“Tapi aku enggak layak,kak”
Sambungan telepon masih bersambung, menyampaikan isakan pilu dari hati resah yang masih bertalu. Menyampaikan sesak kepada pendengar di lain ruang waktu.
Sama-sama membisu. Mereka sama-sama sampaikan lara lewat hening yang masih menyatu.
“Aku gak pernah pantas buat apa yang ada di diri aku kak, aku jahat”
Sendunya semakin menjadi-jadi, isakannya masih keras tak mau henti.
“Kakak, sampai kapan mau bertahan, kak?”
Haresa punya sisi yang cuma nampak diwaktu dini hari. Menyampaikan sedih kepada Maraka yang baru saja kembali dari ruang mimpi. Bentang jarak dan bentang waktu, mereka menengahi dengan cinta yang katanya, lebih luas dari samudra. Begitu pengakuan Haresa pada bentala kala dunia mulai angkuh pada mereka.
“Sampai kamu jadi laki-laki paling bahagia dimuka bumi”
Maraka ucap pasti, Haresanya akan bahagia, menampar lisan jahat yang sering jadi belati pelumpuh percaya diri.
“Kak, kalau aku menyerah, unjuk diri karena resah, boleh? Aku pergi dengan bahagia sebab merasa penuh cinta”
“Pergiku sambil tersenyum, kak”
Lagi, Haresa ungkap lagi mau berhenti. Menyerah di pertengahan jalan yang masih panjang buat di telusuri.
Banyak takut, bayak kalut, pikirannya seringkali buat ribut.
Maraka mau peluk.
“Apa sih yang bikin kamu ragu dengan mimpi?”
Kalimat tamparan buat haresa si pengecut, ini buat tarik kembali nyawanya yang mau melayang pergi, yang sebenarnya, sudah mati separuh hati.
Maraka cuma bertanya-tanya, masalah apa yang kali bikin haresa-nya gundah gulana?
Apa kembali dengan persoalan cita-cita?
“Harapan harus tinggi, jatuh itu pasti. Kamu berani punya mimpi, tapi takut melangkah pasti. Kenapa?”
Apalagi masalahnya?
Hari ini, siapa yang kembali buatmu luka?
Isakan kembali hanyut mengalun bersama hening,
“Kata orang, usahaku hanya akan berujung lengkara”
“Kata orang, aku hanya akan buat sedih bunda”
Kata orang.
Maraka muak dengan kata orang.
“Haresa, apa yang kamu tuju, pasti akan kamu dapatkan, usahamu gak akan berujung penyesalan, kamu gak akan buat sedih bunda, pilar pilar yang kamu susun sedari sekarang akan membentuk bagunan megah yang kokoh, gak akan roboh cuma karena kata orang”
“Jangan mudah bilang nyerah, jangan mudah bilang lelah”
“Kamu itu lebih besar daripada masalahmu”
Isakannya putus-putus, sesak sekali, haresa malu pada diri yang seringkali diragui.
Maraka itu bagai petrichor di pagi hari, kalimatnya tenang, sentuhannya buat kelabu jadi kuning terang. Nyatanya, takut itu pelan-pelan mau bunuh dia, tapi nggak bisa, soalnya lengannya sudah bertaut sama pelita, maraka namanya.
“Sudah, ya? Tangisnya disimpan buat nanti nanti. Sekarang waktunya cerah lagi, haresa kan seperti matahari, masa mau ditutupi awan? Kasihan, harinya jadi mendung nanti”
Reda, perasaannya kembali lega.
“Terimakasih ya maraka, telinganya mau kembali mendengar haresa yang banyak takutnya”
Terkekeh pelan, maraka ubah posisi ponsel yang tadinya di selipkan antara bahu dan telinga kanan, jadi disebelah kiri. Lengannya sibuk memilih baju di lemari.
“Sudah damai kan hatinya? Aku mau siap-siap berangkat ke kampus ya? Hari ini edinburgh sedang cerah sekali, nampak pelangi, kamu dan harimu semoga diberkahi ya sayang”
“Iyaaa, kamu dan harimu semoga diberkahi juga!”
Hening sebentar, keduanya ragu putuskan sambungan.
“Maraka?”
“Hm?”
“Mau kecup, mau peluk, mau diusap lagi kepalanya”
Kekehan ringan mengalun merdu menyapa telinga haresa yang tersipu malu.
“Nanti ya sayang, tunggu aku jadi orang hebat yang bisa kamu bangga-banggakan ke orang-orang”
“Sekarang rindunya ditahan dulu, aku pasti kembali kok, kamu jangan sering risau ya, kamu nggak sendirian, banyak yang lagi berjuang”
“Heheh, iyaa”
Kecup jauh pengakhir untaian kalimat manis, pengakhir sambungan telepon pagi buta antara maraka dan haresa.
Sampai ketemu nanti ya sayang. nanti, ketika kita tak lagi risau dengan hari-hari.