Tiga persembunyian
dalam terang malam

Hinata melambaikan tangan pada Sakusa yang baru saja pergi dengan mobilnya. Katanya ia harus menjemput Bunda dulu, baru akan kembali lagi nanti. Hinata tersenyum, ia tahu meskipun Sakusa mendumal, kekasihnya itu tak akan pernah mengabaikan permintaan orang tuanya.

Kata Sakusa tadi, Atsumu akan datang sehingga si rambut oranye memilih duduk di atas sofa sambil memeluk kakinya, menyandarkan kepalanya di atas lutut. Kadang saat kepala sedang terisi penuh dengan banyak sekali pikiran ini itu, bengong adalah jalan terbaik membuat pikiran jernih. Hinaa hanya diam, menatap bunga anggrek dan mawar milik Bunda. Untuk beberapa waktu pikirannya kosong dan kembali saat di mana ia baru dekat dengan Sakusa Kiyoomi.

Seingatnya waktu itu mereka berada di divisi yang sama dengan Sakusa sebagai ketua. Hinata sebagai mahasiswa baru yang sering kali menyapa Sakusa, meski sering juga diabaikan. Oh, ia juga ingat saat itu kenal Atsumu melalui Sakusa—mereka satu tongkrongan omong-omong.

Awalnya, Hinata kira Sakusa tak menyukainya karena sering kali ia diberi perlakuan dingin. Makanya, sejujurnya ia kaget saat Sakura menyatakan cinta. Kepalanya bergerak, mengubah posisinya dengan pipi yang bersandar di lutut.

“I like you,” kata Sakusa di suatu sore selepas rapat kepanitiaan. Hinata hanya berdiri di sana menatapnya heran. Kenapa tiba-tiba Sakusa datang dan menyatakan cinta?

Si rambut oranye di hadapannya menutup wajahnya dengan tangan, malu sendiri. Ia mendongak, menatap Sakusa sambil menggaruk pipi. “Eh, maaf Kak saya udah punya pacar.”

“You deserve three boyfriends.” Itu bukan dari Sakusa, tetapi Atsumu yang datang tiba-tiba untuk membuat kernyitan di kening Hinata makin dalam. “Because I like you too.”

“Hah?” Ujar Sakusa dan Hinata bersamaan sedangkan Atsumu hanya tersenyum.

Hari itu adalah hari yang paling ribut, paling sibuk, paling melelahkan secara emosi. Sebab hari itu, pertama kali mereka berempat bertemu dan membicarakan semuanya. Hari di mana Hinata tak bisa memilih, sebab awalnya takut melukai sebab ia mulai menyayangi dua pemuda yang baru masuk dalam hidupnya.

Saat ini, ia penasaran apakah ada yang akan berubah jika hari itu Hinata hanya memilih satu. Apakah ia akan terluka masih sedikit ataukah ia merasakan kesepian makin banyak? Ia tak tahu.

Keningnya disentuh, membuat matanya mengedip cepat saat menyadari pemiliknya adalah Atsumu Miya yang sedang tersenyum. “Hei, aku panggil dari tadi kamu gak nengok-nengok.”

“Eh, maaf Kak.” Punggungnya diluruskan sementara tangan Atsumu masih di keningnya. “Eh, Kakak buka gerbang sendiri? Ya ampun maaf ya.”

Atsumu menoleh, tangannya turun ke pipi. “Ey, gak masalah. Kamu kenapa kok bengong mulu? Mau cerita?”

Tangan Atsumu di pipinya digenggam, sementara ia bangkit dari bangkunya. “Makan yuk, aku tadi udah manasin lauk tapi belum sempet makan.”

Ah, Hinatanya belum mau bercerita. Tangan dalam genggaman Atsumu terasa berkeringat, terasa gugupnya juga dingin yang tersisa. Ia menggenggamnya, makin erat. Atsumu tidak suka melihat Hinata sedih seperti tadi. Inginnya Atsumu, Hinata bercerita padanya. Menyampaikan yang sedang menjadi resah dalam dirinya. Inginnya Atsumu, ia menjadi sandaran. Sebab Hinata tak sendirian untuk menghadapi apapun yang sedang membuat senyumnya terenggut.


Empat perspektif
sabar yang tumpah

Empat orang dalam ruangan itu saling menatap, juga saling mengabaikan. Atsumu Miya masih dengan napas naik-turun. “Tsum, duduk.” Kata Oikawa sambil menarik tangannya, namun ditepis.

“Nanti. Sho, plis, ngomong kamu tuh sebenernya kenapa sih? Apa susahnya sih ngomong ke kami? Kamu beberapa hari i ini tuh aneh tau gak? Ditanya kenapa gak mau ngomong mulu. Ini karena tweet gak jelas itu 'kan?”

“Atsumu, udah dibilang buat kasih waktu ke Shoyo 'kan.” Oikawa menatap sinis. Tak suka karena melihat Hinata makin menunduk. Sakusa benar-benar tak paham apa yang sebelumnya terjadi, namun melihat dari reaksi tiga orang dalam ruangan ini ia sedikit banyak mulai paham.

Rambutnya disisir ke atas sambil ia melangkah mendekati Hinata. Berjongkok di hadapannya dengan tangan terulur, “Sho, look at me.” Ujarnya lembut sambil menyentuh ujung jemari kekasihnya. “Jangan nunduk aja, nanti lehernya sakit.”

Sedikit sudut bibir Hinata terangkat dengan jemari keduanya bertaut. “Sebenarnya, kalau Atsumu gak ngomong, aku juga mau nanya. Sama Tooru juga ngerasa yang sama. Sho, kami mau kamu tau kalau susahnya kamu gak perlu dipendam sendiri. Gak masalah untuk bersandar sampai ngeluh pun gak masalah. Jangan merasa beban itu hanya kamu pikul sendiri. Sho, kami pacar kamu, jadi gak masalah kalau kamu ngeluh banyak hal ke kami.”

Hinata diam untuk waktu lama dan akhirnya hanya menghela panjang. Ia mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Sakusa. “Aku rasa dibandingkan cerita, akan lebih baik Kakak baca sendiri. Semuanya. Keluhanku, capeknya aku, sampai semua frustasi yang gak bisa aku keluarin. Ada di sana semua.”

Atsumu dan Oikawa ikut mendekat, duduk di samping Sakusa. Ketiganya membaca tiap tulisan di dalam twittee pribadi milik Shoyo. Dari tweet terbawah hingga yang paling atas, perlahan dengan tekun. Memahami dan mulai mengisi keping puzzle yang hilang.

Mereka mulai paham, tentang rasa tidak percaya diri yang mulai ditanam sejak awal. Tentang ketakutan yang disembunyikan. Juga tentang bagaimana Hinata merasa kecil dalam hubungan ini. Meski sejak awal, perhatian mereka berikan dengan seluruh sayang yang tak tertinggal.

Atsumu yang pertama merengkuh tubuh Shoyo. Mereka duduk di atas karpet merah, “Maaf kamu harus menyimpan semuanya sendirian.”

Hinata menggeleng, “Bukan salah Kakak kok. Akunya aja yang emang gak bisa terbuka.” Ia memainkan jemarinya, “Aku yang gak percaya diri. Kaya, kenapa orang-orang kaya kalian kok mau sama aku? Karena aku gak ngerasa spesial. Gak merasa diriku emang pantas untuk di samping kalian. Kalian ganteng iya, pinter iya, aku rasanya kecil banget. Bukan cuma karena tubuhku sih, hehe.” Ia mencoba mencairkan suasana.

Di depannya Oikawa menatap dengan kerutan dalam. Mungkin ia yang merasa paling bersalah sebab paling lama menjalin hubungan, namun tetap belum memahami. “Sho, maaf.”

Hinata buru-buru menggeleng. “Bukan salah kalian, salahnya di aku yang gak bisa terbuka.”

Sakusa mengulurkan tangannya, mengusak puncak kepala Hinata. “Ada yang mau kamu sampaikan lagi?”

Hinata memainkan jemarinya lagi, menatap wajah kekasihnya satu per satu. “Kak, boleh gak ngeluh kalau aku capek?”

“Boleh lah.” Oikawa mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Hinata lembut. “Hari ini sampai ke depannya, kamu bebas untuk mengeluh. Ceritain semuanya, tentang yang kamu tahan juga yang kamu rahasiakan.”

Dan seluruh cerita Hinata akhirnya lolos dari bibir yang selama ini terkunci. Malam itu, mereka belajar bahwa hubungan yang terlihat baik nyatanya memiliki banyak lubang. Lubang yang malam ini coba ditutupi kini terbuka lebar, hingga retak, dan bercecer. Malam ini, lubang itu mulai diperbaiki, ditutup dengan tanah baru dengan bibit kepercayaan yang nantinya akan mereka tunggu untuk berbuah.

Mereka berakhir saling memeluk hingga si rambut oranye tertidur pulas di bahu Sakusa. “Gue pikir udah ngasih yang terbaik,” lirih Oikawa sambil memainkan jarinya di rambut Hinata. “Nyatanya enggak. Ternyata malah menambah beban.”

Atsumu menghela, “Gue masih marah sama sender brengsek itu. Tapi, marah gak akan nyelesaiin masalah. Jadi, akan ngehibur yang di depan mata aja.”

“Tumben lo bijak?” Sindir Sakusa.

“Bijaknya cuma urusan Shoyo.” Sahut Oikawa dan Atsumu tidak mengelak. Toh kenyataannya begitu.

“Terus rencana lo apa?” Tanya Oikawa dan Atsumu tersenyum.

“Lo berdua tinggal kerja sama pokoknya.”

Meski tak yakin, Oikawa dan Sakusa ikut mengangguk. Kalau rencana yang menyangkut Hinata, Atsumu pasti akan melakukan yang terbaik. Sekarang, tinggal pelaksanaan untuk besok saja.