jeno/jaemin — part two

⚠️ mpreg, threats, minor character death.


penyesalan adalah sesuatu yang nggak asing buat manusia. meski pun acapkali orang-orang diingatkan buat nggak menyesali sesuatu, dua orang yang lagi berdiri di depan kamar mandi sebuah rumah petakan kecil di lingkungan miskin ibukota berpikir apakah pantas mereka menyesali sesuatu yang mereka lakukan atas dasar hal yang disebut ‘cinta’.

nggak ada yang berani bicara. jaemin masih di ambang pintu kamar mandi ngebawa alat tes kehamilan di tangannya yang nunjukin dua garis samar. di depannya ada jeno bolak balik sambil nyugar rambutnya frustrasi. kentara banget dia berusaha tenang tapi aslinya pemuda itu panik.

“jen…?”

jeno berhenti bolak balik dan berbalik natap jaemin. tatapannya kalut dan jaemin terdiam di tempat. mendadak lupa apa pun yang pengen dia sampein ke jeno tadi.

“maaf…”

jaemin dengan segala trauma di masa lalunya kesulitan buat nepatin janji buat berhenti minta maaf ke jeno. pemuda itu tertunduk dan ia memainkan jemarinya gusar. terasa olehnya ujung-ujung jemarinya berubah dingin dan debar jantungnya lebih cepat dari biasa.

sayang,” jeno buru-buru ngedekat. sadar kalau gerak geriknya cuma mendatangkan panik kepada jaemin di saat sebetulnya yang ngerasa paling kalut sekarang adalah jaemin. anak itu, hasil percintaan mereka, ada di perut jaemin dan sekarang situasi mereka berada dalam hubungan yang disembunyikan. “kenapa minta maaf?”

ada banyak hal yang ingin jaemin katakan tapi tertahan di ujung lidahnya. begitu banyak yang ingin ia sampaikan dalam maaf-maaf yang selama ini ia tahan. maaf untuk nggak bisa berkata apa-apa. maaf karena jadi pengecut terus minta jeno nyembunyiin apa yang mereka punya. maaf karena nggak bisa angkat kepala dan ngebanggain jeno seperti banyak orang yang berharap pada jeno. maaf karena waktu itu terbawa suasana dan dengan jumawa minta jeno keluar di dalam rahimnya.

tapi yang paling besar dan lantang dalam kepalanya adalah maaf kalau jeno harus punya anak dengan seseorang yang nggak bakal pernah pantas berada di sampingnya.

“harusnya aku nggak nyuruh kamu keluar di dalem.”

jeno sontak mijit pertemuan dua alis matanya. kepalanya terasa agak pusing dengan segala sesuatu yang terjadi begitu tiba-tiba. dia berpikir sejenak. ia tatap jaemin, ngehela napas, terus berkacak pinggang.

“kamu nyesel?”

nada jeno tajam dan dingin. ngingetin jaemin sama masa-masa mereka berdua menjauh dan jeno salah paham dengannya. ketakutan menjalari tulang belakang jaemin. membuatnya gemetar halus dan menghindari tajamnya tatapan itu.

“j-jen—“

logika jeno untungnya masih jalan. dengusan napasnya keras tapi tatapan matanya tak sampai berkilat penuh amarah. jeno ulurkan kedua lengannya lalu memegang bahu-bahu jaemin. tulangnya makin prominen dan jeno tahu kekasihnya ini semakin kurus. entah karena pikiran atau apa, ia sendiri juga masih gagal memahaminya.

“kita ngelakuin itu nggak satu kali,” jeno tatap jaemin lurus di matanya. “dan kali-kali selanjutnya, kamu nggak minta aku ngelakuin. aku yang ngeluarin di dalem.”

sepasang mata jaemin berkilat. kali ini muncul air mata yang menggenang di pelupuk matanya. ia takut dan lelah. nggak bisa ngebayangin apa yang bakal terjadi ke depannya saat ini.

“jaemin, kamu nyesel?”

isak pertama lolos dari bibir jaemin. ia seperti didesak dan didorong agar mengatakan sesuatu yang tak ingin ia katakan. logikanya bilang ia tak boleh menyesali apa yang telah ia pilih sendiri tapi ia tak bisa berdusta kalau jauh di dalam sana, ia takut.

“jaemin, jawab aku.”

goncangan di bahunya menciptakan refleks mundur. jaemin terluka dan ia mundur menjauhi jeno. kepalanya menggeleng berkali-kali dan ada air mata yang lolos hingga jatuh ke pipi. sesuatu yang bikin jeno terhenyak begitu sadar ia baru aja membuat seseorang yang ia janjikan begitu banyak kebahagiaan menitikkan air mata.

“aku takut.” suara jaemin bergetar tapi seenggaknya dua kata berhasil ia verbalkan. dua kata yang mewakili buncahan perasaan negatifnya dan berhasil bikin jeno berasa dipukul palu besar tepat di belakang kepalanya.

aku juga.

itu adalah suara batin jeno. sesuatu yang ia pilih untuk tahan sendiri karena ia takut kalau ia menyuarakan takutnya, mereka berdua akan jatuh bersama-sama. harus ada satu yang sanggup berdiri tegar meski saat ini rasanya keduanya sama-sama ingin lari. kehamilan adalah sesuatu yang tak pernah mereka prediksikan apalagi ketika situasinya, nggak ada yang tahu soal mereka.

jadi alih-alih merespon dengan kata, jeno memilih maju dan menarik jaemin ke pelukannya. membiarkan tangis pilu tertumpah dari raga kekasihnya sementara jeno menguatkan dirinya sendiri agar tak ikut tersungkur karenanya. pelukan erat itu mungkin terlihat seperti keinginan menguatkan jaemin tapi ketahuilah, itu adalah cara jeno buat tetap berdiri meski sekarang rasanya ingin mati.

kuliah mereka mungkin hampir selesai tapi tetap saja statusnya belum selesai.

anak adalah tanggung jawab besar dan meski begitu seringnya ia bilang suatu hari ia ingin membentuk keluarga kecil bersama jaemin, di kepalanya adalah sesuatu yang di dalam rencana dan dalam kondisi ketika ia sudah stabil untuk menopang mereka bertiga. mana jeno menyangka kalau percintaan mereka bakal berakhir bikin ia jadi ayah lebih cepat dari angan-angannya?

jaemin menangis lama sampai akhirnya ia berangsur-angsur tenang dan jeno membawanya ke kamar. keduanya duduk di tepi ranjang dan sama-sama melamun. agaknya berusaha memproses apa yang barusan terjadi lalu tenggelam dalam pikiran masing-masing.

jeno yang pertama ngeraih tangan jaemin dan ngegenggamnya erat. tanpa kata ngasih tahu kalau dia ada dan jaemin nggak perlu ngelewatin ini sendirian. sepasang mata jaemin bergulir dan menatap nanar tangan mereka yang saling genggam. agaknya masih sulit mencerna segala sesuatu yang terjadi sekarang. kalau selama ini ketakutan jaemin berada jauh di depan sana dan nggak jelas kapan datengnya, sekarang ketakutannya bener-bener ada di depan mata.

“aku bakal tanggung jawab.”

nggak membantu. batin jaemin. ia nggak bakal pernah ragu soal jeno dan rasa tanggung jawabnya yang tinggi itu tapi dia tetep nggak sanggup ngebayangin mereka berdua tiba-tiba harus jadi serius. semuanya karena kebodohan mereka yang abai dengan logika sebab euforia sesaat.

“jaemin?”

panggilan itu penuh kehati-hatian. sebab jeno tiba-tiba sadar kalau jaemin nggak fokus. pemuda itu bahkan nggak merespon soal kesungguhannya soal bertanggung jawab. padahal itu bukan sesuatu yang sekadar di mulut saja tapi jaemin seperti mengabaikan kesungguhannya.

“sayang?”

jeno terluka waktu jaemin tersentak mundur. seolah tak ingin disentuh bahkan oleh jemari yang selama ini ia cari-cari dalam kerahasiaan. mereka berjarak dan jeno nggak sampai hati buat marah karena di depannya jaemin terlihat demikian hancur.

hancurnya jaemin dengan mudahnya menarik jeno ke dalam kehancuran yang sama. pertanyaannya soal penyesalan seolah dibuktikan dua kali lebih gila: penyesalan yang ia tanyakan mungkin lebih dari penyesalan biasa. terbayang olehnya angan-angan masa depan yang penuh kebahagiaan tentang mereka berdua lalu detik ini lenyap begitu sadar kebahagiaannya ternyata adalah sebuah bentuk duka lara bagi orang tercintanya.

“kamu mau … dia nggak ada?”

begitu jelasnya jeno lihat jaemin membatu di tempat dan itu semakin menghancurkannya. jeno yang takut tapi masih senang dengan ide mereka berdua punya anak yang kelak akan mereka cintai sepenuh hati. pikirnya, jaemin berbagi sentimen yang sama tapi mana pernah jeno sangka kalau rancangan masa depannya ternyata sia-sia karena jaemin diem-diem berharap apa yang diimpikan jeno nggak pernah ada?

jeno kecewa berat.

hanya saja jeno masih sanggup make akal sehatnya buat memahami jaemin. balik lagi, yang mengandung buah hati mereka adalah jaemin, bukan dirinya. yang merasakan sakitnya adalah jaemin, bukan dirinya. nanti-nanti ketika perut itu semakin besar, jaemin yang akan menerima konsekuensinya.

bukan dirinya.

“aku nggak bakal maksa kamu apa-apa.” suara jeno bergetar meski ekspresinya tetap tenang. kecewanya nggak bakal bisa ia lukiskan dengan kata-kata tapi janin itu belum bisa menggantikan besar cintanya pada jaemin. tak akan mau dia ngorbanin jaemin demi sesuatu yang bahkan belum bisa ia ketahui berapa usianya. “aku ikutin semua mau kamu.”

“bahkan kalau aku mau dia nggak ada?”

kejam rasanya dilemparkan kalimat itu langsung dari mulut kekasihnya. hati jeno sakit banget dan rasanya teriris-iris tapi nggak bakal pernah jeno mau bikin jaemin nggak bahagia. meski berat dan hancur hatinya, jeno ulas senyum sebisanya. nyembunyiin fakta kalau di dalam sana, dia udah nggak tahu hancurnya seperti apa.

“bahkan kalau kamu memilih dia nggak ada.” jeno ulangi dan dia langsung buang muka buat nyembunyiin panas yang terasa di pelupuk matanya.

ketika air mata itu jatuh, jaemin tak melihat. cuma jaemin tahu kalau perkataannya baru aja menghancurkan seseorang yang selama ini selalu jadi penopang terkuatnya.

mereka berdua sama-sama terluka tapi untuk kali ini saja, jaemin memilih egois.

*

“aku temani kamu ke sana.”

jaemin terkejut ketika ada lengan yang meluk bahunya dari belakang dan berbisik di telinganya. pikirnya jeno masih terlelap ternyata ia terlalu sibuk browsing sampai nggak sadar suara langkah kaki mendekat.

“aku cuma lihat-lihat.”

jeno duduk di sampingnya dan meraih tangannya. gawainya jaemin ia kunci dan jeno bisa lihat ada ekspresi tak nyaman di wajah kekasihnya itu. perasaan bersalah, sepertinya. sebab ia baru saja ketahuan lagi cari-cari informasi mengenai aborsi.

“nggak apa-apa. kita cari tahu yang paling bagus dan minim risiko nanti aku temani kamu.”

“kamu yakin?”

jaemin bisa ngerasain genggamannya menguat lalu melonggar. jeno kasih jaemin senyum termanisnya terus ngangguk. “aku nggak bakal biarin kamu ngelewatin ini sendirian. gimana pun, dia juga anak aku.”

terluka, terluka, dan lebih banyak luka.

jaemin terluka ngelihat jeno yang berusaha buat ngedampingin dia pergi membinasakan mimpinya dan jeno terluka ngelihat jaemin nggak berani berbagi dukanya bersama jeno. kemana perginya janji buat susah senang dilalui bersama? mereka berdua sama-sama lupa. sebab duka yang ada bentuknya serupa luka yang makin lama makin banyak jumlahnya.

“jeno, aku minta maaf.”

untuk segala hal yang bikin kamu terluka.

jeno meluk jaemin nggak cuma bentuknya ngasih keyakinan kalau dia nggak apa-apa tapi juga usahanya buat nyembunyiin air mata. belakangan rasanya ia begitu mudah berkaca-kaca dan sedikit aja bisa bikin dia meraung karena lukanya terbuka.

“kamu nggak perlu minta maaf.”

“kamu yakin?” jaemin untuk pertama kalinya berani mendorongnya lebih jauh. “aku pengen dia mati.”

jeno panggil seonggok darah daging dalam perut jaemin ‘anaknya’ dan jaemin sebut *dia’ bak objek tak berharga. seolah-olah apa yang bikin jaemin muntah tiap pagi bukan sebuah kehidupan baru tapi masuk angin biasa. seolah-olah yang bikin perasaannya campur aduk bukan janinnya, tapi masalah hidup biasa.

jaemin nggak sanggup.

“asal kamu bahagia…” jeno ngelus pipi jaemin. “asal kamu sehat dan bahagia, itu cukup buat aku.”

walau itu membunuh aku dan mematikanku dalam bentuk paling menyakitkan.

*

tangannya bergetar hebat.

satu tempat akhirnya berhasil mereka pilih dan janji temu itu dibuat semalam-malamnya hari. jeno genggam tangan jaemin dan nggak ngelepasnya barang sekali sementara jaemin berubah semakin pucat, pucat, dan pucat.

dokternya seorang perempuan yang ramah. beliau persilakan keduanya masuk ke ruang praktik kecil yang sanitasinya bikin jaemin hampir ngeluarin segala isi makan malamnya. wanita itu maklum dan ngebiarin jaemin nenangin diri.

ketika ia cukup tenang, wanita itu mulai bertanya beberapa hal. setengahnya jaemin nggak berhasil jawab karena dia sama sekali nggak tahu kapan janin itu terbentuk. pertanyaan kemungkinan pun tak bisa ia jawab karena dengan malu mereka akui kalau seks tanpa pengaman itu berlangsung berkali-kali.

“kalian berdua yakin?”

jeno nengok ke arah jaemin buat terakhir kalinya dan kekasihnya itu ngangguk. ini akhir hatinya karena rasanya sekarang udah hancur berkeping-keping.

“sebelum dimulai, saya coba cek pakai usg dulu, ya?”

jujur jaemin nggak mau. dia nggak mau ngelihat wujudnya tapi dia nggak punya pilihan lain.

“fotonya boleh disimpan satu, dok?”

jaemin pejamkan matanya kuat-kuat waktu dengar pertanyaan penuh permohonan dari jeno. nggak nyangka kalau jeno pengen punya memori soal anak yang nggak diinginkan ini. jeno ingin mengenang anaknya. sesuatu yang bikin jaemin ngerasa makhluk paling nggak punya hati sedunia.

mana resolusinya buat jadi orang baik dan penyayang selama ini? nggak ada.

perutnya dibuka dan tonjolannya belum begitu kentara. jeno pegangi tangan jaemin buat ngasih kekuatan tapi pandangan ingin tahu jeno ke layar kecil itu cuma bikin jaemin semakin lemah.

“lho, nggak ada?”

jaemin ngerasain alat itu bergerak di bawah perutnya dan menurut dokternya, di awal-awal kehamilan biasanya janin lebih banyak berada di posisi bawah. ketika dokter bilang nggak ada, mereka berdua juga bisa lihat kalau di layar itu, nggak ada apa-apa.

harusnya jaemin senang.

cuma dia nemuin dirinya panik. nggak ada. nggak mungkin anak itu nggak ada. sampai beberapa hari lalu ia masih dibuat pusing karena aroma bak sampah. nggak mungkin tiba-tiba nggak ada.

“dok, coba diperiksa lagi, dok.” pinta jeno.

mereka pikir mungkin diam-diam dokternya mengatai mereka kocak. datang untuk menghilangkan nyawa makhluk tuhan tapi mengemis ketika sang dokter bilang bayi mereka nggak ada. suara jeno panik dan jaemin ngelus perutnya. dia yakin anak itu ada.

“pastiin lagi, dok.”

kali ini jaemin. yang mana bikin kaget jeno karena nggak nyangka jaemin malah bertanya hal yang sama. alat itu bergerak, kali ini agak ke atas. hingga tiba-tiba alat itu berhenti dan mereka bisa lihat sesuatu yang mirip gelembung sabun yang bertumpuk-tumpuk dan ada sesuatu yang agak besar bersandar di sana.

“ah, sembunyi dia,” dokter itu tertawa halus. “biasanya usia kandungan segini janin posisinya di bawah. ini udah agak ke atas.”

“berarti ada, ‘kan, dok?” desak jeno.

wanita itu tersenyum. “ada.” ia jeda sesaat sebelum menawarkan hal baru. “mau dengar?”

detak jantung makhluk itu terdengar memenuhi ruangan kecil tersebut. berdetak kencang dan dokter memujinya sehat.

“sebelas minggu tiga hari,” dokter itu tersenyum. “panjangnya lima senti.”

jaemin nggak tahu apa yang terjadi tapi dia temukan dirinya menangis meraung-raung. lebih kencang daripada suara detak jantung yang masih ada itu. di sebelahnya, jeno terpana. terpukau mendengar detak yang terdengar seperti alunan musik di telinganya.

“masih mau saya foto buat kenang-kenangan nggak?”

jeno ngangguk. “suaranya boleh saya rekam, dok?”

“silakan.”

“nggak usah direkam,” jaemin terisak dan jeno terdiam megang hpnya. “nggak usah.”

“kenapa?”

“nanti aja pas dia lebih besar.” jaemin natap jeno meski pandangannya buram. “waktu dia nggak lima senti aja dan mukanya lebih jelas.”

kali ini jeno yang memeluk jaemin sambil meraung-raung dan dokter wanita itu tersenyum menyaksikan kejadian tersebut.

*

“jadi sekarang gimana?”

perubahan rencana mereka begitu besar hingga diperlukan rencana baru yang jauh lebih matang. setelah berhari-hari pertimbangan, mereka sepakat buat pertama, mengaku dulu ke teman-teman dekat mereka.

“gue nggak kaget.” kata haechan. “kalian kelihatan banget jatuh cintanya. bukan kejutan. skip.”

“gue hamil.”

haechan numpahin es teh ke celananya sampai basah total. ekspresinya komikal dan dia telat ngerasain dingin di daerah selangkangannya.

“BERCANDA?!”

“nggak. gue beneran punya anak ama haechan.” jeno nyengir. “mau lihat nggak fotonya? anak gue sehat deh. udah lima senti. terus jantungnya kenceng gitu—“

mereka yang berkumpul di sana rame-rame dengerin suara detak jantung yang direkam di gawai jeno plus ngelihatin foto usg pertama mereka.

“ni anak lo nyender?” haechan ngernyit sambil ngelihatin hasil foto itu lekat-lekat. “mageran deh gedenya.”

“lo bisa nggak kalau doain anak gue tuh yang baik?” jeno noyor sahabatnya itu main-main. “jangan kasih yang negatif!”

haechan tergelak. “sori, sori! kebiasaan ngatain bapaknya!” ditatapinya foto itu sekali lagi terus bilang. “moga sifatnya dari jaemin. kalau dari bapaknya yang ini kasihan soalnya.”

jaemin tertawa waktu lihat haechan dan jeno bergelut sampai ke lantai.

kesepakatan lain adalah mereka berdua bakal menyegerakan tugas akhir mereka. sebisa mungkin, mereka akan tutup mulut soal kehamilan ini dan lulus tanpa pihak kampus perlu tahu. gimana pun, yang mereka lakukan bukan perbuatan terpuji jadi dua-duanya berusaha buat lulus tepat waktu.

cuma yang namanya rencana, nggak melulu bakal berjalan baik-baik aja sesuai rencana.

suatu hari ketika jeno lagi capek-capeknya pulang bimbingan (nungguin seharian cuma buat ditolak di penghujung hari), ia tahu-tahu dipanggil oleh orangtuanya. jeno yang capek nggak mikir panjang. tanpa banyak pertimbangan ia langsung masuk ke ruang kerja orangtuanya dan kaget ternyata di sana ada kedua orangtuanya serta kakak lelakinya. ketiganya berwajah amat serius dan saat itulah jeno tahu ada sesuatu yang nggak beres.

“ada yang lihat mobil kamu di dekat klinik aborsi.” ayahnya berkata dengan nada dingin yang serius. “benar?”

dingin menjalari sekujur tubuh jeno. nggak nyangka dia bisa seteledor itu buat mikir kalau dia nggak bakal dikenali hanya karena pakai masker dan hoodie. jeno gelagapan. nggak nyangka tahu-tahu bakal begini jadi dia nunduk dan milih buat nggak nyari-nyari alasan.

“iya, pa.”

“kamu ngehamilin anak orang sembarangan?!” mamanya histeris. “jeno? kamu?”

wajar ibunya tak percaya. anak bungsunya itu adalah anak manis yang amat bertanggung jawab. berita kalau jeno menghamili seseorang di luar nikah lalu membunuh janinnya pula adalah sesuatu yang nggak bisa dicerna akal sehat ibunya.

“pacar jeno, ma. nggak sembarangan.”

“kamu punya pacar, dek?” kali ini abangnya. “kok bisa nggak ada yang tahu.”

jeno terdiam. karena dia bukan bagian dari kita, bang.

“temen jeno, ma, bang. anaknya baik. kenal waktu masa volunteer.”

“terus dia aborsi?” ibunya terdengar mendesak.

jeno diam sesaat. “nggak jadi, ma,” jeno nggak berani lihat keluarganya. “kita berdua mutusin buat pertahanin anak itu.”

jeno udah siap banget didamprat atau diusir dari rumah. dicoret dari keluarga pun dia nggak apa-apa karena dia tahu apa yang dia kerjain ini jelas-jelas nyoreng nama baik keluarga. dia cuma bisa nunduk malu dan siap atas segala eksekusi ke depannya tapi yang dia dapet cuma pelukan dari ibunya.

“mama bangga anak mama bukan pembunuh.”

jeno nangis di pelukan ibunya. senang bukan main begitu tahu orangtuanya bisa ngelihat ini dengan kepala dingin. jeno juga berseri-seri waktu tahu mereka bersedia ngedukung jeno dan jaemin serta mastiin kesehatan anaknya sampai lahir nanti.

“dengan syarat kamu bersedia ngikutin papa buat ngejalanin bisnis ya, jen.”

jeno pikir masuk akal. orangtuanya bilang jeno harus belajar fokus ngelanjutin bisnis kalau emang serius pengen ngebentuk keluarga baru. nggak mudah jadi kepala keluarga dan hal pertama yang harus bisa jeno sediakan untuk pasangan dan anak mereka tentu saja kebutuhan yang layak.

“ini nggak bakal mudah.”

jeno tahu tapi dia sepakat. malam itu juga dia hubungi jaemin dan nyeritain kebahagiaan kecilnya itu. jaemin skeptis, jelas aja. nggak percaya semudah itu perkara besar menjurus aib ini diterima dan semudah itu pula dia diundang buat dateng ke rumah jeno.

“keluargaku pengen banget ketemu kamu sebagai menantu juga cucu mereka.” jeno tersenyum sayang sambil ngelus perut jaemin yang terasa keras. “kamu mau, ‘kan, sayang?”

meski nggak percaya dan ragu, jaemin menurut. dia pakai baju terbaiknya dan ikut ke kediaman jeno yang besarnya bikin dia jadi ngerasa kecil. jeno nggak bohong. keluarganya nyambut kedatangan mereka dengan luar biasa meriah tapi jaemin tetep ngerasa aneh sama segalanya.

jaemin ngerasa … ada sesuatu.

nggak sekali dua kali dia refleks megangin perutnya. seolah instingnya bekerja buat ngelindungin anak mereka. padahal apa yang salah di sini? semua memperhatikannya dan nyiapin segala macam makanan penuh gizi demi dia dan buah hatinya. berkali-kali jaemin coba nepis ragunya dan marahin diri sendiri biar nggak berprasangka tapi perasaan nggak nyaman itu tetap kembali.

jaemin deg-degan setengah mati waktu segala makanan habis dan mereka mesti duduk bareng di ruang tengah yang besarnya lebih daripada segala ruangan di rumahnya digabungkan. jaemin duduk di samping jeno dengan tangan yang digenggam agar dia tetap tenang tapi nyatanya jaemin tetap ngerasa lagi dihakimi oleh mata-mata yang menatapnya lurus meski semua wajah itu punya senyum lebar yang diulas.

“jadi, kamu sering volunteer juga?”

“betul, pak, bu.” jaemin ngejawab dengan nada kaku yang benar-benar sopan. nggak berani manggil mereka dengan sebutan ‘om’ dan ‘tante’ layaknya panggilan seseorang ke orangtua teman akrabnya.

“nilai kamu bagus?”

sebelum jaemin buka mulut, jeno udah duluan bersuara. “ipk-nya nyaris 4, pa. jaemin calon perwakilan angkatan pas wisuda nanti.”

“tugas akhir udah?”

“tinggal bab-bab akhir, pak.”

si pemimpin rumah tangga manggut-manggut. dari ekspresinya memberi impresi kalau dia cukup senang ngedenger pencapaian jaemin. jeno ngeremes lembut tangan jaemin terus ngelus punggung tangannya pake ibu jari. berusaha nenangin jaemin yang tangannya makin lama makin terasa dingin oleh jeno.

jaemin benar-benar tertekan.

“jeno, tolong ambilin paper bag di kamar mama dong. mama kemarin beliin sesuatu buat jaemin.”

jeno awalnya ragu buat ninggalin jaemin. apalagi setelah permintaan itu, jaemin kelihatan banget paniknya. masalahnya, nggak mungkin juga orang lain yang ambil karena ini hadiah spesial buat jaemin.

“aku ambilin bentar, ya? nggak lama kok. kamar mama di atas.” jeno berusaha ngasih jaemin ketenangan yang sebenernya sama sekali nggak berhasil. pemuda itu bangkit, nepuk kepala jaemin dua kali terus jalan ke arah atas.

baru juga jeno berbelok, suasana itu langsung berubah.

“untuk ukuran anak cerdas, apa yang kamu lakukan cukup bodoh, ya?”

dingin langsung menjalari segenap tubuh jaemin. merasuk ke tulang belakangnya memberi sensasi perih. gemetar, ia tatap wajah-wajah tadi. senyum-senyum lebar tadi lenyap digantikan wajah tak senang dan tatapan menghakimi lagi merendahkan.

jaemin mau muntah rasanya.

“bukannya pintar?” salah satu tante jeno menimpali. “menggoda pewaris keluarga kaya dan dengan sengaja hamil supaya kecipratan kaya?”

jaemin ngepalin tangan nahan segala emosinya. nggak nyangka jeno yang bahkan perginya nggak begitu jauh aja bisa bikin mereka punya celah buat menyakitinya. benar dugaannya, sejak tadi euforia itu palsu. orang-orang ini nggak benar-benar mendukungnya.

“jadi, bapak dan ibu sekalian mau apa?”

secara strata sosial jaemin mungkin rendah di mata mereka tapi jaemin yakin nggak ada orang yang layak diperlakukan hina kayak gini. pedihnya digantikan tekad buat nggak nyerah diinjak gini. tangannya diam di perut mencari kekuatan dari buah hatinya yang jadi satu-satunya ada untuknya saat itu.

“saya nggak akan nyuruh kamu menggugurkan kandungan karena keluarga ini bukan pembunuh,” si kepala keluarga bersuara. “bagaimana pun anak itu adalah bagian dari jeno, anak kami, yang akan kami usahakan kesehatannya.”

jaemin nggak bilang apa-apa. kepalanya berusaha ngeproses segala hal yang terjadi dan matanya ngelirik ke arah tangga di mana terakhir kali ia lihat jeno pergi. amarahnya memuncak tapi dia nggak bisa apa-apa. gimana pun, orang-orang ini adalah keluarga jeno. orang yang ia cintai sepenuh hati.

makanya ketika jeno balik dan dengan kasual ngelingkarin lengannya ke jaemin, dia nggak bilang apa-apa tapi setengah jiwanya udah terbang entah kemana: berharap bisa segera ninggalin tempat yang rasanya kayak neraka.

*

rencananya adalah mereka segera lulus.

maka jeno dan jaemin berjuang sekuat tenaga buat bisa segera lulus dari kampus. anak di kandungannya bak memahami situasi dan kondisi, berhenti ngasih jaemin waktu yang kurang menyenangkan. lambat laun rasa mualnya menghilang dan jaemin bisa beraktifitas lagi kayak biasa. bedanya adalah, dia jadi lebih cepet lelah jadi jaemin dengan berat hati berhenti ngelakuin kegiatan-kegiatan volunteering-nya.

“aku kangen sama anak-anak di sana.”

kadang jaemin jadi amat sensitif dan kerinduannya sama kegiatan biasa bisa bikin dia menitikkan air mata. jeno bakal ada di sampingnya. ngelus-ngelus sambil ngusap air matanya. ngasih janji buat nemenin jaemin ketemu anak-anak yang mereka ajar kalau situasinya lebih memungkinkan.

jeno lebih banyak ngabisin waktu bareng jaemin. mastiin kondisinya baik dan orang yang sama bisa ngabisin waktu berjam-jam buat ngobrol sama perut jaemin sambil dielus-elus. di rumah kecil yang nggak layak itu, jeno nemuin kehangatan layaknya rumah. kali ini dengan keluarga yang dia bentuk sendiri.

jaemin paling suka malam-malam menjelang tidur mereka. waktu jeno meluk dia dan mereka bakal berciuman dalam keadaan kepala jaemin di lengan jeno. ciuman itu nggak bergerak lebih jauh karena dokter mewanti-wanti agar mereka nggak bercinta dulu hingga kandungan jaemin lebih kuat. jadilah mereka cuma saling mencumbu dengan cara yang aman.

jaemin yang tengah mengandung itu tahu betul kadang jeno kesulitan. dia sering denger malem-malem jeno ke kamar mandi dan ada suara-suara lenguhan tertahan dari sana. jaemin tahu jeno punya kebutuhan biologis yang perlu dipenuhi dan pasti sulit buatnya berdekatan dengan jaemin tanpa bisa melakukan apa-apa. makanya malam besoknya jaemin yang nggak tega tahu-tahu ngerangkak dan ngebuka celana jeno. bikin si pemuda yang awalnya cemas setengah mati dan nolak tawaran blowjob dari jaemin malah berakhir ngeluarin suara-suara mesum dengan tangan tanpa sadar megangin rambut jaemin.

jeno minta maaf waktu dia keluar banyak du mulut jaemin dan yang dimintai maaf cuma tersenyum sambil nyeka mulutnya dengan punggung tangan. bikin jeno meneguk liur begitu ngelihat betapa sensualnya jaemin yang nelen cairan cintanya tanpa banyak masalah.

jaemin lama-lama lupa soal kejadian di rumah itu. apalagi nggak ada yang ngeganggu dia dan jeno juga beneran selalu ada buat mereka. mereka berdua yang sibuk memenuhi kewajiban pada akhirnya sampai ke ujung perkuliahan dan toga adalah pertanda mereka bisa lepas dari kampus.

jeno sepakat kalau jaemin nggak usah kerja apa-apa dan diam di rumah dulu. mereka juga selalu ke dokter kandungan kepercayaan keluarga jeno diam-diam dan sementara ini nggak pernah ketahuan. mereka berdua beneran berbahagia dengan apa yang mereka punya. nggak ada dikejar apa pun lagi karena tanggung jawab di kampus akhirnya selesai dan jeno masih mau ambil napas sejenak sebelum mulai bekerja.

masuk ke trimester kedua, kandungan jaemin jadi jauh lebih kuat. kunjungan ke dokter kandungan hari ini bikin jeno nyengir karena menurut sang dokter, mereka udah diperbolehkan berhubungan badan lagi meskipun nggak boleh terlalu sering. makanya begitu sampai di rumah nggak butuh waktu lama jeno langsung masang ekspresi ingin dan jaemin ketawa sambil minta mereka berdua buat mandi dulu.

jeno bahagia banget rasanya setelah ketahan sekian bulan. belum lagi trimester kedua ternyata bikin jaemin jadi lebih bergairah karena libidonya yang naik. nggak jarang dia yang biasanya agak malu malah jadi yang pertama minta. bikin jeno kesenengan kalau pagi-pagi tahu-tahu bangun dalam keadaan pasangan yang minta dicintai.

baik jaemin dan jeno berpikir mereka berdua bakal bahagia sampai seterusnya tapi nggak ada yang nyangka bahagia mereka sifatnya begitu sementara.

pesan itu dateng waktu mereka berdua lagi duduk berdua di ruang tengah. jeno lagi ngelus perut jaemin dan jaemin tersenyum sayang ngelihat jeno lagi bicara dengan anak mereka. sebuah panggilan telepon langsung ngubah suasana hatinya. sebab panggilan itu dateng dari keluarga jeno yang minta anak lelaki mereka buat mulai bekerja secepetnya.

jeno tersenyum meyakinkan jaemin kalau dia nggak bakal kehilangan jeno

“anak kita nggak mungkin nggak kukasih makan apa-apa, ‘kan?” jeno tertawa halus sambil ngelus pipi jaemin. “aku bakal belajar keras dan kerja yang rajin biar bisa ngehidupin keluarga kecil kita juga bikin kamu sama si kecil ini bangga.”

jaemin percaya. jaemin berusaha percaya.

di awal jeno masih datang ke tempatnya. semalam-malamnya hari, selelah-lelahnya jeno, pemuda itu bakal dateng dan tertidur sambil meluk jaemin. lama-lama frekuensi kunjungan itu makin minim dan digantikan oleh panggilan telepon.

“papa berharap banget sama aku kayaknya jadi semangat ngajarin banyak hal.”

semangat itu bentuknya jadi rajin ngirim jeno ke luar kota dan jeno cerita kalau pengalaman itu bakal bikin jeno semakin kaya dengan ilmu. yang jaemin tahu, ia yakin ini adalah cara keluarga jeno buat pelan-pelan ngejauhin mereka.

maka teringatlah oleh jaemin segala kejadian malam itu. apalagi jeno tiba-tiba memberikan nomor keluarganya pada jaemin dan begitu pula sebaliknya. jeno bilang, keluarganya pengen ngejaga jaemin selama jeno berjuang buat kerjanya. sesuatu yang jaemin tahu kebohongan besar karena nggak mungkin orang-orang itu peduli. bener aja, akses mereka yang makin deket ke jaemin dipakainya sedemikian rupa.

jaemin diteror.

nggak perlu investigator terbaik buat tahu sederet nomor asing yang menerornya siang malam adalah suruhan keluarga jeno. buktinya, setelah ceritanya pada jeno, pasangannya itu langsung minta jaemin ganti nomor dan bahkan setelah itu, dia tetep dapet teror. padahal jelas-jelas nggak ada yang tahu lagi nomornya selain orang terdekat lalu keluarga jeno.

hingga panggilan-panggilan jeno makin jarang dan lama-lama tak pernah masuk lagi.

jaemin sedih. satu minggu paling-paling cuma ada beberapa gelembung pesan yang isinya kabar kalau jeno lagi pusing dan nggak sempet buat berkabar. jaemin putuskan buat berbesar hati dan bilang supaya jeno jaga kesehatan. pesan yang bahkan nggak dibaca-baca lagi sampai sekian hari ke depannya jaemin ngirim pesan lagi. jujur jaemin bingung. kok bisa sebegitu cepatnya jeno berubah di saat sebelum-sebelumnya, jeno masih mengupayakan yang terbaik buat mereka bertiga.

nggak bisa ditolak, ada pikiran jelek mulai merasuki isi kepala jaemin. jangan-jangan jeno mulai sadar kalau masa depannya jauh lebih menjanjikan tanpa dirinya dan anak di kandungannya. jangan-jangan tiba-tiba jeno sadar kalau usia mereka terlalu muda buat bertanggung jawab atas hidup nyawa baru di antara mereka.

tiba-tiba jaemin dikelilingi pikiran-pikiran menyeramkan.

kombinasi teror tiada akhir dan skenario buruk yang selalu diputar dalam kepala bikin jaemin melemah. sebelum pergi, jeno pernah bilang kalau ada apa-apa buat segera ngehubungin keluarganya tapi jaemin tahu betul itu sama aja bikin dia makin lemah. dia tahan-tahanin kondisi badannya dan berjalan seorang diri ke klinik yang jauhnya luar biasa agar tak ada satu pun mengetahui soal kehamilannya.

hasilnya nggak ngagetin sama sekali: stress. sesuatu yang harusnya dihindari oleh mereka yang sedang mengandung. jaemin cuma bisa terdiam dengerin penjelasan dokter kandungannya karena kelola stress yang berkali-kali disebut kayak sesuatu yang bakalan sulit dia capai.

gimana caranya mau nggak stress kalau tiap hari begini?

jaemin ketawa hambar. nggak paham kenapa hidupnya jadi kayak gini. sekarang dia terdiam sendiri di bangku panjang ruang praktik. wajahnya tertunduk dan tangannya mengelus perutnya sendiri. pikirannya runyam dan ruwet. mikirin nasib mereka berdua ke depannya nanti.

kalau belum apa-apa jeno udah ilang-ilangan, gimana nanti?

*

ratusan mil dari tempat jaemin berada, jeno tengah berpikir keras.

belakangan dia ngerasa ada yang aneh dari jaemin. pasangannya itu hanya sesekali ngebales pesannya dan gaya ketikannya juga agak berbeda dari biasanya. jeno ngerasa, jaemin jadi dingin. padahal dia udah minta maaf karena ngilang beberapa hari sebab gawainya tahu-tahu hilang dan butuh waktu untuk dia sempat cari pengganti. itu pun pada akhirnya dibantu asisten keluarganya.

jeno bersyukur keluarganya sangat menjaga jaemin. dari pesan-pesan yang dikirim jaemin, jeno tahu kalau setiap minggu jaemin kontrol di dokter terbaik dan selalu dikirimkan makanan bermacam-macam. hasil-hasil usg jaemin jadi pelipur lara jeno yang sakit kepala karena pekerjaan.

hanya saja … sudah dua minggu lebih jaemin menolak melakukan panggilan. entah itu telepon atau panggilan video.

jeno nggak tahu ada apa tapi dia sedih banget. dia kangen suara jaemin yang sekarang terasa makin jauh. bahkan permohonan jeno buat dikirimin pesan suara aja ditolak. katanya nggak mood dan jeno berusaha maklum. katanya suasana hati seseorang yang lagi mengandung emang buruk jadi harus dirinya yang mau memahami.

“apa saya pulang sebentar, ya, pak?” jeno minta pendapat dari asisten pribadinya.

“menurut saya selesaikan semua dulu di sini supaya tuan bisa leluasa kalau mau pulang bertemu keluarga.”

dengan berat hati jeno menyanggupi meski dalam hati ia rindu sekali.

*

jeno nggak pernah muncul lagi.

sibuk, sibuk, sibuk terus. pesan balasan jeno selalu terdengar tak acuh dan alasannya nggak jauh dari kata sibuk. pada akhirnya, jaemin berusaha ngasih jeno ruang berharap dia akan sadar sendiri jika jaemin nggak lagi mengiriminya pesan tapi apa jadinya?

jeno ikut berhenti.

masuk hari kesembilan tanpa mereka saling berkabar dan jaemin bangun pagi dengan air mata berlinang-linang. tiba-tiba ia tersadar kalau sekarang dia beneran sendirian dan nggak punya penopang lain. anak ini sepertinya harus ia besarkan sendiri karena jaemin yakin jeno udah nggak mau tahu lagi soal mereka.

sebuah pesan terakhir ia kirim. tangannya bergetar dan matanya kabur karena tertutup linangan air mata. jaemin bahkan nggak tahu apakah ada salah ketik atau bagaimana tapi yang sekarang bisa ia lakukan adalah meminta kejelasan.

kamu mau aku pergi?

nggak ada jawaban dari jeno tapi tanda bahwa pesan itu udah dibaca tanpa ada balasan apa pun udah cukup buat jaemin sadar kalau hubungannya dengan jeno udah bener-bener nggak bisa dianggap ada lagi.

hati jaemin rasanya hancur sekali.

puas menangis sekian lama, jaemin seka air matanya. dia nggak pernah punya siapa-siapa dan sebelum jeno jadi harusnya hal begini nggak bikin dia terguncang.

cuma dia bisa apa? belakangan jeno muncul dan jadi bagian dari hidupnya. sampai jaemin rasanya nggak inget gimana hidupnya sebelum jeno ada. lelaki itu … dia yang ngegenggam tangan jaemin dan ngeyakinin dia kalau mereka bisa jadi keluarga kecil yang bahagia. orang yang sama juga ngeyakinin jaemin kalau dia bakal selalu ada saat sedih dan senang sampai kapan pun. janji-janji manis yang bilang kalau setelah semuanya lebih stabil, mereka berdua bakal ngiket janji.

semua terasa benar.

nyatanya apa? tiga bulan sebelum anak mereka lahir ke dunia, jeno jadi abai. jangankan bertanya kabar anaknya, pesan singkat jaemin aja cuma sekadar dibaca. itu adalah bentuk kekecewaan terbesar jaemin. sesuatu yang bikin dia sadar kalau nggak seharusnya dia percaya sama orang lain selain dirinya sendiri.

jaemin patah hati. jaemin sakit hati. anaknya nggak pantes dapetin sosok ayah yang bahkan nggak memikirkan dirinya.

(jadi jaemin memilih pergi.)

*

orang yang bernasib sama dengannya rupanya nggak sedikit.

jaemin cari-cari segala informasi sampai dia temuin sebuah rumah singgah untuk orang dengan kisah sepertinya. malam-malam tanpa pikir panjang ia mengepak barang-barangnya dan dengan uang seadanya nekat pergi ke alamat yang ia temukan di media sosial. rumah singgah itu katanya tempat yang aman buat orang sepertinya dan dimiliki oleh seseorang bernama renjun. usia renjun ternyata sepantaran dengannya yang mana bikin jaemin yakin kalau dia bakal baik-baik saja.

kereta malam selalu sepi dan lebih dingin dari biasanya. jaemin duduk di gerbong belakang sambil nyenderin kepala ke jendela. kartu sim untuk teleponnya sudah ia ganti dengan harapan tak akan ada lagi yang bisa menghubungi. kali ini, nggak dia beritahu siapa-siapa lagi bahkan orang yang ia anggap dekat sekali pun.

jaemin memutuskan bakal memulai hidup baru.

kereta tiba di stasiun tujuan ketiga hari berangsur terang. jaemin nggak ingat kapan dia tertidur dan bersyukur ia sempat terbangun sebelum kereta beneran berhenti. lekas ia turun lalu melihat sekelilingnya: kota baru, hidup baru, dengan harapan baru. sesuatu yang penuh ketidakpastian tapi jaemin yakini jauh lebih baik daripada terperangkap di kehidupan lamanya dengan sejuta memori tentang jeno tersemat di sana.

jaemin rasa ia sudah cukup banyak menangis.

ia ikuti arah dari map untuk mencari alamat yang ia maksud. nekat naik turun kendaraan umum setelah kalkulasi mana yang lebih murah ketimbang ojek daring. butuh satu jam hingga ia turun di depan gang lalu berjalan sedikit ke arah rumah singgah yang ia maksud.

rumah itu nggak besar tapi kelihatan asri. di depannya banyak pot bunga dan pohon kecil yang bikin sejuk. pagarnya terbuka setengah dan waktu jaemin masuk, ada beberapa orang sedang berjongkok di halaman mencabut rumput.

semua menatap ingin tahu dan begitu pandangan mereka bergulir ke arah perut yang membuncit, semuanya serempak mengulas senyum ramah. ekspresinya mengerti dan memahami. mereka bangkit lalu dengan ramah mempersilakan jaemin masuk.

“renjun lagi keluar sebentar. duduk sini dulu aja, ya?” kata seseorang bermata sipit dengan tubuh tinggi. katanya namanya jisung dan anak itu berbicara dengan nada selalu ragu-ragu.

“terima kasih.”

“mau minum apa?”

“teh anget pake madu dan jeruk nipis aja.” ada orang lain tahu-tahu muncul. ekspresinya ingin tahu dan ia kelihatan tertarik melihat jaemin. “jungwoo. kamu?”

“jaemin.” jaemin ngasih si pendatang baru anggukan kecil. terpukau ngelihat jungwoo yang secara terbuka ngelihatin rasa penasarannya ke jaemin.

“udah berapa bulan?”

“enam. masuk tujuh.”

“keren.” ucapnya santai. dari nadanya, dia beneran sungguh-sungguh soal apa yang disebutkan barusan. bukan komentar sambil lalu aja. “dari mana?”

waktu jaemin ngasih tahu asalnya. senyum jungwoo jatuh. kali ini ada sebersit prihatin di sana yang mana bikin jaemin jadi ngerasa agak nggak nyaman. dia nggak datang ke sini buat dikasihani secara terbuka terlepas dari emang wajar banget orang kasihan ke dia.

untungnya jungwoo peka. dia langsung undur diri bilang biar dia aja yang bikinin minum terus tanya apa jaemin udah sarapan. gelengan jaemin bikin jungwoo kembali dengan segelas teh madu dengan jeruk nipis plus sepiring kecil berisi gorengan yang masih hangat. sarapan yang cukup aneh untuk seseorang dengan bayi dalam kandungan tapi jaemin nggak ngerasa ia punya pilihan lain.

“jungwoo.”

“apa?”

“berapa banyak yang harus kita bayar dalam sebulan kalau mau numpang tinggal di sini?”

pertanyaan jaemin bikin pemuda itu tertawa. “ini rumah singgah, bukan hotel, jaemin.”

“masa iya siapa saja bisa sembarangan tinggal di sini?”

“nggak sembarangan,” jungwoo ngegeleng. “nggak ada orang sembarangan dateng ke sini. orang dateng ke sini karena mereka punya situasi.”

jaemin mengangguk pelan. betul, semua punya situasi. jaemin pun nggak bakal dateng ke sini kalau bukan karena situasinya begini.

“jadi pemiliknya, renjun, ‘kan? dia dapat uang dari mana buat menampung orang-orang yang tinggal di sini.”

“donatur,” pemuda itu ngejawab singkat. “ada banyak donatur tapi dia sendiri juga kaya dan temennya yang namanya chenle juga kaya banget.”

jaemin ngerasa nggak asing dengan nama itu tapi dia nggak berhasil nginget dimana dia pernah denger nama itu. sampai sebuah mobil berhenti di pelataran carport dan dua orang turun dari pintu berbeda bikin jaemin refleks ngebekep mulut begitu salah satunya bertatapan mata dengannya.

renjun itu …

“oh?”

jaemin rasanya pengen lari. nggak nyangka renjun yang nggak pernah mau nama lengkap dan wajahnya dipublikasikan di media mana pun adalah renjun yang ia kenal. pemuda itu teman kampus yang pernah sama-sama bekerja sukarela. orang yang sama dengan yang memberinya payung saat dulu ia harus jalan jauh karena jeno nggak mau bicara dengannya.

renjun seolah paham isi kepala jaemin langsung buru-buru mendekati. ngeyakinin jaemin kalau dia aman di sini dan renjun nggak bakal buka mulut atau ngelakuin sesuatu yang bisa bikin jaemin dalam masalah. hal itu berhasil bikin jaemin duduk lagi dan jungwoo jadi makin penasaran gimana ceritanya si empunya rumah singgah ini mengenal pendatang baru itu.

“gue sama sekali nggak bakal minta lo cerita ada apa dan nggak bakal pengen tahu apa pun soal kehamilan lo selain kondisi serta umurnya. identitas lo juga aman di sini jadi kalau misalnya lo khawatir, gue berani bikin surat perjanjian sebagai jaminan keselamatan lo.”

diyakinkan gitu bikin jaemin malu sendiri. kesannya dia curiga setengah mati padahal posisinya dia yang dateng ke sini buat nyari perlindungan. jaemin ngusap tengkuknya malu terus bercerita seadanya. nggak lupa meninggalkan bagian identitas ayah dari bayinya dan kemana perginya beliau.

“oke, gue ngerti.” renjun manggut-manggut. “lo bisa tinggal di sini dan untuk urusan kontrol kita urus nantinya. lo nggak perlu khawatirin apa-apa lagi. lo cuma perlu sehat dan seneng biar bayi lo juga lahir selamat.”

jaemin rasanya bener-bener lemes tapi dalam hal yang baik. dia nggak nyangka langkah berisikonya berhasil ngebawa dia ke keputusan paling benar: tempat aman dan nyaman untuk orang seperti dirinya.

di kehidupan barunya ini, anaknya mungkin akan besar dengan satu ayah saja tapi setidaknya mereka ada di lingkungan yang benar.

*

“saya. mau. pulang.”

lupakan segala tata krama yang sudah diajarkan sejak kecil karena sekarang jeno udah nggak bisa menahan diri lagi.

satu bulan tanpa kejelasan bikin perasaannya makin nggak nyaman dan dia tahu ada yang nggak beres. dia udah nyerah minta jaemin buat nampakin wajah jadi dia minta keluarganya buat diam-diam ngelakuin panggilan video waktu lagi bareng jaemin tapi nggak satu pun berhasil melakukannya. curiga, jeno sewa satu orang yang nggak berkaitan dengan keluarganya cuma buat tahu kalau ternyata dia dihadapkan dengan kebohongan.

nomor jaemin yang diberikan keluarganya adalah jaemin gadungan. nomor salah satu suruhan yang disuruh berpura-pura jadi jaemin. foto-foto usg yang jadi pelipur laranya bukan milik jaemin dan darah daging mereka. hpnya yang hilang pun ia yakini nggak beneran hilang. orang suruhan keluarganya sepertinya menyembunyikannya dan mengganti gawainya agar bisa dilacak.

jeno hubungi kawan-kawannya dan minta tolong dicarikan nama jaemin tapi mereka semua bilang nggak ada satu pun yang bisa mengontaknya lain. jeno marah besar. apalagi waktu permintaannya agar haechan dan mark mencari jaemin berakhir di kabar kalau jaemin udah sebulan lebih ngilang dari rumahnya.

“kalian nyembunyiin keluarga saya?!”

pasangannya yang sedang mengandung, cintanya, lalu buah hati mereka. dengan begini berarti sudah dua bulan lebih ia dibohongi dan tebakannya, jaemin pergi karena berpikir jeno tidak peduli. jeno marah besar. ia mengerang marah begitu sadar kalau ia sedang dibuat menjauh dari keluarga kecil yang bahkan belum sempat ia legalkan hubungannya. isi pikirannya kacau. sadar kalau nggak satu pun ada petunjuk mengenai keberadaan mereka.

staf-staf yang dibentak tak berani angkat kepala. salah satu berhasil diam-diam menghubungi keluarga inti dan mereka bilang buat tetap menutupi. percuma, jeno tahu terlalu banyak. jeno tahu kalau keluarga inti yang ia pikir bisa percaya ternyata adalah dalang di balik hilangnya keluarga kecilnya.

jaemin harusnya sebentar lagi melahirkan…

jeno nggak mau tahu lagi. dia paksa mereka buat membiarkannya pergi dan dengan tiket paling awal ia kembali ke tanah airnya. tempat pertama yang ia tuju adalah dokter kandungan biasa dan hatinya mencelos begitu dikabari sejak kepergiannya, jaemin nggak pernah lagi datang kemari.

“keluarga saya nggak—“

“nggak pernah, pak. maaf sekali.”

makin-makin amarahnya memuncak. dia nggak tahu apakah jaemin bahkan ada kontrol kandungan dan waktu dia mendatangi tetangga sekitar, mereka bahkan nggak ada yang tahu soal kondisi jaemin. mereka bilang jaemin selalu mengurung diri dan keluar semalam-malamnya hari. makanan yang diantar pun jarang yang ia terima sendiri. kebanyakan diletakkan di depan pintu saja.

jeno rasanya ingin menangis. menyadari betapa menderitanya jaemin. dia bahkan nggak punya bayangan soal keberadaan jaemin karena sepanjang pengetahuannya, jaemin nggak punya siapa-siapa. ke mana pasangannya itu akan pergi kalau keluarga saja dia nggak punya?

jaemin cuma punya dirinya.

datanglah dia ke haechan dan mark. ngejelasin segala situasi sampai bikin kedua temannya ikut ngerasa bersalah karena nggak kepikiran buat nengok-nengok jaemin. jeno bilang mereka nggak perlu ngerasa bersalah karena semua harusnya tanggung jawabnya tapi tetep aja kedua orang itu ngerasa memikul beban kesalahan yang sama.

“gue bakal bantuin lo cari jaemin sampai ketemu.”

“gue juga.”

jeno tersenyum kecil. seenggaknya di tengah-tengah kemelut hidupnya dia masih punya secercah harapan dalam bentuk dua sahabat baiknya ini. jeno utarakan terima kasih yang besar untuk keduanya dan tepukan di bahunya rasanya untuk sekarang beneran ngebantu bikin jeno agak lega.

tiga orang dengan pertemanan yang super luas aja ternyata nggak cukup buat mereka nemuin jaemin. aneh, menurut mereka. sebab selama ini nyari orang bukan hal sulit lalu tahu-tahu nyari jaemin nggak menghasilkan apa-apa bahkan setelah hampir dua minggu pencarian.

jaemin kayak ditelan bumi.

“gue nggak tahu lagi dia ngumpet dimana.” haechan mengernyit bingung. mereka bertiga ngumpul di rumah mark dan sama-sama nggak habis pikir dengan hasil pencarian mereka.

“gue juga udah tanya ke kenalan yang kerja di bandara tapi nggak ada tanda-tanda jaemin keluar negeri.”

“dia nggak punya passport,” haechan ngedengus. “gue udah coba cari tahu datanya tapi itu anak nggak pernah bikin passport seumur hidupnya. coret kemungkinan luar negeri.”

“kalau kemungkinan pemalsuan dokumen?”

jeno ngegeleng. “jaemin nggak punya kenalan buat hal-hal begitu,” jeno ngehela napas berat. “gue udah tanya kakak gue dan dia bilang nggak ada yang bikin dokumen palsu yang ciri-cirinya kayak jaemin.”

“terus dia kemana?” haechan kedengeran frustrasi. “apa dia ada backingan keren? tapi dia bahkan nggak punya temen, ‘kan?”

mereka bertiga diam agak lama sampai mark tiba-tiba ngelihat haechan dan jeno bergantian. ekspresinya ragu dan takut-takut.

“kenapa lo?” tanya jeno.

“menurut lo pada,” mark kedengeran hati-hati banget. “apa kita mesti cek daftar kematian beberapa bulan terakhir?”

haechan terdiam dan ketika ia melirik jeno, lelaki itu menatap mark marah. “maksud lo jaemin udah mati?!”

“jen, tenang, jen. gue cuma coba ngasih solusi.” mark buru-buru menenangkan. “jujur gue udah nggak tahu lagi mau cari dia dimana.”

solusi dari mark (yang menurut jeno sangat nggak solutif) bikin jeno jadi amat gusar. jujur aja solusi itu masuk akal tapi solusi yang sama bikin jeno jadi ketar ketir dan ketakutan sendiri. gimana kalau ternyata nama itu ada? gimana kalau jaemin ternyata emang udah punya batu nisan dan waktu mereka runut ceritanya, ia mati seorang diri dalam keadaan mengandung?

jeno berteriak dan ngelempar gawainya. bentuk pelampiasan emosi yang belakangan meluap-luap tanpa tahu gimana caranya supaya dia bisa tenang lagi. di kepala jeno sekarang cuma ada jaemin, jaemin, dan jaemin.

“gue harus temuin dia.”

“kita bertiga udah berusaha—“

“usaha lagi!” jeno dengan keras kepala mendorong mereka lebih jauh. “gue butuh tahu jaemin dan anak gue ada dimana!”

mark dan haechan cuma bisa ngehela napas panjang.

*

“percuma,” pemuda itu menyesap kopinya. “nggak bakalan ketemu.”

di depan jaemin ada renjun dan chenle. keduanya ngasih tahu kalau belakangan ada banyak pihak yang nyoba nyari tahu keberadaan jaemin dan keduanya bilang mereka nggak bakal berhasil karena keduanya juga punya backingan kuat buat nyembunyiin presensi jaemin dari dunia.

“kalian tahu siapa yang nyari?” tanya jaemin penasaran.

“keluarga-keluarga berkuasa. anak-anaknya.” chenle ngeletakin minumannya terus ngelipet lengan dengan ekspresi jumawa. “tapi di atas mereka masih ada gue.”

renjun ketawa halus. abis itu dia nengok ke arah jaemin yang kelihatan gusar. perlahan ia pindah ke spasi di samping jaemin lalu merangkulnya hangat. “nggak usah khawatir. chenle punya kuasa yang bikin dia lebih dari mampu buat nyembunyiin hal paling jelas sekali pun.”

“terima kasih…”

“walaupun gue cukup penasaran kenapa lo dicariin jujur aja.” chenle berkata dengan gamblang. “no offense, tapi bahkan lo bikin pewaris paling ‘pangeran’ turun ke tanah berlumpur … keren juga.”

jaemin mengerjap. tatapannya penuh tanya pada chenle. “pangeran?”

“jeno. pernah dengar?”

jaemin terdengar murni terkejut. “jeno?” ia mengerjap beberapa kali dan tergugu. “jeno ada di negara ini?”

so you do know him.” chenle tersenyum antusias. “keren juga networking lo.”

“jeno teman satu kampus kita,” renjun ngejelasin. “dia dan jaemin pernah volunteer bareng.”

“seakrab itu sampai dicariin?”

jaemin meneguk liurnya kasar. chenle terlalu tajam dan dia jadi kesulitan mengelak. di sampingnya, renjun melemparkan tatapan peringatan agar chenle berhenti menekan jaemin lebih jauh.

“jeno ayah dari anak gue…”

nggak ada yang siap dengan pengakuan itu. nggak juga chenle yang jarang banget bisa ngerasa kaget. sekarang ekspresinya beneran nggak habis pikir dan matanya menatap jaemin penuh selidik.

“dia maksa lo?”

jaemin menggeleng. “kita … mempertahankan anak ini.”

holy shit—” chenle sampai ngehempasin punggungnya ke sandaran sofa ruang tengah rumah singgah itu. “jadi di perut lo ada penerus salah satu keluarga paling kaya di negara ini.”

“yang nggak diing