ChoIta and SukuIta Tag: nsfw, incest , explicit


Yuuji sedang santai, di sofa bersama boneka panda di atas perut. Kakinya yang jenjang dipamerkan, satu naik ke atas punggung sofa sementara yang satu selonjoran. Boxernya turun, memperlihatkan pahanya tanpa kenal malu. Ya, untuk apa juga malu karena dia ada di rumahnya.

Kaus putih tanpa lengan yang ia kenakan agak turun, memperlihatkan pucuk cokelat terang yang mengintip. Kalau ada yang lewat dan melihat penampilan Yuuji, sudah pasti akan menelan ludah. Si rambut merah muda terlihat menggoda bahkan tanpa perlu melakukan apapun. Hanya rebahan di sofa bersama satu kaki terangkat. Acara di televisi membuatnya terlalu fokus hingga tak sadar pintu rumah terbuka.

Hingga tak sadar ada dua laki-laki yang sedang menatapnya. Satu yang lebih tua berdeham, membuat perhatian Yuuji teralih. Kakinya langsung turun dan tengkurap untuk melihat kakaknya. Dua sudut bibirnya terangkat. “Eh, Kak Cho sama Kak Una udah pulang. Kok gak salam sih?”

Si rambut merah muda—Sukuna namanya—mendecak. Tas ia taruh secara asal dan langsung ikut merebahkan diri di atas tubuh Yuuji—yang sudah telentang. Kepalanya ia taruh, disela leher Yuuji, menghirup aroma tubuh adiknya banyak-banyak. “Ji, malam ini tidur sama Kakak. Kak Una butuh dihibur.”

Yuuji tertawa pelan. Rasanya seperti lonceng surga yang didentingkan. Tangannya mengusap-usap puncak kepala yang sewarna dengan miliknya. “Tapi, ini jadwalnya sama Kak Cho ’kan.” Ia melirik pada Kakaknya yang lebih tua.

“Yuuji emang maunya tidur sama siapa?” Balas Choso santai. Tangannya menarik Sukuna untuk berdiri. “Yuuji pilih sendiri. Kak Cho gak apa-apa kok.”

Yuuji ikut duduk, menatap dua kakaknya bergantian. Di tempatnya Sukuna sulit fokus. Tali kaus Yuuji turun, memperlihatkan bahunya juga puncak dadanya yang mengintip dari kaus. Belum lagi boxer-nya yang naik hingga pangkal paha. Sukuna ingin tangannya meraba paha adiknya, meninggalkan merah remasan tangannya. Pun ia ingin bekas gigitannya ada pada puncak dada Yuuji.

Choso melirik, pada Sukuna yang otaknya sudah ada di pangkal paha. Isinya tentu sudah bukan hal baik. Adiknya yang satu ini pasti memiliki hari yang buruk, hingga butuh hiburan. Makanya, Choso tak masalah. Tak masalah jika Yuuji memilih Sukuna. Sebagai Kakak yang baik, Choso harus mengalah.

“Um,” suara Yuuji menarik perhatiannya. Ia menoleh, mata fokus pada adik bungsunya. “Kalau Yuuji maunya sama Kak Cho dan Kak Una, gak boleh?”

Ah. Sialan. Choso yakin ia pandai menahan diri. Namun, di hadapan adiknya—yang menatap layaknya anak anjing—Choso selalu kalah. Ia bisa merasakan bulu kuduknya naik saat menoleh pada Sukuna. Insting mereka sama. Ingin membuat adik mereka berantakan. Lebih berantakan dari penampilannya sekarang.

“Boleh dong, Sayang.” Choso menjawab. Ia langsung berlutut di hadapan adiknya. Ujung matanya dikecup kemudian pipi, ujung hidung dan pipi yang lain. “Buat adiknya Kak Cho, apa sih yang enggak?”

Pipi Yuuji memerah. Mendapatkan perhatian dari Kakak sulungnya membuat ia senang. “Hehe, makasih Kak Cho.” Ucapannya semanis senyum di bibirnya.

Sukuna tak suka pada pemandangan di hadapannya. Tak suka jika ia tak ada di sana. Tangannya naik, menyisir rambutnya ke atas dan kemudian langsung menarik bajunya lepas—mempertontonkan tatonya.

Yuuji menelan ludahnya susah payah. Sukuna terlihat sudah tak sabar. Matanya meredup dan Yuuji bisa melihat bagaimana pusat di balik celana jeans milik Sukuna telah naik, mulai menegang. Kakaknya benar-benar sudah menahan diri sepanjang hari.

“Ji, gak noleh narik ucapan kamu.” Sukuna narik dagu adiknya, dilumat pelan. “Jangan mikir buat tidur malam ini.”

Yuuji tahu, ia baru saja menggali kuburnya. “Malam ini bakal panjang.” Kata Sukuna sambil mengangkat tubuh adiknya. “Kak, gue duluan.”

Choso mengangguk. Ia lebih dulu mematikan televisi, mengunci pintu, dan baru kemudian ia naik ke kamar Yuuji. Pintu kamar adiknya terbuka lebar. Pakaian tercecer di atas lantai dan Choso membiarkannya.

Kancing kemejanya ia buka, bersama dasi yang ia tanggalkan. “Kak Cho,” panggilan Yuuji membuatnya menoleh. Dua adiknya sudah mulai bermain rupanya. Mata Yuuji sudah sayu sementara Sukuna sudah mulai menggigiti tempat favoritnya, puncak dada Yuuji. “Hng, Kak Una, jangan kencang-kencang, sakit.”

“Haha, kamu 'kan sukanya yang kenceng Ji. Kamu 'kan sukanya yang bikin sakit.” Ledek Sukuna. Dengan sengaja ia menggigit puncak dada Yuuji. Puncak itu digigit, ditarik hingga pemiliknya mendesis.

“Ah, hng, Kak Una.” Desahan yang didapat membuat Sukuna menyeringai. Ia benar, Yuuji menyukainya. “Ahn, sakit.”

Lidahnya mulai menjilati bagian yang ia gigit. Berputar kemudian mengikuti daerah areola. Sementara tangannya yang lain mencubit dada kiri Yuuji. Memainkan putingnya dengan jari.

Choso yang melihat Yuuji langsung duduk di sisi kasur. Ia menunduk, memberikan ciuman lembut pada bibir merah adiknya. Sudah pasti merah dan bengkak karena Sukuna. Hanya beberapa menit bibir Yuuji sudah begini. Choso menggeleng pelan.

Dengan perlahan ia menikmati bibir adiknya. Diisap pelan, dikulum lembut bersama terian lidah keduanya. Mulut Yuuji terasa panas. Nikmat sekali. “Kak Cho, hn Kak Una.” Bibir basahnya memanggil kedua nama Kakaknya.

Sukuna naik, menatap adiknya dengan mata menyala. “Mau apa?” Lututnya dengan sengaja menekan selangkangan Yuuji. Membawa desisan yang keluar dari bibirnya. “Ayo, ngomong Ji, mau apa?”

Tuntutan terdengar, menekan bersama lutut Sukuna yang bergerak berulang di satu titik. “Ugn, mau Kak Una. Mau Kak Cho juga.” Pengakuan manis dibalas dengan kecupan di pipinya, oleh dua kakaknya.

“Anak pinter.” Puji Sukuna lembut.

“Ganti posisi, Na.” Sukuna langsung paham. Tubuh Yuuji agak diangkat oleh Choso, disandarkan pada dadanya.

Sementara paha Yuuji dibuka lebar-lebar, tentu saja celananya sudah tanggal entah sejak kapan. “Kak Cho, cium.”

Choso menunduk, mengabulkan permintaan adiknya. Tangannya mulai meraba, dari perut naik ke dada. Perlahan memetik puncak dada adiknya. Disentuh, diputari areolanya dan perlahan ditarik. Ada desahan yang tertahan di bibirnya.

Choso melirik, pada Sukuna yang mulai mempersiapkan bukaan di bawah sana. Sudah tiga jari dan Choso ikut membantu. Mengusap batang Yuuji agar pemiliknya sedikit rileks. “Kak Cho, hng, lebih cepat.”

“Ssh,” Choso menenangkan sambil tersenyum. “Malam masih panjang, Ji, mau ke mana sih, cepet-cepet banget?” Kecupan diberikan pada pipi adiknya. “Nikmatin dulu.”

Inginnya Yuuji pun begitu, namun gerakan tangan kedua kakaknya seolah berteriak, memintanya dengan cepat mengeluarkan segala yang ia tahan. Jemari Sukuna mengisi dirinya, menekan titik yang membuat tangannya memeluk lengan Choso. “Ahn, Kak Una, pelan-pelan. Ahn.”

Sukuna tertawa, jelas sekali perasaannya membaik setelah melihat Yuuji meneriaki namanya. Tiga jarinya menghentak, masuk dalam-dalam sambil menekan satu titik yang membuat punggung Yuuji membusur.

Kesempatan tersebut diambil oleh Choso untuk mengurut batang milik Yuuji yang mengacung tinggi dengan cepat. Denyutan bisa ia rasakan. Pencapaian Yuuji dalam genggamannya hanya butuh pelepasan, namun ia hentikan. Membuat adiknya merengek. “Kak Choo! Aku tadi udah mau keluar!”

“Sh, Yuuji.” Choso membuka mulut adiknya dengan jarinya. Dua jarinya mengapit lidah si adik yang tak mau diam sebab kenikmatannya diganggu. “Ingat, gak boleh keluar sebelum Kakak selesai.”

Yuuji benci peraturan tersebut. Mentang-mentang ia anak bontot, jadi harus mengalah. Kalau begitu, harusnya mereka jangan iseng!

“Hegh! Kak Una! Ahn, jangan tiba-tiba ah! Pelan-pelan!” Yuuji kewalahan. Sebab secara tiba-tiba, tanpa ucapan Sukuna mendorong masuk dirinya, dalam-dalam.

Yuuji merintih, tangannya berusaha menyingkirkan tangan Choso, namun gagal. “Sh, Yuuji, Kak Una harus keluar dulu. Tahan.”

“Ah, tangan Kak Cho kalau gitu.” Sekali lagi, ia menyingkirkan tangan kakak sulungnya, memohong lewat tatapan. “Ahn, Kak Cho, please.”

“Sampai Sukuna selesai, Sayang.” Bibir Yuuji kembali dikecup, dibawa bersama lumatan pelan.

Sementara keduanya menarikan lidah mereka bersama, Sukuna menarik pinggang Yuuji, menghentak lebih dalam. Gerakan kasarnya membuat Yuuji terhenyak dan menggigit bibir Choso cukup kencang. “Ah, Kak Cho, hng, maaf.” Ucapan maafnya berada di antara lenguhan juga desahan panjang.

“Gak apa, Yuuji. Keluarin suara kamu, biarin Sukuna denger nama kamu.” Choso mengusap lembut puncak kepala adiknya.

Yuuji kali ini menggeleng. “Ah, kalau mulut aku sibuk manggil Kak Una, itu Kak Cho gimana?”

Choso melirik ke arah Sukuna kemudian tertawa. Ternyata mengajari banyak hal pada adiknya membuahkan hasil juga. Ia menunduk, memberikan kecupan di puncak kepala. “Perhatiannya Adik Kak Una. Seneng deh Kak Cho.”

“Kalau gitu, hng, Kak Una! Pelan-pelan! Ah! Itu, di situ! Lagi!” Omelannya dengan cepat berubah jadi permohonan.

Pipi Yuuji disentuh oleh Choso, membuat perhatiannya teralih. Mulutnya dipaksa terbuka, “lidahnya Ji, keluarin.” Dan seperti biasa, adiknya menurut.

Kepala Yuuji ditarik, mendekat pada batangnya yang sudah mengeras sejak tadi. Perlahan, seluruhnya masuk dan Choso bisa merasakan panas mulut adiknya. Ah, merasakan mulut Yuuju membuatnya tak sabar ingin menyatukan diri mereka secepatnya.

Ujung puncak batangnya menekan rongga mulut Yuuji, kencang hingga pemiliknya tersedak bersamaan dengan hentakan dalam Sukuna. Mulutnya ingin berteriak, namun tak bisa. Tangannya akhirnya bergerak, memukul paha Choso, meminta agar batangnya dilepaskan dari mulut Yuuji.

Choso melakukannya setelah melihat Sukuna melepaskan penisnya dari dalam diri Yuuji. Masih ada jejak putih di sana. “Cho, gantian.” Sukuna berujar dan Choso menurut.

Choso itu kakak yang baik. Tiap permainan adiknya pasti akan dituruti. Dan sekarang ia mengangkat kaki Yuuji, ditaruh di atas bahunya. Milik Yuuji terlihat memerah. Puncaknya agak biru, mungkin karena terlalu lama tadi ia tahan. Kasihan.

Mata gelapnya mendongak, menatap pada Sukuna. “Ji, bersihin.” Dan adiknya, menurut. Choso dan Sukuna berhasil mendidik Yuuji jadi adik yang baik.

“Yuuji, abis ini boleh keluar.” Choso menciumi betis Yuuji sambil perlahan ia memasuki lingkar basah yang memanggilnya, meminta untuk dipuaskan: diisi banyak-banyak.

Jika Sukuna suka penyatuan dalam satu hentakan, Choso lebih suka melakukannya perlahan. Perlahan menikmati jepitan yang menciptakan lenguhan dari balik mulut yang penuh batang.

Dan Yuuji hanya bisa menahan napas tiap kali ia merasakan puncak milik Choso meraba seluruh lubangnya secara perlahan. Tanpa terburu. Berhenti setengah sambil menekan perut Yuuji seakan menilai, sudah sejauh mana is sampai. Naik lagi hingga seluruhnya bisa berada di dalam diri Yuuji.

“Yuuji, bersihin punyaku, jangan fokus sama Choso doang!” Sukuna terdengar kesal karena mulut Yuuji berhenti bergerak.

Ia akhirnya mengangguk. Kembali menjulurkan lidahnya untuk membersihkan cairan di batang Sukuna. Sejujurnya, mulutnya mulai pegal karena tadi baru selesai mengulum milik Choso. Namun, ia tak bisa mengatakannya. Ia tak mau membuat Sukuna sedih.

Tak masalah membuat rahangnya pegal asal Sukuna senang. Dua mulut Yuuji sibuk. Satu melahap milik Sukuna, satu lagi milik Choso. Dua-duanya panas, rapat, dan basah, memberikan sensasi luar biasa dalam tiap pergerakan mereka.

Pinggang Yuuji sejak tadi ikut bergerak tiap kali Choso menghentak masuk—ia menarik pinggang kakaknya agar menekan makin dalam dengan kaki. “Ah, Ji, abis ini kita keluar bareng. ” Ucapan Choso membuat Yuuji mengangguk.

“Heh, ajak gue juga lah. Kita keluar bareng.” Sukuna menarik leher Yuuji, menekannya, mengambil alih gerakan untuk menciptakan kepuasan untuk diri sendiri.

Melihat pemandangan di hadapannya membuat Choso mempercepat gerakannya, menekan dalam titik sensitif Yuuji. Tangan Choso kembali memompa batang milik Yuuji, batang keras yang sejak tadi ia tahan agar tak keluar.

“Ah, Yuuji.” Jika namanya dipanggil dengan nada rendah seperti itu, tandanya Choso akan segera mencapai puncaknya. Sukuna dan Yuuji sudah paham. Sehingga keduanya ikut mempercepat gerakan masing-masing. Tangan Yuuji mencari miliknya yang kemudian dipompa bersama Choso.

Berulang, berlanjut hingga Yuuji bisa merasakan denyutan di dalam dirinya. Dari milik Choso, milik Sukuna, juga dirinya.

Dan juga panas yang ia rasakan. Dalam mulutnya, dalam lubangnya, juga di atas perutnya.

Yuuji bergetar. Batangnya masih mengeluarkan cairan yang bercampur dengan warna bening dan sedikit kental. “Squirting lagi? Enak ya, Ji?”

“Hng.” Jelas sekali kesadaran adiknya sudah tak ada di sini. Ia masih merasakan kenikmatan yang didapat. Bahkan meski mulutnya penuh, ia tak peduli.

Choso perlahan melepaskan dirinya, membuat cairan putih miliknya dan Sukuna keluar tanpa bisa dicegah. Ada lenguhan yang keluar dalam tiap pelepasan Choso di dalam dirinya. “Good job, Yuuji.”

Pipi Yuuji dikecup pelan. “Tidur, nanti Kakak yang bersihin.”

“Hng,” sekali lagi Yuuji hanya bisa menjawab dengan gumaman. Matanya perlahan menutup dan Sukuna mengambil kesempatan tersebut untuk mengecup kelopak matanya.

Malam itu, setelah Sukuna dan Choso membersihkan diri masing-masing, juga memindahkan Yuuji ke kasur Choso, mereka tidur bersama. Memeluk Yuuji untuk mencari kehangatan.

Satu lagi hari damai di rumah keluarga Itadori.

Satu lagi hari damai antara saudara Itadori.

Ah, damainya.