readjust | satu


Seumur-umur Sukuna tak pernah merasa setakut ini. Sepanjang hidupnya yang menginjak dua puluh tujuh, tak pernah sekalipun ia menggigil ketakutan. Bulu kuduknya naik, tubuhnya gemetar. Saat ini ruangan terasa lebih dingin dari seharusnya.

Lelaki asing di hadapannya menatap lurus dengan mata berembun penuh harap. Matanya seakan menyimpan banyak luka, juga cerita yang telah mereka lakui bersama. Lekuk matanya mengembung, besar seakan telah lama menangis tanpa henti ditemani lingkar hitam. Bagai panda. Bagai takut pada tidur.

Tubuhnya kurus. Seakan sudah menyerah pada hidup. Jika memang orang di hadapannya adalah suaminya di masa depan, kenapa jadi seperti ini?

Sukuna menggigit bibirnya. Ia teringat ucapan di depan pintu tadi.

“Sukuna, aku tahu kamu ketakutan. Tapi aku gak bohong. Ini aku Yuuji, seseorang yang ada di masa depan kamu. Tolong keluar dan aku bakal jelasin semuanya.”

Sukuna tidak segila itu untuk percaya pada seseorang yang berada di sampingnya saat tidur. Wajahnya ia usap, mengingat bagaimana lelaki itu tidur di sisinya, menatapnya dengan penuh rindu sedang Sukuna mendorongnya hingga jatuh. Dan lihat, sekarang si pemuda yang dijuluki penakluk wanita tengah bersembunyi di kamar mandi. Menghindarkan si lelaki asing yang ia sikapi bagai malaikat maut.

“Gimana caranya gue bisa percaya? Orang kaya lo yang tiba-tiba muncul terus ngaku-ngaku jadi masa depan gue. Mana bisa gue percaya? Gue masih suka perempuan.” Sukuna berbohong. Jelas. Nyatanya ia tak begitu peduli perihal gender. Tergantung inginnya saja. Selama hanya berstatus teman tidur, ia tak terlalu peduli.

Entah kenapa Sukuna bisa mendengar dengusan sinis di luar sana. “Gue serius!”

Sukuna tak paham kenapa ia merasa harus membela diri seperti ini. Seakan ada dorongan dalam dirinya yang mengatakan untuk jangan mengalah. “Bohong. Kamu gak peduli sama cewek atau cowok. Buat kamu selama bisa dimasukin semua oke.”

Wajah Sukuna memerah. Jika yang mengatakan hal itu adalah orang lain, Sukuna hanya akan melewatinya dengan tak peduli. Namun, mendengar ucapan tersebut, dari seseorang yang mengaku masa depannya memiliki efek yang berbeda. “Jangan sok tau! Keluar sana! Gue gak tau lo siapa dan gue juga gak mau tau! Keluar!”

“Kalau aku punya pilihan, aku gak akan memohon untuk kamu menemui aku. Bukan aku yang harus keluar, tapi kamu. Ayo, keluar, Na. Waktuku gak banyak di sini.” Sukuna bisa mendengar nada putus asa di sana.

“Gak. Lo orang aneh. Dibayar sama siapa lo sampe tau semua tentang gue? Lo yang keluar! Dari rumah gue! Keluar! Gue gak mau ketemu sama lo! Kalaupun lo ada di hidup gue. Gue yakin, gue di masa depan bakal benci sama lo!”

Napas Sukuna naik turun bersama akhir kata ditutup nada tinggi. Ia berteriak, penuh emosi. Penuh kekesalan juga kebingungan. Tak masuk akal bagaimana seseorang bisa masuk ke dalam apartemennya. Terutama ketika apartemennya adalah salah satu gedung dengan keamanan tertinggi. Sudah pasti lawan bisnisnya merencanakan sesuatu. Mungkin dari perusahaan J. Atau mungkin dari musuh ayahnya. Semua kemungkinan itu bisa terjadi.

“Kamu benar.” Ada suara yang penuh putus asa di sana. Serak, penuh jeda seakan ia di luar sana menahan emosi yang ingin meledak. “Kamu di masa depan begitu membenciku. Sangat membenci sampai gak mau mendengarkan ucapanku. Sangat membenci sampai kamu meninggalkan aku tanpa pemberitahuan apa-apa. Sangat sangat membenci sampai kamu merahasiakan segalanya. Sangat sangat membenci sampai menjadikan kematian kamu sebagai balas dendam.”

Setelahnya yang Sukuna dengar adalah hening. Ia menyisir rambutnya ke belakang. Sukuna masih tak paham dengan segala keadaan pagi ini. Sukuna harusnya sedang menyelesaikan dokumen untuk rapat besok. Ia juga seharusnya memulai pagi dengan kopi dan beberapa batang rokok. Paginya berantakan. Penuh kejutan yang hingga saat ini belum ia pahami.

Sekali lagi, Sukuna memijat kepalanya. Sakit sekali rasanya. Bahkan meski ia berkali-kali memejamkan mata, lelaki di hadapannya tak pergi juga. Nyata. Bukan sebuah ilusi. Bukan juga bagian dari mimpi. Begitu menakutkan bagai malaikat pencabut nyawa.

“Oke, jadi nama lo siapa?” Sukuna menatap si asing yang mulai menarik ujung bibirnya.

Benar kata Suguru. Anak ini tipenya. Bahkan hanya sebuah sudut bibir yang terangkat sudah memberi pengaruh pada jantungnya. “Itadori Yuuji. Panggil aja Yuuji walau biasanya kamu manggil saya sayang sih, tapi kayanya kecepatan ya?”

Sukuna tak bisa menahan diri untuk tak memutar bola matanya. Meski dalam hati ia ingin berteriak. Oh, jangan tanya Sukuna kenapa sebab ia sendiri tak paham. “Oke, Yuuji. Sekarang saya harus antar kamu ke mana?”

Mata di hadapannya berkilat, senang. Entah karena mendengar panggilan namanya atau karena kata kamu. Sebuah simpul ditarik di dua sudut bibir si rambut merah muda. “Kamu gak bisa anter aku ke tempatku.”

Sukuna bukan penggemar film sci-fi. Bukan juga penggemar sains. Imajinasinya tak seliar itu untuk menjelaskan segala hal tak masuk akal ini. “Kenapa gak bisa?”

Ah. Sukuna butuh kopi. Jika tidak, ia bisa makin gila. Ia berdiri, diikuti Yuuji. Langkah Yuuji begitu santai seakan telah mengakui apartemennya dengan baik. Membuat Sukuna merasa begitu aneh. Tak nyaman. Seakan teritorinya telah diganggu. Pun sama ketika Yuuji dengan santai mengeluarkan termos listrik dan mengisinya dengan air.

Sukuna menatap melalui ekor matanya sambil menggiling biji kopinya. “What are you doing?”

“Bikin air panas.” Dijawab santai, ditutup senyum simpul. Kalau hanya itu mungkin Sukuna akan bisa fokus dengan ritual membuat kopi. Namun, Yuuji tak berhenti di sana. Ia membuka kulkas berpintu dua, menatap lama kemudian menghela napas. “Kamu tau gak, berdasarkan penelitian, sarapan itu sangat penting.”

“Terus?” Sukuna masih mengikuti gerakan lelaki asing yang terasa begitu familiar di rumahnya. Yuuji mengeluarkan nasi instan yang Sukuna telah lupa kapan ia membelinya. Sukuna bahkan tak tahu jika microwave-nya masih berfungsi. Selama ini ia mengira alat itu sudah rusak.

Dengan bahan seadanya, kini pagi Sukuna ditemani dengan kopi dan nasi goreng. “Aku bakal bikin makan malam yang layak kalau nanti kamu nemenin aku belanja.”

“Gak perlu. Saya bisa makan mi instan.” Sukuna selalu diajari untuk menghabiskan makanan di atas meja. Jadi meskipun ini dibuat oleh orang asing yang kemungkinan juga kehilangan akal, ia tetap mengangkat sendok dan mulai menyantap nasi goreng di piring.

Sukuna bisa merasakan tatapan dari hadapannya. Terasa menuntut. “Makan. Bukan cuma saya yang harus ngabisin nasi di piring ini.”

Dua bibir yang mencebik itu rasanya ingin Sukuna ci—buru-buru ia menggeleng. Sukuna pasti sudah gila. “Nasi gorengnya lumayan.”

Dua sudut bibir itu tak lagi menarik simpul bagai bulan sabit, namun menarik lebar bagai huruf D. Lebar hingga dua sudut matanya yang kini menjadi sabit. “Besok bakal aku bikinin lebih enak kalau kamu nemenin aku belanja.”

“Nemenin atau bayarin?” Sukuna tak percaya ia mulai menggoda.

Ada kekehan kecil yang keluar, bersama hangat yang mulai menjalar pada buku jarinya kemudian naik pada jantungnya. “Dua-duanya karena di sini, saat ini aku gak punya uang.”

Sukuna tak percaya pada cinta pertama. Namun, mungkin saat ini ia bisa mengubah hal tersebut.