Bagian III
Belasan jam berlalu

Words count: 830


Masih ada sehari penuh kebersamaan mereka dan Sakusa tidak dapat menahan luapan emosinya. Tanpa perlu ditanya, jelas Atsumu membenci keadaan mereka saat ini. Berada di atas ketinggian sekian ribu kaki selama 28 jam bersama mantan kekasih bukanlah skenario terbaik. Meski sejujurnya, Sakusa menyukai situasi ini.

Penyesalan terbesar Sakusa Kiyoomi adalah melepaskan Miya Atsumu juga memutuskan hubungan mereka. Ia menyesal pada tiap amarah yang tak dapat ditahan, juga curiga yang ditunjukkan tanpa memberi kesempatan pada penjelasan.

Sarapan mereka tiba dan keduanya makan dalam diam. Sampai Sakusa menepuk pundak Atsumu pelan. “Kamu gak suka kuning telur 'kan? Sini, tuker sama punyaku.”

Jeda yang diberikan oleh Atsumu malah membuat tangan Sakusa bergerak cepat. Tanpa mendengar jawaban dari Atsumu, Sakusa langsung menukar telur di piring keduanya. “Makan, Tsum.”

“Makasih, kamu juga Omi.”

Ah, rasanya kembali ke masa lalu. Sudah lama Sakusa tidak mendengar panggilan tersebut sedangkan Atsumu merasa asing dengan namanya yang keluar dari bibir pemuda di sampingnya. Kelereng gelap itu menoleh, melirik pada rambut pirang yang kini kecokelatan. “Rambut kamu sekarang lebih cokelat.”

Atsumu menoleh, satu alisnya naik. “Ya?”

“Cocok. Keliatan lebih dewasa.”

Dengusan kecil terdengar, “Maaf saja, tapi sebelumnya pun aku terlihat ok.”

Sakusa menjawabnya dengan tawa pelan, “Gak ada yang bilang kamu jelek kok.” Balasannya begitu santai sembari memotong daging di atas piringnya. Ia menoleh, menatap Atsumu—yang tanpa sengaja bertemu tatap dengannya. Sudut bibir Sakusa ditarik ringan, “Kamu selalu menawan, Atsumu.”

Detik berikutnya, Atsumu terbatuk pelan. Menciptakan panik di wajah Sakusa yang langsung memberikan segelas air. “Pelan-pelan.”

Hanya diberikan anggukan. Sakusa Kiyoomi terlalu santai dalam memberi pujian. Riak wajahnya yang tak berubah membua Atsumu panik sendiri. Pipinya terasa lebih panas dibandingkan beberapa waktu lalu. Ia menghela napas, mengendalikan diri kemudian melanjutkan makannya. Bohong kalau Atsumu tak merasakan tatapan dari Sakusa yang membuat punggungnya terasa panas.

Perlahan ia menoleh, mendapati Sakusa yang menatapnya khawatir. Ah, tatapan ini, pikirnya. Tatapan yang membuat dadanya terasa hangat. Tanpa perlu ditanya, Atsumu berujar, “Aku gak apa, Mi. Cuma keselek.”

Ada lega yang mengguyur khawatir, membuat Atsumu ikut tersenyum. “Omong-omong, pudingnya dimakan gak?”

“Kamu mau?”

Tawaran yang dijawab dengan anggukan. “Mau.”

“Ambil kalau gitu.” Sakusa mengulurkan puding di tangannya yang langsung diterima oleh Atsumu. Sakusa suka melihat Atsumu makan, sejak dulu ia menyukai bagaimana pipi keka— ah, mantan kekasihnya menggembung lucu saat makan. Oh, perubahan julukan ternyata cukup membuat dadanya terasa terhimpit.

How's life, Tsum?” Sakusa tak berharap akan mendapatkan jawaban secara langsung. Ia hanya ingin mendengarkan kejujuran. Tentang hari Atsumu setelah pindah ke Rusia. Tentang Atsumu yang memilih berganti kamar dengan Bokut. Juga tentang perasaannya saat ini. Itu yang paling penting.

“Hm,” Atsumu tentu tak langsung menjawab, seperti tembakan. Hingga pudingnya habis dan alat makan mereka diangkat, Atsumu belum memberi jawaban sementara Sakusa menunggu. Rambut pirang-kecokelatan itu bergerak pelan ketika menoleh. “What do you want to know? After I go to Russia? Or after we break up?

Sakusa mau tak mau menahan tawanya, pahit sekali mendengarkan kenyataan itu. Kakinya menyilang, tubuh bergeser mengarah pada Atsumu. “Terserah, mana yang ingin kamu ceritakan? Kita berdua memiliki banyak waktu hingga mencapai tujuan.”

Keduanya saling tatap, kali ini ada hal yang ditahan untuk kemudian dikeluarkan. “Awalnya tentu saja sulit. Dan kayanya bukan cuma buatku, tapi buat kamu juga. But we get through it right? Abis pindah ke Rusia, aku mulai segalanya dari awal. Belajar banyak hal yang bikin aku perlahan lupa sama sakitnya patah hati.” Atsumu terdiam untuk beberapa saat hingga Sakusa mengira akan ada ucapan lanjutan, ternyata tidak. “Kamu sendiri gimana?”

Ah, apa yang Sakusa harapkan? Jemarinya menyisir helai rambutnya ke belakang. Matanya menatap Atsumu lurus, “Seperti kata kamu. Gak mudah.” Ia berdeham sebelum melanjutkan, “karena aku rasanya dicekik oleh rasa bersalah. Aku yang nyakitin kamu dan memutuskan hubungan kita sepihak. Rasa bersalah itu yang bikin aku berlatih lebih keras. Karena kalau sedikit aja aku lengah, aku akan kalah dan menyesal lebih lama.”

Dengusan kecil terdengar dari bibir Atsumu, “Ya, akan bagus jika kamu kalah sebenarnya.” Ada sindiran di sana, tajam namun tak menusuk ataupun menyakiti. “Baguslah kalau sadar. Dan kamu gak perlu merasa bersalah karena mengakhiri. Jangan lupa aku juga berkontribusi dalam hubungan ini. Bukan salahmu. Kita berdua memiliki porsi kesalahan sendiri, jadi biarkan saja.”

Hah, rasanya keadaan mereka saat ini sangat cocok dengan motto Inarizaki. Siapa yang butuh memori ketika hal itu hanya datang untuk menyakiti secara berulang? Sakusa pun tak akan menginginkannya.

“Lalu, apalagi yang ingin kamu tanyakan? Karena ini sudah waktunya aku tidur siang.” Atsumu menguap pelan.

Sakusa menggeleng, “nanti aja. Kita masih punya banyak waktu. Kamu tidur dulu aja.”

“Oke, kamu juga istirahat dulu aja.” Balas Atsumu setelah menyesuaikan posisinya untuk tidur.

Sakusa bersyukur, Atsumu tidak memasang pembatas di antara mereka sehingga ia masih bisa melihat wajah tertidurnya. Sakusa masih dalam posisinya, menatap napas yang naik turun perlahan. Masih ada sekian belas jam lagi. Masih cukup untuk mereka berbicara tentang masa lalu yang belum diucapkan. Namun, Sakusa lupa bahwa yang paling cepat berlalu saat nyaman terjaga adalah waktu. Dan ia lupa bahwa sejak dulu, Atsumu pandai bersembunyi.