readjust | tujuh


Sukuna baru kali ini datang ke acara akhir tahun di tengah kota. Biasanya dia menolak, terutama karena banyak sekali orang yang datang. Namun, kali ini ia mencoba memilih datang. Tentu karena ucapan Yuuji, juga karena ia penasaran dengan acaranya.

Ia mendekati Gojo Satoru yang memakai seragam kantornya. “Ini emang biasanya serame ini ya?”

Ditanya begitu malah dijawab dengan tawa oleh Satoru. “Ini belum rame, Na. Kira-kira baru 1/10 dari yang harusnya dateng.”

Kalau tangan Satoru tidak penuh, pasti ia akan mengeluarkan ponsel dan memotret ekspresi temannya. Benar-benar lucu sekali. Matanya membola dan mulutnya terbuka. “Gila. Ini gue aja udah gerah liatnya. Terus acaranya mulai jam berapa?”

“Kalau gak ngaret mulai jam tujuh. Nanti pawai dulu dari pintu utara terus muterin Monas, baru deh acara musik.” Satoru sambil mengisi formulir di tangannya. “Mahito sama Suguru masih di jalan, lo kalau bosen ke pameran aja. Tuh, di sana. Lumayan sepi di sana.”

Sukuna mengangguk. “Terus lo mau keliling lagi?”

“Iye. Gue tinggal dulu ye? Nanti kalau acara pawai dah mulai gue samperin. Ketemu di sini lagi aja.” Tak lama, Satoru pamit dan Sukuna menggaruk kepalanya. Agak bingung karena melihat orang yang hilir-mudik, mencari lokasi untuk menggelar tiker dan makan di sana-sini. Teriakan anak-anak cukup membuat kepalanya pening. Hah, ia tak percaya jika di masa depan ia memutuskan memiliki anak, sedangkan saat ini mendengar tangisan bocah sudah membuatnya sakit kepala.

Mengikuti saran Satoru, Sukuna melangkah menuju pameran yang lebih sepi dibandingkan tempat lain. Mungkin karena di sini terdapat banyak benda pecah-belah sehingga dibatasi pengunjung. Sukuna mulai masuk, mengamati lukisan dan patung yang ada. Kemudian matanya menatap jajaran vas keramik.

Sukuna tak terlalu paham soal barang seperti ini hingga ia hanya melewati tanpa mengamati. Sampai akhirnya ia berada di pintu keluar. Langkahnya terhenti. Matanya mengedip cepat dan dengan terburu ia langsung berjongkok. Di hadapannya, Itadori Yuuji sedang memeluk diri sendiri.

“Um? Yuuji?” Mata yang membalas tatapannya itu bergetar. Untuk sesaat Sukuna dapat merasakan darahnya mengalir lebih cepat. Ada lega yang dirasakan saat tangannya berhasil memeluk Yuuji. “Kamu balik.”

“Iya.” Suara yang lemah itu cukup membuat Sukuna ingin bertanya. Namun, tempatnya tak tepat.

Matanya melirik, cukup cemas dengan keadaan Yuuji yang seperti ini. Matanya seakan tak memiliki semangat hidup dan tubuhnya begitu kurus dengan kulit pucat. “Bisa jalan? Atau mau aku gendong?”

“Aku, bisa jalan.” Suaranya terputus, agak kering dan sedikit ketus. Perlahan Yuuji berdiri dan Sukuna tak bisa menahan diri untuk tak mengulurkan tangannya, takut lelaki berambut merah muda di hadapannya limbung. Langkahnya tertatih dan Sukuna merasakan jantungnya seakan bergerak begitu cepat, juga waktu berjalan sangat lambat. Yuuji memilih duduk di balik tempat pameran. Matanya mengitar, mencari tukang penjual minum.

“Yuuji, tunggu di sini ya? Aku beli minum dulu.” Setelah mendapatkan anggukan, Sukuna masih tak yakin untuk meninggalkan Yuuji. Ia melepaskan jaketnya kemudian memakainya pada tubuh Yuuji. “Jangan ke mana-mana. Aku perginya sebentar.”

Sukuna pergi tak lama. Hanya beberapa menit dan kembali dengan dua botol air mineral. “Minum dulu.” Ia menyodorkan botol yang telah ia buka.

“Makasih.” Tangan Yuuji agak gemetar dan Sukuna bisa melihatnya dengan jelas. Ia ingin bertanya, namun sepertinya Yuuji membutuhkan waktu. Jadi, ia memberikan jeda untuk bertanya.

“Bulan kemarin aku sempet check up ke dokter terus katanya paru-paruku ada masalah, tapi bisa sembuh selama rajin berobat dan nerapin hidup sehat. Thanks to you that I can manage my life better now.” Sukuna melirik, mentap Yuuji yang masih menunduk. “Menurutku kehadiran kamu masih aneh dan aku takut ini bagian dari halusinasi, tapi kamu nyata dan ada di sini. Satu-satunya yang bisa aku bilang cuma terima kasih.”

Kali ini, Sukuna menoleh. Tangannya ia ulurkan untuk menyentuh tangan Yuuji. Kelingkingnya meminta izin untuk ditautkan pada milik Yuuji. Dan sebuah senyum tercipta kata dua kelingking tersebut bertaut lembut. “Terima kasih sudah datang ke hidupku dan mengubah kebiasaanku. Dan maaf, aku gak bisa memberi sebanyak yang kamu lakukan.”

Yuuji tahu, ini adalah versi Sukuna yang berbeda. Lalu, kenapa ucapan yang ingin ia dengar selalu diberikan oleh Sukuna di hadapannya? Kenapa semua yang ingin ia dengar, ingin ia lakukan bisa kepada Sukuna ini? Sedangkan Sukunanya tidak.

Yuuji tak tahu. Haruskah ia marah pada dirinya, keadaan, atau permainan takdir yang aeakan menertawai? Mengembalikan dirinya pada masa lalu tanpa bisa mengubah masa depan. Mengembalikan luka yang ia simpan rapat untuk kemudian dihancurkan depan mata. Rasanya seolah ia berkali dipermainkan takdir.

Inginnya untuk kembali dikabulkan dan mungkin memang Yuuji begitu egois atau mungkin memang ia sedang ditertawai oleh takdir.

Ucapkan keinginanmu secara detail, hingga takdir tak salah menentukan akhir.

Harusnya Yuuji ingat, keinginannya adalah mengubah semua. Mengubah bagaimana hidup Sukuna menjadi lebih baik bahkan sebelum bertemu dengannya. Mengubah takdir mereka. Dan mungkin, jika pada masa lalu mereka bertemu di sini, berdasarkan keinginannya apakah mungkin mereka tak akan bertemu? Apakah saat ini, ia akan mengubah takdir mereka? Lalu, bagaimana dengan Jino?

Yuuji takut. Takut pada masa depan yang kini menjadi tak pasti. Takut jika banyak yang ia ubah sehingga apa yang menjadi kenangan indah bersama Sukuna di masa depan hanya akan menjadi mimpi, tanpa pernah datang pada realita.

Rasa takutnya membuat ia kesulitan bernapas. Panik membuat kepalanya terasa pecah. Yuuji tak tahu dan begitu banyak kekhawatiran dalam kepalanya. Sulit untuk ia urai hingga tangan Sukuna menangkup wajahnya. Jemarinya menghapus lembut air mata Yuuji.

“Napas, Ji. Pelan-pelan.” Dan segala risaunya seakan terangkat ketika mendengar suara Sukuna. Ah, segala jika yang ia harapkan untuk terkabul, mungkin akan terjadi di sini.

“Na, found your own Yuuji ya? Kali ini, kalian harus bahagia. Jangan ada rahasia, jangan ada khawatir yang disembunyikan, jangan ada alasan untuk bersembunyi. Jangan ada salah paham.” Yuuji menyentuh tangan Sukuna, mengusapnya pelan. “Kekhawatiran, ketakutan, cemburu, segala yang kamu rasain untuk Yuuji kamu, harus kamu ungkapin. Karena kalau enggak, gak akan ada yang tahu dan akhirnya malah melukai meski niat kamu melindungi.”

Perlahan, Yuuji berdiri. “Mari kita bahagia. Kamu, aku, dan masa depan yang gak kita ketahui.” Sebab tak seharusnya Yuuji takut pada masa depan. Segala risaunya tak perlu ia pikirkan lagi. Segalanya akan jelas pada waktunya.

Sebab saat ini, mereka akan menorehkan kisah baru. Yuuji mulai merasakan tangannya yang menghilang. Riuh orang makin terdengar. Lampu dinyalakan, musik mulai dimainkan.

Malam yang panjang segera dimulai.

Dan Yuuji, tak lagi memiliki penyesalan.

Tangannya mendorong punggung Sukuna, memberikan dukungan terakhir. “Kali ini, jangan pernah ada jika yang akan kalian harapkan oke?”

Sukuna mengangguk. Entah kenapa ia merasa aneh. Terutama ketika perlahan melihat Yuuji yang melambaikan tangan. Matanya pasti bermasalah karena satu detik sebelum Yuuji menghilang, ia melihat pantulan dirinya memeluk Yuuji dari belakang. Atau mungkin, itu bukan halusinasi.

Ia masih termnung di tempat. Masih memikirkan ucapan Yuuji sampai ia mendengar teriakan seseorang. Suara yang tak asing dan sosok yang tak asing.

Itadori Yuuji yang lebih muda berada lima meter darinya. Dan Sukuna tak pernah merasakan jantungnya berdebar sekencang ini. Ia menahan senyumnya untuk naik sambil melangkah.

“Sakit ya abis jatuh dari langit?”

Sukuna tahu, ini bukan seperti dirinya. Dan ia juga menyadari, ini pertemuan mereka berbeda dari cerita Yuuji. Jadi, tak masalahkan untuk melakukan hal yang berbeda? Sebab saat ini, ia melakukan sesuai kata hatinya. Sesuai inginnya.

Tanpa penyesalan.