“Om, tante, nama saya Minghao, dan saya mau minta restu buat nikahin anak om dan tante.”

Tiga pasang kepala di ruangan itu memandangnya dengan tatapan nanar. Mata mereka sama-sama membulat, sama-sama menyipit, dan sama-sama memicingkan aura keheranan.

“Om? Tante?”

Masih tak ada jawaban.

“Saya gak maksud sekarang juga om, tante. Cuma mau mastiin aja Ju gak dijodohin, atau keburu diambil yang lain. Soal waktu dan detail preparation saya kasih full authority biar Ju yang pilih dan atur. Saya yang penting udah dapet restu aja dari orang tuanya.”

Salah satu dari mereka akhirnya berdeham.

“Om dan tante gak pernah larang dan kekang perihal pilihan hidupnya, semua keputusan ada di Junhui. Tapi kalau nak Minghao kesini tujuannya untuk minta restu, pasti kami beri. Yang saya dan mami nya khawatirkan adalah apa nak Minghao bisa pegang janji? Jujur, saya dan istri selama dua puluh delapan tahun ini selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak kami. Kami menyayangi Junhui melebihi diri kami sendiri.” Papi nya menarik napas panjang. “Apa nak Minghao bisa menggantikan kami melakukan itu semua?”

Minghao otomatis mencari mata Junhui, yang sekarang masih membelalak komikal di sebelahnya tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun.

“Lo percaya gak gue bisa ngelakuin itu?” Tanya Minghao pelan, tangannya menggengam jemari Junhui yang bergetar di atas paha nya.

Melihat anaknya yang membeku di tempat, wanita paruh baya itu tertawa. “Uju percaya tidak sama nak Minghao?”

Uju, tante?” Tanya Minghao sembari tersenyum.

“Kalau dirumah panggilannya memang Uju... Sudah dari kecil, itu.”

“Uju,” Minghao merasakan nama tersebut di bibirnya. “Nikah sama Minghao mau?”

“Huhuhuhuhu....” Junhui menenggelamkan wajahnya dibalik telapak tangannya sendiri. “Sebentar gue kaget...”

Minghao tertawa dan merangkul Junhui ke dalam pelukannya. Satu tangan ia gunakan untuk mengacak-acak rambut pria yang sedang terisak itu, dan ia kecup puncak kepalanya dengan lembut. “Maaf ya bikin kaget.”

“Mami, Minghao tuh jahat sama Uju...”

“Eh engga, tante!!” Minghao mulai panik dan melambai-lambaikan tangannya. “Cuma sempet krisis identitas, tapi sekarang udah tobat.”

“Tobat apaan... Huhu... Lo ngeledekin gue mulu selama ini apa gue gak capek... Gue kan cuma mau move on dengan tenang... Apa namanya kalau bukan JAHAT...”

“Ya gak usah move on, kan bentar lagi mau nikah?”

Junhui bertambah terisak dan bukannya meredakan, Minghao malah semakin asyik menggodanya.

“Engga deng mami, papi... Uju bohong... Minghao baik kok... Nikah ya please ijinin...”

“Kalau Uju nya seneng ya pasti dikasih ijin dong, nak.”

“Huhuhu oke...” Junhui melirik mata Minghao yang ada disebelahnya, namun saat pria itu ternyata sedang mentertawakannya ia kembali menyembunyikan mukanya di dalam telapak tangan. “Jangan ketawa... Jelek lo, sumpah...”

Minghao kembali mengecup puncak kepalanya. “Maaf ya kemarin-kemarin gue jahat.”

“Ok...”

“Sayang Uju.”

“Tuh ih, mami sama papi makanya jangan sebut-sebut Uju, ini anak pasti ngeledek aku terus pakai panggilan itu!”

Kedua orang tuanya tertawa. “Loh kan memang begitu dipanggilnya?”

“Gatau ah... Huhu... Tapi sayang Minghao juga...”

Tubuh Junhui tertarik ke pelukan pria di sebelahnya. “Iya makasih, Uju. I swear i'll love you right.”