tw // Violence , murder , Described Blood.
“Sigewinne? siapa yang jemput?” Tanya Neuvillette yang baru saja sampai rumah, baru saja selesai les.
“iya kak, tapi kak wrio nya belum selesai kerja” Neuvillette mengangguk lalu melihat ke arah luar jendela. Hujan turun sangat deras malam ini. Hatinya mendadak cemas.
Tak lama, suara klakson motor terdengar bersamaan dengan Wriothesley yang memakirkan motornya di halaman rumah Neuvillette. Rambut hitamnya basah, begitu juga sekujur tubuhnya.
“kak” sapa nya ramah sembari tersenyum tipis, lalu atensinya beralih pada sang adik yang berdiri di samping Neuvillette. Tatapan Sigewinne khawatir melihat kakaknya yang basah kuyup.
“pulang yuk, nanti kemaleman” ucap Wriothesley sembari membungkuk, mensejajarkan tubuhnya dengan sang adik. Sigewinne kemudian mengangguk. Sebelum sempat menarik tangan Sigewinne, Tangan Neuvillette sudah meraih lengan baju Wriothesley, menahannya untuk mengambil langkah. Wriothesley kemudian membalikkan tubuhnya untuk menghadap Neuvillette, mendapati kakak kelasnya tengah menatapnya dengan air wajah khawatir.
“jangan... Sigewinne kasihan, tunggu sampe hujannya reda”
“nanti kemaleman kak”
“n-nginep aja...” nada Neuvillette berbisik.
“hmm?” Wriothesley hanya dapat berdehem untuk memastikan, lidahnya mendadak kaku dan tenggorokannya seakan tercekat.
“nginep??” ulang Neuvillette lagi, wajahnya masih tanpa ekspresi namun Wriothesley dapat melihat kulit pucatnya merona. Wriothesley kemudian menunduk dan mendapati kedua adik mereka tengah berpelukan sembari menganggukkan kepala antusias, seakan akan meyakinkan Wriothesley. Wriothesley kemudian menghela nafas lalu mengangguk membuat kedua adik saling bersorak dan langsung berlari ke dalam rumah. Meninggalkan kedua kakak mereka yang menatap canggung satu sama lain.
Neuvillette dengan sigap berlari ke kamarnya mengambil handuk kering untuk mengeringkan rambut Wriothesley yang basah.
“mandi dulu, air hangat di kamarku hidup. baju gantinya aku siapin” ucap Neuvillette sembari menyodorkan handuk kering pada Wriothesley.
“kak, ga usah repot repot” ucap Wriothesley namun Neuvillette bersikeras sembari menuntun Wriothesley menuju kamarnya, lalu menunjukkan dimana letak kamar mandi. Jujur saja Wriothesley merasa tidak enak, semuanya terlalu berlebihan untuk sekedar balas jasa ketika ia meminjamkan payungnya di waktu yang lalu, namun hatinya juga tidak enak untuk menolak.
Wriothesley kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan segera membasuh tubuhnya dan rambutnya dengan air hangat, mengeringkan tubuhnya dengan handuk sebelum terdengar ketukan di pintu. Tangan Neuvillette lalu terulur, memberikan baju ganti untuk Wriothesley. Kini wangi khas Neuvillette menguasai indra penciumannya. Wangi buah apple dengan sedikit sentuhan mawar, wanginya tidak membuat Wriothesley pusing. Sangat lembut, Wriothesley hanya sedikit mabuk.
Wriothesley kemudian keluar dari kamar mandi, mendapati Neuvillette tengah menyiapkan matras kecil di samping ranjangnya. Mendengar pintu kamar mandi dibuka, ia langsung menoleh ke arah kamar mandi lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.
“kak” panggil Wriothesley. Neuvillette kemudian menoleh, mendapati Wriothesley tengah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“maaf jadi ngerepotin kakak...” ucapnya merasa menyesal, Neuvillette menghela nafas.
“kamu emang mau sigewinne kehujanan juga??” tanya Neuvillette, Wriothesley menggeleng.
“nah, yaudah. tidur sini, aku tidur di bawah” ucap Neuvillette.
“gabisa gitu dong kak, ini kan tempat tidur kakak” Wriothesley berucap begitu lembut dan duduk di matras bawah dengan Neuvillette yang sudab baring di atasnya. Neuvillette menghindari tatap Wriothesley, genggamannya pada selimut mengerat.
“biar aku aja ya yang tidur disini?” Neuvillette lalu menggeleng.
“kak...”
“aku gaenak sama kamu wrio” Neuvillette memberanikan diri menatap Wriothesley. Wriothesley kemudian terkekeh kecil.
“gaenakan ya? udah gapapa” ucap Wriothesley lalu membantu Neuvillette bangkit dari tidurnya.
“sana tidur, gausah ga enakan kak. kakak udah lebih dari cukup ngebantu aku sama winne” ucap Wriothesley, Neuvillette lagi lagi menghela nafas kasar. Hatinya sedikit berat sebelum ia pindah ke ranjang yang biasa ia tempati. Ia kemudian menghadap ke arah samping, tangannya menggantung keluar dari tempat tidur.
“Wrio?” panggilnya.
“hmm?”
“kamu... cape gak??”
“cape banget lah!” Wriothesley kembali tertawa namun kali ini tawanya tidak seceria kemarin, dimana mereka bercakap cakap lewat seluler. Lalu keduanya kembali hening.
“wrio, aku bingung. temen temen kamu masih sering main main pulang sekolah, kamu malah milih... kerja?? emang... kenapa?” tanya Neuvillette.
“e-eh gausah dijawab kalau ga penting” Neuvillette seketika tersadar jika pertanyaan terlalu personal, Wriothesley terkekeh kecil.
“yah, aku ga enak aja sama tante ku kak. Keluarga tante udah ngurusin aku sama Winne dari kami kecil eh... ga kecil kecil banget sih, kira kira udah 8 tahunan?? Winne masih 2 tahun sedangkan aku masih 8 tahun. Aku yang nawarin diri juga untuk kerja, tanteku maunya aku fokus belajar dulu tapi akunya gamau ngerasa hutang budi?? aku ga suka kak...”
“orang tua kamu?” Wriothesley menarik nafas dalam dalam sebelum menjawab.
“udah engga ada” ucap Wriothesley.
“o-oh... maaf...”
“gapapa kak” balasnya, lalu kedua nya sama sama terdiam.
“waktu itu rumahku dirampok, mama nyuruh aku sama winne untuk sembunyi di bawah kolong tempat tidur. Aku masih inget, jeritan mama sama bunyi suara tusukan dibadan mama. Tetangga ga ada yang denger, karena waktu itu hujan deras. makanya kak, aku takut kalau hujan. Bukan karena hujannya, tapi kalau ada yang buruk terjadi waktu hujan... aku harus apa? Aku takut gaada yang bisa denger aku” ucapnya. Gambaran orang tuanya yang tergenang di kolam darah kembali menghantui kepalanya.
“waktu itu, aku gendong winne. Make sure dia ga ngeliat semuanya. Matanya aku tutup pake sapu tangan biar dia gausah liat gimana mayat mama sama papa disana. Terus aku minta tolong sama tetangga aku, kami stay disana sampe polisi dan lain lainnya dateng. Tanteku juga sama suaminya. Winne waktu itu masih bingung, sampe sekarang aku belum jelasin kemana papa sama mama.” Wriothesley berhenti sebentar.
“aku suruh Winne nutup mata, telinga sama mulutnya aku tutupin waktu kami sembunyi... jadi yah gitu, dia ga tau kalau mayat mama ada di depan kami waktu kami sembunyi. Aku juga gabisa nangis, kalau aku nangis nanti Winne juga ikut nangis”
“semenjak waktu itu, rumahku secara emosional engga ada. Aku rasa itu kali ya kak yang bikin aku selalu cape” Wriothesley terkekeh kecil.
“ah, hujannya makin deres ya?” ucapnya untuk mengalihkan pembicaraan sebelum menghela nafas kasar.
“uhmm, maaf ya kak?? aku tiba tiba cerita begituan.”
“engga, maaf ya udah bikin kamu cerita... i-itu berat banget”
“Kakak orang pertama selain keluarga aku yang tau cerita ini” ucap Wriothesley.
Neuvillette kemudian melirik pada Wriothesley yang tengah menatap langit langit kamarnya. Tangannya bergerak untuk mengelus rambut tebal milik Wriothesley.
“you've been doing so well, im proud of you” Wriothesley terdiam lalu menatap Neuvillette dengan mata berkaca kaca. ia terkekeh kecil lalu memejamkan matanya, setetes air mata jatuh dari sudut matanya yang segera diusap oleh Neuvillette menggunakan ibu jarinya.
“kakak jangan kasihan sama aku ya, tetap perlakuin aku kaya biasa. aku benci di kasihanin” Neuvillette menggangguk sembari melihat Wriothesley yang tengah berbaring di matras bawah. ibu jarinya masih mengusap usap pipi Wriothesley.
“Kalau boleh, aku mau jadi tempat yang bisa kamu jadiin rumah kamu secara emosional, Wrio” batin Neuvillette.
Tak beberapa lama, Neuvillette tak lagi mampu menahan kantuknya. ia kemudian tertidur dengan tangan yang masih keluar dari rangka tempat tidur, tepatnya di atas Wriothesley. Wrio kemudian tersenyum, Tangan dinginnya terangkat untuk mengenggam tangan Neuvillette yang mengarah padanya.
“aku mau kakak yang jadi rumahku” batinnya, sebelum ia jatuh tertidur juga sembari mengenggam tangan hangat milik Neuvillette.