readjust | tiga


Baru sekarang Yuuji merasa tak berdaya. Ketika tubuh kecil Jino terasa lebih hangat dibandingkan biasanya, ketika tangis anaknya lebih tercekat dibandingkan biasanya, juga ketika kepalanya kosong. Awalnya ia kira Jino hanya terbangun karena mimpi buruk, nyatanya tubuh putranya begitu hangat dan perlahan makin panas. Panik datang ketika Choso tak bisa dihubungi. Sebelumnya, ada Sukuna. Ada ia yang tenang dan menenangkan. Ada Sukuna yang bisa berpikir lebih cepat ketika panik datang ke Yuuji.

Sekarang, ketika ia hanya sendiri Yuuji bena—benar merasa tak berdaya. Ia terlalu terbiasa dengan keberadaan Sukuna. Terlalu terbiasa untuk ditemani. Terlalu terbiasa hingga ia terlena.

Jino jarang sakit. Dan ini pertama kalinya Jino sakit, tanpa Sukuna yang menemani. Dulu, ketika Jino sakit, Sukuna yang akan membawa putra mereka ke rumah sakit. Sukuna yang akan menunggu sebab Yuuji tak sanggup melihat putra mereka berada di ruang putih dengan jarum yang menusuk tangan.

Yuuji terlalu takut. Pada sakit yang dialami putranya juga bagaimana Jino akan diobati. Sebab perlu berkali untuk jarum bisa menembus kulitnya. Jino mereka selalu kesulitan untuk diinfus. Bahkan untuk suntik vaksin, dokter kesulitan untuk mencari titik yang pas. Hingga ketika Yuuji pertama menemani Jino untuk divaksin yang ia lakukan adalah memarahi dokter dan menghentikan prosesnya. Ia menangis lebih kencang setelah melihat lebam kecil bekas jarum suntik yang gagal menembus kulit.

Hingga setelahnya, Sukuna yang membawa Jino untuk pengecekan rutin tiap bulan. Sebab Sukuna paham bahwa Yuuji begitu sensitif ketika berada di rumah sakit. Tak bisa disalahkan jika mengingat ia kehilangan orang terkasih di rumah sakit. Terakhir kali ia ke rumah sakit ketika mengurus kakeknya dan beberapa waktu lalu harus mengurus suaminya.

Yuuji mengusap wajahnya. Tangannya masih gemetar. Takut dan dingin di punggung masih ia rasakan meski dokter sudah keluar dan mengatakan semua baik-baik saja. Jino hanya kelelahan dan stres. Tak terlalu parah, hanya menunggu infus habis dan ia bisa membawa Jino pulang.

Akan tetapi, melihat bagaimana Jino terlelap sendirian di atas kasur putih tak membuat Yuuji tenang. Ada takut yang terus berdatangan, tak kenal jeda bersama bisikan. Rumah sakit tak pernah memberikan kenangan manis dalam hidup Yuuji. Dan belum kering luka yang diberikan, sekarang ia harus kembali ke tempat yang sama. Berulang bibir bawahnya ia gigit hingga rasa besi dapat ia rasakan. Hingga sebuah sapu tangan menyeka bibirnya. Saking berantakan isi kepalanya, ia sampai tak menyadari Megumi ada di hadapannya. Sahabatnya berlutut sambil menyeka darah di bibirnya. “Jangan sakit. Kalau lo sakit juga, Jino nanti sama siapa?”

Matanya bergetar, meski tak ada air mata yang turun. Takutnya lewat sebentar. Kali ini lebih tenang. “Makasih, Gum.”

Yuuji benar-benar bersyukur ada Megumi yang datang. Bahkan meski itu adalah untuk alasan memberikan oleh-oleh. Nyatanya, Yuuji benar-benar terbantu, dengan segala kebetulan yang ada.

Dan Megumi paham hingga ia mengangguk. Pria berambut hitam itu berdiri kemudian memberikan sebotol air pada Yuuji. “Minum dulu. Gue mau ngurus administrasi. Jangan gigitin bibir lo tapi telfon Bang Choso. Gue gak sempet nelfon karena batere gue abis.”

Yuuji mengiyakan dalam diamnya. Usapan lembut di puncak kepalanya membuat ia terdiam untuk beberapa saat. Matanya menatap kamar di hadapannya, tempat Jino beristirahat. Dan gambaran Sukuna terbaring di kasur tersebut terulang dalam ingatannya. Berulang ia mengatakan hasilnya akan berbeda sebab Jino hanya demam biasa. Jino sudah ditangani oleh dokter dan kini akan baik-baik saja.

Semua akan baik-baik saja, ia mencoba meyakini diri sendiri.

Itadori Yuuji tak pernah sebenci ini pada sebuah tempat. Pada sepotong ingatan. Dan ia tak pernah lebih membenci keajaiban yang tak mengenal waktu untuk ia sekedar bersedih.

Sebab ketika ia membuka mata, Sukuna ada di hadapannya. Sukuna sepuluh tahun lalu dengan aroma alkohol yang kuat—bercampur tembakau juga parfum entah berapa banyak penggoda. Yuuji menoleh, menatap jam dinding. Pukul enam pagi.

Dan Yuuji membenci kenyataan bahwa ia bahkan tak bisa memilih berada di dekat orang yang ja kasihi. Ketika mereka membutuhkan.