Timur Jakarta.

— : a work of commission
— : Sunwoo x Eric
— : part of Indekos Poci (ALTERNATIVE ENDING)
— : words count // 7k
— : tags // adolescence, romantic comedy, domestic fluff
— : 🔞 profanity, mild sexual content
— : ⚠️ having no cause-effect into the original plot whatsoever

Sisi lain dari Sunwoo, sisi baru dari Eric; bertemu pada 31 Desember di malam tahun baru.

Cerita ini akan diawali dengan sebagaimana harusnya sebuah cerita diawali jika itu menyangkut tentang Kim Sunwoo; ketololan gue. Karena apa? Karena gue selalu tolol. Cuma ya, yang kali ini variannya beda aja. Kayak semisal kalau kemarin gue sempet tolol gara-gara ngebercandain orang sampe keterlaluan, yang kali ini gue lagi dapet giliran buat dicap gak peka.

Wkwkwk, gak peka.

Yang bilang gitu bukan subjeknya langsung sih, melainkan Mahkamah Agung cabang Poci beranggotakan tiga biduan. Curhat sama mereka bisa jadi hal yang tricky banget; di satu sisi gue bisa dapet jawaban instan, di sisi lain gue cuma bisa dapet hikmah sama makiannya aja.

Padahal pertanyaan gue cukup sederhana: kenapa ya kak, Eric selalu nolak gue jemput di sekolah? Gak cuma di sekolah sih, in general aja disaat kita tau kalau bakalan ada orang lain disana.

“Masa kak, tempo hari gue samper dia kelar kerja kelompok tapi dikasih share loc sekitaran gang sepi? Emangnya gue abang Grab? Ojek online aja jemputnya sesuai titik.”

“Ya lo tanya ke dia gak alasannya?”

“Udah bang Je. Tapi lu kayak gak tau adek lu aja dah, juara satu olahraga cabang mengganti topik pembicaraan.”

Lagi-lagi bukan solusi yang gue dapet, tapi mereka yang ngangguk-ngangguk setuju doang. Kayak, ya buat apa ngehe.

“Jadi gimana nih?” Gue mulai gregetan dan demanding.

“Tadi rumusan masalahnya apa ya guys?”

Lirikan gue segera setelah itu ke kak Changmin udah menyerupai meme gue udah muak banget. “Eric gak mau gue menampakan diri di depan teman-temannya.”

“Oh. Kenapa tuh?”

Gue, kak Chanhee, bang Hyunjae, sama-sama menghela napas frustasi sambil sengaja mendorong tubuh kak Changmin sampai doyong ke atas karpet. “Udah lah kak, emang gak seharusnya gua berekspektasi.”

“Eh, eh, mau kemana?! Gondes? GONDES!”

“MANDI!”

Sepengingatan gue, kayaknya gue udah pernah cerita sebelumnya kalau mantan gue yang dulu semuanya cewek. Dan atas dasar pengalaman itu pula gue berani berspekulasi bahwa semua cewek-cewek itu gak ada apa-apanya dibanding Eric. Karena kalau mereka bisa bersikap ambigu, Eric Sohn BISA LEBIH ambigu sampai kadang gue gak bisa ngapa-ngapain selain ngerasa kayak orang tolol.

Ini gue bicara diluar misteri tentang keluarganya ya, itu sih beda kasus deh. Gue gak ada hak menilai indikator sikap dia soal masalah gituan. Konteks ambigu yang gue maksud disini adalah moodnya ke gue yang suka naik turun. Bedanya kalau tombol bisa dipilih mau on atau off, nah ini saklarnya keburu korslet.

Dulu gak begitu amat, tapi setelah urusan gue dan Mbul udah kelar semua makin menjadi-jadi.

Gue inget banget awal mula kejadiannya tuh semenjak peristiwa sepulang kita dari Indomaret. Gue pegang satu kantung plastik isi camilan di tangan kiri dan es krim stick di tangan kanan, dan Eric pun sama kecuali tangan kirinya yang kosong dan dimasukin ke dalam kantung.

Dari gapura sampai depan pos ronda kita santai-santai aja ngobrol. Gue guyon dia ketawa, dia curhat gue ngedengerin, gue nyanyi dia ngatain bacot, dia bilang rasa es krim yang dia pilih enak terus gue iseng gigit sampai sisa setengah.

“Sunwoo lu yang bener lah.”

Gue masih berada diantara situasi brainfreeze dan perhitungan strategi genjatan senjata ketika mendapati Eric dengan wajah datar namun mematikan. “Iya bener Gong rasanya enak.”

Wajah datar itu sekarang jadi sepaket sama tatap mata ojan. “Banyak banget lu gigitnya bangsat gue aja baru nyobain sedikit.”

“Yaelah.”

“KAGA ADA YAELAH NYET—”

“Mau balik beli lagi?”

“Bukan esnya yang harus dibeli lagi tapi akhlak lu yang harus diperbaikin.”

“Yaudah nih gue balikin.”

Yang gue maksud dari balikin, itu bukan apa yang udah gue telen terus dilepeh lagi. Bukan juga gue sprint ke Indomaret buat beli yang baru. Bukan juga solusi lain yang mungkin lo pada kira tapi sama gue gak kepikiran. Solusi yang pada kala itu gue tawarkan adalah; gue yang memposisikan diri di depan Eric, berjalan mundur mengikuti si dia yang berjalan maju, merangkuk ceruk lehernya, dan mencuri kecup di bagian bibir sana.

Gue gak tau sih pada saat itu lagi kesurupan khodamnya siapa, tapi sebagian besar impulsivitas dalam hidup gue lakukan dengan mengabaikan akal sehat. Yang artinya, barusan itu salah satu contohnya.

Respon Eric lumayan bikin rasa panik gue surut dikit sewaktu anaknya malah ngebercandain situasi dengan membenturkan kening gue dan kening dia, cukup kencang karena gue bisa denger suara DUG! Habis itu gue lanjut sok-sok mau nyerang lagi, Eric yang cemberut mau tapi malu, gue yang masih berjalan mundur santai sambal mengedipkan mata genit, Eric yang pura-pura menendang kesal, dan gue yang melempar kepala ke belakang untuk tertawa hingga akhirnya memeluk Eric begitu erat.

Masalahnya cuma ketololan gue (kan, gak ada abisnya tuh tingkah tolol) barusan kurang crosscheck dan berakhir bencana. Kecupan platonis (alah tahi kucing) tadi, disaksikan oleh mas Mingyu yang sedang menyiram tanaman dan aspal (apakah menyiram aspal merupakan sebuah syarat wajib dalam menjadi pria paruh bayah yang seutuhnya?), dan penduduk Cendana Indah lain yang entah bagaimana berkonspirasi dalam menyaksikan kejadian tersebut dari rumah masing-masing.

Gue dan Eric, berdiri di tengah jalan kompleks bagaikan remaja yang baru aja terkena grebek satpol PP sedang kumpul kebo di dalam rumah kontrakan.

Eric berjalan meninggalkan gue tanpa mengatakan apapun setelahnya. Langkah yang pelan untuk ukuran orang yang sedang menahan malu seraya kepalanya yang menunduk, walaupun gue gak kalah kikuk dengan tangan mengepal serta malu yang ditahan. Ditambah keheningan yang memenjarakan kala itu, dan suara kucuran air dari selang mas Mingyu sebagai pelengkap sitkom kami.

“Permisi, abang dan kakak-kakak…” Ucap gue datar dan tertekan.

Dan kemudian kabur bersama harga diri yang tersisa.

Eric memusuhi gue setelah itu. Ketika gue bilang memusuhi, artinya adalah bangkitnya sisi kekanak-kanakan dia dengan ngambek yang tak ada habisnya. Gak ngebolehin gue masuk ke kamarnya lah, gak mau makan bubur yang udah gue beliin lah, gak mau ngomong sama gue lah, dan papasan sama gue tuh kayak semacem dosa besar gitu.

Tapi nih, begitu gue todong, begitu gue labrak dengan pertanyaan Eric marah sama Sunwoo? feedbacknya malah bikin gue tambah migrain. Gue harap sih jawabannya engga. Bukan karena gue gak mau dia marah, tapi lebih ke bingung nyari alasan marahnya. Ya masa gara-gara-gara gue peluk doang marah sampe segitunya? Biasa pas di kamar juga lebih.

Jawaban fix no revisinya (ambigu lagi anjeeeng) cuma kaos gue yang ditarik-tarik dan digulung pelan barengan sama kalimat, “Engga kok. Sunwoo mau nemenin Eric nonton film hantu di Disney Hotstar gak? Yuk.”

Ujung-ujungnya, hari-hari penyiksaan yang gue alami cuma bisa gue telen sendiri tanpa kunci jawaban.

Nah, itu baru yang kesatu. Sekarang gue ceritain yang kedua.

Jadi waktu itu gue inget banget lagi hari Sabtu. Sebenernya sih gue gak harus kerja keras motoran Kalimalang – Depok buat ngampus, tapi ada satu dosen kampret yang dengan semerdekanya mindahin kelas pengganti di weekend. Jadi disaat sebagian anak Poci pagi itu pada santai sarapan, gue harus fafifu wasweswos dari mulai mandi, nyari baju, nyiapin tas, dan turun ke bawah dengan perut keroncongan pada pukul tujuh waktu Indonesia bagian barat.

“Lah, mau kemana lo Des?”

“Menuntut ilmu, bang Kev.”

“Ke negeri Cina?”

“Ke negeri Depok.”

“Ooh. Mangat, mangat.”

“Kasih bunga dong biar mangat beneran.”

“Bunga mawar?”

“Bunga bank.”

Kepala gue kena geplak kak Chanhee. “Tuh, roti bakar makan.”

“Pagi juga kak… Tengkyu loh atas sambutan meriahnya.”

Sarkasme gue diabaikan, dan mata gue mulai memindai ke seluruh ruangan untuk mencari seseorang. “Eric mana dah?”

“Belom bangun deh kayaknya, Des…” Barusan yang jawab itu bang Jacob, tangannya sibuk ngoles mentega ke roti tapi matanya berfokus ke gue. “Gih bangunin, biar sarapan bareng. Nanti dia bangun lo gak ada jadinya ngambek.”

“Dia mah tiada hari tanpa ngambek, bang.”

Respon bang Jacob cuma ketawa. Terus kepalanya noleh ke samping. Abis itu matanya membulat. Gue juga jadi ikutan noleh. Ternyata, ada Eric yang baru turun dari tangga dengan piyama dan rambutnya yang mencuat kemana-mana. Jangan lupakan jemarinya yang mengusap kelopak mata dan menyebabkan jalannya jadi oleng ke kanan dan ke kiri.

“Pagi…”

“Pagi, bayi…” Satu Poci berpaduan suara.

Dia kayaknya belum sadar akan kehadiran gue disana. Dia kayaknya juga belum sadar kalau gue berpakaian rapi dari ujung kaki sampai ujung kepala (kalau jeans, kaos, dan kemeja flannel oversized bisa disebut rapi), dan dia juga belum sadar kalau gue lagi ngeliatin dia dengan senyum sumringah sambil ngunyah roti.

“Iler bersihin dulu, iler.”

Anak itu langsung mencari-cari sumber suara. “Lah.”

“Apeee.”

“Udah bangun lu.”

“Udah dong.”

“UDAH RAPI LU.”

“Udah lah.”

“Mau kemana?”

“Ngampus.”

“Ngampus mulu sarjana kagak.”

“Sekarang siapa gua tanya yang kuliah baru maba langsung loncat sarjana?”

“Gue entar.”

“Bener ya? Kalau kagak? Taruhannya apa?”

Uda mengintervensi. “Pamali taruh-taruhan…”

Gue dan Eric lanjut berdebat. “Taruhannya ya gak ada.”

“Dih, masa gitu. Curang.”

“Tau ah.” Si dia meninju pinggang gue. “Sunwoo pulangnya jam berapa?”

“Sore dah kayaknya.”

“Emang kelasnya banyak?”

“Cuma satu.”

“Kok pulangnya sore?”

“Ya kan abis itu main.”

“Yaelah…”

“Kok yaelah?”

“Kagak tau.”

Sama dah, gue juga kagak tau. Sama lagi males ngeladenin. “Yaudah gue jalan yak. Oleh-oleh apa nih?”

“Bakso Cuanki khas Bandung yang belinya harus langsung di Bandung.”

“Ke Depok dah ini gua, Gong.”

“Alah, gitu aja gak bisa.”

Monyet, gemesin bat. “Seriusan jalan dulu gua. Sarapan tuh lu.”

“Iye.”

Nah, kita mulai lagi dulu blundirnya. Untuk kesekian kalinya gue gak tau kesurupan khodam apa, tapi lagi-lagi impulsivitas gue cuma bisa ngehasilin petaka doang. Kayak semisal yang kali ini, gue reflek aja ngusap rambut di atas puncak kepalanya dan maju mendekat buat ngecup pipi.

Pas lagi kayak gitu tuh, tiba-tiba semua orang jadi nengok ke arah kita sambil bengong. Abis itu memicingkan mata. Abi situ menggeleng penuh prihatin. Kan kampret. Terus ditambah Eric yang langsung mengambil satu langkah mundur ke belakang dengan wajahnya yang merah padam.

Kalimat terakhirnya sebelum berbalik badan dan meninggalkan gue di tempat adalah, “Sunwoo bego.”

Dan yang terjadi selanjutnya kurang lebih kalian udah tau. Lagi-lagi gue dimusuhin, lagi-lagi gue gak dikasih penjelasan, lagi-lagi pas ditodong Ini Eric marahnya gara-gara apa sih? jawabannya cuma Apaan dah lu, cepet tuh tuang bumbu mie airnya udah mau mendidih.

Harusnya gue bisa counter omongan itu. Harusnya gue bisa berargumen dengan kalimat yang diawali dengan Engga Gong, nanti dulu. Terus ngambek dan ngediemin gue tuh maksudnya gimana? Ini masalah cium pipi di depan yang lain? Gak nyaman? Atau gak boleh? Kenapa? Gue kelewatan? Tapi kaga gue lakuin weh. Jalan pintasnya, ya anggap kayak gak pernah kejadian aja.

Nah, kasus kedua tuh. Sekarang kita berangkat ke prahara ketiga. Yang masih anget. Yang masih belum bisa gue ceritain secara tuntas karena ceritanya emang masih menggantung. Yang barusan banget gue curhatin ke The Biduans dan tak membawakan faedah.

Ini kebetulan gue lagi ngobrol sama orangnya di telepon, tapi daritadi intinya muter-muter gak jelas aja gitu. “Lu tadi pagi emang ke sekolah dianter siapa?”

“Bareng sama bang Ujuy.”

“Terus pulangnya gue jemput nih?”

“Lu dimana sih? Emang gak ngampus apa.”

“Udah balik, ini nongkrong di tempat biasa bareng bang Ibop.”

“Ooh.”

“Lu lagi istirahat?”

“Lagi nyalin PR temen.”

“Yang bener-bener aja lah, Gong.”

“Ya sambil makan, kan gue bawa bekel dari bang Juhak.”

“Yaudah nanti jadinya gue jemput nih?”

“Kaga usah.”

“Dih, gimana dah?”

“Pokoknya lu jangan ke sekolah.”

“Ya terus mau dimana jemputnya?”

“Gue gojekan aja ke tempat lu sama bang Ibop…”

“Kaga jelas bat lu ERIC SOHN.”

“Gua serius, Des.”

“Gua juga serius, Gong. Udah lu diem nanti gue jemput di sekolah.”

“AH ELU.”

Daripada makin panas aja kuping gue ngangong-ngangong gak jelas, sambungan teleponnya gue matiin. Kalau emang gue harus labrak lagi (labrak mulu) anaknya buat masalah yang ini juga, yaudah nanti aja pas ketemu biar sekalian kelar.

Dan sebagai bentuk antisipasi biar anaknya gak kabur, gue udah cegat di depan pager sebelum bel sekolahan bunyi. Dilan kalah dah pokoknya.

Sebelum Ericnya keluar gue udah ketemu sama temen-temennya duluan. Udah tos bro-broan juga, udah ngobrolin perekonomian negara juga. Jangan tanya gimana gue bisa deket sama mereka, kadang ya tiba-tiba kejadian aja.

“Nungguin Youngjae, bang?”

“Iye. Mana tuh temen lu? Kaga keluar bareng dah.”

“Ke Kantin Kejujuran dulu dah kayaknya ngambil risol.”

“Et, ada aja bocah kegiatannya.”

“Nah, tuhkan orangnya dateng sambil ngunyah.”

“Enak banget apa itu Risol?”

“Enak bang, dalemnnya smoke beef.”

“Ape nih, ngobrol gak ngajak-ngajak gue?” Yang ditunggu akhirnya nyampe ke depan motor gue, dan mayonnaise yang nyangkut di ujung bibirnya refleks gue bersihin pakai jempol.

“Lu lama.”

“Risol dulu.”

“Iye. Cobain dong.”

“Ambil nih dari mulut gue.”

Gue menggertak dengan nyosor, anaknya mundur kaget. Kayak déjà vu, soalnya kita emang gini-gini aja. “Yah, cupu.”

“Tolol dah lu Sunwoo. Kagak jelas.”

“Lu berdua nyet, yang kagak jelas.” Felix ngegas, mungkin dia muak dan lelah.

Gue dan Eric sama-sama berdecak. “Udah lah Lix, cabut dulu gue.”

“Yooo. Have fun pacarannya.”

“Kita engga—” Eric memotong argumennya sendiri seketika, berdiam dan menarik napas dalam-dalam, menundukan kepala dengan bahu yang menurun, sebelum kembali mengadah dan naik ke atas motor gue. “Jangan lupa bagian PPT lu, Lix. Nanti kalau udah kirim ke gue yak.”

“Oke, Ric.”

“Sip.”

“Duluan, Lix.” Sapa gue sambil kembali memasang helm dan memberikan helm satunya ke belakang. “Tiati lu.”

“Siap bang.”

Gue yang langsung tancap gas, Eric yang pegangannya ke besi belakang bukan ke pinggang gue.

“Eric marah lagi nih ceritanya sama Sunwoo?” Adalah kalimat pertama yang keluar dari bibir gue sewaktu kita udah melaju cukup jauh dari sekolah.

“Marah apa sih? Emangnya Sunwoo liat Eric lagi marah?”

“Nih. Liat nih.”

“Fokus nyetir!!!”

Dengan kepala yang didorong paksa kembali menghadap depan gue kemudian berargumen, “Kan tadi ditanya bisa liat apa engga.”

“Ya terus? Abis itu kita nabrak masuk rumah sakit?”

“Sebenernya mah tanpa nengok juga Sunwoo bisa tau Eric lagi marah. Kan aku si paling ngerti kamu banget.”

“Geli.”

“Seriusan dulu weh, marah kenapa?”

“Gimana bisa jelasin kalau gue gak lagi marah, monyet.”

“Sunwoo tau Eric lagi ngambek, pasti itu. Yang Sunwoo gak tau alesannya apa. Abisan, perasaan daritadi aku gak ngelakuin sesuatu yang aneh-aneh dah.”

Bibir gue tersungging ketika jarak keheningan antara pertanyaan tadi diisi dengan Eric yang menjatuhkan dagunya ke atas pundak gue. Salah satu kegiatan yang paling gue suka dari motoran bareng dia ya ini, dan perasaan sewaktu digelendotin tuh. Begh.

“Karena Sunwoo jemput.”

Jawaban tadi sempat teredam suara gas motor. “Hah? Apaan?”

“Karena Sunwoo jemput.”

Gue merenung cukup lama pada saat itu. “Hah?”

“DENGERINNN kalau gue ngomong.”

“DENGEEERRR, elu yang gak jelas!” Gue mencoba mengalah sejenak. “Eric bener-bener gak mau dijemput sama Sunwoo?”

“Bukaaan.”

“Ya terus?”

“Ih… Eric cuma capek harus jelasin ke semua orang kalau kita gak pacaran. Kayak, ngebosenin dan repetitif. Terus ujung-ujungnya gak ada yang percaya. Setiap Sunwoo bikin keputusan yang misleading, yang harus ngeberesin masalahnya tuh ya Eric. Tapi bukan berarti Eric marah dan gak suka diperlakuin kayak gitu sama Sunwoo. Eric suka dicium pipi di depan banyak orang. Makanya Eric gak pernah bisa jelasin atau bilang kalau Eric marah karena Eric emang gak marah. Malah suka. Tapi aku males klarifikasinya habis itu!! Sama aja kayak peristiwa Sunwoo jemput ini. Masa, sampe ke anak kelas sebelah yang gak kenal-kenal amat sama gue juga taunya kita pacaran??? Aneh. Jadi, ya gitu. Sunwoo ngerti gak apa yang daritadi Eric jelasin?”

Sore itu, alih-alih menjawab pemahaman gue akan penjelasannya yang panjang lebar namun masih dengan pemaparan bayi khas Eric, gue mengajak dan menu-ruti segala permintaaanya untuk melakukan segala hal yang dia mau.

(Salah satunya adalah kegiatan norak bernama melihat sunset dari pinggir BKT. Pun begitu, ada gue di atas motor berstandarkan satu melirik ke samping dengan seringai yang melebar karena di wajah si dia juga sedang ada seringai merah jambu yang tak kalah merekahnya.

(Dan gue mengerti, tapi gue menghindar.)

***

Pada tanggal 22 Desember pagi di kediaman tercinta kami yaitu Indekos Poci, gue mendapati sebuah sidang isbat dadakan yang pada saat gue keluar dari dalam kamar dan turun dari atas tangga, belum diketahui apa visi dan misinya.

Baru setelah gue mencuci muka dan menggosok gigi, membuka salah satu bungkus nasi uduk, mencuci beberapa piring kotor di wastafel karena gue adalah warga negara yang baik, gue mengetahui bahwa rapat itu adalah tentang rencana ulang tahun Eric yang jatuh pada… hari itu.

“Maksudnya gimana?”

“Ya gitu. Bayi lo udah kasih warning duluan, kalau dia hari ini gak mau ada dan dikasih apa-apaan.”

“Kok gitu?”

“Mana gue tau, cowok lo kan tuh?”

Gue tau celetukan itu dateng dari kak Changmin dan dia mah orangnya emang gitu, tapi Eric ada benernya. Segala urusan klarifikasi ini… harus dilakukan secara repetif. Dan kadang capek juga.

“Sekarang anaknya mana kak?”

“Ya sekolah. Intinya gue sama Chanhee nawar, mau gak surprais-surprisnya nanti sekalian tahun baru? Katanya bebas aja. Nah!” Kak Changmin menggebrak meja dengan dramatis. “Itulah yang sedang kita rapatkan.”

“Dekorasi ultah mekdi?”

“KADONYA, SUNWOO!!!” Kepala gue ditoyor bang Jacob, bang Kevin, kak Chanhee, dan kak Changmin secara bersamaan.

“Ooh, kado…” Gue membalas pura-pura polos sambil menahan sakit.

“Ah oh ah oh aja lo, mikir.”

Kalau kak Chanhee sudah bersabda bersamaan dengan titik dan penekanan di akhir kalimatnya, gue hanya bisa iya pak, siap pak. “Yaudah itu nanti gue kak.”

“Yakin?”

“Yakin.”

“Bisa jamin cukup special and worth to remember gak?”

Suasana ospek yang sedang gue jalani ini… “Bisa. Jaminan 100%.”

“Nyet, catet.”

Kak Changmin menunjuk gue tajam dengan telunjuk dan jari tengahnya.

“Emang kamu mau kasih apa, Sunwoo? Butuh bantuan?”

“Engga, bang Cob.” Balas gue dengan seringai dan handuk yang terselempang di leher—persiapan mandi. “Santai. Yang ini gue bisa handle sendiri.”

Gue melambaikan tangan kepada mereka seraya langkah yang menjauh dari ruang tengah sana.

Dulu kalau gue nonton film Amerika, gue tuh suka bertanya-tanya gimana para remaja disana yang notabene anak kuliahan malah kadang masih anak SMA, mengadakan sebuah pesta dengan undangan teman-teman mereka yang satu desa. Udah mana ngerayainnya di rumah sendiri, modalnya dari diri sendiri pula.

Gue sih kalau ketauan bawa temen sekampung masuk rumah menyentuh dapur dan Tupperware keramat apalagi bisa sampe ada yang ngewe di kamar orang tua gue, yang ada bisa langsung di tip-ex dari kartu keluarga.

Belum lagi nih, mereka yang bukannya kena asam lambung karena kebanyakan tugas malah asik mabora-maboraan. Pokoknya selama gak mengalami dan melihat langsung gue akan selalu merasa film remaja Amerika itu ironis parah. Sengumpul-ngumpulnya gue bareng anak tongkrongan, paling cuma di warung terus pesen extra joss.

Harusnya begitu kan yak, sampai akhirnya kak Chanhee dan kak Hyunjae membuat gue yang jagoan ini menjadi sangat cupu dengan campur tangan mereka dalam acara tahun baruan yang diadakan di Indekos Poci ini.

“Des.”

“Oit, bang Bop?”

“Lu serius nih mengundang gua ke acara lu dan temen-temen lu yang sangat amat meriah dan gemerlap ini?”

Melihat bang Bobby ada di Poci untuk pertama kali rasanya aneh juga, tapi gue beneran cuma kepikiran dia sewaktu dijatah oleh The Biduans kalau gue boleh bawa temen. “Sans bang, gimmick doang ini. Entar rundown acaranya palingan main UNO sama truth or dare.”

“Yakali main UNO minumnya wine semahal itu, Des?”

Gue melirik salah satu meja dengan berbagai minuman di atasnya, sebelum menggaruk pelipis dengan frustasi. “Aman, bang. Kawan-kawan gue emang kadang kebanyakan duit aje. Ini lu makan-makanin aja apa yang ada, gue mencari keberadaan Eric dulu yak.”

Bang Bobby dengan baju nyentriknya memberikan gue dua jempol.

Mengelilingi Poci yang sebenernya gak gede-gede amat, gue masih belum menemukan Eric disaat gue udah berpapasan dengan hampir seluruh warga Poci. Ada Uda Sangyeon yang sedang mencoba menenangkan kak Chanhee dari kepanikannya yang gak penting atas segala hal yang gak seharusnya dipanikin (Kak ini aku takut kurang apa kita pesen lebih dari sekarang? Chanhee, makanannya udah cukup banyak itu…), ada bang Jacob dan bang Kevin yang sedang mencoba menyambungkan lantai joget timezone dengan TV ruang tengah (Are you sure this can be connected? Yes! I’ve tried it before), Bang Younghoon dan kak Camin yang sedang… ini boleh gue skip jelasin gak sih? Soalnya geli (Jangan diliatin mulu dong aku kan cuma lagi makan pudding!!! Harus diliatin soalnya adek gemes… hehe…), Bang Juyeon dan kak Hyunjae yang sedang saling membandingkan ukuran tangan entah untuk apa (Beneran… gede. Apanya yang gede, Hyunjae?), dan terakhir ada Juhak yang diem-diem lagi curi start buat nyoba seluruh hidangan yang ada (Hak, itu buat nanti! Tester dulu, kak!)

…dan satu orang lagi yang masih belum dapat gue temukan keberadaanya.

Gue berniat untuk merokok di balkon sebentar sebelum tangan gue sekelebat ditarik oleh Eric yang entah datang darimana, mencoba untuk membawa gue terus naik sampai ke atap Indekos Poci. Di atas sana, untuk pertama kalinya gue menyadari bahwa malam ini cukup berangin untuk mampu menerpa setiap titik di wajah gue dengan rasa sejuk.

“Heh, heh, heh, penculikan apaan nih?”

Si bayi mengabaikan pertanyaan gue dengan mendudukan dirinya di atas kursi panjang lusuh yang ada disana atas permintaan kak Hyunjae dan meletakan satu kotak yang dia bawa sedari tadi pada ruang kosong di sebelahnya.

Maka itu lalu gue bertanya lagi. “Apaan tuh?”

“Bomboloni.”

“Hah?” Gue berjalan mendekat seraya menggaruk pelipis.

“Pokoknya, kayak donat filling gitu.”

“Ooh.” Gue duduk, Eric ngebuka kotak, kita sama-sama menginspeksi isinya. “Siapa yang ngasih?”

“Mas Mingyu sama kak Wonwoo, dong. Waktu itu kan ya masa aku main ke rumah sana terus ada ini sisa tiga.”

“Terus semuanya lo abisin?”

“Hehe, iya. Mana ternyata punya kak Jeonghan…”

“Buset… nyali lu.”

“Terus abis itu Eric dijanjiin mau beli lagi deh.”

“Tanpa dimarahin?”

“Gara-gara ngabisin punya kak Jeonghan? Gak tuh, biasa aja.”

“Ckckck, beneran bayi semua orang.”

Gue mencoba mengambil satu dari isinya sebelum tangan gue terkena gaplokan si dia. “Heh, nanti dulu!!”

“Anjir, pelit banget. Mau nyobain kan akunya.”

“Iya boleh, Eric ngajak Sunwoo ke atas juga karena emang cuma mau bagi ini ke Sunwoo doang bukan ke yang lain, wekekekek.”

Eh anjinglah kok bisa yak kadar kegemesan manusia tuh sebanyak yang ada pada si Eric Sohn ini. “Tapi…?”

“Tapi nanti dulu, kan tiup lilin berdua.”

Gue dan mata yang mengikuti jemari Eric dalam membuka lilin itu mengulum bibir dengan senyum. “Bisa aja lu.”

“Bisa lah.”

“Yaudah cepetan buka.”

“Iye.”

Lilin ditancapkan, dinyalakan, dan ada beberapa bagian dari wajah Eric yang warnanya diiluminasi oranye gue tatap diam-diam.

“Semoga…”

“…Lah ko baca wishnya kenceng-kenceng?”

“Emang kenapa?”

“Orang baca wish mah dalem hati.”

“Tapi kan itu bukan aturan paten.”

“Tapi kan mayoritasnya begitu.”

“Berarti bukan aturan paten dong?”

“Emang bukan, tapi biasanya kalau dibacanya kenceng-kenceng jadi gak dikabulin sama Tuhan.”

“Dih, sotoy.”

“Seluruh dunia berarti sotoy anjir bukan cuma gue.”

“Ih, Sunwoo mah.”

“Serah lu deh.”

Gue dilirik dengan indikasi sinis, namun rahang tegas dan picingan mata itu gak akan pernah bisa mengelabui gue.

Eric, pada akhirnya, mengucapkan permintaanya dalam diam. Gue pun secara rahasia menghantarkan doa dalam diam.

“Udah?”

“Udah.”

“Udah boleh dicobain donatnya?”

“Udah dong.”

Rambut di atas puncak kepalanya gue usak dengan gemas. “Makasih, Youngjae.”

“Sama-sama, Gondes.”

“Si anjir.” Picingan mata yang baru aja gue lontarkan berhasil membuat Eric tertawa dengan kepalanya yang terlempar ke belakang.

“Kocak banget muka lu.”

“Ya elu kocak.”

“Ngambeeek.”

“Panggil ganteng dulu biar gak ngambek.”

Emang seharusnya gue gak pernah berekspektasi kalau dia akan nurut sama gue, karena yang sekarang dia lakuin malahan memindahkan kotak donat ke meja dan merebahkan dirinya di atas paha gue.

“Eric punya cerita.”

“Tadi perasaan gue nyuruhnya manggil ganteng.”

“Gue mau jujur sesuatu nih sama lu.”

“Hmm.”

“Inget tanggal 22 Desember waktu gue bilang sama yang lain gak mau dikasih acara perayaan apapun, kan?”

“Iye. Kenapa tuh?”

“Seharusnya, hari itu Eric balik ke Bali.”

…Nah kalau udah bawa-bawa Bali gini, biasanya gue mulai was-was. “Hah?”

“Seharusnya Eric udah gak disini, tau… gak ikutan tahun baruan sama kalian semua. 22 Desember kemarin, adalah batas waktu terakhir yang selalu Eric kodein ke Sunwoo. Dan seharusnya dari mulai hari itu gak ada satupun dari kalian yang akan ketemu Eric lagi.”

“Terus kenapa,” Gue menelan saliva yang mengolok-olok gue dengan cara menyangkut sakit di tenggorokan. “Kenapa jadinya malah gini?”

“Karena kak Wonwoo udah atasin semua masalahnya sebelum Eric sempet dibawa. Dia… aku gak tau sih tepatnya ngapain, pokoknya berhasil mecahin semua kode yang gak pernah Eric jabarin secara blak-blakan. Intinya—”

“—Intinya gue harus sujud di kaki kak Wonwoo.”

“Hah?” Bocah yang kepalanya ada di atas pangkuan gue terbahak. Barusan banget topi yang dia pakai baru aja gue lepas, dan sekarang gue bisa lebih mudah buat liat langsung ke matanya.

“Iya.” Lanjut gue lagi. “Apapun itu inti dari hal yang mampu kak Wonwoo lakuin sampe bisa nahan Eric disini, Sunwoo cuma bisa bilang makasih kan?”

Si dia mengulum senyum seraya matanya yang menyendu. “Iya sih.”

Dan hati gue mulai memberat. “Maaf ya, karena Sunwoo banyak gak mampunya. Buat jadi pahlawan kesiangan buat Eric tuh aku belum mampu. Aku juga masih bocah. Gak hebat kayak mereka yang lain yang bisa jaga pasangannya.”

“Pasangan?” Oh, gue lagi diolok-olok. Dia lagi balas dendam.

“Ya maksudnya—”

“Pasangan??”

Monyet. “Dengerin.”

“INI GUE DENGERINNN.”

“Ya lo nya diem dulu.”

Sekarang dia gak punya kemampuan untuk menahan tawa hingga seluruh tubuhnya bergetar di atas pangkuan gue. “Muke luuu.”

Gue dengan helaan napas pasrah. “Eh lu bisa gak?”

“Kenapa ya, lu selalu kalang kabut gini tiap bawa-bawa topik komitmen, Des?”

Pake segala nanya. “Ya soalnya ini elu, Ric.”

“Gimana, gimana?”

“Udah banyak yang ngasalin hidup lu. Masa, gue yang tulus peduli sama lu harus ambil sikap kayak gitu juga?”

Dan dengan kalimat yang gue lontarkan barusan, Eric menyegel bibirnya dari memberikan gue komentar selanjutnya.

Anehnya—eh, gak aneh sebenernya. Iya aneh sih, tapi konotasinya positif—anehnya abis itu gue sama dia ya udah saling diem-dieman aja dan nyaman dalam bubble masing-masing. Gue dengan pandangan ke atas langit dan jemari yang perlahan menyisir helai rambut Eric, dan si dia dengan mata yang ditutupi lengan dan jemari yang memainkan ujung kaos gue.

Diam-diam dan tanpa harus dijadikan sebuah tujuan sakral, kami sama-sama tengah menunggu perhitungan bergantinya tahun.

Gue mengeluarkan satu bungkus rokok dari kantung beserta koreknya, dan itu menarik perhatian Eric sampai dia menoleh.

“Mau ngapain?” Tanyanya, dengan nada penasaran khas Eric.

“Nyebat. Asem gua.”

Bola matanya berputar sarkastik. “Padahal biar gak asem mah bisa aja ada opsi lain. Kayak, ciuman.”

Sebenernya dalam okasi normal gue bisa aja berpura-pura bodoh dan menimpali dengan menantang balik. Tapi, momen gue dan dia berdua di atas sini terlalu dipenuhi dengan aura intimasi sampai gue jadinya panik sendiri.

Ya emang, kadang kalau dipikir gue nih cupunya akut. Ujung-ujungnya yang bisa gue lakukan hanyalah mengindari pembicaraan dengan sibuk menyalakan satu batang rokok; menghindar, menghindar, dan menghindar.

By the way, lupa dah,” Gue menyemburkan asap pertama dari bibir. “Gue udah bilang belom ya kalau earphone gue rusak?”

Earphone lu?” Si dia panik, sampai harus kembali pada posisi duduk. “Yang suaranya mantep banget dan bisa menghantar ke surga itu?”

“Iye, yang itu.”

“Yah anjir, terus gimana Des? Nanti kalau kita ke McD gak bisa deh sambil nonton mukbang.”

Sebuah kegiatan aneh lain yang teragendakan setiap gue main sama bocah satu ini: makan fast food, dan nonton siaran makan orang lain dengan earphone yang terpasang satu di telinga masing-masing. Terus, yaudah, kita kayak orang idiot aja gitu diem-dieman. Bisa puas hanya dengan presensi gue dan dia di sisi masing-masing. Orang lain berlalu lalang ngeliatin kita, itu sih bukan urusan.

“Sabar. Gue lagi order yang baru.”

“Anjay.” Sempet-sempetnya ini orang iseng nonjokin lengan gue sembari cengegesan begitu. “Demi gue yak?”

“Pastinya.”

“Sayang kah sama gue?”

“Pastinya.”

“Yang bener dong lu jawabnya, Gondes bangsat.”

“ITU GUA JAWAB PASTINYA. SALAHNYA DIMANA?”

“…Sayang Eric beneran?”

Suara menciut itu, membuat emosi gue turun lagi ke dasar perut. “Beneran.”

Belum sempat baik dia maupun gue bereaksi, letupan kembang api pertama meledak di udara; melukis langit dengan semburat dan percikan warna warni. Pada letupan kedua, warnanya mulai mengiluminasi wajah gue dan Eric menjadi Pelangi. Pada letupan ketiga, terdengar suara sorak-sorai familiar dari bawah, menghitung mundur dari sepuluh sampai satu. Dan pada letupan keempat, gue dan Eric sama-sama saling menoleh kepada satu sama lain.

Gue menggunakan kesempatan tersebut untuk mengambil posisi paling nyaman dalam menangkap si dia dan wajahnya; mengamati, mendalami.

Mungkin ya, mungkin ini sisi sentimentil dari euphoria tahun yang berganti. Atau kisah pilu nan mengharukan dimana kenyataan bahwa Eric bisa ada disini bersama gue adalah bonus. Atau mungkin kayak yang gue bilang tadi, berduaan sama dia di atas sini dan kali ini, intimasinya rada meletup-letup. Atau mungkin bisa juga, karena memang gue lagi dapet momen realisasi si pemeran utama aja.

Momen dimana pada akhirnya satu titik terang itu membuat segala koinsidensi di dalam hidup gue menjadi masuk akal. Atau jawaban atas pertanyaan juga ragu yang selama ini mengganjal.

Gue tau gue ini manusia yang ambigu. Gue tau untuk sosok dengan latar belakang seperti Eric, gue gak cukup mumpuni buat jadi support system. Gue tau gue terlalu bahaya untuk menemani dia pelan-pelan memperbaiki hidup karena gue sendiri belum memperbaiki hidup gue terlebih dahulu. Tapi kembali lagi kepada yang tadi gue bilang, ini adalah sebuah fase.

Dan fase itu meyakinkan gue untuk menjadi versi Kim Sunwoo yang pada saat itu percaya dengan keputusannya.

“Eric.”

“Hmm.”

“Met tahun baru.”

Ok.”

“Eric.”

“Apaan.”

“Dor, dor.”

“…Hah.”

“Itu. Gue lagi nembak lu.”

“…”

“Udah pacaran yak berarti.”

“…”

“Gong?”

“…FREAK ANJINGGG GONDES.”

Pada Eric yang mengamuk sejadi-jadinya tengah malam itu, gue menerima seluruh pukulan anarkis yang ia lontarkan sembari terbahak sejadi-jadinya. Pun pernyataan cinta tadi benar-benar bukan guyonan, gue ingin kami tetaplah kami; dinamika gue dan Eric, dinamika yang begitu familiar di luar kepala.

Jadi pernyataan cinta tadi… ya haruslah seperti tadi.

Dan gue yakin Eric lebih paham perihal itu lebih dari siapapun.

***

Gue dan Eric diseret paksa ke bawah tak lama setelah kejadian tembak menembak asbun tadi. Ada perayaan ulang tahun super meriah yang terjadi setelahnya, dan ada juga gue yang kelimpungan dalam memproses dan mencerna. Gue sih bisa aja santai-santai menggampangkan yang tadi, tapi di dalam lubuk hati gue tau kalau kami berdua sedang sama-sama berdebar dan berbunga-bunga.

Dari gue dan dia yang tidak pernah berhenti saling melirik. Dari jemari gue dan dia yang saling bersinggungan dan ada ribuan volt listrik serasa mengalir disana. Dari dehaman kami yang kikuk dan sukar disamarkan. Dan dari tensi yang terpancar pada kami, dan ikut menampar satu persatu penghuni Indekos Poci.

Sekitar jam dua pagi, gue yakin setengah dari mereka agaknya paham apa yang sedang terjadi diantara gue dan Eric. Namun, masih dan selalu, yang gue sukai dari mereka adalah kepahaman akan batasan yang titiknya sama-sama semua pahami tanpa harus terlalu banyak basa basi.

Pun begitu, bagaimana kak Chanhee terus-terusan melirik gue dengan bibirnya yang ditekan dan wajahnya yang berusaha dipasang datar adalah yang menjadi kiblat bagi gue kalau oh, ada bedanya juga ya setelah jadian dan engga.

Dan ternyata gak nyeremin-nyeremin amat.

“Bayi lo udah sempoyongan itu, bawa balik kamar gih.”’

Tepat di depan dispenser gue menoleh, mendapati kak Chanhee tengah bersandar di kitchen island dengan kedua tangannya yang terlipat di depan dada.

“Iye kak, baru mau gue kasih minum ini tadi anaknya minta.”

“Mm.” Balasnya dengan anggukan, sambil matanya memindai gue dari atas kepala hingga ujung kaki. Agak menakutkan, tapi gue tetap percaya diri. Karena kalimat yang kak Chanhee ucapkan setelahnya adalah, “Congrats, by the way.

Bener kan, tanpa basa-basi?

Dan sumpah, gue udah seberusaha mungkin buat nahan cengiran. Cuma ya.. gimana. “Yoo. Thanks, kak.”

“Masih inget janji lo sama gue dulu gak?”

Buset, tak ada hari tanpa ospek. “Jagalah kebersihan?”

“Gondes.”

Be committed.

Be committed.” Kak Chanhee mengempasisi kalimatnya, dan gue tau bahwa dia bersungguh-sungguh. Bahwa kalau gue kepikiran buat messed up lagi, dia kemungkinan akan ada di garda paling depan.

“Siap, laksanakan.”

Gue tersenyum. Dan terima kasih Tuhan semesta alam kak Chanhee pun tersenyum (gue udah bilang belom tadi kalau suasana ini serem kayak ospek?).

Kontemplasi pertama dalam peran gue sebagai cowok dari Eric Sohn (CIAAA COWOK BANGET GAK TUH) adalah ke kamar mana gue harus meletakan tubuh setengah mengantuknya setelah gue boyong dari ruang tengah. Kamar gue dan dia letaknya emang sebelahan, tapi kalau boleh jujur trivia tersebut sangat amat tidak membantu.

Gue sekarang lagi… balik terjebak diantara keinginan dan moral.

Kayak berbulan-bulan lalu. Kayak pertama kali sewaktu gue berkesempatan buat berada sedekat nadi sama dia.

Bedanya apa? Nah itu, yang sedang gue cari tau.

“Kamar Sunwoo.”

Gue berkedip, berkedip, dan berkedip. “Hah?”

“Sunwoo lagi mikir kan mau nganterin Eric ke kamar yang mana?”

Anjiiing, cinta bats gua ama ni anak. Sebentar, gue mau sok batuk-batuk tolol dulu. “Kamar gue nih?”

“Iya, kenapa?”

“Ya gapapa, konfirmasi.”

“Mikir jorok ya lu?”

Kenapasih kayak… selalu ada aja cobaan hidup gua. “Lu yakin banget kah gue akan berani ngapa-ngapain lu?”

“Engga sih.”

“Nah.”

Si dia yang pada saat itu berada di depan pintu dengan tangan gue merangkul lekuk pinggangnya merengek pelan. “Kado.”

“Kado?”

“Sunwoo belum kasih kado ke Eric. Tadi katanya disimpen di kamar?”

OH.” Mata batin gue mulai terbuka dengan kode njelimet yang sedari tadi gue terima. “Bilang dong, muter-muter segala.”

“LUUU gak peka.”

“Hehehe maap, maap.”

Eric membuka pintu kamar tanpa menunggu gue, tengkurap menjatuhkan dirinya sebagaimana ia selalu melakukannya acap kali berada disini, dan mengadahkan satu tangannya masih dengan wajah yang berada di balik bantal.

Paparnya dengan suara yang manja, “Mana?”

Sebuah kotak kecil gue daratkan di atas tangannya. “Tuh.”

Eric being Eric, yang langsung dalam kecepatan kilat berada dalam posisi duduknya. “Apa nih?”

“Itu tugas lu untuk membuka dan mencari tau gak sih?”

Lirikannya kepada gue jenaka dan sinis. “Iya tau.”

Lalu di lima menit kedepan, gue punya PR untuk menjadi pengawas antara Eric dengan paket dan guntingnya; mencegah dia untuk menjadi terlalu bersemangat, menjaga jarak antara benda tajam dengan jarinya, dan mengumpulkan sisa-sisa kertas kado yang bercecer di lantai.

“…Minyak telon?”

Mencoba menahan tawa, adalah PR gue yang selanjutnya. Dengan bibir yang diarapatkan itu gue bergumam, “Mhm.”

Prank kah?”

“Kagak. Serius itu kado lu, fix no revisi.”

Eric menggaruk pelipisnya malas, kembali merebahkan dirinya. “Emang seharusnya gue gak berharap banyak.”

“Keren kan? Sungguh mendeskripsikan lu kan? Apa yang sangat-sangat lu butuhkan kan?”

Plot twist dari segala plot twist, si Eric ini emang gak ada niatan mau ngejawab dengan jawaban waras sih. Ketauan banget dari jemarinya yang menarik kerah gue mendekat, sampai akhirnya wajah gue berlokasi tepat diatas wajahnya; ujung hidung menyentuh ujung hidung.

“Serius dikit bisa gak, kak Sunwoo?”

Aliran darah gue pasca ngedenger itu, lari semua ke kepala. Tiba-tiba jadi abu-abu aja tuh dunia. Parahnya lagi, seluruh tubuh gue lumpuh total gak bisa gerak. Ya pasrah aja, waktu kerah gue masih digenggam dan gue harus bertahan dengan tubuh yang melayang diatas sana. Kayak si cupu. Tadi udah ada belum sih narasi yang menyatakan bahwa gue ini cupu?

“Ini lo begini. Ahem. Karena kecewa sama kadonya?”

“Engga, biasa aja. Gue suka kok. Bisa dipake.”

“Yaudah kalau gitu.”

“Yaudah.”

“Yaudah.”

Mau cuddle?

Cara Eric tersipu malu adalah serangan jantung mendadak bagi gue. Air muka itu sekarang seakan-akan mengatakan: gue kira lo gak akan tanya, anjir. Wajahnya sempat dialihkan dari gue sejenak, menghindar dan mencari jarak sebelum kembali ke tempatnya semula dengan kepercayaan diri tingkat seratus persen.

Katanya kepada gue pada saat itu, “Ajarin.”

Dan, ya, oke. Bukannya gue adalah cokiber beneran yang bisa dengan mudah menangkis hal-hal kayak gitu. Lagi, dalam okasi dan banyak lapis rahasia yang gak banyak orang tau, gue anaknya sangat-sangat D’Masiv. Yang artinya, kembali kepada rumus bahwa gue cowok payah yang bisa panik

Tapi gue mencoba untuk engga. Daripada menghancurkan suasana yang sedang khidmat-khidmatnya ini, gue harus mencoba untuk merubah metode permainan.

“Oke.”

Hal pertama yang gue lakukan setelah memantapkan diri adalah membuka jaket yang membungkus tubuh. Lalu jeans lusuh. Lalu kaos putih. Gue kini, hanya dibalutkan celana pendek berwarna merah tua dan kulit yang berdemo kaget karena dingin yang menerpa secara tiba-tiba.

Eric tentu gak mempertanyakan itu. Udah terlalu banyak waktu dimana dia melihat gue pergi tidur dengan tampilan begini. Biasanya, kontras diantara kami adalah Eric yang malahan nanti akan tiba dengan piyama paling rumahan dan bermotif lucu yang pernah gue liat. Terkadang dengan penutup mata unicornnya, terkadang dengan guling yang gue yakin udah ada bareng dia dari ceprot lahir.

Yang kali ini minus baju tidur. Dan Eric Sohn dibalut oleh celana pendek khaki dan kaos hitamnya, ditarik dalam dekapan hingga keningnya kini berada tepat di depan dada gue dan kaki kami yang saling bertaut.

“Bagian ini,” Ucap gue dengan serak. “Namanya teknik menghangatkan.”

“Mm.” Gumam si dia acuh tak acuh.

“Dan sekarang waktu paling bagus buat lu oversharing rahasia terbesar dalam hidup lu kepada gua.”

“Kan Sunwoo udah tau semua?”

Kepolosan dalam suaranya yang membuat gue tak kuasa menahan tawa. “Oh iya.”

“Sunwoo aja.”

“Apanya?”

“Yang cerita.”

Gue menyempatkan mengecup pelipis dan memastikan untuk tak berhenti mengusap punggungnya lembut. “Hmm, apa ya… Mungkin kenyataan kalau muter image tuh susah kali ya. Dari awal orang-orang taunya kan aku nih Gondes, dia setelannya emang gitu. Gak perlu dijelasin Eric juga ngerti lah. Tapi yang kadang aku gak suka tuh tiap lagi serius orang-orang malah gak percaya. Kredibilitasnya tuh gak ada. Padahal Sunwoo juga bisa kasih input untuk hal-hal yang sifatnya dewasa dan krusial.”

“Intinya Sunwoo sebel kalau gak dipercaya dan kapabilitasnya diragukan.”

“Dih.” Mata gue melirik ke bawah dan menemukan maniknya. “Belajar darimana lu kata-kata begitu?”

“Ya gue sekolah kali???”

Lagi-lagi gue terbahak. “Iya-iya, intinya gitu.”

“Eric tau, kok.”

“Tau apa tuh?”

“Kalau Sunwoo juga bisa thoughtful. Bisa dewasa. Kadang Eric liat. Kadang Sunwoo aplikasiin itu ke Eric. Rasanya… nyaman. Kayak dijagain.”

“Mm.” Gue mendekap dia lebih erat, lebih dekat. “Bagus kalau gitu.”

“Ini tahap cuddle dari deep talk bukan?”

Masih sembari melirik ke bawah, gue sekarang tengah berusaha mensejajarkan wajah kami sehingga gue bisa gigit hidungnya. Dan gue lakukan itu. “Bener.”

Yang digigit tak mengatakan apapun. “Oke.”

“Menurut Eric yang selanjutnya apa?”

Gue tau dia mulai kalang kabut, karena gue pun juga. “Kan lo yang gurunya.”

“Kan kadang guru sama murid punya sesi tanya jawab.”

“Serius lu ah.”

“Mau gue bantuin jawab gak?”

“Mau.”

“Panggil kakak lagi.”

“MALES.”

“CEPETAN.”

“Kak Sunwoo.” Begh. “Kak Sunwoo…” Goks. “Kak Sunwoo, kak Sun—

Gue memotong kalimat Eric dengan mengecup kilat bibirnya. “Tuh.”

Eric dan matanya yang membulat komikal. “Bentar amat???”

“Lu mah sangean.”

“Bukan gitu!! Harusnya ciuman yang pake lidah gak sih?”

Ya astaga gusti, gak ada yang bisa gue lakuin kecuali gigit-gigit bibir soalnya anjinglaaah gemes. “Ric.”

“Apaan?”

“Lu sadar gak sih kalau lu tuh sangat bayi dan menggemaskan?”

“Beberapa detik lalu lu bilang gue sangean dah. Bisa gak apa-apa tuh konsis—”

Lagi, gue potong celoteh itu dengan kecupan. Namun kali ini kecupan itu berubah menjadi lumatan dengan gue yang menangkup kedua pipinya erat. Gue suka bagaimana reaksi pertama yang terjadi pada tubuh kami adalah seakan-akan kami tengah berada di tengah gurun pasir dan ini adalah hujan air lebat yang menggu-yur seluruh tubuh hingga basah kuyub.

Karena lalu kami bernapas. Karena lalu sesak itu hilang disapu perasaan sejuk.

Kapasitas keberanian gue mulai meningkat dalam beberapa detik setelahnya. Masih dengan bibir yang saling melumat, masih dengan ibu jari yang mengelus pipi si dia, masih dengan segalanya tentang tubuh kami yang saling bertaut, gue lalu meraba dan memasukan tangan ke balik punggungnya. Bukan diantara serat pakaian yang si dia kenakan, namun langsung menyentuh dan menuju kulit.

Dan Eric merespon buku-buku jari gue yang kasar itu dengan lenguhan serta rengekan. Yang kemudian mengalir ke dalam darah, sendi, juga kewarasan. Yang membuat gue pusing tujuh keliling sampai tak mampu mengendalikan lidah yang sedang bertarung di dalam sana.

Gue lalu semakin menggila dengan berusaha menggesekan segalanya. Entah itu kening kami, hidung kami, dagu kami, dada kami, jemari kami, atau sesuatu diantara selangkangan yang berdenyut dan menjerit.

Namun kalau gue bisa punya adrenaline rush, Eric pun bisa mengalami hal yang sama. Cuma mungkin bedanya batasan antara gue dan dia agaknya punya rentang yang jauh, seperti misal tubuhnya yang kini terangkat dan ada di atas gue.

Dan sebelum gue sendiri mengetahui hal tersebut, gue sedang dikerjai.

Eric berpindah dari bibir menuju leher dalam kecepatan kilat. Melumatlah ia di ceruk sana, namun dengan hisapan yang tidak berhenti membuat gue menggeliat dan mendidih. Pun begitu, tangan gue tetap siap sedia menyeimbangkan dalam genggam di lekuk pinggang. Gue rasa gue bisa melakukan sejauh ini sebagai bentuk Tindakan preventif.

Tindakan preventif.

Oh, shit.

Kenyataan bahwa gue tidak perlu repot-repot pergi ke depan kaca untuk mendeteksi warna-warni di leher sana agaknya adalah sebuah statement yang jenaka. Karena gue sendiri sadar akan passion Eric yang meletup-letup. Karena gue sendiri sadar akan kerja kerasnya dalam mencipta jejak merah membara. Yang terkadang pindah ke tulang selangka. Yang terkadang juga membuat gue kerasukan dengan lagi-lagi butuh dia untuk mengisi kekosongan di bibir sana.

It’s all fun game. Di umur gue yang sekarang, hormon seksual adalah dominasi cukup besar sebagai standarisasi dari banyak pengambilan tindakan dan juga keputusan dalam hidup. Pada bagian kali ini, akan gue mencoba mengembalikan akal sehat lebih cepat dari gue mengedipkan mata.

“Ric, Ric.”

“Hmm?” Ciuman itu mulai turun ke garis dada.

“Eric.”

“Hmm.”

Stop dulu.”

“Hmm…” Anjing… udah mau sampe titit…

“Ric stop dulu.”

Empasisi dalam suara gue, ternyata berhasil membuat si bayi mendongak dari fokusnya. “Apa sih anjir?”

“Udah.”

“Apanya.”

“Ini, udah, sampe sini aja.”

Alis si dia menukik naik. Satu, lalu keduanya. Gue begitu mengenal Eric untuk paham bawa perintah gue barusan akan menimbulkan berdebatan. Gue begitu mengenal Eric untuk mengantisipasi bahwa akan ada gue yang lelah dalam menjelaskan kenapa harus sampe sini aja. Gue juga begitu mengenal Eric, untuk paham bahwa keras kepalanya akan membuat dia menentang apa yang gue minta.

Namun Eric yang malam ini adalah Eric yang penuh kejutan. Eric yang malam ini, serta merta memindahkan dirinya kembali ke posisi awal di sebelah gue dengan aman dan nyaman tanpa protes juga penolakan.

Dia cuma bilang, dalam sebuah bisik yang berada begitu dekat dengan gue hingga napasnya menampar wajah, “Oke.”

Dan kalau seluruh dunia bingung, percaya, gue yang saat ini lebih bingung.

Tapi ya, yaudah. Gue nobatkan ini sebagai kejadian new year new me pertama antara gue dan dia. Bahwa ada sebuah garis batasan dan toleransi yang kami gambar sendiri atas sejauh mana gue dan dia akan membawa kami. Dan kalau gue, Kim Sunwoo, tidak nyaman mengeksplorasi sang bocah yang pada saat itu berumur delapan belas tahun lebih daripada yang tadi, maka Eric Sohn mungkin akan mencoba mengerti.

Dan gue menyukai keseimbangan dalam ini.

Karena artinya, gue dan dia sama-sama percaya masih dan akan ada lain kali.

“Sunwoo dingin gak?”

“Kenapa emangnya?”

“Kan lu cuma pake kolor.”

“Gak sih, biasa aja.”

“Anget ya karena dipeluk gua.”

“Hmm, bisa jadi.”

Pinggang gue dicubit kencang. “Monyet.”

Dan gue mengaduh sambil tertawa. Lagi, dengan tangan yang menarik si dia semakin erat dalam dekapan walaupun orang waras manapun akan sadar bahwa sudah tidak ada lagi jarak lowong yang tersisa diantara kami.

“Marah gak?” Konfirmasi basa-basi, karena kami adalah remaja labil.

“Engga.”

“Ngantuk?”

“Ngantuk.”

“Siap.” Gue tertawa sembari mengecup pelipisnya.

“Youngjae.”

“Iya,.”

“Maaf ya lama, buat bisa sampe disini.”

“Gapapa…” Eric memetakan wajah gue dengan telunjuknya; pelan, teliti, dan satu-persatu. “Tapi kalau sekarang udah boleh menetap?”

“Selama semua gerai McDonald di Timur Jakarta masih sama-sama bisa kita hitung jumlahnya, boleh.”