erryoun

Hangyul tidak mengerti kenapa Han Seungwoo bisa berpikir bahwa membelikannya hybrid setengah rubah untuk hadiah ulang tahun adalah ide yang bagus. Seungwoo memang uangnya banyak, tapi Hangyul tidak tahu dia punya uang sebanyak itu sampai bisa membeli hybrid. Meskipun beberapa tahun ini hybrid menjadi sangat populer sebagai asisten pekerjaan manusia (dan beberapa dijual sebagai boneka seks semata), tapi tetap saja, kalangan menengah seperti Hangyul bahkan tidak pernah melihat hybrid dengan mata kepala sendiri sebelumnya.

Mungkin sudah hampir lima menit lamanya Seungwoo pergi meninggalkan apartemen Hangyul untuk belanja kebutuhan perayaan kecil-kecilan ulang tahun Hangyul nanti malam, sudah selama itu pula Hangyul duduk berdua saja dengan hybrid setengah rubah itu di ruangan tengah tanpa satupun dari mereka memulai pembicaraan. Seungwoo bilang hybrid ini bisa menjadi obat Hangyul kalau sedang kesepian, tapi kalau begini terus bisa-bisa dia malah frustasi sendiri karena canggung sekali keadannya.

Pada akhirnya, Hangyul menolehkan kepalanya, di saat yang bersamaan hybrid itu balas menatapnya. Rasanya aneh, mau mengajaknya bicara pun rasanya aneh. Hybrid itu terlalu terlihat fana untuk dikata manusia, tapi terlalu terlihat hidup untuk dikata bukan manusia. Dia bahkan bisa bicara (sebelumnya Hangyul kira mereka tidak bisa bicara), tadi waktu datang berdua dengan Seungwoo, pria bertelinga rubah itu memperkenalkan dirinya sebagai Cho Seungyoun.

“Seungyoun-ssi?”

“Seungyoun saja,” balas Seungyoun cepat. Dia tersenyum, manis dan hangat sekali seperti kue yang baru di angkat dari oven. Saat itu, Hangyul tidak bisa menahan telinganya yang memerah sendiri karenanya.

“Oh, Seungyoun,” Hangyul tidak tahu kenapa dia merasa gugup sekali. Mungkin karena pria di sebelahnya ini, jika kita mengesampingkan fakta bahwa ada sepasang telinga rubah yang mencuat di kepalanya, sebenarnya dia sangat, sangat tampan. Dan, kulitnya seputih susu, semakin indah ketika terkena terpaan sinar mentari dari luar jendela. Hangyul nyaris tersedak sendiri ketika Seungyoun tiba-tiba bergeser mendekat dan meraih sebelah tangannya, mengelus-elus punggung tangannya lembut seperti seorang perayu profesional.

Karena begitu gugupnya, Hangyul menarik tangannya dari genggaman Seungyoun. Dia menatap lurus pada Seungyoun dengan kedua netra yang bergetar kecil. “Ah, a-apa kau lapar?”

Seungyoun tersenyum, lagi. Hangyul rasa dia sudah hampir kehilangan kewarasannya. “Iya,” katanya.

“Kau suka apa? Sebenarnya tidak ada yang tersisa di rumah ini kecuali telur dan sedikit potongan sosis. Kalau mau yang lain, kita tunggu Seungwoo-hyung saja, ya.”

Seungyoun tertawa, lalu senyumannya itu melebar penuh makna. “Aku tidak makan makanan yang seperti itu.”

Hangyul mengerutkan dahinya. “Begitu? Lalu apa yang kau makan?”

Seungyoun tidak langsung menjawab, dia bergerak semakin mendekat pada Hangyul, membuatnya mau-tidak mau terhimpit ke pinggiran sofa. Kedua tatapan matanya itu menajam dan Hangyul jadi menelan air ludahnya sendiri, sedikit tanpa sadar.

“Aku menyerap energi dari panas tubuh manusia.”

“Apa maksudmuㅡha-hah?!”

Hangyul tidak sempat menambah tanda tanya di atas kepalanya, Seungyoun keburu menarik atasan bajunya ke atas tanpa permisi sama sekali, membuat seluruh tubuh bagian atas Hangyul terekspos begitu saja, lalu diciuminya setiap inci permukaan kulit Hangyul, membuat laki-laki itu menggigit bibirnya karena geli.

Seungyoun menggigitnya sesekali, sedikit terlalu kuat. Gigi-giginya sedikit lebih tajam dari gigi manusia pada umumnya adalah mungkin karena dia setengah rubah. Omong-omong, itu membuat tanda kemerahan yang lumayan dalam. Hangyul nyaris menjerit, punggungnya melengkung sempurna di atas sofa ketika Seungyoun menghisap dan menggigit puting susunya seperti bayi.

Hangyul mungkin sempat kehilangan akal sehatnya, dia tidak tahu sejak kapan Seungyoun sudah menindih di atasnya, menggerayangi perut dan dadanya seperti dia adalah makan siang paling menggiurkan yang pernah ada.

“Ah, aaahㅡSe-seungyounㅡ”

“Apa?”

“Apa h-harus seperti ini?”

Seungyoun tersenyum melebar. “Kenapa? Kau tidak suka?”

Hangyul terdiam sejenak. “Sedikit ... sakit.”

“Tapi memang harus begitu, hanya saja itu cara yang membutuhkan waktu lumayan lama,” balas Seungyoun santai.

“Kalau mau selesai cepat harus melakukan apa?” Hangyul mendongakkan kepala, menatap lurus pada Seungyoun dengan kedua matanya yang terbuka lebar. Dia kelihatan menggemaskan.

Senyuman Seungyoun semakin melebar, kedua matanya semakin menyipit karena itu. Hangyul memekik panik ketika si setengah rubah itu menarik celana training yang dipakainya ke bawah, lalu melemparnya asal ke atas lantai. Hangyul segera menahan tangannya tepat sebelum Seungyoun melepas celana dalamnya juga. “A-apa yang kau lakukan?!”

“Katanya mau selesai dengan cepat.”

“T-tapi, kenapa kau melepas celanaku?!”

“Panas tubuhmu akan mudah menular padaku kalau seperti ini,” katanya. “Nikmati saja dan biarkan aku melakukan apa yang harus dilakukan, majikanku,” katanya.

Hangyul tidak sepenuhnya mengerti, tapi dia membiarkan Seungyoun melepaskan celana dalamnya juga pada akhirnya. Sekarang dia telanjang bulat, kecuali dengan atasan kaos yang sudah di angkat tinggi-tinggi di atas dadanya. Seungyoun memeluknya dalam-dalam satu kali, kemaluan mereka saling bergesekan karenanya dan itu membuat Hangyul merasa betul-betul malu.

Seungyoun menjauhkan dirinya sebentar. Dia menurunkan celananya sendiri juga, mengeluarkan kemaluannya yang sudah menegang entah sejak kapan. Hangyul tersentak kaget ketika lagi-lagi, tanpa permisi sama sekali Seungyoun memasukkan dua jarinya ke dalam lubang Hangyul, mencoba membuatnya sedikit lebih terbuka.

“A-apa yang kau lakukan?!” Hangyul meraih sebelah tangan Seungyoun, mencengkramnya sedikit terlalu erat, tapi genggamannya itu melemas ketika Seungyoun memaksa masuk ujung batang kemaluannya ke dalam lubang Hangyul, membuat laki-laki itu nyaris berteriak tertahan.

“A-ah, haah... ahh... Seungyoun, su-sudah, aku ti-tidak suka.”

Alih-alih berhenti, Seungyoun tetap maju, memasukkannya semakin dalam perlahan-lahan.

“A-aku tidak su-suka,” Hangyul meraih lengan Seungyoun, lalu mencengram, nyaris menyakar permukaan kulit laki-laki rubah itu. “S-sakit... a-ah,” dia merintih, bersama sekujur tubuhnya yang gemetar hebat.

Seungyoun mencium dahinya, mengusap kepala Hangyul beberapa kali dengan lembut. Lalu tiba-tiba Hangyul merasakan sesuatu yang dingin dan licin masuk memenuhi bagian bawah tubuhnya. Dia tidak mengerti apa yang Seungyoun keluarkan dari kemaluannya. Itu bukan sperma, apalagi air kencing.

“Jangan takut, itu pelumas,” Seungyoun membuka suaranya pelan. “Beberapa dari kami bisa melakukan itu,” katanya. “Sekarang tidak akan terlalu sakit lagi.”

Hangyul tahu beberapa dari para hybrid itu memang diciptakan sebagai boneka seks, tapi dia tidak tahu mereka bisa melakukan hal sejauh itu. Dan, ngomong-ngomong, kenapa Seungwoo membelikan hybrid model seperti ini pada Hangyul?! Kalau hanya untuk menemani Hangyul di apartemennya, 'kan bisa membeli hybrid yang biasa saja!

Lamunannya seketika luntur tatkala Seungyoun bergerak memaju-mundurkan kemaluannya lagi. Benar dikatakan bahwa sekarang rasanya sudah tidak sakit lagi seperti tadi. Hangyul mulai menemukan sesuatu yang candu di dalamnya. Dia menggigit bibirnya keras-keras, berusaha menahan desah panjang yang bisa keluar kapan saja bersamaan dengan kemaluannya yang semakin menegak.

Seungyoun jadi gemas dibuatnya. Dia bergerak mendekat, lalu mencium, menjilat, menggigit leher Hangyul kuat-kuat. Itu membuat Hangyul membuka mulut pada akhirnya, meloloskan rintihan tipis di bawah desah panjang yang menggoda. Seungyoun menemukan candu di dalamnya: tentang bagaimana suara berat Hangyul yang biasa berubah tipis dan meninggi setiap kali dia merintih setengah berteriak.

Seungyoun mempercepat tempo karena dirasa dirinya sebentar lagi mau keluar. Hangyul juga sepertinya tidak jauh berbeda keadaannya, satu-dua tetes cairan kental sudah meleleh keluar dari kemaluannya yang memerah. Sesekali dia menatap Seungyoun penuh arti, dengan kedua matanya yang basah dan memerah. Seperti minta disentuh lebih dalam, tapi tidak berani bicara karena malu tak terkira.

Lantas Seungyoun mendekat dan mencium bibir Hangyul, membuat cumbu itu mendalam hanya dalam beberapa detik saja. Seungyoun memasukkan lidahnya, kadang-kadang menggigit bibir bawah Hangyul yang tidak kunjung berhenti gemetaran. Hangyul tidak bisa memikirkan apa-apa lagi saat itu. Pikirannya melayang-layang. Ciuman itu membuatnya terlena dalam berbagai cara.

Hangyul yang klimaks duluan, cairan spermanya yang meleleh keluar semakin banyak, mengotori selangkangan dan perutnya sendiri. Seungyoun juga keluar tidak lama kemudian. Cairan kental itu memenuhi lubang Hangyul dari dalam, tetesannya meleleh keluar ketika Seungyoun mengeluarkan kemaluannya dari lubang Hangyul.

Mereka saling bertatapan. Seungyoun merasakan wajahnya sendiri memanas dengan hanya melihat keadaan Hangyul yang berantakkan: kedua matanya basah, bibirnya bengkak dan memerah, sekujur tubuhnya penuh dengan bekas gigitan. Lee Hangyul itu ... betul-betul indah. Seungyoun rasa dia sangat beruntung bisa mendapatkan majikan seperti Hangyul tepat setelah keluar dari laboratorium.

Seungyoun nyaris akan mengatakan sesuatu, tapi mulutnya yang sudah terbuka itu ditutupnya lagi tatkala suara kantung belanja yang jatuh terdengar cukup nyaring dari pintu. Lantas keduanya menoleh ke sumber suara, lalu menemukan Seungwoo yang baru saja masuk ke dalam rumah dengan ekspresi kaget bercampur merah wajahnya karena malu.

Melihat Seungyoun dengan cengiran yang tanpa dosa, lalu Hangyul yang ditindih di bawahnya, telanjang bulat dan banyak bekas-bekas memerah di dadanya, Seungwoo rasa darahnya langsung naik ke kepala, panas sekali sampai rasanya dia mau meledak.

Detik berikutnya, dia benar-benar meledak,

“CHO SEUNGYOUN!!!”

Tapi Seungyoun masih tertawa-tawa tanpa dosa, bahkan ketika Seungwoo melemparinya dengan bantal sofa. Seungwoo sakit hati, dia sudah mencintai, melindungi Hangyul sejak lama sekali. Tapi, sekarang tiba-tiba saja yang merenggut kesucian Hangyul dengan begitu mudah adalah hybrid yang dibelinya sendiri. Kurang ajar sekali.

“Dasar licik! Biar aku kembalikan saja kau ke laboratorium!”

Seungyoun menjulurkan lidahnya, “Itu salahmu sendiri. Siapa suruh membeli hybrid rubah?”

Hangyul hanya bisa menonton pertengkaran mereka dalam diam. Selimut tipis yang kebetulan ada di kursi sebelah sofa diambilnya untuk menutupi tubuh polosnya. Bagian bawah tubuhnya masih terasa panas dan itu membuat Hangyul tidak bisa berhenti menutup sebagian wajahnya karena malu.

Di antara sumpah serapah yang keluar dari bibir Seungwoo, Hangyul justru terpana pada suara tawa dan ekspresi lucu Seungyoun. Telinga rubahnya bergerak naik-turun setiap kali dia berlari mengitari ruangan untuk menghindari Seungwoo. Oh, dia lucu sekali. Mungkin Hangyul tidak keberatan untuk benar-benar menerima Seungyoun tinggal di rumahnya mulai saat ini.