readjust | lima


Baru kali ini Sukuna merasa gugup untuk memasuki rumahnya sendiri. Lelaki itu sudah tiba sejak beberapa menit lalu, namun masih berdiri di depan pintu. Tangannya mencengkram tasnya erat ketika akhirnya menekan tombol di pintu. Suara pintu terbuka seakan menjadi sapaan maut untuknya.

Malaikat mautnya muncul tak lama setelah ia melepas sepatu. Wajahnya terlihat lebih lelah dari pertama Sukuna bertemu. “Hai! Aku masih masak, jadi kamu bisa mandi dulu aja.”

Agak menyeramkan bagaimana Yuuji terlihat begitu nyaman di rumahnya dengan celemek yang tak Sukuna ingat ia miliki. Yuuji bersikap santai, seakan ia memang sudah terbiasa di tempat ini. Seakan tak pernah pergi.

Sukuna melangkah dengan penuh pertanyaan. Ia tak melanjutkan langkahnya ke kamar, namun duduk di meja makan. Punggung Yuuji terlihat lebih kecil dari sebelumnya. Seakan waktu perpisahan mereka telah memakan setengah berat badan lelaki di hadapannya. “Omong-omong, berapa umurmu?”

Yuuji menoleh dengan spatula di tangan. “Lima tahun lebih tua dari kamu.”

“Masih seperti bocah.” Sukuna mengagum tanpa bisa Yuuji dengar. Ia berdeham, kembali menatap Yuuji yang sibuk memindahkan makanan ke piring. Sukuna cukup tahu diri untuk membantu Yuuji. keduanya berdiri, bersisian. “Lalu, kapan pertama kali kita bertemu?”

Mata Yuuji terlihat bersinar, begitu lembut menatap ke piring. “Acara akhir tahun di ibu kota. Aku gak akan kasih tau yang mana, karena kamu sendiri yang harus cari tau.” Ada senyum jail yang diciptakan oleh Yuuji.

“Siapa yang jatuh cinta duluan?” Sukuna membawa piring keduanya sementara Yuuji membawa gelas. “Pasti kamu ya?”

“Engga tuh.” Dengan cepat Yuuji menjawab. Bibirnya menekuk, “itu kamu. Di awal kamu bukan tipeku, jadi tentu aja kamu duluan yang jatuh cinta.”

Sukuna tertawa melihat bagaimana Yuuji menolaknya seperti ini. Sejujurnya, tanpa perlu ditanya ia tahu jawabannya. Tentu saja Sukuna akan jatuh cinta lebih dulu. “Terus gimana caranya saya bisa bikin kamu takluk? Sampai menikah lagi?”

Yuuji mulai memotong tuna di atas piringnya. Matanya kembali mengawan, “kamu hanya berusaha begitu keras hingga aku menyadari usaha tersebut.” Kali ini ia menatap Sukuna lurus. “Kamu gak menggebu, kamu hanya tau langkah yang harus dilakukan. Kamu gak memaksa, kamu mendekat secara perlahan. Kamu gak hanya mendekatiku, tapi juga keluargaku. Kamu sama Kak Choso bahkan lebih dekat dibandingkan sama aku. Kalian lebih sering bareng karena urusan bisnis, juga hobi mancing.”

Sukuna menaruh alat makannya. Nama Choso terdengar tak asing. “Choso? Alumni JJH juga?”

Yuuji mengangguk kecil. “Iya. Tapi kalian baru dekat pas kamu ngapel ke rumah.”

Sukuna mengangguk. Tentu saja karena sejujurnya mereka adalah saingan sejak SMA. Sejak awal entah kenapa tak saling suka. Sekarang Sukuna jadi penasaran, bagaimana mereka bisa dekat?

“Terus, apakah saya jadi suami yang baik untuk kamu?” Sukuna bisa melihat bagaimana Yuuji berhenti memotong tuna dan matanya yang bergetar penuh penyesalan. Sukuna bahkan baru sadar jika mata Yuuji merah dan lebih bengkak dari sebelumnya. Jelas itu jejak tangisan yang disembunyikan.

“Kamu adalah ayah yang baik dan suami yang penuh rahasia. Tentu kamu baik. Memberikan semua yang aku butuhkan untuk bertahan hidup dan menutupi semua yang bisa melukaiku, sampai akhirnya kita malah saling melukai.” Yuuji tak melanjutkan, ia memilih menghabiskan makan malam dan Sukuna membiarkan. Keduanya sibuk dalam pikiran masing-masing hingga berakhir duduk di sofa, bersisian dengan air hangat di tangan masing-masing.

Sukuna yakin Yuuji akan melanjutkan ceritanya, sehingga ia menunggu. “Kamu yang tahu aku membenci rumah sakit memilih menyembunyikan penyakit kamu dengan membawa Jino ke rumah kita. Kata kamu, Jino adalah seorang anak yang ditinggalkan di rumah sakit. Dan aku menyambutnya dengan senang hati. Jino begitu kecil dan membuatku ingin melindungi.”

Yuuji ingat hari di mana Jino datang ke rumah mereka. Tanpa curiga mendengar kata rumah sakit, ia membiarkan Sukuna menjadikan tempat itu alasan. Tanpa ia sadari, itu adalah hari di mana Sukuna divonis hanya memiliki sisa hidup lima tahun lagi.

“Aku dan kamu menyayangi Jino. Dan kamu perlahan berubah. Makin tertutup. Makin gak memperhatikan diri sendiri dan hanya fokus kerja. Bahkan di hari libur. Buat kamu semua harus selesai lebih cepat. Alasanmu selalu agar aku dan Jino bisa hidup lebih nyaman.” Yuuji menarik kakinya, memeluk untuk dijadikan sandaran dagunya. “Dan kamu benar, setelah kepergian kamu, aku dan Jino hidup dengan sangat nyaman. Uang asuransi, lalu banyaknya investasi yang gak aku tau, juga tabungan pendidikan Jino yang udah kamu persiapkan dengan matang. Seakan, tidak. Nyatanya kamu mempersiapkan semuanya untuk kami.”

“Aku kira aku membencimu?” Sukuna agak tak paham dengan situasi ini.

Yuuji memiringkan kepalanya, ada senyum simpul juga setetes air mata yang menghiasi wajahnya. “Karena kamu bersikap demikian. Seakan menghindariku dan gak mau menjelaskan hingga banyak salah paham. Kamu pergi, meninggalkan kenyamanan dalam pusaran kesalahpahaman. Dan aku, berulang kali hanya bisa menyalahkan.”

Yuuji tak melanjutkan ucapannya. Keduanya saling diam untuk beberapa saat. Sedikit banyak, Sukuna bisa paham situasinya. Mungkin dirinya di masa depan begitu takut meninggalkan hingga akhirnya berusaha melakukan yang terbaik. Ada pengorbanan yang harus dilakukan ketika sisa hidupnya hanya hitungan jari. “Kamu harus berhenti menyalahkan diri sendiri. Bukan salah kamu aku memilih fokus pada pekerjaan. Sepenuhnya itu adalah keputusanku. Aku hanya fokus pada masa depan yang tanpa aku. Jadi, jangan menyalahkan diri sendiri. Karena itu seharusnya tak perlu kamu lakukan. Aku yakin dia gak benci sama kamu. Seperti kata kamu, hanya merahasiakan agar kamu gak terluka meski nyatanya malah sebaliknya. Aku harap setelah ini kamu akan memaafkan diri sendiri dan hidup lebih baik lagi. Jangan hanya fokus pada hal yang sudah ditinggalkan. Kamu minta aku hidup lebih sehat 'kan? Mari lakukan bersama.”

Sukuna tersenyum lembut. Ia berdiri sambil membawa cangkir yang telah kosong. “Katanya kalau minum susu hangat jadi mudah tidur. Gimana kalau—” ucapannya terhenti bersama sosok Yuuji yang sudah menghilang. Tanpa jejak. Tanpa pamit.

Sekali lagi, ia ditinggalkan. Sukuna, takut. Jika ia terlalu terbiasa dengan segala keadaan ini. Lalu, sampai kapan mereka akan seperti ini?

Ia menaruh kedua cangkir di atas wastafel kemudian membuka lemari es. Di dalamnya sudah ada banyak kontainer makanan dengan banyak kertas di atasnya. Itu, untuk sarapan dan makan siang. Hanya tinggal dipanaskan katanya.

Hah, mungkin setelah ini Sukuna harus belajar memasak. Ia tak bisa mengandalkan seseorang yang bisa pergi tanpa suara..

Lemari es ia tutup, bersama perasaan yang makin kalut.