LFSACTII – Episode 4-1: Reuni

POV: Choi Seungcheol.

⚠️—: mild sexual content 🔞


Kalau ditelaah ke belakang, hidup saya itu seperti terbagi dua bagian antara sebelum dan sesudah mengenal Cendana Indah. Sebelum artinya adalah ketika visi dan misi saya tidak pernah ada niatan untuk punya rencana cadangan karena segalanya tentang rencana awal begitu mantap dan jelas, dan sesudah artinya adalah ketika saya lebih banyak mensyukuri sisi baik atas sesuatu selagi masih bisa menikmatinya.

Dulu semasa remaja saya punya pengetahuan nol besar tentang mobil dan mesin. Atau memasang lampu yang tingginya harus diraih dengan tangga, atau bukan orang pertama yang akan dimintai tolong untuk memalu paku ke tembok, atau menangkap kecoa yang tiba-tiba menghebohkan seisi rumah. Saya punya papa yang pun tidak mahir tapi akan selalu tahu apa yang salah dengan mobilnya ketika enggan berfungsi, punya kakak yang punya nyali besar untuk memanjat dan mengganti bohlam yang rusak, punya supir yang bermultitasking dalam menggantung foto keluarga kami pada paku yang telah kokoh menempel, dan punya mama yang tidak takut pada serangga apa pun.

Lalu ironisnya, saya dipertemukan dengan dia pertama kali bersama ban mobilnya yang kempes dan harus diganti. Mungkin jika ditantang menjabarkan satu-persatu hapalan anatomi tubuh manusia yang saya pelajari tadi malam dari buku setebal dosa saya akan lebih percaya diri, namun meninggalkan seorang wanita di jalan raya sepi karena ketidakmampuan dalam membantu agaknya sedikit banyak mencoreng harga diri saya.

Malam itu saya sepenuhnya jujur bahwa saya bukan orang yang tepat untuk dimintai tolong. Malam itu dia mengajak saya untuk jangan ikut khawatir karena ada montir langganannya yang akan segera menuju kesini bersama ban cadangan. Malam itu saya mengucap kata syukur dengan senyum yang dilontarkan bersama perasaan lega. Malam itu dia menanyakan apakah saya adalah juga mahasiswa kampus ini sama seperti dia. Malam itu saya menjawab bahwa saya hanya ada disana seusai mengunjungi kost teman.

Malam itu saya juga menambahkan, pun sama sekali tidak mumpuni dalam bidang otomotif tapi saya dapat menawarkan bantuan lain. Dia tidak menanyakan apa, namun saya yang ada di pinggir jalan sana menemani hingga sang montir akhirnya tiba sudah dapat menjawab segalanya. Saya berpisah dengannya malam itu bersama sebuah nomor telepon yang sudah saya kantungi. Lalu dia pergi dengan ban mobil baru, dan saya pergi dengan vespa berknalpot nyaring.

Di hari Minggu pagi, saya menggeret papa ke garasi untuk mengajari saya caranya mengganti ban beserta trivia tentang peran esensial dari air radiator mobil.

Pengetahuan tentang dia yang kemudian saya ketahui setelah namanya adalah pendidikan yang ia tengah tempuh sebagai guru sekolah dasar. Pilihan yang tidak banyak orang-orang sekitaran saya pilih mengingat nasib seorang pengajar yang tak begitu beruntung di negara ini, tapi saya bisa tahu hanya dalam sekali pandang bahwa dia memilih karena dia menyukainya. Rasa nasionalismenya dalam memajukan pendidikan tanah air adalah sesuatu yang tidak akan pernah saya punyai, dan cerita kujungannya ke Banda Neira adalah dongeng tidur saya.

Kencan pertama kami berdestinasi pada sebuah tempat bernama Caringin Tilu. Di sela-sela kesibukan kami dalam mengupas kulit ubi cilembu saya berkeluh kesah tentang kelebihan dan kekurangan memilih jurusan Kedokteran, di sela-sela jahe susu yang tengah kami seruput saya mencoba menghapal silsilah keluarganya, dan di sela-sela potongan cabai rawit di dalam semangkok Indomie kuah dia tahu bahwa saya tidak suka bawang goreng dan saya tahu bahwa dia tidak suka makan sayur.

Salah satu kawan saya ada yang pernah berkata, bahwa dua insan manusia dengan gender yang berbeda tidak akan pernah bisa menjadi sahabat. Rasa cinta akan tiba-tiba muncul lalu mengacaukan segalanya, dan hal selanjutnya yang terjadi adalah mereka yang tadinya dekat lambat laun menjadi asing. Saya tidak pernah memulai apapun dengan dia atas nama pertemanan. Segalanya selalu jelas bahwa saya melihat dia bukan dengan cara seperti itu, dan saya bersyukur karena dia menjadi sahabat seraya dengan kami berpacaran.

Dia ada di dalam setiap jatuh bangun persoalan akademis saya, atau mimpi dan cita-cita, atau impulsivitas dalam merencanakan destinasi liburan khayalan yang mustahil akan terjadi. Dia ada di setiap pesananan sate padang saya untuk mengatakan pak jangan pakai bawang goreng ya, dan saya siap siaga bersama satu mangkok mie ayam tanpa sawi. Pengertian yang dia punyai terhadap saya bukan hanya sekedar amarah sepele karena sms yang tak berbalas akibat kesibukan duniawi, pengertiannya adalah dengan setia menunggu hingga saya siap.

Jadi bersamaan dengan saya yang perlahan belajar caranya menabung, mempelajari langkah demi langkah dalam sistemasi mencicil sebuah rumah, melatih keberanian dalam mengganti lampu kamar mandi sekaligus membasmi laba-laba di balkon rumah, mencoba mengerti sudut pandangnya terhadap anak-anak dengan masuk ke dunianya, gelar Sarjana Kedokteran itu berhasil saya dapatkan.

Determinasi terbesar saya ketika tengah menjalani hari-hari dalam mengejar gelar Spesialis adalah menjadikan rumah yang saya persiapkan untuk menjadi tempat ternyaman bagi dia dan anak saya kelak. Saya mengecat temboknya, memastikan tangganya aman untuk dinaikki, mempersiapkan rak buku agar kelak mereka dapat mengisi waktu luang dengan membaca, dan mempelajari lebih banyak tentang mobil dan mesin.

Sembilan bulan kehamilannya bukan waktu yang begitu saya nikmati. Walaupun di awal semua masih diselimuti dengan perasaan bahagia dan ekspektasi tinggi, perlahan semua menjadi pengalaman horror bagi saya ketika harus melihat dia yang masih terus bekerja sampai nanti waktu cuti hamilnya tiba. Atau malam dimana mualnya begitu menggangu. Atau saya yang tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengurangi kesulitanya dalam beraktivitas karena perut yang membesar. Saya hanya ingin dia bak-baik saja dan tidak merasa kesusahan.

Mimpi-mimpi itu setidaknya menguatkan. Di dalamnya, ada keinginan kami dalam mendorong troli bayi di sepanjang lorong akuarium Sea World. Atau berpiknik di Lembang, atau sekedar kami yang akan saling tersenyum; saya di bangku supir dan dia di bangku penumpang, mendengarkan anak kami dan celotehnya tentang bagaimana pelajaran di sekolah tadi. Atau kastil pasir yang akan kami bangun di pinggir pantai sana. Atau modus operandi akhir pekan dimana kami akan bekerja bakti dalam membersihkan rumah.

Jadi ketika saya kehilangan dia tiga hari setelah prosesi lahiran bahkan ketika kami masih belum pulang dari rumah sakit, saya lebih terpukul karena ditinggalkan oleh seorang sosok sahabat alih-alih seorang istri.

Jeonghan dulu pernah bertanya apakah saya bertemu istri saya di rumah sakit dengan dia yang berprofesi sebagai suster. Saya lalu menjawab bukan, istri saya adalah sahabat saya. Mungkin Jeonghan sendiri sudah lupa percakapan itu pernah ada, walaupun saat itu dia berkata memang bisa menebaknya karena you look like the type of guy who would marry your bestfriend, katanya. Jeonghan mungkin bisa menebak yang satu itu, atau yang menurut pendapat dia saya terlihat begitu lihai menjadi seorang single parent apalagi ketika posisi saya adalah seorang laki-laki.

Yang dia tidak ketahui, adalah ada sebuah masa dimana saya tidak pernah melirik apalagi menyentuh anak saya selama satu bulan penuh. Saya tidak membencinya, saya menghindarinya karena acap kali melihat nyata wujudnya saya diingatkan untuk segera membuang mimpi lama dan menggantinya dengan yang baru. Sedangkan saya, tidak punya visi dan misi apa-apa untuk rencana cadangan.

Saya masih tetap ingin mengingat bahwa duduk di pinggiran trotoar sambil menunggu montir datang diselimuti atmosfer kikuk adalah awal dari segalanya, masih tetap ingin mengingat bahwa mengerti pentingnya untuk selesai dengan diri kita sendiri sebelum memutuskan untuk mempunyai seorang anak adalah ilmu yang dengan sukarela dia bagikan kepada saya, dan masih tetap ingin mengingat ada ukiran nama saya, dia, dan Naeun di tembok kamar yang dengan penuh cinta dan kasih sayang kami bangun untuk mengingat bahwa keluarga kecil kami beranggotakan tiga orang.

Dan kalau salah satunya kini sudah tidak lagi ada, bukan artinya mereka sudah tidak lagi bisa dianggap sebuah keluarga?

Namun lambat laun saya tahu dia di surga sana akan membenci saya yang begini. Saya juga tahu bahwa dosa terbesar yang saya lakukan saat ini adalah melupakan bahwa masih ada potongan jiwa atas dirinya pada anak kami. Menyayangi Naeun, artinya sama dengan saya yang terus dan tidak akan pernah putus menyalurkan cinta sebagai pengingat bahwa pernah ada dia di dalam hidup saya.

Jadi sebenci-bencinya saya mengatakan sendiri kepada penjual nasi goreng langganan untuk tidak menaruh bawang goreng pada pesanannya, saya masih bisa tersenyum ketika mengingat bahwa Naeun tidak menyukai sayur sama seperti bundanya.

Parameter kehidupan setelahnya mungkin bisa dihitung semenjak keputusan saya untuk pindah ke Jakarta. Sewaktu dulu Seokmin menceritakan tentang Jisoo kepada saya, mungkin saya bukan sosok yang serta-merta kemudian langsung menyetujui idenya karena resiko yang terlalu riskan. Namun jika saya ingin melampaui dua tiga pulau, mungkin inilah saatnya saya mulai mendayung.

Saya tidak benar-benar punya teman yang bisa diajak berbagi untuk mengatakan oh iya, anak saya gak pernah kenal bundanya karena dia meninggal tiga hari setelah melahirkan karena kondisi yang terlalu lemah. Mungkin orang asing pertama yang pernah saya ajak bicara sedetail itu di kompleks hanyalah Jihoon, dan saya tidak berencana untuk mengekspansinya lebih luas. Asumsi liar itu bagi saya tidak jadi masalah, selama tidak ditujukan langsung kepada anak saya yang bahkan sampai dengan detik ini tidak pernah tahu penyebab dari dia yang tidak pernah mengenal sang bunda.

Saya percaya ada mimpi-mimpi yang masih bisa saya teruskan jika saya memang punya niat dan tekad, yang saya tidak percaya adalah bahwa kedepannya saya masih punya kemampuan untuk mencintai dan dicintai.

Sampai akhirnya tiba suatu hari dimana saya kembali ditempatkan pada situasi familiar. Bedanya hanya yang kali ini terjadi pagi hari, di dalam sebuah kompleks alih-alih jalanan yang gelap, dan saya sudah berteman akrab dengan mesin mobil kala itu.

“Hey.”

“Hey.”

“Gak mau nyala mobilnya?”

“Bukan, bannya kempes. Jadinya mau pesen Gocar aja mungkin.”

“Ban cadangannya gak ada kah?”

“Ada sih. Tapi kakak gue belum bangun dan hari ini dia masuk siang, gak tega juga banguninnya. Gue gak bisa dan gak mau juga nyentuh-nyentuh gituan.”

“Oh, yaudah biar saya aja yang ganti?”

“Yakin mau megang-megang ginian? Lo udah pake kemeja putih sama jas gitu.”

“No it's okay.”

“Alright... Beneran bisa ganti ban mobil kan?”

“Iya, bisa.”

“Thanks...—?'

“—Seungcheol.”

“Yang baru pindah?”

“Yang baru pindah.”

“Thank you, Seungcheol.”

“Welcome...—?”

“—Han.”

“Han.”

Han.

“Kak??”

Jihoon yang malam itu membukakan pintu. Saya seharusnya menjawab segala pertanyaan yang terlihat di matanya, tapi saya sedang punya prioritas lain saat ini. Saya harus segera memberikan konfirmasi kedatangan kepada dia yang tengah duduk dengan pandangan kosong di sofa sana. Selimut yang membungkus tubuhnya bahkan tidak bisa menyembunyikan tulangnya yang gemetar. Saya tahu itu walau dari kejauhan karena saya menghabiskan banyak waktu untuk menghapal segalanya tentang dia di luar kepala.

Jeonghan tidak memberikan respon apapun ketika saya memeluknya. Probabilitasnya adalah antara dia yang masih tidak menyadari bahwa saya ada disana, atau dia yang tenggelam begitu dalam pada hiperfikasi mimpi buruk. Saya tidak peduli. Yang saya pedulikan, adalah dia yang nantinya akan berjumpa dengan rasa aman yang saya curahkan ketika bangun nanti. Jika saya harus duduk dan merengkuh disana hingga berjam-jam kemudian, semua tidak akan jadi soal.

“Junhui, Jihoon, makasih banyak ya. Ini Jeonghan biar sama saya, kalian pulang dan istirahat aja gak apa-apa.”

Jihoon masih memandangi saya dengan pertanyaan kok kakak bisa ada disini yang terdengar begitu keras walaupun dalam keheningan, tapi kami sama-sama paham bahwa ini bukanlah waktu terbaik untuk bertukar cerita. Dan saya paham bahwa yang Jeonghan butuhkan saat ini hanya— “Han, kamu mau aku bawa kesana?”

Jeda sepuluh detik yang terasa seperti selamanya itu akhirnya berakhir setelah Jeonghan menganggukan kepalanya. Tubuh itu kemudian saya rangkul perlahan seakan jika saya bergerak lebih dari ini dia akan hancur dan melebur, sebelum kemudian saya tuntun dia menuju kamar kami. Sesampainya disana saya membuka pintu lemari pakaian selebar mungkin sebelum ikut masuk ke dalamnya lalu mendudukan diri. Pintunya kembali saya tutup, dan kini yang tersisa hanyalah saya, Jeonghan, deru napas, dan kegelapan.

Untuk pertama kalinya semenjak saya tiba di depannya malam itu, Jeonghan akhirnya melihat saya dengan sadar dan jelas.

“Hey.” Sapa saya setengah berbisik, setengah tersenyum. Pun gelap gulita itu menghalangi kami untuk mengenali wajah satu sama lain, saya tetap akan terus tersenyum.

“Hey.” Jeonghan merespon saya dengan suara seraknya. Entah bagaimana saya langsung tahu bahwa dia akan segera meledak dalam tangis, dan asumsi itu terbukti dari dia yang kemudian menjatuhkan keningnya di atas bahu saya. Tubuh keciilnya kembali bergetar hebat.

Pada salah satu konversasi saya bersama istri saya dulu pada malam-malam ketika kami masih enggan tertidur, dia memberi saya sebuah tips untuk menangani seseorang kala mereka menangis. Yang pertama kita harus pintar dalam membaca situasi tentang mana yang lebih mereka butuhkan: mendengarkan, atau didengarkan? Dan ketika mereka hanya butuh didengarkan, yang kita tinggal lakukan adalah mengusap punggungnya dengan hangat. Dengan perlahan. Dengan intensi tulus bahwa sentuhan tersebut akan mengalirkan perasaan nyaman kepada penerimanya. Jadi entah untuk berapa lamanya, saya berakhir dengan menimangnya di tengah kegelapan sana.

Ada beberapa album foto dan kaset rekaman berisi memori saya dengan istri saya dulu. Dua benda yang tersimpan baik-baik di dalam kotak besar itu memang tidak pernah punya intensi untuk saya sembunyikan, dan Jeonghan apalagi dapat dengan mudah menemukannya. Saya tahu akhir-akhir ini dia sering membuka album biru itu kemudian berpindah menonton rekamannya. Dia melakukan itu ketika dia sangka saya sudah terlelap tidur. Tapi ikatan batin antara saya dan suara tawa itu begitu erat, sehingga bahkan hanya sayup-sayupnya mampu membuat saya kembali membuka mata dan tersenyum. Saya rindu membuat istri saya tertawa seperti itu.

Dan saya juga rindu melihat Yoon Jeonghan tersenyum.

Why are you here?

Saya masih tidak bisa melihat ekspresinya diantara kegelapan, namun wajahnya kini telah diangkat untuk berdiri tegak. “Gak boleh kah?”

“Gak gitu.” Pergelangan tangan saya basah. Satu butir air matanya jatuh ketika kepalanya tengah menggeleng. “Biasanya kamu gak akan balik sebelum tanggal 30 Novembernya selesai.”

“Bukannya kamu ya, yang telepon aku dan ngediemin gitu aja?”

“Aku gak—” Hening. “—kepencet.”

Saya terkekeh dan kemudian membeo, “Kepencet.”

I'm so sorry, kamu tahu kan biasanya aku gak pernah berani ganggu? Aku pasti gak sadar udah dial nomor kamu. I just—it was too scary, dan aku—”

“—Han, hey, breathe.” Saya menggengam kedua lengannya erat-erat. “Gak ada yang salah dari kamu yang telepon saya sewaktu kamu ngerasa ketakutan. That was a good decision.

I ruined your day.

No, you didn't. Aku memang udah on the way pulang pas kamu telepon.”

”...Why?”

“Maksudnya?”

“Kamu biasanya baru akan pulang besoknya.”

“Entah.” Jawab saya dengan kedua bahu yang diangkat. “Sepanjang perjalanan saya cuma berpikir, mungkin udah saatnya saya gak main kesana sendirian. Seharusnya saya bisa ajak orang lain untuk merasakan kesenangan ini sama saya.”

Tangan saya yang tadi menggengam lengan atasnya kini sudah ditarik agar dapat Jeonghan genggam, dan saya diam-diam mencoba untuk mengontrol deru napas yang mulai tak karuan. Baju saya basah karena keringat. Ruangan ini terlalu kecil dan pengap untuk kami.

“Jadi bener, kamu pergi ke makam?”

Saya kembali terkekeh, namun yang kali ini penuh kepahitan. “Engga.”

So where did you go?

“Banyak.” Mulai saya ragu-ragu. “Yang pertama ke pinggir jalan tempat saya dulu pernah nunggu di pinggir trotoarnya, lalu ke depan pagar rumah persis pada posisi saya selalu antar dia pulang, lalu warung kecil tempat saya biasa nunggu dia keluar kampus, lalu ke Caringin Tilu buat ngupas ubi cilembu dan makan Indomie rebus.”

Saya bernapak tilas, agar bisa kembali bermain bersama sahabat saya.

Jeonghan menangkup tengkuk leher saya sebelum menyatukan kening kami. Deru napasnya, kini berada begitu dekat dan terus-terusan menerpa wajah saya. Ada sekilas aroma alkohol yang saya endus disana. “That's nice. Are you happy?

Saya mengangguk. “Tapi mungkin lain kali seharusnya saya dateng sama kamu dan Naeun.”

Tangkupan di tengkuk leher itu kini berpindah pada pipi, membuat saya sekuat tenaga menahan air mata agar tetap berkemah di pelupuk. Jeonghan masih dengan suara seraknya kembali melontarkan jawabannya, “I would love to.

Setengah alam bawah sadar saya pada saat itu terpaku pada keringat yang terus menerus mengalir turun di bagian punggung, dan setengahnya lagi memiringkan kepala hingga saya kini dapat dengan mudah melumat bibirnya. Impulsivitas tersebut mungkin terlalu tiba-tiba untuk dapat Jeonghan proses, dan telapak tangannya kini berakhir dengan turun dan meremas ujung kemeja saya seakan itu adalah satu-satunya cara untuk dia tetap memijakan kaki di atas lantai bumi.

Kesempatan itu saya pergunakan untuk berganti giliran dalam menangkup pipinya. Saya yang kini punya lebih banyak kuasa untuk menahkodakan kapal ini menarik kepala Jeonghan agar berjarak jauh lebih dekat pun sudah tidak lagi ada jarak yang bisa kami kikis, namun toh dia menurutinya bersama dengan lenguhan kecil dan suara bibir kami yang tengah bergulat. Refleks saya dalam memejamkan mata menjadi begitu jenaka mengingat disana sudah cukup gelap baik dipejamkan atau tidak. Namun yang pasti, ruangan gelap dan sempit ini berhasil mengembalikan keberanian seorang Jeonghan serta menghapus rasa takutnya yang tadi sempat singgah.

“Cheol, can you—” Jeonghan yang terengah-engah kemudian melepas bibirnya sejenak. “Tunggu aku di tempat tidur? I gotta go to the bathroom.

Okay.” Saya beri satu kecupan penuh reasurasi pada keningnya. “Take your time.

Kami keluar dari dalam lemari, Jeonghan menghilang di balik pintu kamar mandi, dan untuk pertama kalinya malam itu saya punya waktu untuk berpikir.

Notifikasi paling atas yang ada di layar telepon selular saya adalah Mingyu yang mengucapkan rasa terima kasihnya karena saya ada disini. Lalu dari anak saya yang melaporkan foto sesi menginapnya bersama Flora beserta tenda-tendaan yang mereka bangun dari bantal dan selimut, dan yang selanjutnya adalah dari Jihoon. Yang belum sempat saya buka isinya karena—

“Han.”

“Hm?”

“Aku ngga...” Saliva itu saya telan dengan susah payah. “Kamu baru aja ketrigger trauma kamu lagi setelah bertahun-tahun.”

Yes.

I don't think this is the right time for any red lingerie.

Jeonghan melepas rambutnya yang sedari tadi diikat setengah, masih berdiri lebih dekat dengan pintu kamar mandi alih-alih saya. Bagaimana pakaian itu secara magis bisa berada disana, jawabannya saya dapatkan setelah dia perlahan berjalan ke arah tempat tidur.

I was gonna get a revenge with this when you're home, but you're home early.

Saya cepat-cepat menggeleng. “Kita punya banyak waktu untuk ini, Han. Kapan pun, selain malam ini.”

“Kamu jijik ya sama aku?”

What? No!” Kepanikan barusan membuat saya buru-buru berdiri dan menghampiri si dia yang berjarak tinggal beberapa langkah. “Of course not, baby. It's about the timing.

Right,” Jeonghan mendudukan dirinya di pinggir tempat tidur, kepalanya menuduk dengan lesu. “It's just... i hate that the feels of his touch lingers. Aku bingung gimana cara ngehapusnya. Aku butuh kamu, Cheol.”

Transisi dari realisasinya sekarang menjadi seperti ini: pertama, informasi bahwa ada kontak fisik yang terjadi yang baru saya ketahui informasinya detik ini. Mungkin hanya sekedar jabat tangan, mungkin hanya tepukan di pundak, mungkin sentuhan pada jemari. Entah. Apa pun itu, saya tidak menyukainya. Yang kedua, dia benar-benar terlihat begitu membutuhkan ini. Jeonghan butuh diingatkan bahwa—

I need to be reminded that sex is not a crime. It's not something so disgusting and terrifying.

Mungkin, saya juga hanya butuh untuk tahu bahwa dia tidak melakukan ini semata-mata untuk saya. Mungkin saya hanya butuh tahu melakukan ini artinya menghilangkan segala mimpi buruk yang dia alami malam ini. Maka dari itu lagi-lagi telapak tangan saya bisa dengan cepat menangkup kedua pipinya agar saya dapat kembali menahkodakan kapal ini.

Posisi saya yang berdiri itu mengharuskan dia utuk mengadah dengan lebih ekstra, dan saya mengikis jarak itu dengan perlahan-lahan mendorong tubuhnya agar dapat terbaring di atas tempat tidur masih dengan bibir kami yang bertautan.

“Dia tadi sentuh kamu dimana, Han?”

Here.” Jeonghan mengangkat pergelangan tangannya untuk diarahkan kepada saya. Lalu saya, dengan tekat yang kuat membubuhkan kecupan lembut di sekitarnya agar jejak tak kasat mata itu segera menghilang.

“Dimana lagi?”

Here.” Dia menggoyangkan bahu kirinya, dan saya mengukung tubuhnya lebih dekat untuk buru-buru melumat bagian tubuh itu. Jeonghan mulai menutup matanya, dan tubuhnya sedikit demi sedikit bergerak gelisah.

Saya tidak lagi bertanya dimana sentuhan itu berlabuh, karena kalau dipikir-pikir semua sudah kepalang tanggung dan disuruh atau tidak disuruh saya memang pasti akan menyentuh Jeonghan pada setiap inci tubuhnya. Jadi bahu yang kini sudah dipenuhi bercak merah itu kini saya tinggalkan untuk berpindah ke tulang selangka. Disana saya kembali melukis—membawa gigi-gigi kecil untuk menciptakan friksi, meminimalisir rasa sakit lewat jilatan, menghisapnya seakan hisapan itu mampu ikut menarik sang kenangan buruk, dan membubuhkan kecupan kecil sebagai sentuhan terakhir.

You are so precious, and beautiful, and kind in your own way, and i love you so so much Yoon Jeonghan.” Lumatan bibir yang entah keberapa kali sebelum saya kembali berkelana dan Jeonghan bersama jemari lincahnya membuka kancing kemeja saya satu-persatu.

Salah satu cara yang paling saya sukai untuk memuja seorang Jeonghan adalah dengan menyiksa paha bagian dalamnya. Saya akan menghabiskan banyak waktu disana untuk membubuhkan kecupan dan menghisap kulitnya yang berada begitu dekat dengan kepunyaanya, hingga nanti tubuhnya hanya tinggal sesekali terangkat membentuk lengkungan dan mengejang dalam nikmat ketika friksinya begitu menjadi-jadi. Dan tangannya akan saya kunci agar tidak bisa bergerak kemana-mana.

Malam itu alih-alih merobek saya punya kesabaran luar biasa dalam melepas tali sang lingerie yang entah ada berapa lapis dan bagian. Saya memang sempat terkekeh ketika dikabari harganya setelah merobek yang sebelumnya, tapi yang kali ini benar-benar bukan tentang uang. Saya ingin mengapresiasi Yoon Jeonghan sebagai sebuah kotak hadiah berpita emas, dan salah satu caranya adalah membukanya dengan hati-hati.

You're too slow.

Sebuah senyum saya lontarkan atas celotehnya barusan. “I am.

But you're giving me those eyes.

What eyes?

Like you want to devour me whole.

I am?” Yang kali ini adalah seringai, dan Jeonghan yang tidak menyadari bahwa jemari yang sudah saya lumuri itu kini tengah perlahan mencoba masuk ke dalam untuk menstimulasi.

Jemari lentiknya serta-merta mencakar punggung saya kencang, dan saya membiarkannya seperti itu tanpa protes. “My God.

Good?

Perfect.

Okay.

Saya kembali memberikan senyuman reasurasi sebelum terus bekerja dibawah sana dalam usaha melonggarkan. Lalu ketika dalam konsiderasi saya sudah cukup, saya mulai memposisikan diri untuk masuk. Namun, demi memastikan, saya bertanya sekali lagi. “Like this?”

Jeonghan mengangguk. “Exactly my style.

Ada kepala yang saya lempar ke belakang ketika mengambil momen untuk terbahak lepas. Sepanjang saya mengenalnya, Jeonghan enggan merotasi posisinya ketika tengah berhubungan intim. Dia akan selalu terbaring di bawah sana, dan saya akan berada di atasnya. Namun saya tidak pernah benar-benar menanyakan, “Alasannya?”

It's the only way... that feels like we're really making love. And you are loving me. And i'm being loved.

Salah satu memori terkuat saya di kompleks ini adalah ketika pada sebuah okasi impromptu Jeonghan mengajak saya pergi ke supermarket untuk belanja bulanan. Mungkin segala chaos yang terjadi di Bali sana melumpuhkan energinya untuk menarik ulur, jadi pada hari itu Jeonghan menurunkan pertahanannya pada persen sembilan puluh terhadap saya. Lalu sesuatu tentang dia yang berani lebih dahulu mengaitkan lengannya pada lengan saya bersama troli belanjaan yang sedang kami dorong, fokusnya dalam mencari barang-barang yang ada di buku catatannya, caranya membandingkan benefit dari produk diskon satu dan lainnya, serta alis dan dahinya yang berkerut ketika tengah berpikir terlalu keras adalah yang membuat saya pada saat itu berpikir oh, mungkin, ini adalah saatnya saya mulai menyusun rencana cadangan.

Karena saya ingin melakukan ini selamanya. Karena saya ingin bulan depan kami kembali kesini dan kembali melakukan ini.

Dan Yoon Jeonghan yang berada di bawah sana bersama lingerie merah darahnya yang kini compang camping, matanya yang sembab, rambutnya yang lepek, dan bercak merah di atas kulitnya adalah teman hidup saya dan papa dari anak saya.

Jadi bersama kepalanya yang masih saya kukung di antara kedua siku, kepunyaan saya yang sepenuhnya ada di dalam dirinya, gerakan maju mundur yang berhasil mengeluarkan lenguhan serta desahan, putingnya yang sesekali saya sesap, cakarannya pada punggung saya yang semakin meliar serta bola matanya yang menggerling ke belakang ketika ombak orgasmenya menyapa, saya berbisik di salah satu sisi telinganya,

Thank you, for letting me love you.

And i meant it. This is my way of telling him that he is safe and will always be safe with me, and i'm ready to give him the purest shape of love wholeheartedly, selflessly, without any charge and any granted.

“Udah ngerasa baikan kah?” Tanya saya lagi setelah lima menit belakangan yang Jeonghan lakukan hanya memandangi saya dengan senyuman di wajah.

“Udah kok.”

“Kamu punya rambut yang panjangnya sama dengan dia, di hari saya bantuin kamu ganti ban mobil.”

Matanya seketika berbinar. Ibu jarinya mengusap tulang pipi saya lembut. “Oh ya?”

“Mhm. Tapi terus kamu potong rambut.”

Jeonghan menekukan bibirnya. “Do you want me to not to...?

“Ya engga.” Kekeh saya. “Engga dong, kamu kan bukan dia. Dan aku sama sekali gak mau bawa bekel apa pun kalau itu artinya tangan kamu harus luka setelah kecipratan minyak, Han.”

Pria di depan sana menghela napas dan menunduk malu. “I hate November.

Saya kembali tertawa lepas. “Let's not make it so. Mulai tahun depan, mungkin? Temani saya ke Caringin Tilu.”

“Dan bantu kamu pesen Indomie gak pakai bawang goreng?”

No.” Saya menarik Jeonghan dan menyandarkannya di dalam pelukan. Lebih hangat. Lebih erat. “Saya mau belajar untuk suka bawang goreng. And i'll tell you the whole truth. Semuanya, yang belum pernah sempat atau berani terceritakan.”

Because i'm home now.

Okay.” Gumamnya, bersama dengan anggukan mantap. Suaranya terpendam dan samar-samar di balik dada sana. “Okay, Cheol.

Pesan dari Jihoon baru sempat saya buka keesokan hari. Isinya kurang lebih,

Makasih ya kak karena gak ngebiarin Han nunggu sampai Novembernya berakhir. I'm proud of you.