernah nanya. Terus gak ada clue juga, soalnya mas Mingyu sama mas Han nikahnya semua heboh.”

Gue diam-diam memeluk dan mencubit diri sendiri. “Aah...”

“Emang kamu mau?”

Gue menoleh begitu cepat. “Hm??”

“Maksudnya, kalau kamu maunya gimana.”

“Oooh...” I wanted to have the dream wedding i've always dreamed about. “Aku gak masalah gimana aja.”

Chan menganggukan kepalanya. “Oh gitu...”

Kami sama-sama terdiam setelahnya. Kebanyakan karena gue yang membuat situasinya menjadi seperti itu, dan sebagian lagi karena mungkin masing-masing dari kami memang butuh waktu untuk mencerna obrolan barusan. Karena topiknya adalah bukan karena iseng semata. Salah satu dari opsinya, mungkin akan terjadi kepada kami secara nyata.

If, we keeps this going.

Tapi permasalahannya, mengapa gue harus khawatir tentang itu? Mengapa baik Wonwoo dan juga Jeonghan tidak pernah terlihat memusingkan hal-hal seperti itu? Mengapa mereka berdua tidak pernah menceritakan gue kekhawatiran tentang akan seperti apa kondisi finansial mereka nantinya? Mengapa hanya gue yang lagi-lagi harus mempunyai banyak kekhawatiran ketika hidup gue bahkan sudah sesusah itu?

“Aku rencananya mau jual motor yang Ninja.”

“Hah... kenapa?”

“Ya... kepikiran aja. Lumayan gak sih hasilnya? Lagipula itu motor udah jarang aku pake, terlalu heboh. Aku mau benerin dan modifikasi Kijangnya bapak buat dipake mobilitas sehari-hari. Atau mungkin aku bisa beli motor yang agak murahan, yang biasa-biasa aja. Ya begitulah, kalau udah ada uang hasil ngejualnya nanti baru bisa dipikirin dan diatur-atur.”

“Emangnya gak apa-apa?”

“Apanya?”

“Ninja itu bahkan udah ada disini dari sebelum segala huru-hara Cendana Indah, Ican. Itu diwarisin dari Mingyu ke kamu, dan dulu kamu selalu bilang kalau kamu sayang banget sama motor itu.”

Pemaparan gue tadi dibalas dengan tawa. Walaupun, gue masih belum bisa menyimpulkan apakah di dalamnnya mengandung kepahitan. Namun lalu gue menemukan bahwa hati kecil gue kembali terasa seperti dicubit ketika Chan membuka mulutnya.

“Hahaha... Itu mah kata Ican di umur tujuh belas kali, kak. Kalau sekarang aku haru bisa pasang mindset orang dewasa. Ya supaya... aku bisa ngimbangin kamu. Bener kan?”

Pikiran gue lagi-lagi terbang kepada kami yang terbahak puas ketika lari menerobos hujan, basah kuyup, dan menertawakannya di bawah atap parkiran. Atau kepada banyak distraksi jenaka ketika kami memutuskan untuk berkencan di Cendana Indah, atau pada obrolan jam satu pagi di atas motor pada kota Jakarta yang lowong ketika sebagian besar penduduknya tengah tertidur, pada kami yang masuk ke dalam mall berpikir akan membeli sesuatu dan berakhir putar haluan untuk thrifting di Pasar Baru, pada kunjungan kami ke tempat-tempat viral Tiktok yang berakhir dengan antrian super panjang, pada keinginan impulsif kami untuk makan mie kocok Bandung langsung di Bandung, pada malam-malam suntuk ketika kami tidak ingin melakukan apa-apa namun masih ingin berada di sisi masing-masing, pada setiap makan malam hangat yang terjadi di atap rumah keluarganya, pada telepon tengah malam yang berakhir dengan kami yang sama-sama tertidur dan baru menyadarinya di pagi hari, dan atas segala gelisah yang selalu kami ceritakan dengan leluasa kepada satu sama lain.

Namun, tidak untuk yang satu ini. Tidak untuk satu kekhawatiran yang tengah dan masih menyangkut di dalam benak tepat ketika gue mengatakan ini.

Mengapa segalanya tak lagi bisa sesederhana ungkapan rasa suka pada malam tahun baru dan kecupan singkat di pipi? Mengapa segalanya tak lagi bisa bisa semagis dia yang menemukan gue menangis di kedai Bubur Cikini sehabis putus cinta? Mengapa segalanya tak lagi bisa semudah dia yang mengajak gue berlari pergi dari Minghao beberapa tahun lalu? Mengapa segalanya tak lagi bisa seyakin dia yang menyusuli gue dengan begitu terburu-buru hingga sepatunya hanya terpasang satu sisi?

“Gue mau lo tau kalau gue suka sama lo agar supaya dada gue plong aja, sama mau lo tau kalau di dunia ini ada cowok namanya Lee Chan yang gemes dengan semua keanehan lo, yang seneng ngingetin kalau lo tuh bukan sekedar bayang-bayang sahabat lo, yang ikhlas jemput lo tiap lo diterlantarkan orang yang jahat sama lo, dan yang rela lo jadian sama cowok lain kalau artinya itu bakalan bikin lo seneng. Jelas gak?”

We're not the only ones, i don't regret a thing, Every word i've said, you know i'll always mean, It is the world to me that you are in my life, But i want to live and not just survive.

Mengapa... gue mengalami sebuah krisis atas the exactly style of my own yang sekarang harus kembali gue pertanyakan?