erryoun

• ryeonseung. pt 2.

“Pak Seungyoun orangnya seperti apa, sih?”

Waktu itu adalah sekitar sepuluh menit setelah waktu istirahat makan siang dimulai. Seungwoo selalu menghabiskan waktu kosong itu untuk makan di restoran keluarga tepat di depan kantor dengan Choi Byungchan: temannya sejak kuliah, karyawan bagian ekspor di kantor yang sama tempatnya bekerja.

Setelah mengunyah dan menelan habis suapan yang ada di mulutnya, Seungwoo membalas, “Kenapa penasaran?”

Byungchan mengangkat bahu. “Terkenal sekali orangnya,” katanya. “Di Ekspor jarang pegawai wanita, tapi hampir semua rekan kerjaku mengagumi dia. Chaeyeon bilang hampir semua pegawai wanita bagian produksi menaruh hati padanya.”

Seungwoo terdiam cukup lama, sebenarnya bingung menjawab karena dia bukan orang yang suka mengisi waktu kosong dengan menggosipkan rekan kerja seperti kebanyakan orang lain lakukan. “Aku tidak tahu banyak,” Seungwoo bergumam tidak jelas. “Tapi aku rasa itu wajar saja kalau dia terkenal. Dia sebenarnya lebih muda dariku, tapi sudah jadi kepala akuntan.”

“Orangnya galak, tidak?”

“Lumayan, kalau sedang mau tutup buku atau ada audit dia jadi tegas sekali,” balas Seungwoo setelah memakan suapan berikutnya. “Kadang-kadang aku kesal kalau ingat dia lebih muda dariku, tapi namanya kerja, harus profesional.”

Byungchan tertawa. “Makanya waktu kuliah jangan banyak cuti, sekarang tahu rasa dipimpin oleh yang lebih muda.”

Seungwoo hanya diam, menghembuskan napas berat.

Percakapan itu terhenti begitu saja ketika mereka berdua sama-sama sadar bahwa waktu istirahat makan siang sudah semakin menipis sementara makanan di atas piring masih tersisa banyak. Lantas dihabiskannya makanan itu dengan cepat sebelum akhirnya berjalan cepat beriringan masuk kembali ke dalam gedung perusahaan bersamaan dengan beberapa karyawan lain yang makan di tempat yang sama.

Seungwoo berjalan cepat menuju ruangan kerjanya setelah berpisah dengan Byungchan di lift. Bagian Akuntansi masih lumayan kosong saat itu karena memang masih ada sedikit waktu sebelum jam kerja kembali dimulai. Seungwoo duduk di kursinya, lalu bersenandung kecil sambil memain-mainkan pena di tangan kanannya.

Perhatiannya sontak teralih ketika ponsel di saku celananya bergetar tanda ada notifikasi masuk. Seungwoo segera merogoh saku dan memeriksa layar ponselnya. Kedua matanya lantas terbuka melebar penuh arti, lalu dikatupkan separuh wajahnya karena malu kalau ada rekan kerja yang memergokinya senyam-senyum tidak jelas.

Notifikasi yang masuk adalah pengumuman kecil dari situs web yang sering sekali dikunjungi Seungwoo akhir-akhir ini. Woodz menulis pesan di jendela obrolan bahwa dia merindukan penontonnya dan akan segera siaran langsung malam ini. Streamer itu tidak lupa menambahkan tanda hati dan melampirkan foto mainan yang akan digunakannya nanti. Seungwoo hampir tidak bisa lagi menyembunyikan senyuman tidak jelas merekah di wajahnya. Itu memalukan bahwa dia bertingkah seperti laki-laki kesepian yang nasibnya sangat menyedihkan sampai harus bergantung pada video porno untuk mengisi malam.

Tapi, ya, bagaimana lagi? Seungwoo tidak pernah melihat laki-laki seindah Woodz dan dia tidak bisa melupakannya.

Sebenarnya itu lucu kalau dipikir. Seungwoo melihat duluan seluruh tubuh telanjang Woodz sebelum melihat wajahnya. Saking seringnya menonton siaran ulang Woodz belakangan ini, Seungwoo sudah hafal betul tubuhnya yang kurus, kulitnya yang putih bersih, kedua tungkainya yang panjang, bahkan kemaluannya yang selalu memerah menggemaskan setiap kali ereksi. Seungwoo bahkan sudah ingat semua tato yang dia punya, termasuk tato kecil bergambar emoji menangis dan tersenyum di lengan bawah bagian dalam yang waktu pertama kali menonton siaran ulang Seungwoo tidak menyadarinya. Seungwoo juga punya tato, tapi tidak sebanyak tato Woodz. Dan, semua tatonya itu menambah keindahan bentuk tubuh si streamer.

“Sudah ada pacar baru, Tuan Han?”

Seruan yang jenaka dari anak baru di bagian mereka, Kim Yohan, seketika menarik semua perhatian Seungwoo. Seungwoo lantas mengunci layar ponselnya sambil berusaha tetap bersikap tenang. “Begitulah,” balas Seungwoo tidak jelas.

Yohan tertawa. “Orang setampan Kak Seungwoo memang tidak mungkin melajang terlalu lama,” katanya.

Seungwoo hanya tertawa hambar. Kenyataannya sekarang dia melajang dan lebih parahnya lagi, hobinya adalah nonton video porno laki-laki homo. Tapi biar saja Yohan berasumsi demikian supaya Seungwoo tidak perlu pusing-pusing mengarang lagi kalau ada yang memergokinya senyam-senyum karena Woodz lagi.

“Kangen-kangenannya nanti di rumah saja, Kak,” ujar Yohan lagi. “Katanya mau ada pemeriksaan akuntan publik dalam waktu dekat, si Bos pasti jadi galak,” katanya. “Nanti dimarahi Pak Seungyoun kalau ketahuan buka ponsel terus.”

Seungwoo tertawa. “Ini 'kan belum mulai kerja, nanti juga aku simpan ponselnya,” katanya. “Kamu sebaiknya duduk sebelum si Bos datang, anak baru jangan banyak tingkah.”

Yohan cemberut lucu. Seungwoo jadi gemas. Dia mengelus-elus kepala Yohan hampir secara tidak sadar.

“Mau ke mana?” Yohan berujar heran ketika Seungwoo malah beranjak dari kursinya menuju pintu keluar.

Seungwoo berbalik sambil tersenyum tipis padanya. “Ke kamar kecil. Kalau Pak Bos sudah masuk ruangan, tolong katakan padanya aku keluar sebentar,” katanya sesaat sebelum betul-betul pergi meninggalkan ruangan.

Seungwoo tidak mengira dia akan bertemu si Bos yang sejak tadi dibicarakannya itu di kamar kecil, sedang membenahi penampilannya di depan kaca wastafel. Situasi itu sedikit terasa canggung. Seungwoo ragu mau menyapanya atau tidak sampai Seungyoun akhirnya menyadari kehadirannya dari pantulan dirinya atas di kaca cermin.

“Seungwoo,” panggilnya singkat sambil tersenyum tipis. “Kau seharusnya sudah ada di mejamu.”

Seungwoo berjalan ke sebelahnya, lalu ikut membetulkan kemejanya yang sedikit berantakkan. “Aku ke sini sebentar, nanti langsung kembali ke ruangan,” katanya santai. Sebenarnya di antara staf akuntansi lain, Seungwoo adalah yang paling santai kalau berhadapan dengan Seungyoun. Seungwoo tidak tahu kenapa dia tidak bisa melihat aura mengintimidasi Seungyoun seperti yang dibicarakan orang-orang. Kalau mengesampingkan fakta bahwa Seungyoun adalah atasannya di tempat kerja, bagi Seungwoo dia hanyalah laki-laki biasa yang sedikit lebih muda dan sedikit lebih pendek darinya.

Suara keran wastafel yang dinyalakan oleh Seungyoun lantas melunturkan lamunan singkat Seungwoo. Dia jadi tidak sadar sudah memerhatikan Seungyoun menarik kemeja kerjanya sampai separuh lengan, lalu mengambil sabun untuk mencuci tangan. Omong-omong, Seungyoun dibalik kemeja panjangnya ternyata jauh lebih kurus dari yang Seungwoo kira. Seungwoo juga baru menyadari dia punya sepasang tangan yang mungil untuk seukuran lelaki yang badannya setinggi itu. Seungwoo tidak mengerti kenapa dia bisa berpikir itu menggemaskan.

Ah, dan satu lagi yang Seungwoo baru sadari adalah, ternyata atasannya itu punya tato kecil di bawah lengannyaㅡ

ㅡtunggu sebentar.

Seungwoo melotot.

Tato itu tidak asing.

Ketika Seungwoo sadar di mana sebelumnya dia menemukan tato seperti itu, matanya semakin terbuka melebar, kehilangan kata-kata selama beberapa detik.

Seungyoun tidak menyadari perubahan ekspresi orang yang ada di sebelahnya. Dia segera membetulkan lengan kemeja kerjanya, lalu mengancingi keduanya supaya tetap rapi. Tepat sebelum dia betul-betul selesai, Seungwoo tiba-tiba menggenggam lalu menarik sebelah tangannya dengan paksa. Itu jelas-jelas memancing emosi Seungyoun.

“Hei! Sopanlah sedikit pada atasanmㅡ”

“Woodz?”

Tepat ketika nama itu keluar begitu saja dari mulut Seungwoo, kedua mata Seungyoun lantas melebar, sangat lebar. Dia tidak bisa menemukan kata-kata, hanya bisa membalas tatapan Seungwoo dengan ekspresi mengeras. Lama-lama wajahnya memerah sampai ke telinga.

Saat itu, senyuman Seungwoo melebar seperti sebuah seringai.

Tidak terima ditatap dengan remeh oleh anak buahnya sendiri, Seungyoun akhirnya membuka suara, “Woodz kau bilang? Apa itu? Nama klub malam yang baru dibuka atau apa?”

Seungwoo tidak menghapus sama sekali senyuman kemenangan di muka wajahnya. Seungyoun kesal karena masih sempat-sempatnya kepalanya berpikir bahwa Seungwoo kelihatan sangat tampan saat itu. “Pak Seungyoun,” Seungwoo membuka suara dengan santai. “Kau yang paling tahu siapa Woodz ini,” katanya.

“Aku tidak tahu.” Seungyoun sudah kelihatan lebih tenang sekarang.

“Begitu? Kau bukan Woodz?”

“Aku bahkan tidak tahu apa itu Woodz,” katanya. “Jam kerja sudah mulai, kita harus kembalㅡ”

“Kalau kau bukan Woodz, buktikan padaku.”

Seungyoun ingin membalas, tapi kata-katanya ditelannya lagi ketika Seungwoo maju dengan tidak gentar, itu membuat Seungyoun terhimpit ke dinding. Sebenarnya Seungwoo tidak berniat menakutinya sama sekali, lagi pula dia tersenyum semanis mungkin sejak tadi. Mungkin karena Seungwoo sedikit lebih tinggi darinya, tubuhnya lebih berisi, itu membuat Seungyoun merasa kecil dan nyalinya sedikit menciut seketika.

“A-apa maksudmuㅡ?”

“Seungyouni,” ujar Seungwoo tipis. Itu membuat harga diri Seungyoun tercoreng karena sebelumnya Seungwoo selalu memanggilnya 'Pak Seungyoun'. Detik berikutnya Seungwoo melanjutkan, “Buka pakaianmu dan buktikan padaku bahwa kau tidak punya tato bergambar pistol di perutmu.”

Han Seungwoo hanyalah seorang karyawan kantor biasa. Kesehariannya begitu normal dan monoton: pergi kerja pagi-pagi sekali, pulang malam, tidur, untuk kemudian pergi kerja lagi di esok hari. kadang-kadang dia menghabiskan waktu dengan teman, kadang-kadang dengan pacarㅡoh, atau, tidak lagi sejak perempuan itu mengakhiri hubungan mereka tiga minggu yang lalu. Alasan mereka putus sebenarnya tidak jelas, tapi Seungwoo tidak merasa kecewa atau bertanya-tanya, dia sudah tahu sejak lama bahwa Eunbi merasa bosan padanya dan sebenarnya Seungwoo sudah tinggal menunggu waktu hubungan mereka kandas.

Awalnya status lajang Seungwoo membuatnya bersyukur bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga atau teman-teman, tapi keluangan waktunya belakangan ini membuatnya jadi melakukan hobi tidak jelas yang kalau harus diakui ke khalayak ramai Seungwoo jelas tidak mau.

“Hobi” memalukannya ini dimulai sejak suatu hari Seungwoo yang merasa bosan di apartemennya memutuskan untuk menjelajah internet, cari video masak sambil membayangkan betapa lezatnya makanan itu sampai nonton video kucing yang menggemaskan. Lalu setelah berjam-jam menjelajah dunia maya, Seungwoo tidak tahu pasti bagaimana akhirnya dia bisa tersesat di sebuah situs web dewasa, tempat perempuan dan laki-laki seksi membuka baju mereka di depan kamera untuk mendapatkan uang.

Seungwoo hanya iseng, atau mungkin dia memang merasa kesepian karena sudah lama melajang, makanya salah satu halaman akun streamer yang sedang trending di urutan paling atas pun dikunjunginya tanpa pikir panjang. Sebenarnya situs tersebut mengharuskan Seungwoo membayar langganan untuk membuka video, tapi mereka sedang promosi gratis satu kali menonton siaran ulang untuk pendaftar baru. Lalu, kupon gratisnya Seungwoo itu dipakainya untuk menonton salah satu streamer populer bernama akun Woodz.

Baru sepuluh detik video diputar, Seungwoo langsung tersentak nyaris jatuh dari kursi komputernya. Dia tidak mengira Woodz adalah laki-laki dari foto profilnya yang hanya menampakkan paha mulus dengan kaos kaki panjang bermotif kelinci menggemaskan. Dia menghembuskan napas panjang, kesal sendiri karena sudah membuang-buang kupon promosinya.

Seungwoo tadinya sudah hampir sekali menutup halaman video, tapi gerakkannya di atas mouse seketika terurung tatkala laki-laki di depan kamera itu melepas celananya, membuka lebar-lebar kedua tungkainya ke depan kamera, menunjukkan lubangnya yang sudah basah, sudah dimasuki dua keping vibrator kecil yang bergetar lemah.

[“Kalian ingin aku menyalakan ini lebih kencang? Tapi ini masih permulaan.”]

Seungwoo terkesima. Kedua matanya terbuka melebar. Laki-laki di depan kamera itu menggunakan topeng berwarna hitam, Seungwoo bahkan tidak tahu seperti apa wajahnya tapi tubuhnya indah, suaranya indah. Dia tidak pernah melihat laki-laki seindah itu sebelumnya.

[“A-aku belum pernah sekencang iniㅡaah ... ahh ... se-sebentarㅡ”]

Kedua mata Seungwoo melotot, wajahnya memerah sekali saat itu. Bagian bawah tubuhnya mulai terasa tidak nyaman.

'Laki-laki ini. Suaranya. Indah sekali.' Seungwoo membatin, merasa frustasi sendiri.

[“User MchaelLee baru saja memberiku 3000 point. Ituㅡa-ah, ba-banyak sekali. Terima kasih.”]

Laki-laki itu menaikkan getaran vibrator sampai maksimal, dia merintih kencang, kedua kakinya gemetaran. kemaluannya menegak, memerah sekali seperti sudah tidak tahan.

[“A-ah, MchaelLee, tapi aku tidak bisaㅡa-ah... hmhm... a-akuㅡ”]

Seungwoo bahkan tidak bisa sama sekali melepas pandangannya dari layar komputer saat itu.

[“A-aku melakukan ini karena kau mengirim 2000 point lagi,”] katanya sambil meraih dildo berukuran sedang dari meja di dekat ranjang. Seungwoo sudah keras sekali di balik celana piyamanya ketika Woodz memasukkan mainan seks itu ke dalam lubangnya, mendorong vibrator yang sebelumnya sudah ada itu masuk lebih dalam.

Itu membuat rintihannya meninggi, sekujur tubuhnya kelihatan melemah dan memerah. Di bawah cahaya temaram lampu ruangan yang digunakannya untuk merekam siaran, Seungwoo bisa melihat bibir tipisnya yang merah dan basah karena terlalu banyak digigit. Lalu tatonya, laki-laki itu punya banyak tato. Di lengan atasnya ada beberapa, tapi yang paling menarik perhatian adalah tato pistol di perutnya yang mulus dan kelihatan empuk. Seungwoo tidak pernah merasa ingin sekali merengkuh dan menyentuh seorang pria sebelumnya.

Woodz klimaks tidak lama kemudian. Seungwoo tidak tahu ada laki-laki yang bisa klimaks dengan hanya menyentuh bagian belakang saja. Itu menggemaskan.

Siaran itu diakhiri setelah Woodz tersenyum lucu ke arah kamera sambil pamit undur diri. Pipinya membulat menggemaskan. Seungwoo benar-benar jadi penasaran seperti apa wajah yang dia sembunyikan dibalik topeng hitam yang menutup separuh bagian wajahnya tersebut.

Setelah menonton video itu, Seungwoo harus menangani kenjantanannya sendiri yang ternyata sudah menegak sempurna. Seungwoo meruntuki dirinya sendiri yang bisa-bisanya terpancing nafsu karena seorang laki-laki, karena selama ini pun tidak pernah terbesit sama sekali di otak Seungwoo untuk tertarik pada sesama jenisnya.

'Aku lurus.'

'Aku lurus. Lurus seperti jalan tol.'

Dia membatin.

Bilangnya begitu, tapi berhari-hari berikutnya, Seungwoo malah mendaftar member tetap situs tersebut, membayar biaya langganan, lalu menyalakan lonceng notifikasi siaran langsung Woodz.

• aku: untukmu. seungwei.

Lee Jinhyuk tidak tahu apakah yang dia perbuat ini adalah keputusan yang benar atau salah, apakah dia menyesali ini atau tidak.

Punya kekasih seorang Alpha sementara dirinya bukan seorang Omega membuatnya banyak memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan. Seungwoo sering bilang bahwa meskipun Jinhyuk tidak punya aroma pheromone, meskipun dia tidak mengalami masa heat, meskipun mereka tidak bisa menjadi belahan jiwa, Seungwoo tetap mencintai Jinhyuk apa adanya. Jinhyuk percaya padanya, sangat percaya. Tapi dia tidak buta pada keadaan, Seungwoo adalah seorang Alpha yang sempurna. Semua orang mendamba-dambakannya. Baik di belakang atau langsung mengatakan di depan wajahnya, orang-orang bertanya-tanya kenapa Seungwoo memilih Jinhyuk yang seorang Beta.

Jinhyuk tahu semuanya akan lebih mudah bagi Seungwoo jika dia pacaran dengan Omega saja. Masa rut seorang Alpha itu tiga bulan sekali dan setiap itu terjadi Seungwoo selalu minum obat, karena dia tahu Jinhyuk yang seorang Beta tidak bisa menemaninya, atau sebenarnya bisa, tapi itu akan membahayakan kesehatan fisiknya. Beta itu tidak bisa “basah sendiri” seperti Omega. Itu akan membahayakan kalau mereka melakukan seks berkali-kali tanpa banyak-banyak melumuri cairan pelumas.

Jinhyuk ingin melepaskan Seungwoo, ingin melihatnya bahagia dengan orang yang bisa menemaninya selama mas rut, ingin melihatnya bersama orang yang bisa mencium aroma pheromone-nya yang kata orang-orang sangat memabukan itu, tapi dia terlalu mencintai laki-laki itu untuk sekadar mengurangi rasa ego. Jinhyuk suka padanya, suka senyumannya, suka sifat perhatiannya, suka kebiasaan Seungwoo yang manja-manja padanya setiap pagi hari sebelum bersiap pergi bekerja. Dia tidak perlu bisa mencium aroma Alpha Seungwoo untuk jatuh cinta, karena dengan hal-hal sederhana bisa membuatnya tergila-gila, jatuh ke dalam pesona.

Tapi, tetap saja, Jinhyuk ingin menjadi kekasih yang berguna untuknya. Dia ingin Seungwoo bersyukur punya orang seperti Jinhyuk di sisinya. Meskipun Seungwoo selalu bilang dia bersyukur, merasa beruntung Jinhyuk selalu ada di sisinya, tetap saja itu rasanya tidak cukup.

Mereka bertengkar sekitar dua jam yang lalu ketika Seungwoo sudah di ambang batas mau memasuki masa rutnya sementara Jinhyuk sudah membuang semua persediaan obat Seungwoo ke luar jendela. Seungwoo bersikeras mengusir Jinhyuk dari rumah mereka sebelum semuanya terlambat, tapi, tentu saja Jinhyuk tidak mau karena itu adalah bagian dari rencananya.

Seungwoo sampai menyuruh Jinhyuk mengunci Seungwoo sendirian di kamar. Berkali-kali dia bilang, bahwa menjadi seorang Alpha tidak seutuhnya dipenuhi hal yang bisa disyukuri. Bahwa ketika mengalami masa rut, dia bisa berubah menjadi binatang buas, bukan lagi Seungwoo yang biasa, bukan lagi Seungwoo yang Jinhyuk kenal. Tapi Jinhyuk tidak peduli. Dia memeluk Seungwoo dalam keadaan setengah telanjang. Hanya dengan kemeja kebesaran tipis yang dipakai asal dan dia tidak pakai celana sama sekali. Kaki jenjangnya yang putih mulus adakah kelemahan Seungwoo, dia harus mati-matian tidak ikut membelai Jinhyuk saat ini.

Mungkin puncaknya adalah ketika Jinhyuk menggesek-gesekkan kemaluan mereka, lalu berbisik pelan dengan nada malu-malu, “Kak, aku sudah basah. Hanya untukmu aku menjadi basah.” Dengan begitu Seungwoo tidak bisa tidak meremas bokongnya, lalu menusukkan jari tengahnya ke dalam lubang Jinhyuk, memancing rintihan panjang yang membuat kepalanya memanas.

Saat itu Seungwoo benar-benar memasuki masa rut. Jinhyuk mulai merasa takut ketika tatapan Seungwoo berubah menakutkan, menatapnya lurus seperti dia adalah hidangan yang siap disantap. Mungkin Jinhyuk sudah pingsan kalau dia bisa mencium bau Alpha yang menguar begitu kentara ke setiap sudut rumah itu, tapi tatapannya yang tajam saja sudah cukup untuk membuat Jinhyuk tidak bisa melawan.

Dia diam saja. Ketika Seungwoo memasukkan langsung seluruh bagian kemaluannya dalam satu hentakkan, Jinhyuk hanya bisa pasrah di dalam gendongannya. Sebenarnya Jinhyuk sudah mempersiapkan lubangnya sendiri sebelum ini, sudah membasahinya dengan sebanyak mungkin lube, tapi tetap saja rasanya perih, menyakitkan ketika Seungwoo bermain sekasar itu. Itu benar bahwa Seungwoo yang sekarang tidak seperti Seungwoo yang biasanya. Sebanyak apapun Jinhyuk memanggil namanya, Seungwoo tetap tidak membalas kata cintanya.

Seungwoo mempercepat tempo ketika dia mau klimaks. Entah sudah berapa kali Jinhyuk berteriak tertahan. Cakarannya di lengan atas Seungwoo sepertinya sama sekali mampu membuat Seungwoo gentar. Jinhyuk sudah keluar lumayan banyak meskipun Seungwoo hanya menyentuh kenikmatannya dari belakang. Jinhyuk tidak tahu kemaluan seorang Alpha bisa sangat membesar ketika mereka dalam masa rut, itu membuatnya merasa seperti dirobek, perih sekali sampai air matanya turun satu-dua tetes menuruni pipi.

Lalu pada akhirnya Seungwoo klimaks, cairan itu memenuhi Jinhyuk dari dalam. Tiba-tiba perutnya terasa memanas meskipun tubuhnya tidak mampu berbuat apa-apa tentang itu. Seungwoo pada akhirnya mengeluarkan kemaluannya, itu membuat Jinhyuk merasa kosong sekali. Kedua matanya menyayu basah, seluruh tubuhnya memerah gemetar hebat, lubangnya masih terbuka, berkedut-kedut meminta dimasuki dan ada sperma Alpha yang keluar dari lubangnya, menuruni paha, paha yang selalu Seungwoo suka.

Jinhyuk sudah tahu satu ronde saja tidak cukup bagi seorang Alpha yang sedang rut. Dia membiarkan Seungwoo mengangkat tubuhnya dari lantai, memaksanya berdiri meskipun kedua kaki lemahnya tidak berhenti gemetar. Seungwoo menyuruhnya menungging, menumpu pada meja di tengah ruangan. Jinhyuk menurutinya begitu saja. Mungkin karena sudah mulai terbiasa, itu terasa sangat nikmat ketika Seungwoo memasukkan kemaluannya lagi dalam satu hentakkan. Jinhyuk jadi menegak lagi meskipun dia sudah keluar banyak. Pinggulnya sekali-kali bergerak malu-malu, mencari kenikmatan lebih banyak dari kemaluan Seungwoo yang menyetubuhinya. Tapi, tetap saja dia tidak mampu mengimbangi permainan Seungwoo yang terlalu cepat.

“Ahh ... Ahh ... Ka-kakㅡ”

Jinhyuk tidak berhenti merintih dengan sekali-sekali memanggil nama Seungwoo. Tatkala sperma sudah mulai mengalir lagi dari ujung kemaluannya, Jinhyuk berteriak tertahan ketika Seungwoo tiba-tiba menggigit leher bagian belakangnya, keras sekali seperti niatannya bukan hanya untuk meninggalkan bekas di sana. Alpha melakukan itu untuk menjadikan seorang Omega sebagai belahan jiwa, lalu dengan ikatan itu mereka tidak akan bisa berpisah. Jinhyuk tidak tahu kenapa Seungwoo melakukan itu, sebanyak apapun dia menggigit Jinhyuk, jiwa mereka tidak akan bisa terikat karena Jinhyuk bukan seorang Omega.

Butuh sedikit lebih lama waktu, tapi pada akhirnya Seungwoo klimaks lagi memenuhi tubuh bagian bawah Jinhyuk. Jinhyuk sudah hampir tidak punya tenaga tersisa lagi saat itu, tapi Seungwoo bisa menggendongnya dengan mudah seperti staminanya tidak berkurang sama sekali sejak tadi. Mereka pindah ke kamar mandi, Seungwoo menaikkan Jinhyuk ke atas meja wastafel, membuka kedua tungkainya lebar-lebar, mengelus paha bagian dalamnya, kalu menggigit pahanya gemas, meninggalkan beberapa bekas merah dan biru di sekitar sana.

Tidak lama Jinhyuk disetubuhinya lagi. Jinhyuk lebih banyak menutup matanya erat-erat karena interior kamar mandi mereka yang dikelilingi cermin membuatnya bisa melihat dirinya sendiri sedang disetubuhi dalam keadaan tidak berdaya. Itu membuat kepalanya lebih cepat memanas untuk beberapa alasan.

Jinhyuk tidak bisa berpikir lagi, kesadarannya sudah melayang-layang hingga tidak bisa menghitung lagi berapa kali Seungwoo sudah keluar lagi di dalam lubangnya, sudah berapa kali Seungwoo membawanya pindah posisi atau lokasi. Langit sudah sangat menggelap ketika tatapan Seungwoo perlahan melembut, ketika Jinhyuk tahu Seungwoo sudah kembali mendapatkan kewarasannya.

Mereka sudah di atas sofa saat itu. Seungwoo baru saja klimaks untuk kesekiankalinya, cairan sperma terakhir itu sepertinya yang menarik kewarasannya kembali masuk. Kedua mata teduhnya itu sudah kembali, Jinhyuk tersenyum lega ketika laki-laki yang dicintanya itu langsung memeluknya seketika, erat sekali seperti penuh penyesalan.

“A-apa yang aku lakukan ...?” lirihnya dengan menutup kedua mata erat-erat, tidak mampu melihat keadaan Jinhyuk yang sudah sangat berantakkan. “Maafkan aku,” katanya berkali-kali.

Jinhyuk balas memeluknya. Perasaannya memuncah hebat ketika Seungwoo mencium dahinya, kedua kelopak matanya, hidungnya, lalu bibirnya dengan lembut. Itu membuatnya meleleh, meleleh begitu saja di dalam pelukan Seungwoo. Dia lantas menyembunyikan wajahnya di dada laki-laki itu.

“Kak, berhenti bilang begitu. Aku sendiri yang mau melakukan ini.”

Itu menyakitkan mendengar nada suara Jinhyuk yang sangat pelan dan lemah, Seungwoo memeluknya lebih erat lagi, mengusap kepalanya penuh sayang. “Jangan lakukan ini lagi, aku mohon.”

“Kamu tidak suka menyetubuhiku?”

Seungwoo menggeleng. “Aku tidak suka melakukannya selama masa rut. Aku sayang padamu, Jinhyuk. Aku ingin kau menikmatinya juga ketika kita bercinta. Aku hampir tidak mengingat apa saja yang aku lakukan selama rut dan aku tidak mau itu, aku ingin mengingat semua hal yang aku lakukan bersamamu.”

“A-aku hanya ingin berguna untukmu. Meskipun aku bukan Omega, aku akan berusaha.”

Seungwoo menggeleng kecil. “Dengan hidup begini saja, sebagai Jinhyuk yang seorang Beta, kamu lebih dari sekadar berguna bagiku, aku membutuhkanmu. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu. Jangan memaksakan dirimu lagi,” katanya.

Jinhyuk menggigit bibirnya, berusaha menahan kedua matanya yang membasah tiba-tiba. “Aku mencintaimu,” katanya singkat.

“Kau tidak tahu seberapa besar aku mencintaimu,” balas Seungwoo tenang sambil mencium dahi Jinhyuk lagi.

Lantas mereka saling menyamankan posisi, menghabiskan beberapa puluh menit berikutnya dengan saling memeluk di atas sofa.

Untuk mencegah kegilaannya datang lagi, Seungwoo kemudian pergi sebentar untuk mengetuk pintu tetangga mereka, Cho Seungyoun yang juga seorang Alpha untuk minta obat karena Seungwoo masih dalam keadaan rut dan itu terlalu berisiko kalau dia pergi ke apotik sendiri.

Setelah minum dalam dosis yang cukup, Seungwoo kemudian menyiapkan air hangat untuk membersihkan Jinhyuk, mengobati luka gigitan di lehernya, membawanya ke tempat tidur, lalu memeluk dan mengelusnya penuh sayang sampai mimpi menjemput.

• lelah. ryeonseung.

Menjadi pemimpin dari sebuah kelompok yang terdiri dari banyak orang adalah bukan hal yang mudah. Seungwoo pernah menemui kesulitan yang tidak jauh berbeda sebelumnya, dengan VICTON. Memimpin sebuah kelompok yang terdiri dari enam orang laki-laki dengan sifat berbeda-beda adalah sebuah tantangan, tapi memimpin sebuah kelompok yang lebih besar adalah beban yang lebih menakutkan. Selain sekarang Seungwoo harus memimpin lebih banyak anggota, dia harus dihadapkan pada rentang usia anggota yang lumayan panjang, beberapa hal tentang anggota termuda tidak bisa dimengertinya, meskipun mereka semua adalah anak-anak yang baik dan manis, tetap saja itu tidak mudah dilakukan.

Menjadi seorang pemimpin itu berat. Tidak secara fisik, tapi secara mental, sepertinya. Semua orang berharap banyak darinya, semua orang bergantung padanya. Para anggota yang sudah dianggapnya seperti adik-adik sendiri itu memandang Seungwoo seperti seorang idola, seperti seorang pahlawan. Seungwoo tidak keberatan, sama sekali tidak. Tapi ada saat-saat di mana dia merasa superlelah, dia merasa lemah dan tidak berdaya. Ketika suatu waktu Dohyon berlari ke pelukannya sambil merengek mengadu tentang Hangyul yang menjahilinya, Seungwoo lantas berandai-andai, kepada siapa dia bisa mengadu seperti itu kalau semua orang bergantung kepadanya?

Mungkin dia bisa diam sejenak, menyepi, menjernihkan pikirannya sendiri. Seungwoo punya kamar yang dipakai sendiri di dorm. Kesunyian itu membantunya menjernihkan pikiran dengan cepat, membuatnya menghapus kata lelah dengan cepat. Tapi, kadang-kadang itu saja tidak cukup. Seungwoo tetap merasa lelah meskipun sudah tidur banyak-banyak. Dia tidak butuh diam, tidak butuh sunyi, dia butuh seseorang, seseorang untuk bersandar.

Saat-saat seperti ini, Seungwoo keluar dari kamarnya malam-malam sekali. Semua anggota sudah tidur nyenyak karena lelah setelah seharian bekerja mengikuti jadwal. Pelan-pelan, Seungwoo menarik gagang pintu kamar yang tidak jauh dari ruangan tengah itu, lantas pintunya terbuka begitu saja. Tentu saja, dia tahu Seungyoun dan Hangyul tidak pernah mengunci pintunya.

Lalu, seperti biasa, apa yang menyambutnya adalah Hangyul yang sudah tidur nyenyak di bawah temaram lampu tidur di sebelah ranjang dan Seungyoun yang masih terjaga, entah sedang memikirkan apa, sambil mendengarkan musik pelan dari ponselnya yang diletakkan di sebelah bantal. Saat tatapan mereka bertemu, Seungyoun tersenyum lebar, tapi kedua matanya memincing tajam. Dia tampan. Dan, Seungwoo merasa lemah hanya dengan tatapan itu saja.

Seungyoun sudah tahu apa yang harus dilakukannya kalau Seungwoo tiba-tiba begini malam-malam. Maka direntangkannya kedua tangannya lebar-lebar, menyambut Seungwoo supaya menghambur ke pelukannya. Seungwoo mendekat, lalu benar-benar menjatuhkan dirinya ke pelukan Seungyoun dengan cepat. Seungyoun memeluknya erat, lalu mengelus punggungnya, membisikan kata-kata cinta yang sedikit terdengar menggelikan. Tapi, itu sanggup membuat Seungwoo tersenyum, tertawa kecil di dalam pelukannya.

Lalu Seungyoun menciumnya lembut, Seungwoo benar-benar menikmati itu sampai tidak sadar kapan laki-laki itu sudah menindih di atasnya, memperdalam cumbu mereka. Seungwoo tidak pernah mengakuinya, tapi dia senang setiap kali Seungyoun ada di atasnya seperti itu, membuatnya merasa kecil, membuatnya melupakan sesaat tentang kenyataan bahwa Seungwoo adalah pemimpinnya, karena sekarang Seungyoun yang memimpin, Seungyoun yang memberitahunya kapan harus membuka mulut, kapan harus membuka tungkai, kapan harus membuka pakaianㅡ

“Aaahㅡ”

“Ssst. Hangyul sedang tidur.”

ㅡdan kapan harus diam.

Malam-malam seperti ini biasanya hanya berakhir dengan pelukan panjang dan beberapa kecupan ringan, tapi Seungyoun tidak jarang dalam suasana hati untuk menyentuh Seungwoo lebih dalam, seperti sekarang. Biasanya mereka akan langsung pindah ke kamar Seungwoo jika situasi tidak memungkinkan, tapi sekarang Seungyoun tidak mengambil pusing. Dia sudah membuat Seungwoo melepaskan celana piyamanya, sudah membuat tanda-tanda kemerahan di bahu Seungwoo yang terbuka, sudah membuat si laki-laki yang lebih tua nyaris merintih tertahan, tapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengajak Seungwoo pindah ruangan.

Tapi Seungwoo tidak protes, tidak akan bicara. Dia hanya diam, mengikuti apapun yang keluar dari mulut Seungyoun seperti itu adalah perintah baginya.

“Sayang, jangan bersuara kalau tidak mau Hangyul memergoki kita.”

Seungyoun berbisik di bawah cahaya temaram, bersamaan dengan jarinya yang sudah dilumuri pelumas itu dimasukkannya pelan-pelan. Lalu Seungwoo menggigit bibirnya kuat-kuat, bersamaan dengan merah wajahnya mengentara karena panas.

Permainan itu sangat lambat, sangat sunyi. Meskipun Seungwoo lebih suka Seungyoun tidak menahan dirinya, membuatnya berantakkan, membuatnya putus asa sampai tidak tahu kata lain yang bisa diteriakkan kecuali namanya, tapi Seungwoo akan menerima apapun yang Seungyoun berikan padanya dengan hati senang.

Dipimpin, diperintah, ditatap dengan tajam seolah dirinya bukan siapa-siapa, itu membuat rasa lelah dan beban di pundak Seungwoo berkurang dalam berbagai cara.

• coretan pertama. seungyul.

Sore hari, sekitar pukul tiga, hujan turun begitu deras, rintik-rintik dari atap yang bocor membuat kamar itu diwarnai suara lain selain Hangyul yang sejak tadi melenguh tertahan, di antara tubuhnya yang kedinginan dan perlakuan Seungyoun yang membuat kepalanya melayang-layang.

Padahal hujan baru turun sekitar satu jam yang lalu. Itu membuat Hangyul terjebak di kamar tamu rumah kakeknya Seungyoun dan jadi tidak bisa menangkap belut di luar (seperti yang sebelumnya direncanakan). Dia cemberut sambil memandangi basahnya kaca jendela selama beberapa menit sampai Seungyoun mengajaknya tiduran berdua di atas ranjang.

Iya, awalnya dia hanya berniat tiduran saja. Peluk-peluk sedikit, berbagi kehangatan di bawah udara yang lembab karena rumah semi-tradisional itu tidak mampu sepenuhnya melindungi mereka dari derasnya hujan. Tapi, di sini mereka sekarang. Seungyoun selalu tahu menggoda Hangyul itu menyenangkan. Padahal mereka baru bertemu dua minggu yang lalu saat Seungyoun pertama kali datang untuk memulai liburan semesternya di rumah kakek, tapi mereka sudah akrab sekali seperti teman kecil yang sudah lama tidak bertemu.

Hampir setiap pagi Hangyul datang ke rumah, lalu pergi mengajak Seungyoun ke sawah atau kebun. Mereka akan menangkap ikan, serangga, atau apapun yang Hangyul senangi sampai sore menjelang. Seungyoun yang sebenarnya mahasiswa beken di kampus jelas tidak mengerti bagaimana cara menangkap hewan dan kenapa hal kecil seperti itu bisa terasa menyenangkan. Dia hanya ikut-ikutan karena suka melihat senyuman Hangyul yang menawan. Kadang-kadang dilontarkannya kata cinta, kadang-kadang diciumnya pipi Hangyul sampai telinga si yang lebih muda merona. Seungyoun jatuh cinta. Meskipun Hangyul sepertinya tidak mengerti apa-apa tentang cinta, Seungyoun ingin menjadi orang yang menggoreskan coretan-coretan pertama di atas kertas putih Hangyul.

Dengan kata 'coretan', Seungyoun sebenarnya tidak mengartikannya sebagai 'noda'. Tapi, sekarang semuanya sudah terlanjur. Hangyul sudah ada di atas ranjangnya, pakaiannya sudah berserakan di atas lantai, Seungyoun sudah setengah jalan menyetubuhinya. Tidak ada apapun yang keluar dari mulut Hangyul kecuali nama Seungyoun. Wajahnya memerah begitu kentara meskipun dingin menyesap melalui pori-pori kulit, di antara basah kedua matanya yang sayu menawan hati. Hangyul yang biasanya kelihatan lugu sekali, sekarang penuh noda dan Seungyoun adalah orang pertama yang menodai kepolosannya.

Mungkin karena itu adalah pengalaman pertamanya, Hangyul sedikit terlalu berisik meskipun Seungyoun menyentuhnya sedikit-sedikit. Untungnya hujan sangat berisik dan kamar itu sudah dikunci rapat-rapat. Seungyoun kerap kali berhenti untuk mencumbu Hangyul dalam-dalam, memanjakannya dalam pelukan. Seungyoun tidak bisa betul-betul berbuat sesuka hatinya karena dia tidak ingin Hangyul jadi tidak mau menemuinya lagi setelah ini.

Alur permainan mereka begitu lambat dan lembut, tapi Hangyul mencapai klimaks pada akhirnya, disusul Seungyoun tidak lama kemudian. Tidak banyak yang harus dibersihkan karena mereka berdua sama-sama memakai pengaman. Jangan tanya kenapa Seungyoun selalu membawa-bawa benda seperti itu di dalam koper bajunya.

Hangyul masih menggigit bibirnya, tubuhnya gemetaran karena berbagai alasan. Seungyoun menariknya ke dalam dekapan hangat, lalu mengelus-elus kepalanya penuh sayang. Dua-tiga kali dikecupnya kepala Hangyul, anak itu jadi memeluk Seungyoun lebih erat, menyembunyikan wajahnya di dada Seungyoun.

“Aa.”

“Hm?”

“Tanggung jawab.”

Seungyoun tertawa. “Kenapa?”

“Sakit dadaku.”

Seungyoun menjauh sejenak untuk menatap lurus pada Hangyul. Dia tersenyum, tampan sekali seperti malaikat. “Sakit kenapa, sayang?”

“Tidak tahu. Gara-gara Aa,” jawab Hangyul pelan. “Deg-degan. Kencang sekali. Sakit.”

Seungyoun harus mati-matian menahan gemas. Dipeluknya Hangyul lagi, lebih erat dari sebelumnya. Lalu dia mencium bibir Hangyul, melumat bibir bawahnya sebentar. Dia senang menyaksikan telinga Hangyul setiap kali dia memanas pelan-pelan.

“Aa.”

“Kenapa?”

“Mau main ke rumah Aa di kota.”

“Hangyul tidak pernah main ke kota?”

“Dulu pernah waktu kecil, sekarang jarang. Tidak punya kenalan juga di kota, jadi tidak punya alasan. Sekarang 'kan ada Aa.”

Seungyoun tertawa gemas. “Nanti Aa ajak keliling kota pakai mobil,” katanya. “Tapi tidak seseru menangkap belalang di kebun, soalnya jalanan sering macet.”

“Tidak apa-apa, melakukan apa saja kalau sama Aa pasti seru.”

“Kalau melakukan yang seperti tadi seru, tidak?”

Hangyul mendorong Seungyoun menjauh secara refleks, dia menunduk dalam-dalam untuk menahan malu yang kentara. “Tidak tahu.”

“Kok tidak tahu?”

“Tidak tahu, pusing,” Hangyul menggembungkan pipinya. “Aa suka begituan sama pacar?”

“Iya. Hangyul 'kan pacar Aa.”

“Tapi aku tidak mengerti.”

“Kan aku ajari.” Seungyoun meraih jari-jemari Hangyul, memain-mainkannya gemas. “Seperti Hangyul mengajari Aa cara menangkap ikan di sungai.”

“Bodoh ya, aku A. Cuma bisa diam saja, tidak tahu harus berbuat apa.”

“Tidak, sayang. Kamu menggemaskan, aku suka.”

“Pacar-pacar Aa yang sebelumnya pasti cantik, lebih-lebih gemas.”

“Kenapa kamu jadi bicara seperti itu?”

“Habisnya, banyak hal yang aku tidak tahu soal Aa dan soal kehidupan di kota. Aku jadi merasa kecil.”

“Hangyul, aku juga tidak tahu banyak hal sebelum bertemu kamu,” balas Seungyoun. “Ingat waktu pertama kali kamu ajak Aa menangkap belalang dan sampai sore tidak dapat apa-apa dan malah kecebur di sungai saking konsentrasinya?”

Hangyul tertawa renyah mengingat kejadian itu.

“Kamu hebat, kamu keren. Kamu bisa masak ikan bakar pakai kayu-kayu seadanya di hutan. Aa sering merasa payah kalau sama kamu.”

“Aa tidak payah. Aa kuliah di tempat keren, uangnya banyak, mobilnya keren, ponselnya bisa masih hidup meskipun kecebur di sungai.”

Seungyoun tertawa. Itu menakjubkan bahwa mereka bisa saling jatuh cinta pada perbedaan yang sebenarnya sangat sederhana. Mungkin orang seperti Hangyul itu biasa-biasa saja di lingkungannya, mungkin mudah menemukan mahasiswa semacam Seungyoun di kota tempatnya tinggal. Tapi mereka bertemu, lalu menemukan keunikan masing-masing dengan cara yang menyenangkan. Rasa kagum itu berkembang menjadi cinta, semakin dalam dan tidak bisa dipisahkan.

Mereka membiarkan keadaan hening cukup lama. Kehangatan yang dibagi berdua itu tidak ternilai harganya. Rasanya nyaman, menenangkan. Tidak ada yang mau merusak suasana itu sampai tiba-tiba Hangyul menegakkan tubuhnya, memandang ke luar jendela dengan kedua matanya yang terbuka melebar berbinar-binar.

“Sudah berhenti hujannya!” serunya bersemangat.

Seungyoun hendak mengatakan sesuatu, tapi Hangyul keburu turun dari ranjang, lalu berlari ke jendela, memandangi keadaan di luar rumah dengan ekspresi takjub yang menggemaskan.

“Aa ayo keluar!”

Seungyoun ikut turun dari ranjang. Dia membawa selimut tipis untuk disematkannya ke tubuh Hangyul yang benar-benar polos. “Masih sedikit rintik-rintik, belutnya bisa menunggu, kok. Nanti malah licin sawahnya.”

Hangyul menggeleng kuat tanpa mengalihkan pandangannya dari luar jendela. “Kalau habis hujan suka banyak kodok!” katanya. “Di kebun pasti banyak, ayo keluar sekarang, A!”

Seungyoun tertawa lagi. “Ya sudah, pakai dulu yang benar bajunya.”

Hangyul menoleh padanya, lalu menunduk malu. Begitu semangatnya Hangyul melihat hujan berhenti sampai membuatnya lupa dia sedang tidak memakai apa-apa.

Setelah memakai pakaian mereka dengan benar, Hangyul langsung menarik Seungyoun ke luar rumah, lalu mereka menghabiskan sepanjang sore keliling kebun, menggali lubang si setiap lumpur basah untuk mencari kodok yang kata Hangyul lucu itu.

Sore hari, sekitar pukul tiga , hujan turun begitu deras, rintik-rintik dari atap yang bocor membuat kamar itu diwarnai suara lain selain Hangyul yang sejak tadi melenguh tertahan, di antara tubuhnya yang kedinginan dan perlakuan Seungyoun yang membuat kepalanya melayang-layang.

Padahal hujan baru turun sekitar satu jam yang lalu. Itu membuat Hangyul terjebak di kamar tamu rumah kakeknya Seungyoun dan jadi tidak bisa menangkap belut di luar (seperti yang sebelumnya direncanakan). Dia cemberut sambil memandangi basahnya kaca jendela selama beberapa menit sampai Seungyoun mengajaknya tiduran berdua di atas ranjang.

Iya, awalnya dia hanya berniat tiduran saja. Peluk-peluk sedikit, berbagi kehangatan di bawah udara yang lembab karena rumah semi-tradisional itu tidak mampu sepenuhnya melindungi mereka dari derasnya hujan. Tapi, di sini mereka sekarang. Seungyoun selalu tahu menggoda Hangyul itu menyenangkan. Padahal mereka baru bertemu dua minggu yang lalu saat Seungyoun pertama kali datang untuk memulai liburan semesternya di rumah kakek, tapi mereka sudah akrab sekali seperti teman kecil yang sudah lama tidak bertemu.

Hampir setiap pagi Hangyul datang ke rumah, lalu pergi mengajak Seungyoun ke sawah atau kebun. Mereka akan menangkap ikan, serangga, atau apapun yang Hangyul senangi sampai sore menjelang. Seungyoun yang sebenarnya mahasiswa beken di kampus jelas tidak mengerti bagaimana cara menangkap hewan dan kenapa hal kecil seperti itu bisa terasa menyenangkan. Dia hanya ikut-ikutan karena suka melihat senyuman Hangyul yang menawan. Kadang-kadang dilontarkannya kata cinta, kadang-kadang diciumnya pipi Hangyul sampai telinga si yang lebih muda merona. Seungyoun jatuh cinta. Meskipun Hangyul sepertinya tidak mengerti apa-apa tentang cinta, Seungyoun ingin menjadi orang yang menggoreskan coretan-coretan pertama di atas kertas putih Hangyul.

Dengan kata 'coretan', Seungyoun sebenarnya tidak mengartikannya sebagai 'noda'. Tapi, sekarang semuanya sudah terlanjur. Hangyul sudah ada di atas ranjangnya, pakaiannya sudah berserakan di atas lantai, Seungyoun sudah setengah jalan menyetubuhinya. Tidak ada apapun yang keluar dari mulut Hangyul kecuali nama Seungyoun. Wajahnya memerah begitu kentara meskipun dingin menyesap melalui pori-pori kulit, di antara basah kedua matanya yang sayu menawan hati. Hangyul yang biasanya kelihatan lugu sekali, sekarang penuh noda dan Seungyoun adalah orang pertama yang menodai kepolosannya.

Mungkin karena itu adalah pengalaman pertamanya, Hangyul sedikit terlalu berisik meskipun Seungyoun menyentuhnya sedikit-sedikit. Untungnya hujan sangat berisik dan kamar itu sudah dikunci rapat-rapat. Seungyoun kerap kali berhenti untuk mencumbu Hangyul dalam-dalam, memanjakannya dalam pelukan. Seungyoun tidak bisa betul-betul berbuat sesuka hatinya karena dia tidak ingin Hangyul jadi tidak mau menemuinya lagi setelah ini.

Alur permainan mereka begitu lambat dan lembut, tapi Hangyul mencapai klimaks pada akhirnya, disusul Seungyoun tidak lama kemudian. Tidak banyak yang harus dibersihkan karena mereka berdua sama-sama memakai pengaman. Jangan tanya kenapa Seungyoun selalu membawa-bawa benda seperti itu di dalam koper bajunya.

Hangyul masih menggigit bibirnya, tubuhnya gemetaran karena berbagai alasan. Seungyoun menariknya ke dalam dekapan hangat, lalu mengelus-elus kepalanya penuh sayang. Dua-tiga kali dikecupnya kepala Hangyul, anak itu jadi memeluk Seungyoun lebih erat, menyembunyikan wajahnya di dada Seungyoun.

“Aa.”

“Hm?”

“Tanggung jawab.”

Seungyoun tertawa. “Kenapa?”

“Sakit dadaku.”

Seungyoun menjauh sejenak untuk menatap lurus pada Hangyul. Dia tersenyum, tampan sekali seperti malaikat. “Sakit kenapa, sayang?”

“Tidak tahu. Gara-gara Aa,” jawab Hangyul pelan. “Deg-degan. Kencang sekali. Sakit.”

Seungyoun harus mati-matian menahan gemas. Dipeluknya Hangyul lagi, lebih erat dari sebelumnya. Lalu dia mencium bibir Hangyul, melumat bibir bawahnya sebentar. Dia senang menyaksikan telinga Hangyul setiap kali dia memanas pelan-pelan.

“Aa.”

“Kenapa?”

“Mau main ke rumah Aa di kota.”

“Hangyul tidak pernah main ke kota?”

“Dulu pernah waktu kecil, sekarang jarang. Tidak punya kenalan juga di kota, jadi tidak punya alasan. Sekarang 'kan ada Aa.”

Seungyoun tertawa gemas. “Nanti Aa ajak keliling kota pakai mobil,” katanya. “Tapi tidak seseru menangkap belalang di kebun, soalnya jalanan sering macet.”

“Tidak apa-apa, melakukan apa saja kalau sama Aa pasti seru.”

“Kalau melakukan yang seperti tadi seru, tidak?”

Hangyul mendorong Seungyoun menjauh secara refleks, dia menunduk dalam-dalam untuk menahan malu yang kentara. “Tidak tahu.”

“Kok tidak tahu?”

“Tidak tahu, pusing,” Hangyul menggembungkan pipinya. “Aa suka begituan sama pacar?”

“Iya. Hangyul 'kan pacar Aa.”

“Tapi aku tidak mengerti.”

“Kan aku ajari.” Seungyoun meraih jari-jemari Hangyul, memain-mainkannya gemas. “Seperti Hangyul mengajari Aa cara menangkap ikan di sungai.”

“Bodoh ya, aku A. Cuma bisa diam saja, tidak tahu harus berbuat apa.”

“Tidak, sayang. Kamu menggemaskan, aku suka.”

“Pacar-pacar Aa yang sebelumnya pasti cantik, lebih-lebih gemas.”

“Kenapa kamu jadi bicara seperti itu?”

“Habisnya, banyak hal yang aku tidak tahu soal Aa dan soal kehidupan di kota. Aku jadi merasa kecil.”

“Hangyul, aku juga tidak tahu banyak hal sebelum bertemu kamu,” balas Seungyoun. “Ingat waktu pertama kali kamu ajak Aa menangkap belalang dan sampai sore tidak dapat apa-apa dan malah kecebur di sungai saking konsentrasinya?”

Hangyul tertawa renyah mengingat kejadian itu.

“Kamu hebat, kamu keren. Kamu bisa masak ikan bakar pakai kayu-kayu seadanya di hutan. Aa sering merasa payah kalau sama kamu.”

“Aa tidak payah. Aa kuliah di tempat keren, uangnya banyak, mobilnya keren, ponselnya bisa masih hidup meskipun kecebur di sungai.”

Seungyoun tertawa. Itu menakjubkan bahwa mereka bisa saling jatuh cinta pada perbedaan yang sebenarnya sangat sederhana. Mungkin orang seperti Hangyul itu biasa-biasa saja di lingkungannya, mungkin mudah menemukan mahasiswa semacam Seungyoun di kota tempatnya tinggal. Tapi mereka bertemu, lalu menemukan keunikan masing-masing dengan cara yang menyenangkan. Rasa kagum itu berkembang menjadi cinta, semakin dalam dan tidak bisa dipisahkan.

Mereka membiarkan keadaan hening cukup lama. Kehangatan yang dibagi berdua itu tidak ternilai harganya. Rasanya nyaman, menenangkan. Tidak ada yang mau merusak suasana itu sampai tiba-tiba Hangyul menegakkan tubuhnya, memandang ke luar jendela dengan kedua matanya yang terbuka melebar berbinar-binar.

“Sudah berhenti hujannya!” serunya bersemangat.

Seungyoun hendak mengatakan sesuatu, tapi Hangyul keburu turun dari ranjang, lalu berlari ke jendela, memandangi keadaan di luar rumah dengan ekspresi takjub yang menggemaskan.

“Aa ayo keluar!”

Seungyoun ikut turun dari ranjang. Dia membawa selimut tipis untuk disematkannya ke tubuh Hangyul yang benar-benar polos. “Masih sedikit rintik-rintik, belutnya bisa menunggu, kok. Nanti malah licin sawahnya.”

Hangyul menggeleng kuat tanpa mengalihkan pandangannya dari luar jendela. “Kalau habis hujan suka banyak kodok!” katanya. “Di kebun pasti banyak, ayo keluar sekarang, A!”

Seungyoun tertawa lagi. “Ya sudah, pakai dulu yang benar bajunya.”

Hangyul menoleh padanya, lalu menunduk malu. Begitu semangatnya Hangyul melihat hujan berhenti sampai membuatnya lupa dia sedang tidak memakai apa-apa.

Setelah memakai pakaian mereka dengan benar, Hangyul langsung menarik Seungyoun ke luar rumah, lalu mereka menghabiskan sepanjang sore keliling kebun, menggali lubang si setiap lumpur basah untuk mencari kodok yang kata Hangyul lucu itu.

• gelap. seungyul.

Hangyul seharusnya tidak perlu terlalu naif. Pada kenyataannya, dunia itu lebih kejam pada si pria baik-baik. Dan, seharusnya Hangyul tidak perlu peduli pada keributan-keributan yang terjadi di jalanan. Karena sedikit saja Hangyul melangkah masuk ke dalamnya, dia tidak akan bisa keluar begitu saja.

Sekarang Hangyul tahu, menjadi sok pahlawan padahal tidak tahu apa-apa itu adalah hal paling konyol yang pernah dia lakukan dalam hidupnya. Merasa iba pada korban-korban jalanan yang tersudutkan adalah hal yang baik, tapi seharusnya Hangyul diam saja, berdoa dalam hati atas keselamatan mereka, lalu pura-pura tidak melihat apapun.

Tapi, sekarang, bahkan menyesali keadaan saja sudah tidak ada gunanya. Hangyul sudah berurusan dengan geng jalanan paling berpengaruh di kota, mereka yang sudah punya koneksi besar dan bisnis gelap yang licin. Dan, satu tambahan lainnya adalah, orang yang merasa tidak senang atas aksi sok pahlawan Hangyul bukanlah sekadar anak geng biasa, melainkan dia yang ada di puncak; ketua asosiasi gelap itu, Cho Seungyoun dikenalnya.

Pria bertindik dan bertato banyak itu tidak terlalu kelihatan berbahaya sekilas, makanya Hangyul berani menantangnya dan bahkan meludahi wajahnya.

Hangyul tidak tahu bahwa aksi gegabahnya akan membawanya pada akhir yang tidak terduga. Dia lebih suka berakhir babak belur tergeletak di jalanan dari pada seperti ini, diculik selama berhari-hari dan menjadi peliharan si ketua. Ah, menjadi anjing peliharaan malah lebih baik dari pada ini, Hangyul akan lebih senang disuruh menggonggong dari padaㅡ

“Ahhㅡ”

Hangyul menggigit bibirnya kuat-kuat, sesekali memejamkan matanya. Kedua tangannya diikatkan ke kepala ranjang dan dia benar-benar tanpa sehelaipun benang. Potongan-potongan pakaiannya berserakkan di sisi tempat tidur, Seungyoun yang melucutinya satu per satu, tidak dengan cara yang normal, melainkan dibantu dengan pisau lipat favoritnya yang dibawa ke mana-mana.

Satu-dua goresan pisau terlihat membekas di permukaan kulit Hangyul, sepertinya Seungyoun menikmatinya ketika melihat setetes merah yang menyala menghiasi peliharaan barunya. Meskipun, tidak sebanyak ketika dia menggigit Hangyul hingga terdengar rintihannya yang indah di telinga, yang meninggalkan merah-biru legam.

Seungyoun mengganti dildo yang digunakannya pada Hangyul, satu yang lebih besar. Hangyul tidak bisa menahan air matanya ketika benda itu dipaksakan masuk ke bagian bawah tubuhnya. Pandangannya memudar karena basah, tapi Hangyul yakin Seungyoun sedang tersenyum menyeringai melihatnya merintih tidak berdaya.

Panas, perih, menyakitkan. Hangyul pikir dia hampir tidak bisa merasakan kedua kakinya. Dia tidak ingin seperti ini, dia ingin melawan. Tapi, terakhir kali Hangyul berusaha melakukan sesuatu, Seungyoun sangat tidak menyukai itu dan dia akan menghukum Hangyul lebih berat dari apa yang biasa dia lakukan.

“Hei, Bunny.”

Seungyoun membuka suaranya. Seperti biasa, dia memanggil Hangyul dengan nama peliharaan yang dibuat seenaknya itu.

Seungyoun mengambil pisau lipatnya, mengarahkannya tepat pada kemaluan Hangyul, menekannya sedikit, cukup untuk membuat Hangyul merasa sedikit kesakitan. “Aku rasa sebaiknya kupotong saja bagian ini, aku tidak membutuhkannya.”

Kalimat yang santai itu cukup untuk membuat jantung Hangyul berdebar begitu kencang. Kedua kakinya gemetaran, tapi Hangyul tidak bisa berbuat apa-apa. Semakin lama dia terdiam, semakin keras Seungyoun menekan pisau lipatnya, sedikit lebih keras lagi, dia bisa mengeluarkan darah.

“Tungㅡ”

“Hm?”

“Ja-jangan ... aku mo-mohon.”

“Aku tidak minta pendapatmu.”

“Ta-tapi ...”

“Kau selalu keluar sebelum aku mengizinkanmu. Kau peliharaan yang nakal, sayang. Karena itu, lebih baik sekalian saja aku membuatmu tidak bisa keluar lagi.”

Kalimat itu benar-benar membuat Hangyul takut, terlebih ketika dia mulai merasakan darah yang menetes tipis di bagian bawah tubuhnya. Hangyul menggigit bibirnya lebih kuat. “A-aku tidak akan melakukannya lagi. Aku akan menuruti semua kata-katamu, aku janji.” Napas Hangyul semakin tersendat-sendat.

Seungyoun tersenyum tipis. “Kau tidak perlu berjanji, aku bisa melakukan apapun padamu jika kau tidak menurut, sayang.”

Seungyoun menarik pisau lipatnya, mengarahkannya ke ikatan tali pada kedua tangan Hangyul, lalu memutuskan tali tersebut. “Ini semua baru dimulai. Sekarang, turuti kata-kataku dan jangan melawan.”

Hangyul hanya mengangguk kecil. Seungyoun menggendongnya seperti pengantin, Hangyul menempel padanya begitu saja karena terlalu lelah. Hangyul tahu betul apa yang akan Seungyoun lakukan selanjutnya, laki-laki itu lebih suka menyetubuhinya di kamar mandi dari pada di atas ranjang. Cermin besar di dekat bathtub itu bisa memperlihatkan refleksi mereka dengan jelas. Hangyul benci melihat dirinya sendiri membuka tungkai dengan tidak berdaya dan tubuh yang memerah di sana-sini. Tapi, Seungyoun adalah kebalikannya. Dia menikmati setiap ekspresi yang dibuat Hangyul ketika Seungyoun menyentuhnya.

Hangyul tidak tahu kapan ini semua akan berakhir. Meskipun dia sudah tidak sanggup lagi menahan, tapi dia juga tidak bisa melawan. Mungkin dia hanya harus bersabar. Jika suatu saat Seungyoun bosan padanya dan menemukan mainan baru lainnya, Hangyul berharap mungkin dia mau membebaskannya.

• perlihatkan tatomu. ryeonseung.

Seungwoo sudah pernah menangani adik-adik kelas bandel yang membuat tato meskipun sekolah tidak mengizinkannya sebelumnya. Tidak ada yang rumit dari apa yang dia harus kerjakan. Memeriksa betul atau tidak laporan orang lain tentang si tersangka yang memiliki tato, lalu menentukan hukuman yang pantas. Kadang-kadang kalau hanya tato-tato kecil yang dibuat iseng, Seungwoo sering memaafkan kesalahan itu karena tidak tega. Tapi kalau gambar tatonya besar, terlebih jika ada hubungannya dengan kelompok berandalan di jalanan, dia akan langsung menghubungi pihak sekolah.

Ya, mudah saja, tidak ada yang sulit.

Tapi yang satu ini, adik kelasnya ini yang padahal baru saja masuk kelas satu, namanya Cho Seungyoun dan dia sudah punya sebuah tato berukuran cukup besar di perut. Gambarnya pistol, omong-omong. Seungwoo tidak tahu makna gambar itu apa, tapi dari pada itu, sebenarnya dia sedang pusing sendiri untuk alasan yang tidak jelas.

Mungkin karena Cho Seungyoun itu ... dari wajahnya yang manis tidak kelihatan seperti orang yang punya tato. Senyumannya itu cerah sekali seperti mentari. Lalu, ketika Seungwoo menyuruhnya membuka baju, anak itu malah membuka seluruh pakaiannya, hanya tinggal menyisakan celana dalam saja. Padahal maksudnya, Seungwoo hanya mau lihat tatonya sajaㅡ

ㅡbukan pahanya yang mulus dan seputih susu itu.

Seungyoun duduk di depannya dengan menggigit bibir. Angin yang bertiup sedikit kencang melalui jendela yang dibiarkan sedikit terbuka sepertinya membuat kedua bahunya gemetaran. Wajahnya sedikit memerah. Entah karena dingin, atau malu karena Seungwoo terus memerhatikannya dalam diam.

“Apa sudah selesai?”

Seungwoo mengangkat wajahnya, menatap lurus pada Seungyoun. Seharusnya memang sudah selesai, Seungyoun bisa memakai pakaiannya lagi. Seungwoo tidak mengerti kenapa, tapi ini pertama kalinya seorang anak laki-laki membuatnya betah memerhatikan tubuh polosnya terus-menerus.

“Belum.” Seungwoo berguman, nyaris tidak sadar.

Seungyoun menyatukan alisnya, heran.

Seungwoo menambahkan, “Kau belum membuka semua pakaianmu.”

Dengan itu, Seungyoun menyatukan kedua kakinya erat-erat, wajahnya memerah sekali sampai ke telinga. Seungwoo sedikit menyesal sudah mengatakan itu, sekarang dia benar-benar terangsang dibuatnya.

“Ke-kenapa harus?”

“Mungkin kau membuat tato lainnya di daerah situ?”

“Su-sumpah, tatoku hanya ini. La-lagi pula siapa orang gila yang membuat tato di bokong?”

“Ada,” balas Seungwoo, sok tenang padahal celananya sudah mulai terasa sempit di bawah sana. “Mungkin kau salah satu dari mereka.”

Seungyoun tidak menjawab, tapi dia masih menatap Seungwoo dengan wajah yang memerah dan kedua mata yang menyayu. Kedua tangannya terangkat, memegang celana dalamnya di kedua sisi erat-erat, bahunya semakin gemetaran saat itu. Dia hanya berhasil menurunkan celana itu sedikit pada akhirnya.

“Katanya mau cepat selesai.”

“Jangan menatapku dengan intens terus begitu makanya!”

Dimarahi seperti itu, Seungwoo jadi refleks melempar tatapannya ke arah lain. Dia menatap jauh ke luar jendela, ke langit berawan yang sudah menjingga. Meskipun tidak melihat, pikirannya masih dipenuhi Seungyoun, tentang senyumnya, tentang tubuhnya, tentang dia yang sedang membuka celana dalamnya sendiri di depan Seungwoo dengan malu-malu sekarang.

“Sudah.”

Seungwoo meliriknya kembali. Lalu wajahnya memanas sendiri seketika. Seungyoun masih duduk di kursi, tapi kedua kakinya dinaikkan, dia meringkut memeluk kedua kakinya, menyembunyikan wajahnya di antara kedua kaki. Oh, sial. Dia kelihatan sangat menggemaskan.

“Sudah, ya. Aku mau pakai baju lagi.”

“Bagaimana aku bisa memeriksamu kalau kau meringkut seperti itu.”

“Kau benar-benar ingin melihat bokongku, ya?!”

“Aku melihatnya untuk kepentingan kedisiplinan,” balas Seungwoo, sok suci. Padahal kalau dia mengikuti prosedur kedisiplinan yang biasanya, Seungyoun sebenarnya hanya perlu melepas seragam atasannya saja dan pemeriksaan bisa selesai sejak tadi. “Kenapa kau malu? Aku laki-laki juga.”

“Baiklah, baiklah,” Seungyoun menggigit bibirnya, ragu. Tapi tidak lama kemudian dia menurunkan kedua kakinya, lalu tubuh telanjangnya kelihatan jelas, saat itu Seungwoo harus bersusah payah menahan ekspresi tenangnya. Seungyoun berbalik cepat, lalu menungging dengan bertumpu pada kepala kursi, memperlihatkan bokongnya sendiri.

Seungwoo menelan air ludahnya sendiri. Padahal tidak ada yang menyuruh Seungyoun menungging seperti itu, tapi dia melakukannya. Dan, ngomong-ngomong Seungyoun itu sekujur tubuhnya putih bersih, indah sekali saat terkena sinar mentari yang menjingga dari jendela. Melihatnya, Seungwoo sungguh ingin mencicipi setiap permukaan kulitnya, mungkin menandainya sedikit.

“Sudah, 'kan? Aku tidak punya tato lain lagi,” Seungyoun berujar tipis, itu melunturkan lamunan Seungwoo.

“Ya, kau benar,” balas Seungwoo sok tenang, sambil berusaha menyibukkan diri mengambil catatan, lalu mencoret-coret asal di atas kertas tersebut, membuat dirinya seolah-olah memang sedang menjalankan tugas, bukannya sedang melecehkan anak kelas satu dengan menyalahgunakan wewenang.

“Kau sedang menulis hukuman untukku?”

Seungwoo mengangkat wajahnya, lalu pandangannya bertemu dengan Seungyoun yang kedua matanya semakin menyayu. Dia hanya bergumam tidak jelas karena sebenarnya Seungwoo sama sekali tidak sedang menjalankan tugasnya dengan benar.

“Hei,” Seungyoun bergumam tipis lagi, nada suaranya sangat lembut dan itu membuat Seungwoo hampir gila dibuatnya. “Jangan diumumkan di halayak ramai dan jangan hukum aku di depan siswa-siswa lain, aku mohon.”

Seungwoo menyatukan alisnya. “Kau tidak mau orang lain tahu kau punya tato?”

“Sebenarnya nilai-nilaiku lumayan bagus,” jawabnya. “Kalau guru-guru tahu tentang tato ini, pandangan mereka padaku bisa jadi buruk. Itu akan menyulitkanku dalam mendapat nilai bagus.”

Seungwoo biasanya langsung luluh dengan alasan-alasan semacam itu, tapi kali ini dia mengambil lebih banyak waktu untuk berpikir. Seungyoun tiba-tiba berdiri dari kursinya, menghampiri Seungwoo, berlutut di hadapannya, lalu menggenggam kedua tangannya.

“Aku mohon, Kak Seungwoo.” Kewarasan Seungwoo sudah terbang entah kemana dengan itu. Dia bertanya-tanya dalam hati apakah Seungyoun sudah lupa bahwa dirinya sendiri sedang bertelanjang bulat saat itu. Ngomong-ngomong tangan Seungyoun yang menggenggamnya itu mungil sekali dan lembut. Seungwoo bisa gila sendiri karenanya.

Seungwoo mengambil beberapa detik lagi untuk berpikir, tapi pada akhirnya dia berdiri dari kursi, lalu menyuruh Seungyoun mengikutinya berjalan mendekati meja di dekat rak buku. Seungyoun memeluk tubuh polosnya sendiri sambil mengikuti Seungwoo. Udara dingin sore hari membuat bahunya tidak berhenti gemetaran sejak tadi.

Lalu Seungwoo mengeluarkan penggaris kayu dari dalam laci meja. Saat itu jantung Seungyoun langsung berdetak kencang sekali dan kedua kakinya melemas. Seungwoo bisa menyadari ketakutan yang kentara di mata Seungyoun, tapi dia tetap mengisyaratkan adik kelasnya itu untuk menungging, bertumpu pada meja.

Seungyoun melakukannya, tapi tidak sampai satu detik dia berbalik lagi menatap Seungwoo, “Ka-kau akan memukulku dengan itu?”

“Kalau kau tidak mau dihukum guru, maka diam saja dan terima hukuman dariku,” balas Seungwoo datar.

“Ta-tapi, apa tidak ada hukuman lain?”

“Seungyoun, orang lain yang punya tato sama besar dengan tatomu dihukum di lapangan dan jadi tontonan siswa lain, beberapa bahkan diskors beberapa hari. Kau bilang kau tidak mau orang lain tahu.”

Seungyoun tidak menjawab, tapi dia mengangguk ragu kemudian. Dia kembali pada posisi awal, menumpu pada meja ruangan kedisiplinan, membelakangi Seungwoo yang siap memukulnya. Seungyoun tadinya masih bisa bernapas dengan normal, tapi napasnya mulai tercekat ketika Seungwoo mulai mencengram pinggangnya.

“Aaah!”

Seungyoun berteriak tertahan ketika Seungwoo memukul bokongnya satu kali. Kulitnya itu memang sangat putih sehingga satu pukulan saja langsung meninghalkan bekas memerah yang kentara. Seungyoun merintih nyeri di bawah napasnya yang tersenggal-senggal. Seungwoo merasa jahat padanya, tapi celananya semakin terasa sempit saat itu.

Lalu, Seungwoo memukulnya lagi.

“Aaaaaaahh! Ahhh ... ahhhh ... sa-sakit.”

Seungwoo memukulnya lagi.

“Ahhhh!”

Lagi.

“Hhhhaaah!”

Lagi.

“Aah! Ahhhh ... su-sudah.”

Lagi.

“Ah! Ahhh... K-kak Se-Seungwooㅡ”

Seungwoo berhenti ketika rintihan Seungyoun sudah semakin mengeras dan dia sudah hampir menangis. Seungwoo tidak tahu apa yang salah dengan kepalanya. Melihat kulit Seungyoun yang tadinya sebersih putih susu kini penuh dengan bekas memerah karena hasil perbuatannya, itu membuatnya semakin terpancing birahi.

“Kamu menangis?” Seungwoo meremas bokong Seungyoun, itu membuat Seungyoun merintih semakin keras.

“Sa-sakit.”

“Membuat tato tidak sakit?”

Seungyoun diam, tidak tahu harus menjawab apa. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat karena Seungwoo masih mencengkram pipi bokongnya begitu kuat.

“Aku lanjutkan, ya?”

“Ma-masih belum selesai?!”

“Kamu baru berapa kali aku pukul ...”

“A-aku su-sudah tidak kuat.”

“Bohong.”

“Sungguh ...”

Seungyoun tersentak kaget ketika Seungwoo sudah mendekat, tepat berdiri di belakangnya, lalu laki-laki yang lebih tua darinya itu menyentuh kemaluannya begitu saja. Wajah Seungyoun lantas semakin memerah, bukan karena Seungwoo menyentuhnya saja, tapi karena dia baru menyadari bahwa miliknya sudah setengah menegak sejak tadi.

“Katanya sakit, tapi ternyata kamu menikmatinya.”

“I-itu karenaㅡ”

“Karena apa?” Seungwoo semakin menempelkan tubuhnya, hampir seperti memeluk Seungyoun dari belakang. Seungyoun benar-benar kehilangan napasnya ketika Seungwoo iseng menggesekkan kemaluannya yang masih dibalut celana seragam ke bokongnya. Oh, kakak kelasnya itu juga sudah mengeras ternyata.

“Ka-karena kau menatapku terus.”

“Kau suka aku menatapmu?”

“A-ah, ba-bagaimana yaㅡ” Seungyoun membalas terbata, tapi detik berikutnya dia mendesah keras ketika Seungwoo lagi-lagi memijat-mijat bokongnya kuat.

“Seungyoun,” Seungwoo membuka suaranya, tipis sekali tepat di telinga adik kelasnya itu. Seungyoun rasa kedua kakinya melemas ketika dia mendengar suara sleting celana yang dibuka. Lalu tidak lama kemudian sesuatu yang keras menyentuh bokongnya. Seungwoo menggesek-gesekkannya di sana. Seungyoun menggigit bibirnya lebih keras karena gesekan itu terasa nikmat dalam berbagai cara. Seungwoo menyadari Seungyoun mulai menggerakkan pinggulnya, memberi respon positif pada perlakuannya. Dia tersenyum, lalu berujar, “Seungyoun, aku tidak akan lanjut memukulmu lagi,” katanya. “Sebagai gantinya, biarkan aku menyetubuhimu.”

Seungyoun tidak langsung menjawab, tapi dia masih melenguh nikmat setiap kali Seungwoo mencengkram bagian tubuh bawahnya kuat-kuat.

“Jawab, sayang.” Seungwoo menampar bokong Seungyoun sedikit keras.

“I-iya!”

“Tidak apa-apa?”

“Hm... ahhh, i-iya ti-tidak apa-apa.”

“Aku hanya punya lube, tidak ada kondom,” Seungwoo berujar seraya beranjak dari sana sejenak untuk merogoh tas sekolahnya. Sebenarnya Seungyoun ingin protes dengan kenyataan bahwa anggota kedisiplinan seperti Seungwoo saja bisa membawa benda terlarang ke sekolah, tapi kalau sampai dia disetubuhi tanpa pelumas, itu tidak bagus untuknya.

Seungwoo kembali dengan cepat. Itu membuat Seungyoun sedikit lega karena ditinggal dalam keadaan telanjang meskipun hanya sebentar membuatnya merasa kesepian. Seungwoo mulai membasahi jari-jarinya dengan cairan lube, lalu memasukkan satu jarinya ke lubang Seungyoun.

Seungyoun mulai menggerakkan pinggangnya ketika Seungwoo memasuk-keluarkan jarinya. Dia menambah jari kedua, lalu membuat gerakkan menggunting. Seungyoun mendesah tipis dibuatnya.

Seungwoo menambah jari ke-tiga, lalu ke-empat. Dia menambah cairan lube sehingga membuat dinding lubang Seungyoun semakin licin dan basah. Seungwoo mempercepat gerakkan tangannya, masuk dan keluar.

“Aahh... ahh ... ahh.”

Suara Seungyoun benar-benar terasa manis dan Seungwoo mulai menemukan candu di dalamnya.

“Ahh! Aah!”

Ketika suara Seungyoun semakin meninggi, Seungwoo berhenti sejenak, mengeluarkan jari-jarinya, meninggalkan lubang yang sudah lumayan terbuka itu menganga, meminta dimasuki. “Sayang, jangan klimaks dulu, kita belum masuk ke acara utamanya.” Lantas Seungwoo menurunkan celananya, lalu melumuri batang kemaluannya yang sudah berdiri tegak dengan cairan lube yang terisa.

Dia memasukkan kelaminnya pelan-pelan ke lubang Seungyoun. Seungyoun merintih pelan seiring dengan semakin dalamnya Seungwoo mendorong kemaluannya masuk. Ketika Seungwoo sudah memasukkan semuanya, Seungyoun menggerakkan pinggulnya sendiri secara refleks, dia menemukan kenikmatan di sana. Seungwoo yang ada di dalamnya membuat Seungyoun merasa penuh.

Seungwoo mulai menggerakkan kemaluannya. Dia melenguh pelan, lubang Seungyoun sebenarnya sangat sempit dan itu membuat pikirannya melayang-layang. Seungwoo mempercepat tempo, Seungyoun mulai mendesah lagi. Dia menggerakkan pinggulnya sekali-kali, tapi setiap kali Seungwoo bergerak terlalu cepat Seungyoun hanya bisa terkulai lemah karena kedua kakinya melemas.

Seungyoun benar-benar hampir kehilangan akalnya. Bagian bawah tubuhnya terasa panas dan Seungwoo terus menghujaninya dengan tempo cepat. Satu tetes cairan putih sudah mengalir melalui kemaluannya yang menegak sempurna, hanya tinggal sedikit lagi saja dia benar-benar akan klimaks.

“Seungyoun.”

“Hm? Ahhh,” Seungyoun hanya menjawab sekenanya, kepalanya tidak bisa diajak berpikir dalam situasi seperti itu.

“Aku keluar di dalam, ya?”

“Aah ... ka-kamu ti-tidak pakai kondom, aahhh ...”

“Aku mau kamu hamil.”

“Bo-bodoh!”

“Tidak apa-apa, ya?”

“Aah! Aahhh ...”

“Seungyoun, nanti ada anak bayi di balik tato pistolmu itu.” Seungwoo meraba-raba perut Seungyoun, menggelitiknya sesekali.

“Bodoh! Aah ... a-aku tidak bisa hamil!”

“Kalau begitu, boleh ya keluar di dalam?”

“T-terserah.”

“Jawab yang manis dong.”

Seungyoun sedikit jengkel mendengarnya, tapi karena sudah tidak tahan ingin klimaks akhirnya dia membuka suara, “K-kak Seungwoo ... aah ... ha-hamili aku.”

Seungwoo tersenyum kecil, lalu mendorong keras dalam satu hentakkan. Seungyoun mengeluarkan desah panjang, lalu menggigit bibirnya kuat-kuat menahan nikmat. Gerakkan Seungwoo yang semakin cepat membuat pikirannya semakin melayang-layang. Bagian bawah tubuhnya terasa penuh dan panas. Seungwoo mendekapnya sekali-sekali, lalu mencium bahunya dua-tiga kali. Itu membuat Seungyoun merasakan hangat yang menggelitik perutnya.

“Aaah! Aah! Hmm.”

Seungwoo tiba-tiba menarik tubuh Seungyoun menempel padanya, menarik kepalanya supaya menoleh ke belakang, lalu mencumbunya dalam-dalam. Seungyoun tidak menduga itu akan terjadi, tapi dia tidak sama sekali menolaknya. Lidah Seungwoo masuk dengan mudah, memanjakan Seungyoun dengan permainan yang lembut dan matang. Seungyoun meleleh dibuatnya. Kedua kakinya lemas sekali, kalau tidak sedang menumpu pada meja mungkin dia sudah terduduk lemas di lantai.

“K-kak Se-Seungwoo, ah, a-aku tidak tahan.”

Seungwoo mencium dahi Seungyoun sekilas. “Keluar saja, sayang. Aku juga ingin keluar.”

Seungyoun klimaks duluan tidak lama kemudian, cairan putih kental meleleh keluar banyak-banyak dari kemaluannya, mengotori lantai. Seungwoo menyusul dalam beberapa detik kemudian. Dia keluar cukup banyak, memenuhi bagian dalam tubuh Seungyoun. Cairan itu keluar sedikit ketika Seungwoo mengeluarkan kelaminnya, meleleh pelan melalui paha Seungyoun yang sedikit memerah.

Seungyoun masih pada posisi awalnya, tapi dia memejamkan mata, berusaha mengatur napasnya yang tersenggal-senggal. Seungwoo memeluknya lagi dari belakang, sekarang jauh lebih hangat dan erat. Laki-laki itu mencium bahu Seungyoun beberapa kali, lalu berbisik tepat di telinganya, “Kamu cantik, kamu indah. Aku menyesal kenapa baru menyadarinya sekarang.”

Seungyoun terdiam cukup lama, tapi daun telinganya memerah pelan-pelan. Seungwoo tidak tahan melihatnya, itu benar-benar menggemaskan.

“Rumahmu di mana, Seungyoun-ah?”

“De-dekat perpustakaan kota.” Seungyoun bergidik geli ketika Seungwoo terus menciumi lehernya, lalu kedua tangannya juga tidak bisa diam, menggerayangi pahanya.

“Lumayan jauh,” komentar Seungwoo. “Kamu menginap saja di rumahku malam ini, ya. Aku tinggal sendiri, kok. Nanti kamu aku mandikan.”

“Aku bisa mandi sendiri,” balas Seungyoun tertahan. Wajahnya memerah sekali dibuatnya.

“Aku mau tanggung jawab, tadi aku keluar di dalam, nanti aku yang membersihkanmu,” katanya. “Bawa kendaraan tidak?”

“Bawa motor.”

“Motornya simpan di sekolah saja sampai besok, ya. Nanti aku yang bilang ke penjaga sekolah. Kamu pulang denganku saja.”

“Memangnya aku setuju dengan itu?”

“Kamu tidak mau?”

Seungyoun terdiam. Dia menggigit bibirnya ragu, tapi detik berikutnya dia bergumam tipis-tipis, “M-mau.”

Seungwoo tertawa melihat reaksinya yang lucu. “Oke,” katanya. senyumannya melebar, pelukannya pada Seungyoun mengerat. Seungwoo tidak tahu kenapa, tapi tiba-tiba dia merasa bahagia sekali saat itu.

belenggu berpaku • seungyul

Waktu itu, arloji dinding yang dipasang tidak jauh dari jendela apartemen Seungyoun sudah menunjukkan hampir pukul dua dini hari. Jalanan di luar sudah sangat sepi sehingga suara napas setiap orang di dalam ruangan saja bisa terdengar lumayan kentara. Beberapa botol bir tampak berjajar tidak beraturan di atas meja, beberapa darinya sudah kosong, kebanyakan masih terisi penuh.

Seungyoun duduk di atas sofa dengan bertelanjang dada, sebelah tangannya menggenggam botol bir yang isinya tinggal sedikit dan sebelah tangan lainnya mencengkram pinggang Hangyul yang duduk mengangkang di atas pangkuannya.

Mereka bercumbu, dalam dan seperti tidak berujung. Hangyul tidak mengenakan apapun kecuali kemeja kebesaran yang tidak dikancing dan merosot sampai ke setengah lengannya. Kedua lengannya itu melingkari leher Seungyoun. Dia merintih kecil setiap kali laki-laki yang lebih tua darinya itu menggigit bibirnya atau mencengkram pinggangnya terlalu keras.

“Ah! akh ... “

Hangyul menjauh sedikit secara refleks ketika Seungyoun mulai memain-mainkan dildo yang sejak tadi bersarang di bagian bawah tubuhnya. Hangyul menggigit bibirnya kuat-kuat, sekujur tubuhnya memerah dan gemetaran hebat. Dia kelihatan sangat indah, sangat cantik. Seungyoun mengecup permukaan kulit leher dan bahunya beberapa kali dibuatnya.

“Kamu cukup puas dengan ini,” Seungyoun membuka suaranya dengan tenang, seolah dia tidak sedang memasuk-keluarkan mainan seks ke lubang Hangyul dengan sedikit tanpa perasaan.

Hangyul menggeleng cepat, kedua matanya berkaca-kaca dan terasa panas. “K-kak, a-akuㅡaah... aku m-mau Kak Se-Seungyoun.”

Seungyoun hanya menggeleng kecil dengan senyuman penuh makna.

“Kenapa?” Hangyul mengerutkan kedua alisnya. “K-kau bi-bilang akan me-melakukannya kalau aku ma-mau memakai ma-mainan iniㅡaah!”

“Tidak seburuk kelihatannya, 'kan? Tadi kamu takut, tapi lama-lama keenakan juga.”

Hangyul menggeleng kuat. “A-aku tidak sukaㅡaah, ahhh ... nghh ... di-dingin, sa-sakit.” Satu tetes air matanya benar-benar turun ketika Seungyoun mendorong mainan seks itu secara paksa dan tiba-tiba.

“Sedikit lagi pun kamu pasti klimaks.”

“A-aku mau... nghh, d-dengan Kak Seungyo-youn ...”

“Aku sedang tidak mau main-main denganmu.”

“Kakak su-sudah janji,” nada suaranya meninggi.

Seungyoun sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi diurungkannya ketika pintu apartemen tiba-tiba terdengar diketuk dari luar dengan keras. Hangyul kelihatan panik, tapi Seungyoun memaksanya tetap di tempat dengan menahan pinggangnya. Suara beberapa orang pria terdengar memanggil nama Seungyoun dari luar, lalu senyuman penuh makna terpantri begitu saja di muka wajah si lelaki yang lebih tua.

Seungyoun meneriakan sesuatu seperti 'masuk saja, kalian tahu kata sandinya!' dengan begitu santai. Hangyul mulai semakin panik, dia berusaha melepaskan lengan Seungyoun sambil berujar cepat, “me-mereka siapa?”

“Teman-temanku,” balas Seungyoun. “Santai saja, sayang. Mereka hanya ingin meramaikan pesta.”

“Ka-kau tidak bilang akan ada orang lain yang datang.”

“Kau pikir aku bisa menghabiskan semua botol bir ini sendirian?”

“Ta-tapi, aku m-malu.”

“Kenapa malu? Kamu sangat cantik,” katanya seraya meremas bokong Hangyul gemas.

Lalu pintu terbuka. Masuklah tiga orang lelaki yang mungkin seusia Seungyoun. Hangyul hanya bisa menunduk sambil berusaha menutupi beberapa bagian tubuhnya karena malu.

“Gila,” komentar salah satu dari mereka seraya melemparkan dirinya duduk di atas sofa dengan seenaknya. Dia mengelus paha Hangyul, meremas-remasnya pelan. Itu membuat Hangyul bergidik takut. “Siapa lagi ini, Youn?” katanya.

Seungyoun tersenyum menyeringai. “Manis, tidak? Dia memanggilku Kak Seungyoun,” katanya.

“Uh, gemasnya,” lelaki lainnya berjalan mendekat setelah membuka dan meminum setengah botol bir dalam satu tegakan. “Panggil aku Kakak juga, dong,” katanya sambil tertawa.

Ketiga orang itu tidak berhenti menatap Hangyul dengan ekspresi menjijikkan. Pun salah satu dari mereka terus mengelus paha Hangyul dan itu membuatnya merasa semakin tidak nyaman. Jantung Hangyul bergemuruh begitu kencang, kedua matanya semakin berkaca-kaca. Dia benar-benar merasa takut.

“Sayang, turun dari pangkuanku.”

Hangyul menurut, tapi saat itu pula Seungyoun beranjak dari atas sofa. Teman Seungyoun lainnya jadi mengisi kursi kosong itu, lalu merangkul pundak Hangyul dengan santai.

Hangyul menahan tangan Seungyoun tepat sebelum lelaki itu pergi terlalu jauh dari sana. “Kakak ma-mau ke mana?”

Seungyoun tersenyum tipis. “Merokok di balkon.”

“A-aku ma-mau ikut.”

Teman Seungyoun itu segera mengeratkan rangkulannya, memaksa Hangyul menempel padanya lebih erat. “Di sini saja, sayang. Kalau di balkon nanti masuk angin,” katanya.

Satu orang lainnya membenarkan, “Kamu di sini saja, bersenang-senang dengan kita.”

Hangyul menggeleng kuat, sekujur tubuhnya semakin gemetaran. “Tidak mau.”

“Hangyul,” Seungyoun membuka suaranya tegas. “Jadilah anak baik dan turuti Kakak-kakakmu itu,” katanya. “Kalau kamu jadi anak baik nanti setelahnya boleh tidur denganku.”

“Ta-tapiㅡ!” seruan Hangyul terpotong ketika orang yang duduk di sebelahnya tiba-tiba memegangi kedua tangannya kuat, menariknya paksa hingga berbaring di sofa. Lelaki lainnya membuka tungkai Hangyul lebar-lebar hingga lubangnya terpampang jelas.

Laki-laki itu tertawa. “Anak ini sok polos padahal dia memakai mainan seks seperti ini.”

“Ja-jangan,” Hangyul berdesis di bawah napasnya yang tersenggal-senggal. Dia melirik ke samping, Seungyoun sedang berjalan santai meninggalkannya menuju pintu balkon. “K-kak Se-seungyoun!”

Lelaki lainnya yang sejak tadi diam tiba-tiba menghampiri, membekap mulut Hangyul begitu kuat, itu menyakitkan hingga membuat Hangyul menteskan air matanya lagi. “Keras kepala. Anak ini maunya hanya si tampan dan kaya seperti Seungyoun.”

“Padahal milik kita juga tidak kalah memuaskan, adik manis.”

“Dia hanya belom mencoba saja, nanti juga ketagihan.”

“Ya sudah, siapa yang duluan?”

Salah satu dari mereka mencabut paksa dildo itu, lalu memasukan empat jari sekaligus ke dalam lubang Hangyul, air matanya turun semakin deras karena itu. “Anak ini dimasuki dua sekaligus juga bisa,” katanya, dia menekan-nekan prostat Hangyul kuat.

“Jangan langsung begitu dong, kalau dia jadi anak baik baru kita beri hadiah langsung dua sekaligus,” timpal seorang lainnya. “Sayang, makanya berhenti menangis dan jadilah anak yang baik.”

Hangyul tidak terlalu ingat lagi apa yang terjadi setelahnya. Dia hanya terus dan terus menangis. Jantungnya tidak berhenti menderu terlalu kencang karena takut dan tubuhnya masih gemetaran hebat. Mereka memaksa Hangyul minum beberapa gelas dan itu membuatnya semakin tidak mengingat apapun. Bahkan sampai Hangyul tidak punya tenaga lagi, sampai dia terkulai lemah di antara berbotol-botol bir kosong dan cairan sperma yang menodai tubuhnya, Seungyoun tidak juga kembali.

.

.

.

.

.

.

.

Suasana ruangan tengah apartemen sudah sangat sepi ketika Seungyoun sudah menghabiskan setengah bungkus rokok selama hampir dua jam di balkon rumahnya. Arloji dinding sudah menunjukkan pukul empat lebih dan langit masih tampak gelap sekali di luar rumah. Tiga orang temannya yang datang itu sudah tertidur tidak beraturan di sekitar sofa dan karpet apartemennya, tapi Seungyoun tidak menemukan Hangyul. Dia bisa saja berpikir Hangyul sudah kabur, pulang sendiri ke rumahnya sampai akhirnya sayup-sayup suara tangisannya yang tipis terdengar di antara keheningan.

Ketika mendekat ke arah sofa, dia menemukan Hangyul sedang meringkut, bersembunyi di belakang sofa dengan menunduk dalam-dalam. Seungyoun berjongkok di depannya, lalu membelai pelipis Hangyul untuk membuatnya mengangkat wajah.

Keadaannya sudah sangat, sangat berantakkan. Sekujur tubuhnya penuh bekas membiru dan kedua matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Ketika bertemu pandang dengan Seungyoun, Hangyul lantas membuang wajahnya ke arah lain. Dia juga menepis tangan Seungyoun yang mencoba menyentuhnya.

“Kau marah?”

Hangyul hanya diam.

“Kau tidak berhak marah padaku.”

Bibir bawah Hangyul gemetaran saat itu. Dia menggigitnya keras-keras, lalu air matanya turun semakin deras.

“Kamu bisa jalan?”

Hangyul tetap tidak menjawab.

Seungyoun tidak bicara lagi. Dia memaksa Hangyul berdiri, lalu digendongnya Hangyul seperti pengantin. Seperti dugaannya, Hangyul sama sekali tidak memberontak. Lalu dikecupnya bibir Hangyul beberapa kali, manis dan lembut. Dia membawa Hangyul ke kamarnya, menidurkannya, lalu menyelimutinya sampai ke leher.

Seungyoun ikut tidur di sebelahnya, lalu memeluk Hangyul erat-erat, diciumnya lagi dahi Hangyul beberapa kali dan dengan mudahnya ekspresi Hangyul melembut karenanya. Telinganya memerah dan pelan-pelan dia ikut membalas pelukan Seungyoun.

Hangyul terjun ke alam mimpi tidak lama kemudian. Wajahnya tampak damai sekali seperti semua kemarahannya pada Seungyoun sudah menguap begitu saja disapu angin. Melihatnya, senyuman penuh makna terukir melebar di wajah Seungyoun.

Baginya, Lee Hangyul itu seperti sebuah permainan. Seungyoun bisa dengan mudah menyakiti hatinya, membuatnya menangis, tapi pada akhirnya, diperlakukan dengan manis sedikit saja Hangyul langsung kembali padanya. Seungyoun tidak perlu memberi Hangyul cinta sebanyak yang diberikan lelaki yang lebih muda itu padanya. Diberi sedikit saja, diberi sekali-kali saja, Hangyul akan tetap menempel padanya, tetap menjadi adik manis untuknya, tetap menuruti semua kata-katanya.

Ah, Seungyoun merasa seperti jadi orang paling beruntung di dunia.

• feed me, seungyul.

Hangyul tidak mengerti kenapa Han Seungwoo bisa berpikir bahwa membelikannya hybrid setengah rubah untuk hadiah ulang tahun adalah ide yang bagus. Seungwoo memang uangnya banyak, tapi Hangyul tidak tahu dia punya uang sebanyak itu sampai bisa membeli hybrid. Meskipun beberapa tahun ini hybrid menjadi sangat populer sebagai asisten pekerjaan manusia (dan beberapa dijual sebagai boneka seks semata), tapi tetap saja, kalangan menengah seperti Hangyul bahkan tidak pernah melihat hybrid dengan mata kepala sendiri sebelumnya.

Mungkin sudah hampir lima menit lamanya Seungwoo pergi meninggalkan apartemen Hangyul untuk belanja kebutuhan perayaan kecil-kecilan ulang tahun Hangyul nanti malam, sudah selama itu pula Hangyul duduk berdua saja dengan hybrid setengah rubah itu di ruangan tengah tanpa satupun dari mereka memulai pembicaraan. Seungwoo bilang hybrid ini bisa menjadi obat Hangyul kalau sedang kesepian, tapi kalau begini terus bisa-bisa dia malah frustasi sendiri karena canggung sekali keadannya.

Pada akhirnya, Hangyul menolehkan kepalanya, di saat yang bersamaan hybrid itu balas menatapnya. Rasanya aneh, mau mengajaknya bicara pun rasanya aneh. Hybrid itu terlalu terlihat fana untuk dikata manusia, tapi terlalu terlihat hidup untuk dikata bukan manusia. Dia bahkan bisa bicara (sebelumnya Hangyul kira mereka tidak bisa bicara), tadi waktu datang berdua dengan Seungwoo, pria bertelinga rubah itu memperkenalkan dirinya sebagai Cho Seungyoun.

“Seungyoun-ssi?”

“Seungyoun saja,” balas Seungyoun cepat. Dia tersenyum, manis dan hangat sekali seperti kue yang baru di angkat dari oven. Saat itu, Hangyul tidak bisa menahan telinganya yang memerah sendiri karenanya.

“Oh, Seungyoun,” Hangyul tidak tahu kenapa dia merasa gugup sekali. Mungkin karena pria di sebelahnya ini, jika kita mengesampingkan fakta bahwa ada sepasang telinga rubah yang mencuat di kepalanya, sebenarnya dia sangat, sangat tampan. Dan, kulitnya seputih susu, semakin indah ketika terkena terpaan sinar mentari dari luar jendela. Hangyul nyaris tersedak sendiri ketika Seungyoun tiba-tiba bergeser mendekat dan meraih sebelah tangannya, mengelus-elus punggung tangannya lembut seperti seorang perayu profesional.

Karena begitu gugupnya Hangyul menarik tangannya dari genggaman Seungyoun. Dia menatap lurus pada Seungyoun dengan kedua netra yang bergetar kecil. “Ah, a-apa kau lapar?”

Seungyoun tersenyum, lagi. Hangyul rasa dia sudah hampir kehilangan kewarasannya. “Iya,” katanya.

“Kau suka apa? Sebenarnya tidak ada yang tersisa di rumah ini kecuali telur dan sedikit potongan sosis. Kalau mau yang lain, kita tunggu Seungwoo saja, ya.”

Seungyoun tertawa, lalu senyumannya itu melebar penuh makna. “Aku tidak makan makanan yang seperti itu.”

Hangyul mengerutkan dahinya. “Begitu? Lalu apa yang kau makan?”

Seungyoun tidak langsung menjawab, dia bergerak semakin mendekat pada Hangyul, membuatnya mau-tidak mau terhimpit ke pinggiran sofa. Kedua tatapan matanya itu menajam dan Hangyul jadi menelan air ludahnya sendiri, sedikit tanpa sadar.

“Aku menyerap energi dari panas tubuh manusia.”

“Apa maksudmu?”

“Seperti ini caranya.”

“H-hah?!”

Hangyul tidak sempat menambah tanda tanya di atas kepalanya, Seungyoun keburu menarik atasan bajunya ke atas tanpa permisi sama sekali, membuat seluruh tubuh bagian atas Hangyul terekspos begitu saja, lalu diciuminya setiap inci permukaan kulit Hangyul, membuat laki-laki itu menggigit bibirnya karena geli.

Seungyoun menggigitnya sesekali, sedikit terlalu kuat. Gigi-giginya sedikit lebih tajam dari gigi manusia pada umumnya adalah mungkin karena dia setengah rubah. Omong-omong, itu membuat tanda kemerahan yang lumayan dalam. Hangyul nyaris menjerit, punggungnya melengkung sempurna di atas sofa ketika Seungyoun menghisap dan menggigit puting susunya seperti bayi.

Hangyul mungkin sempat kehilangan akal sehatnya, dia tidak tahu sejak kapan Seungyoun sudah menindih di atasnya, menggerayangi perut dan dadanya seperti dia adalah makan siang paling menggiurkan yang pernah ada.

“Ah, aaahㅡSe-Seungyounㅡ”

“Hm?”

“Apa h-harus seperti ini?”

Seungyoun tersenyum melebar. “Kenapa? Kau tidak suka?”

Hangyul terdiam sejenak. “Sedikit ... sakit.”

“Tapi memang harus begitu, hanya saja itu cara yang membutuhkan waktu lumayan lama,” balas Seungyoun santai.

“Kalau mau selesai cepat harus melakukan apa?” Hangyul mendongakkan kepala, menatap lurus pada Seungyoun dengan kedua matanya yang terbuka lebar. Dia kelihatan menggemaskan. Senyuman Seungyoun semakin melebar, kedua matanya semakin menyipit karena itu. Hangyul memekik panik ketika si setengah rubah itu menarik celana training yang dipakainya ke bawah, lalu melemparnya asal ke atas lantai. Hangyul segera menahan tangannya tepat sebelum Seungyoun melepas celana dalamnya juga. “A-apa yang kau lakukan?!”

“Katanya mau selesai dengan cepat.”

“T-tapi, kenapa kau melepas celanaku?!”

“Panas tubuhmu akan mudah menular padaku kalau seperti ini,” katanya. “Nikmati saja dan biarkan aku melakukan apa yang harus dilakukan, majikanku,” katanya.

Hangyul tidak sepenuhnya mengerti, tapi dia membiarkan Seungyoun melepaskan celana dalamnya juga pada akhirnya. Sekarang dia telanjang bulat, kecuali dengan atasan kaos yang sudah di angkat tinggi-tinggi di atas dadanya. Seungyoun memeluknya dalam-dalam satu kali, kemaluan mereka saling bergesekan karenanya dan itu membuat Hangyul merasa betul-betul malu.

Seungyoun menjauhkan dirinya sebentar. Dia menurunkan celananya sendiri juga, mengeluarkan kemaluannya yang sudah menegang entah sejak kapan. Hangyul tersentak kaget ketika lagi-lagi, tanpa permisi sama sekali Seungyoun memasukkan dua jarinya ke dalam lubang Hangyul, mencoba membuatnya sedikit lebih terbuka.

“A-apa yang kau lakukan?!” Hangyul meraih sebelah tangan Seungyoun, mencengkramnya sedikit terlalu erat, tapi genggamannya itu melemas ketika Seungyoun memaksa masuk ujung batang kemaluannya ke dalam lubang Hangyul, membuat laki-laki itu nyaris berteriak tertahan.

“A-ah, haah... ahh... Seungyoun, su-sudah, aku ti-tidak suka.”

Alih-alih berhenti, Seungyoun tetap maju, memasukkannya semakin dalam perlahan-lahan.

“A-aku tidak su-suka,” Hangyul meraih lengan Seungyoun, lalu mencengram, nyaris menyakar permukaan kulit laki-laki rubah itu. “S-sakit...,” dia merintih, bersama sekujur tubuhnya yang gemetar hebat.

Seungyoun mencium dahinya, mengusap kepala Hangyul beberapa kali dengan lembut. Lalu tiba-tiba Hangyul merasakan sesuatu yang dingin dan licin masuk memenuhi bagian bawah tubuhnya. Dia tidak mengerti apa yang Seungyoun keluarkan dari kemaluannya. Itu bukan sperma, apalagi air kencing.

“Jangan takut, itu pelumas,” Seungyoun membuka suaranya pelan. “Beberapa dari kami bisa melakukan itu,” katanya. “Sekarang tidak akan terlalu sakit lagi.”

Hangyul tahu beberapa dari para hybrid itu memang diciptakan sebagai boneka seks, tapi dia tidak tahu mereka bisa melakukan hal sejauh itu. Dan, ngomong-ngomong, kenapa Seungwoo membelikan hybrid model seperti ini pada Hangyul?! Kalau hanya untuk menemani Hangyul di apartemennya, 'kan bisa membeli hybrid yang biasa saja!

Lamunannya seketika luntur tatkala Seungyoun bergerak memaju-mundurkan kemaluannya lagi. Benar dikatakan bahwa sekarang rasanya sudah tidak sakit lagi seperti tadi. Hangyul mulai menemukan sesuatu yang candu di dalamnya. Dia menggigit bibirnya keras-keras, berusaha menahan desah panjang yang bisa keluar kapan saja bersamaan dengan kemaluannya yang semakin menegak.

Seungyoun jadi gemas dibuatnya. Dia bergerak mendekat, lalu mencium, menjilat, menggigit leher Hangyul kuat-kuat. Itu membuat Hangyul membuka mulut pada akhirnya, meloloskan rintihan tipis di bawah desah panjang yang menggoda. Seungyoun menemukan candu di dalamnya: tentang bagaimana suara berat Hangyul yang biasa berubah tipis dan meninggi setiap kali dia merintih setengah berteriak.

Seungyoun mempercepat tempo karena dirasa dirinya sebentar lagi mau keluar. Hangyul juga sepertinya tidak jauh berbeda keadaannya, satu-dua tetes cairan kental sudah meleleh keluar dari kemaluannya yang memerah. Sesekali dia menatap Seungyoun penuh arti, dengan kedua matanya yang basah dan memerah. Seperti minta disentuh lebih dalam, tapi tidak berani bicara karena malu tak terkira.

Lantas Seungyoun mendekat dan mencium bibir Hangyul, membuat cumbu itu mendalam hanya dalam beberapa detik saja. Seungyoun memasukkan lidahnya, kadang-kadang menggigit bibir bawah Hangyul yang tidak kunjung berhenti gemetaran. Hangyul tidak bisa memikirkan apa-apa lagi saat itu. Pikirannya melayang-layang. Ciuman itu membuatnya terlena dalam berbagai cara.

Hangyul yang klimaks duluan, cairan spermanya yang meleleh keluar semakin banyak, mengotori selangkangan dan perutnya sendiri. Seungyoun juga keluar tidak lama kemudian. Cairan kental itu memenuhi lubang Hangyul dari dalam, tetesannya meleleh keluar ketika Seungyoun mengeluarkan kemaluannya dari lubang Hangyul.

Mereka saling bertatapan. Seungyoun merasakan wajahnya sendiri memanas dengan hanya melihat keadaan Hangyul yang berantakkan: kedua matanya basah, bibirnya bengkak dan memerah, sekujur tubuhnya penuh dengan bekas gigitan. Lee Hangyul itu ... betul-betul indah. Seungyoun rasa dia sangat beruntung bisa mendapatkan majikan seperti Hangyul tepat setelah keluar dari laboratorium.

Seungyoun nyaris akan mengatakan sesuatu, tapi mulutnya yang sudah terbuka itu ditutupnya lagi tatkala suara kantung belanja yang jatuh terdengar cukup nyaring dari pintu. Lantas keduanya menoleh ke sumber suara, lalu menemukan Seungwoo yang baru saja masuk ke dalam rumah dengan ekspresi kaget bercampur merah wajahnya karena malu.

Melihat Seungyoun dengan cengiran yang tanpa dosa, lalu Hangyul yang ditindih di bawahnya, telanjang bulat dan banyak bekas-bekas memerah di dadanya, Seungwoo rasa darahnya langsung naik ke kepala, panas sekali sampai rasanya dia mau meledak.

Dan, detik berikutnya dia benar-benar meledak,

“CHO SEUNGYOUN!!!”

Tapi Seungyoun masih tertawa-tawa tanpa dosa, bahkan ketika Seungwoo melemparinya dengan bantal sofa. Seungwoo sakit hati, dia sudah mencintai, melindungi Hangyul sejak lama sekali. Tapi, sekarang tiba-tiba saja yang merenggut kesucian Hangyul dengan begitu mudah adalah hybrid yang dibelinya sendiri. Kurang ajar sekali.

“Dasar licik! Biar aku kembalikan saja kau ke laboratorium!”

Seungyoun menjulurkan lidahnya, “Itu salahmu sendiri. Siapa suruh membeli hybrid rubah?”

Hangyul hanya bisa menonton pertengkaran mereka dalam diam. Selimut tipis yang kebetulan ada di kursi sebelah sofa diambilnya untuk menutupi tubuh polosnya. Bagian bawah tubuhnya masih terasa panas dan itu membuat Hangyul tidak bisa berhenti menutup sebagian wajahnya karena malu.

Di antara sumpah serapah yang keluar dari bibir Seungwoo, Hangyul justru terpana pada suara tawa dan ekspresi lucu Seungyoun. Telinga rubahnya bergerak naik-turun setiap kali dia berlari mengitari ruangan untuk menghindari Seungwoo. Oh, dia lucu sekali. Mungkin Hangyul tidak keberatan untuk benar-benar menerima Seungyoun tinggal di rumahnya mulai saat ini.