LFSACTII – Episode 3: Romeo & Juliet

POV: Lee Chan.

Sori semisal kedengerannya rada pengecut, tapi gue bersyukur semua ini kejadian sewaktu kita lagi pada bareng-bareng. Sewaktu gue gak harus memikirkan tindakan apa yang harus dilakukan seorang diri, sewaktu gue punya banyak orang disekitar yang lebih mampu membantu gue untuk menjadi orang waras.

Karena kalau sekiranya aja sendirian, kayaknya gue cuma bisa ikutan jongkok di pojokan dan digerogoti hingga mati oleh kenyataan.

Anehnya, gue bisa inget segalanya yang kejadian malam itu dengan begitu jelas; mas Mingyu yang berlari secepat kilat untuk mengambil mobilnya, lalu menjemput gue, Juju, mas Han, dan Nu untuk naik ke dalamnya. Terakhir kali gue pernah melihat mas Mingyu lari sekencang itu, mungkin dulu waktu mas Han pernah ngabarin kalau dia baru aja kecopetan dan nangis-nangis di telepon.

Kini gue berada pada situasi yang sama menegangkannya, dan segala sesuatu tentang pemandangan Juju yang duduk di kursi belakang bersama dua sahabat yang memeluknya dari sisi kanan kiri dan menemaninya menangis begitu membuat gue ingin membotakan seluruh rambut di kepala.

Gue selalu akan mengatakan iya setiap kali Juju punya rencana dan minta diantar untuk menemani ibu. Gue paham bahwa akhir-akhir ini pergi kesana merupakan salah satu hal yang berat untuk dia karena kondisi ibu yang sudah semakin memburuk, jadi konsiderasi gue adalah untuk tidak akan pernah membiarkan dia harus melangkah sendirian.

Yang gue sesali kemudian, adalah kenapa gue malah bisa-bisanya gak ada disana di saat terakhirnya? Kenapa gue harus gak sempet buat sisihin waktu? Kenapa gue gak bisa sedikit lebih peka? Kenapa gue malah harus bekerja semalaman? Kenapa yang ada disana itu Minghao, bukan gue? Dan kenapa gak ngebolehin dia pergi sama orang lain kesannya kekanak-kanakan dan pada akhirnya gue gak bisa nunjukin kalau gue cemburu?

Kenapa... gue dan dia harus ditempatkan pada situasi ini?

Pemakaman terakhir yang terjadi di Cendana Indah adalah sewaktu engkong. Kami semua memang belum pernah sesering itu mengalaminya, dan semoga juga tidak akan berubah frekuensi. Tapi itu terjadi beberapa tahun lalu, saat semuanya kembali pulang masih dengan amarah masing-masing. Dan saat seorang Lee Chan bahkan baru berusia delapan belas tahun.

Kepergian engkong memang membuat gue berduka, tapi gak ada beban yang harus gue tanggung pada saat itu. Titik beratnya hanya ada pada Ucup, dan dia yang harus lebih banyak beradaptasi.

Namun kali ini gue semacam adalah pemeran utamanya. Gue punya andil besar dalam perginya ibu Juju, karena mau tak mau gue menjadi satu-satunya sisa yang dia punya. Yang dipercaya jadi tempat dia bersandar. Yang mungkin adalah opsi terakhir dalam mencari jalan pulang dan menyebutnya rumah. Tapi pertanyaanya adalah: apakah gue siap?

Gue tau seharusnya masih banyak hal krusial lain yang bisa gue pikirkan selain insekuritas tolol yang munculnya gak liat waktu dan keadaan. Seharusnya mau kayak apapun situasinya, buat sekarang udah paling bener kalau gue cuma harus nemenin dan ada disamping dia.

Tapi sayangnya, dari semenjak sampai di Panti Jompo tadi malam untuk menjemput ibu lalu membawanya pulang ke Cendana Indah dengan mobil ambulance, belum ada satu patah kata pun yang pernah keluar dari bibir seorang Wen Junhui. Dia bagaikan mayat hidup berjalan, yang harus bantu digerakan atau langkah kosongnya akan berakhir dengan membuatnya jatuh ke jurang dengan sengaja.

Situasi itu membuat mas Han dan Nu untuk pada akhirnya gak pernah meninggalkan sisinya barang sedetik. Gue pun di bangku plastik bawah tenda yang sengaja dipasang khusus untuk para tamu yang melayat, selalu didampingi tiga orang ini tanpa terkecuali. Mereka ada disana tanpa mengatakan apapun, menanyakan apapun, menawarkan apapun.

Dan mungkin tanpa sadar hanya itu yang gue butuhkan untuk saat ini. Gue butuh ditemani disaat harus menyaksikan seluruh penghuni kompleks lain berfungsi kesana dan kemari mengurusi urusan pemakaman.

“Tank, baju lu ganti dulu dah. Pengen banget apa jadi Romeo selamanya?”

“Entar Jul, gampang.”

“Elu Cok, masuk dulu sana tidur. Ke makamnya juga masih besok pagi, kali. Mata lu udah merah banget itu.”

“Banyak cakap lah kau, orang aku maunya duduk disini.”

Gue beralih ke orang terakhir. “Geng—”

“—Ibunya hapal, kalau yang dateng sama dia itu biasanya lo.”

Tenggorokan bengkak itu masih harus gue paksa untuk menelan saliva. “Masa?”

“Pun kesusahan berbicara dan pelafalannya gak jelas, dia masih sempet nanyain kabar lo Jul.”

Gue menundukan kepala dan tak berniat untuk mengangkatnya lagi sepanjang sisa subuh itu.

Gue tau ini adalah mimpi. Sebuah formulasi aneh karena kebanyakan orang tidak tahu menahu ketika mereka sedang bermimpi, tapi gue selalu akan menyadari bahwa itu adalah mimpi karena di dalam sana gue tidak bisa berlari. Gue selalu kesusahan untuk melangkahkan kaki dua kali lebih cepat di dalam mimpi, dan rasanya menyesakkan.

Selain tidak berkemampuan untuk berlari, di dalam mimpi itu gue juga mengalami kejadian lain yang tidak mengenakan; gue ada di sebuah bandara bersama satu koper yang terduduk tak kalah kesepiannya dengan gue. Di mimpi itu gue punya harapan besar agar kepergian ini bisa ramai dengan wajah-wajah familiar yang ikut mengantar, namun pada kenyataanya tempat itu kosong melompong.

Ican yang penakut itu lalu berlari. Tujuan larinya adalah untuk pulang, untuk menggagalkan rencananya, untuk merubah pikirannya. Namun seberapa kencang dan lamanya pun berlari, ternyata yang gue lakukan hanyalah berjalan di tempat.

Dan setelah itu gue terbangun dengan dramatis.

“Chan—Chan!

Mas Han dengan pakaian serba hitamnya sudah berdiri di samping tempat tidur gue sambil mencoba memasang jam tangan di pergelangan.

Gue masih dengan baju tadi malam seketika melonjak. “Lah, ketiduran gue mas! Niatnya cuma mau ganti baju.”

“Gapapa, tapi lo buruan mandi dan siap-siap sekarang.”

Pukul sepuluh pagi. Mimpi buruk itu hanya terjadi dalam kurun waktu satu jam; jatah tidur yang baru gue dapatkan dari sepanjang malam. “Oke... Uhh, Juju?”

“Ada, di ruang tengah. Lagi dipaksa makan sama Wonwoo.”

Suara mas Han yang seakan tengah menahan isaknya membuat seluruh sendi di tubuh gue mengilu. Apalagi ketika menyadari, bahkan gue pun tidak berkemampuan meluluhkannya dengan cara apapun.

“Kalau masih gak mau gue coba lagi abis ini.”

Mas Han mengadahkan kepalanya untuk menahan air matanya agar tak jatuh. “Yaudah.”

Baru gue berencana untuk menyibak selimut, tiba-tiba kakak gue itu menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur dan duduk di pinggirnya. Gue otomatis mengernyit. “Kenapa mas?”

Mas Han berkontemplasi untuk beberapa saat; bibirnya digigit gelisah, pandangannya memindai kemana-mana asal bukan gue, dan kakinya terus-terusan bergerak bagai mesin jahit.

Gue mulai tak sabaran. “Mas?”

Kakak gue itu, akhirnya memberanikan diri untuk mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. Surat itu ditodongkan tepat di depan wajah gue, dan dari napasnya yang berat dan mata gue yang membulat seketika gue paham kita sudah sama-sama tau situasi macam apa ini.

“Chan—”

“—Mas, gak sekarang.”

“Iya gue tau.” Potongnya cepat-cepat, seketika membuat gue terbungkam. “Gue cuma mau minta maaf sama lo selagi sempet.”

“Minta maaf?”

“Karena lo ngerasa ini bukan hal yang bisa diceritain ke gue.”

Ah, ngentot. Kemarin sama hari ini kenapa berat banget sih? “Mas, gak gitu...”

“Gue juga kakak lo, Ican. Ya gue tau sih gue emang gak bisa kayak mas. Gak akan bisa, karena pada dasarnya gue keras kepala dan egois. Gue minta maaf kalau lo gak pernah bisa lihat karena gue jarang nunjukin. Tapi gue cuma mau lo tau... kalau mau digimanain juga, i'm always on your side. Because we're family.

Ngentot, ngentot, ngentot. “Mas jangan nangis woy... Ini kalau si om masuk bisa-bisa gue dikirim ke pesantren dikiranya ngapa-ngapain lu.”

Kakak gue tertawa bersama dengan air mata yang tengah menciptakan waduk di kelopak matanya. “Peluk gue dulu.”

“OGAH.”

“Yudah gue akan nangis lebih kenceng.”

“OKE, OKE.”

Untuk pertama kalinya selain bukan di hari lebaran, gue memeluk mas Han. Dan mungkin, tanpa sadar ini juga adalah yang sedang gue butuhkan untuk saat ini.

Menurut gue, yang aneh tuh bukan acara pemakamannya. Yang aneh adalah begitu serangkaian acara selesai dan tubuh dingin itu sudah diantar ke rumah terakhirnya, lalu sekembalinya dari sana muncul sebuah perasaan sepi dan kosong yang menggerogoti. Udah gak ada lagi tamu yang hadir memenuhi rumah dan mengirim doa, gak ada lagi suara dari banyak orang-orang yang berkumpul di setiap sudut rumah, sebuah pemandangan perubuhan tenda yang tadinya terpasang di depan rumah, dan bukti bahwa masing-masing dari kami sudah kembali ke tempat masing-masing.

Junhui meringkuk terlelap dalam tidurnya di kamar gue sepanjang sisa hari itu. Gue meninggalkan dia di kamar yang gelap, AC yang menyala, dan selimut yang menangkal dinginnya sendirian, dan gue tidak masuk ke dalam sana kecuali dia yang memintanya.

Lagipula kalau gue pun bisa merasa sesedih dan sehampa ini ketika mencoba mencerna berbagai macam perasaan dalam satu waktu, apalagi dia?

Jadi gue memutuskan untuk tidur di sofa ruang tengah siang hari itu. Menjelang malam, gue dibangunkan oleh suara dapur yang riuh dengan macam-macam: suara wajan yang sedang dioseng, bumbu rempah yang menyerbakan wanginya, bocah-bocah yang tertawa karena kartun di televisi, dan burung beo yang tak lelah berceloteh.

Flora menyambut gue dengan kedua telapak tangannya yang menyodorkan sebutir Kinderjoy. Katanya dengan mata cantiknya yang bersinar, “Aku sama Naeun tadi beli.”

“Boleh buat om?”

“Kalau makan cokelat nanti bisa jadi good feeling lagi.”

Gue menerima sambil mengusap puncak kepalanya. “Gitu ya?”

“Tapi satu aja, nanti habis itu makan sama-sama. Eyang putri yang masak.”

“Oke, siap.” Dua jempol gue berikan kepada sang ponakan, sebelum pipinya kemudian ikut gue kecup. “Makasih, Flora sayang.”

“Kembali kasih, om Ican...”

Juju masih dengan porsi makannya yang sedikit, bibirnya yang bungkam seribu bahasa, kulitnya yang pucat, matanya yang kosong, dan tubuhnya yang lemas, tapi dia menangis di dalam dekapan gue malam itu. Wajahnya bersembunyi di ceruk leher, tubuhnya terus-terusan bergetar, dan jemari kami saling bertaut begitu erat dan enggan terlepas.

Gue kembali ke sofa ruang tengah setelah tidurnya telah lelap.

Penderitaan dan kehampaan itu terus terjadi sampai hari selanjutnya. Dan hari selanjutnya. Dan hari selanjutnya. Terkadang gue akan berangkat kerja di pagi hari, dan menemukan dia masih berada pada posisi yang sama di kamar begitu pulang larut malam. Nu sesekali mengajaknya pergi ke luar. Mas Han juga terkadang menculiknya untuk bersembunyi di rumahnya.

Sedangkan gue yang masih menjadi pengecut dan kebingungan untuk bersikap ini, pasrah dengan segala keadaan. Karena gue merasa jarak ini benar-benarada. Karena gue merasa, perbedaan pandangan ini tercipta karena gue belum satu visi dan misi dengan bagaimana cara orang dewasa mengatasi dukanya.

Gue kehilangan arah dimana seharusnya menempatkan diri.

Lalu sampai pada suatu ketika, hari itu akhirnya tiba.

“Nu, si Juju jadi udah masuk kerja kan hari ini?”

“Hmm, jadi kok?” Yang ditanya menjawab disela-sela tegukan orange juicenya. “Kenapa memangnya? Lo tau kan?”

“Tau, tau. Ini berarti belom pulang apa gimana dah?”

“Lho, udah sih pasti? Soalnya Han—” Kakak gue muncul dari dapur dengan mangkuk yang entah apa isinya. “—udah pulang.”

“Kenapa?” Mas Han melirik gue kemudian.

“Juju mana?”

“Mandi? Di kamar?”

“Gak ada.”

“Coba chat, mungkin ke Indomaret depan beli sesuatu?”

“Oke.”

Gue buru-buru mengeluarkan handphone dari saku.

kamu dimana? <
kak? <

`> sori baru liat...

`> di poci

Ransel yang masih menggantung di pundak itu gue lempar dengan sembarang.

Aneh bagaimana perjalanan gue dari rumah menuju Indekos Poci itu menjadi salah satu perjalanan paling sentimentil yang pernah gue rasakan. Gue tetap bertemu pandang dengan Ucup bersama sarung yang melilit di pinggang dan tengah terduduk di teras depan rumah, tetap memergoki wajah Ucok yang cemong oleh oli ketika tengah membetulkan mobil rongsoknya di garasi, mendapati lampu kamar Tatank yang masih menyala, dan berpapasan dengan Begeng yang baru aja turun dari mobilnya.

Namun entah apa yang berat. Entah apa yang berat, sehingga menaiki tangga ke atap Indekos Poci terasa begitu familiarnya seperti mimpi tempo hari lalu. Seakan yang tengah gue lakukan hanyalah berjalan di tempat. Seakan gue tidak benar-benar mau menjadi bertanggung jawab dan memberi reasurasi kepada siapapun saat ini. Seakan gue ini tengah merasakan kelelahan yang teramat sangat.

Seakan semua ini sudah melampaui batas yang gue mampu hadapi.

“Hey.”

Sejumput rambutnya ditiup angin ketika menolehkan kepalanya kepada gue. “Hey...”

“Belum ganti baju?”

“Hm?”

“Itu, masih pakai baju kantor.” Gue membalas seraya mendudukan diri di sampingnya. “Bukannya mandi sama makan dulu.”

“Ooh... nanti aja, sekalian di kost.”

Gue menoleh begitu cepat sampai-sampai bangku kayu itu ikut bergoyang. “Kamu mau pulang?”

“Aku udah lebih dari seminggu disini, Ican.”

“Ya terus kenapa?”

“Ya harus apa-apa lah... Kan gak enak.”

“Ya elah kak, gak ada yang peduli dan permasalahin juga. Ketua RTnya babeh si Ucup, jadi gak perlu lapor tamu 1x24 jam.”

Si dia tersenyum, gue bersyukur. “Gak apa ya, aku pulang...”

Yaelah. Kalau dia sendiri udah ketok palu, lalu gue bisa apa? “Kalau gitu aku aja yak, yang gantian nginep di kost kamu.”

Yang ditanya menggeleng pelan. “Itu juga gak usah.”

“Gimana sih? Aku gak berani lah ninggalin kamu sendirian.”

“Aku udah gak apa-apa.”

“Ju, kamu jangan gini lah...”

“Aku beneran, Ican.”

Chan yang sebelumnya mungkin akan bilang ah tau lah, terserah deh dengan lantang tanpa pikir dua kali. Chan yang sekarang, harus diam-diam menggigit lidahnya sebagai bentuk kebijaksanaan.

Bagaimana mas Mingyu bisa melakukan hal ini sepanjang hidupnya?

Karena baru sekali aja, gue rasanya udah seperti ditelanjangi dan dipermalukan. “Aku... bingung, Ju.”

Senyum tenang itu kembali tergambar di wajahnya. “Aku juga bingung.”

“Kamu lagi ngerasain apa?”

“Aku gak bisa ngerasain apa-apa.”

“Oke.” Monyet, kalau bisa lompat udah lompat gua dari atas sini. “Yaudah. Aku mandi sama makan dulu kali yak, abis itu nganterin kamu bal—”

“Aku mau putus.”

”...Hah?”

“Diudahin aja ya, sampai sini hubungannya.”

Mungkin kalau sekarang ada audiens selain gue dan dia, mereka bisa liat gimana ekspresi gue menunjukan bahwa gue tengah merasakan mual dan akan segera muntah. “Apaan sih?”

“Aku udah gak bisa.”

“Alasannya apa?”

“Gak bisa.”

“Ya gak bisanya itu karena apa?” Gue sadar yang ini jatohnya agak ngebentak, tapi gue udah gak peduli.

“Ada hal-hal yang gak bisa aku jelasin ke kamu.”

“Ya itu namanya kamu egois. Ini kamu nih selama ini pacarannya sendiri apa sama aku sih? Kok bisa-bisanya ngerasa aku gak punya hak buat dapet penjelasan alasannya? Dikira aku anak kecil kali ya? Oh, apa emang iya?

“Ican...”

“Jawab dulu, Ju.”

“Can—”

“Jawab. Dulu. Setelah kamu jawab baru—”

Aku mau kamu pergi jauh-jauh dari aku.

”....baru aku bisa terima.”

Bajingan.

Loncat kebawahnya bisa gue realisasikan sekarang aja kali ya?

“Hidup aku akan susah kalau masih ada kamu, Can. Kamu kayak... beban. Dan aku udah gak punya apa-apa dalam hidup untuk ngebantu aku buat menopang beratnya. Jadi kamu harus pergi.”

Gue mencoba tenang. Mencoba berpikir rasional. Mencoba meresapi bahwa yang hidupnya sedang tidak baik-baik aja disini adalah dia. Yang baru aja kehilangan adalah dia. Dia bukan sedang bertingkah menggunakan akal sehat. Yang waras disini adalah gue.

“Ju. Kamu sadar kan, kalau gak seharusnya disaat saat kayak gini kamu malah ngajak putus? Sekarang bener-bener bukan waktu yang tepat. Kamu tuh butuh ditemenin. Jangan dorong aku pergi, please...

Alih-alih menjawab, Junhui hanya bisa menundukan kepalanya dalam-dalam. Gue tau dia sedang menangis dalam diamnya. Gue tau ada bulir air mata yang melayang jatuh ke atas celananya, gue juga tau punggungnya lagi-lagi bergetar hebat. Dan gue mulai menyadari mungkin butuh dunia yang runtuh di hari kiamat nanti untuk gue berkemampuan merayu dan membuat dia merubah keputusannya.

Tapi gue ini sejujurnya sudah kehabisan tenaga. Gue sudah benar-benar kelelahan, dan gue tidak pernah berani mengungkapkannya kepada siapapun. Timeline kehidupan versi ini begitu membuat gue lelah berkejar-kejaran sampai tidak ada lagi tekat yang tersisa untuk gue meraih garis akhirnya.

Tapi gue gak mau kehilangan dia.

Dan pikiran gue mulai kalut.

“Ini keputusan sepihak. Kamu gak mikirin perasaan aku.”

“Memang engga. Jahat kan aku?”

“MAKSUDNYA GAK BEGITU ASTAGA TUHAAANNN!” Kefrustasian itu gue ungkapkan lewat gue yang bangkit dari kursi dan mulai melompat-lompatKan diri menginjak lantai bumi. Rambut yang tadinya rapi itu kini mencuat tak karuan kesana kemari hasil dari jambakan asal, dan seluruh darah yang berkumpul di wajah itu membuat gue seakan habis direbus air panas mendidih. “Maaf, maaf. Kamu gak salah, gak jahat juga. Maaf. Maafin aku ya?”

“Yang harusnya minta maaf itu aku, Ican. Maaf...”

“AAARRRGGGHHH KONTOL! NGENTOT! GOBLOK BANGET NIH DUNIA!”

“Can...”

Gue resmi kalut. Gue begitu kalut sampai-sampai yang selanjutnya dapat gue lakukan hanyalah berlutut di kakinya. Gue akan melakukan sejauh itu jika memang harus. Dengan rintihan parau lalu gue berkata, “Aku gak tau salah aku apa, Ju... Ini harusnya gak berakhir begini... Aku kerja keras buat kamu... Aku udah coba sebisa mungkin buat planning semuanya...”

“Kamu gak salah apa-apa, Ican. Yang salah itu bener-bener sepenuhnya aku. Aku salah karena aku cuma punya kamu, tapi kamu punya segalanya...

...dan kamu gak seharusnya menahan banyak hal itu hanya demi aku.”

Sewaktu lagi jadi pohon di panggung beberapa hari lalu, hal yang kepingin banget gue lakuin pas acara nanti selesai sebenernya ngeceng-cengin Tatank. Memuji dikit juga sih, karena gue baru tau kalau dia bisa akting dengan sebagus itu. Untuk ukuran drama receh level kompleks, perannya sebagai Romeo jatohnya terlalu berkelas.

Yah, tapi sayang, agenda itu gak pernah kesampaian karena huru-hara yang kejadian setelahnya.

Kurang ajar tuh si Tatank, obat tetes yang disediain Ucup buat jadi air mata bohongan malah jadi gak kepake sama sekali. Hati kecil gue juga diem-diem tersentuh, yang padahal gak ada ngerti-ngertinya sama sekali dengan apalah itu kekuatan cinta sampai si Romeo dan Juliet mau bela-belain minum racun dan nyusul pasangannya mati.

Tapi gue kebayang sedihnya. Mungkin bisa tiba-tiba kebayang sedihnya karena gue juga sekarang lagi ngerasain sedih, ngerasain ditinggal, ngerasain relate sama Romeo dan mindest di kepalanya dan kemudian berpikir: oh iya, bener, rasa sedihnya itu bikin kayak mau mati.

Terus gue lagi-lagi jadi membentuk sebuah kesimpulan aja, bahwa inimah dari awal sebenernya gue gak pernah kalah vote. Dari awal gue juga gak harus repot-repot segala kampanye. Karena Romeo dan Juliet Cendana Indah itu gak pernah Tatank dan Kwan,

It's always been me and Juju.

Perjalanan dari atap Indekos Poci hingga turun lagi ke bawah itu gue lakukan sembari menertawakan diri sendiri. Dan saat gue bilang tertawa, gue bener-bener tertawa. Orang lain yang melihat mungkin akan nuduh bahwa gue udah berubah jadi gila. Apalagi disitu posisinya gue jalan sendirian, dan yang lagi gue tertawakan itu sebuah posibilitas bahwa mungkin ketika gue kembali ke rumah nanti Junhui udah gak ada.

Gue maunya dia ada.

Gue berharap dia ada.

FYP Tiktok gue akhir-akhir ini algoritmanya lagi asbun dan ngawur. Gak tau karena perbuatan siapa, disitu jadi banyak mbak dan mas social justice warrior yang menampar audiensnya dengan sebuah realita tentang dinamika dalam hubungan.

Salah satu video terlucu yang gue temukan adalah tentang seorang cowok yang frustasi, karena setiap dia menceritakan sebuah keseruan dalam harinya dari A sampai Z ke pacarnya dan di dalam cerita itu ada nama satu cewek, dari keseluruhan cerita pacarnya hanya akan repot-repot memotong pembicaraan itu dan kemudian dengan santai bertanya: itu, tadi, yang cewek itu siapa?

Gue tunjukan video itu kepada Juju sambil bilang, nih, ini kamu. kagak pernah nyambung ceritanya apa yang ditanya apa. Dia mengerucutkan bibirnya dan mencubit pinggang gue gemas.

Sekarang gue udah gak punya lagi sosok yang bisa gue tunjukin penemuan video-video kayak gitu.

Oh, sama kayaknya gue juga harus ceritain contoh soal yang tersedihnya juga. Videonya simple; cuma mas-mas yang lagi duduk di cafe sambil bengong, matanya kosong menatap kejauhan, background musiknya itu Tulus nyanyi lagu Perahu Kertas. Tulisan di atas kepalanya terpampang besar dengan kalimat begini: bisa gak diperbaikin aja? aku udah gak ada tenaga buat kenal orang baru.

Terus tulisan dibawah videonya, dilanjut dengan ...tapi bukankah kita sudah sama-sama hancur? apa masih mau mencoba?

Ku bahagia kau telah terlahir di dunia, dan kau ada di antara milyaran manusia.

Sekarang gue udah gak punya lagi sosok yang bisa gue tunjukin penemuan video kayak gitu, tapi seengaknya untuk yang satu ini gue bisa relate.

Yah, walaupun sedih.

Tapi gak jadi sedih-sedih amat, waktu ngeliat tiga serangkai—Ucok, Tatank, Begeng, yang udah nungguin gue di depan rumah bersama Tesla yang diparkir rapi disana.

Mau gak mau gue tertawa getir. “Kok bisa, pas banget waktu si Tatank lagi di disini.”

“Gue bela-belain ke Jakarta buat Jisoo yee, bukan buat lu.”

“Ah masa?”

Belum sempat si Tatank membalas, Ucok mendecakan lidahnya duluan. “Banyak cakap kau, cepatlah naik.”

Begeng menggelengkan kepalanya penuh kekaguman. “Asli, aneh banget kita berempat.”

“Sori nih, jadi ngerepotin.”

Sang sultan Dubai menepuk kap mobilnya santai. “Bros before hoes, Jul. Always. Playlistnya juga udah siap di dalem mobil.”

Gue lagi-lagi tertawa getir. “Oke.”

Malam itu kami berangkat menembus angin malam Jakarta dengan tujuan yang masih belum benar-benar jelas. Kadang kami belok ke kanan, lalu ke kiri, lalu ke kiri lagi, lalu kembali ke kanan. Jalanan lowong kala itu seakan mengajak kami berteman sejenak untuk meromantisasi gedung-gedung pencakar langit hingga terciptalah sebuah suasana melankolis.

Gue ingat tertawa sampai mengeluarkan air mata sewaktu Ucok mendalangkan salah satu cerita lucunya ketika kami tengah menyantap Bubur Cikini. Gue sadar bahwa beberapa saat membahagiakan itu berhasil membuat gue lupa akan segalanya yang tengah terjadi; akan status hubungan gue dan dia. Atas betapa ulu hati gue rasanya seperti sedang diremas-remas. Atas tak adanya pertanggungjawaban tentang siapa yang seharusnya mengobati luka di dada yang terus menganga.

Atas sejarah tempat ini yang salah satu isinya adalah kami.

Namun kemudian gue kembali masuk ke dalam mobil. Kembali mendengar lagu-lagu cinta tahi kucing. Kembali dihajar hingga babak belur oleh kenyataan. Kembali membiarkan jendela mobil itu terbuka dan mengajak angin untuk ikut menampar wajah yang bahkan telah lebam.

Kami berempat bernyanyi. Atau lebih tepatnya, mereka bertiga menemani gue meluapkan segalanya yang harus diluapkan. Setidaknya untuk malam itu.

“BEEEGINIII RAAASAAANYAAA TERLATIH PATAH HAAATI!!!

HAAADAPIII GEEETIRRRNYAAA TERLATIH DISAKIIITIII!!!

BERTEPUK SEBELAH TANGAN SUDAH BIASA!!!

DITINGGAL TANPA ALASAN SUDAH BIASA!!!

TERLUKA ITU PASTI TAPI AKU TETAP BERNYANYEEEEE!!!!!”

Gue menertawakan kebodohan mereka bertiga. Mereka bertiga, menertawai kebodohan gue.

Masih bersama angin malam Jakarta yang menerpa wajah dengan khidmat dan sukarela, gue menaruh dagu di atas lengan yang menggantung di kaca jendela setelahnya. Rasuna Said biasanya hanya mampu menciptakan sakit kepala karena macetnya yang ampun-ampunan, namun setidaknya malam itu mereka memberikan gue sebuah kesempatan untuk bersedih dengan bahagia.

Lalu gue tak sengaja merogoh kantung celana. Dan merasakan sebuah benda yang gue kenal betul apa. Dan mengeluarkannya dari sana. Dan menatap selembar kertas yang kini telah sepenuhnya lusuh, yang sudah berkali-kali dalam sebulanan terakhir ini disodorkan oleh semua orang ke depan mata gue namun jawaban yang selalu gue berikan masihlah tidak.

Mungkin memang sedari awal, musuh gue tidak pernah adalah surat penerimaan beasiswa S2 ini.