clowningweeb

“udah lama?”

“gaya banget nanyanya udah lama udah lama.” hanse ngedengus sambil makan makanan ringan gratis yang bebas dimakan sepuasnya di all you can eat itu. dia sebagai yang dateng duluan nunggu di kursi panjang deket kasir bilang mau nungguin byungchan. nggak rela waktu makannya keitunh duluan. “subin bilang mau nyusul abis potong peler.”

“kalau bareng cewenya bilang nggak usah. lagi nggak pengen di-pdkt-in calon keluarga.”

hanse ngakak. “tai. bilang aja takut dilangkahin.”

“gue nggak setakut itu jadi perjaka tua.”

mereka akhirnya masuk dan duduk di meja paling pojok. gantian ngambil apa yang dipengen terus mulai ngobrol lagi pas meja udah penuh nampan-nampan isi daging, sayur, dan lain-lain.

“lo nggak ngajak gue makan cuma karena kebetulan renew passport, ‘kan?”

hanse ketawa. apalah gunanya kenal dari zaman masih terlalu kecil sampe sekarang kalau mau basa basi atau pura-pura silaturahmi. “nyokap gue kekeuh gue mesti daftar pns. katanya mau buka.”

“lo? jadi pns?” byungchan refleks ngedengusin tawa. “nggak cocok.”

“tul. mana rela gue ikan duyungnya disetrika.” hanse ngelus lengannya yang ada gambar ikan duyung. “lagian gue nggak cocok dikekang begitu.”

“emang nyokap bilang apa?”

“sayang s2 gue kalau nggak dipake jadi dosen. cuma, duh, gue s2 kan karena kepo aja dulu. bosen kerja mulu kangen belajar eh nyokap gue mikir harus diseriusin,” hanse nyelupin daging yang digulung-gulung ke kuah mendidih terus ditarik abis berapa detik. “nggak lucu kalau gue keterima di univ negeri terus gue disuruh mimpin shalat jamaah.”

“tolol.” byungchan ngikik. “kalau disuruh jadi imam lo pake baju romo aja.”

“lo tolol.” hanse ngelempar byungchan pake tangkai pokchoy. “kenapa ya gue ambil keuangan syariah?”

“nggak ada keuangan pantekosta, sih.”

“mulut lo mau gue rebus nggak?”

“ampun!” byungchan nangkupin kedua tangan sebelum lanjut makan. “emang tante tuh nggak tahu apa kalau duit lo buka distro sama jastip-jastip tuh gede?”

“nggak stabil. nyokap maunya jadi pns biar ampe gue sekarat cucu gue bisa beli cimol. masalah prestige.”

byungchan cuma bisa manggut-manggut prihatin. dia sebagai keluarga udah ngerti banget kalau keluarga besarnya emang lebih mentingin gengsi ketimbang usaha yang dilakuin anak-cucunya. hanse yang paling sering direcokin karena cucu paling pinter malah sekarang doyan tattooan dan nggak mau kerja di pemerintahan terus milih buat jadi kacung belanja—sebutan mereka buat jastip hanse.

“lo beneran no banget mau jadi pns, se?”

“mau, sih, pns.”

“anjing, nggak konsisten.”

“pegawai nagita slavina.”

“terserah luuuuu.”

*

makanan mereka habis setengah waktu akhirnya pembicaraan mulai ngarah ke byungchan. gantian byungchan yang cerita soal perkembangannya sama seungwoo dan hanse nyimak sambil ngunyah. beberapa kali byungchan nyoba buat nge-filter ceritanya dan berapa kali pula hanse langsung nodongin sumpit sambil ngomong ‘yang lengkap ceritanya’.

hanse emang paling serem kalau soal nebak beginian.

“menurut gue lo ketemuan gih ama dia.”

“kenapa?”

“ketikan terlalu bias,” hanse nyendok kuah ke mangkok terus nyeruput tanpa sendok. persetan dengan tata krama. “mau kenal ama orang paling bener pake gestur dan bahasa tubuh. ketikan mah bisa nipu.”

“dia emang ngajak ketemu, sih, kalau udah akrab.”

“halah.”

“seriusan.”

“sebulan cukup asal intens komunikasinya.”

“lo kayak yang paling paham aja masalah beginian.”

“ya paham nggak paham, sih?” hanse nyengir. “lo lupa gue juga udah khatam banget sama jodoh-jodohan gini?”

“bedanya lo dijodohin kalau gue dia yang minta.”

“terus bangga banget ditaksir baby, hmm, daddy byungchan?”

(hanse terpaksa minta sumpit satu lagi karena sumpit byungchan dilempar ke dia dengan emosi.)

*

mimpi tidak semudah itu diraih. bahkan ketika ia berpikir lulus dan pergi jauh dari kota kecilnya berarti selangkah lebih dekat menuju apa yang ia cita-citakan, kenyataan menamparnya telak: selangkah yang ia pikirkan ternyata jaraknya sejauh horizon senja.

tidur adalah kemewahan. hari-harinya dimulai lebih awal—ketika sebagian besar manusia masih tertidur dan ayam-ayam pemberitahu pagi bahkan belum terdengar kokoknya. tangannya yang mengurus dibalut jaket yang tak begitu tebal memegangi stang sepeda. mengayuh ontel yang berbunyi tak menyenangkan menyusuri komplek perumahan sembari mengantarkan susu ke depan rumah orang-orang berpunya. tugasnya selesai ketika semburat matahari muncul malu-malu di langit yang belum terlalu terang dan ia akan berhenti di depan satu toko kelontong kecil—menunggunya buka—kemudian meminta nasi kepal yang sudah lewat satu hari tanggal kedaluwarsanya untuk dijual padanya setengah harga. Pekerja di sana sudah hapal betul kebiasaan itu. Satu pekerja bernama Seungsik selalu memberinya gratis sementara pekerja berwajah galak tetap menerima uangnya.

ketika matahari sedikit naik, ia akan pergi ke taman bermain yang jaraknya agak jauh dari kediamannya sekarang. pergi ke bagian belakang dan mengganti pakaian serta berias menjadi seorang badut. rambut lurusnya berganti rambut kribo berwarna merah menyala dan kulit pucatnya ditutupi pewarna putih yang di akhir hari sering membuat semuka-muka terasa agak panas. bayarannya lumayan. apalagi ketika akhir pekan di mana taman bermain ramai dengan anak-anak.

mulai dari jam buka, ia berdiri di dekat wahana cangkir berputar bergoyang-goyang layaknya badut sambil membagikan balon berwarna-warni pada anak-anak yang mendekat. beberapa secara sukarela mengulurkan tangan meminta satu dan tak sedikit pula yang menangis melihat riasannya. rambut kribo, hidung bulat dan senyum yang garisnya ditarik paksa menggunakan pensil alis jelas bukan pemandangan menyenangkan. entah siapa yang memulai badut-badut ini dan berpikir tampilannya akan menghibur anak-anak.

jujur ia lelah. seharian berdiri dan harus bertingkah bahagia untuk menghibur sementara jauh di dalam sana, rasanya kopong. suaranya harus dibuat semenyenangkan mungkin meski ada hari-hari dimana suara tinggi itu terdengar nyaris pecah karena usaha si empunya yang sedang jatuh hendak menahan tangis.

“badut, mau balon pink!”

ada anak perempuan yang rambutnya dikuncir dua mengulurkan tangan meminta balon. seungwoo bergerak-gerak lucu lalu menunduk sedikit memberikan balon tersebut. si anak kecil kesenangan berterimakasih hingga seungwoo ikut merasa senang melihatnya. hingga si ibu mengatakan sesuatu yang membuat senyumnya jatuh.

“nah, kalau kamu nggak mau kayak badut ini yang cuma bagi-bagiin balon, belajar yang bener. kalau nggak gagal kayak dia.”

nadanya biasa saja dan ibu itu tersenyum sambil mengusap sayang kepala anaknya. namun, seungwoo merasa ditusuk ribuan pedang langsung ke jantungnya. kepalanya mengulang-ulang perkataan sang ibu dan membesarkan bagian ‘gagal’.

seungwoo adalah epitome kegagalan dan bahkan orang lain saja mengakuinya.

*

taman bermain tutup pukul sepuluh dan seungwoo tidak diberi waktu untuk menghapus riasan badutnya. maka hampir setiap hari, ia pulang dengan bus terakhir memakai baju kasual namun dengan riasan baju lengkap. tak jarang berpasang-pasang mata menatapnya lama-lama. tak sedikit pula yang berbisik dan cekikikan melihat orang aneh duduk di bagian paling belakang bus sambil memakan sekotak donat yang tidak habis dijual di taman bermain. seungwoo sudah biasa. makanya ia diam saja dan memakan donat-donat yang cukup untuk mengganjal perutnya sampai besok pagi.

ketika ia sampai di kabin kecilnya, ia meletakkan sisa donatnya di atas meja kecil yang merangkap meja kerjanya lalu pergi ke kamar mandi. di sana, ia ambil handuk kecil yang biasa ia gunakan untuk menghapus riasan (tidak ada anggaran untuk membeli kapas, tentunya) lalu mulai mengelap riasannya. malam itu, seungwoo merasa sekian kali lipat lebih lelah dari biasanya. tangannya bergerak agak lambat dan entah mengapa, setelah menghapus setengah riasannya ia menatap pantulan bayangannya di cermin lama.

kepalanya memilih memutar ulang kejadian tadi siang saat itu. membuatnya memikirkan tentang kegagalan-kegagalan juga kemungkinan kalau mimpinya akan berakhir sebagai bunga tidur belaka. tatapannya hampa. rasa percaya dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya hingga mendadak ia bertanya-tanya: mungkinkah ini bukan jalannya?

namun sisa-sisa kewarasannya berhasil menyusup di sana. memberitahunya untuk tak gentar dan meyakinkan diri kalau ini semua juga bagian dari lika-liku sebelum ia mencapai puncak. tak ada yang bilang jalan ke sana akan mudah dan seungwoo tahu betul soal itu.

seungwoo menatap pantulan bayangannya di cermin. tangannya kembali bergerak membersihkan pipi kirinya yang masih ada bekas cat putih di sana. sepasang matanya tetap terpusat pada hal yang sama: memandangi dirinya yang sedang menghapus topeng bahagianya setelah seharian berpura-pura ceria.

“bisa. pasti bisa.”

bibirnya tiba-tiba bergerak. kata-kata lirih lolos dari sana seiring dengan tangannya yang terus bergerak menghapus riasan badutnya.

“ini bukan apa-apa.”

tangannya menghapus rekah di bibirnya dan menyisakan rona yang tertarik mengenai pipinya.

“di atas sana, angin lebih kencang.”

ia menggosok wajahnya lebih kuat. ingin lekas menghapus riasan dan mengakhiri hari panjang yang melelahkan. hitungan detik sebelum tengah malam yang berarti ia hanya punya kurang dari empat jam sebelum harinya kembali dimulai.

“kamu bakal baik-baik aja.”

seungwoo berhenti menggosok wajahnya yang sekarang sedikit memerah karena terlalu kerasnya gosokan handuk kecil tadi.

“kamu bakal bahagia. kamu. harus. bahagia.”

dua jarum di jam dinding berdempetan di satu titik ketika puncak tengah malam datang dan semuanya kembali ke awal. bersamaan dengan air mata seungwoo yang jatuh dan isak tangis yang tertahan meluap dari dirinya.

kamu bakal bahagia. kamu harus bahagia.

(di cermin sana, ada separuh badut yang menampakkan sisi manusiawinya dengan menangis sementara separuhnya masih tertutup riasan dengan senyum panjang yang menunjukkan rekayasa bahagia.)

*

harinya dimulai lagi.

bersepeda pagi buta hingga gigi bergemeletuk menahan dingin dan perut yang semakin kuat saja diisi makanan kedaluwarsa. tungkai-tungkai membawanya kembali ke taman bermain yang penuh dengan kebahagiaan dan ada seungwoo yang menyembunyikan duka di balik riasan badut dan balon-balon cerah yang mengundang gelak tawa anak-anak.

satu balon dibagi. dua balon dibagi. lalu ada anak kecil minta berfoto dengannya. kepalanya berdentam-dentam, dadanya masih sesak dan tubuhnya terasa melayang karena dirinya yang hancur tadi malam sendirian.

semua bakal baik-baik saja.

hingga matahari semakin tinggi dan balon di tangannya tinggal satu. hari ini akhir pekan yang berarti taman bermain sekian kali lipat lebih ramai dari biasanya. ia beringsut ke dekat pembatas taman lalu mengambil botol minum yang disembunyikan di balik tanaman yang dipangkas rapi. menenggaknya rakus sambil berhati-hati agar gincunya tak hilang.

“Kak badut, boleh minta balonnya nggak?”

Siang itu luar biasa terik namun ada sesuatu yang besar menghalangi panasnya matahari akhir pekan dan menjaga seungwoo yang mendongak hingga tidak merasa silau.

seungwoo tertegun.

“atau mau tukeran? aku punya balon snoopy, boleh aku minta balon ungu di tangan kakak?”

pemuda itu tinggi. dengan ransel disampirkan di pundak dan tangan menggenggam tali balon berbentuk tokoh kartun masa kanak-kanak diangsurkan padanya. ia meminta seungwoo bertukar dengannya—balon karet biasa dengan balon bagus yang pasti dibeli di gerbang depan. harganya setara dengan satu roti lapis di kios dekat bianglala.

“byungchan—“

“jadi, rumah kita dimana, kak?”

(seungwoo meremas tali balon di tangannya kuat-kuat.)

*

deleted scene from this

based on gegulaan universe


Oke, jadi ada yang bisa kasih tahu apa salahnya kali ini?

Mungkin Seungsik terlalu terlena sejak pacaran sama Sejun. Sejun yang baik, Sejun yang memuja kayak dia adalah Tuhan-tuhan di game yang lagi dia mainin, dan Sejun yang selalu bikin Seungsik sadar kalau dia punya hak buat bahagia sama orang yang nganggep dia sama.

Pacaran belum lama dan nggak sampai dua bulan lagi sebelum ulang tahunnya (yang bakal jadi ulang tahun pertamanya sama Sejun), entah kenapa Sejun jadi cuek sama dia. Ada pesan-pesan yang nggak dibaca dan sekalinya dibaca, balasan dateng waktu Seungsik udah ketiduran duluan. Nggak ada lagi ucapan selamat pagi duluan karena mendadak Sejun sibuk banget pagi-pagi.

Masa iya anak magang sesibuk itu? Seungsik nggak bisa nggak ngebatin. Lagaknya Sejun udah kayak pemilik perusahaan yang udah punya cabang dimana-mana. Seungsik jadi balik ngegojek tiap pulang ngajar dan jujur aja dia kangen ada motor cewek dan cowo dengan helm pink nongol di depan kampus.

Intinya: Seungsik kangen Sejun.

Sekalinya dia berhasil ngeberaniin diri buat jujur kalau dia ngerasa Sejun kayak ngejarak (“aku boleh tahu nggak salah aku apa?”), Sejun nongol lagi. Walaupun mukanya super capek dan nggak jarang ngobrol sama Sejun lebih mirip ngomong ama simsimi: suka nggak nyambung. Cuma Seungsik yakin Sejun nggak bakal macem-macem. Seungsik percaya pacarnya setia.

Dia bakal percaya sama Sejun sebanyak Sejun percaya dia.

*

Seungsik nyerah buat berusaha bikin Sejun ‘ada’ jadi waktu hari ulang tahunnya beneran dateng, dia nggak berekspektasi apa-apa. Pagi juga sekarang gantian dia yang nyapa duluan juga pesan biar Sejun nggak lupa sarapan.

Sejun bales sejam kemudian. Motoin bungkus daun berantakan yang ternyata bekas sarapan dia. Sejun beli nasi kucing lima bungkus dan katanya masih laper. Seungsik bales pake emot ketawa terus pamit karena dia mau buka kelas.

Seungsik senyum waktu beberapa mahasiswa ngasih dia ucapan selamat. Bahkan di kelas siang, mereka beliin Seungsik kue kecil pake lilin tanpa angka di atasnya. Katanya takut salah karena umur Seungsik kayak direkayasa data. Berkali-kali Seungsik senyum lebar sambil bilang makasih karena seneng hari lahirnya diapresiasi.

Tapi rasanya tetep ada yang kurang.

Seungsik tarik napas dalem-dalem terus balik fokus ke urusan kampus. Sesekali masih ngecekin hp dan ternyata pesan terakhir yang dia pamitan bahkan belum dibaca. Seungsik agak sedih, tapi nggak mau berlarut-larut. Jadi dia tetep fokus ama ngajarnya dan tahu-tahu langit di atas sana udah berubah jingga.

Seungsik beresin barang-barang dan ketawa aja waktu ditanyain traktiran. Apalah gaji asisten dosen yang buat nutupin biaya sebulan aja udah susah payah. Dengan sopan dia panik, terus jalan ke luar fakultas sambil ngetik alamat kontrakannya. Siap pesen ojek buat pulang dan istirahat. Rasanya hari ini capek banget.

Jarinya berhenti ngetik waktu ada yang manggil dia.

“Ih, kok jalannya nunduk? Kan kamu bukan anak babi?”

Seungsik berasa nggak percaya waktu lihat ada helm pink lagi nongol depan fakultas. Yang bawa motor pke baju item putih dan digantungan motor ada totebag gede yang tebel—entah apa isinya.

“Kok kamu di sini?”

“Jemput asdos ganteng lah? Ini kan hari pake batik kamu pasti cakep.”

“Hari ini bukan pake batik.”

“Oh, lupa hari,” Sejun nyengir. “Tapi nggak lupa kamu. Jadi dimaafin.” Sambungnya asal. Padahal dia nggak minta maaf dan di ujung lidah, Seungsik gatel pengen bilang tapi kamu lupa.

Pas Seungsik ngedeket dan ngulurin tangan, bukannya ngasih helm, Sejun malah ngasih totebag berat tadi. Matanya langsung jadi kayak bulan sabit dan senyumnya lebaaar banget.

“Apa—“

“Happy birthday, Kang Seungsik,” kalau bisa robek mungkin mulut Sejun udah robek saking senengnya. “Maaf nggak jadi yang pertama ngasih ucapan soalnya ketiduran. Mau jam tujuh kok kayak nggak enak akhirnya aku ucapin langsung aja.”

“Jadi kamu inget?”

“Tahi lalat kamu letak astronomisnya dari ubun-ubun ampe kelingking kaki aja aku hafal apalagi cuma ulang tahun,” Sejun iseng mainin alis. “Sepele.”

“Terus kamu ngilang kemana?”

Sebagai jawaban, Sejun ngedikin dagu ke totebag yang dia kasih. “Nyari cuan buat beliin asdos ganteng kado yang mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Nggak ngerti, tapi Seungsik ngebuka totebag dan ngeluarin dua buku hardcover yang tebel-tebel itu. Yang bikin dia makin kaget, dua-duanya adalah buku asli yang harganya beneran bikin nangis. Makanya Seungsik buat bahan ajar aja cuma sanggup bolak balik perpustakaan dan pinjem seminggu-seminggu.

“Nggak usah bolak-balik perpus lagi. Kamu punya buku sendiri dan sekarang bisa kamu coret-coret. Aku juga beliin stabilo warna-warni biar kamu kerjanya nggak perlu nyalin dua kali. Hemat waktu, lebih banyak waktu buat kegiatan belajar-mengajar pribadi kita,” Sejun nyengir dan Seungsik jadi ketawa. “Mahal banget bukunya. Kalau pake duit magang doang nggak sanggup jadinya aku nambah kerjaan lain di tempat temen.”

“Ngapain?”

“Jual diri.”

Seungsik melotot dan Sejun ngakak. “Nggak, nggak. Maksudnya aku jadi model. Jadi pelayan, pokoknya yang jual tampang. Aku kan ganteng.”

“Kan nggak mesti kasih aku kado mahal. Malah kamu nggak perlu kasih aku ka—“

“Aku yang mau,” Sejun bersikukuh. “Orang spesial harus dapet yang spesial. Nah, kamu tuh spesial yang karetnya selusin. Jadi yang bisa aku lakuin ya ngedukung kamu dengan cara aku,” Sejun ngerentangin tangan lebar-lebar. “Ayo, peluk aku dan bilang ‘makasih Sejun ganteng karena udah keren beli buku-buku penggebuk maling ini’.”

“Ini bukan buku penggebuk maling.”

“Jangan kuliahi aku. Aku udah lulus.”

(Seungsik ketawa terus meluk Sejun sesuai maunya. Nggak apa-apa dilihatin mahasiswa toh mereka tahu asdos paling ganteng satu fakultas memang udah di-gatekeep dari dua tahun lalu sama senior mereka.)

untukmu yang kupanggil asu.

kamu pernah jadi yang paling baik buatku. yang datang dengan lengan-lengan memerangkap dalam gelak tawa yang tak henti-hentinya lolos dari bibir yang gemetar. ketika ujung hidungmu menggelitik tengkuk hingga aku memohon ampun. iseng, kubilang padamu sambil telapak melindungi tengkuk yang terus-terusan digelitik.

kamu pernah jadi yang paling utama buatku. yang datang paling pagi ketika gawaiku baru berbunyi lalu pergi paling akhir ketika malam beranjak sepi.

kamu pernah jadi tangisku yang paling kencang. ketika tingkahmu membuatku kesal setengah mati karena bisa-bisanya memancingku hingga emosi. lalu kamu datang, dengan kue dilapisi krim dan hiasan berbentuk diriku versi mini. jarum jam berimpitan memberitahu kalau hari lalu telah berlalu dan sekarang ada hari baru yang kumulai dengan tersipu malu. terima kasih untuk sebuah kecupan yang kamu curi sambil lalu hingga tubuhku menjadi kaku.

kamu pernah jadi alasan dibalik hari-hari yang sendu. ketika mataku tak henti melirik gawai tanpa jemu. berharap tiba-tiba ada pesanmu yang masuk lalu menyapaku sambil mengabari kalau kita masih bisa bersayang-sayangan seperti dahulu.

kamu

—merantai kakiku. dengan sulur-sulur tak kasat mata yang membuat pergelangan kakiku ngilu. membuat banyak tanya muncul dalam kalbu dan tahu-tahu hatiku terasa beku. kupikir kamu seperti benalu, menumpang hidup dalam hatiku di masa lalu kemudian hidup setidakpeduli itu.

dulu kita pernah bercumbu lalu sekarang lebih banyak berseteru. hadirmu lebih banyak mendatangkan pilu dan semua temanku mengataimu ‘asu’. kau tahu artinya itu?

(entahlah, aku juga tidak tahu. apa sebenarnya maumu?)

From: hseungwoo@gmail.com To: byungchan.choi@gmail.com Subject: selamat ulang tahun


Selamat ulang tahun.

Kali ini jarak kita nggak sejauh email pertama. Bukan aku di tempat yang panasnya bikin pengen mandi berkali-kali dan kamu yang menjejakkan kaki di Swedia sana tanpa ada yang menyadari. Hari ini, waktu aku ngetik email ini, jarak kita cuma sejauh satu geseran badan aja. Kamu lagi meringkuk peluk guling ngebelakangin aku. Ketiduran habis nonton sesuatu dari handphone kamu yang lagi di-charge.

Aku mungkin bisa aja nyentuh punggung kamu. Ngegoyangin badan pelan-pelan sampai kamu bangun. Aku yakin kamu bakal susah banget buka mata dan aku ngegigit telinga pun nggak bakal cukup buat bikin kamu bangun. Letnan pilong, kamu kalau tidur kenapa bangunnya susah banget, sih? =))

Kamu nyadar nggak, sih, kalau aku udah nulis email pasti melencengnya kemana-mana. Padahal dari subject sama pembukanya udah jelas, aku mau ngasih kamu ucapan selamat ulang tahun. Aku punya banyak banget doa baik buat kamu yang pengen banget aku—kita aminin bareng-bareng. Tapi berhubung kamu tidurnya lagi pules banget, aku bakal tunggu pagi dateng dan kasih kamu ciuman selamat pagi setelah gosok gigi. Biar kamu nggak kebanyakan protes dan bikin aku lupa mau bilang apa =))

Sekali lagi, selamat ulang tahun. Aku tahu kamu bakal ngecek hp pertama kali bangun tidur dan senyum kalau baca ini. Nanti setelah sampai sini, balik badan dan peluk aku sambil kasih tahu kamu mau sarapan apa pagi ini. Hari ini, aku yang ngurus semuanya.

Semoga kamu sekian puluh kali lipat lebih bahagia hari ini. Enjoy your birthday, Love.

Sent from HSW iphone.

From: hseungwoo@gmail.com To: byungchan.choi@gmail.com Subject: selamat ulang tahun


Selamat ulang tahun.

Kali ini jarak kita nggak sejauh email pertama. Bukan aku di tempat yang panasnya bikin pengen mandi berkali-kali dan kamu yang menjejakkan kaki di Swedia sana tanpa ada yang menyadari. Hari ini, waktu aku ngetik email ini, jarak kita cuma sejauh satu geseran badan aja. Kamu lagi meringkuk peluk guling ngebelakangin aku. Ketiduran habis nonton sesuatu dari handphone kamu yang lagi di-charge.

Aku mungkin bisa aja nyentuh punggung kamu. Ngegoyangin badan pelan-pelan sampai kamu bangun. Aku yakin kamu bakal susah banget buka mata dan aku ngegigit telinga pun nggak bakal cukup buat bikin kamu bangun. Letnan pilong, kamu kalau tidur kenapa bangunnya susah banget, sih? =))

Kamu nyadar nggak, sih, kalau aku udah nulis email pasti melencengnya kemana-mana. Padahal dari subject sama pembukanya udah jelas, aku mau ngasih kamu ucapan selamat ulang tahun. Aku punya banyak banget doa baik buat kamu yang pengen banget aku—kita aminin bareng-bareng. Tapi berhubung kamu tidurnya lagi pules banget, aku bakal tunggu pagi dateng dan kasih kamu ciuman selamat pagi setelah gosok gigi. Biar kamu nggak kebanyakan protes dan bikin aku lupa mau bilang apa =))

Sekali lagi, selamat ulang tahun. Aku tahu kamu bakal ngecek hp pertama kali bangun tidur dan senyum kalau baca ini. Nanti setelah sampai sini, balik badan dan peluk aku sambil kasih tahu kamu mau sarapan apa pagi ini. Hari ini, aku yang ngurus semuanya.

Semoga kamu sekian puluh kali lipat lebih bahagia hari ini. Enjoy your birthday, Love.

Sent from HSW iphone.

“ini coba diperbaiki lagi. yang bener silakan bukan silahkan.”

“beda satu huruf doang.” byungchan manyun, tapi dia revisi juga yang dibilang seungwoo. make find and replace biar cepet karena dia nggak tau ada berapa banyak ‘silahkan’ yang dia ketik. “terus apalagi?”

“ini paragraf pertama ama kedua kamu kok nggak nyambung? di atas kamu masih bahas apa, di bawah main buka bahasan baru aja.”

“ya karena emang harus bahas yang keduaaa. yang pertama udah kelar.”

“iya, tapi tetep harus berkesinambungan.” seungwoo ngerespon dengan sabar. “caranya, di kalimat terakhir paragraf sebelumnya kamu singgung sedikit soal pembahasan paragraf kedua. semacam ngasih hint kalau kamu mau bahas hal lain jadi nggak tau-tau loncat kayak gini. kalau kamu enak bikin alur bab satunya, nanti dosen kamu juga bacanya nggak sebel. jadi, beliau nyaman dan tau-tau revisian kamu jadi.”

“skripsi kok nyusahin banget, sih?” byungchan mau banting laptop rasanya. “aku jokiin aja—“

“byungchan, nggak boleh.” seungwoo natap byungchan tajem banget. “ada hal-hal yang nggak sebaiknya menggunakan uang. sekaya apapun kamu, nggak ada gunanya kalau ijazah kamu akhirnya dibeli. mana tanggungjawab kamu sama ilmu yang dipunya?”

byungchan ampe nggak bisa berkata-kata dengernya. nggak nyangka seungwoo bisa seserius ini karena biasanya semua mau dia diikutin aja.

“maaf, aku agak keras ngomongnya. tapi aku nggak pengen kamu nanti jadi orang sukses yang kesuksesannya dimulai dengan hal nggak jujur. aku tau kamu pasti sukses dan pengennya, itu dari hasil kerja keras kamu. kalau kamu udah tau rasanya kerja keras, kamu bakal tau cara ngehargain kerja keras orang.”

byungchan ngangguk. “iya. maaf tadi aku sembarangan ngomongnya.”

“nggak apa-apa.” seungwoo senyum, terus ngusap-ngusap kepala byungchan. yang diusap langsung tutup mata seneng. afeksi dari seungwoo selalu bikin dia nyaman banget, satu hal yang paling byungchan suka dari sugar baby-nya ini.

“kalau revisiku selesai, aku mau disayang.”

“kalau revisinya selesai, nanti aku sayang,” seungwoo ketawa ngeliat byungchan yang ngomong begitu bukan pake ekspresi manja, tapi pake ekspresi serius kayak lagi nego mau akuisisi perusahaan orang. “sama thai tea lagi?”

“namanya nama kamu lagi?”

“iya aku yang beliin biar dapet namanya seungwoo lagi,” yang lebih tua ampe ngakak. byungchan terobsesi banget dapet hadiah-hadiah kecil begini. “tapi diminum, ya? jangan dipajang.”

“iya.”

“oke, sekarang lanjut lagi, ya?”

byungchan ngangguk-ngangguk.

*

nggak sampai sejam kemudian semua yang ditandain dosen pembimbingnya udah diperbaiki. byungchan seneng banget karena hari ini dia revisi nggak pake ngamuk karena ada seungwoo yang sabar banget ngebantu dia. awalnya seungwoo bakal nawarin mau nelpon seungsik aja tapi byungchan langsung nolak soalnya takut awkward. gimana pun, kejadian ngeliat asdos pangku-pangkuan masih aneh buatnya.

“jangan di-sleep mulu laptopnya. nanti cepet rusak. matiin.” seungwoo ngomel lagi. sugar baby-nya emang doyan ngomel tapi byungchan seneng-seneng aja soalnya mama papanya nggak pernah ngomel. kalau kata byungchan, ngomel tandanya dia diperhatiin. byungchan suka diperhatiin.

dengan patuh byungchan matiin laptop terus ngeliat ke seungwoo pake senyum lebar. “selesai.”

seungwoo gemes banget. byungchan padahal cuma senyum doang tapi ngeliatnya kayak bikin seungwoo pengen nyengkram dadanya saking gemesnya.

“sini.” seungwoo ngebuka tangannya, nawarin pelukan karena byungchan suka banget dipeluk. bukannya meluk doang, byungchan malah manjat ke atas pangkuan seungwoo terus meluk seungwoo kayak koala. tangannya ngelingkarin leher seungwoo terus dia gumam-gumam.

“ngomong apa?”

“nggak ada. ngantuk.”

“bobo lah.”

“bobo? kamu kayak ngomong sama anak kecil.”

byungchan mundur terus alis-alisnya bertaut. “mana ada anak kecil pangku-pangkuan sama cowok begini di kamar?” byungchan ketawa. “yang baby mah kamu. aku, sih, daddy.”

“nggak ada daddy yang dibikinin susu pake marshmallow kesenengan.”

“aku daddy yang lucu.”

“iya, kamu lucu banget.” kepalanya diusap-usap sama seungwoo.

byungchan diem terus senyum manis banget.

*

“itu orang lupa apa, ya, ngajak kita namu ke kostnya?”

sejun misuh-misuh sambil nutup pintu kost seungwoo pelan-pelan. takut yang lagi pangku-pangkuan sadar terus ngeganggu. sejun tau banget rasanya diganggu pas lagi enak jadi dia sebisa mungkin nggak pengen ganggu.

“lagi gesek-gesek?” chan yang nggak ngeliat jadi kepo. kepalanya ditoyor sama sejun terus dibalas lagi. di depan kamar kost orang, mereka toyor-toyoran.

“mesum lo!”

“ngaca, anjing! siapa yang semalem ngigo bilang pantat kaksik kayak dewi persik???”

“buah persik! dewi persik, dewi persik, itu mah elo.”

“kenapa gue?”

“cewot lo mirip depe nggak, sih, sekilas?”

“mata lo burem ya kebanyakan coli?”

“maaf, gue jarang coli. gue ada yang menemani.”

“tai.”

*

seungwoo bilang dia nggak bisa diganggu sampe sore karena pengen latihan sama anak-anak dan byungchan yang nggak pernah ngotot buat seungwoo harus selalu sama dia ngiyain aja walaupun aslinya dia masih down banget perkara skripsi.

byungchan harusnya revisi tapi dia nggak bisa ngetik satu kata pun di laptopnya. itu laptop dibiarin nyala dengan kursor kedap-kedip nggak gerak sama sekali karena byungchan beneran nggak bisa ngetik satu huruf pun. matanya nerawang ngeliat ke layar kepalanya melayang kemana-mana. mood jelek bikin dia nggak produktif. banget.

kayak punya telepati, seungwoo ngechat dia nanya gimana skripsinya terus byungchan bales dengan ‘nggak tau’. takut dikira ngambek, bawahnya dia bales lagi ‘lagi mentok banget maksudnya bukan aku ketusin kamu’.

seungwoo sampe gemes sendiri ngebayangin ekspresi byungchan. walaupun dia super manja kalau ada seungwoo tapi hal yang paling dia suka dari byungchan adalah gimana bocah gede itu nggak pernah make kuasanya atas seungwoo buat ngekang keterlaluan. byungchan clingy, tapi nggak ngiket sampe sesek.

makanya seungwoo selalu ngasih yang paling baik buat byungchan. sadar dia sibuk banget dari pagi, seungwoo ngirimin es kopi kekinian buat byungchan. minta tolong dianter ke atas sama penjaga di bawah dengan pesan ‘dari seungwoo’. dengan namanya disebut, sudah pasti minuman itu bakal dianter ke kediaman pangeran kecil satu itu.

nggak butuh waktu lama sampe notif chat dari byungchan menuhin layar hp seungwoo. dari chatnya, seungwoo bisa denger kalau byungchan excited banget dibeliin minuman. padahal apalah thai tea dari kedai biasa ketimbang sederet minuman mahal yang dia beli kala gabut langsung ke thailand pake jet pribadi tapi cara byungchan ngapresiasi dengan moto satu minuman yang kemasannya udah berembun itu berbagai angle bikin seungwoo sadar kalau byungchan itu bener-bener precious.

*

atas persetujuan temen-temennya, byungchan diminta seungwoo buat dateng ke studionya.

byungchan yang emang bosen langsung nyetir tanpa pikir panjang ke lokasi yang dibilang seungwoo. dari awal seungwoo cerita dia punya band, byungchan udah kepo banget soalnya dia juga pengen punya temen nongkrong sambil ngeband gitu. seungwoo agak miris dengernya soalnya byungchan kesulitan punya temen karena dia nggak bisa bedain mana yang sayang dan mana yang cuma pengen diguyur uang. Sebenernya kalau pun mereka mau morotin pun, byungchan tau duitnya nggak bakal abis. cuma buat apa ngebiarin diri sendiri diabisin tanpa ada hal beneficial yang balik?

byungchan saking senengnya bilang kalau seungwoo udah selesai mesti langsung ke tempatnya karena dia mau beliin seungwoo makanan juga. waktu seungwoo tanya makanan yang lagi dipengenin, byungchan bilang dia kangen somtam karena dikasih thai tea terus seungwoo ngajak dia buat makan ke tempat kesukaannya. seungwoo keselek waktu byungchan bilang oke dengan embel-embel ‘jangan lupa passport kamu.’

alamat dia beneran dibawa ke thailand demi sepiring somtam.

sebagai jalan tengah, seungwoo minta byungchan buat makan di restoran yang ada di kota mereka aja. mereka janjian di studio seungwoo biar sekalian byungchan dikenalin sama temen-temennya yang lain. dari awal byungchan emang secara implisit nunjukin kalau dia pengen tau sama lingkaran pertemanan seungwoo dan menurut seungwoo nggak ada masalah kalau pun mereka saling kenal. sekalian sugar daddy-nya itu nambah temen.

dengan semangat byungchan siap-siap terus nyetir ke alamat yang dikasih. pikirnya sih bakal macet soalnya udah lumayan sore, eh, ternyata malah lancar jaya. pas byungchan ngabarin dia udah di depan (dengan mobil dikerubungin orang-orang karena takjub), seungwoo malah baru jalan mau beli makanan sama chan.

“terus aku gimana?”

kamu masuk sendiri dulu aja. cari studio paling pojok nomor sembilan.” seungwoo ngabarin via telfon. “ada temenku di dalam pake kaos nggak berlengan namanya sejun. dia tau kok kamu mau dateng jadi bilang aja kamu siapa.

“mereka tau aku sugar daddy kamu.”

tau, tenang aja.

“mereka nggak masalah?”

kamu takut, ya, ketemu mereka?” seungwoo baru sadar kalau byungchan agak meragu. “nggak apa-apa. mereka malah seneng aku ada yang pelihara.

seungwoo akhirnya lega pas byungchan ketawa denger kalimat terakhirnya. mungkin byungchan kira dia bercanda tapi seungwoo serius. mereka semua terharu waktu tau seungwoo jadi bayi gula sampai sejun minta seungsik buat dateng bawa nasi kuning mini.

singkat cerita, byungchan akhirnya beraniin diri buat masuk. dia dorong pintu terus diem di pintu waktu nyadar di dalem studio nggak cuma ada cowok yang dijabarin seungwoo dalem sana. selain cowok pake kaos kutung item, dipangkuannya ada cowok lain pake kemeja rapi dan mereka lagi ciuman. denger suara pintu kebuka tentu aja mereka sama-sama kaget. byungchan ngerti, sih, pasti mereka ngira kalau bakal aman sampe beberapa waktu soalnya seungwoo baru pergi.

cuma sebenernya yang bikin byungchan bengong bukan itu.

“byungchan...?”

“halo..., kak....” byungchan nyapa asdos di kampusnya dengan canggung. pengen mempertanyakan kenapa kak seungsik yang kayak malaikat ada di pangkuan si kakak baju hitem yang tangannya udah nyelip ke balik kemeja garis-garis kak seungsik tapi byungchan pikir bukan urusan dia kalau asdosnya mau ada di pangkuan siapa selama nggak di pangkuan ilahi.

“lho? byungchan... oh!! lo sugar daddy-nya seungwoo!” sejun berseru kaget. dia nunjuk byungchan terus manggut-manggut. lengannya masih nyaman ngelingkarin pinggang asdosnya seolah-olah ini bukan hal besar.

“sugar... daddy?” seungsik keliatan kaget banget. soalnya seingetnya sampe kemaren dia masih ketemu byungchan di depan prodi nunggu dosen terus hari ini dia dapet fakta kalau salah satu mahasiswanya adalah..., sugar daddy teman pacarnya.

cukup rumit.

“heeh. aku juga kaget, kak, soalnya aku kira sugar daddy seungwoo om-om taunya anak kuliah.” sejun masih nyerocos. “ayo masuk, masuk. seungwoo lagi beli makanan nih.”

byungchan masih ngeliat seungsik ragu. seungsik pun juga ngeliat byungchan dengan nggak nyaman.

“anu, byungchan—“

“saya bakal tutup mulut, kak.” byungchan menyela. “kakak juga... ya. walapun kakak ngapain di luar kampus sebenarnya bukan urusan saya tapi situasi kita kan—“

“saya ngerti. makasih, byungchan.”

“sama-sama, kak.”

“gila kaku banget kayak lagi di kampus.” sejun berdecak sambil geleng-geleng kepala. “ya udah, sama-sama tutup mulut jadi nggak apa-apa, kan, seungsiknya tetep gue pangku?”

byungchan nggak tau mau ngomong apa jadi dia cuma ketawa sopan aja.

waktu seungwoo balik, dia bingung kenapa suasana di dalem studio jadi canggung banget. untungnya sejun adalah tipe yang secara sukarela ngasih informasi sebelum ditanyain. jadi seungwoo masang ekspresi kaget pas tau soal seungsik dan byungchan terus chan berkontribusi dengan ngakak.

“mentang-mentang udah baikan.”

“oh, jelas!” chan nepuk dada dengan bangga. “gue dateng ke depan kost dia bawa ayam bakar sama pocky berbagai rasa biar dia bisa ngemil tanpa ngotorin tangan eh dimaafin.”

“karena nggak enak aja kali udah dikasih makan.”

sejun disambit chan pake bungkus gorengan.

byungchan ngode seungwoo buat cabut darisana setelah secara resmi dikenalin satu-satu ama temennya. sebelum pergi, sekali lagi dia salaman ama seungsik lalu berjanji buat ngelupain apapun yang diliat tadi. mereka sepakat buat ngejaga harkat dan martabat masing-masing terus jadi temen di luar kampus.

*

“thai teanya enak nggak?”

“nggak tau.” byungchan ngelirik ke arah pintu ruang vip yang baru ditutup pelayan terus ngerangkak ke sebelah seungwoo buat ngelendot. tangannya meluk badan seungwoo yang lebih tebel terus dia nyengir bahagia.

“kok nggak tau?”

“nggak aku minum.” byungchan geleng-geleng lucu. “aku pajang di dapur.”

“kok dipajang?”

“soalnya aku baru pertama kali dapet minuman dari temen. ada nama kamu pula.”

“oh iya, aku lupa banget bilang namanya ditulis nama kamu.”

“nggak apa-apa.” byungchan nepok-nepok lengan seungwoo gemes. diremes-remes, dipijet-pijet, berasa mainin playdoh, abis itu dia gigit gemes. seungwoo yang udah biasa cuma pasrah aja digigitin bocah. “aku seneng.”

“kamu seneng aku beliin thai tea?”

“aku seneng diinget selain soal uang.”

ekspresi byungchan yang berseri-seri entah kenapa bikin seungwoo nyeri. kasian banget dengernya. makanya seungwoo bales pelukan byungchan terus ngusep-ngusep kepala belakangnya.

“kenapa tiba-tiba?”

“byungchan anak baik.” kepalanya diusap-usap. byungchan kegoda banget bilang seungwoo jangan usep mulu takut keluar jin tapi keburu nyaman jadi dia diem aja. “kamu nggak perlu selalu menuhin ekspektasi orang dan selalu bilang iya. walaupun duit kamu banyak, bukan berarti kamu punya kewajiban buat ngasih mereka.”

“nanti aku dibilang jahat.”

“mereka yang jahat. bikin kamu mikir dengan kamu nggak ngasih duit, kamu berarti jahat.” Seungwoo tepuk-tepuk puncak kepala byungchan. “mau punya uang atau enggak, byungchan tetap byungchan. carilah orang yang bakal ngeliat kamu sebagai byungchan. bukan duitnya byungchan.”

byungchan terdiam lama sambil ngeliatin seungwoo. “emang ada?”

“pasti ada.” seungwoo ngangguk dengan yakin. “aku jamin.”

“kalau nggak ada?”

“kamu aku beliin thai tea tiap hari sampe jadi kakek-kakek.”

byungchan ketawa ngakak. “kalau kafe thai tea-nya udah bangkrut?”

“aku cari thai tea lain.”

“kalau misalnya orang nggak jualan thai tea lagi di masa depan?”

“aku bikin sendiri.” seungwoo dengan serius ngulurin kelingkingnya. “aku janji kalau kamu pasti dapet orang baik. karena kamu orang baik.”

“seungwoo juga orang baik.” byungchan nautin jari kelingkingnya. “nggak pernah ada yang bilang aku orang baik. seungwoo nomor satu.”

“nomor satu dapet hadiah nggak?”

“kamu mau mobil atau tiket pesawat?”

“aku cuma bercanda.....” seungwoo ngehela napas. “aku nggak sematre itu.”

“tapi kamu matre?”

“kalau nggak matre aku pasti nyari kerja sampe lima, bukannya nyari sugar daddy.”

“oh, bener juga, ya?”

mereka ketawa ngakak sampe pelayan yang nganter makanan kebingungan ngeliatnya.

“Kamu bisa bawa mobil nggak?”

Seungwoo bakal selalu curiga sama segala pertanyaan Byungchan karena apapun jawabannya bakal bikin dia sakit kepala ujungnya. Minggu lalu dia ngeluh nggak bisa olahraga karena gym penuh doang, kemarin dia ngechat Seungwoo kalau dia ngebeli gym kecil deket studio biar Seungwoo nggak perlu ngeluh harus nyampur sama orang lain. Udah jelas Seungwoo langsung nelfon Byungchan dan panik bilang dia nggak perlu sampe sejauh itu tapi Byungchan bilang santai aja karena ini cuma hal biasa.

Kata Byungchan anggap aja hadiah kecil. Seungwoo pengen teriak: KECIL DARI MANA???!!!!

Akhirnya Seungwoo ngajak temen-temennya buat nge-gym di sana. Yang paling seneng? Tentu aja Sejun. Dia nggak minta izin langsung ngajak pacarnya dan bilang kapan-kapan mau make ruang kaca belakang buat workout. Seungwoo ama Chan nggak pengen tau apa maksudnya.

Balik ke pertanyaan Byungchan, Seungwoo yang lagi duduk di lantai apartemen mewah Byungchan sambil ngecekin skripsinya (selain sugar baby, belakangan jobdes dia merangkap pembimbing skripsi) langsung nengok. Byungchan loncat ke atas loveseat deket Seungwoo terus bersila di sana.

“Bisa. Kenapa?”

“Kamu mau mobil nggak? Biar nggak pake angkutan umum.”

Bener aja feeling Seungwoo. Manusia kelebihan duit ini mau sembarangan ngamburin duit lagi.

“Nggak usah. Aku naik taksi aja. Kalau aku yang bangkrut tau-tau punya mobil kayaknya aneh banget.”

“Bilang aja hadiah dari temen?”

“Byungchan,” Seungwoo ngomong serius banget sama dia. “Temen nggak ngasih mobil pas ulang tahun.”

“Oh.” Byungchan ngangkat bahu. “Ya udah aku transfer aja lima juta seminggu deh. Cukup nggak, sih, buat duit taksi?”

“Byungchan.”

“Ya?”

“Aku mau naik taksi bukan pesawat.”

Byungchan ketawa ngeliat ekspresi Seungwoo.

*

Seungwoo belum ketemu hal susah selama sebulan jadi sugar baby-nya Byungchan selain fakta dia suka tiba-tiba dapat duit yang jumlahnya fantastis. Byungchan nggak mau dia kerja jadi Seungwoo beneran nggak kerja apapun selain ambil proyekan.

Jadilah sekarang Seungwoo beneran senggang. Sesenggang itu buat langsung cabut ke studio buat ngehibur Chan yang kata Sejun lagi suntuk dan sendu (Seungwoo nggak ngerti gimana bisa orang suntuk dan sendu di saat bersamaan). Pas dia buka pintu, ada Sejun di balik drumnya dan Chan yang termenung sambil memetik gitarnya dengan lagu yang sama sekali tak Seungwoo atau Sejun tau. Cuma ada ‘fortune cookie’ yang diulang-ulang terus desahan panjang penuh penyesalan.

“Chan kenapa?” Seungwoo jalan ke Sejun terus nyenggol temennya itu. Yang disenggol ngegebuk drum dulu buat bikin efek musik dramatis terus bisik (tapi kenceng).

“Bego dia,” Sejun nunjuk Chan pake mulutnya yang dimonyong-monyongin. “Kena ghosting si cewot.”

“Cewot?”

“Cewek Wota.” Sejun bangkit dari kursinya terus duduk sebelah Chan. “Lo salah ngomong soal lulus apa gimana tadi? Gue nggak ngerti.”

Chan ngangkat kepala. “Dia bilang oshii-nya graduate.”

“Terus?”

“Gue ucapin selamat. Gue bilang ikut senang.”

“Oke...? Terus salahnya di mana?”

“Ternyata itu berita buruk... gue kira kayak lulus-lulusan sekolah.”

“......”

Seungwoo ama Sejun ikutan bingung. Mereka kalau jadi Chan juga bakal salah paham, sih. Mana tau mereka yang kayak-kayak gitu?

“Cari cewek lain aja yang lebih gampang belajarnya gimana?” Seungwoo nyoba ngasih saran. “Yang hapalannya nggak banyak?”

“Nggak bisa. Yang ini spesial.”

“Kenapa?”

“Dia nggak suka kulit ayam.”

“......”

Seungwoo sama Sejun makin bingung tapi setuju kalau nggak suka kulit ayam adalah nilai plus yang bakal menguntungkan buat mereka semua.

*

Lagi seru ngobrol sama para teman nongkrong, Seungwoo ditelfon Byungchan. Waktu baru diangkat, Byungchan nggak ngomong banyak selain ‘ke sini’ terus mati. Sesuai perjanjian, Seungwoo mesti nurut jadi dia langsung pamit.

“Majikan lo?” Sejun nanya dan Seungwoo ngangguk aja. Menurutnya ketimbang daddy Byungchan emang lebih mirip majikan.

“Kayaknya bete.”

“Kalau bete biasanya gimana?” Chan ikutan kepo. Padahal barusan lagi nyekrol IG cewek incerannya terus galau karena tuh cewek kerjaannya update story tapi chat dia nggak di-read.

“Disayang aja.” Seungwoo pake jaketnya terus dadah-dadah ke yang dua lagi. “Cabut, ya?”

“Sedekah dong, Om.”

Seungwoo ngedengus tapi dia keluarin juga duit seratus ribu buat masing-masing mereka.

Byungchan nggak suka bau asep makanya Seungwoo bela-belain naik taksi walaupun dari studio ke apart Byungchan aslinya nggak nyampe lima menit. Orang apart sampe udah hapal sama Seungwoo dan langsung ngasih akses ke dia buat naik ke paviliun tempat Byungchan tinggal. Pas nyampe, yang nyambut dia cuma ruangan kosong. Ternyata yang nyuruh dia cepet dateng malah belum nyampe.

Seungwoo ngebuka jaketnya terus disampirin ke sofa. Dia duduk di sana terus ngechat gengnya buat main amongus. Baru menit awal Chan yang mau neken ‘sabotage’ nggak sengaja keteken ‘kill’ di depan mereka semua. Tanpa chat dan ngomong apa-apa Chan dibuang dengan hina.

Seungwoo ampe nggak berenti ngakak gara-gara kejadian tadi. Dia lagi seneng-seneng main karena barusan nggak sengaja nangkep basah Subin ke luar dari vent pas denger suara pintu kebuka. Seungwoo yang fokusnya pecah langsung mencet emergency meeting terus dikata-katain pas tau dia buka EM cuma buat ngasih tau daddy-nya dah nongol.

Seungwoo cabut dari sana dan ngunci hpnya. Pas Byungchan nongol, mukanya kesel banget dan rambutnya yang rapi sekarang acak-acakan. Tangannya nenteng map sama macbook yang kalau salah-salah siap meluncur kapan aja saking sembarangannya dia megang. Barulah Seungwoo inget, dia emang bilang hari ini mau bimbingan. Kalau liat mukanya, kayaknya nggak lancar.

Seungwoo yang udah paham banget nggak nanya ‘kenapa’ atau minta dia cerita. Yang dia lakuin cuma natap Byungchan lurus-lurus terus tangannya nepuk pahanya dua kali. Maksudnya jelas, nyuruh Byungchan dateng. Eh, bener aja. Yang diundang langsung dateng terus manjat. Duduk di pangkuan Seungwoo sambil meluk lehernya kayak koala. Di telinga Seungwoo, dia ngomel-ngomel karena dosennya nggak nongol walaupun dia udah nunggu depan ruang prodi dari pagi. Yang jadi sasaran omelan cuma manggut-manggut sambil ngelus punggung Byungchan.

“Kalau nggak bisa tuh kabarin! Dikira gue mahasiswa gabut apa!”

Seungwoo ngelus-ngelus.

“Mentang-mentang punya kekuasaan!! Bukannya digunakan sebaik-baiknya malah dipakai buat menyulitkan orang!!”

Seungwoo tepok-tepok.

“Kesel banget tau nggak?”

Seungwoo ngelepas Byungchan. “Kesel?”

“Iya!!”

“Mau ciuman?”

Seungwoo nawarin bukan random gitu. Dia tau Byungchan kalau kesel pasti minta cium jadi daripada dia marah-marah panjang mending ditawarin dari sekarang-sekarang.

Byungchan ngedengus. “Mau. Aku kesel banget. Tadi buat ngeredain kesel aku jadinya belanja.”

“Beli apa?”

“Saham.”

Seungwoo diem. Harusnya dia nggak kaget tapi dia masih aja kaget.

“Mau cium.”

Seungwoo ngangguk. Tangannya masih di pinggang Byungchan dan tangan Byungchan masih ngalung ke leher Seungwoo. Ekspresi Byungchan masih kesel tapi buat Seungwoo, bocah gede ya tetap aja bocah. Lucu.

“Aku yang cium apa kamu yang cium?”

“Kamu.” Byungchan nyuruh. “Aku kesel nggak bisa mikir mau nyium kayak gima—“

Seungwoo nggak ngasih kesempatan Byungchan buat berisik lama-lama. Bibirnya langsung aja dibungkam dan buat sekian menit ke depannya, omelan Byungchan diredam dengan ciuman-ciuman dari Seungwoo.

Seungchan — pergulaan au


Waktu pacaran orang semua ngerasa bangga jadi objek kekesalan para jomblo yang diolok-olok tiap malam minggu. Berasa paling bener dan asyik karena bisa update medsos bareng pacar foto tangan lagi rapat bergandeng deket perseneling atau spion motor.

“Tai banget duit gue diabisin.”

Seungwoo baru sadar pacaran lebih banyak mudharatnya waktu dia diputusin sama pacarnya pas Seungwoo kepaksa jual mobilnya karena finansial yang tiba-tiba kena gempa. Sebagian ia kirimkan ke keluarganya, sebagian ia simpan untuk biaya hidupnya. Tidak ada lagi leha-leha karena waktu luang mesti dipake buat kerja paruh waktu. Miskin bukan pilihan memang tapi kalau boleh milih, Seungwoo nggak mau banget miskin.

“Dari dulu gue udah bilang pacar lo cuma demen jok kulit mobil lo sama diisiin kuota tiap bulan.” Sejun ngegebuk drumnya dengan dramatis. “Nggak dengerin gue, sih. Sesat kan hidup lo.”

“Malah kalau dengerin lo bakal makin sesat nggak, sih?” Chan menimpali ringan. Dia lagi duduk santai di karpet sambil bolak balik berlembar-lembar kertas yang baru dia print. Isinya foto AKB48 generasi sekian yang harus dia pelajari demi pdkt sama cewek wota yang katanya cakep. Gitarnya udah digeletakin gitu aja nggak ada harganya. “Udah, anggap pelajaran aja. Lain kali perhatiin. Jangan mau pacaran sembarangan.”

“Iya, nggak sembarangan lagi.” Seungwoo sebel banget dengernya. Kenapa malah yang kecil-kecil nasehatin dia kayak dua-duanya paling bener? Yang satu macarin asdos langsung setelah lulus dan yang satu lagi bilang anggap pelajaran tapi sendirinya nggak lulus-lulus karena ‘pelajaran’ yang dikejar nggak ada yang dapet alias cewek yang dikejer layu sebelum berkembang.

“Cari yang kaya aja biar bisa bantuin finansial lo. Kasian lo part time ampe tiga tempat gitu.” Sejun ngegebuk drumnya lagi. Kalau tadi ‘taratakdung’ aja sekarang pakai ‘cssss’.

“Gue nggak mau lagi deh nyari pacar. Mending fokus kerja.”

“Cari kerja yang duitnya banyak, waktunya dikit, tapi bisa pacaran juga lah.” Sejun main-mainin stik drum di sela-sela jarinya, pamer ceritanya. “Lo masih muda. Nikmatin hidup.” Stiknya diputer terus digebukin lagi ke drum.

“Lo bisa nggak, sih, tiap abis ngomong nggak pake efek suara gitu? Dikit-dikit ngegebuk drum.” Chan mendelik rada sewot. Posisinya dia yang paling deket sama Sejun jadinya tiap itu drum digebuk, yang budek dia.

“Mending gue ngegebuk drum daripada ngegebuk kak Seungsik.” Sejun ngangkat bahu. “Kalau kak Seungsik kita betot.”

“Nggak jelas anjir.” Kalau boleh ngeludahin, mungkin Chan pengen banget ngeludahin Sejun. “Kasian banget gue ama kak Seungsik. Asdos yang mulia mengajar malah dapat saripati dajjal kayak lo.”

“Dia boleh ngajar tapi bahkan orang kayak kak Seungsik tetap butuh dikasih pelajaran sama gue.”

“Jujur gue nggak pengen denger lanjutan kalimat lo.” Chan ngelemparin tatapan jijik.

“Sama.” Seungwoo sekarang ikutan. Masih nggak kebayang asdos super baik dan kalem kayak Seungsik bisa jatuh dalam jeratan kebodohan bernama Sejun. “Lo pelet apa itu asdos?”

“Dia pasti terpesona punggung gue.”

“Pasti. Kalau dia nyari cowok pinter nama lo pasti nggak bakal diinget.”

Sejun ngelempar satu stik drum ke Chan saking keselnya.

*

Kerja satu aja bisa bikin capek luar biasa. Nah, bayangin Seungwoo mesti kerja tiga jenis kerjaan seharian dari setengah delapan pagi sampe jam dua belas malem.

Akhirnya stress juga dia. Balik-balik kostan berantakan dan kerjaan nggak kesentuh. Freelancer macam Seungwoo yang ngambilnya proyekan bisa mati lama-lama kalau harus fokus nguat-nguatin badan habis belasan jam kerja. Dia juga mesti begini sampai beneran ada perusahaan yang bersedia nerima dia (yang sampai sekarang belum ada karena Seungwoo selalu stuck di interview akhir). Nggak jelas apa salahnya tapi ini satu-satunya cara dia bertahan hidup kalau mau tetap bercuan.

Seungwoo ngetik capek di grup terus dibales Chan sama kata-kata semangat dan Sejun ngirimin voice note isinya dia lagi ngegebuk drum musik intro pornhub. Seungwoo bales Chan pake makasih dan doa semangat yang sama supaya Chan dimudahkan buat nginget nama oishii gebetannya terus dibales Chan dengan makasih dan koreksi kalau yang benar itu Oshi buka Oishii. Buat Sejun, Seungwoo bales pake emot sista olshop aja.

’kalau capek mending lo jadi sugarbaby aja nggak, sih?

Kalau ada teori drummer bisa geger otak sampai bego mungkin Seungwoo percaya-percaya aja setelah ketemu Sejun. Maksudnya, yang bener aja! Seungwoo tuh ngerasa dia maskulin banget dan nggak ada ceritanya dia jadi subab. Bayangan dia soal bayi gula tuh yang bisa lendotan manja terus kedip dikit ditransfer sekian digit. Seungwoo? Kok dia ngeri aja kalau ngedip dibeliin insto.

Bilangnya gitu.

Tapi tuntutan zaman emang ngeri. Seungwoo yang nggak tahan dengan pinggang yang sakit dan badan yang capek banget rasanya hampir nggak waras. Dia. Jadi ngecekin aplikasi nyari papa gula terus download eh tau-tau dia udah punya akun aja. Dia pilih foto yang keliatan paling soft terus di-crop biar nggak keliatan badannya yang terlalu gede.

Baru bikin bentar, kayak nggak nyampe setengah jam udah ada om-om yang mampir ke-chat dia. Om Kim langsung chat ‘hi mniezz’ dan dia langsung hapus. Om Park bilang ‘hello😊’ terus dihapusnya juga karena ngingetin dia sama dosen PA dulu. Om Lee nggak tau ngechat apa tapi langsung dihapus karena tampilannya yang ‘haloo main sama om yuk’.

Hampir nyerah Seungwoo, terus masuk notif baru. Namanya om Byungchan tapi nggak ada foto mukanya. Cuma foto tangan pake rolex paling baru di atas meja. Sampingnya ada kunci lamborgini. Mantep banget pokoknya flexin kekayaan sampe Seungwoo tergoda ngebuka chat karena penasaran sama ini om-om.

Ternyata chat-nya amat sangat nggak boomer. Cara ngobrolnya anak muda banget dan dia ramah. Seungwoo nggak butuh waktu lama buat chat intens sama dia dan ngerasa nyaman cuma dalam hitungan minggu. Kalau kata Sejun, Seungwoo nyaman sama om-om lebih cepet daripada belajar piano pake aplikasi simplypiano.

Seungwoo pengen ngelempar Sejun pake speaker rasanya.

Yang bikin Seungwoo seneng dari Byungchan (dia nggak mau dipanggil om) adalah dia nggak pernah ngelecehin sama sekali. Obrolan mereka beneran ngalor ngidul dan Seungwoo nggak pernah mesti lenjeh-lenjeh iyuh sama beliau.

Satu lagi: Byungchan suka iseng ngirimin duit.

Kayak Seungwoo kebangun jam tiga pagi karena notif bilang ada duit masuk sejuta. Seungwoo keselek sampe nampar diri sampe merah-merah mikir mimpi taunya pas dia hubungin Byungchan katanya beneran. Byungchan lagi gabut katanya makanya transfer aja biar Seungwoo bisa jajan.

Seungwoo nggak paham lagi.

*

Setelah dua bulan, Seungwoo ngeberaniin diri buat ketemu Byungchan.

Sebenernya dari awal Byungchan udah ngajak ketemu tapi Seungwoo masih ragu. Adaaa aja alesannya Seungwoo apalagi gara-gara Sejun bilang ‘are you ready asssss’ sambil nepok pantat Seungwoo yang fana itu pake stik drumnya. Takutlah Seungwoo. Dia biasa nyodok bukan disodok, nggak siap kalau tiba-tiba blekping lewat nyanyi ‘burn baby burrrnnn’ pas dia akhirnya menyerahkan pantatnya kepada om-om.

Nggak ada pilihan lain, jadi mereka janjian ketemu di hotel bintang lima. Seungwoo dijemput supirnya Byungchan terus dianter ke lantai paling atas. Di sana, Seungwoo udah ngebayangin om-om wangi pake rolex lagi duduk ngadep jendela gede menikmati pemandangan ibukota.

Yang dia kaget, dia malah ketemu laki-laki yang dia yakin umurnya nggak jauh dari dia lagi senyum manis banget dan....,

“Macet, ya? Maaf nggak bisa jemput kamu, ya! Soalnya aku abis bimbingan!”

Mata Seungwoo refleks ngeliat atas meja. Ada kertas tebel dicoret-coret yang Seungwoo tau banget itu apaan.

Revisian skripsi.

“Bentar, bentar. Kamu Byungchan?”

“Iyalah. Siapa lagi emang yang ngajakin kamu ketemu?”

“Kamu..., yang setuju jadi sugar daddy aku? Yang ngirimin duit jam dua malem?”

“Kamu mau bukti transfernya? Ada nih di hp.”

“Kamu masih muda???”

“Ya kalau skripsi menurut kamu aku umurnya udah berapa?”

Seungwoo bengong. Banget.

“Kaget, ya? Hahah santai. Sini duduk dulu deket, Om.” Byungchan malah becanda santai. “Iya, aku tuh daftar ke aplikasi karena emang pengen nyari orang buat aku kasih duit. Duitku nggak abis-abis sampe bingung jadinya makanya pengen ngebantu orang juga.”

“Kamu udah berapa kali jadi sugar daddy?”

“Baru sekali.” Byungchan ngejawab santai. “Soalnya yang lain pada menye gitu kayak muka pengen dimanja. Aku kan nggak nyari yang gitu. Aku pengennya nyari yang kayak kamu.”

“Kayak... aku?”

“Heeh.” Byungchan nepuk-nepuk lagi sebelah kursinya terus Seungwoo duduk. Baru juga Seungwoo duduk, Byungchan langsung rebahan di pahanya terus natap mata Seungwoo.

“Aku nyari sugar baby buat aku dan kamu adalah orang yang paling tepat untuk itu.” Byungchan senyum manis banget. “Sugar baby yang bakal aku ikutin semua maunya dan sebagai gantinyaaa?”

“Kamu mau badan aku?”

“Nggak muna lah ya gue mau.” Byungchan berseloroh santai. “Tapi aku maunya kamu manjain. Kamu yang sayang-sayang aku, yang merhatiin aku.”

Seungwoo makin nggak paham.

“Bikin nggak kesepian lah intinya.” Byungchan nambahin lagi. “Sisanya? Kamu mau apa? Aku kasih.”

Seungwoo pengen nampar diri lagi ngedengernya.

*

*