— : JPRDZ//VOLII//YOYOK

Soonyoung.

Jadi manajer R&J emang gak pernah adalah sebuah alasan. Tapi jadi manajer R&J yang ngeapproach calon vokalis baru secara personal, itu baru alasan. Soonyoung sendiri udah dari dulu lah, familiar sama orang ini. Sering lalu-lalang nyumbang suara di banyak acara kampus, tapi ya sendiri aja. Selalu sendiri. Setelah diulik-ulik lagi, ternyata emang bakatnya tuh natural. Dia gak perlu banyak persiapan, gak perlu juga neko-neko. Tinggal kasih waktu, tempat, dan alat musiknya, terus jadi deh.

Pertama kali ketemunya juga klise abis. Dia sama R&J satu acara, terus Lee Jihoon dengan semena-menanya ngira Soonyoung itu panitia dan main asal aja minta es batu buat coca-colanya. Kwon Soonyoung jelas jauh dari profesi panitia, tapi es batu itu tetap dihantarkannya kepada sang pemuda dengan sukarela. Jihoon bilang makasih, Soonyoung bilang sama-sama. Terus karena memang lagi ada waktunya dia ikutan nonton performnya sekalian. Kalau gak salah, malam itu Soonyoung minimal rada gak bisa tidur gitu lah setelahnya.

Pertemuan selanjutnya bareng Jihoon itu kejadian di tukang fotocopy sekitaran kampus. Waktu itu dia kelihatan kayak lagi buru-buru, cuma kebetulan tempatnya juga lagi rada penuh. Jadi saat abangnya nyamperin Soonyoung dan nanya apa keperluannya, dia nyuruh si abang buat ngelayanin Jihoon duluan. Sebagai gantinya dia jadi gak sengaja ngobrol sama salah satu temennya yang nyapa disana dan nanya-nanya tentang R&J.

“Weh... Jihoon dah itu.”

“Lu pelan-pelan dong ngomongnya ngehe, kaga nyaman tuh dia entar.”

Gak salah dong, kalau sewaktu Soonyoung dan ketiga sisa member bandnya berdiskusi alot siapa selanjutnya calon-calon potensial yang bisa menggantikan gitaris dan vokalis mereka, Soonyoung gak mungkin gak menyodorkan Jihoon sebagai salah satunya.

Masalahnya temen-temennya pada pesimis. Group musik mereka isinya mahasiswa biasa-biasa aja yang kalai ngulang matkul gak dikasih keringanan juga, paling ujungnya cuma dikenal karena ganteng. Persoalan prestasi baik akademis maupun karir bermusik, Jihoon jelas lebih punya nama. Lebih legit. Lebih terlihat profesional.

“Lu kalo berhasil bahwa Jihoon itu antara lu menyantet dia, atau lu menyantet dia.”

“Bacot Raja Amer.”

“Bawa Jihoon kemari, nanti gaji lu gue naikin.”

“HIRARKI LU AMA GUA SAMA YA BANGSAT.”

“Manusia boleh berharap Nyong, tapi yang menentukan tetap seberapa canggih usaha lu tetep beliau.”

Seberapa canggih usaha lu, buat Soonyoung sendiri adalah sebuah tantangan. Jadi biarin deh temen-temennya itu sibuk dengan problematika masing-masing. Dia, mau menantang dunia yang kalau hasilnya baik juga akan jadi kejutan buat dirinya sendiri.

Kocaknya, Soonyoung jadi punya beberapa okasi buat diceritain. Goals utamanya adalah dengan bikin Jihoon tau dia itu siapa; bukan panitia acara, atau sekedar temen kampus yang sama-sama butuh fotocopy tugas. Dia memegang kemudi sebuah band, dan dia mau Jihoon mengkomandokan suaranya.

Dan ironisnya, usahanya juga tergagalkan karena Jihoon lebih dulu mengelabui.

“Hey, boleh—“

“Sori, bisa gue tolak duluan aja gak? Gue lagi buru-buru banget.”

—kenalan gak…

“Gue lagi buru-buru, Soonyoung.”

“Hah?”

“Hah kenapa?”

“Lo kenal gue.”

“Dan lo mau nawarin gue join R&J.”

“Uh… iya?”

“Gak dulu ya, makasih.”

Selama seminggu berikutnya, Soonyoung bisa dibilang hampir gila mikirin berbagai probabilitas tentang gimana Jihoon bisa begitu tepat sasaran. Yang lebih parahnya lagi, Jihoon tau siapa dia.

Tapi setelah dipikir-pikir masalah terberatnya itu bukan kejutan yang Lee Jihoon suguhkan. Mimpi buruknya adalah dia itu yang sedari awal sudah menyatakan bahwa ia enggan bergabung.

Sekarang mari kita masuk ke dalam bagian terkonyolnya: anggaplah Soonyoung kini berakhir dengan menghalalkan segala cara untuk menciptakan koinsidensi antara dirinya dan Jihoon. Tetapi kemudian semua probabilitasnya berujung petaka.

Atau, mungkin, petakanya diam-diam adalah simbol kebetuntungannya.

Hari itu Soonyoung sengaja berkunjung ke auditorium kampus. Mata-mata rahasianya mengatakan Jihoon akan berada disana sebagai salah satu panitia, dan sama sekali tidak mungkin Soonyoung akan melewatkan kesempatan itu.

Pun belakangan dirinya lebih terlihat seperti stalker yang terobsesi, toh Lee Jihoon tetap paling parah hanya akan memutarkan bola matanya malas ketika yang dilihatnya adalah lagi-lagi Kwon Soonyoung.

“Nyari apaan lagi?”

Dia cuma bisa nyengir. “Udah sarapan, Jihoon?”

Yang ditanya mulai membuka jaket kulit dan ranselnya perlahan. “Udah.”

“Ooh.”

“Ngopi gak?”

“Engga, makasih.”

Tengkuk yang diusap asal itu adalah simbol dari kekikukannya ketika Jihoon mulai sibuk dengan telepon selularnya. Soonyoung berusaha memindai seisi ruangan agar matanya jatuh kemana pun asal bukan Jihoon.

Sirkusnya, selalu berakhir seperti ini. Dirinya dan Jihoon hanya akan saling berdiam, pun kesempatan Soonyoung untuk kembali menjadi persuasif banyak adanya.

Sampai akhirnya Jihoon untuk pertama kalinya duluan menyapa.

“Ada korek?”

“Hah?”

“Korek.”

Soonyoung kepalang salah tingkah. “Ko—bentar—kor—ini—nih. Korek.”

Jihoon menertawakannya. “Pegangin.”

“Gimana?”

“Nyalain, terus pegangin.”

Soonyoung dengan wajah datarnya menurut, gemetar memfungsikan benda di genggaman. Di depannya, Jihoon menyelipkan sebatang rokok pada kedua bibirnya sebelum maju mendekat.

Soonyoung memundurkan satu langkah kakinya ke belakang dengan panik, dan berakhir menjatuhkan korek itu ke lantai bumi. Atau, korek itu menjatuhkan dirinya sendiri.

Lalu ruangan itu terbakar api.

Shit!

Kwon Soonyoung kalang kabut mencari sesuatu untuk memadamkannya, dan di sisi lain Lee Jihoon sibuk tertawa.

Shit, shit, shit!

Lee Jihoon masih tertawa, Kwon Soonyoung panik menyirami kain yang terbakar dengan air.

“Ji, bantuin dong!”

Lee Jihoon semakin terbahak, Kwon Soonyoung menginjak-injak api dengan sembarang.

Beberapa kru panggung akhirnya ikut menghampiri dan dengan sigap membantu Soonyoung memadamkannya. Masih dengan paniknya Kwon Soonyoung mengusap pelipisnya yang berkeringat, dan Lee Jihoon berani-beraninya bersandar pada salah satu tembok dengan tangan yang dilipat dan asap rokok yang mengepul di depan wajahnya.

Brengsek, Soonyoung membatin dalam hati.

Tragedi itu membuatnya harus berurusan dengan beberapa ganti rugi dan segala macamnya atas nama fasilitas kampus, lalu masih dengan cengeges di wajah Jihoon menepuk pundak dan memberinya jempol.

Nice.

“Bacot.” Adalah satu-satunya sumpah serapah yang dapat ia lontarkan, namun alih-alih terdengar kasar hanya ada kefrustrasian di dalamnya.

Keduanya sekarang tengah mendudukan diri di trotoar; bersebelahan, saling berdiam. Namun entah mengapa heningnya bukan dalam artian buruk.

Dan lagi-lagi Lee Jihoon dan bibir ranumnya mengeluarkan hal-hal yang tak terduga.

“Jadi, offeringnya gimana?”

Dirinya mendengus. “Udahlah Ji, gak usah mancing-mancing.”

Si dia membalas dengan kekehan. “Langsung ketemu yang lain aja atau lewat lo?”

“Ini serius atau bercandaan si?”

“Lo maunya gue bercanda?”

“ENGGA, ENGGA!” Dengan sigap ia menoleh ke arah pemuda di sebelahnya. “Ketemu yang lain dulu. Deal?

Jihoon mengangkat kedua bahunya santai. “Oke.”

Soonyoung mencoba menahan senyumnya dengan menyembunyikannya dibalik telapak tangan, namun kalau dipikir-pikir Jihoon bahkan sudah melihat sisi termemalukannya dalam kurun waktu beberapa menit.

Jadi, apa lagii yang perlu ditakuti?

Junhui.

Bukan, awalnya bukan disengaja. Iya, yang seterusnya itu disengaja. Galon pecah, itu tragedi. Token listrik abis, itu namanya akal-akalan.

Kenapa dia ngelakuin itu? Kurang lebih karena tetangga sebelahnya terlalu seru untuk gak dikerjain. Tutur katanya yang selalu sabar dan atentif dalam menanggapi segala kebodohan Junhui, dan caranya dalam membimbing dan mengayomi pada setiap hal absurd yang Junhui ciptakan.

Makanya itu, dia jadi betah ngerjain. Betah ngulang-ngulang kesalahan bodoh yang cuma akan bikin dia diceramahin, dan betah ngeliat gimana tentangga samping kamarnya yang notabene orang asing itu berperan dengan begitu bisa diandalkan pun Junhui hanya bisa menjadi beban.

Ditambah lagi, beliau bisa main gitar. Ditambah lagi, R&J lagi butuh gitaris.

Lama-lama, dia baru sadar bahwa ini adalah rasanya diaminkan semesta. Lama-lama, Junhui jadi sadar kalau ada ketertarikan tersendiri yang ngebuat dia akhirnya ngelakuin ini. Lama-lama juga, dia mendapat pencerahan kalau tingkahnya agak konyol.

Junhui tadinya mau beralih ke cara konvensional. Maksudnya ya bertingkah normal aja, tanpa embel-embel Eh bon cabe gue kayaknya kadaluarsa. Punya lo kadaluarsa juga gak? Kalo engga berarti gue bisa minta. Tapi belum sempat menjadi waras, dia tuh lupa kalo punya temen-temen super bangsat.

Dan yang lebih bangsat dari temen-temen super bangsat, “Yang lain sebenernya masih masuk akal sih, cuma gue gak ngerti aja kenapa galon lo selalu pecah.”

Junhui menutupi wajahnya yang memerah dengan telapak tangan, berharap dengan cara itu bumi akan segera menelannnya. “Oke, gak perlu dilanjutin.”

“Terus tuh, kamar sering ada yang ketok-ketok beneran kejadian atau kejadiannya di dalam khayalan lo aja?”

Tadi tuh sewaktu anaknya jawab hahaha di group, perasaan dia udah gak enak. Ini kan berarti antara beliau ngerti, sama pure ketawa aja. Terus jadi Junhui pura-pura bego dengan main ke kamarnya seperti biasa. Gak taunya, dia malah ditodong dengan lebih parah.

Terus sekarang, Junhui harus diduk di kursi meja belajar si empunya kamar dengan seluruh penjagaan yang bisa ia keluarkan jurusnya.

“Gue cabut ya lama-lama hak lo untuk berbicara.”

Tanggapan Minghao pada saat itu hanya dengan kekehan. Dan kalau boleh jujur, Junhui merasa seperti akan membotakan rambutnya sampai habis.

“Gapapa, gak akan gue laporin ke bapak kost juga hal-hal unik yang biasanya lo perbuat.”

“SUMPAH YA…”

Tawa Xu Minghao semakin meledak-ledak. “Apa?”

“Jujur sama gue.”

“Jujur apa?”

“Lo nih sebenernya udah tau dari awal ya?”

Yang ditanya menggigit bibirnya. “Menurut lo?”

“Menurut gue gak ada orang yang lebih merasa dipermalukan daripada gue sekarang.”

Si dia menggelengkan kepala keheranan. “Lucu dah lu.”

“Memang.”

“Memang lucu?”

“Betul, memang saya lucu.”

“Yaudah, lucu aja terus.”

“Gak. Usah. Nyindir.” Entah kerasukan apa, emosinya itu menyulut jemarinya untuk mencubit pinggang sang pemilik kamar. Dan bukannya mengajukan sebuah protes, si Minghao itu malahan menyimpulnya bersama sebuah tawa.

“Ampun, ampun.”

Bola matanya diputar penuh sarkas. “Eh, ngomong-ngomong…”

“Iya, ngomong-ngomong kenapa?”

“Bonge pernah curhat sesuatu ke gue.”

“Oke… curhat apa tuh?”

“Sebenernya lebih ke uring-uringan ajasih, pas awal-awal. Lo kayaknya beneran nunjukin ke kak Wonwoo kalau lo tuh anti banget gitu sama si Bonge. Ya iya sih, kawan gue tuh track recordnya emang jelek ya… Tapi lebih masalahnya, alasan dibalik lo sebegitunya untuk hal yang berkaitan dengan kak Wonwoo. Gitu…

“Urusannya sama Bonge apa, nih?”

Junhui memasang wajah skeptisnya. “Emang harus banget ditanya dulu urusannya apa? Kalau ditanya gitu, kesannya jadi kayak ada urusan dan lo gak mau orang-orang tau.”

“Kalau mau tau gue sama kak Wonwoo ada hubungan apa nanyanya gak usah sebelibet itu juga sih, Pi...”

Skak mat. Junhui sekarang, terasa seperti sedang terjun payung secara bebas tanpa parasut dan terus melayang namun dasar bumi tak jua kunjung tiba.

You know what? I think i don’t really like you that much.”

“Ooh, berkurang gitu? Sebelumnya berarti lebih banyak?”

Pelipisnya ia pijiti dengan frustasi. “Ya oke, skenario yang kemarin-kemarin itu semua gue yang memalsukan. Ini adalah deklarasi kebohongan gue. Fine. Puas? Udah bisa dipotong sarkasnya? Ini kan yang lo mau? Apa gue perlu berlutut juga atas ajakan bergabung dengan R&J?”

Xu Minghao mengulum bibirnya sebelum menjawab pelan, perlahan. “Murni tetangga dari kecil aja sih, gue sama kak Wonwoo.”

Tanpa disadari Junhui menemukan dirinya menahan napasnya.

“Gak pernah ada rasa suka karena emang udah kayak kakak sendiri, dan ini beneran bukan cuma asal ngomong aja. Jadi wajar dong kalau gue defensif dia dideketin orang kayak Bonge?”

“Iya sih…”

“Pun rasanya lebih dari perasaan adik ke kakak, gue sama kak Wonwoo juga temboknya ketinggian.”

“Tembok…”

“Iya.”

“…Ketinggian”

“Heeh.”

“Tembok keti—sori, GIMANA?

Seokmin.

Dari dulu, kayaknya dia udah skip banyak hal deh. Pertama karena pas baru masuk ke kantor si Seokmin ini udah direkrut sama Duta Jajan Kantor yang tak lain dan tak bukan adalah kak Jeonghan dan kak Wonwoo. Keistimewaan yang dia dapat datang dalam bentuk Seokmin yang gak harus banyak ngelewatin pengalaman-pengalaman otentik dalam menjadi seorang fresh graduate.

Karena terlalu fokus menjadi dayang-dayang mereka dan memantau permasalahan romansa yang terkadang dipunyai masing-masingnya, Seokmin juga berakhir sering ngelupain hal-hal potensial yang ada disekitarnya. Misalnya nih: kemarin itu dia jadi sibuk dengan seluruh huru-hara Mingyu si anak magang dan Wonwoo si kakak mentor senior, terus lupa bahwa pada sisinya sendiri dia pun bisa menjadi si pemeran utama.

Semua berawal dari program televisi yang projectnya udah dia fokus garap dari awal tahun banget. Konsepnya mirip-mirip Indonesian Idol, tapi udah jadi tugas dia dan tim untuk menemukan apa yang beda. Dan lalu seiring berjalannya waktu project ini mendapatkan approve dan develop yang solid.

Ini project pertama banget yang dia garap sendiri tanpa campur tangan senior yang lain, jadi buat Seokmin excitmentnya beda sendiri.

Ada juga sebuah excitment yang rasanya beda tapi dia gak pernah nyadar kalau itu ada sampai momentnya dateng sendiri: having Hong Jisoo around, accompanying him during this project.

Ya, susah sih. Dia sama si anak magangnya sendiri gak punya momen-momen magis kayak si kakak senior sama ‘Bonge’nya. Dia cuma mas-mas biasa aja kadang kemeja flannel kotak-kotak kadang kemeja katun Uniqlo, dan gak banyak aspek dalam hidupnya yang bisa diglorifikasi jadi kisah novel.

Jisoo ke dia juga biasa-biasa aja. Anaknya kadang rada lemot dan butuh kesabaran buat kasih dia briefing dengan pattern yang belibet, untungnya pas lagi kerja critical thinkingnya jalan banget. Cuma ya, gitu, pulang kerja terus makan ketoprak bareng dia isinya dari awal sampe akhir hening doang.

Tapi terus Seokmin punya sebuah okasi bernama titik balik. Menuju akhir tahun ini, dia harus syuting episode pertama program yang udah kayak anaknya sendiri. Dan deg-degannya bukan main.

Cuma tantangan terbesarnya, acara ini tayangnya live. Kesalahan dikit aja dia kelar.

Dan sialnya, beneran kejadian.

Klasik dan klise, bukan?

“Ini seriusan apa bercandaan?” Suaranya mungkin terdengar tenang. Tapi kalau boleh jujur, tenggorokannya itu kayak habis kepental tonjokan samsak.

Salah satu timnya dengan papan jalan di genggaman memberinya tatapan prihatin. “Muntaber, Seok.”

“Dari seluruh waktu yang ada di dunia ini, harus sekarang...”

Tatapan prihatin itu berubah menjadi raut kepanikan. “Sori banget… tapi kita bener-bener harus mikirin solusinya.”

“Umumin kalau peserta yang ini gak jadi tampil dan kita cut ke yang selanjutnya?”

“Di broadcast pertama kita banget?”

Rambut di kepalanya ia acak-acak dengan begitu ekstrim hingga kulit kepalanya kini merasakan nyeri. “Tolong bantuin gue mikir.”

Partner kerjanya memasang wajah horor. “Oke… uh… mungkin—“

“Kak biar aku yang pura-pura jadi pesertanya!!!”

Hong Jisoo si anak magang yang butuh lebih dari setengah jam untuk bisa mengerti denah acara setelah dijelaskan berkali-kali, berlari menghampiri mereka.

“…Gimana, Soo?”

“GAK ADA WAKTU BUAT NGEJELASIN!!!” Barusan adalah pertama kalinya Seokmin mendengar suara Jisoo selantang itu. Yang bersangkutan kini sedang melucuti seragam kantornya secepat kilat, dan pun telah dibentak dan diberitahu bahwa mereka tidak punya waktu, Seokmin masih butuh waktu untuk memproses.

“Ini kamu mau maju? Mau dibroadcast?”

“Aku butuh keyboard.”

“Oke.” Instingnya langsung bergerak menjentikan jari agar salah satu krunya mulai bergerak.

“Dan mic.”

“Dan—“ Jedanya itu ia gunakan untuk menggantung rahang. “Buat ngomong, atau buat—“

“KAK!”

Jarinya kembali dijentikan. “Oke. Mic. Let’s go.

Dalam hitungan detik semua kru bergegas dan bergerak cepat. Bahkan ditengah sistem kerja otaknya yang masih mempertanyakan ini dan itu, Seokmin masih bisa melakukan banyak hal di waktu yang bersamaan; mengomandokan kru-krunya yang lain, memantau keseluruhan rundown, memastikan acaranya tetap dalam jalur, dan berdiri di pinggir panggung gelap tanpa sorotan lampu ketika Hong Jisoo menjejakan kakinya ke atas panggung.

Banyak rasa penasarannya terhadap dunia yang belum tertuntaskan seperti bagaimana rasanya pingsan, atau mimisan, atau kesurupan, atau terhipnotis. Tentu masing-masing dari hal tersebut minimal sudah pernah direpresentasikan oleh teman-temannya, namun tak ada satupun dari itu yang pernah benar-benar ia mengerti.

Lalu secara tiba-tiba hari ini ia diberi kesempatan untuk merasakan pengalaman terhipnotis. Dan penyebabnya, adalah Hong Jisoo. Katanya dalam kasus paling sering terjadi, hipnotis artinya mengerti bahwa ada yang salah dalam sesuatu namun pada kenyataanya tak ada penolakan yang dapat keluar dari bibir.

Seokmin menerapkannya dengan berdiri mematung dan sepenuhnya terpesona oleh si anak magang yang tengah menunjukan kebolehannya dalam semua yang adalah elemennya, and it was magical.

Dia tetap berdiri disana walaupun ear innya dihujani sejuta pertanyaan dan permohonan. Ia tetap berdiri disana, disaat walkie talkie di dalam genggamannya sedang berisik bukan main.

Seokmin menemukan dirinya menggiring Jisoo ke tempat yang lebih sepi setelahnya. Menyerahkan seluruh bakti tugasnya kepada sang asisten untuk beberapa waktu, dan berdeterminasi untuk menitikberatkan fokusnya disini.

Karena ia merasa ini adalah kebutuhan.

Karena ia merasa ini lama-kelamaan menjadi permasalahan hidup dan mati.

“Jisoo.”

Si anak magang yang punggungnya kini menempel pada tembok dingin itu berkedip dengan polos. “Iya, kak Seokmin?”

“Kamu bisa nyanyi.”

“Aku udah pernah bilang kalau aku anak band…”

“Kamu bilangnya kamu itu keyboardist.

“Barusan aku main keyboard.

“Bukan—“ Kepalanya menggeleng setengah mati. “—bukan itu.”

“Terus…? Gimana kak maksudnya?”

“Kamu gak pernah bilang kalau suara kamu sebagus itu.”

“Aku—“

“Atau kamu bisa jadi segemerlap itu di atas panggung.”

“Uh…”

Ear in dan walkie talkienya sekali lagi mengamuk, dan Seokmin dituntut untuk segera memotong pembicaraan ini atau karirnya akan segera menjadi serpihan.

Jadi dengan tangan yang bertolak di pinggang dan mikrofon yang menggantung di depan bibirnya itu ia mulai lagi mengumandangkan komando, sebelum mengembalikan netranya ke arah Jisoo.

“Abis acara, jangan kemana-mana dulu.”

“Ya kan emang ada evaluasi, kak…”

“Bukan itu maksud saya Jisoo…” Giginya menggertak, suaranya mengeram penuh kefrustasian. “Kita makan ketoprak.”

“…Hah?”

“Tapi kali ini, sambil ngobrol. Bener-bener ngobrol. Oke?”

“Ketoprak. Ngobrol. Oke.”

Keduanya mulai berlomba-lomba menampilkan senyum terbaiknya.

“Oke, kak Seokmin.”

Mingyu.

Kadang kalau lagi menghukum diri, luapan frustasinya gak akan jauh-jauh dari nyewa studio buat beberapa jam dan gebuk-gebuk drum sampe tangannya capek sendiri. Sampe sendi dan ototnya teriak minta ampun, sampe kaosnya udah basah banget dan badannya jadi menggigil kedinginan di bawah AC.

Terima kasih karena di dunia ini ada lagu-lagunya Avenged Sevenfold, marah-marahnya bisa dikamuflase jadi latihan ngeband. Biasanya sih gitu, kebanyakan waktu sih gitu.

Tapi belakangan semenjak ngerasa makin lama makin dewasa, di sadar kalau itu tuh problem solvingnya gak ada. Outputnya gak ada. Sisi positifnya paling-paling dada jadi plong.

Terus sekarang nih, dia lagi kepikiran macem-macem pas lagi magang gini. Pas waktunya disini udah tinggal bentar lagi, pas banget juga dia harus ngejalanin pembuktian lewat project yang dikasih ke dia.

Payahnya, Mingyu gak pernah ngerasa siap akan itu. Dia selalu ngerasa adalah anak tunggal yang nantinya gak harus urgent-urgent amat untuk langsung cari kerja, dan menganggur bukanlah sebuah hal yang begitu menakutkan.

Tapi terus bokapnya memutuskan untuk jadi brengsek, dan dalam sekejap dia dituntut memasang mindset sebagai orang dewasa.

Si Bonge yang tadinya petantang-petenteng, sekarang sibuk muter otak untuk bisa upgrade diri.

Jadi pusingnya sekarang, dia salurkan kepada misi penyendirian di kantor yang sudah kosong melompong dan gelap itu, seraya meninjau kembali laporan program yang hari Senin besok akan dipresentasikan secara final kepada para senior divisi.

Pun niatnya mulia, yang namanya hidup mah kebanyakan setannya. Banyak dari pertanyaan-pertanyaan programnya yang menurut dia sendiri faedah dan maknanya masih rancu, dan Mingyu gak pernah bener-bener ngerasa pernah mendapatkan jawaban.

Kalau udah kayak gini, kepalanya bakalan pecah bahkan bukan lagi secara harfiah. Pas udah kayak gini juga, dia malah kepikiran Wonwoo. Kepikiran rasa bersalahnya. Kepikiran kalau maaf dia gak pernah ada artinya. Kepikiran bahwa beban ketololannya malah dia limpahkan ke orang lain. Kepikiran kangennya.

Yang terakhir agak akut sih. Ternyata buah paling manis sekaligus pahit dari menghabiskan banyak waktu bersama seseorang, adalah rasa rindu. Dan dia lagi gak bisa merindu. Gak boleh.

Gak lama dari huru-hara yang terjadi di kepalanya, ada satu sosok yang siluetnya lama kelamaan mendekat. Orang itu refleksnya langsung ketawa waktu liat dia lagi merana duduk di kubikelnya.

Buat orang-orang penting kayak Seungcheol, ya wajar aja sih kalo dia masih ada di kantor sampe jam segini. Secara workload dia banyak, dan kita gak pernah tau juga dia ada urusan apa. Gak kayak kacung kampret modelan Mingyu, yang kelihatannya jadi kayak sengsara banget jam segini ngumpet sendirian disana.

Tapi permasalahannya itu adalah— “Lah, bapak bukannya harusnya di Singapur?”

Bosnya itu cengar-cengir, pelipisnya digaruk dengan jari sebagai jeda untuknya merangkai sebuah jawaban solid.

“Iya nih, cancel.”

“Waduh, kenapa pak?”

“Itu,” Seungcheol menunjuk gelas di meja dengan dagunya. “Ada lagi?”

“Kopi?” Balasnya, sebelum akhirnya mengerti kode yang diberikan si bapak. Kedua jempolnya diangkat ke atas dengan mantap. “Siap.”

Skenario ini gak pernah ada di kepalanya sebelumnya; ngopi bareng seorang Choi Seungcheol, di kantor yang udah sepenuhnya sepi. Biasanya dia menghadap si bapak kalau lagi di ambang hidup dan mati aja, dan Mingyu rada jiper juga secara ini orang yang nanti akan menentukan nasib permagangannya (setelah Wonwoo).

“Tadi tuh gue udah hampir mau jalan Gyu, masuk pesawat.”

“Oh iya pak, terus?”

Disclaimer dulu ini gue sejujurnya lagi ribut kecil sama pacar gue, makanya mau berangkat firasat rada gimana gitu.”

“Ribut kenapa pak kalau boleh tau?”

“Gitu lah, gue skip lagi acara keluarganya. Tapi yang bikin gue pusing tuh dia gak marah. Padahal kalau dimarahin gue malah akan jadi agak lebih plong berangkatnya.”

Dirinya terkekeh. “Paham, paham.”

“Susah sih, ngimbanginnya.”

“Agak lain ya pak, saya sebagai kacung kampret mah mau pake banget tukeran gaji sama bapak.”

“Tukeran tanggung jawab juga gak?”

“Nah kalau itu pikir-pikir dulu.”

Gantian bosnya yang tertawa. “Kecelakaan tuh, Jeonghan.”

“Hah?” Mingyu melongo.

“Itu kalau gue masuk ke pesawat terus take off, bener-bener gak ada harapan buat balik lagi.”

“Jadi taunya pas banget lagi jalan ke pesawat?”

“Iya. Terus disitu gue mikir, kaki gue nih maunya melangkah kemana. Yang tanpa sadar setara sama simulasi ketakutan gue selama ini; kalau dia bener-bener minta dilepas karena capek nunggu, gue bakalan baik-baik aja gak ya tanpa dia?”

“Terus bapak sekarang ada disini.”

Pria di depannya mendengus. Wajahnya terlihat lelah, beberapa helai rambutnya mencuat kemana-mana. “Dompet dia ketinggalan di kantor, gue nawarin buat ngambil. Sekalian nyuri-nyuri waktu buat mikir juga.”

“Bentar pak, gak ngerti saya.” Mingyu menahan Seungcheol untuk tak berbicara lebih lanjut. “Ini jadi bapak udah milih apa belom? Kenapa butuh waktu? Kenapa masih galau bener gue liat-liat?”

Yang ditanya hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh. “Gue milih Jeonghan, lah. Karena selama ini ternyata konflik batin gue cuma kejadian di kepala, cuma buat nakut-nakutin aja. Dan ternyata itu gue sendiri yang bikin jadi masalah. Problematikanya gak pernah bener-bener ada. Semuanya, cuma what if semata. Dan gue galau karena gue merasa tolol aja. Butuh waktu untuk gue nerima kenyataan bahwa gue salah, dan gue harus menyalahkan diri gue atas itu. Ego dan gengsi gue masih terlalu tinggi.”

Butuh waktu untuk gue nerima kenyataan bahwa gue salah, dan gue harus menyalahkan diri gue atas itu. Ego dan gengsi gue masih terlalu tinggi.

Mingyu pikir daripada belati, yang tadi itu lebih menusuk sakit tepat ke ulu hatinya.

“Jadi gimana, buat presentasi?”

Alis Choi Seungcheol yang naik dan turun itu malah membuat lututnya melemas sempurna karena gugup. “Gitu dah pak.”

Question udah oke semua?”

“Ini kalo boleh jujur dari kemaren konsep saya cuma bismillah atas izin Allah dan restu mama papa aja sih.”

Bosnya puas terbahak. “Coba lah, dicrosscheck lagi.”

“Sebenernya gue ada beberapa pertanyaan yang belom kejawab sih, belom nemu mau nanya ke siapa.”

Ekspresi yang ada di wajah Seungcheol sekarang agaknya rada unik. Terkadang, Mingyu bagaikan dapat berkaca disana. Atau memang sebagian besar mereka itu agaknya mirip, dan lagi-lagi mengakuinya adalah bagian yang tersulit.

“Mungkin sebenernya lo tau harus tanya ke siapa, Nge…” Matanya otomatis membulat ketika si bapak tiba-tiba melontarkan panggilan tersebut. Bibirnya tersungging lebar, seraya dengan telapak tangan Seungcheol yang jatuh pada bahunya. Lalu kalimatnya yang barusan menggantung ditutup rapi dengan, “…tapi mungkin lo masih ragu aja buat nanya ke orang yang tepat ini.”

Butuh waktu untuk gue nerima kenyataan bahwa gue salah, dan gue harus menyalahkan diri gue atas itu. Ego dan gengsi gue masih terlalu tinggi.

“KAK SUMPAH, lama banget lo ngambil—Nge? Eh, sori, Mingyu…”

“Nih.” Seungcheol mengangkat tinggi-tinggi dan menggoyangkan dompet Jeonghan yang ada di genggamannya. “Udah.”

Namun segala konfirmasi itu sama sekali tak menarik bagi Wonwoo. Netranya, hanya sempat berbinar-binar memandang ke arah si anak magang. “Mingyu ngapain disini?”

“Gapapa sih kak, ngelarin kerjaan dong.”

“Ooh…”

“Iya.”

“Oke.”

Seungcheol berusaha berdiri dari tempatnya dengan sepelan mungkin, dengan kedua tangannya yang kini terangkat ke atas seakan polisi tengah menodongnya dengan pistol.

“Gue tunggu di mobil, guys.” Ucap si bapak seraya mengulum senyum.

“Buat presentasi hari Senin?”

“Iya.”

“Nanti aja, besok kan weekend.”

“Nanggung sih kak, dikit lagi. Males juga bawa-bawa kerjaan ke rumah.”

“Oh, yaudah terserah.”

“Oke.”

“Oke.”

“Sebenernya, gue butuh bantuan buat crosscheck salah satu pertanyaanya.”

“Oke…?”

“Boleh minta tolong bantu jawab?”

Mingyu tak terbiasa dengan Wonwoo yang seserius ini. Wonwoonya, yang dagunya selalu bertengger di bahunya acap kali mereka bermotor. Yang celotehnya masuk tepat di telinga. Yang permohonan manjanya membuat seluruh kupu-kupu di perutnya riuh berdansa.

Wonwoo yang ini, adalah murni kakak mentornya.

Fine.” Si dia mendudukan dirinya di bangku yang tadi Seungcheol sempat duduki. Dagunya digoyangkan santai, dan sorot matanya penuh penjagaan. “Ask away.

“Seriusan gapapa?”

Yang ditanya merapatkan bibirnya, dan atmosfer mencekam itu membuatnya mual. “Tinggal ditanya aja, Mingyu.”

“Oke.” Napasnya ditarik pelan-pelan, dalam-dalam. “Do you… do you believe in second chance?

Yang ditanya tak serta-merta menjawab. Dibanding itu, dia lebih sibuk mematrikan pandangannya kepada Mingyu, menguliti sang bocah tanpa niat mengatakan apa-apa.

“Telat, Mingyu.”

“…Gimana, kak?”

Second chance itu, hasil dari orang-orang yang selalu telat. Karena dari awal udah telat, mereka gak boleh cepet-cepet balik. Harus ada yang dibenahin dulu dari penyebab ketelatannya itu. Supaya gak buang-buang waktu. Supaya gak jadi kesalahan yang sama.”

“Ah…” Angguknya. “I see.

“Kenapa lo kabur?”

“Hah?”

“Kenapa lo selalu kabur… kenapa lo lari-lari.”

Dalam seumur hidupnya, Mingyu tidak pernah tahu menelan rasanya bisa sesusah ini.

“Karena gak punya jawaban. Kayak… lebih gampang, daripada jawab engga. Karena sejujurnya gue gak mau bilang engga. Kalau jawabannya engga, berarti semua selesai.”

“Lo… jahat banget, tau gak?”

“Iya kak.”

“Gue bukan orang masokis yang akan bertahan pada situasi kayak gitu. Gue cengeng Nge, dan lo tau itu.”

“Iya…”

Dan hening.

“Gue harus—“ Wonwoo buru-buru berdiri dari kursinya. “—rumah sakit. Kak Jeonghan tangannya patah.”

“O—“ Mingyu pun, ikut bangkit dengan kikuk. “—Oke.”

“Oke, duluan ya.”

“Kak Cing.”

Yang dipanggil mematung secara instan. Nama itu terlalu mengandung banyak sihir, banyak mantra, banyak dongeng, untuknya bisa sekedar lupakan. Nama itu akan selalu membuatnya istirahat di tempat, walaupun itu artinya mengorbankan harga diri.

Namun mungkin batasannya hanya sampai disitu. Namun mungkin Jeon Wonwoo memberikan teka-teki tentang kesempatan keduanya lewat kaki yang dipaksa memaku ke lantai bumi untuk sekedar meladeni seorang Kim Mingyu.

Bonge nya untuk waktu yang begitu singkat.

“Iya, Nge…”

Ada tangan-tangan tak kasat mata yang kini meremas dadanya. “Nanti, kapan-kapan, kalau semuanya udah dibenahin… boleh? Mungkin—mungkin gak disini. Mungkin status gue juga udah bukan mahasiswa lagi. Mungkin sewktu R&J udah lebih besar. Mungkin lewat temen yang mungkin saling kenal. Mungkin juga bisa lewat dating apps.

Dengan air mata yang berkumpul di kelopak dan keras kepala enggan turun itu, Wonwoo mengangguk. Penglihatannya buram, namun mungkin itu opsi terbaik yang saat ini dipunyainya. Melihat Mingyu berpresensi dengan begitu nyata, hanya akan membuat prosesnya semakin sulit.

Dan bibirnya itu untuk saat ini hanya mampu berkata, “Mungkin juga bisa lewat dating apps.”

“Dan kalau itu kejadian, gue akan tanya setiap harinya sama lo: jantungnya udah deg-degan belom gara-gara Nge?

Bulir air mata itu kini resmi turun. “I’ll be looking forward to it.

“Oke, kak Cing.”

“Oke, Bonge… Farewell.

Farewell.