Rasanya seperti ditarik pelan-pelan dari dasar lautan pekat lalu tiba-tiba semua menjadi terang kembali.

Begitu yang dirasakan Byungchan ketika dirinya yang entah bagaimana tertidur pulas dengan kepala terkulai di lengan kursi yang sama sekali tidak empuk milik Seungwoo, merasakan sisi wajahnya dielus dengan lembut. Byungchan, setengah sadar, mengerang pelan. Matanya yang masih terasa berat membuka pelan-pelan, mengerjap, lalu menyipit untuk melihat siapa yang menariknya paksa dari kondisi tidurnya yang sudah demikian lelap.

Kantuknya hilang ketika ia sadar siapa yang membangunkannya.

Seungwoo berhenti mengelus wajah Byungchan. Dari dulu, Seungwoo memang selalu membangunkannya dengan penuh kelembutan, berbeda dengan Jinhyuk yang menendang-nendang kakinya, atau Wooseok yang membangunkannya dengan kata-kata mengancam keselamatan. Tapi, tapi, cara membangunkannya itu adalah satu dari sekian hal yang dulu sering membuat Byungchan merana sendiri.

Tujuh tahun. Tujuh tahun Byungchan menyembunyikan perasaannya sambil membentengi diri untuk tidak menyublim di depan segala kebaikan Seungwoo.

Tapi sekarang, Byungchan tidak perlu menyembunyikan perasaannya. Paling tidak ke Seungwoo. Makanya ia bangkit, mengerang ketika menyadari lehernya kaku, lalu menarik tangan Seungwoo ketika lelaki itu menarik tangannya dari wajah Byungchan.

“Aku anter pulang. Pake dulu jaketnya.” Seungwoo tidak tersenyum, tapi nadanya sudah tidak sedingin tadi.

Byungchan menggeleng kuat-kuat, hingga Seungwoo harus menahan kedua sisi wajah Byungchan untuk menghentikan tingkahnya itu. Ada segaris senyum terpeta di wajah Seungwoo ketika Byungchan merengut karena gelengannya dihentikan paksa.

“Udah jam dua, Byungchan.” Kedua tangannya yang membingkai wajah Byungchan dilepas. Ditangkap lagi keduanya oleh Byungchan lalu menggenggamnya erat-erat.

“Aku nggak bakal pulang sampai dimaafin.”

Byungchan melihat kilasan ekspresi di wajah Seungwoo. Bagaimana kecamuk pikiran Seungwoo sedikit banyak terefleksi dalam ekspresinya dan mulutnya yang sedikit membuka—seolah hendak mengatakan sesuatu—lalu ditutup kembali.

“Aku bakal jujur sama kamu, jadi aku berharap kamu juga bakal ngelakuin hal yang sama, Capt.” Byungchan menarik Seungwoo yang masih berlutut di lantai untuk naik ke sofa dan duduk di sampingnya. “Aku udah mikir banget kenapa kamu marah dan apa salah aku, tapi otakku mentok. Beneran mentok.”

Byungchan menghela napas. “Maaf kalau aku juga nggak peka kayak si guguk. Padahal dulu aku yang paling marah kalau dia nggak peka. Tapi mau nggak kamu kasih tau aku, salahku dimana?”

Seungwoo tiba-tiba menarik Byungchan ke pelukannya. Terlepas dari posisinya yang aneh (karena tinggi mereka yang cuma berbeda satu-dua senti dan keduanya sedang dalam posisi duduk), Seungwoo tetap memeluk Byungchan. Mengelus punggung kekasihnya itu lalu mencium samping wajahnya dan rambutnya.

Makin bingung Byungchan jadinya.

Ini sebenernya gua lagi berantem apa nggak sih?

“Yang salah bukan kamu.”

“Terus kalau bukan aku yang salah, terus kamu? Kalau kamu yang salah kok kamu yang marah?” Byungchan menyemburkan pertanyaan setelah melepaskan diri dari pelukan yang lama-lama membuatnya encok itu.

“Bukan aku.” Seungwoo menatap Byungchan lekat-lekat, lalu mengelus pipi Byungchan dengan ibu jarinya. “Bukan kamu.” Seungwoo tidak tahan melihat ekspresi bingung Byungchan jadi ia curi sebuah kecupan ringan dari bibir Byungchan yang sejak tadi masih maju karena manyun. Ia terkekeh geli. Byungchan langsung ingin lari.

“Terus?”

“Bukan aku atau kamu. Bukan juga kita berdua.” Tangannya turun menemukan tangan Byungchan, menautkan jemari-jemari mereka lalu mengecup punggung tangan Byungchan.

Byungchan langsung ingin lari 2.0.

“Yang salah cuma keadaan kita.”