Tidak ada yang aneh dari misi-misi berbahaya tapi discard sama saja dengan menumbalkan diri secara sukarela.

Maka waktu Seungcheol mendengar salah satu kameradnya menawarkan diri dalam misi bunuh diri, dirinya langsung lari mencari. Pesan dari Joshua dibiarkan terbuka tanpa sempat dibalas lebih dahulu. Kepalanya meneriakkan kepanikan dan titik-titik peluh muncul di pelipisnya. Jarinya menyentuh pelan layar dernwatch miliknya dan mencari satu nama untuk mencari titik koordinatnya.

A walk-in closet.

Seungcheol bahkan tak bisa berpikir kenapa Jeonghan ada di lantai tempat segala perlengkapan menyamar ada di sana. Titiknya berkedip di tempat yang sama—pertanda ia tak bergerak sama sekali. Lekas ia pacu langkahnya dan mendekat ke mana Jeonghan berada saat itu.

Titiknya dan titik Jeonghan berpendar dekat di dernwatch-nya. Kali ini hanya dihalangi satu garis yang menandai pintu.

Seungcheol tak merasa perlu mengetuk pintu. Tak pula mempertanyakan kenapa ia mendengar ada suara musik mengalun dari dalam sana. Ketika ia mendorong pintu hingga terbuka, ia disambut punggung Jeonghan. Pemuda itu sedang duduk di atas meja (yang kalau diketahui tim rias akan membuat mereka mengamuk pastinya) dengan kaki dilipat menyentuh dadanya. Sebelah tangannya memegangi sesuatu di dekat mulutnya yang ketika ia menoleh ke belakang, Seungcheol kenali sebagai permen tangkai.

Jeonghan tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Kakinya refleks diturunkan satu per satu dan ia hampir berdiri ketika Seungcheol mendorong tubuhnya hingga terhuyung ke belakang menghajar cermin. Jeonghan meringis, lalu melemparkan tatapan tak senang. Keningnya berkerut dan ia menahan tangan Seungcheol dengan tangannya yang bebas.

“Maksud lo apa?”

Jeonghan meminggirkan tangan Seungcheol dengan tepisan keras. Tak terima diperlakukan dengan baik. “Sopan dikit kalau mau ngajak ngobrol.” Dagunya diangkat dan di sepasang matanya menari-nari api kemarahan.

A discard?” Seungcheol tertawa yang terdengar begitu menyinggung di telinga Jeonghan. “Sebenarnya apa yang lo rencanain?”

A proper plan.” Jeonghan mendengus tak senang. “Kalau lo nggak tahu, di sini nggak bakal ada orang terjun tanpa perencanaan matang.”

“Numbalin diri sendiri nggak bakal bikin rasa bersalah lo ilang!” Desis Seungcheol. Dari suaranya, Jeonghan tahu dia sedang menahan amarahnya. “Mereka yang pergi nggak bakal pernah balik!”

“Terus lo mau gue numbalin yang lain?” Jeonghan menelengkan kepala. “Siapa? Kasih gue nama.”

Seungcheol bergeming. Dia tetap menatap Jeonghan dengan kemarahan yang sama.

“Ayo? Lo kapten, ‘kan? Perkataan lo sifatnya mutlak. Ayo? Kasih gue nama buat ditumbalin.”

Sadar Seungcheol tidak juga merespon sesuai keinginannya, ia mendenguskan tawa.

“Elo yang pergi apa gue?” Tembaknya langsung. “Gue ke sini mau menyendiri biar bisa mikir jernih tapi seseorang kayaknya seneng banget menyalahgunakan kekuasaan buat ngelacak gue.”

Seungcheol tetap diam. Kemarahan yang sejak tadi bergejolak berubah menjadi ekspresi lain yang belum dapat diartikan oleh Jeonghan.

“Kalau gitu gue aja yang pergi.” Ia geser tubuh Seungcheol kasar lalu turun dari meja rias yang ia duduki. Permen yang sedari tadi menganggur kembali ia masukkan ke mulutnya. Kaki-kakinya melangkah menjauhi tempat Seungcheol berada.

“Nggak gini caranya kalau mau balas dendam ama gue, Han.”

Tungkainya berhenti melangkah maju. Tubuhnya membeku di tempat namun tak ada keinginan untuk menoleh ke arah di mana Seungcheol ada kini. Setengah hatinya meneriakinya agar tak terpengaruh dan pergi jauh-jauh tapi separuhnya dipenuhi penasaran jadi tetap tinggal untuk mendengar apa pun yang ingin dikatakan Seungcheol setelahnya.

Lama ia bertahan tapi rasa penasaran mengalahkannya. Ia memutar tubuhnya sedikit. Menatap Seungcheol yang berdiri tegak dan memberinya tatapan yang cukup membuatnya terkejut. “Siapa yang mau balas dendam ama lo?”

Pertanyaan Jeonghan membuat Seungcheol maju. Langkah-langkah percaya dirinya yang biasa digantikan dengan langkah lambat dan tatapan bak penguasa berganti dengan kerlingan ragu yang Jeonghan rasa bercampur dengan emosi lain yang tak berani ia asumsikan apa jenisnya.

Seungcheol berhenti dua langkah di depannya. Tangan-tangannya berlindung di balik saku celana.

I was mean.

Jeonghan pura-pura tak mengerti apa maksudnya. “Apa?”

“Perkataan gue waktu itu parah banget. Gue tersulut emosi sampai nggak berhasil memfilter kata-kata gue. Gue nggak berpikir logis waktu itu dan gue nyesel.”

“Syukurlah kalau tahu.” Jeonghan mengangkat bahu tak peduli. Tanding-tandingan keras kepala? Lebih baik tidak usah dengan dirinya karena menurut Joshua kalau kepala Jeonghan menyentuh aspal maka pemerintah harus merogoh kocek cukup dalam untuk menambalnya.

“Jangan jadi discard. Kita bisa pikirin cara lain.”

Creare gave his okay already.

I’m the captain.

I thought you didn’t want to involve in this suicide mission?” Jeonghan tersenyum amat manis menantang Seungcheol. Berusaha memancing amarah lelaki yang begitu mudahnya meledak-ledak kalau berurusan dengannya.

“Bisa nggak kita ngomong baik-baik aja?” Seungcheol menatapnya tak senang.

“Emang dari tadi kita nggak baik-baik, ya?” Tanyanya balik. “Emang kita baku hantam dari tadi?”

You just want to make everything more complicated.

Do I?

Stop.

“Nggak gerak kemana-mana.”

“Gue serius.”

“Gue kelihatan bercanda?”

Jeonghan juara dalam kalkulasi dan menebak jalan pikiran manusia namun ia gagal memperhitungkan kalau Seungcheol punya respon lain selain amarah atau berdiskusi dengan kepala dingin.

Seungcheol maju dan menariknya ke dalam pelukan erat—terlalu erat. Seolah-olah merenggangkan sedikit saja bisa membuat Jeonghan lari dan tak terlihat lagi.

I’m sorry.

Jeonghan dan egonya yang tinggi tak akan pernah mau merunduk untuk siapa pun tapi ia menemukan dirinya luruh dalam pelukan Seungcheol dan permintaan maaf yang terdengar begitu rapuh. Si empunya amarah dan batas sabar yang begitu terbatas mempertontonkan hal yang tak seharusnya seorang agen pertontonkan pada orang lain: perasaan terdalamnya.

Bisa saja Jeonghan tertawa dan membuat tontonan di depannya ini jadi bahan makanan egonya tapi hatinya tak bisa bohong kalau orang yang memeluknya adalah penopang utama dalam berkali-kali kejatuhannya. Jaring-jaring pengaman yang selalu siap sedia setiap kali ia gagal terbang dan sayapnya patah hingga ia tumbang. Seungcheol dan lengan-lengannya yang melindungi, Seungcheol dan lengan-lengan yang membuatnya berani … mendorongnya hingga ia ada di sini lagi.

Seungcheol dan rasa percayanya pada Jeonghan yang kadang membuatnya suka lupa diri….

Lengan Jeonghan memeluk pinggangnya dan ia tak berkata apa-apa. Tak merespon permintaan maaf atau mengeluarkan sepatah kata pun.

yo, que me enamoré de tus alas, jamás te las voy a querer cortar.

Jeonghan membeku di tempatnya. Matanya yang sempat ia pejamkan terbuka tiba-tiba dan ia mencoba melonggarkan pelukan untuk kabur dari Seungcheol.

Nggak boleh.

Kedekatan mereka hitungannya sudah dekade dan ada kesepakatan tak tertulis soal apa yang mereka punya dan batasan-batasan di antaranya. Perkataan Seungcheol barusan tiba-tiba membuatnya mempertanyakan batasan mereka.

“Lepas.”

“Nggak.”

Jeonghan keras, maka Seungcheol batu. Lelaki itu mempertahankan lengannya yang merengkuh Jeonghan agar pemuda itu tetap di sana. “I’ll let you go once you promise you will find a better plan for this.

There is no better plan.

Then I’ll go with you.

Dengusan Jeonghan begitu keras. “Nggak ada bidak catur bagian belakang maju ke depan buat ngelindungin pion.”

“Elo bukan pion.”

“Lalu apa?”

Seungcheol tak menjawab tapi pelukannya dilonggarkan—hal yang membuat Jeonghan lega karena berpikir ia akhirnya bebas.

(Sepasang matanya membola ketika Seungcheol tahu-tahu menangkup rahangnya dengan sebelah tangan dan menciumnya dalam-dalam.)

-