the iconic trio


“Archangel.”

Seungcheol tak akan memanggil Jeonghan dengan codename-nya pada okasi dimana mereka tidak berada di lapangan kecuali amarahnya sudah mencapai puncak kepala.

Yang dipanggil menoleh begitu juga seseorang yang sedang duduk di dekatnya—Wonwoo. Pemuda itu mengulas senyum tipis melihat Seungcheol yang datang buru-buru dengan ekspresi yang terlihat semi-murka. Wajar, beberapa hari belakangan ia jadi uring-uringan karena ide gila Hoshi yang sudah sampai di telinga petinggi di headquarter.

“Lo nggak boleh ngapa-ngapain selama belum ada putusan dari atas!” Seungcheol berbicara dengan nada yang amat rendah. Jauh lebih rendah dari biasanya. “Nggak ada yang ngasih instruksi buat ngehubungin CCSRA.”

“Lho, emang gue ngapain?”

Wonwoo sadar kalau apa yang tersaji di depannya tak akan selesai dengan baik-baik saja. Helaan napas beratnya diikuti dengan tangan yang memasang headphone yang sejak tadi mengalung di lehernya. Pemuda itu memilih untuk tak ikut campur urusan anak-anak IA yang terkenal penuh ambisi itu.

“Bisa nggak lo ngikutin alur aja baik-baik?” Seungcheol bersedekap. Tatapannya tajam tertuju pada Jeonghan. “Tunggu diskusinya selesai baru kita bergerak.”

“Emang gue ngapain?” Jeonghan mengulang pertanyaannya. “Gue bahkan cuma main ke lab dan ketemu Wonwoo.”

“Lo minta dia nyari sesuatu.”

Jeonghan menengok ke arah Wonwoo yang sudah asyik lagi dengan perangkatnya. Harusnya dia tahu kalau pemuda yang satu ini kesetiaannya ada pada Seungcheol.

“Bukan sesuatu yang besar kok.”

“Tapi masih tentang penjara itu, ‘kan?”

“Yep,” Jeonghan mengangguk. “Dan masih legal.”

“Gue nggak paham kenapa lo terobsesi banget sama rencana yang ini,” ucap Seungcheol tajam. “Gegabah. Apa-apa mau cepet. Sadar nggak kalau ini sebenernya bisa jadi misi bunuh diri?”

“Gue nggak ada niat buat maju di losing battle,” Jeonghan mengernyit tak senang. “Lo kira gue nggak mikir dulu?”

“Oke, gue mau denger rencana lo itu,” Seungcheol mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Dia tak pernah senang kalau ada sesuatu yang tak sesuai dengan alur yang ia mau. “Yang bukan losing battle itu.”

Jeonghan tak langsung menjawab. Dipandanginya Seungcheol lekat-lekat sebelum merespon kalimatnya barusan. “Lo ngeremehin gue.” Pungkasnya. Yang barusan itu pernyataan, bukan pertanyaan.

“Bukan ngeremehin tapi gue cuma mau ngasih tahu aja kalau lo sekarang kelihatan kayak orang yang terobsesi sama rencana besar tanpa peduli begitu banyak hal yang masih kurang sana-sini,” tembak Seungcheol. “Lo fokus ke akhir nggak mikir apa kalau ada kemungkinan lo bakal ngulang kesalahan yang sama lagi?”

Ekspresi Jeonghan mengeras. “Kesalahan?”

You’re going to let another comrade die,” Seungcheol berkata dengan api yang menari-nari di matanya. “Just like what you did back then.

Terlambat untuk menarik kembali ucapannya karena silabel-silabel yang diselubungi amarah tak akan pernah diterima baik. Jeonghan kehilangan komposurnya dan ekspresinya jatuh. Memorinya membawanya pada ingatan paling gelap yang ia punya dan segala macam hal yang berusaha ia lupakan itu.

Dan orang yang selama ini menariknya berdiri baru saja mendorongnya jatuh dua kali.

Tangannya mengepal di sisi tubuh dan tatapan marahnya mengarah pada pemuda yang biasanya selalu ia rangkul hangat. “Gue sepengen itu nonjok lo sekarang.”

What’s stopping you?” Sebelah alis Seungcheol terangkat naik. “Mungkin kalau kita tonjok-tonjokan beneran, I can knock some senses into your head as well.

“Dan menurut lo apa pun rencana lo bakal berhasil?” Jeonghan tertawa setengah mengejek. “Nggak. Lo pikir lo hati-hati tapi tahu nggak? Lo cuma kelihatan kayak penakut yang nggak mau ambil risiko.”

Jeonghan tahu Seungcheol punya kesabaran yang luar biasa tipis dan tak sulit untuk membuatnya terpancing. Buktinya sekarang dia mendekat dengan marah dan mendorong tubuh Jeonghan hingga agak limbung. “Gue bukan penakut. Gue peduli sama keselamatan tim gue. Nggak kayak lo.”

“Siapa yang nggak peduli?” Jeonghan terdengar marah. “KALAU GUE NGGAK PEDULI, GUE NGGAK BAKAL SEHANCUR ITU WAKTU TEMEN KITA MATI!”

Bahkan Wonwoo menggeser sebelah headphone-nya dan menatap awas pada dua seniornya yang saling menunjukkan emosinya. Jemariny bergerak cepat mengetik pesan dan mengirimkannya pada seseorang yang diharapkan dapat membantu sebelum dua orang di depannya ini baku hantam sungguhan.

“Gue nggak bakal biarin ada lagi yang mati, Jeonghan,” desis Seungcheol. “Bahkan kalau itu harus bikin gue naro moncong pistol di kepala lo.”

“Taro sekarang,” sepasang mata Jeonghan berkilat-kilat berbahaya. “Nggak di sini. Taro di sini.” Jeonghan menunjuk dada kirinya. “Jangan pernah lo sentuh kepala gue.” Desisnya. “Itu aset gue.”

Jeonghan tak bercanda waktu bilang sampai mati pun ia akan melindungi otak cemerlangnya. Bahkan di situasi seserius ini, ia masih bisa mengingatkan Seungcheol untuk tak mengganggu gugat isi kepalanya.

“Mana?” Jeonghan memprovokasi Seungcheol. “Mana pistol lo? Katanya mau ngabisin gue?”

Seungcheol bergeming. Sepasang tangannya dikepal dan ia menarik napas panjang untuk mengontrol amarahnya. Ia tahu kalau ini diteruskan, mereka akan berakhir melukai masing-masing lebih jauh. Rasa sesal pelan-pelan merasuk ke dalam hatinya.

“Minimal kalau nggak bisa ngebantu, jangan nyusahin.”

Keduanya menoleh ke arah pintu lab yang tahu-tahu terbuka. Joshua muncul dari sana dengan menggunakan hoverboard diikuti Vernon, Mingyu, dan beberapa orang mengintip karena keramaian yang mereka berdua ciptakan. Joshua turun. Masih menggunakan snellinya dan titik-titik peluh muncul di pelipisnya.

“Pasien gue lagi banyak. Minimal kalau nggak bisa bantu beban kerja gue berkurang, jangan nambah-nambahin pekerjaan,” senyumnya ramah begitu pun nada suaranya. “Kalau mau emosi-emosian, sparring aja. Kalau nggak ambil cuti terus baku hantam di luar sana.”

Jeonghan menyugar rambutnya kesal dan membuang muka sementara Seungcheol bergeming di tempatnya. Di belakang sana, kumpulan kecil itu berbisik. Tak menyangka akan menyaksikan lagi iconic trio di masa akademi berkumpul karena perkara yang membuat tegang begini.

Joshua menengok ke belakang lalu memberi senyum menyenangkan pada kerumunan kecil tersebut. “Kalau nggak ada urusan di sini, boleh bubar, ya?”

Dokter muda itu selalu terlihat hangat dan menyenangkan tapi tak ada yang tak tahu soal betapa mampunya ia menjadi seram ketika diinginkan. Kerumunan kecil tersebut bergerak menjauh dan menyisakan Vernon serta Mingyu saja. Dua orang yang berlari kencang ke arah DERN Medical Center dan melaporkan ketegangan yang disaksikan Wonwoo pada Joshua yang diyakini jadi satu-satunya yang mampu mengatasi dua orang mengerikan ini.

Joshua merangkul keduanya lalu bergumam pelan. “Gue nggak bakal minta kalian berdua pelukan terus baikan kayak anak-anak. Gue yakin kalian berdua bisa nyelesain apa pun yang bikin kalian sampai ribut besar begini,” ia tepuk-tepuk lengan kedua teman sebayanya itu. “Udah gede, ‘kan?”

Seungcheol yang pertama melepaskan diri. Berdecak tak senang lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa baik pada Joshua dan Jeonghan. Setelah ia menjauh, Joshua menatap Jeonghan.

“Tanya Wonwoo aja kalau mau tahu kenapa. Gue nggak mau bahas.” Ucap Jeonghan lalu ikut pergi meninggalkan Joshua.

(Yang ditinggalkan cuma geleng-geleng kepala. Sadar betul kalau ini bukan kali pertama keduanya meledak seperti ini.)

“Mau gue ceritain?” Wonwoo bertanya pada Joshua.

“Nggak usah. Pasien gue lagi banyak.” Pungkasnya lalu mengulas senyum sebelum berbalik pergi kembali pada pasien-pasien yang menunggunya.