through thick & thin.

— pov: Migu.
— words count: 8k.
— a work of commission.
— 🔞 for profanity & mild sexual content.
in affiliation with | Renjana
mandatory read:
1: The Retirement Of You
2: Baby Steps
3: Rainbow Steps
4: All That Jazz

Vengeance, the worst of it all.

I never actually scared of death. Buat gue kematian itu ya... cuma kematian. Mereka gak jahat, gak juga berlaku tidak adil.

Tapi waktu jaman gue SMA dulu ada satu rumor aneh yang skalanya hampir mencangkup seluruh dunia: katanya, kiamat akan jatuh pada tahun 2012. Bukan pertama kali internet dampaknya bisa sampai mempergaduh teori asal yang entah muncul dari mana, tapi lucunya yang kali ini berhasil membuat sebagian orang yang gue kenal menjadi was-was dan kocar-kacir.

Gak cuma sampai di situ, salah satu production house Hollywood ternyata berhasil mengambil kesempatan lewat ciptaan filmnya dengan tema dan judul yang sama. Gue sempat nonton sekali bareng anak-anak kelas sepulang sekolah. Intensinya iseng aja karena kita juga gak tau mau pada nongkrong dimana, tapi yang jelas film itu sempat menyedot perhatian teman-teman gue sampai sekitar sebulan kedepan.

Movie aftermath jujur gue gak pernah merasa film itu punya dampak yang gimana-gimana buat diri gue sendiri, tapi sedikit banyak berhasil bikin gue sadar kalau gue gak pernah takut mati. Dari film itu gue belajar, kalau kita cukup gak perlu punya apa-apa di dunia untuk gak merasa terbebani jika sewaktu-waktu terpaksa harus meninggalkan nya. Dan kiamat sekali pun gak akan menjadi semenakutkan itu.

Film tersebut sebenarnya bukan satu-satunya hal yang menyadarkan gue kalau kehidupan duniawi itu rumit. Aturannya memang semakin banyak kita mengambil peran dan porsi, semakin besar pula tanggung jawabnya. Dan dampak paling jenaka dari itu semua, adalah membuat hal senikmat ngewe bahkan udah gak mampu lagi menyelamatkan seseorang dari pikirannya yang bercabang.

Gue seorang talent yang profesional. Dan jika profesi gue adalah membawa seseorang untuk melupakan sejenak urusan duniawi lewat jalur seksualitas, maka yang akan gue lakukan hanya sekedar itu. Gue gak peduli mereka yang sebenarnya adalah siapa, bahkan punya pengaruh apa. Maka ketika gue yang sudah sepenuhnya siap tidak diperkenankan untuk melakukan perkerjaan yang semestinya, disitu lah gue tahu bahwa seks gak selalu bisa menjadi problem solver.

What do you want me to do, adalah hal yang sewaktu itu gue utarakan. Apakah dia mau gue peluk, gue cium, gue sentuh di bagian tertentu, gue puaskan di salah satu titik sensitif, apa pun. Dan usaha kami yang sudah jauh-jauh bersembunyi di kamar hotel itu, hanya berakhir dengan dia minta ditemani dan didengarkan.

“Kamu pernah menyesal, Mingyu?”

“Apa yang perlu disesali, tante?”

“Ini. Kehidupan seperti ini.”

“No. Not... exactly.”

“Good for you, i think. I have everything, my family is everything. But sometimes, everythings can be a burden itself.”

Malam itu, tubuh yang tadinya terlanjur tak berbusana akhirnya gue tutup kembali. Malam itu, gue menuangkan wine ke dalam gelas alih-alih di atas kulit manusia. Malam itu, gue memberikan konsolasi lewat telinga yang siaga mendengar. Malam itu, kami hanyalah dua orang asing yang mencoba mentoleransi keluh kesah.

Mungkin itu adalah pemicu keputusan mutlak yang membulatkan tekad gue untuk menancapkan gas sekencang yang gue mampu sebelum meninggalkan seseorang di salah satu titik kilometer tol. Mungkin dari situ akal sehat, realisasi, dan kesimpulan gue berasal. Mungkin dari situ gue akhirnya menyadari bahwa melarikan diri sama artinya dengan menyelamatkan diri dari komitmen yang selama ini gue hindari. Mungkin menjadi tersiksa sepanjang tahun-tahun sebelumnya adalah hukuman atas ketakutan yang gue tak beritahukan pada siapa-siapa.

Gue gak pernah repot-repot membeli rumah. Atau menabung untuk apa pun yang bentuknya investasi masa depan. Atau punya brankas tempat menyimpan surat-surat berharga. Atau melabel seseorang dengan kata sosok terdekat yang presensinya akan selalu gue hargai. Semua karena gue tidak ingin dihantui rasa takut bernama kematian. Semua karena gue harus menjamin tidak akan perlu mengalami rasa kehilangan. Semua karena gue diam-diam adalah pengecut yang ulung.

Jadi pada suatu hari ketika gue memberanikan diri untuk bertanya kamu mau apa kepada Jeon, gue tahu bahwa gue tidak akan bisa lari kemana-mana lagi.

Aku mau... rumah yang terasa seperti rumah, gue ingat dengan sejelas-jelasnya jawabannya kala itu. Kami berdiri di atas tanah kosong dengan ukuran sekian meter persegi, pandangan mata memindai sekitar hanya bermodalkan imajinasi. Jemari gue dan dia saling bertaut, namun kami punya fokusnya masing-masing. Seperti misal, gue sedang memutar dapur khayalan dimana gue nantinya akan dapat mengangkat tubuh si dia ke atas kitchen island dan memberinya lumatan di bibir tepat di pagi hari seraya potongan roti bakar bertengger di meja, dan Jeon bersama visi hangat tentang beberapa jenis interior yang akan terpasang pada ruang tengah masa depan kami.

It’s a fairytale, and it kills all the monsters that live inside my head.

Dia tidak lebih lanjut menjabarkan secara detail apa yang dimaksud dengan rumah yang terasa seperti rumah, tapi mungkin disitu letak tantangannya. Atau mungkin juga adalah salah satu bentuk pembuktian tentang seberapa jauh kami saling mengenal. Jadi masih dengan kami yang berdansa kecil di atas lantai rumah mahoni yang adanya hanya dalam khayalan, gue serta merta mengiyakan dan menyanggupi. Gue akan menjadikan rumah impiannya menjadi nyata.

Which is kind of a funny scenario, karena gue belum dan tidak pernah seberkomitmen ini sebelumnya. Dan untuk pertama kalinya, gue takut akan kematian.

Sekitar dua bulan yang lalu gue baru aja resign dari kantor yang ironisnya dulu mempertemukan gue dengan Wonwoo dan Jeon secara bersamaan walaupun dalam rentang waktu yang berbeda. Alasannya karena for good aja sih, gue cuma merasa in a desperately need for new environment. Jadi sambil cari-cari kerja dan joinan beberapa projek bareng Minghao, gue akhir-akhir ini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah yang saat ini progressnya baru sampai tembok semen. Kadang sendirian, kadang gue disana sampai Jeon datang sepulang kerja.

“Wow.” That’s him, walking closer to me with a box of Pizza in hand. Suara manusia pertama yang gue dengar setelah berjam-jam ditemani hanya oleh keheningan. “Itu yang kamu kerjain dari pagi?”

“Yep.” Gue merangkul Jeon di bagian lekuk pinggang, menarik si dia mendekat sebelum melayangkan kecup singkat di bagian pelipis. “It’s not much, dan kayaknya nanti juga akan ketutupan sama beberapa furniture. But i don’t know, i just feel like muraling.

Kalau ada yang gue pelajari dari kepindahan ke Jakarta yang membuat gue bisa lebih sering bertemu Minghao, adalah dia yang banyak melibatkan gue dalam beberapa sesi workshop lukisannya. Few chances into the meeting and now i’m a Picasso myself.

Looking good, Mr. Painter.” Jeon melemparkan sumringahnya kepada gue, lalu melirik overall denim yang hari ini gue kenakan. “You even dressed like one!

“Ha-ha, very funny.

“Saran aku mungkin kamu bisa gambar juga muralnya di sisi lain? Yang gak akan terlalu ketutupan perabotan, maksudku.”

“Boleh, that can be done. Bayarannya apa nih? Coldplay yang di SG kali ya?”

“Bayarannya ini.” Jeon menangkup kedua sisi wajah gue dengan telapak tangan dan mengecup pipi sebanyak lima kali masing-masing. “Kan kamu tahu aku kurang suka yang fomo gitu... Mainstream thingy are less meaningful. Lebih mending nemenin kamu ngelukis.”

Gerlingan mata yang baru gue lakukan dibarengi dengan gue yang semakin erat membawanya ke pelukan. “How’s your day, Pumpkin?

Jawaban dari pertanyaan barusan gak langsung keluar dari bibirnya. Dia masih sempat mengayun kakinya kecil dan bergelendot di lengan gue, sebelum balik mempertanyakan, “Kamu tahu hal ternyebelin dari kamu yang resign dari kantor gak?”

Gue juga pada saat itu gak spontan menjawab. Detik pertama gue pergunakan untuk mengecup puncak kepalanya, lalu mengangkat dagunya, lalu menatap matanya, “Apa?”

“Tiap hari... tiap hari tuh jadi gak ada cenat-cenutnya. Ya hampir semua anak-anak departemen juga udah tau sih kita pacaran, tapi kantor kan tetap kantor. Aku dan kamu sama-sama sadar apa itu profesionalitas, so we behaved. Tapi excitmentnya jadi disitu: because we are behaving. The idea of papasan sama kamu di lift, lirik-lirikan pas lagi meeting, janjian makan siang bareng, itu ngebuat aku jadi semangat ngantornya. Jadi pengen cepet-cepet besok lagi, jadi...”

“...Jadi bisa ngayal skenario romantis pas lagi bosan sama kerjaan?”

Tebakan gue bener, dan bukti dari fakta tersebut adalah keningnya yang otomatis berkerut. “It’s worth living, you know?

I know.” Pelipis itu gue kecup kembali. “Just like this house.

Just like how the extra space next to me belongs to you.

“Minghao cerita ke Junhui which is pasti dia cerita lagi ke aku, katanya kamu sempet coba natoin customer di tattoo studio temen kamu itu.”

Gue mendengus geli sambil menarik si dia untuk duduk bersilah di lantai. Kotak Pizza itu akhirnya terbuka, dan gue memberikan satu potong untuk Jeon dan satu untuk gue sendiri. “Cuma iseng coba-coba aja.”

Well i like that you tried. Aku gak mau kamu cuma stuck mikirin apply kerjaan atau semacamnya. I want you to take your time.

I am taking my time. See? Mukaku udah cemong gini seharian ngecat.”

Jeon menjulurkan lidahnya dengan usil, namun ibu jarinya mengusap noda di pipi gue dengan perlahan. Senyum sendunya perlahan demi perlahan bermunculan. “Thank you... for taking so much consideration into the house.

Of course i took it seriously. I’m crafting your dreams.

Our dreams.

Gue gak tahu kenapa gue harus sampai terdiam beberapa saat. Mungkin alasan utamanya karena gue gak sampai hati untuk merevisi kalimat tadi, mungkin karena menjadi optimis gak pernah adalah bidang gue, atau mungkin karena gue malu. Gue malu untuk mengakui bahwa Jeon, rumah ini, dan semua mimpi-mimpi kami, adalah hal yang dulunya begitu gue benci dan hindari mati-matian.

Yeah... our dreams.” Gue membeo dalam bisik bersama sebuah senyum reasurasi. The saliva tasted bitter than ever.

I’ll see you tomorrow at birthday party mami?

Alright. See you, Pumpkin.

My head is one hell of a ride, and yet another scary thing awaits.

***

Selain tidak pernah menaruh rasa takut pada kematian, gue juga gak pernah takut dengan rasa cemburu. I’ve never been someone’s official to be jealous in the first place, and eventhough i’m a lust substitute they’re gonna simping over me more anyway. And i like the feeling of it. Gue suka bermain-main dengan hasrat manusia, dan gue senang dikejar daripada mengejar.

But if i were to learn one or two things about jealousy, it runs just like a bad disease. And it’s totally a new experience for me. And i do bad at self convincing. Terutama karena sebelumnya masalahnya gak pernah ada pada gue. Tapi kali ini iya. Dan itu juga yang menjadi inti permasalahannya: rasa cemburu ini, gak pernah Jeon yang menciptakan. Semua hanya ada di dalam kepala, berkembang biak dan menggerogoti sampai gue gak punya pilihan selain melupakan jati diri.

Perayaan ulang tahun maminya Jeon bukan perayaan yang gimana-gimana. Bentuknya cuma kumpul keluarga dan makan-makan biasa, dan puncak agenda hari itu adalah buka kado. Harusnya begitu, sampai akhirnya beberapa hari yang lalu gue mendapat kabar kalau salah satu sahabat si tante akan ikut datang bersama anaknya yang kebetulan dapat dapat jatah libur di Jakarta. Yang kebetulan juga kenal sama Jeon.

Yang ternyata bukan sekedar kenal, but they’re kind of bondedly close dari sewaktu masih sama-sama kuliah di Columbia University.

Changkyun is... well, he’s quite a package if i’m being honest. He’s a family man but not the old school or boring kind of way, malahan he’s actually pretty cool and stuff. Kalian bisa percaya karena gue udah banyak bertemu segala jenis manusia dan kepribadiannya, hal itu secara gak langsung membuat gue mahir dalam mengobservasi. And this guy... means no harm.

He’s just easy going on his own way, knowledgeable, established, not to mention fit and handsome, knows Jeon and his family by heart, and he’s a saint. Oh trust me, he is.

Tipe laki-laki yang punya mindset kuat di kepala tentang sakralnya pernikahan, and sex before marriage is just as bad as betraying God and the whole squad of holy spirit. Changkyun jelas gak akan memperkenalkan diri dengan cara itu. Dia juga gak memvisualisasikan teori tadi kepada gue secara terang-terangan. It’s all happening inside my head, but the truth hurts is always pretty much there.

Mungkin itu alasan paling masuk akal mengapa gue hari ini punya self esteem yang lebih rendah dari beberapa bulan belakangan. Mungkin melihat Changkyun berbaur dengan semua anggota keluarga Jeon seakan dia memang sudah ada disini sepanjang hidupnya membuat gue diam-diam mempertimbangkan apakah aksi gue dalam mengusahakan kami memang berada pada titik maksimalnya.

But the worst of all, the fucking worst of it all, Im Changkyun is reminding me that if Jeon deserves every healthy romance fantasy of him to become true, then it’s definitely not with me.

“Migu selama Changkyun di Jakarta ajak main dong nih, siapa tahu bisa ditawarin ke temennya yang sama-sama lagi jomblo.”

Gue tertawa sewaktu ibunya Changkyun membuka pembicaraan dengan basa-basi. Ibu yang sangat terlihat mengutamakan keluarga di atas segalanya, yang kemungkinan besar akan mengeluh jika anak-anaknya jajan fast food alih-alih memakan masakan beliau. This might sound petty, but for once i’m actually dying to know what it feels like to have such a caring and warm family like that.

“Boleh aja sih tante kalau Changkyun mau. Tapi saya gak janji ya, nanti kan balik lagi nih usaha mancingnya gimana kalau udah ketemu.”

“Haduh, dia tuh.” Tangan si tante mengusap-usap lutut anaknya. Changkyun di sebelah, menjadi defensif dengan menutup mata erat-erat serta gelengan kepala. “Susah Gu dia anaknya. Terlalu teknis. Yang namanya PDKT kan dibuat natural aja ya, tapi anak tante tuh gak bisa basa-basi dan ambil hati orang. Jadi gak keliatan gitu, maksudnya lagi ngedeketin. Ujung-ujungnya ditinggal duluan sebelum maju. Lama.”

Is that...

Gue melirik Jeon di meja makan, yang gak melirik balik karena fokusnya pada kue ulang tahun yang sedang ia potong dan bagikan di atas masing-masing piring.

“Kenapa wordingnya jelek banget sih bu, ditawarin... Memangnya Changkyun belajaan ibu di Thamrin City?”

Sang ibu tak menggubris protes barusan. “Dulu nih Changkyun sama Jeon, berdua sama-sama payah. Kerjaanya kalau gak di perpustakaan seharian ya ngumpet di kamar. Yang satu nonton series, yang satu bikin aransemen musik. Untung aja cuma hobi, terlalu malu dia kalau disuruh nyanyi di depan orang banyak.”

Introvert ya, kayak Jeon.” Pancing gue, entah tujuannya apa.

“Ya makanya, cocok deh si duo culun. Duo pemalu. Jarang punya pacar jadinya. Makanya waktu maminya Jeon cerita udah ada Migu, tante bercandain terus Changkyun dan bilang nanti ditinggal Jeon nikah duluan. Eh, tetep aja tuh keras kepala. Dibilang katanya kerjaanya lagi banyak, gak sempet mikirin pacaran.”

“Beneran lagi banyak, bu...” Rengekan sang anak lebih terdengar lelah alih-alih memohon. Gue rasa ini bukan pertama kalinya Changkyun dipojokan pada situasi yang sama, jadi seengaknya dia udah paham gimana cara untuk mengatasi sang ibu.

“Iya ibu paham, tapi kan...”

Gue memberikan jarak untuk sang ibu dan anak saling beradu argumen dengan kembali melirik dia di kursi meja makan. Kali ini Jeon berhasil menangkap pandangannya, dan ada sunggingan manis yang dilempar balik kepada gue setelahnya.

Jeon is a hopelessly romantic kind of person. Hal yang menurut gue wajar, bisa aja dikategorikan oleh dia sebagai sebuah tindakan yang salah satu dampaknya adalah menyebabkan salah tingkah. Mungkin Jeon gak tahu kalau gue tahu, tapi banyak dari konversasinya bersama Junhui yang isinya adalah seputaran Serius Ju... Gue tuh udah kayak, gak enak banget sama dia gara-gara ngilangin karcis parkir. Tapi lo tau gak sih Ju, dia ngebahas aja engga. Malah waktu ngobrol sama petugas parkirnya pas bayar denda di loket dia cuma ketawa-tawa aja habis itu nanya gue lagi kepengen makan apa sambil ngecupin jari gue satu persatu. Sumpah gue baper banget... yang hanya bisa membuat gue mendengus keheranan, karena kalau semua klien gue mendeklarasikan perlakukan gue kepada mereka dengan sebutan heartflutering, the industry would be doomed.

But that’s the thing about Jeon. Kayak, hal-hal yang secara gak sadar dia ajarkan atau perkenalkan kepada gue sebetulnya klise dan kekanak-kanakan, but i surprisingly liked it. Siapa yang lagian bisa sangka, kalau seorang Migu akan berusaha menahan senyuman hanya karena tangan gue dan dia gak sengaja bersentuhan sewaktu berjalan dari lobi ke parkiran. And those hours i spent reading Nicholas Sparks novel dan mencoba untuk gak ketiduran di tengah-tengahnya. Or trying to understand the appeal from A Little Thing Called Love plot twist.

It’s the fantasy i will never be able to live up to. And it’s killing me, because Jeon might get one if i can just step out of his way.

Pun menghabiskan banyak waktu untuk mendambakan hal-hal romansa, Jeon is also bad at it. Just as bad as Changkyun, and the way they didn’t even realized that they’re perfectly fits to each other. Jeon mungkin gak akan sadar kalau yang selama ini dia cari sebenarnya ada di depan mata dari bagaimana gue mencuri dengar cerita-cerita mereka semasa kuliah, dan Jeon juga mungkin gak akan sadar kalau alasan satu-satunya mengapa Changkyun terlihat gak punya intensi lebih dari berteman adalah karena gak pernah ada dari mereka yang benar-benar memulai.

It’s a cliche trop, but it’s something special. And it makes me jealous.

Karena gue gak pernah merasakan cemburu terhadap Changkyun karena dia bisa aja ngerebut Jeon dari gue, tapi gue cemburu karena segala aspek positif yang ada di dalam diri dia bukanlah kepunyaan gue.

Gue berhasil bertahan untuk gak terlihat seperti laki-laki payah yang isi pikirannya penuh dengan sampah dan hal-hal pesimistis lainnya di depan keluarga Jeon. I’m mastering this art of poker face anyway, and it’s been saving me for almost my whole life. Namun ternyata, keberhasilan itu masih harus diuji pada saat-saat terakhir nya karena apa artinya hidup tanpa tantangan dan rintangan, kan?

“Eh before go home aku mau take a picture sama kamu dulu ya. Atau bareng-bareng aja sekalian. Yuk, yuk.” That’s Jeon’s mom announcing, mulai berdiri dari sofa dan menarik kami satu persatu untuk berdiri, mempersiapkan handphonenya pada mode kamera, dan mencari sudut paling bagus di antara sisi rumahnya.

And then here comes the confusion. Sebuah kebingungan yang gue tahu arahnya kemana, dan bentuknya lagi-lagi klise. Dan entah mengapa autopilot membawa gue kepada sisi pasrah dan menerima.

“Migu, can you help us to take the picture, dear?

Dalam keadaan yang sepenuhnya normal, situasi ini hanya hal biasa dimana gue tinggal mengatakan siap, memencet tombolnya, dan lalu mengembalikan handphone kepada sang empunya. Namun sayangnya gue masih harus melalui proses yang lebih panjang dari pada itu, dimulai dari ragu. Pun setelah gadget itu kini berada di dalam genggaman keadaan gue masih sepenuhnya linglung. Alasan pertama karena gue tengah diserang oleh perasaan iri. Gue rasa Jeon tahu, kesimpulan itu sedikit gue tarik setelah netra kami saling mengunci, wajahnya seketika berubah sendu, dan nyeri di dada yang tiba-tiba menggerogoti.

But then i looked at them all. Gue mencuri pandang pada keluarga yang ada di depan gue dengan seksama; Jeon bersama kedua orang tua dan kakak yang begitu disayanginya, Changkyun bersama ibu dan ayahnya, lalu ada gue—Migu si sebatang kara, yang ketika ditawari mama sama papa kamu boleh banget dateng lho Gu, harusnya datang malah. I would love to berakhir dengan sengaja untuk tidak menyampaikan sang undangan sama sekali hanya karena dia selalu tahu kekacauan macam apa yang akan terjadi ketika menaruh kedua orang tuanya pada sebuah situasi dan kondisi fungsional.

Jadi kembali pada gambaran kesempurnaan yang ada di depan sana, for the first time ever i feel like i didn’t belong here.

And i’m keeping the raging jealousy inside of me and only to myself, until it kills me slowly.

***

Let me tell you a little bit of secret: Changkyun bukan orang pertama yang membuat gue sadar kalau di dalam menjalin sebuah hubungan, ada usaha besar untuk mempertahankan. Ya oke gue dan Jeon mungkin bisa aja memproklamirkan kepada dunia kalau kita cinta mati, tapi masalah gak cuma akan datang dari perasaan satu sama lain yang diuji. But again, it’s all completely new to me. Gue belum pernah harus repot-repot mikirin dimana tempat paling baik untuk bisa memposisikan diri supaya hubungan ini bisa sampai di kesepakatan langgeng.

It’s kind of embarrassing to admit, tapi ada waktu dimana gue dulu begitu percaya diri kalau gue akan selalu menang dibandingkan Seungcheol. I knew by heart Wonwoo will always choose me over him no matter what it takes, tapi sayangnya masalah yang gue dan Wonwoo hadapi gak pernah tertitik berat pada sang pilot. We were just a flight risk to each other.

On the other side, Jeon had a few of his friends simping over him with a normal amount. Setiap dia posting makanan ada aja yang akan basa-basi tanya wah, enak tuh kelihatannya. pedes banget gak sih? Atau kalau dia lembur sampai malam dan update pemandangan gedung pencakar langit ibu kota balesannya akan langsung loh kantor lo disini juga? Sama dong! Kapan-akan pulang bareng bisa kali hahaha.

Tanggapan Jeon ke mereka ya aslinya gak gimana-gimana. Tetap berusaha friendly dan no harmful, terus habis itu merekanya juga gak maksa. Gue? Ya gak gimana-gimana juga. Gak bertingkah posesif ngga jelas, atau memantau DM Instagramnya seakan gue satpam, atau melarang dia main sama teman-temannya. Toh, gue tahu bahwa gue akan selalu menang dibanding mereka. Kalau ada satu pelajaran yang bisa gue ambil dari sana, malahan pandangan gue terhadap Jeon: that he was worth every attention that he gets. And i’ll give him the same. I should give him the same and even more.

But i guess Changkyun is different, karena dia gak pernah punya intensi untuk mendekati Jeon, and that he’s genuinely just some guy.

Mereka banyak menghabiskan waktu berduaan selama semingguan terakhir dalam konsepsi mengenalkan Jakarta Nowadays karena sahabat pacar gue itu udah lama juga gak stay disini. It turned out to be such a happy little go bonding, dan Jeon banyak posting di sosial media hasil berpetualang mereka yang kebanyakan terjadi setelah jam pulang kerja atau di akhir pekan. Dia juga gak pernah absen untuk laporan ke gue perkara hari itu akan kemana dan ngapain aja, dan kita kembali menjadi pasangan yang selalu berada dalam keadaan kepala dingin ketika tengah menghadapi satu sama lain.

Ironisasi yang kemudian gue hadapi datangnya dari Minghao, yang pada suatu hari menginisiasi percakapan dengan mengatakan Wah gak bener lo Gu sembari menaruh tasnya pada salah satu sofa kembali pada tattoo studio milik teman kami.

Jelas sewaktu itu gue refleks bertanya balik, “Kenapa lagi anjir?”

Yang kemudian direspon dengan, “Menuju gila gue dengerin itu anak berdua teleponan tiap malam. Bisa kasih space buat gue ngewe dengan tenang tanpa harus menampung keluh kesah laki lo gak?”

...That’s one way to look at it. “Dia curhat apaan emangnya?”

“Katanya dia bingung, kenapa lo kok kayak kelihatan fine-fine aja padahal akhir-akhir ini kalian jarang bisa ketemu.”

Fun fact: pun belum dalam tahap mahir, gue tahu arti dari setiap clickbait tersembunyi dalam postingan atau laporan yang Jeon paparkan kepada gue. Gue paham betul respon seperti apa yang ingin dia dengar, dan satu-satunya alasan mengapa tujuannya tidak tercapai adalah karena gue sengaja melakukannya. Gue sengaja bersikap seakan jalan-jalan akhir pekan mereka di sepanjang pelataran Blok M tidak mempengaruhi gue dalam skala apapun, dan gue sengaja membuka kesempatan lebih banyak untuk mereka bertemu lagi.

Tapi, apa yang kalian harapkan dari seseorang yang belum pernah merasakan apa itu rasa cemburu sebelumnya?

Puncak dari kekonyolan gue ini akhirnya terjadi pada suatu malam ketika undangan ‘makan-makan’ ditujukan dari Junhui untuk gue, Jeon, dan juga Changkyun di rumahnya. Gue mengiyakan atas dasar janji memperkenalkan Changkyun kepada Minghao yang belum sempat gue tepati, dan Jeon menyetujui karena ide tentang mengumpulkan kami dalam satu ruangan membuat dia begitu kegirangan. It went well, i might say. Kami berempat sudah sering melakukan ini, dan Changkyun selalu pintar dalam mengimbangi.

Ada satu janji yang diam-diam berusaha gue tepati kepada Jeon. Janji itu tak pernah berdasar dari paksaan, namun dari gue yang mencoba memilah dan memilih hal yang dia sukai dan tidak. Salah satu contoh paling mudah mungkin adalah minuman beralkohol. Pun kadar toleransi alkohol gue gak sekecil itu untuk membuat gue mabuk hanya dari beberapa teguk, tapi ide secara general dari mengkonsumsi alkohol itu sendiri yang sama sekali bukan preferensi Jeon.

Bisa dibilang malam ini lagi-lagi gue sengaja melakukan hal-hal bodoh untuk tujuan dan alasan yang entah apa. Jika diantara kalian familiar dengan salah satu adegan pada Harry Potter and the Deathly Hallows, gue adalah pemeran yang mengalungkan Slytherin’s Locket dan tanpa sadar membiarkan kekuatan jahat di dalamnya merubah gue menjadi sosok dengan personaliti yang bahkan gue sendiri tidak kenali.

Jadi bersama gue yang pada malam itu berada dalam keadaan 75% mabuk, sebuah peran dingin kemudian terjadi.

“Gu, kok kamu minum? Nanti nyetir pulangnya gimana...”

Ironis bagaimana bahkan ketika tengah menegur barusan, Jeon sama sekali tak melakukannya dalam nada otoriter. Dia murni khawatir, dan itulah yang semakin membuat gue ingin terjun payung dari atap tertinggi dunia menuju lantai bumi.

“Ih yaudah sih, kalian nginap sini aja... Pulangnya besok pagi.”

“Bukan masalah nginepnya. Jun...”

Sebuah dengusan dan kekehan kemudian gue keluarkan ketika Junhui dan Jeon memulai debatnya. Mungkin hanya gue yang tahu pada saat itu bahwa ini memang sepenuhnya bukan tentang bagaimana kami akan membawa diri agar bisa sampai di rumah dalam keadaan mabuk, ini adalah tentang Jeon dan ketidaknyamanannya dalam melihat gue dalam sebuah situasi yang... mengingatkannya pada Migu yang dulu.

Membiarkan Junhui dan Jeon kembali dalam tawar-menawar argumen, gue melirik Changkyun bersama kaleng soda yang tengah diteguknya. Pria yang malam itu datang dengan jeans, kaos putih polos, leather jacket dan rambut hitam legamnya, kembali membuat gue iri dalam beberapa versi cerita tentang hidupnya. Im Changkyun dengan keluarga harmonisnya, privilege pendidikanya, wajah tampannya, pekerjaan dan prestasinya, visi misi dan prinsipnya, juga tubuhnya yang tidak pernah sembarangan dilempar pada dunia malam atau dia yang hampir bunuh diri hanya karena cinta.

I’m so sick of him. So sick of myself. So sick of everything.

“Gak bisa Jun seriusan, kapan-kapan aja ya... Harus balik gue, besok pagi ada acara. Ngga masalah nanti gue aja yang nyetir terus Migu nginepnya di rumah gue.”

“Kamu mending pulangnya sama Changkyun aja.”

Sama Seungcheol aja ya, Wonwoo?

Kalau ini adalah salah satu sitkom komedi, seisi ruangan yang pada kala itu menoleh kepada gue secara bersamaan mungkin akan menjadi situasi paling ikonik untuk dibumbui dengan efek suara tertawa. Wajah dua sang pemilik rumah yang berubah komikal, Changkyun yang penuh keterkejutan, dan lalu Jeon. Jeon, dengan seluruh kekecewaan yang tergambar nyata di wajahnya.

“Kenapa aku harus pulang sama Changkyun? Kan kesini nya sama kamu.”

“Aku terlihat seperti bisa nganterin kamu pulang gak?”

“Kamu ada mikir gitu gak sebelum mulai minum tadi?”

Sedari awal gue udah bilang bukan, bahwa ini adalah puncak dari segala kekonyolan yang gue ciptakan sendiri semenjak penyakit cemburu sialan itu bermunculan?

Well no i’m sorry. For now kamu bisa minta anterin dia dulu.”

Jeon dan gue sama-sama jarang marah. Setelah gue pikir lagi malahan hampir gak pernah, seengaknya dalam konteks yang menyangkut hubungan kami. Dia bertemu gue ketika gue tengah berada dalam posisi untuk belajar bangkit dalam keterpurukan, dan gue bertemu dia sebagai sosok yang bijak dan dewasa. Untuk seorang Jeon bisa memberikan pandangan yang begitu penuh dengan kebencian, then i must have done some great big deal.

“Aku yang nyetir Migu, it’s okay.

It’s not okay.

And that is Jeon’s last straw. Gue udah pernah bilang bukan, kalau kita sama-sama lebih senang berpikir dengan kepala dingin? Jeon menyadari bahwa situasi ini bukanlah salah satunya dan memutuskan untuk menyudahi dari caranya terdiam, menarik napas, menghembuskannya, berdiri perlahan seraya mengambil tas, sebelum kemudian berjalan perlahan ke arah pintu keluar.

Changkyun understood the assignment immediately. Pun Jeon gak sama sekali mengatakan barang satu kalimat, pria itu tetap menyimpulkan bahwa oke, rasanya malam ini benar-benar dia yang harus mengantar Jeon pulang. Dan gue mendakan inisiatif itu sebagai tusukan bilah pisau tepat di bagian dada walaupun gue adalah penyebab mengapa situasi ini bisa terjadi. Diam-diam gue bersyukur bahwa alkohol yang gue konsumsi berkontribusi dalam mencegah gue untuk berpikir dengan akal sehat. Hal sekonyol ini hanya mampu dilakukan oleh orang bodoh.

Jeon took a last glance at me, though. Kepalanya yang ditolehkan kepada gue itu masih bersama raut kekesalannya, kemarahannya, kebenciannya, yang semua ditujukan kepada gue.

Lalu kemudian sebuah pertanyaan ia layangkan sebelum sepenuhnya pergi: “What the hell is wrong with you?

I was a flight risk with the fear of falling, but i didn’t exactly tell him that out loud.

***

Kalau ditanya apa alasan terkonyol dari penyebab apakah gue pernah menangis di tempat umum, gue pikir kayaknya gue bisa menjawab pertanyaan itu. Buka tipe tangisan di mana gue tersedu-sedu sampai semua orang berakhir menoleh, tapi tangisan ketika bulir air mata yang turun bahkan tanpa suara dan hanya gue yang tahu dari betapa basah pipi itu ketika gue usap dengan sehelai tisu.

Semua berawal dari gue yang pada kala itu kebetulan sedang makan di salah satu kedai Mie Ayam kaki lima sambil menunggu mobil yang dicuci. Ada satu bapak-bapak yang sudah cukup tua terduduk di salah satu meja di depan, posisinya memungkinkan gue untuk melihat beliau yang mengatur handphonenya agar bisa berdiri dan bersandar pada kotak tisu sebelum kemudian wajah seorang wanita yang juga seumuran dengannya muncul di layar.

Harus gue akui pada saat itu gue tidak sengaja dan sengaja mencuri dengar semua hal-hal yang mereka ceritakan kepada satu sama lain. Turns out, pasangan paruh baya itu tengah dipisahkan oleh jarak karena pekerjaan yang memaksa. Mereka membicarakan beberapa hal ringan, memberi kabar tentang bagaimana hari mereka berjalan, saling mengakui kerinduan yang mereka rasakan, semua dengan kesabaran dan senyuman pada wajah masing-masing yang membuat semua orang yang menyaksikan akan tahu seberapa besar kasih sayang yang mereka punya terhadap satu sama lain.

Mungkin gue yang pada saat itu terbawa jauh terlalu emosional. Atau mungkin karena menjadi jatuh cinta dan membuat pasangan kita dapat merasakannya bahkan di umur mereka tak selalu mudah. Atau mungkin karena diam-diam gue sadar bahwa hal yang mereka lakukan adalah sesuatu yang selama ini belum mampu gue lakukan.

Bahwa di dalam hidup ini, sebenarnya kita cuma butuh satu orang untuk diajak ngejalanin semuanya bareng-bareng sampai tua nanti.

Gue gak pernah berhasil dalam hal itu. Dan disaat gue kira gue sudah bertemu dengan orang yang tepat, lalu gue sendiri yang membuat semua menjadi tidak baik-baik saja.

I think i’m a paradox.

Sewaktu mendengar gue yang tiba-tiba ngomong gitu, Minghao cuma memberikan gue respon dalam bentuk dengusan. Mungkin dia udah terlanjur muak juga menghadapi gue yang bukannya mencari closure atas masalah gue sama Jeon, tapi malah gangguin dia yang pagi ini sibuk ganti air karburator di garasi rumah.

“Masih mabok lu?”

“Gue abis lari pagi di GBK, yakali nyetir kesini mabok.”

Well... yang kemarin gue akuin emang pretty fucked up, but you’re not necessarily a paradox.” Minghao menutup kap mobilnya, melepas sarung tangannya, lalu menancapkan netranya untuk memandang gue dengan seksama. “Ibaratnya nih, lo seharusnya bersyukur masih bisa jungkir balik perkara cemburu. Karena artinya cinta lo ya masih utuh ada di hati dan pikiran. Tinggal gimana lo kasih resolusi buat keraguan lo itu. Dan gue rasa minder bukan jawabannya, Gu. Minder itu seharusnya jadi sekedar skill issue lo aja. You know what you have to to do selain talk it out?

What?

The sex, man. Seriously. Gak ada waktu terbaik dari ini untuk ngaku ke Jeon kalau lo cuma cemburu dan bilang ini gak ada hubungannya sama sekali ke sayang lo sama dia atau apa pun itu. You just have to tell him, lo berdua ngobrolin enaknya gimana, and then you do the after-fight sex. Trust me, it’ll be worth it.

Maybe it will, or will not. “Gue boleh tanya sesuatu gak sama lo?”

Minghao menenggak isi botol air mineranya sampai habis tak bersisa sebelum menjawab pertanyaan yang gue ajukan dengan anggukan, tanda mempersilakan.

“Menurut lo... apa gue terlihat seperti barang bekas?”

Minghao bukan seorang teman yang baru mengenal gue minggu kemarin. Dia ada disana dan menyaksikan segala kisah jatuh bangun gue, dan mengerti posisi gue lebih dari siapapun. Gue gak harus repot-repot menjabarkan secara rinci maksud dari pertanyaan tadi dan dia tetap akan mengerti. Karena gue Migu. Dan gue punya masa lalu yang gak kebanyakan orang punya. I am a paradox.

Compared to siapa? Changkyun?” Minghao menertawakan gue seakan-akan gue adalah bocah yang butuh dibimbing, dan sejumput rasa malu mulai bermunculan di dada.

Maybe? I don’t know.

“Gu.” Ada satu telapak tangan yang tengah diremaskan pada bahu gue saat ini. Minghao membiarkannya menetap di sana hingga kalimat yang ia ucapkan tuntas terutarakan. “Lo mau tau gak kenapa gue bisa langgeng sama Junhui, atau gue yang gak punya concern yang sama kayak lo despite gue juga bukan orang yang suci?”

Gue menggeleng, Minghao melanjutkan.

“Gue kasih dia cinta yang lebih besar dari yang Junhui kasih buat gue, Gu. Itu cara gue mengkonpensasi ketidaksempurnaan gue: dengan menyayangi dia kayak gak akan ada lagi hari esok. Lo punya hak untuk mendeklarasikan kepemilikan lo atas Jeon, dan itu salah satu hal yang lo bisa lakuin dan Changkyun engga. Embrace it.

The talk with Minghao knocked some sense out of me, fortunately. Walaupun gue masih gak tau harus mulai dari mana, tapi seengaknya hari itu gue ada inisiatif untuk memulai. Mungkin ketika berhadapan dengan Jeon hal pertama harus gue lakukan setelah semua kekonyolan kemarin adalah bersujud. Atau meminta ampun. Atau menangis seperti pria payah. Apa pun itu, langkah awal yang gue lakukan akhirnya adalah mengirimkan sebuah pesan di mana gue berani mengungkapkan bahwa gue merasakan rindu. I yearned for him.

Satu minggu. Jarak terlama gue dan dia tak berkomunikasi sejauh ini, bisa dibilang. Walaupun pada dasarnya kami bukan remaja yang harus tahu kegiatan masing-masing dalam kurun 24 jam, namun ini pertama kalinya gue bahkan kehilangan arah tentang kabar dan keberadaan Jeon. Jadi jika memang  bahkan dia pun gak ada niatan untuk membalas pesan yang gue kirim enam jam lalu, mungkin gue hanya akan tidur agar kepala yang berisik ini setidaknya bisa berhenti untuk sementara waktu.

Gue sedang terduduk di meja makan bersama beberapa potong kentang goreng dan laptop yang tengah menayangkan Love Island season ketiga saat mendengar bunyi pintu apartemen dibuka. Jelas gue tahu itu Jeon. Tidak akan ada lagi seseorang yang bisa membuka kode pintu tanpa gue harus membantu, dan jelas gue tahu itu Jeon dari dia yang berjalan masuk ke dapur dan menaruh beberapa stok makanan ke dalam lemari pendingin layaknya rumah sendiri.

Bisa dibilang gue tidak benar-benar tahu harus menyapanya dengan cara atau kalimat seperti apa. Lagi-lagi gue hanya melirik si dia yang melakukan hal ini dan itu di dalam apartmen gue tanpa mengatakan sepatah katapun, dan gue yang berpura-pura terfokus pada acara yang tengah gue tonton walaupun isi kepala dan dengung di telinga gue terlalu berisik untuk mampu melakukan itu.

Jeon keluar dari kamar mandi bersama rambutnya yang setengah basah dan kaos gue yang terlalu besar di tubuhnya. Panjangnya hingga bagian paha, namun gue tahu hanya ada boxer yang ia kenakan dibaliknya. Dia kemudian mendekat, memutar tubuh gue agar dia bisa masuk dan berdiri di antara kedua kaki gue, menyandarkan kepala gue tepat di dadanya, dan menjatuhkan pipinya di puncak kepala gue seraya memeluk dengan seerat-eratnya.

My sex experience is always loud. At least loud means i give them a good bangs, and i needed that kind of review to tell the world that i’m expertise at my job. Yang gue tidak pernah tahu adalah apakah lenguhan dan desahan yang mereka lontarkan berdasar pada kejujuran, atau mereka hanya sekedar orang-orang disfungsi yang mencari pelarian untuk berteriak lewat jalur klimaks, atau ego gue yang sedang diberi makan. Apa pun jawabannya, i just knew the sex wasn’t real. It’s good, but it wasn’t real.

I didn’t know how to get involved in real sex until Jeon because he never lets out a sound, he just makes me feel it.

Seperti saat ini misalnya, ketika dia yang dengan lembut mengecupi puncak kepala gue terjadi bersamaan dengan gue yang menyisipkan tangan untuk masuk ke dalam kaosnya, menggenggam erat lekuk pinggangnya dan menyentuh kulitnya yang tak terhalang kain. Mata gue pada kala itu terpejam dengan erat. Gue tahu bahwa gue tidak akan jatuh, ada dia disana yang memeluk gue dengan begitu erat.

Setelah terus menerus meraba, ada satu waktu dimana Jeon akhirnya menangkup pipi gue dengan kedua telapak tangannya, membawanya mengadah hingga kini kami dapat saling menembus bola mata satu sama lain. Sendu pada air mukanya belum menghilang, gue masih harus bekerja ekstra keras untuk bagian itu.

Dan pada akhirnya, kata-kata pertama yang Jeon lontarkan kepada gue di malam hari itu adalah, “I miss you too.

He replied to my message.

Gue kemudian melayangkan sebuah kekehan seraya kembali menyembunyikan wajah di depan dadanya. Ada perasaan nyaman ketika punggung gue mulai diusap naik dan turun dengan intensi yang sepenuhnya tulus, dan wangi shampoo kelapa kesukaanya serta kaos yang baru dicuci merasuk perlahan ke dalam penciuman.

You do realize that we just had our first fight, right?

I do.” Jawab gue, bersamaan dengan kaos yang gue singkap ke atas sehingga kini gue dapat layangkan sebuah kecupan tepat pada bagian perutnya; di sisi atas, kanan, kiri, bawah, lalu tengah. Tekanannya hanya akan mampu membuat Jeon merasakan sapuan tipis dari permukaan bibir, namun sentuhan itu mampu membuat dia meremas rambut gue dua kali lebih erat.

The kiss going up and up higher. Dari perut menuju dada, dari dada menuju rahang, dan dari rahang menuju bibir. Kami saling melumat bersama dengan Jeon yang melepaskan kacamata yang tengah gue kenakan dan menaruhnya di meja, kami saling melumat bersama dengan kedua sisi pinggangnya yang gue genggam begitu erat sampai mungkin akan ada bercak merah yang tercetak disana, dan kami saling melumat hingga tak ada lagi oksigen yang tersisa hingga kami terpaksa harus memisahkan diri dari satu sama lain.

I smiled at him. And he smiled at me. Lalu dengan pandangan yang sama sekali tak meninggalkan matanya, gue memindahkan bibir itu pada puting bagian kanannya. Jeon serta merta menghentakan tubuhnya atas nama rasa nikmat. Lidah gue bermain di sana seakan ada pistol yang tengah ditodongkan pada pelipis jika gue berhenti memberi gesekan gigi kecil di sana atau sekedar memutar-mutar lidah agar menciptakan friksi. Dan sebagai gantinya, Jeon harus menopang tubuh dengan lebih keras lewat remasan helai rambut gue di dalam genggamannya.

Gue suka rintihan kecil yang kerap Jeon keluarkan setiap gue melakukan sesuatu pada tubuhnya. Cara dia melafalkannya membuat gue tertawa sarkas ketika mengingat semua hal yang pernah gue tonton melalui porn site, dan menertawakan diri sendiri atas fakta bahwa gue pernah bisa-bisanya dibuat terangsang oleh opera sabun murahan.

Karena ini, tensi seksual yang tengah terjadi di dalam apartmen remang ini, membuat gue seribu kali lebih terbakar dari skenario konyol tentang seks hardcore manapun. Jeon membuat gue sadar bahwa titik terpayah dari si yang katanya mahir dalam urusan ranjang, adalah bisa merasakan desiran darah yang tak karuan hanya perkara intimasi.

Maka ketika lagi-lagi Jeon menjauhkan bibir gue dari putingnya untuk sepenuhnya melepas kaos yang ia kenakan dari tubuh, pandangan gue seketika berubah menjadi abu-abu efek dari giginya yang menggigit bibir dan tangannya yang secepat kilat kembali mencari apa pun dari tubuh gue agar bisa kembali ia genggam. Gue membawanya mendekat, semakin mendekat walaupun sudah tak ada lagi jarak yang bisa kami isi disana, satu tangan meremas bokong dan satu tangan mengusap bibir bawahnya. Jeon memejamkan mata.

I love him so much it hurts this isn’t even funny anymore.

“Kamu bikin aku sedih, Migu.”

“Aku tahu, sayang.”

“Kamu sadar gak seberapa malunya aku tiap Changkyun nanya memang Migu gak ngambek kita pergi bareng? Memang Migu gak mau join sekalian aja? Memang Migu gak ada janjian mau ketemuan juga? Aku cuma bisa senyum aja karena kenyataanya kamu gak kelihatan punya masalah sama sekali dengan itu. Kamu kayak gak peduli aku mau ngapain aja. Alright fine aku bisa jawab kamu bukan tipe orang yang suka mempermasalahkan hal begini to fit our understanding but deep down Migu, i wanted you to. Karena bukannya aku tuh punya kamu ya? Aku mau ditanya habis dari mana, ngapain aja, gak macam-macam kan? But you don't. And do you know how shitty that makes me feel?

Alih-alih menjawab. Gue mulai membubuhkan beberapa kecupan di sepanjang rahangnya. Menilai betapa intens gue melakukannya, bisa dipastikan akan ada bercak merah bertengger di sana keesokan hari. Dari rahang kemudian gue berpindah ke leher. Distraksi ini cukup untuk membuat Jeon memindah konsentrasi dari amarah untuk berpegangan pada lengan atas gue. Kepalanya terlempar ke belakang, dan kemiringan sudut yang kemudian ia tambahkan mempermudah akses eksplorasi gue selanjutnya.

I’m sorry, i know. It’s not you, it’s me.

“Kalau aku melangkah pergi dari kamu atau menutup pintu di depan kamu itu artinya bukan aku mau kamu bener-bener pergi, Migu. Aku mau kamu kejar aku, tahan aku, tunggu sampai aku buka pintunya lagi buat kamu. It should be that simple. Kita berantem, tapi sehabis itu ya udah kita maafan. Karena aku pasti maafin kamu. Aku pasti—“

I go for the lips this time. I devour his lips like a madman. Like he’ll be gone if i blink. Maybe he might, that’s why i did it so desperately. Dan desperasi itu semakin terlihat dari gue yang secara tiba-tiba mengangkat tubuhnya agar dapat gue gendong naik. Masih bersama bibir kami yang belum terlepas dari satu sama lain, gue kemudian berjalan ke arah kamar dan menjatuhkan Jeon ke atas tempat tidur segera setelah tiba di dalam.

Sangking cepat melakukannya, gue kehilangan konsentrasi tentang kapan mulai membuka seluruh pakaian yang ada di tubuh hingga kini tak ada satu pun helai yang menutupi. Masih sambil tetap egois dan enggan memutus lumatan kami, gue bermultitasking antara melucuti celana pendek yang Jeon kenakan dan memetakan setiap sudut sang tubuh. Kami kini dapat bertemu kulit dan kulit, dan gue tak menunda untuk kembali memindahkan kecupan pada lehernya.

Satu lagi hal unik dari seks yang kerap gue lakukan bersama Jeon: we only go by missionary. Selain diam-diam mengetahui trauma gue tentang suara desahan kencang dan rasa nikmat yang dibuat-buat, dia akan selalu berada di bawah sana dan membiarkan kami menyatukan tubuh dengan gue yang diizinkan untuk selalu melihat wajahnya. Gue akan berada tepat di atasnya, menautkan jemari pada salah satu telapak tangannya yang berposisi tepat di samping kepala, sesekali melumat dan sesekali mengecup, seraya memaju-mundurkan tubuh pelan tapi pasti.

Malam ini tak jauh berbeda. Gue memberikan banyak stimulus pada kulit yang setiap sentinya tak terlewat gue kecup, dan pasukan jemari di bawah sana diam-diam mempreparasi lubangnya agar tak merasakan sakit nanti. Gue punya sebuah misi malam ini untuk tidak akan memberi selain rasa nikmat, dan gue ingin membayar semua kekonyolan yang gue lakukan dalam beberapa minggu terakhir disini.

Mata gue kala itu memindai banyak titik dalam satu waktu: telapak tangan kiri Jeon yang meremas sprei sedangkan telapak kanannya tengah gue genggam, ekspresi wajahnya yang penuh rasa nikmat, kelopak matanya yang tertutup erat, tubuhnya yang sesekali terangkat dan mengejang, penisnya yang membesar dan bergerak tak karuan, dan lubangnya yang sedikit demi sedikit semakin mudah untuk dimasuki.

Rintihan dan lenguhan kecil itu terus menerus terngiang bagaikan musik erotika bagi orang-orang yang mendambakan cinta, dan tidak ada waktu lebih baik dari suasana sentimentil ini untuk membubuhkan kecup pada keningnya: penanda bahwa di atas segalanya, di atas sebesar apa pun nafsu yang tengah bergejolak pada setiap darah yang terpompa di dalam tubuh, gue akan membuatnya teringat semua ini terjadi karena cinta.

Karena gue berusaha memberikan cinta yang lebih besar dari yang dia berikan kepada gue.

Bibir gue berada di atas keningnya untuk waktu yang begitu lama. Kesempatan yang kami gunakan untuk sama-sama mengatur napas, meredakan debar jantung, mendinginkan kepala, merasakan satu sama lain, menelan keheningan, dan juga mengapresiasi momen ini.

I like the pace. I like our pace. I like it so much hingga rasanya gue tidak akan pernah mau lagi mengenal apa itu bercinta selain dengan Jeon. Gue tidak akan pernah mau lagi menjadi terbuka jika itu bukan dengan Jeon. Dan gue tidak akan pernah mau lagi kembali pada kehidupan dimana Jeon tidak ada di dalamnya.

“Hei.” Sapanya.

“Hei.” Jawab gue.

Netra kami terkunci untuk beberapa saat, dan setiap hembusan dari napasnya menerpa kulit wajah gue hingga menggelitik. Perasan intimasi yang tengah gue rasakan begitu melimpah dan bergemuruh sampai perut gue terus menerus merasakan nyeri dan mual.

“Ada yang sakit gak, Pumpkin?”

Gelengan pelan. “Engga, Migu.”

Can i continue?

“Iya.” Kecupan di bibir yang entah keberapa kali malam itu. “Boleh.”

Banyak orang sering bertanya kepada gue apakah jika para penyewa jasa seksual menggunakan jalur tersebut untuk kabur sementara dari realita dan semua yang mereka rasakan adalah fana, apa artinya konsepsi itu juga berlaku kepada gue? Sehingga segala reaksi yang pernah keluar dari dalam diri gue juga adalah palsu. Sehingga tak pernah ada kenikmatan yang benar-benar terjadi. Sehingga seni pertunjukan peran memang adalah satu-satunya yang terjadi. Sehingga bersenggama sama artinya dengan dicambuk dan diludahi.

Jawabannya kurang lebih seperti ini: penulis yang beruntung adalah penulis yang tidak menjadikan menulis sebagai pekerjaan utamanya, atau tidak semua kebahagiaan dari menulis yang selama ini ia rasakan akan hilang karena beban dan tanggung jawab. Aplikasikan teori itu kepada gue, dan terbentuk lah kesimpulan bahwa gue memandang seks sebagaimana orang-orang merasakan stress ketika mengejar target bulanannya: a job’s still a job, you’ll just need to get through it, and no matter how hard it is at the end of the day you’ll get the sweet pay.

Dan Jeon adalah libur panjang akhir tahun. Jeon adalah tanggalan merah di kalendar. Jeon adalah cuti impulsif setelah memesan tiket murah dengan itinerary yang sebagian isinya bertujuan hanya agar alasan untuk mematikan notifikasi WhatsApp bisa terjadi. Jeon adalah rumah yang dinanti-nanti setelah perjalanan pulang dari semrawut ibu kota.

Jeon adalah dia yang membuat gue merasa mempersatukan tubuh kami di bagian bawah sana sama artinya pula dengan mengikat cinta kami menjadi satu. Jeon adalah dia yang membuat gue punya kesabaran setebal tembok Cina dalam memaju-mundurkan tubuh dalam ritme lambat karena itu artinya gue bisa dengan seksama melihat wajahnya yang tengah merasakan nikmat yang tiada tara. Jeon adalah ketenangan dari tautan jemari kami yang semakin menguat seiring dengan klimaks yang perlahan mendekat. Dan Jeon adalah kunci kotak paradoks yang ketika sepenuhnya terbuka, mengizinkan jutaan kembang api untuk meletup-letup di atasnya.

And life has not forgotten me; it holds me in its hands.

***

I like watching him sleep in the morning instead of waking him up. It’s extremely lame and cheesy, but at least i knew i fulfilled whatever fantasy that Jeon always up to. Gue suka ide bahwa kejadian ini nantinya akan ia ceritakan kepada sahabat terdekatnya, gue suka ide bahwa mereka akan melihat betapa bahagianya Jeon bersama gue.

I also like stealing kisses from him sampai nanti akhirnya matanya akan membuka sendiri. Dan setelah itu kami akan saling menyapa dengan senyuman, dengan mengagumi eksistensi satu sama lain, dengan sinar matahari yang tak seindah film atau buku, dan dengan kicau burung yang diganti lewat entah itu suara mesin atau denting jam.

Biasanya salah satu di antara kami akan mulai menjadi usil karena jemari yang entah mulai menyisir rambut, memetakan setiap anatomi dari wajah, kembali tersenyum, kembali mencuri kecupan kilat, lalu kembali mengantuk, kembali tertidur. And that’s the thing about Sunday: we’re defining it as a rest feast. Dan hari ini, mungkin juga kesempatan untuk gue dan dia kembali berbaikan.

I’m so sorry if this phase of my annoyed you, Pumpkin.

Kalau gue adalah seorang pembaca pikiran, kepala Jeon pasti sudah menyiarkan satu kalimat berbunyi it’s too early for this. Tapi gue menolak untuk memulai hari ini dengan kami yang masih gagal dalam memahami satu sama lain. Atau, gue yang gagal memahami seperti apa seharusnya menjadi manusia fungsional. Gue dan dia harus mengobrol.

“Aku terkadang bener-bener gak ngerti kamu, Migu.”

I know. Mentalitasku selalu membuat kesimpulan bahwa aku itu masalahnya. It’s my entire life. I’ve been my own problems. And you’re a sunshine. And so does Changkyun. And i just—i want the best for you, you know?

No.” Jawaban itu datang lebih cepat dari gue mengedipkan mata, sepenuhnya dengan nada yang sama ketika Jeon sudah terlanjut lelah membuat gue sadar kalau gue tidak lagi sendiri. “You don’t know.

No, listen to me—

—You really don’t know, Migu. Gimana kamu bisa tahu yang terbaik buat aku tanpa diskusiin hal itu ke aku?”

Gue terbungkam lama. He’s right, i don’t know.

“Aku gak ngerti caranya untuk mengatasi rasa cemburu. Aku belum pernah sebelumnya, Pumpkin. Aku... ini bukan keahlianku.”

Then i'll hotspot it for you.” Begitu katanya, seakan yang baru dikatakanya adalah hal termudah untuk dilakukan. “Kamu mau apa dan gimana, Migu? Aku bisa kasih kamu semua instruksi manualnya. We’ll make it work.

Aku mau sebuah malam hari. Aku mau menunggu kamu sampai di rumah setelah melalui berbagai macam dinamika manusia dalam KRL Jabodetabek. Aku mau berdiri di depan wastafel dan menemukan kamu di belakang ketika membalikkan badan. Aku mau teh hangat yang sudah ada di teko tetap hangat begitu kamu tuang ke dalam gelas. Aku mau sebuah pagi hari. Aku mau membuka styrofoam dan menemukan bubur beserta sate tusuk di dalamnya. Aku mau sebuah strategi hitung-menghitung yang kita lakukan di supermarket agar stok makanan nanti di kulkas cukup untuk satu minggu bahkan satu bulan. Aku gak ingin tenggelam sendiri di keramaian. Aku mau kamu mengisi ruang kosong yang ada di sebelahku. Aku ingin kamu disini. Aku ingin selamanya.

...Dan aku tidak takut lagi akan kematian.

I don’t wanna be a paradox anymore.

Okay. You won’t. We will make it work.

The spirits injected into my body. And the extra space next to me still belongs to him.