Badan Jinhyuk persis pegas ketika ia mendengar bunyi bel kamarnya berbunyi. Tubuhnya yang melesak di sofa berwarna cokelat tua langsung berdiri, membawanya berlari menuju pintu. Tidak pakai intip-intip, langsung saja ia buka pintu kamarnya.

Ada Wooseok berdiri di depan sana.

Wooseok datang memakai sweatshirt warna hijau dan celana longgar gelap. Kacamata kebesarannya melorot dari hidung, berkali-kali dibetulkan dengan telunjuk meski tidak ada perubahan berarti.

Bibir kemerahannya pecah membentuk senyum, kemudian menyuarakan protes ketika kacamatanya dikeataskan—ke atas kepalanya—dan kedua pipinya ditangkup tangan Jinhyuk.

Wooseok dicium lama. Mereka masih di depan pintu kamar.

Jinhyuk berhenti ketika ia mendengar suara roda bergerak di atas karpet yang membentang di sepanjang koridor. Mesti ada layanan kamar dan pegawai yang menghentikan kegiatan mereka, Jinhyuk tahu. Maka Jinhyuk menarik Wooseok masuk, menutup pintu dengan kaki panjangnya, lalu melanjutkan ciumannya.

“Aku kangen.” Dua kata pertama yang disebut Jinhyuk ketika ia merasa cukup puas mengecap Wooseok dalam diam. Kedua lengannya memeluk lelaki yang lebih kecil itu, dengan dagu Jinhyuk diletakkan pada bahu Wooseok. Pelukan Jinhyuk dibalas dengan lengan yang melingkar erat di pinggangnya, mengelus punggung Jinhyuk dengan gerakan ritmis yang menenangkan.

Pelukan melonggar dan Jinhyuk meraih tangan Wooseok. Ditariknya Wooseok menuju kasur, mendudukkannya di sana, lalu ikut duduk menghadapnya dengan tatapan bahagia.

“Seneng amat.” Wooseok terkekeh geli. Jinhyuk selalu, selalu bertingkah seolah ia tidak pernah puas menatap Wooseok. Memandangi Wooseok seolah dirinya adalah hal terindah dan menakjubkan yang pernah ia lihat selama hidupnya.

(Dan Jinhyuk tidak menampik hal tersebut.)

“Aku kangen.” Jinhyuk mengulangi pernyataannya selepas ciuman mereka di pintu tadi. “Kalau aku bilang aku kangen terus, kamu gerah nggak?”

Wooseok menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa gerah?”

“Yah,” tangan Jinhyuk bergerak mengelus leher belakangnya. Gestur yang ia lakukan ketika ia merasa malu atau tidak nyaman. “Aku terlalu nempel nggak sih ke kamu? Apa bahasa kamu waktu itu? Demanding? Aku yakin aku nggak posesif, sih, cuma—“

Telapak tangan Wooseok membungkam Jinhyuk. Sepasang mata yang mengingatkan Jinhyuk pada kucing itu menatapnya amat serius.

“Kalau aku gerah sama kamu, mending pas kamu masih linglung parah itu aku cari suami baru.” Ucapannya terdengar biasa tapi nadanya serius. “Mending aku cari yang lebih ganteng. Gak ngeledek aku pendek. Gak wibu kayak kamu. Gak suka gelitikin aku.”

Perks of dating wibu: kamu nggak bakal diselingkuhin.” Jinhyuk menyela dengan cemberut. “Fokusku cuma makhluk dua dimensi.”

“Gak pernah diselingkuhin ya...”

Jinhyuk terdiam sebentar. “Oke. Sejin. Sekali itu, cuma waktu itu. Dan nggak pernah lagi. Aku udah bilang kan cuma kebawa suasana dan waktu itu—“

“Iya, iya, aku tahu.” Wooseok menyela. “Cuma keingetan aja.”

Mereka sama-sama terdiam.

“Kenapa ya kita kalau ketemu pasti ada cekcoknya?” Jinhyuk membuka suara. “Padahal kita udah lebih terbuka. Udah tau apa yang dimau masing-masing.”

“Ya, kayak yang kamu bilang, nikah tuh pelajaran seumur hidup.” Wooseok melunak. Sadar kalau sikapnya barusan malah membuat suasana jadi tidak enak. “Aku sama kamu—kita, masih perlu banyak belajar. Cekcok gak bikin kita makin renggang kok. Justru aku bersyukur, aku jadi paham apa yang ada di pikiran kamu.”

Wooseok meraih tangan Jinhyuk dan menggenggamnya. Ibu jarinya mengusap punggung tangan Jinhyuk. “Maaf ya kalau aku sensian. Aku gak boleh cari alasan memang, tapi jujur aku lagi capek banget sama tugas-tugas yang banyak. Jadinya aku sensian.”

Wooseok lupa, dia harus ekstra sabar menghadapi Jinhyuk. Meski secara eksterior Jinhyuk tidak berubah, tapi sekarang pola pikir dan internal Jinhyuk berhenti lima tahun di belakang Wooseok. Yang berarti ia harus banyak bersabar menghadapi suaminya yang mentalnya tidak jauh beda dengan anak kuliahan.

“Maaf juga aku nggak paham, ya.” Mereka jadi maaf-maafan. Jinhyuk mengambil tangan Wooseok lalu membawanya ke dekat bibirnya untuk dikecup. Buku-buku jari Wooseok, punggung tangannya, lalu pergelangan tangan Wooseok.

“Terus soal anak..”

Jinhyuk berhenti melanjutkan perkataannya begitu ia sadar Wooseok berubah tegang mendengar perkataannya. Benar tebakannya, Wooseok sepertinya tidak sependapat dengannya kali ini.

“Jujur sama aku, kamu nggak mau, ‘kan?”