Bagian I:
28 hours

cw // alcohol Word count: 650


Dari sekian banyak skenario yang ada di dunia ini, terjebak bersama mantan kekasih selama 28 jam tak pernah masuk dalam agenda Miya Atsumu. Kursinya yang biasa terasa nyaman kini terasa gerah. Padahal pendingin udara terpasang baik, hanya saja tetap membuat pemuda Miya itu menarik kerah bajunya—menyembunyikan wajah dalam turtleneck miliknya. Oh, jangan tanya tentang sumpah serapah. Atsumu sudah mengeluarkan dalam bahasa yang ia pahami.

Kalau tahu akan seperti ini, lebih baik memilih first class. Atsumu masih bergumam. Pesawat mereka sudah lepas landas sejak beberapa menit lalu. Tiga menit pertama menjadi waktu yang paling penting saat terbang. Juga jadi tiga menit paling menciptakan gugup dalam hidup Atsumu. Jantungnya berdegup kencang bukan hanya karena guncangan pesawat, namun juga sosok di sampingnya. Atsumu bahkan lupa kapan terakhir kali merasa demikian.

Atsumu menoleh, melirik sekilas pada si mantan kekasih—yang sialnya sedang menatap ke arahnya. Buru-buru si rambut pirang memalingkan wajahnya. Sudah tak ia dapatkan bangku di samping jendela, eh, malah harus duduk bersampingan dengan mantan kekasih.

Kisah mereka tak berakhir indah kalau Atsumu boleh jujur. Soal perasaan, ia kira mereka berdua sudah saling memahami, nyatanya tidak. Ia kira mereka sepakat dalam banyak hal, nyatanya tenggelam dalam tidak percaya. Atsumu menghela, menyandarkan punggungnya sambil menatap ke arah lain. Atsumu tak tahu harus bersikap seperti apa dalam situasi ini. Ia tak berada di tempat yang dapat menyembunyikan dirinya. Tak juga berada di tempat ia bisa lari sesukanya. Atsumu, terbatas dalam gerak.

“Aku dengar kamu main untuk tim Rusia? You seems great, as usual.” Suara itu terlalu tenang untuk masuk dalam telinga Atsumu. Pipinya masih bersandar pada telapak tangan, malas untuk menoleh. “Kamu terlihat lebih baik, aku senang.”

Hah? Dari sekian banyak kalimat, hanya itu yang bisa dikeluarkan? Atsumu menertawai dalam hati. Ia mendengus mengalahkan egonya untuk menoleh. “Harus lebih baik dong karena ada seseorang yang terus mengawasi.”

Ada api amarah di sana. Ada rasa yang belum terselesaikan juga masih disembunyikan. Keduanya saling menatap dan yang tak Atsumu sangka adalah anggukan kecil yang diberikan oleh Sakusa. “Bagus kalau begitu.”

Hening kembali datang, kembali menyapa. Kali ini diisi dengan dumalan oleh Atsumu. Sementara si rambut ikal hitam di sampingnya memilih membuka buku. Belum ada tiga putuh menit pesawat lepas landas, Atsumu sudah memesan wine. Ia butuh alkohol untuk menenangkan diri. “Ah, saya juga mau. Minuman yang sama.” Dan itu bukan tambahan yang Atsumu harapkan.

“Aku ke sana untuk menjenguk Kana, omong-omong.” Sakusa membuka suara, melirik sekilas pada Atsumu—yang untungnya tak memilih menaikkan sekat di antara mereka. “Kana sejak tahun lalu bersekolah di Rusia. Kadang dia juga mengirimi foto kamu yang sedang bermain di liga.”

“Ah,” hanya itu yang Atsumu bisa keluarkan. Ia tak bisa mengatakan selamat, sementara subjek pembicaraan mereka tak ada di sini. Mengucapkannya pun terasa aneh. Kemudian, rasa-rasanya ini bukam hal yang perlu ia tahu. Too much information. “Selamat, aku harap kamu menyampaikannya.” Dan ia tetap mengatakannya.

Minuman mereka tiba dengan beberapa makanan ringan sebagai pelengkap. Matahari belum terbit di rumahnya saat ini, namun Atsumu sudah memutar gelas wine. Bersama mantan kekasih yang mengangkat gelasnya—yang mau tak mau ia sambut.

Clang.

Dua gelas tersebut saling bersenggolan, menciptakan suara, juga goyangan di dalamnya. Bagai emosi yang bergolak kemudian perlahan tenang di dalam gelas. Bagai perasaan yang ditelan dalam-dalam, tanpa niat untuk dikeluarkan. Minuman tandas dalam satu teguk untuk Atsumu. Di sampingnya, Sakusa masih menyisakan miliknya. Ia melirik, sekilas. “Lebih baik kita tidur.”

Hah, jangankan memikirkan tidur, Atsumu bahkan sudah melupakan rencana indahnya untuk menikmati film sampai perjalanan berakhir. Ia kembali mendengus, “Silakan. Aku akan tetap bangun, ini belum waktunya untuk aku tidur.

“Kamu benci aku?” Pertanyaan yang membuat kepala Atsumu bergerak cepat. Matanya merah, menatap tajam. Jika mata bisa membunuh, Sakusa sudah nyaman dalam timbunan tanah sejak dua tahun lalu.

“Itu sudah pasti 'kan?” Sindir Atsumu, “Kamu pikir akan ada seseorang yang tetap mencintai tanpa kebencian? Setelah semua yang kamu katakan?”

Tak ada balasan dan Sakusa hanya mendengar dengusan. Satu jam bertama dan Atsumu sudah merasa gila.