readjust | enam


Sabtu terakhir ketika Itadori Yuuji dapat melihat suaminya.

“Keluarga Sukuna Ryomen?” Panggilan itu membuat kepala berambut merah muda terangkat. Dalam pelukannya, Jino menatapnya, membuat ia mau tak mau harus tersenyum. Langkahnya agak goyang kala mendekat ke meja resepsionis. “Ini surat kematian dari kami, nanti tinggal kasih ke RT untuk diurus ya. Lalu, untuk saat ini kami belum bisa menyediakan ambulans. Jadi, mohon untuk menyewa sendiri.”

Yuuji sekali lagi hanya mengangguk. “Tanda tangan di sini, lalu untuk pembayaran bisa dilakukan setelah menyelesaikan biaya perawatan di konter depan.”

Tangannya memberikan kartu keluarga dan ktp sebelum kembali melangkah untuk menyelesaikan biaya perawatan. Yuuji sudah pernah melalui ini, jadi kurang lebih ia sudah tahu alurnya. Ia hanya belum terbiasa dengan kosong yang diberikan saat mendapat telfon dari Choso.

Bukan namanya yang menjadi wali pasien, tetapi Choso. Bukan ia yang pertama kali tahu suaminya dirawat, tetapi kakaknya. Dan bukan juga Yuuji yang menemani, sebab selama ini Sukuna bersembunyi dalam kebohongan.

Katanya, ia akan sibuk untuk tugas di luar kota sehingga sulit dihubungi, nyatanya berada di bawah perawatan intensif. Katanya, ia tak bisa terus mengabai, sinyal jelek alasannya, padahal ia memang tak bisa berbicara sebab tenggorokannya harus disambung alat bantu pernapasan. Katanya, tiga bulan di luar kota, nyatanya di rumah sakit.

Dan Yuuji, dibiarkan tanpa mengetahui apapun. Dan Yuuji, ditinggal bersama segala prasangka yang kini ia sesali.

Sukuna, selalu tahu cara untuk membuat Yuuji sesak.

Kalau bukan karena Jino di dalam gendongannya, mungkin sejak tadi Yuuji sudah limbung. Ia masih menggunakan piama, kakinya dibalut sandal yang berbeda, sementara Jino kini menggunakan hoodie milik Yuuji. Ia bahkan tak ingat bagaimana caranya tiba di rumah sakit. Beberapa menit lalu, ia berdiri di depan tubuh tak bernyawa suaminya, disertai pertanyaan, “Paahh, kok Ayah tidur di sini?”

Dan Yuuji hanya bisa mengusap pipi putranya, “Ayah kecapekan, jadi gak bisa pulang.”

“Sampai kapan?” Dan pertanyaan Jino tak bisa Yuuji jawab. Selama ini, ia melewati kehilangan sendirian, tanpa ada pertanyaan seperti itu. Otaknya berkabut, tak bisa menjawab juga menjelaskan konsep meninggal pada putranya. Sehingga yang Yuuji lakukan hanya mengusap puncak kepala Jino dan memilih menyelesaikan urusan administrasi, berlari dari Sukuna yang tak akan bisa menahannya lagi.

“Ji?” Panggilan itu menyadarkan Yuuji dari pikirannya. Ia mendongak, mendapati Megumi dengan napas terengah.

Dengan senyum lirih, Yuuji mengangkat tangannya. “Hai. Sini duduk. Sukuna lagi dimandiin dulu. Terus administrasi udah selesai sekarang aku lagi nunggu buat ambulans datang. Untung banget tadi Mbak Shoko nelfon dan bilang ada ambulans yang bisa dipake.”

Megumi ikut duduk. Ia diam, tak mengatakan apapun dan hanya mendengarkan. “Sukuna sakit. Nama penyakitnya bahkan belum sempat aku ingat karena terlalu sulit. Yang jelas kanker, stadium akhir. Kata Dokter, Sukuna bertahan sampai titik ini aja udah keajaiban. Aku bahkan gak bisa mengatakan terima kasih atau ikut bersyukur sebab aku gak tau sesakit apa dia selama ini.” Yuuji menatap kosong meja resepsionis di depannya.

Ada beberapa orang yang sedang menunggu dan perawat yang hilir-mudik. “Aku cuma tanda tangan sana-sini karena ternyata Sukuna udah nyelesaiin seluruh biayanya.” Yuuji tak tahu apa yang sedang ia katakan. Ia hanya menceritakan semua yang baru ia lewati. “Aku gak bilang aku terbiasa dengan kehilangan, tapi saat ini aku gak tau apakah aku layak merasakan sedih ini. Atau sekedar berkabung seperti seharusnya. Aku ... gak tau.”

Yuuji tak paham kenapa Megumi langsung memeluknya erat. Yang pasti ia hanya bisa menggenggam tangan Jino yang tertidur dalam pelukannya. Yuuji tak merasa ia menangis, anehnya pipinya basah. Ia bahkan tak tahu harus merasakan apa, namun tubuhnya memberikan respon kehilangan. Sementara hatinya terasa kosong.

Kata kehilangan baru Yuuji rasakan ketika ia ingin tidur. Jino tak ada dengannya. Putranya tidur dengan Choso—yang mungkin paham jika adiknya butuh waktu sendiri. Yuuji tak pernah merasakan kasurnya terasa begitu besar, selama ini rasanya malah kecil. Terutama ketika ia, Sukuna, dan Jino tidur bersama. Bahkan sering kali Sukuna mengeluh sempit.

Ucapan belasungkawa yang datang bergantian membuatnya menyalakan mode pesawat. Yuuji tak ingin diganggu dengan segala notifikasi yang tak ia tahu harus jawab bagaimana. Ini bukan kehilangan pertama bagi Yuuji, namun perasaan kosong ini jelas yang pertama.

Tangannya membuka galeri ponsel suaminya. Isinya hanya foto Yuuji dan Jino. Sukuna tak terlalu suka berfoto, ini yang sering kali Yuuji keluhkan saat mereka pergi liburan. Setelahnya, ia membuka aplikasi pesan, membuka namanya membaca ulang pesan yang dikirim.

Pengingat untuk Yuuji makan, meminta foto terbaru Jino, dan yang terakhir saat Sukuna bilang ia rindu rumah. Pesan terakhir yang Yuuji balas foto dirinya dan Jino.

Air matanya mulai turun lagi. Baru semalam dan Yuuji takut melupakan wajah Sukuna. Terakhir kali ia melihat di dalam peti. Tubuh suaminya luar biasa kurus hingga membuat Yuuji kini sesak sendiri. Wajah pucak, jejak jarum, juga perban yang menutupi tenggorokan. Tubuhnya menjadi saksi betapa Sukuna berusaha untuk hidup. Sendirian.

Yuuji kira dengan ia menyeka air matanya, rasa kehilangan akan ikut terhapus. Ia kira rasa sesaknya tak akan tinggal. Namun, kenyataannya malah berbalik. Tangisnya makin kencang, air matanya makin mengalir, dan oksigen terasa makin sulit ia hirup.

Hingga Choso masuk ke kamarnya dan tangisan Yuuji tak juga berhenti sampai kesadarannya menghilang.

Yuuji selalu berharap ketika terbangun, ia berada di salah satu scene film di mana pemerannya akan bertemu orang yang meninggalkan mereka. Kalau hidupnya adalah bagian dari film, mungkin ia akan menemui Sukuna dalam mimpinya. Namun, bahkan ketika kesadaran itu terenggut, tak ada Sukuna di dalamnya.

Sukuna seakan sengaja untuk tak pernah datang selepas kepergiannya. Tak sekalipun Sukuna pernah datang. Hingga Yuuji menyalahkan diri sendiri. Hingga Yuuji menganggap Sukuna membencinya. Meski kenyataannya tidak dan Yuuji yang paling tahu perihal itu.

Sukuna pergi, meninggalkan Yuuji bersama rasa bersalah, kekosongan, juga penyesalan. Tanpa sempat ia mengatakan selamat tinggal atau menemani ketika sendirian.

Dan yang paling melukai adalah kenyataan bahwa Sukunanya pergi dalam sunyi, di bawah gelap kesepian.