Pernyataan


Izuku yakin, perasaannya pada Shinso adalah suka. Meski lelaki itu mengatakan bukan. Pesan maaf darinya belum terkirim. Ia akan bicara lagi dengan Shinso setelah ini.

Saat ini Izuku perlu berbicara dengan sahabatnya. Rumah Katsuki berada di kompleks sebelah. Hanya perlu berjalan beberapa menit dan Izuku sudah tiba. Tangannya menekan bel tanpa kenal kata sabar. Berulang terus ditekan hingga pemiliknya keluar.

“Ngapain sih mencet bel banyak-banyak gitu? Sekali ’kan cukup.” Izuku pasti sedang sangat sensitif karena mendengar amarah Katsuki malah membuatnya terharu. “Malah bengong lagi. Masuk.”

Izuki mengangguk, mengikuti si pemilik rumah dari belakang. Katsuki tak mengira Izuku akan datang. Ia belum siap melihat sahabatnya berada di satu ruangan yang sama dengannya.

Ini bukan kali pertama mereka berduaan di kamar Katsuki. Namun, ini pertama kalinya setelah Katsuki menyadari perasaannya. Ia mengacak rambutnya, frustasi. Perlahan ia melirik Izuku, matanya langsung membola. Dengan cepat ia menghampiri temannya, “Kenapa nangis? Shinso mutusin lo? Apa dia ngomong yang nyakitin lo?” Kepala Katsuki penuh dengan banyak pertanyaan.

Izuku menggeleng, membuat Katsuki menghela napas. Ia mengangkat wajah sahabatnya dengan lembut seraya menyeka air mata yang terjatuh. “Terus kenapa nangis?” Katsuki merendahkan suaranya kali ini. Raut khawatir dari wajahnya belum menghilang. “Siapa yang nyakitin lo? Bilang sama gue. Nanti gue hajar.”

Kali ini, Izuku menatapnya dengan mata yang masih berair. “Kalau gue bilang lo yang bikin gue nangis gimana? Lo mau ngehajar diri lo sendiri?”

Oh. Ternyata ia alasan Izuku menangis. “Sori.”

Izuku tak bermaksud membuat Katsuki terlihat mengenaskan seperti ini. Izuku tak menyukai kerutan di kening Katsuki. Tangannya terulur, menyentuh kening sahabatnya. “Kacchan, kenapa menghindar? Gue ada salah? Atau lo gak suka gue deket sama Kak Shinso? Gue bakal jauhin Kak Shinso asal bukan lo yang ngejauhin gue. Gue gak bisa kalau lo yang jauh dari gue.”

Katsuki mungkin akan menganggapnya aneh, namun Izuku tak peduli. Ia lebih memilih memeluk sahabatnya erat. Tak mau melepaskan. Ia lebih memilih melepaskan orang yang ia suka dibandingkan kehilangan Katsuki.

Pelukannya pada tubuh Katsuki belum juga dilepaskan. Rasanya begitu nyaman, bersama detak jantung Katsuki yang begitu kencang. Oh, atau itu detak miliknya?

“Tsk, Deku. Lepasin dulu, gue gak bisa napas.” Izuku mendongak, matanya berkilat. Ujung matanya yang memerah diusap lembut oleh Katsuki. “Kenapa dipanggil Deku malah seneng gitu?”

“Kalau manggil Deku artinya Kacchan udah gak marah. Iya ’kan?” Katsuki mendengus. Sejak awal ia memang tak marah pada Izuku. Lagipula, ia tak bisa marah dengan lelaki di hadapannya. Izuku terlalu manis.

Ah. Katsuki langsung memalingkan wajahnya. Pemikirannya membuat ia malu sendiri. “Udah dibilang gue gak marah.”

“Terus kenapa menghindar?” Sekali lagi, Izuku menuntut.

Katsuki menghela napas. Ia menekan bahu Izuku, membuatnya duduk dengan tenang. Izuku tak tahu kenapa, namun ucapan Shinso terngiang di kepalanya. “Tadi,” bukanya sambil berpindah posisi untuk duduk di samping Katsuki. “Sebelum ke sini Kak Shinso bilang kalau yang gue rasain ke dia bukan suka.”

Izuku memainkan tangannya saat melanjutkan ceritanya. “Terus, mungkin itu benar kali ya? Mungkin gue gak suka dia, mungkin cuma kagum.” Izuku menoleh, jarinya menggaruk pipinya pelan. “Hehe, mungkin kayanya gue emang gak cocok suka-sukaan.”

“Mulai deh mikir aneh-anehnya.” Pipi Izuku ditarik hingga meninggalkan merah. “Lagian, kalau lo cuma kagum emang kenapa? Itu juga bagian dari suka kok. Maksud Shinso ngomong gitu mungkin biar lo sadar kalau lo gak sesuka itu sama dia. Mungkin ada orang lain yang lo suka lebih dari rasa kagum lo ke dia.”

“Oh.” Izuku diam sejenak sebelum ia menoleh. “Kalau gitu kayanya gue suka sama lo lebih dari rasa kagum gue ke Kak Shinso.”

Katsuki diam. Ia bahkan tak sanggup bernapas juga berkedip. Ia takut jika ini hanya mimpi. “Gue juga gak masalah kehilangan banyak hal, asal bukan kehilangan lo. Gue rela ngelepas Kak Shinso, asal bukan lo. Artinya gue lebih suka sama lo dibandingkan Kak Shinso. Dan kayanya bukan kagum karena sekarang, pas gue ngomong gini jantung gue rasanya mau pecah.”

Seakan takut Katsuki tak percaya, Izuku membawa tangan sahabatnya ke dada kirinya. Membiarkan Katsuki merasakan degup jantungnya. “Kalau gini, artinya gue suka sama lo? Atau ini juga bukan suka?”

Katsuki menghela napasnya. Kepalanya disandarkan pada bahu Izuku. “Hah, bisa gila gue.” Makinya. “Can you even kiss me?” Gumamannya sampai di telinga Izuku.

“Bisa.” Dan jawaban Izuku bukan sesuatu yang ia harapkan. Bukan. Tentu saja Katsuki mengharapkannya, namun ia tak menyangka akan dijawab secepat ini. Wajahnya ditangkup oleh dua tangan Izuku. “Kalau gue cium lo bakal ragu juga atau enggak? Atau sekali lagi ini bukan suka?”

Katsuki menatap sepasang mata yang penuh kerisauan di hadapannya. Dua tangannya menyentuh tangan Izuku di pipinya. “Deku, di dunia ini ada banyak banget bentuk suka. Dan lo gak perlu takut sama salah satu bentuknya. Mau lo sebatas kagum, mau sebatas suka ngeliat, sampai batas ingin memiliki, semuanya sama-sama suka. Bedanya, apakah lo bisa genggam tangan mereka? Apakah lo bisa berdiri di samping mereka? Apakah lo bakal ngerasa kehilangan? Apakah lo bakal ngerasa kangen? Semuanya itu langkah yang perlu lo tau. Perlu lo yakinin kalau lo mau ngabisin waktu sama seseorang.”

“Kalau Katsuki sendiri gimana? Orang itu siapa?” Katsuki tahu ia tak bisa menyembunyikan. Kalau bukan sekarang, sudah pasti ia akan kehilangan lebih banyak.

Matanya menatap lurus pada mata Izuku. “Orangnya ada di depan mata gue. Seseorang yang baru gue sadarin paling gue sayang ketika dia bareng yang lain. Seseorang yang pengen gue milikin sampe gue berdoa biar orang yang dia suka kecelakaan. Seseorang yang pengen gue rebut dari orang lain. Dan orang itu lo. Gue suka sama lo.”

“Oh.” Izuku mendorong Katsuki menjauh. Wajahnya terasa panas sekarang. Ia yakin wajahnya sudah merah. “Oh, bentar.”

Katsuki malah terkekeh. Wajah Izuku ditarik, ditatap lekat-lekat. “Sekarang, tau ’kan bedanya?”

Izuku mengangguk. Ia masih bisa mendengar debaran jantungnya, juga matanya yang tak sanggup menatap Katsuki. Rasanya berbeda. Saat mendengar pernyataan Shinso, iya memang merasa senang. Namun, tak seperti ini. Tak mendebarkan. Tak membuatnya segera ingin memeluk erat.

“Jadi, suka gue juga gak?” Wajah Izuku disentuh lembut, dibawa mendekat ke arahnya. “Liat gue.”

“Suka.” Cukup satu kata yang membawa bibir keduanya menyatu. “Jadi pacar gue kalau gitu.”

Dan berbeda dari sebelumnya, kali ini Izuku mengangguk. Sebab ia tahu, jika bersama Katsuki semua akan berbeda. Sebab rasa sukanya berbeda. Sebab jika bersama Katsuki, ia tak ingin melepaskan. Tak ingin berpisah.

Nyatanya, selama ini yang ia sukai ada di dekatnya. Selama ini Izuku terlalu sibuk mendongak ke atas, sampai lupa ada seseorang yang berdiri di sampingnya. Menggenggam tangannya dengan erat.

“Kacchan, Izuku juga sayang Kacchan.” Izuku memeluk kekasihnya erat-erat. Kalau yang ini, tak ingin ia lepaskan.

Dan Katsuki membalas pelukan tersebut sama eratnya. Kali ini ia tak akan menjadi bodoh untuk terlambat menggenggam. Sebab Katsuki pun tak ingin melepaskan.