LFSACTII – Episode 3: Romeo & Juliet

POV: Xu Minghao.

[⚠️] indekos poci spoiler.


Bener kata Chan beberapa hari lalu, Cendana Indah sudah benar-benar sembuh. Bukti konkret dari pernyataan tersebut dapat gue jabarkan lewat kejadian yang ada di depan gue saat ini: keberadaan panggung nyentrik yang bang Soonyoung bangun di lapangan kompleks, dan berbagai dari kami yang sibuk dengan jobdesk kepanitiaan masing-masing tapi masih sempat menyelipkan sebuah sketsa komedi diantaranya.

Test, test, mic check one two three, tombo ati...”

“PANJUL BACOOOT!” Teriak ketua Karang Taruna kami itu dari lapangan bagian seberang. Urat-urat dilehernya bermunculan dan menjadi penanda akan seberapa keras dirinya baru saja berteriak. “Jangan lu bikin gua mimpi buruk gara-gara itu lagu.”

Sang tiga serangkai yang tengah mengerubungi bagian sound system—Panjul, Ucok, Tatank, tertawa sekencang-kencangnya. Gue pun sebagai penonton, diam-diam tersenyum ketika mengingat peristiwa hari pernikahan dan slide powerpoint bodoh beberapa tahun lalu.

Memindai ke arah lain, gue menemukan bang Seungcheol tengah sibuk menata dekorasi panggung dan hal-hal teknis seperti proyektor juga lain sebagainya. Jisoo dan Seungkwan terlihat begitu sakit kepala dengan urusan perkostuman, Jeonghan dan Junhui harus mengejar-ngejar Chan agar mau dihias wajahnya mirip dengan pohon, kak Jihoon yang berkali-kali mengingatkan semua pemain agar tak lupa dialog, dan mas Mingyu juga kak Wonwoo yang tak kenal lelah membimbing Flora dalam menciptakan familiaritasnya pada segalanya tentang kompleks ini.

Lalu gue, lagi-lagi, ditinggalkan bersama Choi Chanhee.

You know, somehow, gue bisa relate dengan apa yang lo rasain deh kak.” Katanya dengan nada sok tahu khas Chanhee, namun juga kepercayaan diri tinggi khas Chanhee.

Jadi, gue menantang balik kemudian. “Memangnya gue lagi ngerasain apa?”

Overwhelmed? Lo dulu gak banyak ikut serta main sama mereka because of... your issue. Terus giliran lo udah sembuh, merekanya yang sakit. Padahal lo nyimpen banyak harapan begitu pulang dari Dubai. Terus ditambah, mereka punya urusannya masing-masing. Tapi, lo gak bisa bilang apa-apa. Karena lo tau disini posisinya lo yang terlambat.”

“Wow.” Gue menoleh dengan seringai yang dipampangkan sejelas-jelasnya untuk dapat dia lihat. “Untuk ukuran seseorang yang nolak gue karena katanya gak punya perasaan apa-apa, you understands me so well.

I don't have feelings for you kak, bukan ignorant. Tapi juga bukan itu alasan kenapa gue nolak lo. We're in this situation, because Sangyeon came in first. You're just twenty-five minutes too late.

Yeah, there were always that.

Hidungnya gue sentil dengan usil. Yang disentil, meringis berlebihan. “Gue gak inget udah pernah bilang ini atau belum, tapi lo mirip banget sama seseorang yang gue kenal.”

“Jeonghan?” Gue tidak punya pilihan selain membulatkan mata. Namun Chanhee, seperti bagaimana dirinya selalu, menanggapinya dengan begitu santai seraya bola matanya yang menggerling. “Yeah, i think you have a type. But anyway gue kalau berdoa suka ikut ngedoain lo juga tau, kak. Di dalam doa itu... gue berharap lo bisa menaruh hati lo di tempat yang benar dikemudian hari. Bukan di kak Han, bukan juga di gue, tapi pada sosok yang mengatur posisi lo selalu pada opsi bagian pertama. From the very beginning.

Pandangan gue dalam instruktur manualnya jatuh kepada Wen Junhui yang sedang terbatuk-batuk karena debu yang bertebaran dari salah satu properti drama yang tengah ia angkat; wajahnya meringis dengan menggemaskan, telapak tangannya mencoba mengusir partikel-partikel itu untuk pergi menjauh.

Dan Chanhee menyadari kemana arah netra gue itu berlabuh. Satu sisi dari pundaknya ia gunakan untuk mendorong lengan gue pelan. “Ngomong-ngomong, gue belum diceritain lengkapnya gimana waktu itu di Puncak. Oh, sama yang lo nganterin ketemu ibunya.”

“Apanya yang harus diceritain? Gue malah bisa dosa besar kalau diantara dua agenda itu kejadian yang macem-macem, hey.”

“Gue minta lo untuk bercerita, not spilling some tea. Kalau lo begini, gue malah merasa memang seharusnya ada yang ditutup-tutupin.

...You don't, don't you?

No, i don't. Sejatinya gue hanya tengah berusaha menjadi orang baik ketika menawarkan bantuan-bantuan itu. Setidaknya gue menganggapnya sebagai sebuah perbuatan baik, karena itulah yang selama ini gue usahakan untuk jalani dalam setiap muhasabah diri sepulangnya dari perantauan sana.

Tetapi yang salah dari setiap tali hubungan yang ada di Cendana Indah, kami seringkali kesulitan untuk mendeteksi batasan dan menggambar jarak atas nama pribadi. Kami harus selalu dituntut menjadi sebuah kesatuan, dimana di dalamnya kami adalah mereka yang sudah saling mengenal selama seumur hidup.

Jadi bukanlah sebuah hal yang sulit bagi gue ketika mengiyakan permintaan tolong Chan untuk menggantikan mengantar pergi pacarnya yang dulu sempat menaruh hati kepada gue. Waktu itu, yang ada di kepala gue hanyalah excitement meninggalkan hiruk pikuk Jakarta untuk berkunjung ke bagian kota yang lebih asri dan dingin. Sisanya akan seperti apa, itu urusan nanti.

Gue mengerti bagaimana caranya menjadi seorang oportunis. Tetapi selain itu, gue juga adalah sosok yang tahu diri. Setidaknya sejauh itu yang dapat gue lakukan untuk Chan yang bahkan gue lihat seperti apa dulu bentukannya ketika masih berusia satu hari. Yang dalam sepanjang eksperimen itu gue coba untuk teguhkan, adalah hanya cara membawa penumpang di kursi sebelah dan belakang agar mereka akan tetap aman sampai tujuan.

Namun pertahanan tahu diri gue hanya akan menjadi sia-sia ketika si dia sendiri yang memohon kepada gue untuk menurunkannya.

“Villanya... kebesaran gak, sih?” Itu tadi Junhui yang bersuara. Kata-kata itu disebutkan seraya dengan tubuh yang dijatuhkan ke atas sofa ruang tengah, lengkap dengan selimut yang dikalungkan dari belakang dan sukses menenggelamkan tubuhnya.

Posisi gue pada saat itu juga sedang terduduk di atas sofa. Bedanya, kami dibarikade oleh meja kayu berbentuk kotak ditengah-tengahnya. Gue bersyukur akan jarak ini. Semenjak ditinggalkan berdua oleh dia dan tiga bocah yang sekarang sudah terlelap di salah satu kamar villa ini, gue banyak bersyukur karena hal-hal kecil seperti Junhui yang membawa speakernya agar waktu menginap kami disana tidak hanya akan dihiasi keheningan dalam dunia maisng-masing.

Dan ngomong-ngomong, pendapatnya tadi gue timpali dengan sebuah kekehan kecil. “Tadi lo udah komentar begitu kak perasaan, waktu baru nyampe sini.”

“Gapapa, gue ungkapkan kembali karena setelah gue pikir-pikir serem juga kalau harus tidur sendirian di kamar.”

Mau tak mau satu alis itu harus gue naikkan dengan skeptis. “Terus, gimana dong?”

“Boleh gak tidur disini aja? Gue di sofa ini, lo disitu. Kamar anak-anak juga depan mata, jadi kalau ada apa-apa kita bisa langsung nyamperin.”

“Gak masalah.” Jawab gue dengan bahu yang terangkat santai.

“Oke.” Mungkin gue yang kurang peka, sampai baru menyadari bahwa Junhui sedari tadi menahan napas dan baru mengeluarkannya setelah gue mengiyakan. Si dia—lengkap dengan piyama bermotif kucingnya, kini sedang mengatur posisi paling nyaman untuk dirinya dan juga bantal-bantalnya. Dan mungkin, tatapan gue yang tak berpindah itulah yang membuatnya kembali angkat bicara. “Kenapa?”

“Oh engga, cuma lagi amazed aja.”

Amazed karena...?”

“Terakhir kalinya kita ada di ruangan—berdua, yang bener-bener isinya cuma kita, itu kayaknya pas lo masih tutorin gue deh.”

Matanya serta-merta membulat komikal, dan tubuhnya membeku di tempat. “Oh my God.

“Udah lama banget ya itu?”

“Eh demi apasih...”

Gue tidak punya pilihan selain menertawakan ekspresi gemasnya di depan sana. “Sekarang gue udah kerja, kita disini sama anaknya Han, bang Ucup punya adik, dan lo pacaran sama Panjul.”

“Wow.” Junhui bertepuk tangan. “Hidup gue bener-bener jungkir balik setelah mengenal kalian.”

Gue bisa bilang hal yang sama tentang lo, kak. Tentang kita semua.

“Eh by the way,”

“Hmm?”

“Gue boleh tanya sesuatu gak sih?”

Si dia lagi-lagi sempat membeku di tempat, seakan tengah menelan pahit kenyataan bahwa membuka kesempatan untuk memperdalam arah pembicaraan ini sama saja dengan bunuh diri. “Tanya apa?”

“Lo... apakabar?”

Junhui awalnya hanya menatap gue bagaikan pertanyaan tadi bukan disebutkan dalam bahasa Indonesia. Bibirnya yang ranum hanya terbuka sedikit, tanda pikirannya terlalu terokupasi untuknya menyadari hal tersebut. “Hah?”

Lagi-lagi gue mendahuluinya dengan sebuah kekehan. “I know, i know, pertanyaan aneh. Frekuensi kita ketemu masih termasuk sering. Tapi ngobrol kayak gini kan jarang, gue gak pernah bener-bener tahu kabar lo. Yang sebenarnya, maksudnya.”

“Emang... lo kira kabar yang lo denger atau lihat tentang gue selama ini gak bener?”

Bahu itu kembali terangkat. Kali ini, indikasinya agar sebuah pesan kalimat berbunyi i don't know, you tell me sedang berusaha agar dapat tersampaikan tanpa harus repot-repot diformulasikan dalam bentuk suara.

“Kabar...” Jedanya. “Baik.

“Baik.” Gue mengempasisi, mengkonfirmasi, namun seberusaha mungkin tidak terdengar menghakimi.

“Iya, baik.”

“Oke.”

“Oke.”

Kalau boleh jujur lakon gue pada kala itu cukup sulit: di satu sisi gue tahu yang tadi itu hanya sekedar jawaban defensif, sisi yang lain melarang gue untuk menjadi sosok yang sok serba tahu. Lagipula, tak ada urgensi yang ingin gue capai dari mengorek-orek informasi tentang seorang Wen Junhui.

Walaupun gue harus merasa simpati setiap kali melihat atensinya terbang kemana-mana. Walaupun ia harus berpura-pura menikmati waktunya disana. Walaupun perasaan kecewanya karena tak berada disana bersama Chan harus berusaha ia tutup-tutupi. Walaupun Faithfully dari Journey masih harus diputar ulang untuk seribu kali lagi.

Tapi yang jelas, gue dan dia kala itu berkesempatan untuk bermain rumah-rumahan tanpa kami sadari; sebuah keluarga muda nan harmonis, yang tengah berlibur bersama ketiga anak kami.

Kali kedua gue punya kesempatan untuk kembali berduaan dengan dia adalah ketika lagi-lagi gue berusaha untuk menjadi orang baik dengan menyodorkan sebuah tawaran. Gue paham ini berbahaya dan beresiko, tetapi situasinya selalu bisa dibalik kalau konteks ini kita ambil hanya atas dasar nama pertemanan.

Junhui terlihat lebih cerah daripada waktunya bertamasya ke Puncak tempo lalu. Mungkin karena masalah pembatalan tiba-tiba itu sudah lama lewat, dan mungkin karena perjalanan ini adalah pintu kunjungan menuju sang ibu. Apapun itu, segala suasana hati ceria itu membawa gue dan dia untuk melahap ice cream gelato kami hingga tak bersisa pada salah satu taman di daerah Tebet.

“Ya oke, gue tidak akan menghakimi acara blind date lo yang gagal semua itu.” Paparnya dengan tangan kanan yang menggengam cone dengan erat. “Yang ingin gue tanyakan adalah, kenapa harus dipaksa dengan agenda jodoh-jodohan? Kenapa lo gak coba cari sendiri? Apa lo pernah ada niatan buat cari sendiri?”

Gue mengemut bersih sendok berisi sisa-sisa ice cream itu sebelum menjawab. “Pertama: engga, gak dipaksa. Gue disuruh begitu ya karena nyokap tau gue gak akan ada effort buat nyari sendiri. Tapi percaya sama gue, nyokap malah lebih seneng dengan gue yang effortless karena itu artinya dia juga lebih punya kontrol dengan bibit, bebet, dan bobot calonnya. Tapi kalau gue mau bawa sendiri, ya boleh aja. Apakah gue ada niatan? Itu dia masalahnya.”

“Kenapa?” Tanpa disangka-sangka, penjelasan tadi menahan kami untuk seketika berhenti berjalan. “Bukannya lebih baik kalau lo cari sendiri sesuai pilihan lo? Itu malah gak bikin lo tersiksa, kan?”

“Iya, emang. Tapi gue bingung kak, nyarinya dimana. Ternyata tanpa gue sadarin, Cendana Indah is really growing on me. Gue ternyata gak punya orang-orang yang gue percayain selain kalian. Gue ternyata gak punya temen sebanyak itu. Temen yang bener-bener temen, yang tau gue mantan pemakai narkoba tapi gak ada takut-takutnya sama sekali. Yang memanfaatkan isi rekening gue tapi maksimal paling cuma minta dibayarin bubur Cikini, yang malah ngerjain dan bikin nyasar kurir waktu nganter mobil Tesla gue, yang senengnya sesederhana ngumpul bareng-bareng. Gue punya masalah dengan kepercayaan, dan itu bikin gue susah untuk ngijinin orang asing masuk.”

Ah. Oke... Gue paham maksudnya gimana.” Kami kembali mengambil langkah maju dan berjalan. “Orang tua lo... ahem, udah maksa-maksa buat buru-buru, emangnya?”

“Buru-buru apa? Menikah?” Dia mengangguk, gue tersenyum, dan kami entah mengapa sama-sama menggigit bibir masing-masing kemudian. “Merekanya engga, guenya iya.”

“Hah? Maksudnya?”

Gue harus diam-diam menahan tawa ketika mendengar nada keterkejutannya. “Nah, ini nih yang gue maksud dengan masalah kepercayaan tadi. Kalau gue jelasin ke orang lain, mereka pasti akan jadi salah pengertian. Minimal dibilang over proud, lah. Ini gue berani jawab karena ngomongnya ke elo ya, kak.”

“Iya, bawel. Udah cepet jelasin!”

“Hmm... gak beneran buru-buru sih, tapi ya mau. Karena: why not? Gue udah ada segalanya, udah berada di umur yang cukup, udah memperbaiki diri sebelum ngajak orang lain untuk masuk ke hidup gue, dan udah punya mental juga finansial yang stabil. Terus apalagi yang gue cari kalau bukan keluarga?”

Ketika gue menoleh, Junhui tengah menunduk bersama pandangannya yang terpatri pada aspal dan langkah kaki. Air mukanya sulit untuk dibaca. “Tapi apa in the end nanti gak akan ada masalah?”

“Masalah gimana nih maksudnya?”

“Kalau orangnya udah ketemu... tapi mami sama papi lo berujung gak setuju sama orangnya, dan lo akan kembali ke lingkaran awal: dijodohin.”

“Dari semenjak gue setuju buat dibuang ke Dubai sampai dengan pulangan gue, nyokap sama bokap belajar untuk mulai mempercayai gue dan setiap keputusan yang gue ambil, kak. Itu, cara mereka ngungkapin rasa terima kasih karena gue udah berusaha untuk sembuh. Dan gue percaya mereka gak akan rampas hak itu dari gue.”

Disana itu tengah terjadi sebuah panggung pertunjukan ala kadarnya. Gue paham betul acara ini jauh dari kata pantas ataupun layak, tapi toh selama ini pun kami selalu punya gaya dan cara kami sendiri dalam bersenang-senang atas nama harmoni bertetangga. Seberapa absurdnya nanti sirkus yang kami suguhkan, gue tetap akan menjadi penggemar nomor satunya.

Dan ketika melihat wajah-wajah dari orang tua dan para ponakan kami kini merona merah dihiasi senyuman, itu sudah lebih dari kata cukup. Itu bukan, tujuannya? Agar kami bersilaturahmi, agar kami tak lapuk dimakan waktu dan bertransformasi menjadi orang asing bagi satu sama lain.

Gue sepenuhnya amatiran tentang segala hal atas nama drama teater. Gue jarang menonton film atau series, dan gue lebih suka hal-hal praktis tanpa harus dibumbui skenario hiperbolisme. Pun begitu, nyatanya gue tetap meringis geli ketika Seokmin berpura-pura memanjat tanaman rambat buatan untuk dapat naik ke balkon kamar Seungkwan sang Juliet. Atau meledek lakon bang Seungcheol, Jeonghan, mas Mingyu dan kak Wonwoo sebagai dua kubu keluarga yang saling bermusuhan dan menentang hubungan masing-masing anaknya, menjahili Chan sebagai pohon dan menyoraki Hansol ketika adegan menjual racun yang nantinya akan dipakai sang Romeo untuk membunuh dirinya sendiri akhirnya tiba, dan terkagum membeku di tempat menyaksikan Seokmin dan akting bersedihnya yang luar biasa di samping peti sang Juliet yang ia kira pada saat itu telah tiada.

Ada satu adegan di awal tadi ketika Seokmin diharuskan mencium pipi Seungkwan. Namun Hansol (yang sudah pasti sengaja itu) sekonyong-konyong menggagalkannya dengan berpura-pura lewat di atas panggung bersama dengan papan tulis besarnya. Atau pada saat air mata Seokmin yang menetes di pipi bersama jemarinya yang bertaut dengan Seungkwan membuat Jisoo harus berpaling menjauh dan enggan memandang.

Hal-hal itu sejenak membuat gue memikirkan: apa ya, yang sekiranya mereka rasakan pada saat itu?

Apa dasar formulanya adalah rasa cemburu yang ada timbul karena rasa sayang? Atau semua itu hanyalah mekanisme pertahanan dari ego yang enggan mengalah? Apa opera sabun yang murni dilakukan di atas sana atas nama berakting akan selalu berakhir dengan penciptaan impulsivitas bodoh?

Apa rasa itu setara dengan seperti bagaimana gue selalu menyaksikan Junhui dan Chan dari kejauhan?

Apakah keputusan junhui untuk ikut menemani Chan berperan sebagai pohon itu membuat gue merasakan sesuatu? Apakah itu menyentil ego gue sebagai bentuk kekalahan bahwa gue sekarang sudah bukan berada pada posisi opsi bagian pertama? Apakah ada kemarahan di dalam diri gue yang muncul karena semuanya sudah terlalu lama terlambat dan selalu akan terlambat?

Lalu bagaimana jika dibalik: ada Chanhee yang berada disana bersama Sangyeon? Atau Jeonghan bersama Seungcheol? Apakah rasanya juga akan sama?

Apakah...

...yang sebetulnya sedang gue coba untuk analisa?

Tepukan riuh dari arah panggung berhasil membangunkan gue dari lamunan panjang. Gue dengan terburu-buru mengatur audio ke bagian penutup, merubah layar proyektor menjadi background norak pilihan bang Soonyoung, dan keduabelas dari mereka mengundang gue untuk ikut naik ke atas dan memberikan hormat terakhir kami.

Pandangan gue kemudian sekali lagi jatuh kepada Junhui yang memeluk Chan dengan begitu erat setelahnya. Dengan begitu penuh juga khidmat, seakan tengah ia tumpahkan segala sisa dalam dirinya agar dapat terkubur dalam disana. Dan siapapun dapat dengan mudah merasakan cinta; karena manik mata hangat itu, meradiasikannya.

Namun, ternyata, drama teater yang kami kira telah usai itu hanya sebuah layar ilusi. Karena gue berani bilang: kami baru memulainya sekarang. Lakon itu kembali dimulai ketika Junhui mengeluarkan telepon selular dari kantung celananya. Wajahnya diiluminasi cahaya dari layar yang menyinari dalam ketiba-tibaan, dan dalam hitungan sekejap segalanya yang bahagia tadi ternyata hanya dapat kami cicipi sebagai bahan percobaan.

“Kayaknya gue ngerti deh, konsepsi lo dengan mau buru-buru menikah tadi.”

“Masa? Beneran ngerti atau cuma basa-basi aja nih?”

“Ih, beneran ngerti!”

“Iya, iya... Yaudah coba jelasin, kenapa lo bisa ngerti?”

“Jadi dulu semenjak semua saudara gue menolak untuk dimintain tolong jagain ibu, gue bersumpah untuk gak pernah sudi minta tolong apapun lagi sama mereka. Gue terlanjur sakit hati, dan mengambil keputusan untuk memutus tali silaturahmi selamanya. Gue kerja keras urus biaya panti jompo sendiri, disaat gue juga harus mikirin gimana gue akan hidup sehari-harinya. Yang bikin gue gak sebatang kara dan punya keluarga lagi ya Cendana Indah, kalau gak ada kalian jujur gue sebenernya hanya tinggal punya ibu. Dan itu beneran. Ibu sama gue, yang kita punya sisa satu sama lain aja. Mungkin alasan gue ini gak sepenuhnya sama kayak lo karena banyak aspek dalam diri gue yang belum sesiap itu untuk kesana, apalagi di bagian finansial. Tapi gue mau ibu juga ngerasain hangat yang gue rasain. Gue mau beliau juga jadi bagian dari kalian, disayang sama kalian. Seengaknya, hal yang bisa gue lakuin untuk kita berdua ya cuma sejauh itu.”

Musik dimatikan, panggung menyepi, dan kami mendapat kabar bahwa ibu dari seorang pria malang bernama Wen Junhui baru saja meninggal dunia dengan damai tepat di atas tempat tidurnya.

Lampu sorot panggung nan luar biasa terang itu kini hanya terpatri pada dirinya seorang.

Namun kami semua tahu, dunianya tengah gelap gulita.