Bagian IV
Tamu familiar

Words count: 860


Sakusa Kiyoomi baru keluar dari kamar mandi ketika bel pintunya berbunyi. Dengan handuk di leher, ia membuka pintu. Pikirnya itu adalah paket yang dikirimkan oleh Ibunya. Namun, ternyata bukan.

Tubuh pemuda itu membeku, mata bergetar menatap sosok di hadapannya. Suaranya tercekat di tenggorokan membuat si rambut pirang di hadapannya mengangkat tangan. “Hai, apa kabar?”

“Ah,” seakan sadar dari lamunannya, Sakusa memberikan jalan untuk Atsumu masuk. “Masuk Tsum. Dan ya, aku baik.”

Jawaban Sakusa seperti orang kebingungan. Ya memangnya apa yang diharapkan? Ia tak tahu kenapa seseorang yang baru saja ingin ia kirimin email sekarang ada di ruang tengahnya? Bermain bersama Cat, kucingnya. Lucu bagaimana keduanya bisa sangat akrab meski baru bertemu. “Akan kusiapkan minuman.” Pamitnya.

Ia menyandarkan tubuhnya pada meja dapur. Kepalanya terasa kosong, namun penuh. Bahkan meski itu terdengar tak masuk akal, Sakusa tak peduli. Toh itu yang kepalanya rasakan saat ini. Sakusa menghela, kemudian membuka keran. Takutnya ia saat ini masih bermimpi. Wajahnya yang basah langsung diseka dengan handuk. Ah, ternyata ini kenyataan.

Lelaki berambut ikal itu melangkah, membuka pintu kulkas kemudian mengeluarkan jus jeruk dari sana. Tangan kiri membawa dua gelas dan tangan kanan jus jeruk. Ia melangkah, dengan jantung yang berdegup kencang sambil duduk di samping Atsumu. “Kenapa tiba-tiba di Jepang?”

Atsumu dengan tenang mengusap puncak kepala Cat yang bersantai di atas pangkuannya. “Kontrakku dengan Cheegle Ekaterinburg sudah habis, tentu aku harus kembali.”

“Ah, begitu.” Sakusa melirik, agak gugup sebenarnya melihat Atsumu yang terlalu tenang. “Omong-omong dari mana kamu tahu alamatku?”

“Dari email yang kamu kirim setiap hari?” Pernyataan Atsumu terdengar seperti pertanyaan. Keluar dengan suara bingung dan tak percaya. “Lupa?”

“Ah,” Sakusa menggeleng. “Tidak. Maksudku, aku kira kamu gak baca email yang aku kirim?”

“Aku baca kok.” Jawab Atsumu tanpa menoleh. Jemarinya sibuk mengusap puncak kepala Cat. Tatapannya menunduk, lembut dan agak sayu. Perlahan kepalanya menoleh, menatap Sakusa dengan senyuman kecil. “Aku baca semuanya. Dari awal, sampai pesan terakhir kamu.”

Atsumu terkekeh pelan melihat ekspresi tak percaya di wajah Sakusa. Tangannya bersandar pada sofa, tubuh menghadap pada Sakusa. “Aku gak nyangka kamu bisa nyusun kata-kata semanis itu. Aneh banget bacanya.”

Mendengar itu membuat Sakusa membuang wajah, tak cukup cepat untuk menyembunyikan rona di wajahnya. Kekehan Atsumu kembali terdengar, “Tapi gak buruk juga sih.”

“Omong-omong,” kata Atsumu setelah jeda yang cukup lama. “Sekarang aku udah di sini gak ada yang mau kamu omongin?”

Perlahan Sakusa menoleh, meski masih menunduk. Tangannya menyatu, dimainkan jarinya di sana. “Pertama ma—”

“Tsk,” Atsumu mendecak, tangan bersedekap depan dada. “Gak nerima permintaan maaf. Aku udah cukup bosan baca email dengan isi yang sama.”

Ada lega di mata Sakusa melihat reaksi Atsumu. Rasanya seperti mereka kembali ke masa lalu. Sakusa menarik napas, kemudian membuangnya, dan menatap Atsumu. Cat sudah nyaman di atas sofa favoritnya. “Oke, kalau begitu kita lewati bagian itu. Aku menye—”

“Itu juga dilewati.”

Sakusa berdeham, makin gugup. “Aku rin—”

“Lewati itu juga karena sekarang aku di sini.”

Sakusa menatap Atsumu yang masih belum puas. Ragu, ia berucap, “Aku masih sayang kamu?”

“Nah! Itu yang mau aku dengar. Sekarang, kalimat selanjutnya.”

Ada gembira yang takut Sakusa rasakan. Ada kebahagiaan yang perlahan merangkak, menarik ragu. “Atsumu, boleh kita memperbaiki, gak. Um, mengulang?”

“Pilih satu.”

“Mengulang dan memperbaiki, tapi gak melupakan.” Balas Sakusa yakin. “Kali ini, aku akan lebih jujur ke kamu juga perasaanku sendiri.”

Tangan Atsumu terulur, jemarinya tersangkat untuk memberikan sentilan kencang tepat di dua tahi lalat Sakusa. Dua kali. “Kenapa?” Ujar Sakusa tak terima.

Atsumu malah tertawa. “Percobaan untuk melihat kamu benar-benar jujur sama perasaan apa enggak. Ternyata beneran jujur.”

Tangannya yang tadi memberikan sentilan kini mengusap pelan. “Kalau gak jujur dan kaya kemarin lagi, alis kamu aku wax.”

“Tiba-tiba banget?”

“Yakumori ngasih aku produk wax super menyakitkan. Katanya jaga-jaga.” Ah, Sakusa tak membalas hanya mengangguk. Ia pun tak berencana menjadi bodoh untuk kedua kalinya.

Usapan di kening Sakusa berhenti. Atsumu menatap wajah yang ia rindukan selama ini, kemudian melebarkan tangannya. “Sini, datang ke pelukanku yang kamu rindukan.”

Meskipun penuh ledekan, Sakusa tetap melakukannya. Menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan Atsumu. Ah, rasanya menyenangkan. Pulang dalam pelukan Atsumu terasa hangat.

Tangan Sakusa melingkar, memeluk Atsumu erat. “Atsumu, is it okey for us to be like this? Untuk kembali ke square one?”

Atsumu membalas dengan usapan di punggung Sakusa. “It's fine, you still love and I can't forget you, us. And even more,” pelukannya mengerat. “I just, loving you so much.”

Sakusa menyandarkan kepalanya pada lekuk leher Atsumu. Menghirup aroma yang selama ini hanya sebatas mampir dalam kenangan. “Atsumu, setelah ini, ayo kita ambil foto yang banyak.”

Tawa Atsumu terdengar manis di telinga. Membuat Sakusa tersenyum. Pelukan dilepaskan, kini jemari kedua saling menggenggam. “Kita buat memori yang banyak.”

Dibalas tawa geli oleh Atsumu. “Pft, oke. Kita buat memori yang banyak sampai dinding apartemenmu penuh.”

Kening keduanya menyatu dengan hidung yang bersentuhan dan tangan yang menggenggam. Keduanya sudah cukup lama saling melukai, saling menahan diri. Dan saat ini, ketika jujur diucapkan, semuanya kembali titik yang sempurna dalam hidup masing-masing.

“Omong-omong, aku punya kejutan.” Kata Atsumu sambil tersenyum jail. “Tunggu ya.”

Sakusa tak paham, tapi ia rasa itu bukan kejutan yang buruk. Sehingga anggukan ia berikan. Sakusa tak bisa menebak, namun tak masalah selama Atsumu dalam pelukannya. Tak akan ada masalah.