Titik akhir pertanyaan


Yuuta menghembuskan napasnya, mencoba menenangkan diri. Bisa, pasti ia bisa. Dengan dua gelas jus, ia melangkah mendekati Yuuji. Lelaki itu masih menunggunya dengan sabar. Kepalanya tertunduk, membuat Yuuta khawatir. Tangannya yang terulur menempelkan gelas tersebut ke pipi Yuuji, membuat mata mereka bertemu.

“Eh?” Sepasang mata yang lebih indah dari berlian itu bergerak, menatap bingung.

Sudut bibir Yuuta terangkat, “Hehe, biar Yuuji sadar ada Yuuta di sini.”

Yuuta masih berdiri, di hadapan Yuuji yang menatapnya dalam. Keduanya terdiam, membiarkan suara tawa orang lain mengisi. Keduanya diam, membiarkan angin menjahili, seolah menertawakan. “Iya ya, Kak Yuuta ada di sini.” Suara Yuuji terdengar pelan.

Ada luka yang bisa Yuuta dengar dan ia sadar dirinya lah penyebab itu semua. Tangannya terulur, ingin mengusap rambut merah muda di hadapannya namun terhenti. Tangannya hanya diam selama beberapa detik sebelum kembali ditarik.

“Ji, ngobrol di sana yuk?” Yuuta menunjuk ke arah bangku lain di sudut taman. “Di sana lebih sepi.”

Mereka memang sudah lumayan menjadi pusat perhatian. Yuuji menurut, mengikuti Yuuta sambil memegang jus di tangan. Keduanya berjalan dalam diam hingga bersembunyi di antara pohon rindang. Belum ada yang membuka pembicaraan, meski jus di gelas masing-masing tinggal setengah.

Kepala Yuuta penuh. Ingin memilah banyak informasi dalam kepala, namun sulit dilakukan. Tangannya memindahkan gelas jus, menjadi pembatas di antara mereka. “Ji, ingat gak pas pertama kali kita ketemu?” Yuuta memberanikan diri untuk menoleh, menatap mata Yuuji. “Hari itu aku sama kamu ketemu di lokasi audisi. Sampai saat ini aku masih ingat kamu yang terlihat bersinar saat audisi. Aku juga masih ingat saat pertama kali kamu mendapatkan piala penghargaan. Aku ingat semua sampai ucapan kamu ketika menyatakan perasaan. Juga tentang aku yang meninggalkan.”

Jemarinya saling bertaut, gugup. “Ji, aku salah dan gak ada alasan yang bisa bikin aku percaya diri buat ngomong maaf.”

Hening kembali mengisi dan Yuuta tak bisa mengabaikan rasa gugupnya. Ia bahkan tak berani melirik. Hingga suara Yuuji terdengar. “Jadi, kenapa Kakak ninggalin aku? Tanpa kabar? Tanpa alasan? Dan tiba-tiba ngilang?”

Gemelutuk gigi Yuuta bisa didengar. Tautan tangannya dibawa mendekat pada mulut. “Aku ngerasa diriku gak pantas ada di samping kamu.” Suaranya bergetar, takut itu kembali muncul. “Kamu selalu bersinar meski suara cut udah terdengar. Kamu, di manapun selalu bersinar. Sementara aku gak biss kaya gitu. Makin lama aku makin takut. Sampai aku memilih pergi.”

Ketika ia menoleh, tatapan terluka itu menyadarkannya. Tangannya buru-buru menyentuh tangan Yuuji. “Aku tau, aku salah. Aku yang ngerasa kecil dan gak pantas akhirnya melarikan diri. Aku pergi untuk mendapatkan percaya diri, juga buat belajar banyak. Aku ingin saat kembali, aku bisa jadi seseorang yang pantas, seseorang yang bisa kamu banggain.”

Yuuta terus-terusan menunduk. Ia tak tahu bagaimana reaksi Yuuji saat ini dan terlalu takut mencari tahu. Hingga pukulan pelan diberikan pada puncak kepalanya. “Kak Yuuta bego ya!” Makian keluar, untuk pertama kalinya sejak ia mengenal Itadori Yuuji.

Jitakan sekali lagi diberikan. “Kakak gak perlu pergi ke manapun untuk jadi seseorang yang aku banggakan. Sejak awal, aku selalu bangga sama Kakak. Kakak yang bersinar ketika lampu menyala, Kakak yang bersikap baik dalam diam, Kakak yang mengerjakan sesuatu dengan sebaik mungkin, Kakak yang membuktikan ke orang lain kalau semua peran itu milik Kakak adalah seseorang yang selalu aku banggain.”

Pipi Yuuta ditangkup oleh dua tangan Yuuji. “Aku selalu bangga sama Kakak. Gak perlu pergi jauh untuk membuat aku bangga, untuk bikin aku ngeliat Kakak. Tapi, kalau Kakak pergi untuk diri sendiri, sejauh apapun, aku bakal tetap nunggu. Karena Okkotsu Yuuta selalu jadi kebanggaan Itadori Yuuji.”

Yuuta tidak terbiasa menunjuk emosinya, hanya di depan Yuuji, seluruhnya runtuh. Air matanya turun, merasa begitu bodoh karena ketakutan yang dirasa. Yuuji tak mengatakan apapun, hanya menarik dirinya dalam pelukan. Tangannya menepuk pelan, masih sama hangatnya seperti dulu. “Ji, maaf. Maaf. Maaf karena ninggalin kamu.”

Gelengan diberikan. “Aku gak bisa nyalahin alasan Kakak, aku cuma mau sekarang Kakak gak pergi lagi.”

Sejujurnya, Yuuji begitu lega saat mengetahui Yuuta pergi bukan karena orang lain. Okkotsu Yuuta tak pernah benar-benar meninggalkannya. Rasa kecil dalam dirinya yang membuat ia pergi untuk meraih panggung yang besar, untuk jadi kebanggaannya. Sudut bibirnya tak bisa ia tahan untuk tersenyum.

“Kak Yuuta, aku ada beberapa pertanyaan. Kakak jawab pernah gak pernah oke?” Keduanya masih saling memeluk.

Di bahunya ia bisa merasakan anggukan Yuuta. “Kakak pernah lupa sama aku?”

“Gak pernah sekalipun. Otakku isinya kamu.”

“Kak Yuuta punya pacar lain.”

“Aku pergi untuk kamu dan gak ada alasan untuk menyukai orang lain.”

Yuuji bisa merasakan perutnya yang tergelitik. “Kak Yuuta pernah nyesel ninggalin aku?” Kali ini pelukan pada tubuh Yuuta mengerat. Ia bisa merasakan ketakutan Yuuji.

Gelengan kepala diberikan. “Selalu. Aku selalu menyesali keputusan aku yang pergi tanpa kabar. Tapi aku gak pernah menyesali hasil yang aku dapat bersama usaha yang aku pupuk. Aku gak pernah nyesel udah pergi untuk menjadi Okkotsu Yuuta. Penyesalanku adalah gak jujur sama kamu. Penyesalanku adalah nyakitin kamu.”

“Hm,” Yuuji masih memeluk. Ia takut ketika melepas, Yuuta akan menghilang dan pergi. “Setelah ini Kakak akan pergi?”

“Enggak. Kecuali ada kerjaan dan itu akan ngomong ke kamu.”

“Okei.” Perlahan, Yuuji melepaskan pelukan mereka. Tangannya kembali mengusap pipi Yuuta. “Oke, asal Kak Yuuta gak akan pergi, itu udah cukup.”

Yuuta mengulurkan tangannya, menyentuh punggung tangan Yuuji di pipinya. “Aku gak akan pergi. Gak akan pernah ninggalin kamu lagi.”

Keduanya saling tersenyum, membagi hangat sentuhan masing-masing. Kening keduanya bersentuhan dengan tangan yang saling bertautan. Soal status, bisa nanti, saat ini yang paling penting adalah tanda tanya masa lalu sudah dapat diganti dengan titik.