S a u d a d e .

/ˌsaʊˈdɑːdə/

a deep emotional state of nostalgic or profound melancholic longing for an absent something or someone that one cares for and/or loves, often carries a repressed knowledge that the object of longing might never return.

👣

18.30 – 20.00

“Tapi ya kagaada doi lu.”

Pernyataanya jelas, gak berbelit-belit, dan mudah dipahami.

Tapi tetep. Tetep aja ada sebagian, separuh, satu perdua dari diri Wonwoo yang... yang... ngerasa ada secercah presensi Mingyu disana nanti.

Biasanya, Wonwoo gak pernah terlalu percaya embel-embel intuisi. Intuisi sekedar sebuah keimpulsifan yang gak pernah tersalurkan dan akhirnya berakhir dengan buang-buang waktu.

Tapi kata intuisi, hari ini dia harus ke sana. Ke tempat Rose&Jack manggung.

Intuisinya ganggu dan kelampau kuat karena dia duduk di pinggir tempat tidurnya selama setengah jam cuma buat bengong sambil ngeliatin pantulan diri sendiri di depan kaca. Harusnya hari ini dia marathon season terakhir Game Of Thrones yang sampe sekarang belum sempet dia sentuh, yang kalau dibahas pasti basi karena seluruh dunia udah tau gimana endingnya. Tapi dia malah duduk disana, antara maju menuju kamar mandi atau mundur ke balik selimut.

Tapi ya, itu tadi, intuisi bajingan.

Suara manusia tumpang tindih. Hingar bingar di kepala. Pekik dengungan di telinga. Degup jantung yang sumbernya dari speaker besar di sisi kanan dan kiri.

Wonwoo gak pernah terlalu gemar dateng konser musik band. Penonton anarkis, gembira yang dibuat-buat, keamanan diri yang diambang bahaya. Oke mungkin ini terdengar judgemental dan di satu sisi idealis, tapi seengaknya dia bisa menetapkan arah pandangnya terhadap sesuatu.

Before Sunrise. When Harry Meets Sally. Once. 2 Days In Paris. Ada Apa Dengan Cinta 2. Kasih Wonwoo judul film dengan plot dua orang yang bertemu lalu mereka berbincang. Hanya berbincang. Di stasiun kereta, di dalam mobil, di trotoar jalan, di kedai kopi. Ada pertemuan baru, ada topik yang mengalir, ada perdebatan kecil tentang dua hal bertentangan, ada banyak komplikasi hati tentang masa lalu disana. Menurut Wonwoo, itu salah satu cara paling klasik namun mengena di hati untuk seseorang mengenal, memulai, memperbaiki, menyudahi.

Pun dia percaya dengan itu semua, tapi gak pernah sekalipun dia pernah nyangka kalau akan ada satu realita dimana hal tersebut bakalan kejadian di dirinya sendiri.

Nyata di sebelahnya, persis di sebelah mobilnya yang baru selesai diparkir lurus setelah usaha yang cukup melelahkan, yang pintunya baru aja dia buka, keluar satu sosok tak kasat mata dalam dua tahun belakangan.

Seketika langkahnya jadi bodoh. Napasnya miskin ritme. Bola mata nya punya keinginan kuat untuk mengganti arah pandang.

Kalau boleh dirangkum, Wonwoo lebih pilih untuk disedot lalu jatuh ke palung bumi.

Dia gak mau disini. Dia gak suka dihadapkan pada situasi sebegininya.

Tapi di sisi lain, di satu ruang dalam otaknya yang usang dan terlalu lama terendap kubangan memori samar-samar, ada dorongan untuk berlutut dan lunglai ke lantai. Ada perekat yang bekerja keras menyambung kepingan hati berserak.

“Gak lurus tuh parkirnya. Payah.”

Bahkan setelah dua tahun, setelah banyak malam-malam Wonwoo habisin untuk mempertanyakan banyak hal sekaligus dalam satu waktu, Mingyu masih bisa ngelempar dia dengan sebuah gurauan ringan.

“Ih, orang udah.” Katanya, membela diri.

“Belom. Coba sini lo liatnya dari depan.” Buat sekedar ngedongak dan ngeliat mata Mingyu aja Wonwoo sangsi, apalagi maju ngedeket. Tapi seperti biasa, Mingyu punya caranya sendiri untuk menghipnotis. “Tuh, gak lurus kan?” Tambahnya lagi, begitu Wonwoo tiba di samping.

Ya, iya sih, engga.

Wonwoo ngegaruk bagian belakang kepalanya kaku. Jari telunjuknya menaikan letak kacamatanya kikuk. “Yaudah biarin.”

Ada gerak angguk kecil di kepala Mingyu dan mata yang menyortir Wonwoo dari atas kepala hingga ujung kaki.

Semisal ada pengeras suara yang diarahin ke dada nya, rasa-rasanya seluruh jagad raya bisa-bisa pesta pora.

“Mau nonton?”

“Iya.” Jawaban sekenanya.

“Nonton siapa?”

Bodohnya, Wonwoo kurang riset untuk keadaan-keadaan genting semacam ini. Salah satunya adalah gak tau siapa lagi yang manggung di acara ini selain “Rose&Jack.”

Kerucutan yang kebentuk di bibir Mingyu menginisiasi bahasa kalbu yang berbunyi ooh gitu. “Tapi kan ngga ada gue nya?”

“Gak ada aturan tertulis yang nyatain gak boleh nonton kalau gak ada lo nya, kan?”

Ngedenger kalimat itu Mingyu langsung nunjukin senyumnya yang sesekali muncul di mimpi Wonwoo tanpa diminta dan direncanakan. “Sini.”

Bener-bener aneh, gimana bahkan setelah lapuk dimakan waktu, masih bisa dia inget jelas di kepalanya gimana rasa setiap jari-jari Mingyu yang melingkar di pergelangan tangannya yang rapuh. Yang banyak terkikis, kosong tanpa penghuni. Mungkin satu titik memori di otaknya tanpa sadar didedikasikan dan diberi label dengan nama Mingyu dalam penulisan cetak tebal.

Mingyu, yang diukir dengan maha sempurna, ternyata masih bisa melampaui. Bocah duapuluh dua tahun yang saban hari gemar kesana kemari dengan flanel kotak-kotak dan sepatu converse nya, sekarang ada dalam balut kemeja putih dan celana bahan disetrika rapi. Lengan bajunya digulung agak keatas setengah lengan. Wonwoo ingat, selalu ingat, kalau cukup susah buat menjatuhkan titik pandang di jidat Mingyu tempo hari, tapi sekarang sekiranya dia bermaksud pamer pada dunia.

“Nanti kita nontonnya di belakang-belakang aja kali, ya? Nyender pager gitu biar lo ngga kegencet.”

Gimana?

“Rencananya emang mau di pinggir.”

“Lah kok di pinggir? Kurang best view. Udah mana acaranya di rooftop, yang ada lo ketiup angin nanti.“

Wonwoo ngegerutu sebel. “Berat badan gue udah nambah tau.”

“Oya?” Mata Mingyu fokus ke arah ticket booth dimana antrian cukup padat merayap. Setelah matanya nemuin satu orang mereka langsung saling angguk dan acung jempol. Lalu si orang yang tadi sibuk di meja registrasi langsung nunjuk-nunjuk mereka berdua ke satpam yang bertugas body checking. Ditarik lagi Wonwoo ke arah sana.

“Loh kita gak beli tiket? Kata Junhui bisa kok beli OTS.”

“Salah info tuh dia.” Kata Mingyu, masih sambil jalan. Matanya fokus ke depan gate.

“Salah info gimana sih? Ya dimana-mana kalau mau nonton harus beli tiket dulu.” Isi tas Wonwoo diperiksa satpam sebelum Mingyu ngedorong dia buat masuk tanpa tedeng aling-aling. “Mingyu.”

“Lo perasaan dulu gak sebawel ini deh?”

“Gue gini-gini aja.”

“Masa?” Alis Mingyu naik, menghakimi. Wonwoo menciut. Kecil. Tenggelam.

“Yaudah gue diem.”

Bahkan dengan mata yang menjurus ke arah lain, dari sudut sebelah sini pun Wonwoo masih bisa liat sebuah gelak tawa.

“Haus gak?” Kata Mingyu setengah meledek, setengah sungguhan.

Dan Wonwoo rasanya ingin. Dorongan dari relung hatinya untuk dimanja laki-laki tinggi di depannya sekiranya sudah kelewat batas. “Haus.”

Gelak tawa kecil lagi dari arah Mingyu. “Yuk.”

20.00 – 21.00

Di stage utama udah ada satu band yang sedang tampil. Terang aja Wonwoo kurang awas perihal identitas si musisi, dia bener-bener dateng kesini berpengetahuan super minim. Tangannya pun pasrah ditarik Mingyu kesana kemari seakan Wonwoo seringan kertas. Tapi akhirnya mereka dapet tempat tepat sesuai dengan apa yang dibilang Mingyu; dibelakang dan ada akses untuk mereka senderan ke pager.

“Dipaksa siapa ke sini?” Tanya Mingyu begitu tangannya ditekuk di depan dada.

“Junhui.”

Dia ngedengus kecil. “Cenayang juga si tolol.”

Wonwoo diem-diem ngelempar senyum buat dirinya sendiri. Ada gunanya juga intuisi bajingan. “Kalo lo disini, kenapa ngga lo aja yang tampil?”

“Kenapa? Ngga suka ya gue temenin disini?”

“Ya bukan,” Jawab Wonwoo kelewat ngegas. “Maksudnya sayang aja. I'm sure your fans would like to see you perform.”

“Anak-anak ngga tau gue disini.”

Wonwoo ngedongak untuk bisa liat mata Mingyu dari samping. “Serius?”

“Serius. Gue baru sampe Jakarta kemarin sore, terus langsung check in hotel karena kecapean. Pameran kantor gue tuh di Grand Indonesia situ, jadi deket mau kabur kesini.”

“Oalah, ini tuh lagi dinas ceritanya?”

Anggukan dari bahu. “Sort of.

“Yang di depan gate tadi temen lo?”

“Temen jaman kuliah,” Kaki Mingyu ngehentak-hentak seirama sama musik di panggung. Dia keliatan enjoy ada di tengah-tengah ini semua. “Dapet kabar kalo dia lagi ada project acara musik, terus gue rekomendasiin anak-anak. Kasian juga udah lama gak pada manggung. Pada sibuk masing-masing kan dari kemarin.”

“Iya tau.” Nada bicara Wonwoo seakan-akan dia lebih tau dari Mingyu yang notabenenya temenan sama mereka. “Gue disana waktu mereka lagi kelimpungan soal kerjaan.”

Kalau Wonwoo boleh sok tau, dia sama sekali gak liat rasa tersinggung di cengiran yang baru Mingyu lontarin. Yang ada malah tatapan bangga dan haru.

“Katanya lo ya, yang ke kosan Junhui waktu dia kumat? Berani emang?”

“Duh bisa gak sih jangan bahas kejadian itu? Lutut gue lemes tiap ngingetnya.”

Lagi, Mingyu nyengir. Dia hari ini banyak senyum. Wonwoo suka. “Lagian sejak kapan lo jadi heroik gini sih?”

“Ya gimana... Gue udah janji.”

“Janji apa?”

“Janji sama diri gue sendiri mau jagain temen-temen lo. Mereka tuh udah ibarat adik gue sendiri sekarang.”

Wonwoo sering muter-muter ulang di kepalanya gimana dia akan berkonversasi dengan Mingyu kalau suatu saat mereka ketemu. Mungkin Mingyu udah gak akan sehangat dulu. Mungkin dia udah gak akan se-easy going dulu. Mingkin, udah gak akan ada lagi Mingyu yang memperlakukan dia dengan istimewa. Tapi nyatanya barusan Mingyu baru aja ngusap-ngusap dan ngecup puncak kepalanya pelan. “Makasih ya?”

Wonwoo salah menilai Mingyu dari banyak aspek.

Cepet-cepet Wonwoo ngedehem dan ngucapin sama-sama dalam diam. “Gimana rasanya jadi budak korporat?” Iya, tebakan kalian benar, ini cara Wonwoo mengalihkan pembicaraan supaya pipinya gak berkobar merah.

So far sih challenging ya? In a way yang kerja tuh... ya kerja. Do it. Solve it. Done. Dibayar pula. It keeps my mind at ease. Less complicated than you.” Matanya nunjuk Wonwoo.

“Gue...?”

Mingyu cuma ketawa. Pandangannya pindah lagi ke stage. Pertanyaanya gak pernah terjawab.

Ada yang aneh dari Mingyu yang dia temuin hari ini. Dia masih Mingyu, tapi di satu waktu yang sama... bukan. Mingyu yang dia liat sekarang lebih punya pembawaan tenang, lebih punya filosofis dibalik omongannya, lebih punya kharisma orang dewasa yang gak pernah Wonwoo sangka bisa dia liat di diri Mingyu. Perubahan ini ngebuat jarak yang dirasa pernah ada ditengah-tengah jenjang umur mereka sekarang perlahan berkurang.

Dari samping kiri Wonwoo tiba-tiba ada beberapa anak muda dan teman-temannya yang moshing ngikutin lagu, dan Mingyu otomatis ngedekep Wonwoo di sampingnya erat. Lama kelamaan kakinya bisa jadi lebih lemes dari peristiwa tenggak baygon Junhui tempo hari.

“Denger-denger katanya Minghao mau tunangan.”

Ralat. Ngomongin Minghao bareng Mingyu ternyata melebihi sensasi dan adrenalin apapun.

“Iya.” Wonwoo membenarkan. Karena memang dia tau, dan dia disana waktu Minghao minta ijin untuk gak lagi nambatin hatinya buat Wonwoo. Sekilas terdengar enteng, tapi ternyata sakral. Minghao melangkah maju, dan dia berhasil kasih Wonwoo bukti kongkrit.

“Gak mau nyusul?”

Kenapa semua orang hobi menanyakan dia pertanyaan yang sama? “Nanti.”

“Nanti-nanti mulu. Umur berapa sih lo? Kepala tiga kan? Asli tua parah.”

“Gak usah pake ngatain kenapa sih?” Sewot. Kesel. “Ya gue juga mau nyusul. Tapi lagi nungguin—”

“Eh itu anak-anak!” Mingyu nunjuk ke arah panggung. “Bentar nonton dulu baru lanjutin ngobrolnya.”

21.00 – 22.30

Wonwoo ada di backstage Rose&Jack untuk pertama kalinya. Biasanya tiap nyempetin nonton mereka tampil, dia langsung cabut ke parkiran sesudahnya. Yang dia gak nyangka adalah gimana ngeliat reunian antara sahabat-sahabat ini bisa ngebuat hatinya nyaman. Jihoon, yang walaupun keliatannya legowo tapi gak bisa ngomong begitu liat sahabatnya itu di depan mata. Soonyoung, yang mukanya sampe bengep dan merah karena terlalu mendramatisir, Jisoo, yang mencoba nyeritain sebanyak tapi sesingkat mungkin apa aja yang Mingyu lewatin selama dia ngga ada, Junhui, yang mendewa-dewakan kemampuan cenayangnya dan Minghao, yang yang menonton dari pinggir tapi Wonwoo tau dia gak kalah bahagia.

“BONGE ANJING LU TERTOLOL. GUA PUSING NYARI DRUMMER PENGGANTI YA, BANGSAT.”

Mingyu nyengir, meluk Soonyoung balik. “Gua juga kangen nyet ama lu.” yang dibales Soonyoung dengan isakan, diikuti dengan rentetan sumpahan.

“Bisa-bisanya ya si dajjal nyampe sini yang pertama diketemuin Wonwoo? Cinta Mati III by Mulan Jameela banget apa?”

Tangan Mingyu santai tapi diem-diem nyumpel mulut Junhui pake kue yang dia liat di meja. “Ngga sengaja ketemu di parkiran.”

“Alah tai kuciiing. Maen Cinta Fitri season berapa sih lu?” Ternyata Junhui belum kapok.

Yang bikin kaget malah dateng dari Jihoon, begitu dia ngedeket ke arah Mingyu dan nepok punggungnya pelan sambil bilang, “Udahan Nge ngehukumnya, ini om-om satu udah belajar dari kesalahan kok. Jangan kejam-kejam yak.”

Waktu mereka keluar backstage hal pertama yang langsung ditanya Mingyu adalah “Lo ngomong yang aneh-aneh ya soal gue ke mereka?”

“Hah aneh gimana?”

“Ya mana gue tau.”

“Emang lo jahat.”

“Jahat gimana?”

“Masih harus gue jawab tuh pertanyaan?”

Mingyu ngulum bibirnya buat nahan senyum. “Balik ke depan lagi yuk?”

Di luar ternyata gerimis, dan Wonwoo kekeuh tetep mau nonton siapapun yang lagi manggung walaupun Mingyu jelas-jelas ngelarang. Mungkin dia memang mau menonton, atau mungkin dia gak mau hari ini cepet berakhir. Dia kekurangan clue untuk tahu apa yang bakalan kejadian selepas dari sini. Selepas pertemuan tidak direncanakan, yang mungin singkat mungkin engga. Tergantung kata semesta. Toh, ini bagian dari permainannya, kan?

Kata Kunto Aji barusan dari atas stage sebelum dia menyanyikan salah satu lagunya, terima kasih sudah berjuang sampai saat ini. Dan rasanya Wonwoo ingin berterima kasih secara personal karena perjuangannya untuk tidak menyerah, memang bisa dilihat dari adanya Mingyu di sampingnya saat ini. Walaupun dia gak punya bukti sedikitpun apa semua yang dia lakuin patut dan sepadan, tapi setidaknya dia di sini dan Mingyu di samping, dan Wonwoo mendapatkan banyak suntikan energi dan terapi-terapi dari lirik yang mengalun sepanjang acara.

Dikatakan awan hitam sebelum datangnya hujan,

Biarlah aku dikutuk dan engkau yang dirayakan.

Dibelakang tempatmu bersandar, tanganku terbuka kapanpun kau ingat pulang.

“Mingyu.” Beberapa detik setelah Wonwoo ngucapin namanya, langsung muncul putaran-putaran perbincangan lalu. Senda gurau lalu. Perdebatan lalu. Rasanya hilang lalu ada lagi.

“Hm?”

“Rehatnya udah?”

Gak ada yang bisa ngalahin betapa teduhnya senyum Mingyu saat ini. “Udah.”

“Oke.”

“Wonwoo.”

“Iya?”

“Hatinya udah sembuh?”

Wonwoo nelen ludah. Tenggorokannya radang. “Udah.”

Mingyu sempet diem lama, nutup matanya waktu intro Sulung mulai keputer. “Mixtape dari gue di dengerin gak?”

“Selalu.” Kata Wonwoo mantap.

22.30 – 23.30

“Bokap gue akhirnya minta maaf ke nyokap. Buat dia yang lalai, buat kewajiban yang gak pernah terpenuhi, dan buat segala bentuk kekecewaan yang pernah dia buat jadi ada.”

Wonwoo nyendok dimsum nya ragu-ragu karna sudden topic yang Mingyu bawa rasanya gak etis kalau dibuat main-main. “That's a good thing, right?

Mingyu ngegoyangin pundaknya. “Mungkin iya, mungkin engga.”

“Kenapa gitu?”

“Karena gue gak pernah bisa maafin dia, Won. Seberapa keras dia minta maaf, seberapa sembuh luka gue dan nyokap, tapi udah gak ada lagi kita diantara maaf-maaf itu. Gak ada lagi keluarga normal. Gak ada lagi rumah nyaman yang dulu tempat gue pulang. Semua kenangan masa kecil yang tadinya indah ujung-ujungnya pait. Kita tetep bukan keluarga normal yang dulu gue banggakan, dan gue udah bukan anak dia satu-satunya.”

Nothing will ever be the same.” Kata Wonwoo, pelan. Dan Mingyu ikut ngangguk.

Nothing will ever be the same indeed. Sekarang lo ngerti kan maksudnya?”

“Ngerti.”

“Pinter.” Mingyu ngejepit satu dimsum dan ngejejelin ke mulut Wonwoo sambil ngejek. Wonwoo udah pasrah. Kayaknya harga diri dia sebagai yang jauh lebih tua akan selalu acak-acakan di depan Mingyu.

“Mingyu, tapi ini serius. Gak banyak yang bisa bangkit dibawah tekanan tapi lo ngebuktiin kalau lo salah satu diantara mereka. Gue harap lo bisa lebih mengapresiasi diri lo dengan hal-hal positif ya. Jangan dihabisin buat ngebenci...”

Hal terburuk dari Wonwoo yang ngelemparin kesotoyan nya barusan adalah Mingyu tersinggung, marah, dan mereka kembali ke fase sebelumnya. Tapi nyatanya Mingyu cuma ngangguk. Dia ngangguk dan nurut sama nasehat Wonwoo barusan, dibuktiin dengan dia yang nunjukin salah satu bubble chat yang baru aja dia kirim ke bokapnya.

“Pa, besok bisa ketemu?”

Wonwoo gak bisa lebih seneng dari ini.

“Mingyu.”

“Coba sebut lagi.”

“Mingyu...?”

Orangnya ketawa. “Kangen gua dipanggil gitu.”

“Yeu.” Wonwoo pukul kepalanya pake sumpit.

“Ingetin gue buat ngerekam suara lo lagi nyebut nama gue.”

“Buat apa deh?”

“Dijadiin ringtone.”

Ah, Mingyu. Anak itu selalu mampu, bisa, dan sanggup memberi warna.

“Kalau lo ke gue apa kabar?” Kata Wonwoo lagi, nerusin yang tadi ketunda.

“Apa kabar gimana? Dari tadi gue udah cerita ini-itu panjang lebar namanya bukan kabar?”

“Ih bukan kabar soal itu.”

Mingyu sempet bingung sebentar, sebelum akhirnya bisa mecahin kode di dalem pertanyaan Wonwoo.

Tapi yang muncul cuma cengiran. Gak pernah jawaban. Mingyu kayaknya gak cuma punya skill-skill baru dalam membangun pertahanan diri, tapi juga seni bela diri cabang menghindar. Banyak yang ditahan. Disembunyiin. Di tutup rapat.

Tapi malam belum berakhir.

23.30 – 00.00

Alright,” Ucap Mingyu, begitu mobilnya—ralat, mobil Wonwoo sampe di depan rumahnya. Mobil kantornya dititip sembarang ke Soonyoung (yang dibalas rentetan makian, tapi itu urusan nanti). “Let's settle us.

Us.

Ngedengernya aja Wonwoo sakit kepala.

“Sama Minghao udah kelar ya?” Lanjut cowok di sebelahnya. Wonwoo cepet-cepet ngangguk sebelum dia ngada-ngada sendiri terus keliatan ragu.

“Udah.”

“Udah nikah?”

“Siapa?”

“Lo.”

“BELOM LAH GILA APA.”

“Lah kenapa gila?” Sempet-sempetnya ini anak satu smirking.

“Ya karna—” Wonwoo nelen ludah. “Ya gitu. Intinya belum.”

“Oke.” Masih. Smirk nya masih ada di sana. “Hatinya kosong?”

Wonwoo ngangguk lagi. Cepet. Dia diburu waktu dan peluang.

“Boleh gue masuk?”

Under many conditions.” Wonwoo ngejawab polos dan Mingyu terbahak sampe kepalanya kelempar kebelakang. “Gue harus nikah within next year.”

Understable,” Mingyu ngangguk-ngangguk. “Can we have casual sex while waiting for that?

Wonwoo keselek. Literally. Dia harus minum satu botol air mineral untuk netralisasi. “Fine. Gue gak mau ada miskomunikasi. Marah bilang, gak suka bilang, dan yang terpenting: kalau bosen bilang. Gue paling gak suka lo selingkuh karena lo bosen sama gue. Tolong, biarin gue pergi dulu dari hidup lo sebelum lo ngelakuin hal menjijikan itu.”

Agreed. Ada lagi?”

“Jangan larang-larang gue untuk kerja unless we both financially stable enough.

“Setuju, gue juga gak mau. Hal-hal yang menurut gue prinsipil gak harus jadi sesuatu yang krusial tapi gue harap kita saling menghargai. Preferensi politik apalagi. I just wanna cuddle, okay? Let's cuddle in peace.

Wonwoo ketawa gemes. Kepalanya terbentur dashboard mobil. “Alright.

“Mantap.”

“Udah nih?”

Mingyu nyengir. “Udah.”

“Boleh peluk?”

Mingyu tambah nyengir dan Wonwoo gak pernah liat anak itu senyum sebegini lebarnya. “Thought you'd never ask.

👣