• ryeonseung. pt 2.
“Pak Seungyoun orangnya seperti apa, sih?”
Waktu itu adalah sekitar sepuluh menit setelah waktu istirahat makan siang dimulai. Seungwoo selalu menghabiskan waktu kosong itu untuk makan di restoran keluarga tepat di depan kantor dengan Choi Byungchan: temannya sejak kuliah, karyawan bagian ekspor di kantor yang sama tempatnya bekerja.
Setelah mengunyah dan menelan habis suapan yang ada di mulutnya, Seungwoo membalas, “Kenapa penasaran?”
Byungchan mengangkat bahu. “Terkenal sekali orangnya,” katanya. “Di Ekspor jarang pegawai wanita, tapi hampir semua rekan kerjaku mengagumi dia. Chaeyeon bilang hampir semua pegawai wanita bagian produksi menaruh hati padanya.”
Seungwoo terdiam cukup lama, sebenarnya bingung menjawab karena dia bukan orang yang suka mengisi waktu kosong dengan menggosipkan rekan kerja seperti kebanyakan orang lain lakukan. “Aku tidak tahu banyak,” Seungwoo bergumam tidak jelas. “Tapi aku rasa itu wajar saja kalau dia terkenal. Dia sebenarnya lebih muda dariku, tapi sudah jadi kepala akuntan.”
“Orangnya galak, tidak?”
“Lumayan, kalau sedang mau tutup buku atau ada audit dia jadi tegas sekali,” balas Seungwoo setelah memakan suapan berikutnya. “Kadang-kadang aku kesal kalau ingat dia lebih muda dariku, tapi namanya kerja, harus profesional.”
Byungchan tertawa. “Makanya waktu kuliah jangan banyak cuti, sekarang tahu rasa dipimpin oleh yang lebih muda.”
Seungwoo hanya diam, menghembuskan napas berat.
Percakapan itu terhenti begitu saja ketika mereka berdua sama-sama sadar bahwa waktu istirahat makan siang sudah semakin menipis sementara makanan di atas piring masih tersisa banyak. Lantas dihabiskannya makanan itu dengan cepat sebelum akhirnya berjalan cepat beriringan masuk kembali ke dalam gedung perusahaan bersamaan dengan beberapa karyawan lain yang makan di tempat yang sama.
Seungwoo berjalan cepat menuju ruangan kerjanya setelah berpisah dengan Byungchan di lift. Bagian Akuntansi masih lumayan kosong saat itu karena memang masih ada sedikit waktu sebelum jam kerja kembali dimulai. Seungwoo duduk di kursinya, lalu bersenandung kecil sambil memain-mainkan pena di tangan kanannya.
Perhatiannya sontak teralih ketika ponsel di saku celananya bergetar tanda ada notifikasi masuk. Seungwoo segera merogoh saku dan memeriksa layar ponselnya. Kedua matanya lantas terbuka melebar penuh arti, lalu dikatupkan separuh wajahnya karena malu kalau ada rekan kerja yang memergokinya senyam-senyum tidak jelas.
Notifikasi yang masuk adalah pengumuman kecil dari situs web yang sering sekali dikunjungi Seungwoo akhir-akhir ini. Woodz menulis pesan di jendela obrolan bahwa dia merindukan penontonnya dan akan segera siaran langsung malam ini. Streamer itu tidak lupa menambahkan tanda hati dan melampirkan foto mainan yang akan digunakannya nanti. Seungwoo hampir tidak bisa lagi menyembunyikan senyuman tidak jelas merekah di wajahnya. Itu memalukan bahwa dia bertingkah seperti laki-laki kesepian yang nasibnya sangat menyedihkan sampai harus bergantung pada video porno untuk mengisi malam.
Tapi, ya, bagaimana lagi? Seungwoo tidak pernah melihat laki-laki seindah Woodz dan dia tidak bisa melupakannya.
Sebenarnya itu lucu kalau dipikir. Seungwoo melihat duluan seluruh tubuh telanjang Woodz sebelum melihat wajahnya. Saking seringnya menonton siaran ulang Woodz belakangan ini, Seungwoo sudah hafal betul tubuhnya yang kurus, kulitnya yang putih bersih, kedua tungkainya yang panjang, bahkan kemaluannya yang selalu memerah menggemaskan setiap kali ereksi. Seungwoo bahkan sudah ingat semua tato yang dia punya, termasuk tato kecil bergambar emoji menangis dan tersenyum di lengan bawah bagian dalam yang waktu pertama kali menonton siaran ulang Seungwoo tidak menyadarinya. Seungwoo juga punya tato, tapi tidak sebanyak tato Woodz. Dan, semua tatonya itu menambah keindahan bentuk tubuh si streamer.
“Sudah ada pacar baru, Tuan Han?”
Seruan yang jenaka dari anak baru di bagian mereka, Kim Yohan, seketika menarik semua perhatian Seungwoo. Seungwoo lantas mengunci layar ponselnya sambil berusaha tetap bersikap tenang. “Begitulah,” balas Seungwoo tidak jelas.
Yohan tertawa. “Orang setampan Kak Seungwoo memang tidak mungkin melajang terlalu lama,” katanya.
Seungwoo hanya tertawa hambar. Kenyataannya sekarang dia melajang dan lebih parahnya lagi, hobinya adalah nonton video porno laki-laki homo. Tapi biar saja Yohan berasumsi demikian supaya Seungwoo tidak perlu pusing-pusing mengarang lagi kalau ada yang memergokinya senyam-senyum karena Woodz lagi.
“Kangen-kangenannya nanti di rumah saja, Kak,” ujar Yohan lagi. “Katanya mau ada pemeriksaan akuntan publik dalam waktu dekat, si Bos pasti jadi galak,” katanya. “Nanti dimarahi Pak Seungyoun kalau ketahuan buka ponsel terus.”
Seungwoo tertawa. “Ini 'kan belum mulai kerja, nanti juga aku simpan ponselnya,” katanya. “Kamu sebaiknya duduk sebelum si Bos datang, anak baru jangan banyak tingkah.”
Yohan cemberut lucu. Seungwoo jadi gemas. Dia mengelus-elus kepala Yohan hampir secara tidak sadar.
“Mau ke mana?” Yohan berujar heran ketika Seungwoo malah beranjak dari kursinya menuju pintu keluar.
Seungwoo berbalik sambil tersenyum tipis padanya. “Ke kamar kecil. Kalau Pak Bos sudah masuk ruangan, tolong katakan padanya aku keluar sebentar,” katanya sesaat sebelum betul-betul pergi meninggalkan ruangan.
Seungwoo tidak mengira dia akan bertemu si Bos yang sejak tadi dibicarakannya itu di kamar kecil, sedang membenahi penampilannya di depan kaca wastafel. Situasi itu sedikit terasa canggung. Seungwoo ragu mau menyapanya atau tidak sampai Seungyoun akhirnya menyadari kehadirannya dari pantulan dirinya atas di kaca cermin.
“Seungwoo,” panggilnya singkat sambil tersenyum tipis. “Kau seharusnya sudah ada di mejamu.”
Seungwoo berjalan ke sebelahnya, lalu ikut membetulkan kemejanya yang sedikit berantakkan. “Aku ke sini sebentar, nanti langsung kembali ke ruangan,” katanya santai. Sebenarnya di antara staf akuntansi lain, Seungwoo adalah yang paling santai kalau berhadapan dengan Seungyoun. Seungwoo tidak tahu kenapa dia tidak bisa melihat aura mengintimidasi Seungyoun seperti yang dibicarakan orang-orang. Kalau mengesampingkan fakta bahwa Seungyoun adalah atasannya di tempat kerja, bagi Seungwoo dia hanyalah laki-laki biasa yang sedikit lebih muda dan sedikit lebih pendek darinya.
Suara keran wastafel yang dinyalakan oleh Seungyoun lantas melunturkan lamunan singkat Seungwoo. Dia jadi tidak sadar sudah memerhatikan Seungyoun menarik kemeja kerjanya sampai separuh lengan, lalu mengambil sabun untuk mencuci tangan. Omong-omong, Seungyoun dibalik kemeja panjangnya ternyata jauh lebih kurus dari yang Seungwoo kira. Seungwoo juga baru menyadari dia punya sepasang tangan yang mungil untuk seukuran lelaki yang badannya setinggi itu. Seungwoo tidak mengerti kenapa dia bisa berpikir itu menggemaskan.
Ah, dan satu lagi yang Seungwoo baru sadari adalah, ternyata atasannya itu punya tato kecil di bawah lengannyaㅡ
ㅡtunggu sebentar.
Seungwoo melotot.
Tato itu tidak asing.
Ketika Seungwoo sadar di mana sebelumnya dia menemukan tato seperti itu, matanya semakin terbuka melebar, kehilangan kata-kata selama beberapa detik.
Seungyoun tidak menyadari perubahan ekspresi orang yang ada di sebelahnya. Dia segera membetulkan lengan kemeja kerjanya, lalu mengancingi keduanya supaya tetap rapi. Tepat sebelum dia betul-betul selesai, Seungwoo tiba-tiba menggenggam lalu menarik sebelah tangannya dengan paksa. Itu jelas-jelas memancing emosi Seungyoun.
“Hei! Sopanlah sedikit pada atasanmㅡ”
“Woodz?”
Tepat ketika nama itu keluar begitu saja dari mulut Seungwoo, kedua mata Seungyoun lantas melebar, sangat lebar. Dia tidak bisa menemukan kata-kata, hanya bisa membalas tatapan Seungwoo dengan ekspresi mengeras. Lama-lama wajahnya memerah sampai ke telinga.
Saat itu, senyuman Seungwoo melebar seperti sebuah seringai.
Tidak terima ditatap dengan remeh oleh anak buahnya sendiri, Seungyoun akhirnya membuka suara, “Woodz kau bilang? Apa itu? Nama klub malam yang baru dibuka atau apa?”
Seungwoo tidak menghapus sama sekali senyuman kemenangan di muka wajahnya. Seungyoun kesal karena masih sempat-sempatnya kepalanya berpikir bahwa Seungwoo kelihatan sangat tampan saat itu. “Pak Seungyoun,” Seungwoo membuka suara dengan santai. “Kau yang paling tahu siapa Woodz ini,” katanya.
“Aku tidak tahu.” Seungyoun sudah kelihatan lebih tenang sekarang.
“Begitu? Kau bukan Woodz?”
“Aku bahkan tidak tahu apa itu Woodz,” katanya. “Jam kerja sudah mulai, kita harus kembalㅡ”
“Kalau kau bukan Woodz, buktikan padaku.”
Seungyoun ingin membalas, tapi kata-katanya ditelannya lagi ketika Seungwoo maju dengan tidak gentar, itu membuat Seungyoun terhimpit ke dinding. Sebenarnya Seungwoo tidak berniat menakutinya sama sekali, lagi pula dia tersenyum semanis mungkin sejak tadi. Mungkin karena Seungwoo sedikit lebih tinggi darinya, tubuhnya lebih berisi, itu membuat Seungyoun merasa kecil dan nyalinya sedikit menciut seketika.
“A-apa maksudmuㅡ?”
“Seungyouni,” ujar Seungwoo tipis. Itu membuat harga diri Seungyoun tercoreng karena sebelumnya Seungwoo selalu memanggilnya 'Pak Seungyoun'. Detik berikutnya Seungwoo melanjutkan, “Buka pakaianmu dan buktikan padaku bahwa kau tidak punya tato bergambar pistol di perutmu.”