clowningweeb

jeno/jaemin — part two

⚠️ mpreg, threats, minor character death.


penyesalan adalah sesuatu yang nggak asing buat manusia. meski pun acapkali orang-orang diingatkan buat nggak menyesali sesuatu, dua orang yang lagi berdiri di depan kamar mandi sebuah rumah petakan kecil di lingkungan miskin ibukota berpikir apakah pantas mereka menyesali sesuatu yang mereka lakukan atas dasar hal yang disebut ‘cinta’.

nggak ada yang berani bicara. jaemin masih di ambang pintu kamar mandi ngebawa alat tes kehamilan di tangannya yang nunjukin dua garis samar. di depannya ada jeno bolak balik sambil nyugar rambutnya frustrasi. kentara banget dia berusaha tenang tapi aslinya pemuda itu panik.

“jen…?”

jeno berhenti bolak balik dan berbalik natap jaemin. tatapannya kalut dan jaemin terdiam di tempat. mendadak lupa apa pun yang pengen dia sampein ke jeno tadi.

“maaf…”

jaemin dengan segala trauma di masa lalunya kesulitan buat nepatin janji buat berhenti minta maaf ke jeno. pemuda itu tertunduk dan ia memainkan jemarinya gusar. terasa olehnya ujung-ujung jemarinya berubah dingin dan debar jantungnya lebih cepat dari biasa.

sayang,” jeno buru-buru ngedekat. sadar kalau gerak geriknya cuma mendatangkan panik kepada jaemin di saat sebetulnya yang ngerasa paling kalut sekarang adalah jaemin. anak itu, hasil percintaan mereka, ada di perut jaemin dan sekarang situasi mereka berada dalam hubungan yang disembunyikan. “kenapa minta maaf?”

ada banyak hal yang ingin jaemin katakan tapi tertahan di ujung lidahnya. begitu banyak yang ingin ia sampaikan dalam maaf-maaf yang selama ini ia tahan. maaf untuk nggak bisa berkata apa-apa. maaf karena jadi pengecut terus minta jeno nyembunyiin apa yang mereka punya. maaf karena nggak bisa angkat kepala dan ngebanggain jeno seperti banyak orang yang berharap pada jeno. maaf karena waktu itu terbawa suasana dan dengan jumawa minta jeno keluar di dalam rahimnya.

tapi yang paling besar dan lantang dalam kepalanya adalah maaf kalau jeno harus punya anak dengan seseorang yang nggak bakal pernah pantas berada di sampingnya.

“harusnya aku nggak nyuruh kamu keluar di dalem.”

jeno sontak mijit pertemuan dua alis matanya. kepalanya terasa agak pusing dengan segala sesuatu yang terjadi begitu tiba-tiba. dia berpikir sejenak. ia tatap jaemin, ngehela napas, terus berkacak pinggang.

“kamu nyesel?”

nada jeno tajam dan dingin. ngingetin jaemin sama masa-masa mereka berdua menjauh dan jeno salah paham dengannya. ketakutan menjalari tulang belakang jaemin. membuatnya gemetar halus dan menghindari tajamnya tatapan itu.

“j-jen—“

logika jeno untungnya masih jalan. dengusan napasnya keras tapi tatapan matanya tak sampai berkilat penuh amarah. jeno ulurkan kedua lengannya lalu memegang bahu-bahu jaemin. tulangnya makin prominen dan jeno tahu kekasihnya ini semakin kurus. entah karena pikiran atau apa, ia sendiri juga masih gagal memahaminya.

“kita ngelakuin itu nggak satu kali,” jeno tatap jaemin lurus di matanya. “dan kali-kali selanjutnya, kamu nggak minta aku ngelakuin. aku yang ngeluarin di dalem.”

sepasang mata jaemin berkilat. kali ini muncul air mata yang menggenang di pelupuk matanya. ia takut dan lelah. nggak bisa ngebayangin apa yang bakal terjadi ke depannya saat ini.

“jaemin, kamu nyesel?”

isak pertama lolos dari bibir jaemin. ia seperti didesak dan didorong agar mengatakan sesuatu yang tak ingin ia katakan. logikanya bilang ia tak boleh menyesali apa yang telah ia pilih sendiri tapi ia tak bisa berdusta kalau jauh di dalam sana, ia takut.

“jaemin, jawab aku.”

goncangan di bahunya menciptakan refleks mundur. jaemin terluka dan ia mundur menjauhi jeno. kepalanya menggeleng berkali-kali dan ada air mata yang lolos hingga jatuh ke pipi. sesuatu yang bikin jeno terhenyak begitu sadar ia baru aja membuat seseorang yang ia janjikan begitu banyak kebahagiaan menitikkan air mata.

“aku takut.” suara jaemin bergetar tapi seenggaknya dua kata berhasil ia verbalkan. dua kata yang mewakili buncahan perasaan negatifnya dan berhasil bikin jeno berasa dipukul palu besar tepat di belakang kepalanya.

aku juga.

itu adalah suara batin jeno. sesuatu yang ia pilih untuk tahan sendiri karena ia takut kalau ia menyuarakan takutnya, mereka berdua akan jatuh bersama-sama. harus ada satu yang sanggup berdiri tegar meski saat ini rasanya keduanya sama-sama ingin lari. kehamilan adalah sesuatu yang tak pernah mereka prediksikan apalagi ketika situasinya, nggak ada yang tahu soal mereka.

jadi alih-alih merespon dengan kata, jeno memilih maju dan menarik jaemin ke pelukannya. membiarkan tangis pilu tertumpah dari raga kekasihnya sementara jeno menguatkan dirinya sendiri agar tak ikut tersungkur karenanya. pelukan erat itu mungkin terlihat seperti keinginan menguatkan jaemin tapi ketahuilah, itu adalah cara jeno buat tetap berdiri meski sekarang rasanya ingin mati.

kuliah mereka mungkin hampir selesai tapi tetap saja statusnya belum selesai.

anak adalah tanggung jawab besar dan meski begitu seringnya ia bilang suatu hari ia ingin membentuk keluarga kecil bersama jaemin, di kepalanya adalah sesuatu yang di dalam rencana dan dalam kondisi ketika ia sudah stabil untuk menopang mereka bertiga. mana jeno menyangka kalau percintaan mereka bakal berakhir bikin ia jadi ayah lebih cepat dari angan-angannya?

jaemin menangis lama sampai akhirnya ia berangsur-angsur tenang dan jeno membawanya ke kamar. keduanya duduk di tepi ranjang dan sama-sama melamun. agaknya berusaha memproses apa yang barusan terjadi lalu tenggelam dalam pikiran masing-masing.

jeno yang pertama ngeraih tangan jaemin dan ngegenggamnya erat. tanpa kata ngasih tahu kalau dia ada dan jaemin nggak perlu ngelewatin ini sendirian. sepasang mata jaemin bergulir dan menatap nanar tangan mereka yang saling genggam. agaknya masih sulit mencerna segala sesuatu yang terjadi sekarang. kalau selama ini ketakutan jaemin berada jauh di depan sana dan nggak jelas kapan datengnya, sekarang ketakutannya bener-bener ada di depan mata.

“aku bakal tanggung jawab.”

nggak membantu. batin jaemin. ia nggak bakal pernah ragu soal jeno dan rasa tanggung jawabnya yang tinggi itu tapi dia tetep nggak sanggup ngebayangin mereka berdua tiba-tiba harus jadi serius. semuanya karena kebodohan mereka yang abai dengan logika sebab euforia sesaat.

“jaemin?”

panggilan itu penuh kehati-hatian. sebab jeno tiba-tiba sadar kalau jaemin nggak fokus. pemuda itu bahkan nggak merespon soal kesungguhannya soal bertanggung jawab. padahal itu bukan sesuatu yang sekadar di mulut saja tapi jaemin seperti mengabaikan kesungguhannya.

“sayang?”

jeno terluka waktu jaemin tersentak mundur. seolah tak ingin disentuh bahkan oleh jemari yang selama ini ia cari-cari dalam kerahasiaan. mereka berjarak dan jeno nggak sampai hati buat marah karena di depannya jaemin terlihat demikian hancur.

hancurnya jaemin dengan mudahnya menarik jeno ke dalam kehancuran yang sama. pertanyaannya soal penyesalan seolah dibuktikan dua kali lebih gila: penyesalan yang ia tanyakan mungkin lebih dari penyesalan biasa. terbayang olehnya angan-angan masa depan yang penuh kebahagiaan tentang mereka berdua lalu detik ini lenyap begitu sadar kebahagiaannya ternyata adalah sebuah bentuk duka lara bagi orang tercintanya.

“kamu mau … dia nggak ada?”

begitu jelasnya jeno lihat jaemin membatu di tempat dan itu semakin menghancurkannya. jeno yang takut tapi masih senang dengan ide mereka berdua punya anak yang kelak akan mereka cintai sepenuh hati. pikirnya, jaemin berbagi sentimen yang sama tapi mana pernah jeno sangka kalau rancangan masa depannya ternyata sia-sia karena jaemin diem-diem berharap apa yang diimpikan jeno nggak pernah ada?

jeno kecewa berat.

hanya saja jeno masih sanggup make akal sehatnya buat memahami jaemin. balik lagi, yang mengandung buah hati mereka adalah jaemin, bukan dirinya. yang merasakan sakitnya adalah jaemin, bukan dirinya. nanti-nanti ketika perut itu semakin besar, jaemin yang akan menerima konsekuensinya.

bukan dirinya.

“aku nggak bakal maksa kamu apa-apa.” suara jeno bergetar meski ekspresinya tetap tenang. kecewanya nggak bakal bisa ia lukiskan dengan kata-kata tapi janin itu belum bisa menggantikan besar cintanya pada jaemin. tak akan mau dia ngorbanin jaemin demi sesuatu yang bahkan belum bisa ia ketahui berapa usianya. “aku ikutin semua mau kamu.”

“bahkan kalau aku mau dia nggak ada?”

kejam rasanya dilemparkan kalimat itu langsung dari mulut kekasihnya. hati jeno sakit banget dan rasanya teriris-iris tapi nggak bakal pernah jeno mau bikin jaemin nggak bahagia. meski berat dan hancur hatinya, jeno ulas senyum sebisanya. nyembunyiin fakta kalau di dalam sana, dia udah nggak tahu hancurnya seperti apa.

“bahkan kalau kamu memilih dia nggak ada.” jeno ulangi dan dia langsung buang muka buat nyembunyiin panas yang terasa di pelupuk matanya.

ketika air mata itu jatuh, jaemin tak melihat. cuma jaemin tahu kalau perkataannya baru aja menghancurkan seseorang yang selama ini selalu jadi penopang terkuatnya.

mereka berdua sama-sama terluka tapi untuk kali ini saja, jaemin memilih egois.

*

“aku temani kamu ke sana.”

jaemin terkejut ketika ada lengan yang meluk bahunya dari belakang dan berbisik di telinganya. pikirnya jeno masih terlelap ternyata ia terlalu sibuk browsing sampai nggak sadar suara langkah kaki mendekat.

“aku cuma lihat-lihat.”

jeno duduk di sampingnya dan meraih tangannya. gawainya jaemin ia kunci dan jeno bisa lihat ada ekspresi tak nyaman di wajah kekasihnya itu. perasaan bersalah, sepertinya. sebab ia baru saja ketahuan lagi cari-cari informasi mengenai aborsi.

“nggak apa-apa. kita cari tahu yang paling bagus dan minim risiko nanti aku temani kamu.”

“kamu yakin?”

jaemin bisa ngerasain genggamannya menguat lalu melonggar. jeno kasih jaemin senyum termanisnya terus ngangguk. “aku nggak bakal biarin kamu ngelewatin ini sendirian. gimana pun, dia juga anak aku.”

terluka, terluka, dan lebih banyak luka.

jaemin terluka ngelihat jeno yang berusaha buat ngedampingin dia pergi membinasakan mimpinya dan jeno terluka ngelihat jaemin nggak berani berbagi dukanya bersama jeno. kemana perginya janji buat susah senang dilalui bersama? mereka berdua sama-sama lupa. sebab duka yang ada bentuknya serupa luka yang makin lama makin banyak jumlahnya.

“jeno, aku minta maaf.”

untuk segala hal yang bikin kamu terluka.

jeno meluk jaemin nggak cuma bentuknya ngasih keyakinan kalau dia nggak apa-apa tapi juga usahanya buat nyembunyiin air mata. belakangan rasanya ia begitu mudah berkaca-kaca dan sedikit aja bisa bikin dia meraung karena lukanya terbuka.

“kamu nggak perlu minta maaf.”

“kamu yakin?” jaemin untuk pertama kalinya berani mendorongnya lebih jauh. “aku pengen dia mati.”

jeno panggil seonggok darah daging dalam perut jaemin ‘anaknya’ dan jaemin sebut *dia’ bak objek tak berharga. seolah-olah apa yang bikin jaemin muntah tiap pagi bukan sebuah kehidupan baru tapi masuk angin biasa. seolah-olah yang bikin perasaannya campur aduk bukan janinnya, tapi masalah hidup biasa.

jaemin nggak sanggup.

“asal kamu bahagia…” jeno ngelus pipi jaemin. “asal kamu sehat dan bahagia, itu cukup buat aku.”

walau itu membunuh aku dan mematikanku dalam bentuk paling menyakitkan.

*

tangannya bergetar hebat.

satu tempat akhirnya berhasil mereka pilih dan janji temu itu dibuat semalam-malamnya hari. jeno genggam tangan jaemin dan nggak ngelepasnya barang sekali sementara jaemin berubah semakin pucat, pucat, dan pucat.

dokternya seorang perempuan yang ramah. beliau persilakan keduanya masuk ke ruang praktik kecil yang sanitasinya bikin jaemin hampir ngeluarin segala isi makan malamnya. wanita itu maklum dan ngebiarin jaemin nenangin diri.

ketika ia cukup tenang, wanita itu mulai bertanya beberapa hal. setengahnya jaemin nggak berhasil jawab karena dia sama sekali nggak tahu kapan janin itu terbentuk. pertanyaan kemungkinan pun tak bisa ia jawab karena dengan malu mereka akui kalau seks tanpa pengaman itu berlangsung berkali-kali.

“kalian berdua yakin?”

jeno nengok ke arah jaemin buat terakhir kalinya dan kekasihnya itu ngangguk. ini akhir hatinya karena rasanya sekarang udah hancur berkeping-keping.

“sebelum dimulai, saya coba cek pakai usg dulu, ya?”

jujur jaemin nggak mau. dia nggak mau ngelihat wujudnya tapi dia nggak punya pilihan lain.

“fotonya boleh disimpan satu, dok?”

jaemin pejamkan matanya kuat-kuat waktu dengar pertanyaan penuh permohonan dari jeno. nggak nyangka kalau jeno pengen punya memori soal anak yang nggak diinginkan ini. jeno ingin mengenang anaknya. sesuatu yang bikin jaemin ngerasa makhluk paling nggak punya hati sedunia.

mana resolusinya buat jadi orang baik dan penyayang selama ini? nggak ada.

perutnya dibuka dan tonjolannya belum begitu kentara. jeno pegangi tangan jaemin buat ngasih kekuatan tapi pandangan ingin tahu jeno ke layar kecil itu cuma bikin jaemin semakin lemah.

“lho, nggak ada?”

jaemin ngerasain alat itu bergerak di bawah perutnya dan menurut dokternya, di awal-awal kehamilan biasanya janin lebih banyak berada di posisi bawah. ketika dokter bilang nggak ada, mereka berdua juga bisa lihat kalau di layar itu, nggak ada apa-apa.

harusnya jaemin senang.

cuma dia nemuin dirinya panik. nggak ada. nggak mungkin anak itu nggak ada. sampai beberapa hari lalu ia masih dibuat pusing karena aroma bak sampah. nggak mungkin tiba-tiba nggak ada.

“dok, coba diperiksa lagi, dok.” pinta jeno.

mereka pikir mungkin diam-diam dokternya mengatai mereka kocak. datang untuk menghilangkan nyawa makhluk tuhan tapi mengemis ketika sang dokter bilang bayi mereka nggak ada. suara jeno panik dan jaemin ngelus perutnya. dia yakin anak itu ada.

“pastiin lagi, dok.”

kali ini jaemin. yang mana bikin kaget jeno karena nggak nyangka jaemin malah bertanya hal yang sama. alat itu bergerak, kali ini agak ke atas. hingga tiba-tiba alat itu berhenti dan mereka bisa lihat sesuatu yang mirip gelembung sabun yang bertumpuk-tumpuk dan ada sesuatu yang agak besar bersandar di sana.

“ah, sembunyi dia,” dokter itu tertawa halus. “biasanya usia kandungan segini janin posisinya di bawah. ini udah agak ke atas.”

“berarti ada, ‘kan, dok?” desak jeno.

wanita itu tersenyum. “ada.” ia jeda sesaat sebelum menawarkan hal baru. “mau dengar?”

detak jantung makhluk itu terdengar memenuhi ruangan kecil tersebut. berdetak kencang dan dokter memujinya sehat.

“sebelas minggu tiga hari,” dokter itu tersenyum. “panjangnya lima senti.”

jaemin nggak tahu apa yang terjadi tapi dia temukan dirinya menangis meraung-raung. lebih kencang daripada suara detak jantung yang masih ada itu. di sebelahnya, jeno terpana. terpukau mendengar detak yang terdengar seperti alunan musik di telinganya.

“masih mau saya foto buat kenang-kenangan nggak?”

jeno ngangguk. “suaranya boleh saya rekam, dok?”

“silakan.”

“nggak usah direkam,” jaemin terisak dan jeno terdiam megang hpnya. “nggak usah.”

“kenapa?”

“nanti aja pas dia lebih besar.” jaemin natap jeno meski pandangannya buram. “waktu dia nggak lima senti aja dan mukanya lebih jelas.”

kali ini jeno yang memeluk jaemin sambil meraung-raung dan dokter wanita itu tersenyum menyaksikan kejadian tersebut.

*

“jadi sekarang gimana?”

perubahan rencana mereka begitu besar hingga diperlukan rencana baru yang jauh lebih matang. setelah berhari-hari pertimbangan, mereka sepakat buat pertama, mengaku dulu ke teman-teman dekat mereka.

“gue nggak kaget.” kata haechan. “kalian kelihatan banget jatuh cintanya. bukan kejutan. skip.”

“gue hamil.”

haechan numpahin es teh ke celananya sampai basah total. ekspresinya komikal dan dia telat ngerasain dingin di daerah selangkangannya.

“BERCANDA?!”

“nggak. gue beneran punya anak ama haechan.” jeno nyengir. “mau lihat nggak fotonya? anak gue sehat deh. udah lima senti. terus jantungnya kenceng gitu—“

mereka yang berkumpul di sana rame-rame dengerin suara detak jantung yang direkam di gawai jeno plus ngelihatin foto usg pertama mereka.

“ni anak lo nyender?” haechan ngernyit sambil ngelihatin hasil foto itu lekat-lekat. “mageran deh gedenya.”

“lo bisa nggak kalau doain anak gue tuh yang baik?” jeno noyor sahabatnya itu main-main. “jangan kasih yang negatif!”

haechan tergelak. “sori, sori! kebiasaan ngatain bapaknya!” ditatapinya foto itu sekali lagi terus bilang. “moga sifatnya dari jaemin. kalau dari bapaknya yang ini kasihan soalnya.”

jaemin tertawa waktu lihat haechan dan jeno bergelut sampai ke lantai.

kesepakatan lain adalah mereka berdua bakal menyegerakan tugas akhir mereka. sebisa mungkin, mereka akan tutup mulut soal kehamilan ini dan lulus tanpa pihak kampus perlu tahu. gimana pun, yang mereka lakukan bukan perbuatan terpuji jadi dua-duanya berusaha buat lulus tepat waktu.

cuma yang namanya rencana, nggak melulu bakal berjalan baik-baik aja sesuai rencana.

suatu hari ketika jeno lagi capek-capeknya pulang bimbingan (nungguin seharian cuma buat ditolak di penghujung hari), ia tahu-tahu dipanggil oleh orangtuanya. jeno yang capek nggak mikir panjang. tanpa banyak pertimbangan ia langsung masuk ke ruang kerja orangtuanya dan kaget ternyata di sana ada kedua orangtuanya serta kakak lelakinya. ketiganya berwajah amat serius dan saat itulah jeno tahu ada sesuatu yang nggak beres.

“ada yang lihat mobil kamu di dekat klinik aborsi.” ayahnya berkata dengan nada dingin yang serius. “benar?”

dingin menjalari sekujur tubuh jeno. nggak nyangka dia bisa seteledor itu buat mikir kalau dia nggak bakal dikenali hanya karena pakai masker dan hoodie. jeno gelagapan. nggak nyangka tahu-tahu bakal begini jadi dia nunduk dan milih buat nggak nyari-nyari alasan.

“iya, pa.”

“kamu ngehamilin anak orang sembarangan?!” mamanya histeris. “jeno? kamu?”

wajar ibunya tak percaya. anak bungsunya itu adalah anak manis yang amat bertanggung jawab. berita kalau jeno menghamili seseorang di luar nikah lalu membunuh janinnya pula adalah sesuatu yang nggak bisa dicerna akal sehat ibunya.

“pacar jeno, ma. nggak sembarangan.”

“kamu punya pacar, dek?” kali ini abangnya. “kok bisa nggak ada yang tahu.”

jeno terdiam. karena dia bukan bagian dari kita, bang.

“temen jeno, ma, bang. anaknya baik. kenal waktu masa volunteer.”

“terus dia aborsi?” ibunya terdengar mendesak.

jeno diam sesaat. “nggak jadi, ma,” jeno nggak berani lihat keluarganya. “kita berdua mutusin buat pertahanin anak itu.”

jeno udah siap banget didamprat atau diusir dari rumah. dicoret dari keluarga pun dia nggak apa-apa karena dia tahu apa yang dia kerjain ini jelas-jelas nyoreng nama baik keluarga. dia cuma bisa nunduk malu dan siap atas segala eksekusi ke depannya tapi yang dia dapet cuma pelukan dari ibunya.

“mama bangga anak mama bukan pembunuh.”

jeno nangis di pelukan ibunya. senang bukan main begitu tahu orangtuanya bisa ngelihat ini dengan kepala dingin. jeno juga berseri-seri waktu tahu mereka bersedia ngedukung jeno dan jaemin serta mastiin kesehatan anaknya sampai lahir nanti.

“dengan syarat kamu bersedia ngikutin papa buat ngejalanin bisnis ya, jen.”

jeno pikir masuk akal. orangtuanya bilang jeno harus belajar fokus ngelanjutin bisnis kalau emang serius pengen ngebentuk keluarga baru. nggak mudah jadi kepala keluarga dan hal pertama yang harus bisa jeno sediakan untuk pasangan dan anak mereka tentu saja kebutuhan yang layak.

“ini nggak bakal mudah.”

jeno tahu tapi dia sepakat. malam itu juga dia hubungi jaemin dan nyeritain kebahagiaan kecilnya itu. jaemin skeptis, jelas aja. nggak percaya semudah itu perkara besar menjurus aib ini diterima dan semudah itu pula dia diundang buat dateng ke rumah jeno.

“keluargaku pengen banget ketemu kamu sebagai menantu juga cucu mereka.” jeno tersenyum sayang sambil ngelus perut jaemin yang terasa keras. “kamu mau, ‘kan, sayang?”

meski nggak percaya dan ragu, jaemin menurut. dia pakai baju terbaiknya dan ikut ke kediaman jeno yang besarnya bikin dia jadi ngerasa kecil. jeno nggak bohong. keluarganya nyambut kedatangan mereka dengan luar biasa meriah tapi jaemin tetep ngerasa aneh sama segalanya.

jaemin ngerasa … ada sesuatu.

nggak sekali dua kali dia refleks megangin perutnya. seolah instingnya bekerja buat ngelindungin anak mereka. padahal apa yang salah di sini? semua memperhatikannya dan nyiapin segala macam makanan penuh gizi demi dia dan buah hatinya. berkali-kali jaemin coba nepis ragunya dan marahin diri sendiri biar nggak berprasangka tapi perasaan nggak nyaman itu tetap kembali.

jaemin deg-degan setengah mati waktu segala makanan habis dan mereka mesti duduk bareng di ruang tengah yang besarnya lebih daripada segala ruangan di rumahnya digabungkan. jaemin duduk di samping jeno dengan tangan yang digenggam agar dia tetap tenang tapi nyatanya jaemin tetap ngerasa lagi dihakimi oleh mata-mata yang menatapnya lurus meski semua wajah itu punya senyum lebar yang diulas.

“jadi, kamu sering volunteer juga?”

“betul, pak, bu.” jaemin ngejawab dengan nada kaku yang benar-benar sopan. nggak berani manggil mereka dengan sebutan ‘om’ dan ‘tante’ layaknya panggilan seseorang ke orangtua teman akrabnya.

“nilai kamu bagus?”

sebelum jaemin buka mulut, jeno udah duluan bersuara. “ipk-nya nyaris 4, pa. jaemin calon perwakilan angkatan pas wisuda nanti.”

“tugas akhir udah?”

“tinggal bab-bab akhir, pak.”

si pemimpin rumah tangga manggut-manggut. dari ekspresinya memberi impresi kalau dia cukup senang ngedenger pencapaian jaemin. jeno ngeremes lembut tangan jaemin terus ngelus punggung tangannya pake ibu jari. berusaha nenangin jaemin yang tangannya makin lama makin terasa dingin oleh jeno.

jaemin benar-benar tertekan.

“jeno, tolong ambilin paper bag di kamar mama dong. mama kemarin beliin sesuatu buat jaemin.”

jeno awalnya ragu buat ninggalin jaemin. apalagi setelah permintaan itu, jaemin kelihatan banget paniknya. masalahnya, nggak mungkin juga orang lain yang ambil karena ini hadiah spesial buat jaemin.

“aku ambilin bentar, ya? nggak lama kok. kamar mama di atas.” jeno berusaha ngasih jaemin ketenangan yang sebenernya sama sekali nggak berhasil. pemuda itu bangkit, nepuk kepala jaemin dua kali terus jalan ke arah atas.

baru juga jeno berbelok, suasana itu langsung berubah.

“untuk ukuran anak cerdas, apa yang kamu lakukan cukup bodoh, ya?”

dingin langsung menjalari segenap tubuh jaemin. merasuk ke tulang belakangnya memberi sensasi perih. gemetar, ia tatap wajah-wajah tadi. senyum-senyum lebar tadi lenyap digantikan wajah tak senang dan tatapan menghakimi lagi merendahkan.

jaemin mau muntah rasanya.

“bukannya pintar?” salah satu tante jeno menimpali. “menggoda pewaris keluarga kaya dan dengan sengaja hamil supaya kecipratan kaya?”

jaemin ngepalin tangan nahan segala emosinya. nggak nyangka jeno yang bahkan perginya nggak begitu jauh aja bisa bikin mereka punya celah buat menyakitinya. benar dugaannya, sejak tadi euforia itu palsu. orang-orang ini nggak benar-benar mendukungnya.

“jadi, bapak dan ibu sekalian mau apa?”

secara strata sosial jaemin mungkin rendah di mata mereka tapi jaemin yakin nggak ada orang yang layak diperlakukan hina kayak gini. pedihnya digantikan tekad buat nggak nyerah diinjak gini. tangannya diam di perut mencari kekuatan dari buah hatinya yang jadi satu-satunya ada untuknya saat itu.

“saya nggak akan nyuruh kamu menggugurkan kandungan karena keluarga ini bukan pembunuh,” si kepala keluarga bersuara. “bagaimana pun anak itu adalah bagian dari jeno, anak kami, yang akan kami usahakan kesehatannya.”

jaemin nggak bilang apa-apa. kepalanya berusaha ngeproses segala hal yang terjadi dan matanya ngelirik ke arah tangga di mana terakhir kali ia lihat jeno pergi. amarahnya memuncak tapi dia nggak bisa apa-apa. gimana pun, orang-orang ini adalah keluarga jeno. orang yang ia cintai sepenuh hati.

makanya ketika jeno balik dan dengan kasual ngelingkarin lengannya ke jaemin, dia nggak bilang apa-apa tapi setengah jiwanya udah terbang entah kemana: berharap bisa segera ninggalin tempat yang rasanya kayak neraka.

*

rencananya adalah mereka segera lulus.

maka jeno dan jaemin berjuang sekuat tenaga buat bisa segera lulus dari kampus. anak di kandungannya bak memahami situasi dan kondisi, berhenti ngasih jaemin waktu yang kurang menyenangkan. lambat laun rasa mualnya menghilang dan jaemin bisa beraktifitas lagi kayak biasa. bedanya adalah, dia jadi lebih cepet lelah jadi jaemin dengan berat hati berhenti ngelakuin kegiatan-kegiatan volunteering-nya.

“aku kangen sama anak-anak di sana.”

kadang jaemin jadi amat sensitif dan kerinduannya sama kegiatan biasa bisa bikin dia menitikkan air mata. jeno bakal ada di sampingnya. ngelus-ngelus sambil ngusap air matanya. ngasih janji buat nemenin jaemin ketemu anak-anak yang mereka ajar kalau situasinya lebih memungkinkan.

jeno lebih banyak ngabisin waktu bareng jaemin. mastiin kondisinya baik dan orang yang sama bisa ngabisin waktu berjam-jam buat ngobrol sama perut jaemin sambil dielus-elus. di rumah kecil yang nggak layak itu, jeno nemuin kehangatan layaknya rumah. kali ini dengan keluarga yang dia bentuk sendiri.

jaemin paling suka malam-malam menjelang tidur mereka. waktu jeno meluk dia dan mereka bakal berciuman dalam keadaan kepala jaemin di lengan jeno. ciuman itu nggak bergerak lebih jauh karena dokter mewanti-wanti agar mereka nggak bercinta dulu hingga kandungan jaemin lebih kuat. jadilah mereka cuma saling mencumbu dengan cara yang aman.

jaemin yang tengah mengandung itu tahu betul kadang jeno kesulitan. dia sering denger malem-malem jeno ke kamar mandi dan ada suara-suara lenguhan tertahan dari sana. jaemin tahu jeno punya kebutuhan biologis yang perlu dipenuhi dan pasti sulit buatnya berdekatan dengan jaemin tanpa bisa melakukan apa-apa. makanya malam besoknya jaemin yang nggak tega tahu-tahu ngerangkak dan ngebuka celana jeno. bikin si pemuda yang awalnya cemas setengah mati dan nolak tawaran blowjob dari jaemin malah berakhir ngeluarin suara-suara mesum dengan tangan tanpa sadar megangin rambut jaemin.

jeno minta maaf waktu dia keluar banyak du mulut jaemin dan yang dimintai maaf cuma tersenyum sambil nyeka mulutnya dengan punggung tangan. bikin jeno meneguk liur begitu ngelihat betapa sensualnya jaemin yang nelen cairan cintanya tanpa banyak masalah.

jaemin lama-lama lupa soal kejadian di rumah itu. apalagi nggak ada yang ngeganggu dia dan jeno juga beneran selalu ada buat mereka. mereka berdua yang sibuk memenuhi kewajiban pada akhirnya sampai ke ujung perkuliahan dan toga adalah pertanda mereka bisa lepas dari kampus.

jeno sepakat kalau jaemin nggak usah kerja apa-apa dan diam di rumah dulu. mereka juga selalu ke dokter kandungan kepercayaan keluarga jeno diam-diam dan sementara ini nggak pernah ketahuan. mereka berdua beneran berbahagia dengan apa yang mereka punya. nggak ada dikejar apa pun lagi karena tanggung jawab di kampus akhirnya selesai dan jeno masih mau ambil napas sejenak sebelum mulai bekerja.

masuk ke trimester kedua, kandungan jaemin jadi jauh lebih kuat. kunjungan ke dokter kandungan hari ini bikin jeno nyengir karena menurut sang dokter, mereka udah diperbolehkan berhubungan badan lagi meskipun nggak boleh terlalu sering. makanya begitu sampai di rumah nggak butuh waktu lama jeno langsung masang ekspresi ingin dan jaemin ketawa sambil minta mereka berdua buat mandi dulu.

jeno bahagia banget rasanya setelah ketahan sekian bulan. belum lagi trimester kedua ternyata bikin jaemin jadi lebih bergairah karena libidonya yang naik. nggak jarang dia yang biasanya agak malu malah jadi yang pertama minta. bikin jeno kesenengan kalau pagi-pagi tahu-tahu bangun dalam keadaan pasangan yang minta dicintai.

baik jaemin dan jeno berpikir mereka berdua bakal bahagia sampai seterusnya tapi nggak ada yang nyangka bahagia mereka sifatnya begitu sementara.

pesan itu dateng waktu mereka berdua lagi duduk berdua di ruang tengah. jeno lagi ngelus perut jaemin dan jaemin tersenyum sayang ngelihat jeno lagi bicara dengan anak mereka. sebuah panggilan telepon langsung ngubah suasana hatinya. sebab panggilan itu dateng dari keluarga jeno yang minta anak lelaki mereka buat mulai bekerja secepetnya.

jeno tersenyum meyakinkan jaemin kalau dia nggak bakal kehilangan jeno

“anak kita nggak mungkin nggak kukasih makan apa-apa, ‘kan?” jeno tertawa halus sambil ngelus pipi jaemin. “aku bakal belajar keras dan kerja yang rajin biar bisa ngehidupin keluarga kecil kita juga bikin kamu sama si kecil ini bangga.”

jaemin percaya. jaemin berusaha percaya.

di awal jeno masih datang ke tempatnya. semalam-malamnya hari, selelah-lelahnya jeno, pemuda itu bakal dateng dan tertidur sambil meluk jaemin. lama-lama frekuensi kunjungan itu makin minim dan digantikan oleh panggilan telepon.

“papa berharap banget sama aku kayaknya jadi semangat ngajarin banyak hal.”

semangat itu bentuknya jadi rajin ngirim jeno ke luar kota dan jeno cerita kalau pengalaman itu bakal bikin jeno semakin kaya dengan ilmu. yang jaemin tahu, ia yakin ini adalah cara keluarga jeno buat pelan-pelan ngejauhin mereka.

maka teringatlah oleh jaemin segala kejadian malam itu. apalagi jeno tiba-tiba memberikan nomor keluarganya pada jaemin dan begitu pula sebaliknya. jeno bilang, keluarganya pengen ngejaga jaemin selama jeno berjuang buat kerjanya. sesuatu yang jaemin tahu kebohongan besar karena nggak mungkin orang-orang itu peduli. bener aja, akses mereka yang makin deket ke jaemin dipakainya sedemikian rupa.

jaemin diteror.

nggak perlu investigator terbaik buat tahu sederet nomor asing yang menerornya siang malam adalah suruhan keluarga jeno. buktinya, setelah ceritanya pada jeno, pasangannya itu langsung minta jaemin ganti nomor dan bahkan setelah itu, dia tetep dapet teror. padahal jelas-jelas nggak ada yang tahu lagi nomornya selain orang terdekat lalu keluarga jeno.

hingga panggilan-panggilan jeno makin jarang dan lama-lama tak pernah masuk lagi.

jaemin sedih. satu minggu paling-paling cuma ada beberapa gelembung pesan yang isinya kabar kalau jeno lagi pusing dan nggak sempet buat berkabar. jaemin putuskan buat berbesar hati dan bilang supaya jeno jaga kesehatan. pesan yang bahkan nggak dibaca-baca lagi sampai sekian hari ke depannya jaemin ngirim pesan lagi. jujur jaemin bingung. kok bisa sebegitu cepatnya jeno berubah di saat sebelum-sebelumnya, jeno masih mengupayakan yang terbaik buat mereka bertiga.

nggak bisa ditolak, ada pikiran jelek mulai merasuki isi kepala jaemin. jangan-jangan jeno mulai sadar kalau masa depannya jauh lebih menjanjikan tanpa dirinya dan anak di kandungannya. jangan-jangan tiba-tiba jeno sadar kalau usia mereka terlalu muda buat bertanggung jawab atas hidup nyawa baru di antara mereka.

tiba-tiba jaemin dikelilingi pikiran-pikiran menyeramkan.

kombinasi teror tiada akhir dan skenario buruk yang selalu diputar dalam kepala bikin jaemin melemah. sebelum pergi, jeno pernah bilang kalau ada apa-apa buat segera ngehubungin keluarganya tapi jaemin tahu betul itu sama aja bikin dia makin lemah. dia tahan-tahanin kondisi badannya dan berjalan seorang diri ke klinik yang jauhnya luar biasa agar tak ada satu pun mengetahui soal kehamilannya.

hasilnya nggak ngagetin sama sekali: stress. sesuatu yang harusnya dihindari oleh mereka yang sedang mengandung. jaemin cuma bisa terdiam dengerin penjelasan dokter kandungannya karena kelola stress yang berkali-kali disebut kayak sesuatu yang bakalan sulit dia capai.

gimana caranya mau nggak stress kalau tiap hari begini?

jaemin ketawa hambar. nggak paham kenapa hidupnya jadi kayak gini. sekarang dia terdiam sendiri di bangku panjang ruang praktik. wajahnya tertunduk dan tangannya mengelus perutnya sendiri. pikirannya runyam dan ruwet. mikirin nasib mereka berdua ke depannya nanti.

kalau belum apa-apa jeno udah ilang-ilangan, gimana nanti?

*

ratusan mil dari tempat jaemin berada, jeno tengah berpikir keras.

belakangan dia ngerasa ada yang aneh dari jaemin. pasangannya itu hanya sesekali ngebales pesannya dan gaya ketikannya juga agak berbeda dari biasanya. jeno ngerasa, jaemin jadi dingin. padahal dia udah minta maaf karena ngilang beberapa hari sebab gawainya tahu-tahu hilang dan butuh waktu untuk dia sempat cari pengganti. itu pun pada akhirnya dibantu asisten keluarganya.

jeno bersyukur keluarganya sangat menjaga jaemin. dari pesan-pesan yang dikirim jaemin, jeno tahu kalau setiap minggu jaemin kontrol di dokter terbaik dan selalu dikirimkan makanan bermacam-macam. hasil-hasil usg jaemin jadi pelipur lara jeno yang sakit kepala karena pekerjaan.

hanya saja … sudah dua minggu lebih jaemin menolak melakukan panggilan. entah itu telepon atau panggilan video.

jeno nggak tahu ada apa tapi dia sedih banget. dia kangen suara jaemin yang sekarang terasa makin jauh. bahkan permohonan jeno buat dikirimin pesan suara aja ditolak. katanya nggak mood dan jeno berusaha maklum. katanya suasana hati seseorang yang lagi mengandung emang buruk jadi harus dirinya yang mau memahami.

“apa saya pulang sebentar, ya, pak?” jeno minta pendapat dari asisten pribadinya.

“menurut saya selesaikan semua dulu di sini supaya tuan bisa leluasa kalau mau pulang bertemu keluarga.”

dengan berat hati jeno menyanggupi meski dalam hati ia rindu sekali.

*

jeno nggak pernah muncul lagi.

sibuk, sibuk, sibuk terus. pesan balasan jeno selalu terdengar tak acuh dan alasannya nggak jauh dari kata sibuk. pada akhirnya, jaemin berusaha ngasih jeno ruang berharap dia akan sadar sendiri jika jaemin nggak lagi mengiriminya pesan tapi apa jadinya?

jeno ikut berhenti.

masuk hari kesembilan tanpa mereka saling berkabar dan jaemin bangun pagi dengan air mata berlinang-linang. tiba-tiba ia tersadar kalau sekarang dia beneran sendirian dan nggak punya penopang lain. anak ini sepertinya harus ia besarkan sendiri karena jaemin yakin jeno udah nggak mau tahu lagi soal mereka.

sebuah pesan terakhir ia kirim. tangannya bergetar dan matanya kabur karena tertutup linangan air mata. jaemin bahkan nggak tahu apakah ada salah ketik atau bagaimana tapi yang sekarang bisa ia lakukan adalah meminta kejelasan.

kamu mau aku pergi?

nggak ada jawaban dari jeno tapi tanda bahwa pesan itu udah dibaca tanpa ada balasan apa pun udah cukup buat jaemin sadar kalau hubungannya dengan jeno udah bener-bener nggak bisa dianggap ada lagi.

hati jaemin rasanya hancur sekali.

puas menangis sekian lama, jaemin seka air matanya. dia nggak pernah punya siapa-siapa dan sebelum jeno jadi harusnya hal begini nggak bikin dia terguncang.

cuma dia bisa apa? belakangan jeno muncul dan jadi bagian dari hidupnya. sampai jaemin rasanya nggak inget gimana hidupnya sebelum jeno ada. lelaki itu … dia yang ngegenggam tangan jaemin dan ngeyakinin dia kalau mereka bisa jadi keluarga kecil yang bahagia. orang yang sama juga ngeyakinin jaemin kalau dia bakal selalu ada saat sedih dan senang sampai kapan pun. janji-janji manis yang bilang kalau setelah semuanya lebih stabil, mereka berdua bakal ngiket janji.

semua terasa benar.

nyatanya apa? tiga bulan sebelum anak mereka lahir ke dunia, jeno jadi abai. jangankan bertanya kabar anaknya, pesan singkat jaemin aja cuma sekadar dibaca. itu adalah bentuk kekecewaan terbesar jaemin. sesuatu yang bikin dia sadar kalau nggak seharusnya dia percaya sama orang lain selain dirinya sendiri.

jaemin patah hati. jaemin sakit hati. anaknya nggak pantes dapetin sosok ayah yang bahkan nggak memikirkan dirinya.

(jadi jaemin memilih pergi.)

*

orang yang bernasib sama dengannya rupanya nggak sedikit.

jaemin cari-cari segala informasi sampai dia temuin sebuah rumah singgah untuk orang dengan kisah sepertinya. malam-malam tanpa pikir panjang ia mengepak barang-barangnya dan dengan uang seadanya nekat pergi ke alamat yang ia temukan di media sosial. rumah singgah itu katanya tempat yang aman buat orang sepertinya dan dimiliki oleh seseorang bernama renjun. usia renjun ternyata sepantaran dengannya yang mana bikin jaemin yakin kalau dia bakal baik-baik saja.

kereta malam selalu sepi dan lebih dingin dari biasanya. jaemin duduk di gerbong belakang sambil nyenderin kepala ke jendela. kartu sim untuk teleponnya sudah ia ganti dengan harapan tak akan ada lagi yang bisa menghubungi. kali ini, nggak dia beritahu siapa-siapa lagi bahkan orang yang ia anggap dekat sekali pun.

jaemin memutuskan bakal memulai hidup baru.

kereta tiba di stasiun tujuan ketiga hari berangsur terang. jaemin nggak ingat kapan dia tertidur dan bersyukur ia sempat terbangun sebelum kereta beneran berhenti. lekas ia turun lalu melihat sekelilingnya: kota baru, hidup baru, dengan harapan baru. sesuatu yang penuh ketidakpastian tapi jaemin yakini jauh lebih baik daripada terperangkap di kehidupan lamanya dengan sejuta memori tentang jeno tersemat di sana.

jaemin rasa ia sudah cukup banyak menangis.

ia ikuti arah dari map untuk mencari alamat yang ia maksud. nekat naik turun kendaraan umum setelah kalkulasi mana yang lebih murah ketimbang ojek daring. butuh satu jam hingga ia turun di depan gang lalu berjalan sedikit ke arah rumah singgah yang ia maksud.

rumah itu nggak besar tapi kelihatan asri. di depannya banyak pot bunga dan pohon kecil yang bikin sejuk. pagarnya terbuka setengah dan waktu jaemin masuk, ada beberapa orang sedang berjongkok di halaman mencabut rumput.

semua menatap ingin tahu dan begitu pandangan mereka bergulir ke arah perut yang membuncit, semuanya serempak mengulas senyum ramah. ekspresinya mengerti dan memahami. mereka bangkit lalu dengan ramah mempersilakan jaemin masuk.

“renjun lagi keluar sebentar. duduk sini dulu aja, ya?” kata seseorang bermata sipit dengan tubuh tinggi. katanya namanya jisung dan anak itu berbicara dengan nada selalu ragu-ragu.

“terima kasih.”

“mau minum apa?”

“teh anget pake madu dan jeruk nipis aja.” ada orang lain tahu-tahu muncul. ekspresinya ingin tahu dan ia kelihatan tertarik melihat jaemin. “jungwoo. kamu?”

“jaemin.” jaemin ngasih si pendatang baru anggukan kecil. terpukau ngelihat jungwoo yang secara terbuka ngelihatin rasa penasarannya ke jaemin.

“udah berapa bulan?”

“enam. masuk tujuh.”

“keren.” ucapnya santai. dari nadanya, dia beneran sungguh-sungguh soal apa yang disebutkan barusan. bukan komentar sambil lalu aja. “dari mana?”

waktu jaemin ngasih tahu asalnya. senyum jungwoo jatuh. kali ini ada sebersit prihatin di sana yang mana bikin jaemin jadi ngerasa agak nggak nyaman. dia nggak datang ke sini buat dikasihani secara terbuka terlepas dari emang wajar banget orang kasihan ke dia.

untungnya jungwoo peka. dia langsung undur diri bilang biar dia aja yang bikinin minum terus tanya apa jaemin udah sarapan. gelengan jaemin bikin jungwoo kembali dengan segelas teh madu dengan jeruk nipis plus sepiring kecil berisi gorengan yang masih hangat. sarapan yang cukup aneh untuk seseorang dengan bayi dalam kandungan tapi jaemin nggak ngerasa ia punya pilihan lain.

“jungwoo.”

“apa?”

“berapa banyak yang harus kita bayar dalam sebulan kalau mau numpang tinggal di sini?”

pertanyaan jaemin bikin pemuda itu tertawa. “ini rumah singgah, bukan hotel, jaemin.”

“masa iya siapa saja bisa sembarangan tinggal di sini?”

“nggak sembarangan,” jungwoo ngegeleng. “nggak ada orang sembarangan dateng ke sini. orang dateng ke sini karena mereka punya situasi.”

jaemin mengangguk pelan. betul, semua punya situasi. jaemin pun nggak bakal dateng ke sini kalau bukan karena situasinya begini.

“jadi pemiliknya, renjun, ‘kan? dia dapat uang dari mana buat menampung orang-orang yang tinggal di sini.”

“donatur,” pemuda itu ngejawab singkat. “ada banyak donatur tapi dia sendiri juga kaya dan temennya yang namanya chenle juga kaya banget.”

jaemin ngerasa nggak asing dengan nama itu tapi dia nggak berhasil nginget dimana dia pernah denger nama itu. sampai sebuah mobil berhenti di pelataran carport dan dua orang turun dari pintu berbeda bikin jaemin refleks ngebekep mulut begitu salah satunya bertatapan mata dengannya.

renjun itu …

“oh?”

jaemin rasanya pengen lari. nggak nyangka renjun yang nggak pernah mau nama lengkap dan wajahnya dipublikasikan di media mana pun adalah renjun yang ia kenal. pemuda itu teman kampus yang pernah sama-sama bekerja sukarela. orang yang sama dengan yang memberinya payung saat dulu ia harus jalan jauh karena jeno nggak mau bicara dengannya.

renjun seolah paham isi kepala jaemin langsung buru-buru mendekati. ngeyakinin jaemin kalau dia aman di sini dan renjun nggak bakal buka mulut atau ngelakuin sesuatu yang bisa bikin jaemin dalam masalah. hal itu berhasil bikin jaemin duduk lagi dan jungwoo jadi makin penasaran gimana ceritanya si empunya rumah singgah ini mengenal pendatang baru itu.

“gue sama sekali nggak bakal minta lo cerita ada apa dan nggak bakal pengen tahu apa pun soal kehamilan lo selain kondisi serta umurnya. identitas lo juga aman di sini jadi kalau misalnya lo khawatir, gue berani bikin surat perjanjian sebagai jaminan keselamatan lo.”

diyakinkan gitu bikin jaemin malu sendiri. kesannya dia curiga setengah mati padahal posisinya dia yang dateng ke sini buat nyari perlindungan. jaemin ngusap tengkuknya malu terus bercerita seadanya. nggak lupa meninggalkan bagian identitas ayah dari bayinya dan kemana perginya beliau.

“oke, gue ngerti.” renjun manggut-manggut. “lo bisa tinggal di sini dan untuk urusan kontrol kita urus nantinya. lo nggak perlu khawatirin apa-apa lagi. lo cuma perlu sehat dan seneng biar bayi lo juga lahir selamat.”

jaemin rasanya bener-bener lemes tapi dalam hal yang baik. dia nggak nyangka langkah berisikonya berhasil ngebawa dia ke keputusan paling benar: tempat aman dan nyaman untuk orang seperti dirinya.

di kehidupan barunya ini, anaknya mungkin akan besar dengan satu ayah saja tapi setidaknya mereka ada di lingkungan yang benar.

*

“saya. mau. pulang.”

lupakan segala tata krama yang sudah diajarkan sejak kecil karena sekarang jeno udah nggak bisa menahan diri lagi.

satu bulan tanpa kejelasan bikin perasaannya makin nggak nyaman dan dia tahu ada yang nggak beres. dia udah nyerah minta jaemin buat nampakin wajah jadi dia minta keluarganya buat diam-diam ngelakuin panggilan video waktu lagi bareng jaemin tapi nggak satu pun berhasil melakukannya. curiga, jeno sewa satu orang yang nggak berkaitan dengan keluarganya cuma buat tahu kalau ternyata dia dihadapkan dengan kebohongan.

nomor jaemin yang diberikan keluarganya adalah jaemin gadungan. nomor salah satu suruhan yang disuruh berpura-pura jadi jaemin. foto-foto usg yang jadi pelipur laranya bukan milik jaemin dan darah daging mereka. hpnya yang hilang pun ia yakini nggak beneran hilang. orang suruhan keluarganya sepertinya menyembunyikannya dan mengganti gawainya agar bisa dilacak.

jeno hubungi kawan-kawannya dan minta tolong dicarikan nama jaemin tapi mereka semua bilang nggak ada satu pun yang bisa mengontaknya lain. jeno marah besar. apalagi waktu permintaannya agar haechan dan mark mencari jaemin berakhir di kabar kalau jaemin udah sebulan lebih ngilang dari rumahnya.

“kalian nyembunyiin keluarga saya?!”

pasangannya yang sedang mengandung, cintanya, lalu buah hati mereka. dengan begini berarti sudah dua bulan lebih ia dibohongi dan tebakannya, jaemin pergi karena berpikir jeno tidak peduli. jeno marah besar. ia mengerang marah begitu sadar kalau ia sedang dibuat menjauh dari keluarga kecil yang bahkan belum sempat ia legalkan hubungannya. isi pikirannya kacau. sadar kalau nggak satu pun ada petunjuk mengenai keberadaan mereka.

staf-staf yang dibentak tak berani angkat kepala. salah satu berhasil diam-diam menghubungi keluarga inti dan mereka bilang buat tetap menutupi. percuma, jeno tahu terlalu banyak. jeno tahu kalau keluarga inti yang ia pikir bisa percaya ternyata adalah dalang di balik hilangnya keluarga kecilnya.

jaemin harusnya sebentar lagi melahirkan…

jeno nggak mau tahu lagi. dia paksa mereka buat membiarkannya pergi dan dengan tiket paling awal ia kembali ke tanah airnya. tempat pertama yang ia tuju adalah dokter kandungan biasa dan hatinya mencelos begitu dikabari sejak kepergiannya, jaemin nggak pernah lagi datang kemari.

“keluarga saya nggak—“

“nggak pernah, pak. maaf sekali.”

makin-makin amarahnya memuncak. dia nggak tahu apakah jaemin bahkan ada kontrol kandungan dan waktu dia mendatangi tetangga sekitar, mereka bahkan nggak ada yang tahu soal kondisi jaemin. mereka bilang jaemin selalu mengurung diri dan keluar semalam-malamnya hari. makanan yang diantar pun jarang yang ia terima sendiri. kebanyakan diletakkan di depan pintu saja.

jeno rasanya ingin menangis. menyadari betapa menderitanya jaemin. dia bahkan nggak punya bayangan soal keberadaan jaemin karena sepanjang pengetahuannya, jaemin nggak punya siapa-siapa. ke mana pasangannya itu akan pergi kalau keluarga saja dia nggak punya?

jaemin cuma punya dirinya.

datanglah dia ke haechan dan mark. ngejelasin segala situasi sampai bikin kedua temannya ikut ngerasa bersalah karena nggak kepikiran buat nengok-nengok jaemin. jeno bilang mereka nggak perlu ngerasa bersalah karena semua harusnya tanggung jawabnya tapi tetep aja kedua orang itu ngerasa memikul beban kesalahan yang sama.

“gue bakal bantuin lo cari jaemin sampai ketemu.”

“gue juga.”

jeno tersenyum kecil. seenggaknya di tengah-tengah kemelut hidupnya dia masih punya secercah harapan dalam bentuk dua sahabat baiknya ini. jeno utarakan terima kasih yang besar untuk keduanya dan tepukan di bahunya rasanya untuk sekarang beneran ngebantu bikin jeno agak lega.

tiga orang dengan pertemanan yang super luas aja ternyata nggak cukup buat mereka nemuin jaemin. aneh, menurut mereka. sebab selama ini nyari orang bukan hal sulit lalu tahu-tahu nyari jaemin nggak menghasilkan apa-apa bahkan setelah hampir dua minggu pencarian.

jaemin kayak ditelan bumi.

“gue nggak tahu lagi dia ngumpet dimana.” haechan mengernyit bingung. mereka bertiga ngumpul di rumah mark dan sama-sama nggak habis pikir dengan hasil pencarian mereka.

“gue juga udah tanya ke kenalan yang kerja di bandara tapi nggak ada tanda-tanda jaemin keluar negeri.”

“dia nggak punya passport,” haechan ngedengus. “gue udah coba cari tahu datanya tapi itu anak nggak pernah bikin passport seumur hidupnya. coret kemungkinan luar negeri.”

“kalau kemungkinan pemalsuan dokumen?”

jeno ngegeleng. “jaemin nggak punya kenalan buat hal-hal begitu,” jeno ngehela napas berat. “gue udah tanya kakak gue dan dia bilang nggak ada yang bikin dokumen palsu yang ciri-cirinya kayak jaemin.”

“terus dia kemana?” haechan kedengeran frustrasi. “apa dia ada backingan keren? tapi dia bahkan nggak punya temen, ‘kan?”

mereka bertiga diam agak lama sampai mark tiba-tiba ngelihat haechan dan jeno bergantian. ekspresinya ragu dan takut-takut.

“kenapa lo?” tanya jeno.

“menurut lo pada,” mark kedengeran hati-hati banget. “apa kita mesti cek daftar kematian beberapa bulan terakhir?”

haechan terdiam dan ketika ia melirik jeno, lelaki itu menatap mark marah. “maksud lo jaemin udah mati?!”

“jen, tenang, jen. gue cuma coba ngasih solusi.” mark buru-buru menenangkan. “jujur gue udah nggak tahu lagi mau cari dia dimana.”

solusi dari mark (yang menurut jeno sangat nggak solutif) bikin jeno jadi amat gusar. jujur aja solusi itu masuk akal tapi solusi yang sama bikin jeno jadi ketar ketir dan ketakutan sendiri. gimana kalau ternyata nama itu ada? gimana kalau jaemin ternyata emang udah punya batu nisan dan waktu mereka runut ceritanya, ia mati seorang diri dalam keadaan mengandung?

jeno berteriak dan ngelempar gawainya. bentuk pelampiasan emosi yang belakangan meluap-luap tanpa tahu gimana caranya supaya dia bisa tenang lagi. di kepala jeno sekarang cuma ada jaemin, jaemin, dan jaemin.

“gue harus temuin dia.”

“kita bertiga udah berusaha—“

“usaha lagi!” jeno dengan keras kepala mendorong mereka lebih jauh. “gue butuh tahu jaemin dan anak gue ada dimana!”

mark dan haechan cuma bisa ngehela napas panjang.

*

“percuma,” pemuda itu menyesap kopinya. “nggak bakalan ketemu.”

di depan jaemin ada renjun dan chenle. keduanya ngasih tahu kalau belakangan ada banyak pihak yang nyoba nyari tahu keberadaan jaemin dan keduanya bilang mereka nggak bakal berhasil karena keduanya juga punya backingan kuat buat nyembunyiin presensi jaemin dari dunia.

“kalian tahu siapa yang nyari?” tanya jaemin penasaran.

“keluarga-keluarga berkuasa. anak-anaknya.” chenle ngeletakin minumannya terus ngelipet lengan dengan ekspresi jumawa. “tapi di atas mereka masih ada gue.”

renjun ketawa halus. abis itu dia nengok ke arah jaemin yang kelihatan gusar. perlahan ia pindah ke spasi di samping jaemin lalu merangkulnya hangat. “nggak usah khawatir. chenle punya kuasa yang bikin dia lebih dari mampu buat nyembunyiin hal paling jelas sekali pun.”

“terima kasih…”

“walaupun gue cukup penasaran kenapa lo dicariin jujur aja.” chenle berkata dengan gamblang. “no offense, tapi bahkan lo bikin pewaris paling ‘pangeran’ turun ke tanah berlumpur … keren juga.”

jaemin mengerjap. tatapannya penuh tanya pada chenle. “pangeran?”

“jeno. pernah dengar?”

jaemin terdengar murni terkejut. “jeno?” ia mengerjap beberapa kali dan tergugu. “jeno ada di negara ini?”

so you do know him.” chenle tersenyum antusias. “keren juga networking lo.”

“jeno teman satu kampus kita,” renjun ngejelasin. “dia dan jaemin pernah volunteer bareng.”

“seakrab itu sampai dicariin?”

jaemin meneguk liurnya kasar. chenle terlalu tajam dan dia jadi kesulitan mengelak. di sampingnya, renjun melemparkan tatapan peringatan agar chenle berhenti menekan jaemin lebih jauh.

“jeno ayah dari anak gue…”

nggak ada yang siap dengan pengakuan itu. nggak juga chenle yang jarang banget bisa ngerasa kaget. sekarang ekspresinya beneran nggak habis pikir dan matanya menatap jaemin penuh selidik.

“dia maksa lo?”

jaemin menggeleng. “kita … mempertahankan anak ini.”

holy shit—” chenle sampai ngehempasin punggungnya ke sandaran sofa ruang tengah rumah singgah itu. “jadi di perut lo ada penerus salah satu keluarga paling kaya di negara ini.”

“yang nggak diing

Tidak ada yang aneh dari misi-misi berbahaya tapi discard sama saja dengan menumbalkan diri secara sukarela.

Maka waktu Seungcheol mendengar salah satu kameradnya menawarkan diri dalam misi bunuh diri, dirinya langsung lari mencari. Pesan dari Joshua dibiarkan terbuka tanpa sempat dibalas lebih dahulu. Kepalanya meneriakkan kepanikan dan titik-titik peluh muncul di pelipisnya. Jarinya menyentuh pelan layar dernwatch miliknya dan mencari satu nama untuk mencari titik koordinatnya.

A walk-in closet.

Seungcheol bahkan tak bisa berpikir kenapa Jeonghan ada di lantai tempat segala perlengkapan menyamar ada di sana. Titiknya berkedip di tempat yang sama—pertanda ia tak bergerak sama sekali. Lekas ia pacu langkahnya dan mendekat ke mana Jeonghan berada saat itu.

Titiknya dan titik Jeonghan berpendar dekat di dernwatch-nya. Kali ini hanya dihalangi satu garis yang menandai pintu.

Seungcheol tak merasa perlu mengetuk pintu. Tak pula mempertanyakan kenapa ia mendengar ada suara musik mengalun dari dalam sana. Ketika ia mendorong pintu hingga terbuka, ia disambut punggung Jeonghan. Pemuda itu sedang duduk di atas meja (yang kalau diketahui tim rias akan membuat mereka mengamuk pastinya) dengan kaki dilipat menyentuh dadanya. Sebelah tangannya memegangi sesuatu di dekat mulutnya yang ketika ia menoleh ke belakang, Seungcheol kenali sebagai permen tangkai.

Jeonghan tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Kakinya refleks diturunkan satu per satu dan ia hampir berdiri ketika Seungcheol mendorong tubuhnya hingga terhuyung ke belakang menghajar cermin. Jeonghan meringis, lalu melemparkan tatapan tak senang. Keningnya berkerut dan ia menahan tangan Seungcheol dengan tangannya yang bebas.

“Maksud lo apa?”

Jeonghan meminggirkan tangan Seungcheol dengan tepisan keras. Tak terima diperlakukan dengan baik. “Sopan dikit kalau mau ngajak ngobrol.” Dagunya diangkat dan di sepasang matanya menari-nari api kemarahan.

A discard?” Seungcheol tertawa yang terdengar begitu menyinggung di telinga Jeonghan. “Sebenarnya apa yang lo rencanain?”

A proper plan.” Jeonghan mendengus tak senang. “Kalau lo nggak tahu, di sini nggak bakal ada orang terjun tanpa perencanaan matang.”

“Numbalin diri sendiri nggak bakal bikin rasa bersalah lo ilang!” Desis Seungcheol. Dari suaranya, Jeonghan tahu dia sedang menahan amarahnya. “Mereka yang pergi nggak bakal pernah balik!”

“Terus lo mau gue numbalin yang lain?” Jeonghan menelengkan kepala. “Siapa? Kasih gue nama.”

Seungcheol bergeming. Dia tetap menatap Jeonghan dengan kemarahan yang sama.

“Ayo? Lo kapten, ‘kan? Perkataan lo sifatnya mutlak. Ayo? Kasih gue nama buat ditumbalin.”

Sadar Seungcheol tidak juga merespon sesuai keinginannya, ia mendenguskan tawa.

“Elo yang pergi apa gue?” Tembaknya langsung. “Gue ke sini mau menyendiri biar bisa mikir jernih tapi seseorang kayaknya seneng banget menyalahgunakan kekuasaan buat ngelacak gue.”

Seungcheol tetap diam. Kemarahan yang sejak tadi bergejolak berubah menjadi ekspresi lain yang belum dapat diartikan oleh Jeonghan.

“Kalau gitu gue aja yang pergi.” Ia geser tubuh Seungcheol kasar lalu turun dari meja rias yang ia duduki. Permen yang sedari tadi menganggur kembali ia masukkan ke mulutnya. Kaki-kakinya melangkah menjauhi tempat Seungcheol berada.

“Nggak gini caranya kalau mau balas dendam ama gue, Han.”

Tungkainya berhenti melangkah maju. Tubuhnya membeku di tempat namun tak ada keinginan untuk menoleh ke arah di mana Seungcheol ada kini. Setengah hatinya meneriakinya agar tak terpengaruh dan pergi jauh-jauh tapi separuhnya dipenuhi penasaran jadi tetap tinggal untuk mendengar apa pun yang ingin dikatakan Seungcheol setelahnya.

Lama ia bertahan tapi rasa penasaran mengalahkannya. Ia memutar tubuhnya sedikit. Menatap Seungcheol yang berdiri tegak dan memberinya tatapan yang cukup membuatnya terkejut. “Siapa yang mau balas dendam ama lo?”

Pertanyaan Jeonghan membuat Seungcheol maju. Langkah-langkah percaya dirinya yang biasa digantikan dengan langkah lambat dan tatapan bak penguasa berganti dengan kerlingan ragu yang Jeonghan rasa bercampur dengan emosi lain yang tak berani ia asumsikan apa jenisnya.

Seungcheol berhenti dua langkah di depannya. Tangan-tangannya berlindung di balik saku celana.

I was mean.

Jeonghan pura-pura tak mengerti apa maksudnya. “Apa?”

“Perkataan gue waktu itu parah banget. Gue tersulut emosi sampai nggak berhasil memfilter kata-kata gue. Gue nggak berpikir logis waktu itu dan gue nyesel.”

“Syukurlah kalau tahu.” Jeonghan mengangkat bahu tak peduli. Tanding-tandingan keras kepala? Lebih baik tidak usah dengan dirinya karena menurut Joshua kalau kepala Jeonghan menyentuh aspal maka pemerintah harus merogoh kocek cukup dalam untuk menambalnya.

“Jangan jadi discard. Kita bisa pikirin cara lain.”

Creare gave his okay already.

I’m the captain.

I thought you didn’t want to involve in this suicide mission?” Jeonghan tersenyum amat manis menantang Seungcheol. Berusaha memancing amarah lelaki yang begitu mudahnya meledak-ledak kalau berurusan dengannya.

“Bisa nggak kita ngomong baik-baik aja?” Seungcheol menatapnya tak senang.

“Emang dari tadi kita nggak baik-baik, ya?” Tanyanya balik. “Emang kita baku hantam dari tadi?”

You just want to make everything more complicated.

Do I?

Stop.

“Nggak gerak kemana-mana.”

“Gue serius.”

“Gue kelihatan bercanda?”

Jeonghan juara dalam kalkulasi dan menebak jalan pikiran manusia namun ia gagal memperhitungkan kalau Seungcheol punya respon lain selain amarah atau berdiskusi dengan kepala dingin.

Seungcheol maju dan menariknya ke dalam pelukan erat—terlalu erat. Seolah-olah merenggangkan sedikit saja bisa membuat Jeonghan lari dan tak terlihat lagi.

I’m sorry.

Jeonghan dan egonya yang tinggi tak akan pernah mau merunduk untuk siapa pun tapi ia menemukan dirinya luruh dalam pelukan Seungcheol dan permintaan maaf yang terdengar begitu rapuh. Si empunya amarah dan batas sabar yang begitu terbatas mempertontonkan hal yang tak seharusnya seorang agen pertontonkan pada orang lain: perasaan terdalamnya.

Bisa saja Jeonghan tertawa dan membuat tontonan di depannya ini jadi bahan makanan egonya tapi hatinya tak bisa bohong kalau orang yang memeluknya adalah penopang utama dalam berkali-kali kejatuhannya. Jaring-jaring pengaman yang selalu siap sedia setiap kali ia gagal terbang dan sayapnya patah hingga ia tumbang. Seungcheol dan lengan-lengannya yang melindungi, Seungcheol dan lengan-lengan yang membuatnya berani … mendorongnya hingga ia ada di sini lagi.

Seungcheol dan rasa percayanya pada Jeonghan yang kadang membuatnya suka lupa diri….

Lengan Jeonghan memeluk pinggangnya dan ia tak berkata apa-apa. Tak merespon permintaan maaf atau mengeluarkan sepatah kata pun.

yo, que me enamoré de tus alas, jamás te las voy a querer cortar.

Jeonghan membeku di tempatnya. Matanya yang sempat ia pejamkan terbuka tiba-tiba dan ia mencoba melonggarkan pelukan untuk kabur dari Seungcheol.

Nggak boleh.

Kedekatan mereka hitungannya sudah dekade dan ada kesepakatan tak tertulis soal apa yang mereka punya dan batasan-batasan di antaranya. Perkataan Seungcheol barusan tiba-tiba membuatnya mempertanyakan batasan mereka.

“Lepas.”

“Nggak.”

Jeonghan keras, maka Seungcheol batu. Lelaki itu mempertahankan lengannya yang merengkuh Jeonghan agar pemuda itu tetap di sana. “I’ll let you go once you promise you will find a better plan for this.

There is no better plan.

Then I’ll go with you.

Dengusan Jeonghan begitu keras. “Nggak ada bidak catur bagian belakang maju ke depan buat ngelindungin pion.”

“Elo bukan pion.”

“Lalu apa?”

Seungcheol tak menjawab tapi pelukannya dilonggarkan—hal yang membuat Jeonghan lega karena berpikir ia akhirnya bebas.

(Sepasang matanya membola ketika Seungcheol tahu-tahu menangkup rahangnya dengan sebelah tangan dan menciumnya dalam-dalam.)

-

the iconic trio


“Archangel.”

Seungcheol tak akan memanggil Jeonghan dengan codename-nya pada okasi dimana mereka tidak berada di lapangan kecuali amarahnya sudah mencapai puncak kepala.

Yang dipanggil menoleh begitu juga seseorang yang sedang duduk di dekatnya—Wonwoo. Pemuda itu mengulas senyum tipis melihat Seungcheol yang datang buru-buru dengan ekspresi yang terlihat semi-murka. Wajar, beberapa hari belakangan ia jadi uring-uringan karena ide gila Hoshi yang sudah sampai di telinga petinggi di headquarter.

“Lo nggak boleh ngapa-ngapain selama belum ada putusan dari atas!” Seungcheol berbicara dengan nada yang amat rendah. Jauh lebih rendah dari biasanya. “Nggak ada yang ngasih instruksi buat ngehubungin CCSRA.”

“Lho, emang gue ngapain?”

Wonwoo sadar kalau apa yang tersaji di depannya tak akan selesai dengan baik-baik saja. Helaan napas beratnya diikuti dengan tangan yang memasang headphone yang sejak tadi mengalung di lehernya. Pemuda itu memilih untuk tak ikut campur urusan anak-anak IA yang terkenal penuh ambisi itu.

“Bisa nggak lo ngikutin alur aja baik-baik?” Seungcheol bersedekap. Tatapannya tajam tertuju pada Jeonghan. “Tunggu diskusinya selesai baru kita bergerak.”

“Emang gue ngapain?” Jeonghan mengulang pertanyaannya. “Gue bahkan cuma main ke lab dan ketemu Wonwoo.”

“Lo minta dia nyari sesuatu.”

Jeonghan menengok ke arah Wonwoo yang sudah asyik lagi dengan perangkatnya. Harusnya dia tahu kalau pemuda yang satu ini kesetiaannya ada pada Seungcheol.

“Bukan sesuatu yang besar kok.”

“Tapi masih tentang penjara itu, ‘kan?”

“Yep,” Jeonghan mengangguk. “Dan masih legal.”

“Gue nggak paham kenapa lo terobsesi banget sama rencana yang ini,” ucap Seungcheol tajam. “Gegabah. Apa-apa mau cepet. Sadar nggak kalau ini sebenernya bisa jadi misi bunuh diri?”

“Gue nggak ada niat buat maju di losing battle,” Jeonghan mengernyit tak senang. “Lo kira gue nggak mikir dulu?”

“Oke, gue mau denger rencana lo itu,” Seungcheol mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Dia tak pernah senang kalau ada sesuatu yang tak sesuai dengan alur yang ia mau. “Yang bukan losing battle itu.”

Jeonghan tak langsung menjawab. Dipandanginya Seungcheol lekat-lekat sebelum merespon kalimatnya barusan. “Lo ngeremehin gue.” Pungkasnya. Yang barusan itu pernyataan, bukan pertanyaan.

“Bukan ngeremehin tapi gue cuma mau ngasih tahu aja kalau lo sekarang kelihatan kayak orang yang terobsesi sama rencana besar tanpa peduli begitu banyak hal yang masih kurang sana-sini,” tembak Seungcheol. “Lo fokus ke akhir nggak mikir apa kalau ada kemungkinan lo bakal ngulang kesalahan yang sama lagi?”

Ekspresi Jeonghan mengeras. “Kesalahan?”

You’re going to let another comrade die,” Seungcheol berkata dengan api yang menari-nari di matanya. “Just like what you did back then.

Terlambat untuk menarik kembali ucapannya karena silabel-silabel yang diselubungi amarah tak akan pernah diterima baik. Jeonghan kehilangan komposurnya dan ekspresinya jatuh. Memorinya membawanya pada ingatan paling gelap yang ia punya dan segala macam hal yang berusaha ia lupakan itu.

Dan orang yang selama ini menariknya berdiri baru saja mendorongnya jatuh dua kali.

Tangannya mengepal di sisi tubuh dan tatapan marahnya mengarah pada pemuda yang biasanya selalu ia rangkul hangat. “Gue sepengen itu nonjok lo sekarang.”

What’s stopping you?” Sebelah alis Seungcheol terangkat naik. “Mungkin kalau kita tonjok-tonjokan beneran, I can knock some senses into your head as well.

“Dan menurut lo apa pun rencana lo bakal berhasil?” Jeonghan tertawa setengah mengejek. “Nggak. Lo pikir lo hati-hati tapi tahu nggak? Lo cuma kelihatan kayak penakut yang nggak mau ambil risiko.”

Jeonghan tahu Seungcheol punya kesabaran yang luar biasa tipis dan tak sulit untuk membuatnya terpancing. Buktinya sekarang dia mendekat dengan marah dan mendorong tubuh Jeonghan hingga agak limbung. “Gue bukan penakut. Gue peduli sama keselamatan tim gue. Nggak kayak lo.”

“Siapa yang nggak peduli?” Jeonghan terdengar marah. “KALAU GUE NGGAK PEDULI, GUE NGGAK BAKAL SEHANCUR ITU WAKTU TEMEN KITA MATI!”

Bahkan Wonwoo menggeser sebelah headphone-nya dan menatap awas pada dua seniornya yang saling menunjukkan emosinya. Jemariny bergerak cepat mengetik pesan dan mengirimkannya pada seseorang yang diharapkan dapat membantu sebelum dua orang di depannya ini baku hantam sungguhan.

“Gue nggak bakal biarin ada lagi yang mati, Jeonghan,” desis Seungcheol. “Bahkan kalau itu harus bikin gue naro moncong pistol di kepala lo.”

“Taro sekarang,” sepasang mata Jeonghan berkilat-kilat berbahaya. “Nggak di sini. Taro di sini.” Jeonghan menunjuk dada kirinya. “Jangan pernah lo sentuh kepala gue.” Desisnya. “Itu aset gue.”

Jeonghan tak bercanda waktu bilang sampai mati pun ia akan melindungi otak cemerlangnya. Bahkan di situasi seserius ini, ia masih bisa mengingatkan Seungcheol untuk tak mengganggu gugat isi kepalanya.

“Mana?” Jeonghan memprovokasi Seungcheol. “Mana pistol lo? Katanya mau ngabisin gue?”

Seungcheol bergeming. Sepasang tangannya dikepal dan ia menarik napas panjang untuk mengontrol amarahnya. Ia tahu kalau ini diteruskan, mereka akan berakhir melukai masing-masing lebih jauh. Rasa sesal pelan-pelan merasuk ke dalam hatinya.

“Minimal kalau nggak bisa ngebantu, jangan nyusahin.”

Keduanya menoleh ke arah pintu lab yang tahu-tahu terbuka. Joshua muncul dari sana dengan menggunakan hoverboard diikuti Vernon, Mingyu, dan beberapa orang mengintip karena keramaian yang mereka berdua ciptakan. Joshua turun. Masih menggunakan snellinya dan titik-titik peluh muncul di pelipisnya.

“Pasien gue lagi banyak. Minimal kalau nggak bisa bantu beban kerja gue berkurang, jangan nambah-nambahin pekerjaan,” senyumnya ramah begitu pun nada suaranya. “Kalau mau emosi-emosian, sparring aja. Kalau nggak ambil cuti terus baku hantam di luar sana.”

Jeonghan menyugar rambutnya kesal dan membuang muka sementara Seungcheol bergeming di tempatnya. Di belakang sana, kumpulan kecil itu berbisik. Tak menyangka akan menyaksikan lagi iconic trio di masa akademi berkumpul karena perkara yang membuat tegang begini.

Joshua menengok ke belakang lalu memberi senyum menyenangkan pada kerumunan kecil tersebut. “Kalau nggak ada urusan di sini, boleh bubar, ya?”

Dokter muda itu selalu terlihat hangat dan menyenangkan tapi tak ada yang tak tahu soal betapa mampunya ia menjadi seram ketika diinginkan. Kerumunan kecil tersebut bergerak menjauh dan menyisakan Vernon serta Mingyu saja. Dua orang yang berlari kencang ke arah DERN Medical Center dan melaporkan ketegangan yang disaksikan Wonwoo pada Joshua yang diyakini jadi satu-satunya yang mampu mengatasi dua orang mengerikan ini.

Joshua merangkul keduanya lalu bergumam pelan. “Gue nggak bakal minta kalian berdua pelukan terus baikan kayak anak-anak. Gue yakin kalian berdua bisa nyelesain apa pun yang bikin kalian sampai ribut besar begini,” ia tepuk-tepuk lengan kedua teman sebayanya itu. “Udah gede, ‘kan?”

Seungcheol yang pertama melepaskan diri. Berdecak tak senang lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa baik pada Joshua dan Jeonghan. Setelah ia menjauh, Joshua menatap Jeonghan.

“Tanya Wonwoo aja kalau mau tahu kenapa. Gue nggak mau bahas.” Ucap Jeonghan lalu ikut pergi meninggalkan Joshua.

(Yang ditinggalkan cuma geleng-geleng kepala. Sadar betul kalau ini bukan kali pertama keduanya meledak seperti ini.)

“Mau gue ceritain?” Wonwoo bertanya pada Joshua.

“Nggak usah. Pasien gue lagi banyak.” Pungkasnya lalu mengulas senyum sebelum berbalik pergi kembali pada pasien-pasien yang menunggunya.

jaeyong


lamanya pertemanan mereka udah cukup buat taeyong tahu kalau ten yang nggak biasa-biasanya duduk di depan pas mata kuliah paling bikin ngantuk (menurut dia) bela-belain duduk di samping taeyong pertanda kalau itu anak ada maunya.

“mau apa lo?”

ten nyengir. sama sekali nggak kelihatan kaget ditembak langsung kayak gitu. temen-temen sekelas mereka satu per satu keluar dan nggak sedikit yang dadah-dadah karena sekarang emang udah jumat dan semua udah siap banget buat pulang menikmati hidup.

“temenin gue.”

“oh, tumben?”

ten nyengir lagi. wajar taeyong bilang tumben soalnya sejak pacaran sama johnny, ten lebih sering ngabisin waktu sama pacarnya ketimbang sama taeyong (kecuali waktu di kelas).

“nonton johnny.”

taeyong yang lagi masukin bindernya ke tas (satu binder untuk semua matkul) berhenti.

“nonton ngapain?”

“main basket.”

“oh, ada tanding?”

ten geleng-geleng. “cuma latihan aja.”

“nggak dulu deh,” taeyong nolak. dia berdiri terus siap-siap cabut dari sana. “kan cuma latihan. nggak wajib lihat, ‘kan?”

“mau ada tanding dua minggu lagi jadi latihannya intensif,” ten megangin lengan taeyong biar dia nggak pergi dulu. “gue pengen ngasih support.”

“ya … silakan? kenapa harus ditemenin?”

“kan nggak enak aja gitu kalau gue sendirian. niat banget dateng nontonin latihan.”

“lah? orang juga tahu bukan kalian pacaran?”

“ya, tahu. cuma tetep nggak enak.”

“emang kalau gue ikut nggak enaknya jadi ilang.”

of course, brader.” ten ngejentikin jari. “kalau sama lo kan orang bisa mikir oh mereka berdua lagi diskusi kelompok sekalian cari angin.”

“di pinggir lapangan basket?”

“di pinggir lapangan basket.”

“barusan gue nyindir.”

“sori, nggak berasa,” ten ngangkat bahu. “jadi? tunggu apa lagi!” lanjutnya pantang nyerah. “ayo kita ke lapangan basket dan mendukung pacar.”

“pacar lo.”

“ya lo nyari pacar juga dong.”

“dikira gampang.”

“siapa tahu ada aja yang kecantol ama lo.”

taeyong refleks ketawa. tangannya gerak-gerak di depan muka. “tampang gue galak kayak gini rentan disalahpahamin siapa yang mau naksir?”

“pasti ada.”

“lo lupa gue kena sidang berapa kali sama kating waktu maba karena dikira gue nyolot?”

“siapa suruh lo ngelamun sambil ngunyah gitu. kesannya kayak ngajak berantem.”

“gue ngunyah yupi???”

“mereka nggak lihat isi mulut lo.” ten nepok-nepok pundak taeyong. “ya udah, itu semua masa lalu. siapa tahu anak basket demennya yang galak-galak biar bisa ngehalau fansnya yang jerit-jerit kalau liat cowok keringetan.”

taeyong ngedengus dan mutusin buat nyerah. debat sama ten nggak bakal ada ujungnya sampai dia nyerah. jadi, taeyong batal pergi dan pasrah ngekorin ten ke lapangan basket kampus yang jaraknya lumayan jauh dari fakultas mereka. solusinya? mereka naik sepeda kampus. ninggalin kartu mahasiswa sebagai jaminan terus ngayuh sepeda ke lapangan basket. maklum, sejak pacaran sama johnny ten udah nggak pernah bawa mobil lagi. taeyong juga kost-nya deket banget sama kampus. jalan nggak sampe lima menit juga nyampe jadi dia nggak pernah bawa kendaraan.

“anjir, rame.” kata ten sambil markirin sepeda kampus di tempatnya. abis itu dia celingukan nyari spot yang enak buat nonton latihan basket soalnya lapangan lumayan rame didatengin sama kelompok-kelompok cewek (dan cowok) yang banyak di antaranya nggak malu ngangkat hp buat ngonten. beberapa orang juga neriakin nama pemain basket terus nanti diantara mereka ada yang tersipu-sipu karena digodain.

taeyong bengong aja. padahal ini di kampus yang dia pikir orang udah pada gede tapi nyatanya kalau dihadapkan sama taksiran, orang-orang nggak ada bedanya sama anak smp pertama kali naksir-naksiran. taeyong sendiri nggak inget kapan terakhir kali dia naksir beneran sama orang (most of the time, dia cuma suka karena cakep abis itu berakhir sampe sana aja). buat pacaran, dia terakhir pacaran pas sma tapi putus karena mereka beda kota. putusnya baik-baik tapi lucunya taeyong sama sekali nggak ngerasa baper atau patah hati.

“kan. nggak aneh seandainya lo nonton sendiri.” komentar taeyong. “rame kok.”

“lebih aneh lagi, anjir. semua dateng bareng temen terus gue sendirian ngeliatin johnny.”

“ya bagus dong lo sendirian ngeliatin johnny,” seloroh taeyong. “kalau yang lain ngeliatin juga bukannya ngeselin, ya? pacar lo diliatin orang?”

“eh, seru kali,” ten menatap taeyong bingung. “bayangin pacar lo diliatin orang-orang. apa nggak bangga? pacar lo semenarik itu.”

tahunan jadi temen ten ternyata nggak juga bikin taeyong berhasil memahami pola pikirnya. daripada debatnya berakhir panjang dan taeyong makin bingung, dia lebih milih ngakhirin omongan sampe sana aja terus ngekorin ten. mereka dapet spot yang lumayan deket sama salah satu ring. risky, tapi kata ten itu spot paling bagus karena nggak banyak yang mau duduk di sana dan yang pasti, dapet pemandangan paling jelas kalau pemain mau nge-shoot.

taeyong nggak beneran fokus sama permainan di depan karena matanya malah nyapu sekelilingnya. dia liatin wajah-wajah yang dateng, iseng, buat ngeliat kali aja ada wajah yang familiar (yang ternyata nggak ada). abis itu dia ngeliatin parkiran. salut sendiri ngeliatin motor pada diparkir rapi. pokoknya ada-ada aja yang dia lihat alih-alih fokus ke game di depannya.

nice!

teriakan ten plus temennya itu yang tahu-tahu berdiri sambil ngepalin tangan (khasnya kalau lagi excited) bikin taeyong refleks noleh lagi ke depan. di lapangan sana, ada selebrasi (yang nggak jauh beda sama atlet bola) karena salah satu pemain bertopi berhasil nembak three point (denger dari teriakan ten). taeyong nggak bisa lihat wajahnya karena dia lagi dirangkul-rangkul sama pemain lain yang salah satunya adalah johnny.

“udah kelar?”

“pertama udah. abis ini lanjut lagi, break dulu.”

“oooh..” taeyong manggut-manggut. dia iya-iya aja dengerin ten yang nyeritain gimana johnny sama jaehyun (taeyong rasa nama cowok yang berhasil three point tadi) kerja sama bagus banget sampe bisa ngasih tembakan super mulus. nggak ada abis-abisnya ten muji pacarnya padahal yang nge-shoot bukan dia.

johnny dateng lari-lari kecil ke mereka berdua. nyentil kening ten iseng yang dibales dengan jarinya digigit. ketimbang pacaran mesra, dinamik mereka nggak jauh beda sama bocah yang kayaknya berantem mulu tapi kalau nggak ada saling cari-carian. kalau nggak dikasih tau kayaknya orang-orang nggak bakal ngeh aslinya mereka berdua pacaran. soalnya dari temenan sampe pacaran pun, nggak banyak yang berubah (kecuali panggilan).

“gimana, gimana? keren nggak?” johnny ngulurin kepalan tangannya ke taeyong yang dibales dengan kepalan tangan juga. fist bump ala-ala cowo tongkrongan.

“bolehlah.” komentar taeyong sambil nyengir. aslinya dia nggak tahu apa yang keren soalnya dia daritadi malah sibuk ngeliatin yang lain-lain.

“semulus itu jaehyun nembak dibilang bolehlah doang,” johnny ketawa. “keren kalau ngeliat ada yang slam dunk, ya?”

“belum lihat. coba aja entar siapa tahu gue teriak keren.”

“emang ada yang bisa?” tanya ten penasaran. “belum pernah liat deh gue.”

johnny manggut-manggut bentar. tangannya satu di pinggang satu lagi megangin botol minum yang dikasih ten barusan. abis minum, dia nengok ke lapangan terus teriak. “oi, jae! katanya tim kita belum keren kalau belum slam dunk!”

taeyong otomatis ikutan ngelihat ke tengah lapangan terus nggak sengaja ketemu mata sama cowok yang diteriakin johnny. nggak pernah-pernahnya dia ngelihat orang terus punya keinginan gede buat nahan nafas dan nggak ngedip tapi sekarang kejadian. cowok yang dipanggil johnny ternyata si topi item yang tadi nyumbang tiga poin buat timnya. si pemilik wajah cakep yang ngeliat taeyong agak lama terus balik bercandaan sama johnny suruh dia yang slam dunk biar sekalian caper mumpung ada ten di sana.

taeyong beneran nggak fokus abis itu. diajakin ngobrol cuma respon sekadarnya karena abis itu, matanya lebih banyak nyuri-nyuri liatin cowok yang namanya jaehyun itu. cakep. cakep yang nggak pernah dia lihat di fakultasnya atau cakep yang cakep banyak kayak selebritis. jaehyun cakep sesuai porsinya. pakaiannya nggak ada yang spesial bahkan topinya dikebelakangin (yang sering taeyong ledekin jamet kalau dilakukan ten). pakaiannya pun beneran kaos putih polos dan celana basket selutut. nggak jauh beda sama anggota tim yang lain.

“lo bosen banget, ya, sampe ngelamun mulu gitu?” senggol ten waktu johnny pergi. taeyong kaget banget. nggak nyadar kalau udah mau mulai lagi dan pemain ngumpul di lapangan.

“nggak, sih. gue lagi ngeliatin orang di lapangan. nggak ada yang anak fakultas kita selain johnny, ya?”

ten megang muka taeyong terus ngarahin tunjuknya ke salah satu pemain. “itu mark lo anggep apa, tiway?” ten geleng-geleng kepala. “mata lo makin parah, ya? besok mau gue temenin ke dokter?”

taeyong ngeles bilang dia nggak ngeh kalau adek tingkat yang lumayan akrab sama mereka itu ada di sana. mau dibilang karena ketutupan, tingginya mark juga bukan yang bisa kalah ama pemain lain. jadinya taeyong nyerocos aja. sebuah usaha buat bikin ten nggak ngeh kalau daritadi dia sibuk ngeliatin jaehyun the black hat. mana barusan jaehyun tahu-tahu ngelepas topi, nyugar rambut ke belakang, terus topinya dipake lagi. gestur biasa aja tapi entah kenapa hari itu jadi ganteng banget diliat taeyong.

susah banget buat nahan ekspresi waktu ring deket mereka jadi tujuan tim johnny. di saat ten di sebelahnya beneran invested sama pertandingannya, taeyong malah fokus sama ekspresi-ekspresi dan gerakan jaehyun yang lihai banget itu. beberapa kali dia dan johhny ganti-gantian nambah poin buat tim tapi nggak ada yang ngalahin jaehyun tahu-tahu lari cepet waktu berhasil ngelewatin pemain lawan terus loncat tinggi buat ngelakuin slam dunk.

jaehyun berayun sepersekian detik sebelum dua kakinya mendarat di tanah nggak lama setelah bola lolos di jaring. di belakangnya, johnny berteriak puas dan peluit panjang tanda pertandingan berakhir dibunyikan.

taeyong menahan nafas ketika jaehyun langsung menatapnya setelah berhasil mencetak skor dengan melakukan slam dunk. seringaian tipis muncul di bibirnya seolah-olah baru saja melakukan pembuktian kalau tim mereka memang keren beneran karena (paling tidak salah satu dari mereka) bisa melakukan slam dunk.

“ten.”

“oit?”

“besok-besok kalau nonton basket gue ikut lagi, ya?”

*

harapan taeyong kalau ten bakal seneng-seneng aja dengan penawarannya bener. ten emang seneng banget ditawarin gitu karena sekarang dia ada jaminan nggak bakal mono sendirian disaat sebagian besar orang pada bawa geng. yang taeyong nggak seneng adalah gimana ten ternyata nggak berpikir tawaran dari taeyong adalah kebaikan hati semata.

“ngaku. kenapa tiba-tiba nawarin diri?”

asli taeyong berusaha banget masang muka biasa aja. bilang ke ten kalau dia seneng aja gitu dapet suasana baru yang ternyata bikin dia nyaman. apalagi katanya pertandingannya seru. sayang, ten bukan mark yang naif dan iya-iya aja kalau dikasih tahu sesuatu. ten beneran nanya segala macem penuh selidik.

“ada yang lo taksir, ya?”

taeyong nggak gelagapan atau tahu-tahu nyemburin minum kayak di film-film. dia nggak yang melotot terus muka memerah juga. ekspresi taeyong biasa banget walaupun emang ada jeda sekian detik sebelum dia ngegeleng.

“ada yang lo taksir.” ten ngambil kesimpulan. niatnya buat neken taeyong lebih jauh lagi ambyar karena ada handuk lembap mendarat di kepalanya. kerjaan siapa lagi kalau bukan johnny. sementara mereka sibuk heboh berdua, taeyong (lagi-lagi) nyuri pandang ke arah jaehyun. anaknya lagi kipas-kipas muka pake topi dan rambutnya berantakan tapi tetep ganteng. beberapa cewek di deket sana ngajak dia ngobrol dan direspon sopan sama orangnya. taeyong bertanya-tanya apakah jaehyun udah punya pacar apa belum. tiba-tiba nyadar kalau jaehyun yang cakep hampir mustahil kalau belum punya pacar.

minimal gebetan lah.

pikiran barusan bikin taeyong lesu. belum juga beneran mekar rasanya udah harus layu. nafasnya terhela berat dan sukses bikin johnny ama ten nengok.

“kenapa lo?”

taeyong yang nggak nyadar kalau barusa ngehela nafas berat banget gitu nengok kaget. buru-buru ngeles bilang kalau dia keinget ada tugas yang belum dikerjain yang bukannya bikin ten maklum malah bikin dia makin curiga. ten bilang, taeyong emang bertanggungjawab tapi taeyong bukan tipe yang murung karena tugas.

“kenapa, sih, lo kayak orang patah hati?”

taeyong ketawa hambar. separuh getir deh pokoknya. “ya kali patah hati kalau jatuh cinta aja belum sempet.”

johnny sama ten liat-liatan. implikasi dari kalimat taeyong barusan adalah di kata ‘belum’ yang berarti ini emang ada sangkut pautnya sama perasaan. dua orang itu emang udah pantes banget pacaran karena selain satu hati, mereka juga berbagi sel otak yang sama. kebukti mereka langsung refleks ngedarin pandangan dan nyari-nyari kemungkinan penyebab taeyong tiba-tiba lesu.

“j!”

johnny nengok waktu dipanggil si cowok topi hitam. dipanggil gitu, johnny balik manggil jaehyun. nyuruh dia aja yang nyamperin karena di tengah lapangan cukup rame karena beberapa penonton udah pede aja masuk buat ngobrol sama pemain yang mereka kenal. waktu jaehyun ngedeket, taeyong pura-pura nggak lihat ke dia lagi. sekarang dia sibuk nata perasaan dengan cara ngulang-ngulang bahan kuliah dalam kepala. tampak luar, ekspresi taeyong beneran galak. padahal dalemnya dia udah ketar-ketir karena sekarang jaehyun udah tinggal beberapa langkah dari dia.

kok bisa, ya, ada orang nggak bau sampah padahal abis olahraga? batin taeyong. jaehyun bukan yang wangi semerbak kayak abis mandi tapi dia sama sekali nggak bau. yang dipikirin taeyong orangnya lagi sibuk narik-narik baju kaos depannya buat kipas-kipas. kegerahan karena abis main semangat banget.

“oh, right, gimana? udah ada yang slam dunk tadi tuh. keren nggak?” johnny yang tiba-tiba inget senyum lebar banget sambil banggain timnya ke taeyong. sekarang ada tiga pasang mata nengok ke taeyong dan salah satunya bikin taeyong berusaha banget buat nggak refleks natap balik.

“keren kok. tadi gue bercanda ngomong bolehlah,” taeyong senyum canggung. “padahal cuma latihan tapi bisa seru banget, ya?”

senyum bangga hadir di bibir taeyong dan jaehyun. ten juga ikut-ikutan dengan bangga nambahin, “dia sampe minta ngikut lagi kalau gue mau nonton!” yang sebenernya biasa aja tapi malah bikin taeyong malu. mereka bertiga asyik ngobrol lagi sampai tiba-tiba johnny keingetan kalau taeyong diem aja dan dia dikenalin ke jaehyun sebagai satu-satunya yang belum kenal. singkat cerita, mereka kenalan. jaehyun dengan senyum ramah yang entah kenapa tetep berasa aura cool-nya dan taeyong dengan senyum seadanya yang bikin ten harus jelasin ke jaehyun kalau taeyong emang template mukanya begitu bukan galak.

jaehyun ketawa. “iya, tahu kok.”

johnny sama ten ngeliat bingung. “kok tahu?” taeyong yang diomongin juga kaget. tahu darimana?

“maksudnya ya tahu ada orang kelihatannya galak tapi aslinya baik banget. itu, si yuta contohnya,” jaehyun ngedikin kepala ke arah lapangan. tempat yuta lagi main-mainin bola di jarinya. “makanya gue tahu lo pasti aslinya nggak galak.”

taeyong manggut-manggut.

“lagian tadi gue lihat lo senyum lebar banget abis gue nge-dunk. udah nggak mikir lo galak lagi deh gue.”

taeyong hampir jatoh. ini dia ketauan selama tanding ngeliatin jaehyun mulu?

“ooh.. hehehe.”

(taeyong ketawa seikhlasnya aja sebagai respon.)

*

taeyong beneran ikut mulu sama ten buat nonton basket.

menjelang pertandingan, tim basket beneran latihan tiap hari even pas weekend. ten pikir taeyong nggak bakal mau ikut kalau akhir pekan tapi nyatanya taeyong tetep jalan kaki ke kampus demi nonton. anak-anak basket juga jadi pada kenal sama dia dan mark yang polos bilang dia nggak nyangka taeyong suka basket juga karena selama ini dia nggak ngelihat seniornya itu sebagai seseorang yang suka olahraga.

taeyong juga udah kenal sama anak-anak basket lain. terima kasih ke johnny yang selalu supel dan pinter ngebawa temennya buat temenan sama temennya yang lain. sekarang taeyong juga udah masuk ke fase dimana dia udah berinteraksi beneran sama jaehyun. bukan cuma lirik-lirikan waktu jaehyun main.

taeyong seneng banget karena dia masih berhasil nutupin fakta kalau dia naksir banget sama jaehyun dari ten soalnya dia suka khawatir sama mulut ten yang sering bocor alus. ten sama johnny beneran nganggep taeyong dateng karena emang tertarik nontonin basket.

saking rajinnya, jaehyun sebagai kapten juga nawarin taeyong buat duduk di spot khusus dengan dalih ‘jaga barang’. ini kejadian waktu taeyong lagi ada di kelas yang beda sama ten dan ten yang belum kelar kelas nyuruh taeyong ke lapangan duluan. waktu taeyong nyampe, lapangan nggak serame biasanya. pemain juga belum lengkap tapi jaehyun udah ada. taeyong duduk di spot biasa dia duduk bareng ten terus ngeluarin hp biar kesannya dia bosen sendirian terus main hp alih-alih ngeliatin jaehyun yang lagi main sendirian di lapangan.

taeyong kaget waktu suara bola yang melantun itu ngedeket. waktu taeyong ngangkat kepala, jaehyun udah ada di depan dia sambil ngejepit bola di antara lengannya.

“tumben sendirian?”

“ten belum selesai kelas jadi gue disuruh ke sini sendirian.”

“pindah sana aja,” jaehyun nunjuk ke bangku panjang di tepi lapangan tempat dia naro tas dan botol minumnya. “daripada di sini.”

“eh, itu bukannya tempat pemain?”

jaehyun ketawa renyah. “kan kita semua di lapangan. nggak ada yang duduk.”

“terus gue ngapain di sana?”

“jagain barang, mau?” tawar jaehyun. “sama entar kalau break gitu ambilin minum.”

“oh, bagiin buat semua gitu, ya?”

“nggak, nggak,” jaehyun ngegeleng. ekspresinya amused banget. “minum gue doang. kalau semuanya entar lo bingung ini botol siapa ini handuk siapa.”

“oh, bener juga.” taeyong manggut-manggut. masih bingung harus berekspresi kayak gimana karena mendadak dia dapet peran yang penting banget.

waktu ten dateng, anaknya nggak nanya kenapa mereka pindah posisi. dia seneng-seneng aja dapet tempat spesial dan menikmati tatapan iri orang-orang. ten juga nggak komentar waktu break gitu jaehyun ngedeket dan minumnya bukannya ambil sendiri malah diambilin taeyong. handuknya juga. taeyong pikir mungkin kayak gini udah jadi hal biasa banget dan cuma dia aja yang degdegan karena ngejagain barang jaehyun.

taeyong pikir gitu.

“seneng banget pasti, ya?” nggak lama pas tim balik ke lapangan, ten nyeletuk. matanya tetep fokus ke lapangan tapi suaranya udah pasti kedengeran taeyong.

“apanya?”

ten nengok ke taeyong. ekspresi jahilnya yang tahu-tahu muncul bikin perasaan nggak enak.

“dinotis taksiran lo.”

taeyong kehilangan segala ketenangan. dia beneran kaget ten nyadar dan nembak langsung kayak gitu. panik, dia refleks ngeliat ke lapangan—ke arah jaehyun—terus balik ke ten yang masih masang ekspresi jahil yang sama.

“maksud lo apaan?”

“lo minta dateng nonton karena jaehyun, ‘kan?”

nggak ada gunanya bohong sama ten karena dia adalah pendeteksi kebohongan yang bahkan lebih baik ketimbang alat mainan yang bisa nyentrum itu. lemes, taeyong berbisik lirih. “jangan bocor…”

tangan ten nepok-nepok pundak taeyong. “gemes banget tiway udah gede.”

taeyong ngedelik. “lo kok bisa tahu, sih?”

“mati aja kalau temenan lama sama lo tapi masih nggak ngerti cara bedain taeyong biasa dan taeyong dimabuk cinta.”

“dangdut lo.”

“elo,” ten mencibir. “megangin handuk aja senyumnya udah kayak abis dilamar pake baliho.”

“johnny tahu?”

“komunikasi kami bagus. kami percaya kalau rahasia—“

“oke, dia tahu.” taeyong ngusap mukanya kasar. alamat dia bakal diledekin nih kalau sempet mereka ketemu bertiga doang.

*

karena tadi latihan mulainya agak telat, kelarnya juga pas langit udah gelap. ten yang mesti buru-buru pulang (taeyong aneh sendiri, ten nggak punya jam malem) bilang ke taeyong buat balikin sepedanya duluan.

“terus sepeda sama kartu mahasiswa lo gimana?” taeyong keheranan. “ditinggal di sini semaleman aman emang?”

johnny dehem-dehem terus nepok bahu telanjang jaehyun (anaknya lagi ganti baju) dan ngasih solusi yang (menurut dia) cerdas. “j, lo kan baik. menurut gue lo anterin sepeda ten aja bareng taeyong sekalian nemenin taeyong biar nggak sendirian balik ke fakultas dia. udah gelap gini.”

ten manggut-manggut. “bener. gue minta tolong banget, ya? gue sebenernya juga khawatir kalau taeyong jalan sendirian udah malem gini.”

taeyong makin bengong. ten tahu dia bahkan kalau laper tengah malem jalan kaki nyari warung makan yang buka sendirian. baru magrib kayak gini apa yang mau ditakutin?

“gue udah gede kali, ten. lagian jam segini kampus juga masih—“

“ya udah sepeda lo biar gue yang bawa.”

taeyong bengong.

“nanti kartu mahasiswanya gue titip taeyong aja berarti?”

taeyong makin bengong. serius, nih, jaehyun iya-iya aja disuruh anterin sepeda ten?

apa pun itu, taeyong seneng-seneng aja (walaupun tangannya jadi keringetan). sekarang dia udah dadahin johnny ama ten dan naik ke sepedanya. lucunya dia jadi ngerasa kayak orang baru naik sepeda saking kesenengannya di sampingnya ada jaehyun lagi ngebawa sepeda pinjeman ten. mereka ngobrol ringan seputar kuliah dan taeyong paling seneng kalau jaehyun ketawa karena dia.

rasanya jarak fakultas dan lapangan basket jadi deket banget karena tahu-tahu, mereka udah nyampe. kartu mahasiswanya dibalikin dan sekarang waktunya pamitan.

“oke gue balik dulu.”

“yuk.”

taeyong ngernyit. “yuk?”

“gue anter.”

“hah?”

“masih pengen jalan kaki,” jaehyun masukin tangan-tangannya ke kantong. “cuacanya lagi enak banget. gue masih pengen jalan kaki.”

“ini maksudnya lo mau ikutan jalan ke kost gue?”

“kalau lo nggak keberatan.”

“nggak, sih…” taeyong garuk-garuk kepala. “tapi entar lo balik sendirian dong?”

“kalau lo anterin gue balik sini kita jadi anter-anteran.”

“oh, bener juga..”

jaehyun tergelak dan taeyong yang nggak paham kenapa jaehyun tergelak ikut-ikutan aja. yang jelas dia seneng bisa dapet kesempatan ngobrol berdua sambil dianter pulang terus nyadar kalau dia lagi dibantuin pasangan berisik waktu nyampe kos nemuin ten lagi berdiri depan pintu kamarnya sambil cengar-cengir bangga karena ngerasa udah berkontribusi gede dalam ngebantu hubungan sahabatnya.

*

ten bukan jadi satu-satunya yang ngerasa berkontribusi gede. di parkiran fakultas, ada johnny lagi ngerokok nggak jauh dari tempat mobil jaehyun diparkir.

“udah balik anaknya?”

“udah selamat gue anter ampe depan kost.”

johnny nyengir. rokoknya diisep dalem terus dibuang ke bawah sama diinjek. abis itu puntungnya diambil dan dimasukin tong sampah.

“gimana?”

jaehyun ngebuka kunci mobilnya. johnny masuk duluan ke kursi penumpang terus ngeliat jaehyun dengan tatapan nggak sabar.

“ya nggak gimana-gimana.”

“halah.”

jaehyun ketawa dikit. mobilnya dinyalain tapi nggak langsung digas. jaehyun megangin setir pake dua tangannya terus ngeliat setengah ngawang ke luar kaca depan mobil.

“nggak salah gue nggak kicep duluan liat dia galak. ternyata bener aslinya lucu banget.”

“halah.”

“halah halah mulu lo.”

“ya terus mau apaan? mau gue ciein? anak sd dong gue.”

jaehyun nggak jawab. dia akhirnya ngejalanin mobil terus nggak ngomong apa-apa sampe keluar kampus. mereka baru mulai ngomong lagi pas ketemu lampu merah pertama setelah keluar kampus.

“dia kayak sering ngeliatin gue gitu deh.”

“kepedean kali lo.”

“nggak, ini beneran,” jaehyun ngerespon serius. “gue sering nangkep dia lagi ngeliatin gue.”

“ya lo kapten terus posisinya paling aktif buun. yang aneh kalau bola di elu tapi dia ngeliatnya ke mark.”

“emang dia naksir mark?”

johnny ngakak. “yeu bego. kan misalnya.”

“dia naksir nggak, ya, ama gue?”

“tanya lah.”

creepy anjir,” jaehyun ngedengus. “tanyain pacar lo lah.”

“kalau iya lo mau apa kalau enggak lo mau apa?”

“kalau iya gue tembak kalau enggak gue tembak juga tapi usaha dulu.”

“sama aja.”

“ya gue naksir.”

johnny agak kaget sama jawaban langsung jaehyun. “ini suka beneran? bukan karena lucu-lucuan dia sering nonton latihan?”

jaehyun cuma ketawa pelan terus lanjut fokus nyetir. gimana pun johnny ngorek dia tetep nggak jawab.

*

dari hasil diskusi, johnny dan ten sama-sama tahu kalau aslinya dua orang temannya itu saling suka. cuma dasar itu dua haus akan hiburan jadi mereka nggak bilang. menikmati aja gitu lihat dua orang malu-malu kucing saling pendekatan.

jaehyun aslinya cuek tapi bisa-bisanya dia tahu kalau taeyong demen yoghurt drink. waktu yang lain dibeliin air mineral dingin jaehyun ngelebihin satu pak minuman itu buat taeyong. mark yang niat mau protes karena dia nggak kebagian langsung dibekep sama johnny dan dijanjiin bakal dibeliin tiga pak. bocahnya seneng dan langsung diem.

taeyong nggak abis-abisnya ngebahas kejadian itu ke ten dan nggak abis-abisnya pula ten bilang, “iya, wayyyy, gue kan di sebelah lo. gue lihat di kursi vvip bangeeet.” tapi taeyong cuek aja. dia tetep ngebahas soal satu pak yoghurt drink buat dia sendiri.

“berasa dispesialin gue.”

“dih, baru juga minum.”

wajar taeyong ngerasa dispesialin soalnya jaehyun tuh walaupun diem-diem aja tapi lumayan peka. kayak waktu mereka beli minum terus botolnya keras banget, jaehyun nggak bilang apa-apa langsung inisiatif ngambil botol di tangan taeyong terus ngebukain tutupnya (walaupun pake bantuan handuk, saking kerasnya). taeyong dengan cool ngomong makasih dan jaehyun cuma senyum dikit aja.

(johnny ama ten ketawa-ketawa.)

usaha ten sama johnny juga sejauh ten minta tolong taeyong buat chat johnny ngasih tahu kalau ten ada urusan pulang kampus dan tidak sengaja hp johnny dipegang jaehyun karena nggak tahu kenapa johnny suruh jaehyun megangin hpnya sesiangan. cuma ngobrol gitu doang udah bikin taeyong bersyukur banget dan jaehyun dengan kalem ngabarin johnny soal pesan baru masuk tapi yang punya hp bisa liat sudut-sudut bibirnya ketarik dikit.

dua orang itu juga gemes sendiri karena jaehyun yang mantannya udah sederet kelakuannya sebelas dua belas sama taeyong yang banyak ngoleksi almost is never enough alias nggak ada yang mau maju duluan. jaehyun bilang dia mau lihat sikon, taeyong bilang dia cuma mau nikmatin aja serunya naksir-naksir lucu orang masa kuliah (yang dicibir sama ten karena alesannya nggak banget). jadilah dua orang itu turun tangan dan kembali ngejebak dua orang itu.

“lho?”

“eh?”

johnny bilang dia minta temenin nonton film baru ke jaehyun terus ngasih tiket. sengaja dia bilang dadakan jadi jaehyun dateng telat (pas lampu udah gelap dan film udah hampir mulai) cuma buat terkaget-kaget pas ngeliat yang ada di kursi johnny malah cowok pake cardigan rajut warna-warni.

jaehyun duduk di samping taeyong masih dengan bingungnya dan taeyong sampe berhenti makanin popcorn. mereka berdua bisik-bisik nanya hal yang sama: kok bisa?

“johnny bilang dia keburu beli dua tiket dan ten nggak bisa nonton jadi daripada sayang tiketnya dia nyuruh gue dateng.”

taeyong melongo. “ten bilang johnny yang nggak bisa dateng padahal udah susah payah beli tiket ini.”

mereka berdua lihat-lihatan terus ketawa waktu sadar mereka lagi dijebak. nggak bego juga lah mereka kalau sadar dua temen deket mereka lagi bikin rencana penjebakan (yang sama sekali nggak merugikan). dari sini mereka akhirnya sadar kalau dua orang itu kayaknya lagi berusaha nyomblangin mereka.

(dan mereka nggak protes sama sekali.)

filmnya seru tapi dua-duanya nggak tahu jalan cerita pastinya kayak gimana. taeyong sibuk pura-pura kalem sambil deg-degan karena lengan dia sama jaehyun deketan dan jaehyun sibuk lirik-lirik tapi nggak ngomong apa-apa. pas lampu akhirnya nyala, orang-orang pada bangun tapi mereka berdua masih canggung duduk di tempat.

“seru, ya?” taeyong buka suara.

jaehyun ngangguk. “iya.”

beneran kalau ada yang merhatiin mereka pasti bakal ketawa banget soalnya mereka canggung banget. akhirnya mereka berdiri pas petugas masuk mau bersih-bersih dan jaehyun ngambil popcorn yang belum abis buat dipegangin terus jalan di belakang taeyong.

nyampe di depan, mereka berdua bingung lagi. ini mau udahan langsung bubar masing-masing atau gimananya. mereka berdua jadi lihat-lihatan pas nyampe di depan parkiran terus nggak tahu siapa yang mulai duluan, dua-duanya sama-sama ketawa.

“aneh banget, ya?”

jaehyun ngangguk. “banget.”

taeyong kira mereka bakal diem-dieman lagi tapi ternyata jaehyun malah ngeliatin cardigan taeyong terus komentar hal paling random sedunia.

“kita kalau sebelahan mirip meme rumah-rumahan itu, ya?”

taeyong awalnya nggak ngeh sampai dia sadar maksud jaehyun: dia pake cardigan rajut warna pastel terus celana terang sementara jaehyun pake hitam dari atas sampe bawah. nggak tahu mau ngerespon apa, taeyong ketawa aja.

“lo emang suka banget ya warna item?”

“nggak juga, sih. tapi emang isi lemari gue banyakan warna monokrom.”

“topi lo item mulu.”

jaehyun ngangkat alisnya sebelah. “item mulu?”

“iya,” taeyong nunjuk topi jaehyun. “yang ini beda kan sama yang pas latihan? pas latihan ada bendera amerikanya yang ini nggak ada gambar.”

jaehyun seneng. soalnya nggak nyangka taeyong merhatiin apa yang dia pake sampe detil. johnny yang temen deketnya dari kapan tahu aja suka nuduh topi yang dipake jaehyun bau karena itu-itu mulu. padahal beda.

“makasih.”

taeyong nggak paham. “buat apa?”

“karena udah merhatiin.”

taeyong nggak paham mau ngomong apalagi jadi dia cuma ehe ehe aja sebagai respon.

walaupun malem itu mereka canggung banget tapi besoknya pas ketemu di lapangan, nggak tahu kenapa mereka malah jadi santai. johnny sama ten sampe mikir mereka berdua diboongin karena dua-duanya cerita soal betapa canggungnya acara nonton mereka.

“nih, beda.” jaehyun tahu-tahu ngedeket ke taeyong pas lagi break terus taeyong ngangguk-ngangguk.

“gue suka yang ada putihnya itu. lupa tulisannya.”

“yang connecticut? oooh.. gue pake cuma sekali deh.”

“itu lucu.”

“yang ini enggak?”

“lucu juga, sih.”

“mana yang lebih lucu?”

taeyong mikir keras. “aduh, yang mana, ya?”

“nggak tahu?”

“susah milihnya.”

“ya udah sini gue kasih tahu mana yang lebih lucu.”

“yang mana?” taeyong nanya serius. sebagai jawaban, telunjuk jaehyun bukannya nunjuk ke topi atau kemana tapi malah nunjuk taeyong.

“yang ini.”

(air minum yang ditenggak johnny sampe keluar dari hidung. kaget denger jaehyun si kalem tiba-tiba ngalus nggak tahu malu.)

*

mungkin karena tahu mereka udah sama-sama dapet support dari johnny dan ten jadinya kecepatan mereka dari yang super lambat jadi ekstra cepet.

johnny bahkan nggak perlu ngasih dorongan banyak-banyak karena suatu hari, dia udah ngelihat aja jaehyun senyam-senyum lihat hp. ternyata lagi chatting sama taeyong dan waktu ditanya dapet nomor darimana, ternyata anaknya minta sendiri waktu nganter taeyong balik (yang entah sejak kapan jadi rutinitas tiap sore bahkan setelah tanding berakhir dan latihan balik jadi sekali seminggu lagi). mereka berdua udah nggak canggung-canggungan lagi tapi lebih sering berkomunikasi pake bahasa kalbu.

tiap abis latihan, jaehyun bakal datengin taeyong dan yang didatengin bakal nyodorin handuk sama minum. nanti sebagai gantinya, jaehyun bakal ngeluarin minuman kesukaan taeyong (yang udah nggak dingin) dari dalem tas olahraganya terus orangnya balik ke lapangan. kadang juga dia lagi ngobrol sama johnny soal tim terus tahu-tahu jaehyun jongkok, lanjut ngobrol serius nimpalin johnny sambil jari-jarinya ngebenerin tali sepatu taeyong yang lepas sebelah.

jaehyun nggak pernah ngalus kayak waktu itu tapi cara dia memperlakukan taeyong bikin orang-orang penasaran sama kelanjutan hubungan mereka. banyak yang nebak mereka udah jadian tapi gagal ngekonfirmasi karena nggak kayak johnny-ten yang ngumbar nama panggilan sayang kayak obral, dua orang temannya bahkan ngomong nggak nyebut nama.

“mau langsung pulang?”

taeyong ngangguk.

“makan dulu. kalau udah nyampe kost nanti mager pula keluar lagi.” jaehyun ngejawab sambil ngeberesin barangnya sendiri. nggak jelas apa panggilan sayang atau apakah mereka masih pake gue-elo.

kalau kata ten, begitu yang terjadi kalau orang dua-dua love language-nya nggak perlu mulut.

seandainya mau ngecek hp dua-duanya, isinya nggak ada sesuatu yang menggelikan. mereka rata-rata ngobrol santai dan paling sering saling bagi tempat makan enak yang dicobain dari aplikasi daring. cuma emang komunikasi mereka nggak putus sama sekali dan satu-satunya yang bikin mereka rada beda dari pertemanan biasa adalah gimana cerita taeyong soal “eh, kan abis nyekrol tiktok terus ada makanan viral gitu.” berakhir dengan chat dari jaehyun yang bilang “di depan.” ternyata dia nongol bawa si makanan viral padahal lebih gampang minta tolong abang ojolnya ketimbang nyetir jauh dan antri makanan yang lagi dipengenin sejuta umat.

taeyong selalu muncul dengan ekspresi bersalah dan heboh bilang kalau dia nggak minta tapi jaehyun cuma senyum dan bilang “fotonya bikin ngiler. ya udah.” terus mereka duduk di teras makan berdua setelah sebelumnya ngolesin autan yang diambil dari kamar taeyong (soalnya banyak nyamuk).

(jaehyun emang pulang dengan kaki bentol-bentol tapi semuanya sepadan sama senyum taeyong yang seratus kali lebih cerah abis dikasih makanan enak.)

*

jadi, berapa lama sampai mereka akhirnya jadian?

jawabannya: nggak ada yang tahu. nggak pernah ada kata cinta atau ‘hei, kamu mau nggak jadi pacarku?’ terucap dari masing-masingnya tapi sekian bulan berlalu dan sekarang mereka nggak jalan magrib-magrib dari lapangan basket ke kost taeyong dengan jemari nggak bertautan. tangan jaehyun juga jadi lebih ringan buat nyubit pipi taeyong kalau ada apa-apa dan taeyong udah nggak perlu lagi nyetok autan karena sekarang jaehyun udah jadi tamu tetap kamarnya. di depan yang lain mereka tetep berkomunikasi dengan amat minim dan ngandelin gestur-gestur penuh perhatian yang rawan disalahartikan pengghibah tapi di belakang, ada taeyong yang ngasih kue ulang tahun full cokelat di tanggal 14 februari dan dibalas dengan pelukan juga kecupan di keningnya.

“jadi, kalian tuh pacaran apa enggak?”

taeyong dan jaehyun ngasih jawaban berupa kuluman senyum bermakna ganda.

*

a day with dodo


papi dan papa bangunin dodo lebih pagi dari biasanya. biasanya kalau bangun, dodo bakal dikasih kesempatan buat bengong selama yang dimau terus papa bakal dateng bawa botol susu gambar unicorn biar dodo bisa minum susu dan perutnya anget. mandi kan dingin terus butuh tenaga jadi kalau udah minum susu, dodo bakal punya tenaga buat ngilangin dingin karena air yang diguyur ke badannya.

(walaupun airnya tuh air anget.)

nah, pagi ini tuh beda. soalnya dodo dibangunin terus langsung digendong papi ke mobil. dodo nggak dikasih waktu menung sambil meluk boneka stegosaurus hadiah ulang tahun dari om jinhyuk atau dibawain botol unicorn yang ujung dotnya udah lebar banget karena digigitin. pokoknya bangun-bangun dodo digendong masuk mobil terus dibawa pergi entah kemana. dodo nguap gede-gede terus ngerengek. bobonya belum puas soalnya semalem bobonya agak larut. kemarin sore ketiduran lagi nonton robocar poly di ruang tengah sampe agak malem jadinya nggak bisa bobo. sekalinya baru ngerasa bobo bentar, eh, udah dibangunin.

dodo sebel banget jadinya.

“eh, eh, udah lima tahun kok masih ngerengek?”

dodo manyun. papi suka banget bawa-bawa umurnya yang udah lima tahun sejak tiga hari lalu. papi selalu ngomong seolah-olah lima tahun itu udah gede banget padahal abang pyo lebih gede bahkan udah pake seragam sd.

dodo masih ngerengek. pengennya balik ke rumah dan bobo di kamarnya yang dingin (yang ac-nya nggak pernah berubah dari angka 16) tapi papi dan papa malah bawa dia entah kemana padahal ini masih agak gelap. papa ngeliat dodo ke belakang dengan ekspresi agak khawatir dan dodo pastiin ngerengek lebih kencang lagi biar papa makin khawatir.

dodo suka diperhatiin soalnya.

“nanti sampai di rumah om seungwoo sama om byungchan adek boleh bobo lagi kok. sekarang sabar dulu, ya, dek?”

dodo ngerengek lagi.

“eh, anak umur lima tahun kayak begini kelakuannya?” papi ngomong hal yang sama lagi. dodo mana tahu anak umur lima tahun kelakuannya harus kayak gimana kan dia baru lima tahun dan nggak punya pengalaman soal anak lima tahun lainnya. satu-satunya anak lima tahun lain yang dodo kenal cuma jinwoo, anaknya om jinhyuk, dan dia terlalu pemalu buat diajak main. sukanya sembunyi aja di belakang kaki om jinhyuk yang panjang-panjang itu.

“dodo ngantuk, piiii!”

“ya, tidur?”

papa pukul lengannya papi sambil ngomel soalnya papi harusnya nggak jawab kayak gitu. dodo nggak paham, sebenernya, tapi dia seneng-seneng aja kalau dibelain sama papa.

“kenapa dodo disuruh bobo ke rumah om uwo? dodo punya kamar.”

“papa sama papi mau pergi sebentar ke luar kota. ada saudara papi mau nikah nanti papa sama papi hadir nikahnya terus langsung pulang jemput dodo.”

“kenapa dodo nggak diajak?”

“jauh, dek.”

“dodo mau ikut.”

papa sama papi lihat-lihatan.

“ini bayi beruang tumben banget minta ikut? papi sama papa perginya lama lho.”

“dodo mau ikut.” pokoknya dodo kekeuh pengen ikut. dodo kan juga pengen jalan-jalan.

“tempatnya jauh banget. adek mesti di mobil lama banget.” kata papa. denger kayak gitu dodo jadi agak ragu. dodo suka bosan kalau di mobil lama-lama soalnya pantat dodo jadi panas.

“udah gitu di sana panas.”

dodo ngernyit. dodo nggak suka panas.

“nggak ada toko buku sama toko es krim.”

“dodo mau sama om uwo aja.”

papa sama papi sama-sama keliatan lega. sama dodo emang harus ngomong pinter-pinter soalnya salah ngomong dodo bisa tantrum dan alamatnya mereka bisa telat berangkat.

“nanti papi tinggalin duit jajan buat dodo.”

dodo senyum. papi kalau ninggalin duit jajan suka banyak. dodo bisa beli es krim, buku baru yang gambarnya bisa muncul, mainan, kue-kue enak …. nyam.

“adek perlu ipad? ipad-nya udah papa masukin ransel.”

“dodo boleh main game, pa?”

“nggak lama-lama tapi. nanti papa kasih tahu om uwo sama om ucan biar adek nggak lama-lama main ipad.”

“dodo boleh beli es krim, pi?”

“tanya papa.”

“boleh, pa?”

“kalau kata papi boleh papa bolehin. kan papi yang kasih jajan.”

dodo manyun. papi sama papa suka banget lempar-lemparan kayak gini. kalau kayak gini dodo sendiri yang pusing!

mobil akhirnya berhenti di depan rumah yang ada pohon mangganya. dodo tahu ini rumah om uwo dan om ucan teman papa dan papi. om-omnya baik dan suka beliin mainan lebih sering daripada om jinhyuk. kayaknya duit om-om ini lebih banyak mungkin karena mereka nggak punya jinu buat dikasih makan.

dodo turun digendong papi dan papa yang bantuin dodo bawa ransel gambar captain america warna biru merah. bayi beruang ketawa-ketawa waktu papi cium-cium dodo semuka terus marah waktu acara cium-cium ganti jadi papi kelewat gemes dan gigit pipi dodo. papi cuma cengengesan waktu papa melototin papi karena gangguin dodo.

“brooooo!!!”

dodo suka heran kenapa papi suka banget teriak-teriak. ini masih pagi dan papi udah teriak-teriak depan rumah om uwo sambil ngetok-ngetokin gembok ke pager rumah om uwo dan om ucan yang masih kekunci. nggak lama om ucan keluar. rambutnya berantakan dan matanya antara kebuka sama enggak. om ucan ngomel-ngomel entah apa soalnya papi langsung ketawa sambil ngebekep telinga dodo. kayaknya om ucan ngomong orang dewasa karena dodo nggak boleh dengar.

waktu pintu pager dibukain, om ucan langsung nyodorin tangannya ke arah dodo. tandanya om ucan pengen gendong dodo tapi dodo nggak mau. dodo masih mau digendong papi jadi dodo cuma ngeliat om ucan sebentar terus balik ngelingkarin tangan ke leher papi. pokoknya sampai papi sama papa pergi, dodo mau sama mereka dulu!

“ih, dodo sombong!” om ucan malah ngatain dodo tapi dodo diem aja. biarin aja sombong sekarang nanti juga kan dodo bakal sama om ucan.

waktu masuk ke rumah, om uwo baru keluar kamar mandi. dodo langsung teriak, “iiiiih! om uwo nggak pake bajuuuu!” soalnya om uwo cuma pake handuk dililit di pinggang gitu. om uwo ketawa-ketawa terus lari ke kamarnya. syuuuut~ terus pintu ditutup. papi suka ledekin dodo kalau abis mandi nggak pake baju keliaran di rumah jadi dodo juga bakal ledekin om uwo kalau nggak pake baju!

dodo udah nggak ngantuk tapi dodo masih laper. dodo pegang muka papi terus bisik-bisik (walaupun kayaknya kedengeran juga sama papa dan om ucan soalnya mereka ketawa). dodo bilang gini, “papiiii… dodo lapar susu.” iya, dodo kalau lapar selalu detail. lapar susu, lapar nasi, lapar biskuit … pokoknya supaya papi dan papa nggak salah ngasih dodo makan. kadang-kadang papa suka ngasih yang lain, sih. misalnya dodo bilang lapar biskuit tapi kata papa nggak boleh soalnya udah jamnya makan nasi. ya udah dodo dikasih nasi pake nugget huruf-huruf. nggak apa-apa tapi soalnya dodo suka nugget apalagi yang huruf ‘d’. d for dodo.

dodo agak kecewa waktu papa ngeluarin susu kotak kecil bukannya botol susu dodo. dodo pegang lagi muka papi terus bisik, “papiii… botol unicorn dodo mana?” terus papi bisik kenceng-kenceng juga ke telinga dodo. “iiih.. malu udah umur lima tahun masih bawa botol kemana-mana!” dodo sebel. kan dodo nggak minum susu pake botol di depan jinu. kan ini cuma papi, papa, sama om-om yang tahu juga kalau dodo masih kecil! kata bang pyo, kalau belum sd berarti masih kecil jadi anak kecil harusnya boleh pake botol minum susunya!

“bisik lu kurang kenceng, ege.” om ucan ketawain papi yang bisiknya keras-keras. dodo nggak tahu apa itu ege. “om ucan, ege itu apa?” terus kata om ucan dodo belum boleh tahu soalnya masih kecil. sebel banget dengernya. pokoknya dodo bakal inget-inget kalau dodo udah sd, dodo bakal tanya lagi om ucan ege itu artinya apa!

ya udah, kalau om ucan nggak mau jawab pertanyaan dodo, mending dodo minum susu aja. dodo udah bisa, lho, buka sedotan dan nusuk ke kotak susu! sekarang tinggal disedot. nyaam, dodo suka rasa kacang ijo! susunya manis mirip sama puding yang pernah dibeliin tante jamie. kata papi dodo lucu soalnya anak kecil biasanya suka cokelat tapi dodo sukanya kacang ijo! papi bilang selera dodo lebih mirip selera anak gede ketimbang anak kecil.

nggak butuh lama-lama buat dodo ngabisin susu yang dikasih papa. pas udah bunyi kering dan dodo nggak bisa sedot lagi, kotaknya dodo kasih ke papi.

“buang ke tong sampah, dek.”

“dodo nggak tahu tong sampah di mana.”

“tanya sama om ucan.”

dodo ngelihat om ucan. “om ucan, tong sampah di mana?”

“di dapur. sini om ucan temenin.”

dodo ngernyit keheranan. “kalau om ucan mau ke dapur, om ucan aja yang buang sampahnya. dodo tunggu di sini.”

papa sama papi puas banget ngetawain om ucan yang langsung bengong denger omongan dodo. dodo nggak paham, sih, apa yang bikin papi sama papa ketawa soalnya dodo nggak merasa ada yang lucu. kata om ucan, dodo pintar. kepala dodo dielus-elus dan dodo suka. karena dodo dipuji, jadi dodo bilang makasih.

“makasih, om ucan.”

dodo nggak ngerti kenapa hal segampang itu dianggap hebat sama om ucan tapi ya udahlah yang penting dodo pintar dan semuanya senang. dodo senang kalau semuanya ketawa soalnya kata miss eisen di sekolah, ketawa tandanya bahagia. kalau semua bahagia, berarti itu hal baik.

dodo senang kalau semuanya baik dan bahagia.

*

papi sama papa akhirnya pergi terus sekarang dodo ditinggal sama om uwo dan om ucan. om ucan tanya dodo mau nasi goreng nggak terus dodo jawab mau. dodo suka nasi goreng apalagi kalau telurnya mata sapi dan kuningnya masih agak cair. nanti tengahnya dodo tusuk pake sendok terus dia ngalir deh ke nasi dodo.

“mau pake sosis nggak, do?” om uwo yang lagi goreng telur buat dodo tanya.

“dodo sukanya nugget. om uwo nggak ada nugget?”

om uwo kelihatan bingung. “aduh, om nggak punya nugget,” om uwo ngeliat ke om ucan. “mini market depan buka jam berapa? apa kita beli aja buat dodo?”

“baru jam sepuluh entar bukanya.” om ucan jawab. “eh, do, sosisnya bagus lho! dodo mam sosis aja, ya?”

sejak kapan sosis bagus? dodo bingung jadinya sama om ucan. “sosisnya huruf-huruf juga?”

“nggak, tapi sosisnya om uwo mirip gurita.”

“gurita itu apa, om?” dodo baru dengar.

“gurita… binatang? yang kakinya panjang?” om ucan joget-joget aneh mainin tangan sama kakinya. “yang di laut? warna merah? kepalanya satu terus sisanya kaki-kaki gitu?”

dodo mikir bentar. dodo suka banget sama laut dan dodo hafal banyak binatang laut. dari deskripsi om ucan tuh … “octopus?

yes, yes, octopus! buset anak sekarang inggris bener.” kata om ucan.

i know octopus!” oke, dodo penasaran sekarang. “om uwo, dodo mau makan sosis octopus!”

om uwo kelihatan lega banget. sekarang om uwo balik fokus sama masakannya dan dodo duduk manis di kursi makan nungguin sarapannya jadi. om ucan bolak-balik naro piring dan gelas di meja terus sesekali nyomot-nyomot apa yang dibikin om uwo sampe diomelin. om ucan tuh aneh kalau dodo bilang. dodo, ya, kalau diomelin papa sama papi bakal sedih tapi om ucan kalau diomelin sama om uwo malah cengengesan terus nggak kapok.

“om ucan jangan nakal. sini duduk aja sebelah dodo.” dodo turun dari kursi, tarik kursi sebelah dodo, terus naik lagi. abis itu dodo tepuk-tepuk kursi sebelah dodo. “sini. jangan diganggu om uwo. nanti kita lama makannya.”

om uwo ketawa. “tuh, om ucan, dengerin kata dodo.”

“siap! om ucan akan dengerin kata dodo!” om ucan pura-pura lari kencang terus duduk di kursi yang dodo tarikin. pipi dodo dicium om ucan tapi dodo biarin aja soalnya om ucan kalau cium masih sopan nggak kayak papi yang suka gigit-gigit.

waktu makanan akhirnya siap, om uwo taro nasi goreng yang udah dibentuk bulat sama telur mata sapinya di atas nasi dodo. di pinggir piring, ada tomat kecil-kecil (aduh, dodo nggak suka…) sama sosis gurita!! guritanya kecil-kecil tapi banyak!! kakinya ngembang-ngembang terus … wangi … dodo perutnya jadi kruyuk kruyuk ngelihatnya.

“sosis octopus!!”

“masih panas, ya, do. sabar dulu makannya.”

dodo monyongin bibir, deketin mulut ke piring terus tiup sosisnya kuat-kuat. ffuuuuuuhhh!! pokoknya dodo pengen sosisnya cepat dingin supaya dodo bisa makan octopus!! hari senin waktu dodo sekolah dodo bakal cerita ke miss dan teman-teman kalau dodo makan sosis octopus!

selesai makan, dodo biasanya mandi. karena di rumah om ucan shower-nya nggak ada air panasnya kayak di kamar mandi dodo, air panasnya dimasakin di kompor abis itu dituang ke ember. dodo suka mandi pake gayung tapi papi nggak bolehin soalnya dodo kalau ada ember bawaannya pengen masuk ember! kata papi kalau mau main air di kolam renang belakang aja tapi dodo bosan! papi tuh nggak paham kalau main air di ember kamar mandi tuh enak!

“dodo bisa mandi sendiri?” om uwo tanya dodo.

“dodo bisa tapi papa sama papi nggak pernah biarin dodo mandi sendiri.”

“kenapa?”

“nanti dodo main air.”

om uwo ketawa. “ya udah kalau sama om uwo boleh mandi sendiri.”

“tapi dodo nggak bisa punggung,” dodo contohin ke om uwo gimana tangan dodo nggak nyampe buat nyabunin punggung. “dodo belum sd jadi belum besar. dodo belum bisa sabunin punggung.”

om uwo ketawa lagi. kenapa, sih, om uwo hobi ketawa liat dodo? “nanti om bantu. dodo mandi sendiri dulu terus jangan lama-lama. abis ini kita main sepeda.”

dodo kaget. dodo boleh main sepeda pagi-pagi?? sama papi dan papa bolehnya cuma sore dan sebentar! “dodo boleh main sepeda?”

“boleh. komplek rumah om kan sepi. nanti dodo boleh main sepeda.”

“horeee!”

“sama beli kue.”

“horeee!”

“es krim juga tapi nanti abis makan siang.”

“dodo mau jadi anak om uwo aja!”

“nanti papi nangis lho anaknya pergi.”

“oh, iya…” dodo geleng-geleng. “papi nggak boleh nangis. papi sama papa harus ketawa yang banyak. dodo nggak mau papi nangis.”

“lucu banget, kamu, nak…” om uwo ngacak-ngacak rambut dodo. “nah, air panasnya udah.” kata om uwo waktu lihat om ucan bawa ember ke kamar mandi. “dodo mandi dulu, ya?”

“baju dodo dimana?”

“pake bajunya di luar aja,” om ucan yang jawab. “nanti handuknya om gantung di dalam.”

“handuknya gambar apa?”

“gambar thomas.”

dodo manyun. “kenapa nggak poly?”

“poly lagi patroli jadi digantiin thomas.”

“ya udah kalau gitu.” dodo ngerti kok kalau poly lagi patroli. polisi kan harus menjaga keamanan kalau kata miss di sekolah. “dodo mandi dulu.”

“yang bersih mandinya.” kata om ucan.

“iyaaa nanti dodo pake sabun kok om ucan. masa mandi nggak pake sabun nanti bau.”

abis itu dodo masuk ke kamar mandi dan pintunya dibukain dikit supaya dodo nggak kekunci.

*

dodo rasanya capek banget. mandi sendiri, handukan sendiri, terus dikasih baju yang kancing depannya banyak. dodo bilang om ucan kalau dodo capek pake kancing tapi kata om ucan dodo mesti bisa pake kancing sendiri. huh, lama banget deh dodo pake bajunya. masukin kancingnya susaaah! mana pertamanya dodo salah-salah lubang. untung om ucan masih mau nunjukin dodo yang bener lubangnya yang mana.

“sekarang main sepeda, ya!”

“tunggu dulu, om, dodo capek abis pake kancing.”

om ucan ketawa gede. dodo sebel. orang capek kok diketawain.

“bentar,” om ucan tahu-tahu bawa sesuatu. “lihat om ucan punya apa.”

dodo lihat om ucan bawa sticker ternyata. gambar bintang sama tulisan … gr … gr… gr kalau digabung jadi apa, ya? dodo belum lancar baca soalnya.

“ini apa, om?”

om ucan buka satu sticker terus ditempelin ke tangan dodo. “ini karena dodo makannya abis,” terus ditambahin satu lagi. “yang ini karena dodo bisa mandi sendiri.” terus dodo nunggu om ucan buat tempel lagi. bintangnya warna-warni dodo suka!

“lagi, om!”

“nanti om ucan kasih lagi kalau dodo berhasil melakukan sesuatu lagi.”

ngedenger apa yang om ucan bilang, dodo jadi semangat. “dodo udah capeknya. ayo, main sepeda!”

“oke, pake sepatu dulu!” om ucan ngebuka tas dodo dan ngeluarin kantong sepatu. dodo mau marah waktu tahu sepatu yang dibawain papa adalah sepatu yang banyak talinya!

“papa kok bawain dodo sepatu ini, siiih?”

“ayo, belajar pake sepatu sendiri!” kata om ucan semangat. dodo yang nggak semangat liat sepatunya.

“dodo bisa pakai sepatu sendiri tapi nggak bisa kalau yang taliii,” dodo ngeluh jadinya. “soalnya susah ikatnya. dodo nggak suka.”

“om ucan ajarin.”

“susaaaah. dodo nggak bisa.” dodo ngerengek. dodo benci banget tali-tali. dodo bukan papa yang pinter mainin tali-tali sama ngejahit boneka. dodo pernah cerita ke teman terus diketawain katanya masa laki-laki ngejahit? tapi papa bilang, ngejahit nggak cuma kerjaan perempuan. papi bilang justru hebat kalau laki-laki bisa kerjaan yang dianggap bukan kerjaan laki-laki.

om ucan jadi bingung ngeliat dodo ngerengek. untung om uwo dateng terus duduk di depan dodo.

“dodo tahu lagu pake sepatu nggak?”

dodo geleng-geleng. “lagu apa itu, om?”

om uwo ambil sepatu dari tangan om ucan terus diletakin di deket dodo. “lihat, ya?”

dodo kaget waktu om uwo tahu-tahu nyanyi sambil ngiket sepatu.

buat x dengan tali sepatumu buat lingkaran dan tarik kencang! lihat telinga kelinci di sepatumuu. telinga kelinci keliling pohon lompat ke dalam lubang sekarang seperti kupu-kupu

selama om uwo nyanyi dan ngajarin ngiket tali sepatu, mulut kecil dodo kebuka. takjub ngelihat lagu om uwo bisa bikin salah satu sepatunya bisa keiket jadi mirip kupu-kupu. ekspresi takjub dodo berubah kecut waktu om uwo narik satu talinya dan sekarang sepatu dodo nggak keiket lagi.

“nah, sekarang dodo!”

“dodo belum hafal lagunya, om uwooo.”

“om ajarin,” om uwo lebih tegas daripada ok ucan. huh. “ayo.”

butuh berkali-kali lagu sampai akhirnya dodo berhasil ngiket tali sepatu. kupu-kupunya dodo nggak kayak punya om uwo tapi yang penting … dodo sekarang udah bisa ngiket tali sepatu!

“om ucan!” dodo ngeliatin dua sepatu yang udah keiket talinya terus nyodorin tangan. “mana sticker buat dodo?”

om ucan ngacungin jempol terus ngasih sticker lagi. ditempelin di punggung tangan dodo sebelahan sama dua stiker yang udah duluan dikasih. “ini, satu lagi stiker great buat dodo yang pinter.”

oooh, jadi tulisannya great. dodo manggut-manggut. senyumnya dodo makin lebar waktu ngeliatin tiga stiker di punggung tangannya. seneng rasanya punya banyak stiker jadi dodo senyum-senyum.

dodo makin seneng waktu sepeda kecil dikeluarin dari garasi rumah om uwo dan om ucan. sepedanya roda tiga dan catnya warna merah hitam. dodo aslinya suka warna biru langit tapi nggak apa-apa. asalkan itu sepeda dan dodo bisa main di luar, dodo udah seneng, kok.

om ucan bilang, dodo hati-hati ngayuh sepedanya pokoknya jangan ngebut-ngebut. dodo nurut aja soalnya om ucan capek kalau harus ngikutin dodo terus-terusan. om ucan akhirnya berdiri aja di depan pager rumah terus dodo bolak balik aja. untungnya, rumah om ucan sama om uwo deket portal jadi kendaraan nggak lalu lalang. dodo jadi bisa puas banget deh main sepedanya.

dodo lagi asyik-asyik main sepeda tahu-tahu om uwo keluar rumah. dodo dipanggil, “dodo, dodo, sini!” jadi dodo ngayuh sepeda kuat-kuat biar dodo yang lagi di ujung gang bisa cepet sampai ke depan om uwo.

“kenapa om uwo?”

om uwo jongkok depan dodo. “om uwo boleh minta tolong nggak?”

dodo ngangguk-ngangguk. kata papi dodo harus jadi anak pinter yang rajin bantu-bantu jadi kalau ada yang minta tolong dodo bakal nurut. “om uwo mau apa?”

om uwo ngasih dodo tas kecil yang disilangin ke badan dodo. tasnya kecil banget warna kuning dan ada resletingnya. waktu dodo buka, isinya ada beberapa lembar uang … bentar, nolnya ada tiga jadi … lima ribu! uangnya lima ribu terus ada empat lembar. “dodo mau nggak ke mini market di gang sebelah? tolong beliin om uwo telur lima butir, ya?”

dodo ngeliatin duit yang udah dilipet lagi terus dimasukin ke dalam tas. “dodo pergi sendiri?”

om uwo ngangguk. “di sini aman kok.”

“nanti ada om satpam yang lihatin dodo.” om ucan nambahin. dodo tahu om satpam! om satpam punya senjata buat pukul-pukul orang jahat jadi orang jahat harusnya takut sama om satpam!

“dodo pergi sekarang?”

“dodo mau pergi kapan?”

dodo mikir bentar. “sekarang aja deh, om. kalau nanti jadi panas.” dodo baikin posisi tas kecil dodo terus siap-siap ngayuh sepeda lagi. “dodo pergi dulu, ya, om!”

“nggak salim dulu?”

dodo tepuk kening. niru gaya papi kalau dititipin sesuatu sama oma mami tapi lupa dibeli. “dodo lupa.” abis itu dodo ambil tangan om uwo terus dodo cium. tangan om ucan juga supaya om ucan nggak sedih.

“pinter banget.” kepala dodo diusap-usap om ucan terus dodo jadi bangga banget! dodo dibilang anak pintar!

selesai pamitan, dodo ngayuh sepeda lagi. untung lagi nggak panas-panas banget. tadi dodo denger dari om ucan kayaknya bakal hujan tadi dodo nggak tahu om ucan tahu dari mana. tempat belinya nggak jauh. dodo pernah diajak beberapa kali ke sana sama papi buat beli cokelat (tanpa sepengetahuan papa). dodo cuma tinggal luruuus aja terus belok kanan, langsung kelihatan deh!

jalanan nggak sepi-sepi banget. ada mbak-mbak dorong adek bayi lucu sama di deket playground banyak kakak sama abang lagi main. dodo berhenti ngayuh sepeda. tempat ini punya ayunan sama perosotan mulut buaya! dodo sampe bengong dulu di tepi tempat main karena ada satu ayunan yang kosong. dodo bisa main di sana!

kalau dodo main sebentar, om ucan sama om uwo nggak bakal tahu kan, ya?

(yang dodo nggak tahu, di belakangnya dengan jarak yang nggak begitu jauh, ada om ucan sama om uwo lagi buntutin dodo terus tepok jidat liat ponakannya salah fokus.)

“mbaaak!! lapaaar!!”

padahal dodo udah turun dari sepeda terus siap-siap jalan. cuma gara-gara denger suara abang-abang teriak laper, dodo inget kalau om uwo pasti nungguin telornya dan bisa jadi laper kalau dodo main dulu. langsung deh dodo buru-buru naik ke sepeda lagi terus ngayuh ke tempat tujuan.

baru juga dodo mau ngayuh, dodo diberhentiin sama tante-tante bertopi. tantenya bawa kotak warna biru terus nawarin sesuatu yang bikin dodo menganga.

“es krim, dek? enak! ada rasa cokelat, stroberi, vanilla, campuran, tiramisu, kacang hijau—“

dodo ngiler huhuhu. dodo suka es krim! hari ini dodo belum makan es krim padahal dodo udah makan nasi tadi. tantenya ngebuka kotak birunya terus ngelihatin isinya. emang ada macam-macam es krim di sana (tapi dodo baru tahu ada orang jualan es krim kayak gini. tantenya pake baju bagus terus topinya mirip topi mahalnya oma mami!)

“cuma satu lembar lima ribu aja dapat dua.”

dodo ngedip. satu lembar … dodo bisa beli dua? es krimnya enak dan bisa dodo beli?? om uwo kan kasih dodo duit empat lembar, kalau dodo ambil satu, om uwo masih punya tiga kan buat beli telor?

“es krimnya enak kan tante?”

“mau coba?”

dodo hampir ngangguk terus inget kata papa: nggak boleh nerima makanan dari orang asing! walaupun tante ini kayak nggak asing, sih… mirip tante teman papi dan papa tapi tante itu kan nggak jualan es krim!

“nggak mau.”

“yakin? panas-panas gini enaknya makan es krim, dek.”

dodo nengok ke atas. “tante, ini nggak panas.”

“gerah maksudnya.”

dodo pegang badan dodo. “iya, dodo keringetan abis main sepeda.”

“nah, kan!” tante itu kayak semangat banget waktu tahu dodo keringetan. “makanya beli es krim aja.”

dodo manyun. tante ini kok maksa-maksa dodo, sih?

“makan di sini, biar nggak ketauan kalau kamu jajan es krim.”

dodo pikir ide tante ini menarik.

(di belakang sana, ada dua om-om yang sibuk ketawa karena ngeliat temennya nyamar jadi tukang es krim dan berusaha ngegagalin misi si bocah kecil)

“nanti dodo balik deh tante. dodo beliin telor dulu.” dodo bakal anter telornya ke om uwo terus cepet-cepet ke sini buat beli es krim! ya! itu rencana yang bagus!

“kalau nanti tante udah nggak ada di sini.”

dodo ngernyit. kerutan-kerutan di keningnya sampe keliatan banget. ekspresinya langsung bingung. “dodo cuma sebentar, tante.”

“tante buru-buru.”

dodo mau nangis. dodo cuma pengen makan es krim enak kenapa tantenya nggak mau nunggu?

“bentar aja….”

“wah, nggak bisa. mesti beli sekarang, makan di sini, baru tante jual es krimnya.”

“tapi dodo harus beli telur untuk om uwo…”

“kalau gitu nggak jadi es krim, ya?”

dodo sedih. dodo sedih banget. kenapa dodo harus milih, ya? padahal dodo beneran bakal ngayuh sepeda cepet-cepet biar bisa balik tapi tantenya nggak mau tungguin dodo. rasanya dodo udah dikiiiit lagi buat nangis.

(mata dodo mulai merah.)

“dodo mau es krim…”

“beli sekarang.”

“dodo harus tau dulu duitnya cukup atau enggak, tante.”

“ya udah, tante pergi, ya?”

“tante jangan pergi…” air mata dodo mulai keluar. “dodo mau es krim…”

ngeliat dodo nangis, tante itu jadi panik. mungkin nggak nyangka dodo bakal nangis beneran.

“eh, eh, kok nangis?”

“dodo cuma pengen makan es krim abis beliin om uwo teloooor,” dodo nangis makin kenceng. mukanya sampe merah dan pipinya basah. “tapi kalau dodo beli es krim nanti om uwo nunggunya lamaaa.”

orang-orang sekitar yang awalnya sibuk sendiri jadi pada ngeliatin. mungkin kaget tahu-tahu ada anak kecil nangis kejer. beberapa sampe ngeliatin si tante penjual es krim dengan tatapan penuh cela. bahkan ada yang komentar agak keras ngomong, “ckckck… bikin nangis anak kecil. jualan kok maksa.”

si tante makin panik. saking paniknya tante itu ngeluarin es krim dari kotak, ngasih ke tangan dodo, terus kabur entah kemana. dodo yang lagi nangis kejer langsung berhenti (masih sesenggukan dikit-dikit) terus ngeliatin es krim di tangannya.

es krim kacang ijo.

mata dodo berbinar-binar dan di belakang sana, om-omnya kembali tepok jidat.

*

dodo taro es krim di keranjang kecil depan sepedanya terus ngayuh sepedanya dengan riang gembira. es krim udah di tangan (gratis pula!) dan sekarang dodo udah dalam perjalanan buat beliin titipan om uwo! lima butir telur, bayar, terus dodo anterin ke rumah! abis itu dodo bakal makan es krim enak supaya nggak gerah.

dodo berhentiin sepeda di depan tokonya terus bingung depan pintu. pintunya mesti digeser tapi dodo nggak tau! dodo teruuuus dorong itu pintu tapi nggak kebuka-buka. untungnya, om penjual ngeh ada dodo dan bantuin dodo buka pintu.

“makasih, ya, om udah bantu dodo buka pintu.” dodo nggak lupa bilang makasih. papa bilang, terima kasih, maaf, sama tolong itu perlu!

om itu muji dodo. katanya dodo anak pintar (hari ini dodo banyak dipuji pinter. dodo senang!) abis itu omnya tanya dodo mau beli apa dan dodo jawab dodo mau beli telor lima butir. karena dodo pintar dan omnya senang liat dodo (katanya dodo gembil), omnya yang bantuin dodo masukin telor ke dalam plastik.

“dua belas ribu lima ratus, ya!”

dodo bingung. dua belas ribu lima ratus itu uangnya kayak gimana, ya? dodo cuma tahu duit lima ribu sama lima puluh ribu aja (karena warna biru). karena dodo bingung, dodo buka aja tas selempang dodo terus dodo keluarin duit yang dodo punya semuanya. dodo jinjit-jinjit biar nyampe ke meja kasir.

“uang dodo dikasih om uwo ada segitu, om. dodo nggak tau dua belas ribu lima ratus itu berapa.”

om yang punya toko ketawa (padahal dodo nggak ngerasa ada yang lucu??) terus ambil uang dodo tiga lembar. satu lagi dodo simpen dan oh! masih ada selembar uang lagi dibalikin sama uang logam yang biasa dipake kerokan kalau papa lagi masuk angin!

“udah ini, om?”

“udah,” kata omnya sambil ngasih satu plastik hitam yang dalamnya ada telur lima butir. “terima kasih udah belanja di sini!”

“sama-sama om.” dodo bales ucapan terima kasih omnya terus keluar. plastik isi telornya dodo taro di keranjang terus dodo ngayuh sepeda lagi balik ke rumah om uwo dan om ucan! sampai di depan rumah, ternyata om uwo dan om ucan udah ada di sana. nafasnya hah huh hah huh gitu kayak abis lari dan om uwo keringetan banget!

“om uwo, dodo udah beliin telornya.” dodo turun dari sepeda terus bawain plastik isi telornya ke om uwo. dodo bangga banget bisa berhasil bantuin om uwo!

“wah, makasih banyak, anak pintar!” om uwo sama om ucan ganti-gantian muji dodo. anak baik, anak pintar, anak nurut. senyum dodo lebar banget jadinya dipuji-puji kayak gitu hehehe.

“om, dodo dikasih es krim.” dodo balik ke sepeda dan pamerin es krimnya. “nggak tau tadi ada tante-tante jualan kasih dodo tapi nggak minta bayaran.”

om ucan pegang es krimnya dan bilang esnya udah agak cair jadi dodo setuju buat masukin dulu ke kulkas dan makan sebentar lagi. selama nunggu es krimnya beku lagi, dodo makan pocky! om ucan punya pocky banyak rasa dan dodo bisa cobain semuanya! pokoknya nanti kalau misalnya dodo ketemu jinu, dodo bakal pamer kalau dodo udah nyobain pocky rasa kelapa.

jinu pasti belum pernah.

waktu lagi makan pocky, dodo kaget! tahu-tahu ada suara gluduk-gluduk di luar. dodo langsung lari ke jendela gede di rumah om uwo dan om ucan terus kaget kalau langit berubah makin gelap. ini, sih, tinggal tunggu hujan aja.

dodo panik!

“om!! om!!”

om uwo yang lagi olahraga sampe berhenti. “kenapa, do?”

“dodo mau makan es krimnya sekarang!!” dodo pokoknya panik dan buru-buru banget. “sebelum nanti hujan soalnya kata papa kalau hujan nggak boleh mam es krim.”

om ucan yang lagi main ipad ketawa paling kenceng. om ucan juga yang bukain kulkas dan ambilin es krim dodo terus dikasihin deh ke dodo biar dodo bisa makan! dodo langsung makan buru-buru deh pokoknya. supaya es krimnya abis sebelum hujannya turun. kalau kayak gini, dodo nggak bakal dibilang nggak patuh sama kata papi dan papa!

selesai makan es krim, sampahnya dodo buang di tong sampah dapur. nggak lama setelah dodo selesai makan, hujan turun deres banget. dodo sukaaa banget sama hujan jadi dodo langsung manjat ke atas sofanya om uwo dan om ucan sambil tangan-tangan dodo nemplok ke jendela. jendela jadi bentol-bentol kena titik air dan dingin pas dodo pegang! suara hujan beneran berisik tapi dodo nggak pernah keganggu.

“om ucan!! lihat!!” dodo semangat nunjuk ke arah luar. “kodoknya lompat-lompat!!”

om ucan ikutan naik ke kursi terus liat ke luar jendela. “ada dua tuh, do!”

om uwo yang ngeliat cuma bisa ketawa-ketawa. soalnya dodo sama om ucan beneran ganti-gantian nemuin hal-hal aneh di luar sana. dodo bahkan kaget waktu lihat ada orang lari-lari di depan jalan tapi payungnya pake daun lebar! kata om ucan, itu daun pisang.

“dodo suka banget, ya, sama hujan?”

“suka, om ucan,” dodo ngangguk. “soalnya kalau hujan papi sama papa bakal males kemana-mana dan jadinya main sama dodo di rumah.”

om ucan ngangguk-ngangguk. “terus pasti karena dingin?”

dodo cekikikan. “iya! dodo suka dingin! hujan bikin dingiiiin banget jadi dodo bobonya enak.”

“dodo udah pernah main hujan?”

dodo nelengin kepala terus ngeliat om ucan bingung. “nggak boleh main hujan nanti sakit.”

“boleh kok kalau nggak kena hujannya.”

“gimana caranya main hujan tapi nggak kena hujannya, om ucan?”

om ucan nyengir.

*

dodo seneeeng banget waktu om ucan makein dodo mantel hujan warna kuning yang kata om uwo bikin dodo mirip bebek! abis itu dodo dipakein sepatu boot plastik dan dikasih payung kecil yang nggak ada warnanya. walaupun pake payung, dodo masih bisa lihat hujan di atas soalnya … tembus aja gitu!

om ucan temenin dodo main di bawah hujan. tangan dodo dipegang terus kita jalan ke halaman rumah om uwo dan om ucan. dodo teriak kesenengan waktu sepatu boot dodo bikin air-air di rumput jadi nyiprat terus dodo lari-larian kesenengan. dodo kayak lagi punya wahana sendiri dan bisa basah-basahan tapi dodo nggak kena basahnya!

dodo suka banget idenya om ucan!

om ucan ketawa karena dodo harus ulang berkali-kali ngomongnya soalnya nggak kedengeran! hujannya gede banget jadi agak budek huhuhu tapi dodo seneng! om ucan mau temenin dodo main hujan nggak kayak om uwo yang malah duduk minum kopi di teras ngeliatin dodo sama om ucan main hujan.

walaupun mainnya nggak lama (kata om ucan dodo nggak boleh kelamaan mainnya, nanti dingin eh masuk angin) tapi dodo seneng kok. dodo langsung mandi lagi terus rambutnya dikeringin sama om ucan. selama rambut dodo dikeringin, dodo minum cokelat anget yang dibikinin sama om uwo.

terus dodo ngantuk … banget.

dodo nggak inget pokoknya dodo ngantuk terus dodo … terus dodo ….

“aku gendong dodo ke kamar, ya?”

“oke.”

(dodo senyum waktu ngerasain badannya terangkat dan dia didekap sayang oleh salah satu omnya.)

*

seungchan

based on producer and model universe


hari senin selalu jadi hari paling neraka daripada enam hari lainnya tapi hari ini secara spesial menjadi hari yang paling neraka dari hari-hari lainnya.

jangan tanya berapa kali seungwoo memijat kening atau menahan diri untuk tidak meneriaki orang. belum lagi banyak hal-hal yang tidak berjalan semestinya sampai berita kalau salah satu lagunya dijiplak oleh seseorang di luar negeri. bayangkan betapa sakitnya kepala seungwoo dan seberapa sering ia membayangkan mandi di bawah guyuran air dingin lalu naik ke tempat tidur dan berpelukan sampai pagi dengan byungchannya.

salah seorang teman menawarinya makan gratis dan dilanjutkan minum-minum untuk memperbaiki hari tapi ditolak langsung oleh seungwoo. lelaki itu tanpa berpikir langsung mengambil kunci mobilnya dan memacu kendaraannya menuju rumahnya yang cukup jauh dari pusat kota: rumah mungilnya yang hangat dan jauh dari hiruk pikuk ibukota.

seungwoo tidak bilang apa-apa pada byungchan. tidak pula mengabari kalau dirinya akan pulang lebih awal dari biasa dan mungkin byungchan harus memesan makanan pesan antar kesukaannya lebih awal dari jam makan malam biasa mereka (yang lebih mirip santapan tengah malam karena jadwal mereka yang sama-sama padat namun masih keras kepala ingin quality time meski sebentar). sayangnya, seungwoo sama sekali tidak memikirkan hal tersebut. di benaknya hanyalah rumah dan ketenangan yang dihadirkan dari sekitaran mereka yang dikelilingi hijau juga rumah mereka yang hangat dan sudah dilapisi wallpaper alih-alih cat-cat lama yang mengelupas.

dari pinggir jalan besar ke rumah mereka sudah ada jalan kecil yang pas untuk lewat mobil seungwoo yang baru dibeli beberapa bulan belakangan. sebuah mobil yang cukup mengagetkan karena seungwoo harusnya lebih dari mampu membeli mobil yang lebih mahal. namun, seungwoo memilih membeli mobil kecil keluaran tahun kemarin-kemarin yang mengingatkannya pada mobil teman yang sering ia pinjam dulu untuk mengantarkan byungchan kemana-mana.

mobilnya terparkir rapi dan seungwoo langsung turun lalu masuk ke rumah. hidungnya menangkap aroma lezat dari arah dapur juga suara-suara desisan khas bumbu-bumbu yang menyentuh wajan panas. tanpa buang waktu, ia langsung masuk ke dapur dan membuat byungchan kaget dengan pelukan tiba-tibanya.

“lho, kak…?”

“kok tumben masak?”

“mumpung aku di rumah dan belakangan kita makannya junk food melulu,” byungchan tertawa. sepasang lesung pipinya dicium oleh seungwoo hingga tawanya semakin lebar. “kakak kok udah pulang.”

“kangen ai.”

“halah,” byungchan mendengus tapi senyumnya tidak bisa berbohong kalau ia menyukai alasan seungwoo. “bukannya katanya ini minggu sibuk?”

“minggu azab,” seungwoo menyurukkan wajahnya pada leher byungchan dan mengecupnya sekilas. byungchan selalu menyemprotkan parfum ke lehernya jadi aromanya menguar dari sana. “seharian nggak ada yang beres.”

“lanjut ceritanya entar boleh nggak?” byungchan bertanya sambil mengelus tangan seungwoo. “bawang putihnya udah jadi bawang hitam.”

untuk pertama kalinya di hari ini, seungwoo terkekeh begitu sadar ia baru saja membuat bawang-bawangan yang ditumis byungchan tidak dapat dikonsumsi lagi.

*

seungwoo rasa ia baru saja mencetak rekor baru mandi tercepatnya. bagai orang kesetanan, ia mandi terburu-buru (dan tak yakin apakah yang ia jadikan sabun tadi betulan sabun bukan shampoo) lalu keluar dan kesenangan ketika melihat byungchan tengah menyalin makan malam mereka ke mangkuk yang hampir tak pernah dipakai (karena mereka lebih senang membeli). bagai tak puas-puasnya memeluk byungchan, seungwoo kembali mendekatinya lalu memeluk byungchan.

“udah.”

byungchan menggerakkan kepalanya untuk mengendus wajah seungwoo. sepasang alisnya bertaut ketika hidungnya menangkap aroma familiar.

“kamu pake sabun aku, ya, kak? sabun kamu bukannya masih ada?”

“tadi buru-buru jadinya mana yang cepet aja, ai.”

byungchan tergelak. “kita nggak diburu-buru waktu. kenapa harus mandi kayak dikejer-kejer waktu?”

“kita ada di rumah dari jam segini dan nggak dalam kondisi setengah mati adalah hal langka. aku nggak bakal nyia-nyiain waktu buat bareng sama kamu lama-lama.”

ekspresi byungchan melembut. “kak, kita punya waktu yang lama banget buat sama-sama, kak?”

seungwoo melonggarkan pelukannya. “oh, ya?” alisnya naik keduanya. “selama apa?”

tangan byungchan bergerak mengelus pipi seungwoo. “selama-lamanya waktu, kak,” jawab byungchan. “sampai semesta bosan.”

“bukan sampai kamu bosan?”

“kasih tahu aku gimana caranya bisa bosan sama kamu,” byungchan memasang ekspresi menantang. “aku sama kamu bukan pas seneng aja. kita pernah beli satu nasi kepal buat dijadiin tiga kali makan diubah jadi bubur. aku muak? enggak. kita pernah tidur pelukan pakai baju berlapis-lapis karena nggak punya pemanas. aku bosan? nggak. kamu pernah nggak pulang karena sibuk di studio. aku bosan?”

byungchan menatap seungwoo lembut.

“nggak pernah, kak.”

(seungwoo rasa di masa lampau, ia pernah melakukan sesuatu sebesar menyelamatkan dunia karena sekarang, di waktunya hidup kini, semesta memberinya seseorang seberharga dunia beserta isinya.)

*

“untung aku ganti sprei tadi.”

seungwoo berhenti menciumi bahu byungchan. “oh, ini baru diganti?”

“kamu nggak ngeh, kak?”

“nggak,” seungwoo meninggalkan kecupan di pipi byungchan. “diganti atau enggak, wanginya tetep wangi kamu.”

byungchan mengulum senyum. “kita pakai pewangi pakaian yang sama. harusnya ini juga wangi kamu.”

“beda,” seungwoo maju sedikit lalu mengendus bantalnya dan byungchan bergantian. “cium deh. wangi bantal kamu sama aku beda, ai.”

“kamu kayak anjing deh ngendus-ngendus gitu.”

“ai wangi.”

“kamu bau.”

seungwoo refleks mundur dan mengendus tubuhnya. melihatnya, byungchan tertawa dan buru-buru menarik seungwoo mendekat lagi. “bercanda, kak. kamu wangi koook.” ucapnya di sela-sela kekehannya. hidungnya ia gesekkan pada hidung seungwoo lalu meninggalkan kecupan pada pipinya. “wangi.”

seungwoo balas mencium pipi kiri byungchan. “ai lebih wangi.”

byungchan mencium pipi kanan seungwoo. “kakak terwangi sedunia.”

“emang udah pernah nyium segala wewangian di dunia?”

“nggak perlu lah,” byungchan tersenyum pongah. “seperti lagu yang kakak tulis buat aku, aku berani bilang aku nggak perlu keliling dunia buat tahu seperti apa dunia dan seisinya.”

seungwoo tertegun. teringat lagu yang pernah ia tulis di malam ketika ia merasa bersyukur sekali karena masih punya byungchan di tengah kehidupan mereka yang sulit. tentang seungwoo yang menjadikan byungchan dunianya setelah ia dengan berani melawan dunia untuk memperjuangkan mimpi-mimpi mereka.

“kamu masih inget lagu itu.” seungwoo takjub. lagu itu bahkan cuma pernah ia perdengarkan lewat petikan gitar dan suara tercekat menahan tangis haru tanpa pernah direkam secara sempurna. “itu udah lama.”

“ingatanku bagus,” byungchan mengelus wajah seungwoo lalu memeluk pinggangnya lebih erat. “apalagi ini lagu buatku. nggak tiap hari aku dibikinin lagu sama orang.”

“nggak boleh ada yang bikinin kamu lagu selain aku.”

“kenapa?”

seungwoo menjawab dengan memegangi ujung dagu byungchan dan mengecup bibirnya lembut. mata-mata bergerak memejam dan byungchan membalas ciuman seungwoo sama lembutnya.

“karena kamu cuma boleh jadi muse aku, ai.”

dan seungwoo menyelesaikan kalimatnya dengan kecupan sayang di kening kekasihnya.

seungchan opposite attract 2.0


“wu, jangan masuk dulu!! bapak masih seragaman!!”

suara berat bapak-bapak teriak diikuti sama omelan ibu-ibu waktu seungwoo buka pager dan ngucapin salam buat ngasih tahu kalau dia baru dateng.

“makanya pulang ngantor tuh langsung ganti baju, pak! bapak, sih, ngeyel kalau dibilangin.”

“si adek kok nggak bilang kalau si uwu mau dateng.”

“malah nyalahin adek! cepetan ganti bajunya!”

seungwoo cuma ketawa miris dengerin teriakan-teriakan dari dalam rumah dan gimana ada suara orang-orang yang lalu lalang buru-buru. tangannya gerak ke kepala terus garuk-garuk walaupun nggak gatel. canggung sendiri karena karena bikin heboh jam segini.

sekitar sepuluh menit kemudian, ibunya byungchan muncul di depan pintu. nyambut dia ramah banget (kayak biasa, bukan hal baru) terus ngegandeng seungwoo buat masuk ke rumah. “si bapak tadi baru pulang terus duduk-duduk dulu masih seragaman di ruang tengah. sekarang lagi mandi kok jadi aman.” pungkas wanita yang selalu bikin seungwoo ngerasa nyaman karena bicaranya yang selalu lemah lembut.

(kalau nggak lagi marah.)

seungwoo ditinggalin bentar sama ibunya byungchan dan ditemenin lagi kali ini ketambahan sepiring pisang goreng sama secangkir teh anget yang wangi melati. ibunya byungchan suka banget teh melati disaat anaknya malah mual kalau dikasih teh. maklum, byungchan penganut kopi hitam garis keras jadi kalau dikasih teh dia ngerasa dihina.

(sumpah, itu kata byungchan bukan karangan seungwoo belaka).

bapaknya byungchan nongol dengan rambut basah dan badan yang semerbak wangi sabun cowok maskulin. seungwoo tahu banget wangi ini soalnya ini sabun yang sama ama yang dipake byungchan. kayaknya sabun keluarga, seungwoo juga nggak tahu. si bapak senyum lebar dan nyapa seungwoo dengan kalimat khasnya yang nggak pernah ganti sejak awal lima bulan mereka ketemu: eh, udah lama? awal-awal seungwoo bingung, sih, soalnya kadang yang bukain pintu tuh si bapak tapi kenapa bapaknya malah nanya ‘udah lama’? kan bapaknya tahu kalau mereka baru dateng? kesini-kesini seungwoo tahu kalau dari dulu, bapaknya byungchan emang begitu jadi dia malah latah nanya ‘udah lama, om?’ waktu sekalinya dia duduk di ruang tamu dan bapak ibunya byungchan baru pulang kondangan.

“si adek belom pulang lho, wu,” bapak ngomong sambil duduk di satu-satunya kursi yang bisa didudukin seorang diri. “kasih tau si adek, bu. ini pacarnya dateng kok dia malah ngelayap.”

“eh, nggak, om. ini emang sengaja saya dateng pas nggak ada byungchan,” seungwoo ngejawab terbata-bata. “saya ada perlu sama om dan tante.”

bapak dan ibunya byungchan saling ngelirik. nggak ada ide kenapa tiba-tiba pacar anaknya yang biasanya kayak maba mau diospek sekarang tiba-tiba dengan gagah berani dateng sendiri.

“ada masalah kalian?”

seungwoo langsung sport jantung waktu nada bicara bapaknya byungchan jadi serius. mirip polisi lagi ngeinterogasi tersangka. ibunya byungchan refleks nepok tangan bapaknya waktu sadar seungwoo jadi berubah kaku denger nada itu.

“kenapa, nak?”

suara lemah lembut ibunya byungchan bikin seungwoo jadi tenang lagi. seungwoo tarik napas dalem-dalem terus dengan berani natap (hidungnya) bapak dan ibu bergantian.

“saya mau izin, om, tante,” suaranya terdengar mantap. “buat minta byungchan jadi pendamping saya.”

*

“a—duh maaf!” byungchan ngakak waktu dia sendawa lagi. seungwoo yang duduk di belakangnya cuma senyum terus lanjut ngerokin byungchan. “jangan kenceng-kenceng.”

“aku nggak kenceng. ini emang kamunya yang lagi masuk angin makanya dipegang aja sakit.”

“merah nggak?”

“pekat. mau aku fotoin?”

“mau, kak.”

seungwoo berhenti ngerokin byungchan buat ngambil gawainya di nakas. dia buka kamera terus motoin hasil karyanya di punggung byungchan buat diliatin ke si empunya punggung. abis itu byungchan ber-whoa-ria waktu ngeliat separah apa punggungnya setelah lupa bawa jaket pas touring ama temen sma sampe malem.

“lain kali masukin cardigan bersih ke tas satu. buat jaga-jaga aja biar kapan pun diajak motoran aman. udah tahu gampang masuk angin kalau kena angin malem.”

“kamu keseringan ngobrol sama ibu, ya? jadinya omelannya satu frekuensi.”

seungwoo ketawa padahal byungchan nggak lagi ngelawak. kalau dipikir-pikir, seungwoo jarang banget ketawa tapi sama byungchan, hal sereceh sambatan byungchan aja bisa bikin dia ketawa.

(emang bucin aja, sih, dianya.)

“pisang kipasnya masih ada?”

“udah diabisin bapak kemarin malem pas main solitaire.”

“oke, besok aku gojekin lagi,” seungwoo ngejawab sambil ngolesin balsem ke punggung byungchan. “udah. ganti bajunya sama yang tebel.” seungwoo elus-elus lengan byungchan terus nyium bahunya. byungchan nengok ke belakang buat nyium rambut seungwoo dan waktu yang lebih tua ngangkat mukanya, mereka tatap-tatapan sambil senyum.

selesai acara kerokan, mereka berdua rebahan di kasur byungchan sambil ngobrol. byungchan cerita soal rekan kerja barunya juga ibu dan bapak yang berantem karena bapak beli kandang burung baru lagi padahal burung bapak cuma satu. seungwoo antara fokus dan enggak karena tangannya sibuk benerin selimut yang nutupin mereka berdua terus mainin rambut byungchan yang udah makin panjang.

“kamu gimana, kak?”

“hm?”

“nggak ada yang mau kamu misuhin gitu?”

seungwoo ketawa. “nggak ada. hidupku menyenangkan aja.”

“boong. kata kak seungsik kamu abis adu mulut sama atasan.”

alis seungwoo keangkat satu. “seungsik laporan?”

“nggak, sih,” byungchan nyengir. “aku yang nanya.”

seungwoo cuma geleng-geleng aja. padahal byungchan bisa nanya langsung tapi emang pacarnya ini suka banget diem-diem nanyain kabarnya ke seungsik. seungwoo paham, sih, soalnya dia bukan tipe yang apa-apa cerita. dibandingin sama byungchan yang terbuka banget, seungwoo emang harus dipancing dulu baru mau buka mulut.

“nggak apa-apa, ‘kan, aku nanya-nanya kayak gitu sama kak seungsik?”

tangan seungwoo ngusap-ngusap lengan byungchan. “nggak apa-apa kok.”

“beneran?”

seungwoo ngangguk.

“syukur deh. akunya nggak enak kalau kesannya jadi kayak nguntit-nguntit.”

“byungchan?”

“ya, kak?”

“liburan, yuk?”

byungchan ngangkat wajahnya biar lebih leluasa ngeliat ke seungwoo. alisnya dua-dua jadi nyatu terus ekspresinya heran banget. “tiba-tiba banget?”

“kamu capek, aku capek. kenapa kita nggak liburan aja?”

“ambil cuti bareng?”

yang bikin byungchan kaget soalnya seungwoo ngegeleng. “nggak. pas weekend aja. kita berangkat jumat pulang ngantor terus balik minggu.”

gini, seungwoo itu adalah manusia yang apa-apa ngomong dari jauh-jauh hari dan segalanya butuh persiapan matang. buat seungwoo tahu-tahu ngajakin liburan, pas weekend pula, kayak bukan gayanya dia banget. bukannya byungchan protes. nggak sama sekali malah. byungchan justru seneng banget bisa liburan berdua seungwoo dan kabur dari realita walaupun cuma dua hari satu malem aja.

“ini kamu serius, ‘kak?”

“kita cari tempat yang deket-deket aja. kamu katanya pengen makan deket pantai? kayaknya ada deh hotel yang view-nya—“

seungwoo kaget banget waktu tahu-tahu byungchan bangun terus niban dia sambil meluk erat-erat. butuh beberapa detik buat ekspresi kaget seungwoo melembut terus tangan-tangan seungwoo gerak buat bales pelukan byungchan yang sekarang bertubi-tubi ngasih dia ciuman plus ucapan terima kasih.

“aku udah bilang belum kalau kamu pacar paling keren sedunia?”

“udah barusan.”

byungchan ngedengus. “itu bukan pertanyaan beneran. nggak perlu dijawab.”

“oh, maaf.”

byungchan ketawa geli denger permintaan maaf seungwoo dan yang diketawain cuma ngulas senyum sayang aja.

(emang dasar bucin.)

*

kerjaan masih kayak setan tapi byungchan udah nggak gitu banyak sambat karena sekarang kerjaannya nyambi sama ngurusin liburan dadakan bareng seungwoo. tiap byungchan bibirnya mencucu karena ngerasa sekantor kayak asu, entah kenapa seungwoo kayak tahu terus nelfon buat diskusiin short escapade mereka berdua. siang ini, misalnya, byungchan baru banting material meeting terus nggak lama seungwoo nge-chat nanya byungchan maunya kamar yang view-nya kolam renang atau pantai.

byungchan langsung adem lagi.

yang paling bikin byungchan senang adalah belakangan pertemuan dia sama seungwoo jadi intens banget. seungwoo selalu nyempetin jemput dia dan tiap pagi kekeuh mau anter byungchan ngantor juga. terus siang-siang byungchan suka diledekin rekan kerjanya gara-gara pulang makan siang udah ada satu minuman dari gerai kopi kesukaannya di atas meja terus kata office boy yang anter, disuruh bilang itu titipan dari ‘mas seungwoo’.

“kok kamu romantis banget sekarang, kak?”

“kemarin-kemarin enggak?”

“iya, sih,” byungchan ketawa dikit. “maksudku, belakangan kamu makin romantis. ada maunya, ya?”

seungwoo jujur jawab “iya” dan diketawain sama byungchan. yang lebih muda mikir mungkin seungwoo bercanda padahal aslinya kata ‘iya’ yang disebut seungwoo punya makna paling jujur yang pernah ada.

byungchan beneran nggak sabar akhir pekan mereka beneran dateng. apalagi seungwoo bilang dia ngambil kamar paling bagus dan dijanjiin byungchan nggak perlu mikir apa-apa selain self-healing buat nyenengin hati.

yang byungchan nggak tahu, di saat dia enak-enakan ngayal soal liburan mereka, ada seungwoo yang ketar-ketir dan kalang kabut karena ngurus banyak hal dalam waktu yang sempit banget.

*

akhir pekan datang terlalu lambat buat byungchan dan dalam satu kedipan buat seungwoo. tahu-tahu mereka sudah ada di penginapan yang di-booking seungwoo, ngeletakin barang sembarangan terus rebahan berjam-jam sambil ngata-ngatain film yang lagi tayang di televisi. kepala byungchan ada di lengan seungwoo dan bibir seungwoo suka banget lama-lama nyiumin aroma shampoo di rambut byungchan yang pada akhirnya nggak kecium lagi waktu byungchan ngegantiin rambutnya pake bibir.

alias ciuman nggak kelar-kelar.

untungnya mereka berdua sama-sama sadar bakal rugi kalau nyampe-nyampe langsung dipake buat bergumul di kasur jadi ciuman mereka cuma sampai sebatas makeout. koper ukuran kecil mereka akhirnya dibuka dan mereka berdua ganti baju yang lebih santai karena mau makan siang di salah satu pondok pinggir pantai.

di saat-saat kayak gini seungwoo bersyukur banget pacarnya lemot luar biasa karena byungchan yang happy dan sibuk haha-hihi sama sekali nggak nyadar kalau dari tadi seungwoo kelihatan agak tegang. mungkin karena biasanya pun seungwoo emang lebih kalem dan byungchanlah yang lebih banyak ‘berkicau’ makanya nggak banyak perbedaan yang terasa. byungchan makan dengan lahap dan seungwoo kayaknya lebih betah buat mindahin ikan yang tulangnya udah dipisahin buat ditaro ke piring byungchan ketimbang menikmati hidangan enak yang bau asapnya aja udah luar biasa bikin laper.

selesai makan, mereka jalan-jalan bentar di sekitar penginapan. banyak toko oleh-oleh yang isinya souvenir dan makanan khas daerah itu berjejer. kebetulan banget siang lagi nggak terik-terik banget jadi bersahabat buat dipake jalan kaki. mereka berdua kayak nggak capek-capek jalan berjam-jam sampe main jadi turis dengan ikutan salah satu rombongan wisatawan yang baru pertama kali ke sana. gandengan tangan dan ngeiyain aja waktu dikira mereka pasangan yang lagi bulan madu (biar dikasih diskon).

sesorean mereka menyenangkan dan sekarang, waktu matahari udah mulai condong ke barat dan siap-siap sembunyi ke ujung horizon lautan, mereka berdua lagi berdiri di pasir yang bikin kaki-kaki mereka bisa kena ombak yang bergulung-gulung sampe ke pinggir. jemari mereka masih bertautan dan byungchan masih nyerocos soal telur gulung enak sama es tebak yang barusan mereka beli di salah satu gerobakan di ujung jalan.

“byungchan?” seungwoo tiba-tiba motong cerocosan byungchan dengan nada serius.

“ya, kak?”

“kamu inget nggak waktu kita telfonan terus kamu nanya kenapa aku tiba-tiba makin romantis?”

byungchan ngeliat ke atas kayak nyari contekan. padahal di atas cuma ada langit jingga yang berubah keabuan karena sebentar lagi dijemput malam. “oh. inget-inget. kenapa?”

“kamu tanya aku ada maunya, ‘kan?”

byungchan ngangguk-ngangguk. “terus kakak jawab iya.”

seungwoo senyum tipis terus ngerogoh sakunya yang lapang. jarinya ngerasain sesuatu yang lembut dan padet di dalam sana.

“aku emang ada maunya,” seungwoo ngeluarin kotak itu dari kantong celananya yang longgar terus ngeliatin ke byungchan kotak beludru yang belum dibuka itu. “ini.”

“kamu pengen kotak cakep?”

seungwoo refleks ketawa walaupun nggak selepas biasa. bisa-bisanya kadar kelemotan byungchan separah ini sampai buat curiga kalau dia lagi dilamar pun enggak.

“bukan, sayang,” seungwoo ngejawab sesabar-sabarnya orang sabar. pake tangannya satu lagi, kotak kecil tadi dia buka buat ngeliatin cincin dari emas putih yang ada di dalam sana. “bagus nggak?”

“wow, bagus.” byungchan terpukau.

“mau?”

byungchan ngangkat wajahnya. sekarang keningnya berkerut makin bingung. “cincin ini? bukannya yang mau tuh kamu, ya, kak?”

“bukan aku yang mau,” seungwoo ngejawab sabar. “kalau kamu mau nggak?”

“ya … mau, sih?”

“kalau emang mau, kita barter aja.”

“barter gimana, kak?”

seungwoo natap byungchan lekat-lekat sambil senyum geli. abisnya pacarnya ini lemotnya beneran total banget sampai hal kayak gini aja dia masih nggak punya prasangka apa-apa.

“aku kasih cincin ini ke kamu dan kamu kasih jawaban iya ke aku.”

byungchan nggak mikir dua kali. “iya.”

“aku belum kasih cincinnya. kok udah bilang ‘iya’?”

byungchan ngakak. “oh, iya. napsu banget, ya, aku?” dia nyengir lebar. “cincinnya cakep. aku suka.”

seungwoo geleng-geleng kepala. jarinya ngeraih tangan byungchan terus digenggam ujung-ujungnya. byungchan refleks ngeliat ke tangan mereka sebelum natap seungwoo lama.

“byungchan, ini cincinnya mau aku kasih. apa pun pertanyaan aku, abis ini jawab iya, ya?”

“iya, kak. tuh udah aku jawab.”

“bukan itu pertanyaannya.”

“oh, maap.”

seungwoo ketawa. “tahu nggak aku pengennya apa?”

byungchan ngejawab yakin. “jawaban iya.”

“memang. tapi tahu nggak pertanyaannya apa?”

“byungchan, ps-nya boleh di apart aku nggak seminggu?”

refleks seungwoo ketawa gede. bisa-bisanya prasangka byungchan ngarah ke sana. “bukan. aku nggak pengen ps-nya kamu, sayang.”

“terus?”

“aku pengennya kamu,” seungwoo nyebut itu dengan satu napas dan intonasi yang mantap. nggak pernah dia seyakin ini soal apa yang dia pengen. “kamu jadi pendamping aku seterusnya.”

satu … dua … tiga …

“kak—“ byungchan tergagap. “ini … aku lagi dilamar?”

seungwoo miringin kepala dikit sambil ngangkat sebelah alisnya. nggak jawab ‘iya’ atau ‘enggak’ tapi nyuruh byungchan yang lemot buat jawab sendiri pertanyaannya.

“ini aku beneran dilamar..” sekarang nadanya lebih mirip pernyataan daripada pertanyaan. byungchan ngeliat cincin di dalam kotak terus ke seungwoo. “kamu serius, kak?”

“buat hal kecil aja aku jarang bercanda apalagi hal besar kayak gini.”

“iya juga.”

byungchan berhenti sampai di sana terus diem. nggak tahu lagi mau ngejawab apaan soalnya masih susah buat dia ngeproses kenyataan kalau dia lagi dilamar dalam keadaan pake celana pendek dan baju kaos yang kena saos ikan bekas mereka makan tadi. byungchan juga pake sendal jepit yang masih berpasir-pasir karena daritadi mereka berdiri di pinggir pantai dan kaki-kaki mereka dijemput ombak berkali-kali.

“jawabannya gimana, sayang?” seungwoo nanya dengan nada lebih lembut. sadar kalau butuh waktu buat byungchan ngeproses sesuatu yang kayak gini.

byungchan ketawa. “ya kali aku nggak mau, kak.”

seungwoo senyum lebar dan ambil tangan byungchan. cincin yang byungchan suka dia sematin ke jari manis terus dia cium lembut jarinya. abis itu kotaknya dia kantongin dan seungwoo nangkup dua pipi byungchan sambil digoyang-goyang gemes.

“kamu tuh—“

“apa?” byungchan ngejawab walaupun bibirnya maju gara-gara pipinya dijepit kayak roti lapis.

seungwoo ngehela napas panjang terus bersuara. kayak lagi ngeluarin beban berat yang ditahan-tahan. tangan-tangannya langsung ngelingkarin badan byungchan dan meluk dia erat-erat. ngegoyangin badan mereka sampe byungchan ketawa-ketawa karena berkali-kali tubuh mereka limbung akibat arus ombak.

waktu mereka selesai, seungwoo ngelonggarin pelukan tapi masih megang sisi-sisi bahu byungchan. pertahanin posisi mereka kayak gitu sambil ngeliatin byungchan lama-lama. senyumnya sama sekali nggak bisa ditahan apalagi waktu pandangannya turun dikit buat ngelirik jari byungchan yang sekarang ada cincinnya.

you look so happy, kak.

you have no idea,” seungwoo ngejawab sambil senyum lebar. “you really have no idea, dek.

*

kalau seharian byungchan udah seneng, sekarang byungchan dua kali lipat lebih seneng. biasanya apa-apa pake tangan kanan sekarang dia sengaja megang gelas dan pose ke kamera pake tangan kiri. sengaja, mau pamer kalau sekarang jarinya udah ada ‘pengikatnya’.

byungchan pikir dia udah dapet hidangan utamanya. yang dia nggak sangka sama sekali, ternyata ada yang bikin dia lebih kaget daripada dilamar.

“cie, udah dilamar.”

“kakak kok di sini??”

bayangin kagetnya byungchan waktu dia baru nyampe restoran buat makan malam sama seungwoo tahu-tahu ada yang nyolek dari belakang dan ngeledek kayak gitu. tahunya kakak sama abangnya yang ganti-gantian ngeledekin byungchan terus ngedorong adeknya buat buru-buru masuk ke dalam restoran. yang bikin byungchan lebih kaget lagi, pas dia masuk ternyata ada orang-orang yang langsung bersorak dan tepuk tangan kayak byungchan abis menang lomba entah apa.

“ibu…? bapak? lho, tante? om? teh?”

di dalam restoran yang di tengahnya disusun meja panjang, ada kedua orangtua mereka plus kakak-kakak seungwoo yang pake baju bagus. sementara mereka berdua cuma pake baju kelewat santai yang udah dipake seharian.

“berhasil, wu?”

seungwoo nyengir sambil ngangguk. “berhasil, om. byungchannya udah ngeiyain.”

“bapak!! namanya seungwoo bukan uwu!!”

“lho, nggak apa-apa, sih, kan lucu. biar akrab. ya, kan, wu?”

seungwoo ngangguk-ngangguk pasrah aja. sama polisi mana berani dia ngebantah.

“tunggu, kok semuanya pada di sini??”

pertanyaan byungchan dijawab ganti-gantian dengan seru. semua dengan nada kemenangan bilang kalau seungwoo ngumpulin mereka semua biar ada di sini dan sebenernya mereka juga ada di penginapan yang sama sejak kemarin. tetehnya seungwoo bilang dia sebenernya kemarin papasan sama mereka berdua tapi untungnya seungwoo cepet ganti arah dan byungchan yang forever nggak peka tentu aja nggak sadar.

“waktu aku tiba-tiba muter bilang mau es tebak itu sebenernya karena di toko yang pengen kamu masukin ada teteh.”

mulut byungchan ngebulet bikin ‘o’ gede. “pantesan! aku udah mikir kok tiba-tiba kamu pengen es tebak padahal biasanya kamu nggak begitu suka es.”

“terus kamu nggak curiga, dek?”

“nggak.”

semua cuma bisa harap maklum aja sama kelakuan byungchan.

pada akhirnya, mereka semua duduk di satu meja dan bercengkrama. saling ngeakrabin diri karena dalam waktu deket, mereka bakal jadi keluarga. byungchan yang emang dasarnya deket sama kakak ceweknya nggak butuh waktu lama buat akrab sama tetehnya seungwoo yang biasanya cuma sempet ketemu bentar dan ngobrol seadanya. abangnya byungchan pun sekarang lagi ngobrol seru sama ayahnya seungwoo yang ternyata satu almamater.

di tengah-tengah hiruk pikuk yang hangat itu, byungchan nengok ke seungwoo di sebelahnya yang ternyata lagi ngeliatin keluarga mereka sibuk masing-masing itu dengan senyum di wajahnya. kelihatan bahagia dan puas banget pokoknya.

“kamu seneng banget, ya, kak?”

“seneng. perjuangan aku seminggu belakangan nggak sia-sia.”

byungchan senyum lebar banget. “aku juga seneng keluargaku bakal makin gede.”

seungwoo ngeliat ke byungchan dengan ekspresi hangat. seneng karena keluarganya diterima baik sama byungchan sebaik keluarga byungchan nerima dia terlepas dari segala kekurangannya. seungwoo genggam tangan byungchan di bawah meja terus ngedeket dikit buat nyuri kecupan cepat di pipi byungchan.

no!” byungchan nahan seungwoo sebelum yang lebih tua berhasil nyuri kecupan kedua (mumpung yang lain pada sibuk sendiri).

“kenapa?”

“ada polisi lho nanti kamu ditangkep.”

ketawa seungwoo yang keras banget bikin semuanya jadi noleh dan bertanya-tanya. waktu byungchan ditanyain, dia cuma nyengir sambil jawab kalau seungwoo lagi bahagia banget makanya ketawa.

well, byungchan sama sekali nggak salah. seungwoo memang sangat bahagia.

*

seungchan

we are so different, but opposites attract, so my hope kept growing, and that I never looked back, you're one of a kind! no one can change this heart of mine.

____

seungwoo dan byungchan paling bangga soal fakta kalau tempat tinggal mereka beneran deket banget satu sama lainnya. kalau byungchan berkoar-koar soal ‘kebetulan yang menyenangkan’ atau ‘takdir’ maka seungwoo si manusia paling realistis dengan kalem dan serius ngejawab ‘efisiensi biaya’.

mereka nggak pernah sengaja milih tempat deketan atau pacaran karena apartemen mereka cuma beda tower aja. aslinya mereka dulu bahkan nggak tahu keberadaan satu sama lain. yah, jangankan beda tower, seungwoo aja nggak tahu kalau ditanya tetangga sebelah kamarnya siapa saking ansosnya. beda sama byungchan yang bahkan tahu kalau anak tetangga yang satu lantai di bawahnya kabur dari rumah karena cintanya dengan pacar sejak smp terhalang restu orangtua masing-masing.

(asisten rumah tangga keluarga itu suka cerita waktu ketemu byungchan di ruang cucian)

seungwoo dan byungchan bukan pasangan dengan cerita bak sinetron remaja yang doyan ditonton kakaknya seungwoo yang jelas bukan lagi remaja. mereka bukan tetangga yang terlibat cinta lokasi karena selalu bertemu (tower mereka memang bersebelahan tapi bertemu tidak sengaja itu hampir mustahil) melainkan sepasang manusia yang pacaran setelah dikenalin teman kantor masing-masing yang iseng nyomblangin mereka berdua karena menurut mereka seungwoo yang kaku bakal pusing kalau dikasih pasangan yang kelewat luwes.

bayangin betapa kagetnya manusia-manusia laknat itu waktu tahu pertemuan pertama seungwoo dan byungchan berlanjut ke pertemuan-pertemuan selanjutnya. seungwoo si kaku ternyata nggak pusing. dia malah kecantol sama byungchan yang nggak berhenti ngomong sama sekali dan dia nggak masalah sama tatapan orang-orang yang bingung ngeliat betapa kontrasnya mereka berdua. bayangin, di kencan pertama, seungwoo nongol dengan baju paling kuno yang lebih mirip bapak-bapak zaman dulu mau interview jadi pegawai negeri sipil dan byungchan mungkin bakal bikin orang percaya kalau dia bilang dia adalah artis yang mau siap-siap syuting.

singkat cerita, mereka jadian di lobi apartemen. di sela-sela tawa mereka berdua waktu nyadar kalau mereka tinggal di lokasi yang sama dan cuma beda tower aja. hari itu kali pertama byungchan akhirnya bersedia dianter sampai ke depan rumah (biasanya dia nggak mau karena katanya terlalu personal) dan seungwoo seneng banget waktu tahu ternyata mereka cuma dipisahin bangunan aja. nggak ada basa-basi atau apa pun, seungwoo ngajak byungchan pacaran karena menurut dia mereka cocok dari segala aspek yang nggak dipahami temen-temen mereka. bayangin aja, byungchan nyetir nyolok kabel aux dan sambungin ke spotify dia buat dengerin lagu selama nyetir sementara seungwoo bakal ribet buka-buka tempat cd buat nyari lagu buat disetel. byungchan bakal heboh nyanyiin lagu-lagu hits yang biasa didengerin anak-anak muda sekarang di tiktok dan seungwoo bakal senyam-senyum waktu suara john lennon atau mick jagger kedengeran dari cd player di mobilnya.

nggak cuma selera lagu aja. bahkan media sosial pun, mereka terlalu beda. seungwoo masih betah ngapdet status facebook dan wasaf story sementara byungchan punya segala media sosial kekinian mulai dari cuitan di twitter sampai instagramnya yang punya puluhan ribu followers meskipun dia sama sekali bukan influencer.

terlalu banyak perbedaan di antara mereka tapi keduanya sepakat kalau opposite do attract.

*

hitungan tahun kebersamaan mereka, seungwoo yakin kalau byungchan emang yang dia mau. makanya waktu mereka udah masuk masa ‘musim kawin’ dimana tiap bentar harus ngedatengin kondangan temen dan mikirin patungan buat kado untuk sahabat-sahabat yang memang deket, seungwoo mikir kalau dia juga pengen nyeriusin byungchan dan mikir ke arah sana.

“aku kepikiran serius.”

byungchan emang supel tapi nggak ada teori yang bilang orang supel nggak lemot. “kamu selalu serius nggak, sih, kak?”

“bukan yang begitu,” seungwoo berhenti bentar buat ngecek spion. mereka abis dari kondangan temen kantor seungwoo dan lagi menuju apartemen setelah hari ini harus ngehadirin tiga kondangan di tempat yang jauh-jauhan. kemeja byungchan udah kebuka kancingnya dan pendingin mobil dinyalain paling kenceng sementara seungwoo masih rapi ngancingin batiknya ampe atas. “ini soal masa depan.”

“ditawarin mutasi buat promosi?” byungchan kipas-kipas lagi. seungwoo nggak bercanda waktu bilang byungchan kayaknya cocok tinggal di kutub.

“bukan. ini soal pernikahan.”

byungchan berhenti kipas-kipas terus ngeliat seungwoo yang lagi nyetir.

“mau buka bisnis wedding organizer?”

see? bahkan ketika seungwoo udah sefrontal itu, byungchan bisa-bisanya masih nggak ngeh.

“bukan, dek. maksudnya kita,” seungwoo ngejawab dengan super sabar. dua tahun pacaran ama byungchan bikin kesabaran dia jadi terlatih banget. “kita nggak pengen serius apa?”

byungchan ngerjap bingung. “bentar. kakak pengen nikah sama aku?” “iya, itu maksudnya,” seungwoo dehem dikit. tiba-tiba grogi sendiri karena berhadapan ama pacarnya yang agak lemot. “kita udah dua tahun pacaran dan umur udah segini. kepikiran aja pengen seriusin kamu.”

“sekarang banget, kak?”

seungwoo hampir ngerem mendadak. ekspresinya terluka. “kamu nggak mau?”

“kalau sekarang aku belum bisa.”

“oh,” seungwoo sampe kehilangan kata-kata. syok karena nggak nyangka bakal dapet penolakan. “oh. oke. harusnya aku diskusiin dulu sama kamu, ya? nggak tiba-tiba pede ngajakin gini. maaf kalau bikin kaget.”

berbanding terbalik ama seungwoo yang mukanya mendung dan ditekuk-tekuk, byungchan ngakak nggak tahu diri. tangannya reflek mukulin lengan seungwoo sampe yang lebih tua refleks nyengkram setir biar itu mobil nggak tiba-tiba keluar jalur. “ya elah, kak! serius banget!”

seungwoo ngernyit. “ini masalah serius.”

i know,” byungchan ngulum senyum. “nggak ada yang bilang nikah tuh perkara bercanda. aku juga tahu ini tuh serius. maksud aku adalah, respon kakak terlalu serius. aku tuh bukannya nggak mau nikah sama kakak dan kaget karena tiba-tiba kita jadi bahas ini. maksud aku sekarang belum bisa tuh, kakak kan tahu aku nggak bisa multitasking, nah, buat sekarang isi kepalaku tuh penuh dengan pindahan.”

“pindahan?” seungwoo akhirnya noleh waktu lampu berubah merah. ekspresinya murni kaget karena dia belum denger soal ini sama sekali. “kamu mau pindah? kenapa? kemana?” tanpa tedeng aling-aling dia langsung bombardir byungchan sama pertanyaan-pertanyaan.

“aku belum sempet bilang. tahu harus pindahnya juga baru kemarin,” byungchan ngehela napas berat. “bapak dipindahtugaskan lagi. sekarang balik ke kota ini dan bapak maunya keluarganya ngumpul semua. aku disuruh balik ke rumah, kak. udah sekian tahun nggak pernah tinggal sama bapak ibu karena kerja sekarang tuan dan nyonya besar bertitah aku mesti sama mereka selagi belum nikah. maklumlah, gini-gini aku kan bungsu juga kayak kakak.”

seungwoo senyum. mereka emang suka diketawain (semi disumpahin?) sama temen-temen deket mereka karena katanya sesama anak bungsu pacaran kemungkinan putusnya tinggi. sama-sama manja dan egois, begitu kata teman-teman mereka. seungwoo bilang dia kurang senang digeneralisasi cuma karena pengalaman buruk orang lain dan byungchan cuma ketawa ketiwi aja karena menurut byungchan, seungwoo nggak kayak anak bungsu kebanyakan. cowok kelewat serius dan kaku macam seungwoo? manja?

byungchan ketawa sendiri ngebayangin ketiadaan korelasinya.

kembali ke topik awal, seungwoo berhenti mempermasalahkan byungchan yang nggak cerita dan setelahnya nawarin bantuan. byungchan bilang pindahannya bakal dilakukan bertahap dan rumahnya udah ada. byungchan sebut satu nama kompleks perumahan asing dan seungwoo cuma iya-iya aja. katanya rumahnya kosong dan tinggal diisi. ibu dan ayah byungchan bakal pindah dua bulan lagi dan byungchan disuruh mulai pindahin barang-barang di apartemennya dari sekarang ke rumah mereka.

mereka janjian buat mulai nyicil pindahin akhir minggu depan. buat minggu depan, mereka sepakat buat mangkir dulu dari kondangan hopping yang selalu mereka lakuin tiap akhir minggu.

*

seungwoo jemput byungchan ke apartemennya pake celana jeans santai dan kemeja lengan pendek kasual. byungchan udah bilang seungwoo harusnya pakai baju kaos aja tapi ini adalah seungwoo: manusia yang apapun okasinya, kemeja adalah jalan ninjanya.

mereka berdua bawa kotak-kotak yang isinya beberapa barang yang bisa dibawa dulu ke rumah baru byungchan dan keluarganya. nggak lupa nyapa beberapa penghuni apartemen yang mereka temuin di sepanjang koridor—byungchan nyapa, seungwoo nganggukin kepala. kontras banget pokoknya. mobil seungwoo ada di parkiran basement dan mereka turun ke sana pake lift dan bikin orang batal mau masuk lift yang sama karena kotak-kotak itu.

perjalanan dari apartemen ke kompleks perumahan baru ternyata nggak jauh. pake mobil udah sama macet-macetnya segala butuh waktu setengah jam aja karena ternyata ada jalan pintas yang bikin jarak mereka nggak sejauh itu. kompleksnya ketat. karena di postnya aja dijaga sama keamanan baju hitam-hitam pakai senjata berempat orang. seungwoo jadi mikir, apa ini kompleks orang kaya banget?

sebenernya keluarga byungchan sekaya apa, sih? seungwoo jadi ngebatin. seungwoo tahu byungchan kaya dari pakaian-pakaiannya yang lebih banyak branded daripada enggaknya. di awal kedekatan mereka dulu, seungwoo belajar kalo byungchan hapal tempat makan fancy tapi beneran clueless kalau ditanya suka pecel ayam dimana. seungwoo pikir dia anak sultan tapi byungchan bilang ibunya aja yang strict karena waktu kecil byungchan mudah sakit.

“nah, itu! yang pagernya putih tembok depannya item!” byungchan berseru nunjuk rumah barunya. halamannya rumputnya panjang-panjang dan gersang. belum dihiasi tanaman apa-apa. bahkan pagernya masih bau cat tanda baru banget dipoles sebelum mereka dateng. byungchan beneran excited banget pokoknya. dia turun buka pager, ngemaki waktu catnya nempel di telapak tangan tapi tetep aja lanjut buka pagar pake tangan kosong. mobil seungwoo diparkir di carport yang lantainya dikasih keramik juga terus mereka nurun-nurunin kotak yang dibawa bergantian.

dalemnya masih kosong tapi udah ada banyak kotak-kotak yang tersegel di sana. ada lambang ekspedisi luar kota di atasnya bikin seungwoo tahu kalau keluarga byungchan pun udah mulai nyicil pindah. seungwoo yang banyak akal tadi sengaja bawa sapu dan tangkai pel karena tebakannya rumah itu bakal sangat berantakan. bener aja, baru sampe aja mereka disambut lantai yang ditutupi pasir-pasir dan kertas koran yang nggak dibuang sama tukangnya. byungchan ngomel-ngomel. sebel sama tukang yang kerjanya nggak rapi.

“ya udahlah, kita aja yang rapiin.” seungwoo berujar kalem. dia ambil keranjang rotan di halaman terus mungutin lembaran-lembaran koran dan sampah lainnya di sana. byungchan akhirnya ngikut, bikin seungwoo ngulum senyum karena akhirnya pacarnya berhenti ngomel.

mereka bagi tugas. seungwoo pastiin dulu byungchan pake masker (dia nggak mau byungchan alergi debunya kumat) terus nyapu ruang tengah biar mereka bisa berkegiatan di sana sementara byungchan ngelap barang-barang dalam kardus yang mau dikeluarin. ada elektronik-elektronik kecil juga pajangan yang ada di sana. juga satu kardus besar isi perabot rakitan yang baru dibeli ibunya lewat jasa daring. byungchan ngomel lagi dan seungwoo nepuk kepalanya sambil bilang dia ngerti cara ngerakitnya.

mereka kerja sambil ngidupin playlist dari spotify byungchan. isinya satu kumpulan lagu gabungan lagu kesukaan byungchan sama seungwoo. makanya nggak usah heran kalau dari doja cat yang genit-genit tahu-tahu lagunya jadi pindah ke the beatles. pas doja cat seungwoo ngernyit pas the beatles byungchan nguap-nguap.

cuma tetep aja mereka dengerin dan nggak komentar jelek tentang selera satu sama lainnya.

selesai nyapu dan ngepel, seungwoo gabung buat duduk bersila di ruang depan sama byungchan. ketawa dikit waktu liat muka byungchan yang kesel nyoba ngerakit rak buat pigura dan pajangan-pajangan ibunya. saking gemesnya seungwoo ngerangkul byungchan terus nyium puncak kepalanya kegemesan. tangannya juga langsung ngacak-ngacak sayang rambut byungchan. “what are you gonna do without me, dek?

nothing. makanya jangan kemana-mana kalau nggak aku bisa spaneng terus.”

seungwoo ketawa lagi terus ngambil alih bagian rakit-rakitan. nggak butuh waktu lama buat seungwoo ngerakit bagian-bagiannya dan byungchan inisiatif nyetop tukang es yang lewat depan rumah terus beliin mereka berdua masing-masing semangkok.

berhasil ngerakit, seungwoo naro rak rakitannya di spasi yang ditunjuk byungchan. abis itu mereka berdua saling bantu nyusun pajangan-pajangan kaca yang bisa dipastiin punya ibunya byungchan. semua baik-baik aja sampai kotak kesekian dibuka dan udah waktunya nyusun pigura ke bagian rak yang ditunjuk byungchan.

seungwoo langsung beku waktu tangannya ngeluarin pigura berukuran sedang yang isinya foto keluarga byungchan lengkap: ayahnya, ibunya, kakak perempuannya, kakak lelakinya, terus byungchan. dari bentukannya kayaknya ini waktu byungchan kuliah alias beberapa tahun lalu. cuma bukan masalah byungchan yang senyum ganteng dalam balutan jas resmi yang bikin seungwoo nge-freeze.

bapaknya lho.

“byungchan—“ seungwoo sampe terbata-bata. “bapak kamu—“

“kamu kenapa tiba-tiba mau gombalin aku, kak?” byungchan keheranan. dia sering denger gombalan kayak gitu di tv sama yutub. ‘hei, bapak kamu pencuri, ya? soanya kamu nyuri hati aku.’ semacam itu. makanya kaget juga dia seungwoo nggak ada angin nggak ada hujan ngelempar kalimat begitu.

“bukan! ini aku beneran mau tanya soal bapak kamu, dek,” seungwoo nelen ludah. “bapak kamu bukannya pebisnis, ya? punya rumah makan sunda yang cabangnya ada di enam kota?”

“iya, kak. kenapa?”

“i-ini—“ seungwoo ngeliatin foto yang ujung-ujung piguranya dia pegang erat-erat. “kok bajunya polisi?”

bahkan nyebut kata ‘polisi’ aja bikin seungwoo merinding.

“oh, iya. bapak tuh pejabat kepolisian. rumah makan mah bisnis sampingannya.”

seungwoo sampai nggak sanggup berkata-kata. telinganya kayak denger petir nyambar di siang bolong. matanya nggak sekalipun beranjak dari foto bapak byungchan kumisan dengan seragam polisi lengkap natap kamera tanpa senyum. sebuah perkara yang seungwoo nggak pernah tahu sampai beberapa menit lalu.

here is a thing: seungwoo dari kecil paling takut sama polisi. salahkan kakak-kakaknya yang doyan ngancem dia mau ditangkep polisi kalau nggak mau ngabisin makanan atau main di luar nggak mau diajak pulang. dikit-dikit ‘kakak telfon polisi, ya, biar adek ditangkep??’ terus seungwoo bakal nangis meraung-meraung ketakutan. imbasnya? sampai gede pun seungwoo tetep takut sama polisi. bahkan pernah di suatu waktu seungwoo sampai kena masalah gara-gara pas razia surat-surat kendaraan, seungwoo kaku banget dan pucet pasi sampai dia dipinggirin dulu karena mau diperiksa lebih lanjut. para petugas jadi curiga seungwoo nyembunyiin sesuatu sampai dia diinterogasi sekian jam. seungwoo akhirnya dilepas waktu sejun, temen akrab seungwoo yang juga polisi dan jadi satu-satunya polisi yang nggak seungwoo takuti, dateng ke tempat kejadian dan bantu jelasin soal kondisi teman akrabnya itu. para polisi yang ada di sana sampai tertawa terbahak-bahak dan dengan ramah minta seungwoo buat nggak takut tapi tetep aja tepukan-tepukan keras di punggung bikin seungwoo mendingin dan berakhir deman tinggi tiga hari.

ketakutan seungwoo serius dan dia nyimpen rapat-rapat soal ini dari byungchan. alasannya? sepele. dia nggak mau keliatan lemah dan konyol di depan pacarnya. seungwoo beneran terbiasa banget jadi andalan byungchan jadi dia nggak bisa aja gitu kalau ketauan punya ketakutan sekonyol ini.

dua tahun lebih dan byungchan nggak pernah tahu soal ini.

*

balik lagi ke persoalan ketakutan seungwoo dan fakta kalau calon mertuanya adalah ketakutan terbesarnya, terlepas dari penemuan terbaru itu, seungwoo tetep nggak ngomong ke byungchan. sisa hari bantuin byungchan bikin dia susah fokus dan berkali-kali byungchan heran banget soalnya seungwoo banyak bengong hari itu. byungchan sampe maksa seungwoo buat gantian nyetir karena dia pikir seungwoo kecapean banget abis disuruh jadi tukang pindahan dadakan.

seungwoo juga cerita ke temen-temennya waktu mereka ngumpul buat main ps bareng pas weekend.

“lah, kok bisa lo nggak tau kalau bokapnya byungchan polisi?” sejun nanya sambil mencet joystick dengan penuh semangat. matanya fokus ke tv dan badan gedenya gerak-gerak berusaha nyikut chan sampe yang disikut mencak-mencak karena usaha curangnya sejun.

“waktu gue nanya bapaknya kerja apa dia bilangnya punya rumah makan. ya mana gue tau kalau bapaknya kerjanya banyak!” seungwoo ngehela napas berat. tangannya sibuk milihin bawang goreng di dalam toples kacang tojin mamanya chan. sisa lebaran yang nggak abis-abis.

“lo nggak nanya gitu kenapa dia nggak jawab polisi?” chan ikutan nanya. kepo juga dia sama drama percintaan semi lenong seungwoo dan byungchan. “soalnya biasanya orang kalau bapaknya polisi kan bangga. ini udah polisi, pejabat pula.”

“bapaknya pernah masuk tv pas kasus gede.” sejun nimpalin lagi. “gue pernah ketemu bapaknya byungchan pas ulang tahun polri terus merinding cuy. bapaknya yang siul-siul maen burung di rumah berubah jadi atasan yang auranya serem banget di lapangan.”

“lo pernah ketemu di rumah emang?”

“pernah waktu bokapnya berkunjung ke byungchan. gue lagi nebeng kencing eh ada bapaknya.”

seungwoo bingung. “emang byungchan punya burung?”

“punya dong. kan dia cowok tulen.”

butuh beberapa detik buat seungwoo sadar kalau sejun jelas melenceng dari konteks hingga ia menggulung kertas bekas gorengan dan melemparkannya pada sejun. yang dilempar tertawa terbahak-bahak sambil menjelaskan kalau bapaknya byungchan baru membeli burung dan membawanya ke tempat byungchan untuk kemudian dilepaskan saat orangtuanya kembali ke kota tempat mereka berdomisili.

orang kaya memang aneh. pikir seungwoo. nggak berani ngomong langsung karena sejun punya tendensi buat bocor dan ngerusak silaturahmi orang.

mereka lanjut ngobrol sambil main sampai akhirnya handphone seungwoo bunyi dan caller id nunjukin kalau yang nelfon itu hanse, temen seungwoo yang juga sahabatnya byungchan. waktu seungwoo ngelirik jam dinding nggak berasa udah jam sembilan malem jadi seungwoo pikir ini mungkin byungchan yang baterai hp-nya abis dan mau ngabarin kalau dia udah pulang.

ternyata beneran hanse.

“lho? kenapa, se?”

seungwoo langsung berdiri dan pamit buru-buru ke chan sama sejun waktu panggilannya berakhir. chan tanya ada apa karena seungwoo ekspresinya beneran datar banget tapi gerakannya buru-buru.

“byungchan mabok.”

chan bengong sama informasi singkat yang dikasih seungwoo terus dia refleks nengok ke jam dinding. lucu, sih, kedengerannya. jam segini udah mabok dan kalau seungwoo sampe ditelfon, berarti maboknya cukup parah, ‘kan?

“jam segini?” chan masih masang ekspresi super bingungnya. “kok bisa?”

seungwoo ngehela nafas panjang. “dia salah ambil minum. dia kira sprite.”

chan dan sejun bukannya kasihan malah ngakak nggak kelar-kelar. menurut mereka hidupnya byungchan sama seungwoo udah kayak komedi situasi yang bakal laku kalau dijual di televisi. seungwoo cuma ngedengus terus pamit ke mamanya chan sebelum cabut dari rumahnya. untung aja hari ini seungwoo nggak pake motor ke rumah chan karena emang tadi siang agak mendung. kalau sekarang dia pake motor, gimana caranya dia mau bawa byungchan yang mabuk berat pulang ke apartemennya?

seungwoo nyetir mobilnya agak ngebut. berusaha nyampe ke tempat reunian secepet yang dia bisa sebelum byungchan makin ngaco. seungwoo selama ini selalu ngewanti-wanti pacarnya itu buat nggak minum banyak kalau lagi nggak sama dia karena emang byungchan punya kebiasaan mabuk yang agak aneh. mood swing parah dan jadi super clingy. gimana caranya seungwoo nggak sakit kepala waktu pertama kali dia tahu, dia harus nahan sabar ngeliat byungchan ngelendot ke sejun sambil bilang dia sayang banget sama sejun yang notabene temen akrabnya seungwoo dari sd.

(padahal yang sejun lakukan cuma ngambilin byungchan minum yang udah ada di atas meja terus byungchan langsung ngerasa sejun adalah orang yang paling sayang dia sedunia.)

seungwoo nyampe lima belas menit kemudian di depan salah satu restoran yang seungwoo yakin harganya cukup mahal. nggak kaget, sih, soalnya byungchan kan sekolahnya dulu swasta dan memang uang sekolahnya satu semester aja setara sama uang kuliah seungwoo empat semester. sejujurnya kalau nggak mikirin byungchan mabok mungkin seungwoo malu kali, masuk ke tempat gini pake baju seadanya. bayangin pake cargo pants ama baju kaos berkerah dan diliatin pelayan yang buka pintu ketika pelayannya pake jas. seungwoo jadi kelihatan kayak tukang parkir.

“mau jemput aja.” seungwoo ngejawab (sok) santai padahal aslinya malu juga diliatin atas sampe bawah. untungnya nggak lama dari jauh ada suara hanse manggil namanya dan seungwoo buru-buru masuk ngikutin hanse. udah lupa kalau dia harus ngelewatin meja panjang yang isinya orang-orang pake baju formal dan dia beneran pake baju santai plus bau rokok.

peduli setan sama perkataan orang karena di kepala seungwoo cuma ada khawatir karena byungchan udah tidur nelungkup di atas meja. kepalanya disembunyiin di antara lengannya terus byungchan ngerengek-rengek nggak nyaman. beberapa temen di sekitarnya ngetawain dan langsung diem waktu seungwoo ngelemparin lirikan tajam ke orang-orang itu.

“byungchan,” seungwoo nyentuh dua lengan byungchan dari belakang setelah ngambil jasnya yang disampirin ke kursi. “pulang, yuk?”

byungchan refleks ngangkat kepala dan senyum lebar banget waktu lihat ada seungwoo lagi berusaha ngangetin dia pake jas. lengan-lengan byungchan refleks ngerangkul leher seungwoo sampe dia ketarik dan batuk-batuk karena daripada dirangkul, byungchan lebih mirip ngajak dia gulat.

“saaaayang?”

“iya. ayo, pulang!” seungwoo ngerespon kalem.

“ih, baiknyaaa!” byungchan narik leher seungwoo terus nyium basah pipinya. ekspresi seungwoo bahkan nggak berubah sedikit pun. terlalu terbiasa ngadepin kayak gini. “liat deh! pacar aku paling baaaaa—“

seungwoo pikir byungchan udah nggak bisa lagi diajak kooperatif jadi byungchan segede itu dia gendong dan seungwoo dengan ekspresi datarnya pamit ke temen-temen byungchan yang takjub ngeliat pemandangan barusan. seungwoo gendong byungchan mirip kayak kuli lagi ngangkut semen sampe satu restoran agak hening karena ngeliatin pemandangan langka itu tapi seungwoo nggak peduli. hanse yang ngekor bantuin seungwoo buka pintu dan masukin byungchan dengan selamat sentosa ke dalam mobil.

“ayang mau goodnight kiss!” byungchan ngerengek nggak tau diri padahal ada hanse di sana. matanya udah merem melek karena seungwoo yakin dia ngantuk.

“masih jelek aja ini orang maboknya.” komentar hanse.

“makasih, ya, se, udah ngabarin kondisi byungchan.”

“gue nggak siap dipeluk-peluk jerapah, kak,” hanse ngehela napas. “makasih udah dateng, ya, kak.”

“ayaaaang~”

hanse ngelirik hina ke arah sahabatnya. “sejak kapan kalian panggilannya jadi jijik gini?”

“dia mabuk. kami nggak manggil begitu.” seungwoo dengan kalem menimpali. “sekali lagi makasih, ya, hanse.”

“sama-sama—“

“ayaaaang!”

seungwoo ngehela napas. “bentar, ya, se,” terus nunduk buat masukin setengah badannya ke mobil. hanse bengong ngeliat seungwoo beneran ngabulin permintaan byungchan dengan nyium keningnya terus bilang ‘good night’ sambil ngelus kepala byungchan sampe tidur.

“kak, kamu lebih mirip baby sitter nggak, sih, ketimbang pacar?” hanse nanya waktu seungwoo selesai ‘boboin’ byungchan.

seungwoo senyum dikit. “nggak apa-apa. udah biasa.”

hanse pengen ngeledek om-om kaku di depan dia ini tapi ngerasa aneh kalau harus mengeluarkan kata-kata ‘bucin’ ke beliau jadi dia diem aja.

*

seungwoo gendong byungchan ke apartemennya di punggung setelah nyampe parkiran dengan bantuan orang lewat buat posisiin pacarnya itu ke punggungnya. dengan telaten dia rebahin byungchan ke kasur, bukain sepatu dan gantiin bajunya susah payah (karena byungchan kalau tidur kayak kayu hasil ilegal logging) terus nyiapin air dan obat sakit kepala buat ditaro di nakas samping tempat tidur. nggak lupa dia selimutin byungchan dan bisik kalau besok pagi dia bakal dateng lagi buat ngecek (walaupun nggak guna karena byungchan tidur pulas banget).

waktu seungwoo lagi selimutin byungchan, tahu-tahu hpnya byungchan bunyi. seungwoo biasanya nggak ganggu gugat hp byungchan karena terlepas dari mereka yang punya hubungan, seungwoo dan byungchan tetap saling menghargai privasi masing-masing. hanya saja caller id menunjukkan nama ‘ibu💛’ dan panggilan sudah tiga kali masuk secara beruntun. pertimbangannya seungwoo, kayaknya ini penting dan ibunya byungchan bisa khawatir kalau sampe besok pagi telfonnya nggak diangkat-angkat. makanya di panggilan masuk keempat, seungwoo dehem-dehem terus ngejawab telfonnya.

“halo?”

diem di seberang sana terus ada suara dehem yang bikin seungwoo beku di tempat. suara dehemnya sama sekali nggak kayak ibu-ibu karena berat dan seratus persen diyakini si empunya suara pasti bapak-bapak. nggak butuh waktu lama buat kepala seungwoo munculin gambar bapak-bapak tanpa senyum dan berkumis yang dia temuin minggu kemarin dan ujung-ujung jari seungwoo tahu-tahu berubah dingin.

”siapa ini?”

seungwoo gelagapan. terbata-bata dia ngerespon sampe suaranya agak parau. “e-eh, malam, om. s-saya seungwoo temannya byungchan.”

diam agak lama sebelum suara berat dengan nada tegas kembali bikin seungwoo harus duduk di lantai buat nenangin diri plus ngejaga biar dia nggak jatuh.

”mana byungchan?”

seungwoo pusing. perutnya berasa diaduk-aduk. sama byungchan pas pertama kali mereka ciuman juga bikin seungwoo berasa diaduk-aduk tapi nyenengin. sama bapaknya? seungwoo berasa lagi digantung terbalik di atas wahana halilintar.

(pengen muntah.)

“b-byungchan kurang sehat, om,” seungwoo pikir lebih aman buat bilang byungchan kurang sehat daripada langsung ngasih tahu anaknya mabok karena salah ambil gelas. “udah tidur. m-maaf hpnya saya jawab soalnya panggilannya udah berkali-kali. t-takut penting.”

di seberang sana hening lagi terus ada dengusan yang bikin seungwoo berasa terbang ke ujung dunia (lebaynya gitu). beruntung, bapaknya byungchan nggak nanya lebih jauh dan sekarang langsung ngomong ‘terima kasih’ lalu nutup telfon. seungwoo? merosot makin jauh dan nggak sanggup berdiri sampai setengah jam ke depan.

interaksi pertamanya dengan bapaknya byungchan bahkan tanpa tatap muka tapi dia sudah babak belur seperti ini. apa kabar kalau dia ketemu beneran?

(seungwoo ngeri dia mati di tempat.)

*

“semalem ibu nelfon, ya, kak?”

seungwoo nongol lagi di apartemen byungchan agak siangan. waktu dia nyampe, byungchan baru bangun dan nggak sanggup bangun sendiri jadi seungwoo tanpa diminta langsung bopong dia ke kamar mandi. badan byungchan agak anget dan kata byungchan seungwoo dingin banget. seungwoo nggak jawab karena dia rasa nggak lucu kalau dia jujur bilang sejak ditelfon bapaknya byungchan semalam, dia berasa hipotermia.

“bapak kamu, sih,” seungwoo berusaha banget buat kalem walaupun dia gemeter lagi ngebayangin insiden tadi malem. “kubilang kamu kurang sehat terus telfonnya dimatiin.”

“bilang aja aku mabok, sih, kak. bapak sama ibu tahu anaknya nggak bisa minum banyak,” byungchan ketawa. “mereka tuh santai sama ginian.”

mereka santai, guenya semalem melantai. batin seungwoo nelangsa. semalem rasanya kayak neraka dan byungchan yang pules tidur mana tahu derita seungwoo semalem.

“aku kan nggak tahu. daripada salah-salah ngomong.”

“ututu, considerate banget,” byungchan mainin jarinya buat gelitikin bawah dagu seungwoo yang kasar karena belum sempet cukuran. seungwoo yang diperlakukan kayak anjing cuma diem aja dan nggak bereaksi apa-apa. tangannya tetep telaten nusuk-nusuk telapak kaki byungchan. lagi refleksi biar mual sama pusingnya byungchan cepet ilang. “aaa—jangan kekencengan nusuknya, kak!”

“nggak kenceng. emang titik pencernaannya bermasalah.”

“kamu kok jago mijet, sih, kak?”

“nasib anak terakhir. disuruh mijetin mama sama teteh-teteh.”

byungchan ketawa. kebayang seungwoo si anak bontot, satu-satunya cowok pula, dijadiin kacung keluarga.

seungwoo berhenti gerak waktu hp byungchan bunyi dan tahu-tahu si empunya hp dengan riang gembira nyaut “ibuuuu!”

byungchan nggak nyadar sama sekali gimana tangan seungwoo berhenti neken-neken telapak kakinya. nggak nyadar juga pacarnya cuma bisa natap kosong ke arah byungchan yang lagi ngobrol seru sama ibunya karena isi kepalanya cuma gambar bapak-bapak berkumis nggak senyum dalam balutan seragam polisi.

“yang ngangkat telfon semalem? oh, kak seungwoo? oh, iya, bu. pacarnya aku itu.”

waktu namanya disebut, seungwoo ngedip-ngedip susah payah ngumpulin nyawanya balik ke badan. abis itu dia melotot waktu nyadar byungchan dengan santainya ngakuin dia pacar sementara semalem dia bilang kalau seungwoo adalah temen karena takut bakal ada kericuhan.

nyawa seungwoo berasa lepas dari badan waktu byungchan tahu-tahu ngasih hpnya dan bilang:

“kak, ibu pengen ngobrol sama kakak.”

oke, kalem. ibunya bukan polisi dan kelihatannya ramah. sadar, seungwoo. buruan sadar!! seungwoo marahin dirinya sendiri biar nggak melayang-layang karena ketakutan sendiri ngebayangin orangtua byungchan. tangannya dingin dan keringetan waktu nerima hp byungchan dan seberapa banyak pun dia dehem-dehem, suaranya tetep parau waktu bilang ‘halo, tante.’

ketakutan seungwoo agak berkurang waktu dia disambut suara keibuan yang dengan ramahnya bilang makasih karena udah jagain byungchan. ibu itu bilang byungchan sering cerita soal seungwoo tapi nggak pernah ngeiyain tiap ibunya minta seungwoo dibawa ke rumah sesekali.

”nah, nanti kalau tante udah pindah ke sana, kita makan malem bareng, ya, woo?”

seungwoo gemetar. prospek makan malam bareng di kepalanya adalah meja panjang sekian kursi dimana dirinya duduk di pojok terujung dan bapak berkumis dengan seragam polisi duduk di ujung seolah sedang menyidangnya. bayangan makanan lezat di atas meja tersaji namun tak satu pun sanggup ia telan karena tekanan tak kasat mata membuat perut seungwoo bergejolak tak nyaman.

ia tak siap harus makan satu meja dengan polisi.

”seungwoo? halo? nggak kedengeran, ya, suara tante?”

“kedengeran, tante,” seungwoo berusaha kelihatan biasa-biasa aja walau sulit. di saat kayak gini, seungwoo bersyukur byungchan nggak peka dan lemot karena orang biasa pasti paling nggak bakal mikir seungwoo sakit karena mukanya pucat dan dia keringet dingin. “o-oke tante. maybe next time.

seungwoo bahkan udah nggak ngeh ibunya byungchan di sisa obrolan mereka ngomong apa karena dia cuma “iya hehe iya hehe” sepanjang itu. waktu akhirnya panggilan berakhir, seungwoo kayak abis diospek dan dikata-katain sementara byungchan mukanya berbinar-binar sambil ngomong,”aku seneng banget kakak bisa akrab sama ibu.”

your mom is fine. i’m not sure about your father. batin seungwoo sambil maksain senyum biar byungchan nggak nyadar kalau sejak tadi pacarnya lagi pergulatan batin.

*

temen-temennya bilang seungwoo harus jujur sama byungchan dan berhenti masang persona sok keren dan nggak takut apa-apa karena ketakutannya seungwoo itu masalah serius. walaupun menurut seungwoo itu konyol banget, seungsik bilang ternyata banyak juga yang punya ketakutan sama polisi karena dari kecilnya suka ditakut-takutin.

“kalau gue nggak salah namanya ‘police anxiety’. nggak salah apa-apa pun tetep ketakutan tiap liat polisi.”

“gue liat seragam doang takut, sik.”

seungsik sampe bingung ngadepinnya gimana. seungwoo lulusan psikologi harusnya tahu harus ngapain. paling nggak begitu menurut seungsik. tahunya sampe detik ini seungwoo tetep nggak tahu harus gimana ngadepin ketakutannya.

ketakutan seungwoo makin menjadi-jadi waktu suatu hari byungchan nongol di apartemennya dengan senyum lebar. ngelendot ke seungwoo yang lagi nonton netflix udah sebelas dua belas mirip koala.

“kamu mau apa?”

byungchan nyengir. seungwoo tahu banget kelakuan byungchan yang kalau dateng-dateng mendadak manja berarti dia ada maunya. seungwoo ngomong bahkan dengan nada datar dan matanya nggak sekalipun beralih dari televisinya.

“aku males nyetir, kak.”

“oh.” seungwoo ambil remote terus nge-pause filmnya. “mau pergi sekarang?”

seungwoo nggak pernah bilang enggak sama byungchan. cuma pernyataan byungchan malas nyetir aja udah cukup buat seungwoo tahu kalau dia minta disetirin.

“belum. pesawatnya jam enam nanti. kita berangkatnya jam lima aja.”

seungwoo diem bentar. “mau jemput siapa ke bandara?”

“ibu!” byungchan berseru senang. “tahu nggak, kak? ibu barusan telfon aku. tahu-tahu ngabarin mau ke sini ngasih kejutan. ibu bawain makanan banyak juga pokoknya kita nggak bakal—kak?”

byungchan bingung banget waktu seungwoo tiba-tiba keliatan kalut dan tangannya bergerak nyugar rambutnya kasar. ekspresinya serius waktu dia nanya,”ibu aja?”

“sama bapak. mereka kan sepaket. bapak mana mau biarin ibu sendirian kemana-mana. lagian cuma beberapa hari mumpung long weekend.”

seungwoo nggak bilang apa-apa lagi. wajahnya pucat dan isi kepalanya langsung berantakan. bayangan dalam hitungan jam harus berhadapan dengan ketakutan terbesarnya bikin seungwoo mendadak pengen buang air besar. mules luar biasa pokoknya. tangannya aja jadi refleks megangin perut.

“kak? are you okay?”

seungwoo sepanik itu sampai dia udah nggak mikir lagi buat nyelamatin sisa-sisa harga dirinya. dia geleng kuat-kuat terus meluk perutnya yang sebenernya nggak pengen ke belakang. toh, dia tadi pagi udah setor.

“barusan enggak apa-apa … kok ….?”

“kamu pake taksi aja gimana?”

byungchan diem bentar. dia yang biasanya lemot tiba-tiba ngeliat seungwoo serius dan tangannya gerak ngambil tangan seungwoo. “so, it’s true. you’re afraid.

jantung seungwoo berasa hampir lompat ke luar rongga dadanya waktu ekspresi serius byungchan diikutin sama nada suaranya yang sama seriusnya.

h-hah?

“kakak takut, ‘kan?”

siapa yang ngasih tahu byungchan? panik dong seungwoo. seingetnya temen-temennya udah disumpah buat nggak ‘bocor’ soal ketakutan konyolnya terus kenapa byungchan bisa tahu?

“…sama kita yang tiba-tiba serius dan aku mau ngenalin orangtuaku ke kakak?”

seungwoo mengerjap. ekspresi serius byungchan bikin dia error karena pernyataan byungchan barusan beneran melenceng banget dari fakta di lapangan.

“kakak tiba-tiba takut karena semuanya mendadak? temenku ada yang langsung mundur teratur waktu diajak serius sama pacarnya…” ekspresi byungchan berubah gloomy. “I knew it.

no! bukan itu, byungchan!”

it’s okay, kak! aku paham kok. aku aja yang buru-buru karena mikir kakak udah siap banget tanpa bener-bener nanya—“

no, no, no, no—

“aku jemput ibu sama bapak sendiri aja. aku bilang aja kakak sakit,” byungchan keliatan kecewa. kayaknya dia udah semangat banget pengen nemuin orangtuanya sama pacarnya yang sering banget dia banggain ke keluarganya. “kakak istirahat aja, ya—“

“no! bukan itu, byungchan!”

it’s okay. aku siap-siap du—“

“kakak takut sama bapakmu!!!!!”

hening mendadak waktu seungwoo tiba-tiba neriakin kalimat barusan buat nahan byungchan pergi. ekspresi kecewa byungchan berubah kosong terus bingung.

“karena takut ditolak?”

seungwoo merosot di sofa dan ngusap wajahnya kasar pake telapak tangan. nggak nyangka banget hari dimana dia harus jelasin perkara ini datang lebih cepat dari yang ia duga.

“kak? jawab.”

seungwoo ngehela napas panjang terus akhirnya ngeberaniin diri buat ngeliat byungchan. “aku bukan takut ditolak.”

“terus?”

“….”

“kak!”

“bapak kamu polisi.”

byungchan bingung. “emangnya apa hubungannya profesi bapak sama kakak nggak mau ketemu?”

“ya itu. bapak kamu polisi.”

byungchan makin bingung. “kakak nggak mau ketemu bapak karena bapak polisi…?”

seungwoo ngangguk-ngangguk.

butuh agak lama buat kepala byungchan berhasil memproses semuanya. dia natap seungwoo ragu dan keraguan yang sama juga kedengeran dari gimana byungchan bicara.

“kak,” byungchan natap seungwoo lekat-lekat. “kakak takut polisi…?”

seungwoo nggak ngomong secara gamblang iya atau enggak tapi cara seungwoo ngerang dan balik nyembunyiin muka bikin byungchan yakin kalau tebakan asalnya kayaknya bener. byungchan beneran bengong. seungwoo yang nggak takut apa-apa, seungwoo yang selalu bisa diandalkan, seungwoo yang kalem dan kelihatan dewasa ternyata … takut polisi.

“kenapa….”

“waktu kecil sering ditakut-takutin teteh. akhirnya kebawa takut sampe gede.”

“tapi sejun polisi dan kakak temenan sama dia?”

“sejun nggak pernah pake atribut polisi dan kelakuan dia jauh dari cerminan polisi.”

“iya, sih, sejun nggak serem.”

mereka berdua sama-sama diem sampe seungwoo kembali mulai obrolan mereka. “maaf, ya, aku aneh banget.”

“kenapa minta maaf?” byungchan ketawa. “nggak aneh lah, kak. ketakutan orang kan beda-beda. emangnya kakak ngerasa aku aneh waktu tahu aku takut sama balon?”

seungwoo geleng-geleng. bayangan dirinya pertama kali tahu byungchan fobia balon kembali nyeruak di kepalanya. waktu itu pesta ulang tahun anak tetehnya dan byungchan lari waktu di pintu masuk ada balon gas.

“aku ngerti kenapa kakak takut. nanti aku pergi sendiri aja dan biar aku yang jelasin ke bapak sama ibu, ya?”

“maaf, ya, byungchan. nggak keren bang—“

byungchan ngebekep mulut seungwoo. “berhenti minta maaf atau aku jahit mulutnya mode jelujur.”

“kamu tahu jelujur?”

“nggak,” byungchan geleng-geleng. “tapi pernah denger ibu ngomong gitu.”

seungwoo ketawa ringan.

bapak dan ibu byungchan ternyata nggak masalah dengan seungwoo yang belum siap ketemu. seungwoo nggak tahu gimana cara byungchan bilangnya tapi ibu tetap ramah tiap kali beliau nelfon dan ngobrol sama seungwoo. sesekali seungwoo ikutan dapet kiriman makanan yang dia bales juga sama makanan-makanan atau oleh-oleh tiap dia perjalanan dinas. dari gelagatnya, sih, keliatan banget kalau ibu suka banget sama seungwoo. mereka juga nggak masalah seungwoo cuma anter byungchan sampe depan dan nggak pernah masuk ke rumah.

sampai di bulan kelima, seungwoo yang nganterin byungchan pulang ke rumahnya tiba-tiba matiin mobil. padahal byungchan udah pamit dan buka seat-belt.

“kenapa, kak?”

“aku … mau anter sampe dalem.”

seungwoo nggak bisa ngedeskripsiin ekspresi byungchan waktu dia ngomong gitu. beneran kayak matahari terbit di wajah byungchan. dia langsung nerjang maju dan peluk seungwoo sambil ciumin pacarnya semuka-muka. nggak bisa nahan ketawa waktu sadar muka dan tangan seungwoo udah dingin banget.

“kalau belum bisa jangan dipaksa.”

“aku bisa,” seungwoo nelen ludah. dia ikut ngelepas seat-belt terus buka pintu. “yuk.”

byungchan sangsi aslinya tapi dia tetep turun. dia gandeng seungwoo dan ngasih dukungan moral dari gandengan tangan sambil ngeremes kuat-kuat. byungchan buka pager, buka pintu rumah, terus masuk ke dalem sambil ngumumin kedatengannya.

“pak, bu, ada kak seungwoo mampiiiir!”

seungwoo refleks ngegenggam tangan byungchan lebih erat yang dibales dengan elusan sama si empunya tangan. rasanya panik banget dan pengen lari jauh-jauh tapi dia tahan-tahanin karena hari ini, seungwoo bertekad buat ngadepin ketakutannya.

suara langkah kaki terdengar tak lama setelah suara pintu kamar kebuka. seungwoo nelen ludah dan siap-siap ngadepin siapa pun yang muncul dari sana.

“halo.”

ada bapak-bapak berkumis dengan kaos putih tipis serta kain sarung yang digulung di pinggang muncul pertama menyapa seungwoo yang kaku di tempat.

seungwoo narik napas dan bersiap ngadepin ketakutannya.

*

“jadi yang kayak gitu tuh biasa?”

“ya, biasa,” seungwoo tertawa halus. “hampir semua pernah kayak gitu. even para agen yang punya pacar, tetap nggak dapet pengecualian. misi ya misi. kalau ketika di misi mereka harus ngerayu atau bikin target informasi naksir, ya harus dilakukan.”

“selingkuh dong?”

“kan nggak pake hati, cuma profesional aja.” seungwoo membenarkan posisi tidurnya dan byungchan mengangkat sedikit kepalanya sebelum kembali rebah di atas lengan seungwoo. “lagipula kita pas misi bukan kita. identitas segala macam kan baru. mirip sama aktor?”

byungchan manggut-manggut. “kamu pernah baper nggak?”

“kebawa perasaan?” seungwoo tertawa geli. “nggak lah. ngapain baper sama mereka.”

lagi, byungchan manggut-manggut. mau diusahakan seperti apa pun untuk tidak merasa biasa saja, dirinya tidak bisa. rasanya aneh mendengar cerita kekasihnya seintim itu dengan orang lain meskipun sebatas misi belaka. ia pertahankan ekspresinya sebiasa mungkin meski jika diperhatikan baik-baik, aslinya ekspresi itu berubah masam.

manusiawi kalau ia cemburu, bukan?

seungwoo si agen profesional sudah biasa menangkap perubahan emosi seminim apa pun. sejak tadi ia memperhatikan byungchan yang ia sadari sedang mempertahankan faset kalem namun pikirannya jelas sedang tidak kalem-kalem saja. lelaki itu dengan tenang mengambil tangan byungchan, mengecek pergelangan tangannya tanpa mengatakan apa-apa.

“normal.” gumamnya lalu mengernyit. byungchan yang bingung menatapnya terheran-heran.

“apa yang normal?”

seungwoo tidak menjawab. ia bergerak menjangkau dernwatch di atas meja lalu mendekatkannya pada kening byungchan. jam tangan itu berbunyi dan seungwoo bergumam lagi. “nggak demam.”

“kamu ngapain?”

“bukan cemas atau takut. kamu juga nggak mungkin jadi nggak nyaman karena cerita gore karena kamu bahkan bersihin organ-organ yang berceceran terus habis itu santai makan jeroan. aku daritadi berusaha memikirkan beberapa kemungkinan kenapa kamu berekspresi begitu tapi belum ketemu. aku belum pernah ketemu ekspresi begitu,” napasnya terhela panjang. “aku jadi nggak pro banget sejak dikurung nyaris sedekade.” lanjutnya dengan nada getir.

byungchan menatap seungwoo tanpa ekspresi lalu merespon dengan nada datar. “aku cemburu.”

sedetik, dua detik, seungwoo seperti patung yang tak bergerak. hingga dernwatch yang melingkari tangannya berbunyi berisik hingga perhatian-perhatian mereka teralih ke sana.

“kenapa jamnya? kamu ada panggilan misi?”

seungwoo menggeleng. tatapannya sempurna tertuju pada byungchan dan dia terlihat seperti setengah menerawang. “bukan. aku palpitasi.”

“karena dicemburuin?”

“aku nggak pernah dicemburuin.”

jam tangannya terus berbunyi dengan berisik.

seungwoo tangannya beneran keringetan selama nungguin byungchan muncul. dia sengaja nunggu di parkiran kantor byungchan terus melototin hp nunggu balesan dari chat dia yang bilang “saya udah di bawah”. butuh 15 menit buat byungchan minta maaf dan bilang dia baru kelar meeting terus janji buat segera lari ke parkiran biar seungwoo nggak nunggu lama-lama.

seungwoo langsung mules. tangannya nyengkram setir mobil kenceng-kenceng terus dia ngerang nelangsa. nggak pernah-pernahnya dia segugup ini mau ketemu orang bahkan dia nggak sampe keringet dingin waktu jadi perwakilan mahasiswa pas wisuda.

sibuk ngelamun, seungwoo kaget setengah mati waktu jendea mobil diketok dan ada tangan-tangan dan wajah yang dideketin ke kacanya yang gelap. byungchan ternyata udah dateng dan seungwoo langsung ngerasa jantungnya pindah ke kaki. dia buka kunci pintunya dan nahan napas waktu pintu sebelah ngayun kebuka.

byungchan muncul dengan muka capek terus tangannya naik satu. “halo, abang!” pake nada super santai. seungwoo keselek, sukses bikin byungchan ngakak karena nggak nyangka responnya begitu.

“minum dulu. minum. bawa minum nggak?” byungchan ngomong di sela-sela ketawanya.

it’s fine. saya cuma kaget.” seungwoo ngangkat satu tangannya dan nepuk dadanya sendiri. “halo… juga.”

terus mereka berdua diem. nggak tahu kenapa diem aja gitu karena mendadak sama-sama nyadar kalau akhirnya mereka beneran ketemu. tiap hari ngobrol via chat dan telponan ternyata tetep nggak bikin pertemuan tatap muka pertama mereka jadi nggak canggung. di kepala seungwoo, byungchan pasti agak burem karena sinyalnya yang jelek. makanya pas ngeliat versi HD di depan mata…, dia terpukau.

(padahal dah pernah lihat juga.)

“akhirnya ketemu juga.” byungchan nyengir terus masang sabuk pengaman. “mau makan kemana, kak?”

“daging mau?” seungwoo ikutan masang sabuk pengaman terus ngecek ke sekitarnya buat keluar dari parkiran. “sejun suka daging soalnya katanya keluarga kalian suka bikin daging. harusnya adek suka, kan?”

“jadi sumber infonya tuh abang?”

seungwoo ketawa halus. tangannya refleks ngusap tengkuknya malu-malu. “harus dari sumber terpercaya.”

“terus abang ngasih aja gitu infonya?”

“penuh tipu muslihat sebenernya. diajarin sama seungsik.”

byungchan ketawa ngedengernya dan seungwoo harap ini awal yang baik.

*

bener kata hanse, nggak ada yang ngalahin pertemuan tatap muka buat ngenal seseorang.

makan siang mereka nggak nyampe sejam tapi byungchan nemuin banyak banget sisi baru seungwoo. tentang gimana dia memperlakukan orang lain —caranya ngangguk ramah dan berterimakasih sama tukang parkir, pelayan, bahkan sama anak kecil yang bantuin dia ngambil kunci mobilnya yang nggak sengaja jatoh. seungwoo juga nahan pintu buat orang yang baru keluar terus ngebiarin byungchan masuk duluan. semua dia lakuin secara natural dan keliatan banget emang bukan dipaksa untuk kesan baik.

mereka berdua sama-sama anak bungsu jadi byungchan sebenernya nggak berharap banyak tapi seungwoo beneran pinter ngurusin dia tanpa terkesan lagi diurusin. ketikannya boleh jadi penuh emoji-emoji lucu dan menggemaskan tapi seungwoo bisa nahan byungchan pake satu tangan aja waktu ada segerombolan remaja nggak tahu tempat berlarian hingga menyenggol Byungchan yang sedang turun tangga. seungwoo juga nggak segen negur anak-anak itu tanpa terkesan ngamuk.

“lain kali hati-hati, ya? kasihan kalau ada korbannya.”

byungchan bener-bener nggak habis pikir. nadanya halus tapi tatapannya tegas sampe para remaja itu nggak berani menatap. waktu mereka ngeiyain serempak, seungwoo senyum manis sambil ngangguk-ngangguk puas.

“adek nggak apa-apa, ‘kan?” seungwoo gantian noleh dengan ekspresi khawatir ngecekin byungchan. tangannya masih protektif ngelingkarin bahu byungchan dan sepasang matanya beneran nunjukin kalau dia cemas.

“nggak apa-apa, bang. kan nggak jatuh.”

“syukurlah. saya bisa diamuk sejun kalau adek sampai jatuh.”

“emang abang takut sama bang sejun?” byungchan nyaris ketawa ngedengernya. kok bisa ada orang takut sama abangnya?

di luar dugaan, seungwoo ngegeleng. “saya nggak takut sama abangnya adek tapi saya menghargai usaha dia yang selalu pengen ngejaga adek. saya minta izin ke dia buat deketin adek jadi hal paling dasar yang bisa saya lakuin, tentu aja ngebantu dia buat terus ngejaga adek.”

ada berapa kali byungchan merasa nggak habis pikir? barusan ia kehilangan hitungan (juga kata-kata).

*

seungwoo anter byungchan sampe depan kantornya lagi terus mereka berdua bukannya langsung saling pamitan tapi malah diem-dieman kagok.

“Uhm—“

“eh—“

terus dua-duanya ketawa. soalnya aneh banget daritadi ngobrol santai eh sekarang diem-dieman. byungchan yang pertama buka mulut. “makasih, bang, udah traktir gue makan enak.”

“makasih, adek, udah mau diajak makan.”

“jawabnya sama-sama kali, bang.”

“saya kan mau berterimakasih juga.”

seungwoo ngomong dengan ekspresi santai dan senyum tipis tapi byungchan kebayang banget kalau ini mereka lagi chat, dia pasti bales dengan emot sebel banyak-banyak.

beneran beda banget sama ketikan. batin byungchan. seungwoo jauh lebih kalem kalau ketemu aslinya tapi super ekspresif pas ngetik. lucu aja, berasa ngomong sama dua orang berbeda.

(walau byungchan tahu itu tetap seungwoo.)

“oke, gue balik gawe, ya, bang?”

“adek—“

byungchan berhenti ngebuka pintu. dia noleh ke seungwoo dengan bingung. “ya?”

“nanti…. pulang jam berapa?”

byungchan mikir bentar. “pulang kayak biasa tapi gue mungkin maleman sih bang baru keluar kantor. kalau tenggo kayaknya gue bisa jadi sarden di kereta.” sambung byungchan sambil ketawa. “jadi kalau mau nelfon mungkin nanti agak maleman, ya?”

“bukan, bukan.”

byungchan bingung.

“saya jemput aja….”

“abang mau jemput gue lagi?”

seungwoo ngangguk. “nyampe rumah adek mungkin malem juga soalnya macet tapi… bisa ngobrol pas macet….”

byungchan senyum. “apa kita sekalian makan malem bareng aja?” tawarnya yang sukses bikin ekspresi seungwoo kesenengan. “gantian gue yang traktir, bang.”

“eh, nggak usah! tadi saya nggak pamrih.”

“gue yang pengen, bang. santai.” byungchan nyengir. “oke deh, sampai jumpa ntar sore, bang. semangat kerjanya!”

byungchan bahkan udah nyampe ruangannya di lantai belasan tapi seungwoo masih duduk di parkiran—setengah ngelamun karena nggak percaya sama keberuntungannya.

“jes, adek lo baik banget…” gumam seungwoo sambil nyenderin keningnya ke ujung setir.

ekspresinya persis kayak orang lagi kasmaran.

*