readjust | dua


Yuuji menggenggam erat tangan Jino di sisinya. Putranya tertidur lelap setelah lelah seharian bermain. Pipi gembul putranya ia usap, lembut hingga kening keduanya merapat. Matanya terpejam. Mengembalikan ingatan beberapa bulan lalu. Ketika ia tidur bersisian bersama Sukuna yang memunggungi.

“Kalau kamu emang gak bisa datang ke acara Jino, bilang. Kamu tau Jino udah nunggu acara piknik ini ’kan? Kamu tau akhirnya Jino harus seneng dateng sama Kak Choso?” Malam itu keduanya tidur saling memunggungi sementara putra mereka menginap di rumah Choso. Yuuji bersyukur karena Jino menginap, setidaknya anak mereka tak akan mendengar pertengkaran ini.

“Aku gak datang karena ada urusan.” Sukuna menghela napasnya jengah.

Mendengar itu Yuuji berbalik, menatap suaminya tajam. “Selama beberapa bulan ini, kamu selalu ngomong hal yang sama. Urusan kamu itu apa sih? Sesibuk apa kamu sampai gak bisa ngabarin aku?”

Deret giginya bertemu, mencipta suara tak nyaman di telinga. Ada kemarahan yang tersulut bersama tatap mata menuntut. Ia ingin dijawab, beserta semua alasan yang ditutup. “Aku gak akan menuntut banyak. Selama ini kamu lebih suka menutupi, gak masalah. Seenggaknya, Na, kalau bukan untuk aku, lakukan untuk Jino. Di titik ini aku udah gak berharap apapun sama kamu.”

Yuuji mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Ia menghela napas panjang kemudian memilih beranjak dari ranjang mereka. “Jemput Jino besok. Ajak dia jalan-jalan. Jino udah nunggu selama dua bulan untuk piknik sama kamu. Lakuin itu bukan sebagai suami aku, tapi Ayah Jino.”

Malam itu, Yuuji memilih tidur di kamar putranya. Dan seharusnya mungkin ia tak melakukan hal tersebut. Yuuji terlalu marah, terlalu kecewa, dan Sukuna sama seperti malam-malam sebelumnya. Memilih bungkam meski Yuuji berteriak kencang.

Ketika Sukuna pergi, Yuuji baru menyadari betapa rapuhnya pernikahan mereka. Dipenuhi banyak kesalahpahaman, tak dipenuhi penjelasan. Memilih pergi bersama tuntutan dan bungkam bersama kenyataan. Keduanya memilih menjaga jarak aman, berdiri di atas seutas tali juga retak kaca. Dan kenyataan bahwa Yuuji baru mengetahui Sukuna sakit parah ketika suaminya pergi adalah luka terbesarnya. Juga membayar segala tuntutan yang Yuuji anggap sebagai balas dendam Sukuna.

Keduanya tak memilih memahami. Yuuji memilih lari dan Sukuna membiarkan. Keduanya mempertahankan sesuatu yang tak ingin mereka hancurkan, tanpa merasa perlu untuk memahami. Sebab bagi keduanya, itu adalah pernikahan yang mereka jalani.

Dalam diam di sisi masing-masing keduanya memilih berpaling.

Dan kini, hal terakhir yang Yuuji inginkan adalah memejamkan mata. Sebab kenangan bersama Sukuna selalu datang tanpa bisa ia cegah. Berputar layaknya film. Mengulang bagai rangkai komidi putar. Kenangan yang sama, luka yang lebih dalam. Yuuji menutup matanya, hanya sekejap hingga ia merasakan sinar yang perlahan menyusup, mengintip ke dalam kelopak matanya.

Matanya perlahan membuka, bertemu dengan lingkar bulat yang membuatnya jatuh cinta. Sukuna Ryomen berada di hadapannya. “Udah balik?”

“...ya.” Ada bahagia yang perlahan menyusup dala dadanya. Sukuna ada di hadapannya.

Tangannya terangkat, menyentuh pipi Sukuna. Diusap pelan dengan kening yang ia satukan. Sukunanya hangat. Sukunanya hidup. “Kamu ada di sini dan kamu hangat. Kamu hidup.”

Sukuna benci sentuhan di wajah. Ia tak suka tangan orang lain menyentuhnya, lalu katakan bagaimana ia bisa menyingkirkan ketika Yuuji terdengar begitu sedih? Ia tak bisa dan berakhir membiarkan bersama pertanyaan yang ia pilih untuk dimakan.

Pagi ini, masih penuh dengan kebingungan. Bersama pertanyaan. Juga rasa syukur.

Dia ada di sini. Dia kembali.