crystalfliexs

tw // Violence , murder , Described Blood.

“Sigewinne? siapa yang jemput?” Tanya Neuvillette yang baru saja sampai rumah, baru saja selesai les.

“iya kak, tapi kak wrio nya belum selesai kerja” Neuvillette mengangguk lalu melihat ke arah luar jendela. Hujan turun sangat deras malam ini. Hatinya mendadak cemas.

Tak lama, suara klakson motor terdengar bersamaan dengan Wriothesley yang memakirkan motornya di halaman rumah Neuvillette. Rambut hitamnya basah, begitu juga sekujur tubuhnya.

“kak” sapa nya ramah sembari tersenyum tipis, lalu atensinya beralih pada sang adik yang berdiri di samping Neuvillette. Tatapan Sigewinne khawatir melihat kakaknya yang basah kuyup.

“pulang yuk, nanti kemaleman” ucap Wriothesley sembari membungkuk, mensejajarkan tubuhnya dengan sang adik. Sigewinne kemudian mengangguk. Sebelum sempat menarik tangan Sigewinne, Tangan Neuvillette sudah meraih lengan baju Wriothesley, menahannya untuk mengambil langkah. Wriothesley kemudian membalikkan tubuhnya untuk menghadap Neuvillette, mendapati kakak kelasnya tengah menatapnya dengan air wajah khawatir.

“jangan... Sigewinne kasihan, tunggu sampe hujannya reda”

“nanti kemaleman kak”

“n-nginep aja...” nada Neuvillette berbisik.

“hmm?” Wriothesley hanya dapat berdehem untuk memastikan, lidahnya mendadak kaku dan tenggorokannya seakan tercekat.

“nginep??” ulang Neuvillette lagi, wajahnya masih tanpa ekspresi namun Wriothesley dapat melihat kulit pucatnya merona. Wriothesley kemudian menunduk dan mendapati kedua adik mereka tengah berpelukan sembari menganggukkan kepala antusias, seakan akan meyakinkan Wriothesley. Wriothesley kemudian menghela nafas lalu mengangguk membuat kedua adik saling bersorak dan langsung berlari ke dalam rumah. Meninggalkan kedua kakak mereka yang menatap canggung satu sama lain.

Neuvillette dengan sigap berlari ke kamarnya mengambil handuk kering untuk mengeringkan rambut Wriothesley yang basah.

“mandi dulu, air hangat di kamarku hidup. baju gantinya aku siapin” ucap Neuvillette sembari menyodorkan handuk kering pada Wriothesley.

“kak, ga usah repot repot” ucap Wriothesley namun Neuvillette bersikeras sembari menuntun Wriothesley menuju kamarnya, lalu menunjukkan dimana letak kamar mandi. Jujur saja Wriothesley merasa tidak enak, semuanya terlalu berlebihan untuk sekedar balas jasa ketika ia meminjamkan payungnya di waktu yang lalu, namun hatinya juga tidak enak untuk menolak.

Wriothesley kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan segera membasuh tubuhnya dan rambutnya dengan air hangat, mengeringkan tubuhnya dengan handuk sebelum terdengar ketukan di pintu. Tangan Neuvillette lalu terulur, memberikan baju ganti untuk Wriothesley. Kini wangi khas Neuvillette menguasai indra penciumannya. Wangi buah apple dengan sedikit sentuhan mawar, wanginya tidak membuat Wriothesley pusing. Sangat lembut, Wriothesley hanya sedikit mabuk.

Wriothesley kemudian keluar dari kamar mandi, mendapati Neuvillette tengah menyiapkan matras kecil di samping ranjangnya. Mendengar pintu kamar mandi dibuka, ia langsung menoleh ke arah kamar mandi lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.

“kak” panggil Wriothesley. Neuvillette kemudian menoleh, mendapati Wriothesley tengah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“maaf jadi ngerepotin kakak...” ucapnya merasa menyesal, Neuvillette menghela nafas.

“kamu emang mau sigewinne kehujanan juga??” tanya Neuvillette, Wriothesley menggeleng.

“nah, yaudah. tidur sini, aku tidur di bawah” ucap Neuvillette.

“gabisa gitu dong kak, ini kan tempat tidur kakak” Wriothesley berucap begitu lembut dan duduk di matras bawah dengan Neuvillette yang sudab baring di atasnya. Neuvillette menghindari tatap Wriothesley, genggamannya pada selimut mengerat.

“biar aku aja ya yang tidur disini?” Neuvillette lalu menggeleng.

“kak...”

“aku gaenak sama kamu wrio” Neuvillette memberanikan diri menatap Wriothesley. Wriothesley kemudian terkekeh kecil.

“gaenakan ya? udah gapapa” ucap Wriothesley lalu membantu Neuvillette bangkit dari tidurnya.

“sana tidur, gausah ga enakan kak. kakak udah lebih dari cukup ngebantu aku sama winne” ucap Wriothesley, Neuvillette lagi lagi menghela nafas kasar. Hatinya sedikit berat sebelum ia pindah ke ranjang yang biasa ia tempati. Ia kemudian menghadap ke arah samping, tangannya menggantung keluar dari tempat tidur.

“Wrio?” panggilnya.

“hmm?”

“kamu... cape gak??”

“cape banget lah!” Wriothesley kembali tertawa namun kali ini tawanya tidak seceria kemarin, dimana mereka bercakap cakap lewat seluler. Lalu keduanya kembali hening.

“wrio, aku bingung. temen temen kamu masih sering main main pulang sekolah, kamu malah milih... kerja?? emang... kenapa?” tanya Neuvillette.

“e-eh gausah dijawab kalau ga penting” Neuvillette seketika tersadar jika pertanyaan terlalu personal, Wriothesley terkekeh kecil.

“yah, aku ga enak aja sama tante ku kak. Keluarga tante udah ngurusin aku sama Winne dari kami kecil eh... ga kecil kecil banget sih, kira kira udah 8 tahunan?? Winne masih 2 tahun sedangkan aku masih 8 tahun. Aku yang nawarin diri juga untuk kerja, tanteku maunya aku fokus belajar dulu tapi akunya gamau ngerasa hutang budi?? aku ga suka kak...”

“orang tua kamu?” Wriothesley menarik nafas dalam dalam sebelum menjawab.

“udah engga ada” ucap Wriothesley.

“o-oh... maaf...”

“gapapa kak” balasnya, lalu kedua nya sama sama terdiam.

“waktu itu rumahku dirampok, mama nyuruh aku sama winne untuk sembunyi di bawah kolong tempat tidur. Aku masih inget, jeritan mama sama bunyi suara tusukan dibadan mama. Tetangga ga ada yang denger, karena waktu itu hujan deras. makanya kak, aku takut kalau hujan. Bukan karena hujannya, tapi kalau ada yang buruk terjadi waktu hujan... aku harus apa? Aku takut gaada yang bisa denger aku” ucapnya. Gambaran orang tuanya yang tergenang di kolam darah kembali menghantui kepalanya.

“waktu itu, aku gendong winne. Make sure dia ga ngeliat semuanya. Matanya aku tutup pake sapu tangan biar dia gausah liat gimana mayat mama sama papa disana. Terus aku minta tolong sama tetangga aku, kami stay disana sampe polisi dan lain lainnya dateng. Tanteku juga sama suaminya. Winne waktu itu masih bingung, sampe sekarang aku belum jelasin kemana papa sama mama.” Wriothesley berhenti sebentar.

“aku suruh Winne nutup mata, telinga sama mulutnya aku tutupin waktu kami sembunyi... jadi yah gitu, dia ga tau kalau mayat mama ada di depan kami waktu kami sembunyi. Aku juga gabisa nangis, kalau aku nangis nanti Winne juga ikut nangis”

“semenjak waktu itu, rumahku secara emosional engga ada. Aku rasa itu kali ya kak yang bikin aku selalu cape” Wriothesley terkekeh kecil.

“ah, hujannya makin deres ya?” ucapnya untuk mengalihkan pembicaraan sebelum menghela nafas kasar.

“uhmm, maaf ya kak?? aku tiba tiba cerita begituan.”

“engga, maaf ya udah bikin kamu cerita... i-itu berat banget”

“Kakak orang pertama selain keluarga aku yang tau cerita ini” ucap Wriothesley.

Neuvillette kemudian melirik pada Wriothesley yang tengah menatap langit langit kamarnya. Tangannya bergerak untuk mengelus rambut tebal milik Wriothesley.

“you've been doing so well, im proud of you” Wriothesley terdiam lalu menatap Neuvillette dengan mata berkaca kaca. ia terkekeh kecil lalu memejamkan matanya, setetes air mata jatuh dari sudut matanya yang segera diusap oleh Neuvillette menggunakan ibu jarinya.

“kakak jangan kasihan sama aku ya, tetap perlakuin aku kaya biasa. aku benci di kasihanin” Neuvillette menggangguk sembari melihat Wriothesley yang tengah berbaring di matras bawah. ibu jarinya masih mengusap usap pipi Wriothesley.

Kalau boleh, aku mau jadi tempat yang bisa kamu jadiin rumah kamu secara emosional, Wrio” batin Neuvillette.

Tak beberapa lama, Neuvillette tak lagi mampu menahan kantuknya. ia kemudian tertidur dengan tangan yang masih keluar dari rangka tempat tidur, tepatnya di atas Wriothesley. Wrio kemudian tersenyum, Tangan dinginnya terangkat untuk mengenggam tangan Neuvillette yang mengarah padanya.

aku mau kakak yang jadi rumahku” batinnya, sebelum ia jatuh tertidur juga sembari mengenggam tangan hangat milik Neuvillette.

“Sigewinne? siapa yang jemput?” Tanya Neuvillette yang baru saja sampai rumah, baru saja selesai les.

“iya kak, tapi kak wrio nya belum selesai kerja” Neuvillette mengangguk lalu melihat ke arah luar jendela. Hujan turun sangat deras malam ini. Hatinya mendadak cemas.

Tak lama, suara klakson motor terdengar bersamaan dengan Wriothesley yang memakirkan motornya di halaman rumah Neuvillette. Rambut hitamnya basah, begitu juga sekujur tubuhnya.

“kak” sapa nya ramah sembari tersenyum tipis, lalu atensinya beralih pada sang adik yang berdiri di samping Neuvillette. Tatapan Sigewinne khawatir melihat kakaknya yang basah kuyup.

“pulang yuk, nanti kemaleman” ucap Wriothesley sembari membungkuk, mensejajarkan tubuhnya dengan sang adik. Sigewinne kemudian mengangguk. Sebelum sempat menarik tangan Sigewinne, Tangan Neuvillette sudah meraih lengan baju Wriothesley, menahannya untuk mengambil langkah. Wriothesley kemudian membalikkan tubuhnya untuk menghadap Neuvillette, mendapati kakak kelasnya tengah menatapnya dengan air wajah khawatir.

“jangan... Sigewinne kasihan, tunggu sampe hujannya reda”

“nanti kemaleman kak”

“n-nginep aja...” nada Neuvillette berbisik.

“hmm?” Wriothesley hanya dapat berdehem untuk memastikan, lidahnya mendadak kaku dan tenggorokannya seakan tercekat.

“nginep??” ulang Neuvillette lagi, wajahnya masih tanpa ekspresi namun Wriothesley dapat melihat kulit pucatnya merona. Wriothesley kemudian menunduk dan mendapati kedua adik mereka tengah berpelukan sembari menganggukkan kepala antusias, seakan akan meyakinkan Wriothesley. Wriothesley kemudian menghela nafas lalu mengangguk membuat kedua adik saling bersorak dan langsung berlari ke dalam rumah. Meninggalkan kedua kakak mereka yang menatap canggung satu sama lain.

Neuvillette dengan sigap berlari ke kamarnya mengambil handuk kering untuk mengeringkan rambut Wriothesley yang basah.

“mandi dulu, air hangat di kamarku hidup. baju gantinya aku siapin” ucap Neuvillette sembari menyodorkan handuk kering pada Wriothesley.

“kak, ga usah repot repot” ucap Wriothesley namun Neuvillette bersikeras sembari menuntun Wriothesley menuju kamarnya, lalu menunjukkan dimana letak kamar mandi. Jujur saja Wriothesley merasa tidak enak, semuanya terlalu berlebihan untuk sekedar balas jasa ketika ia meminjamkan payungnya di waktu yang lalu, namun hatinya juga tidak enak untuk menolak.

Wriothesley kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan segera membasuh tubuhnya dan rambutnya dengan air hangat, mengeringkan tubuhnya dengan handuk sebelum terdengar ketukan di pintu. Tangan Neuvillette lalu terulur, memberikan baju ganti untuk Wriothesley. Kini wangi khas Neuvillette menguasai indra penciumannya. Wangi buah apple dengan sedikit sentuhan mawar, wanginya tidak membuat Wriothesley pusing. Sangat lembut, Wriothesley hanya sedikit mabuk.

Wriothesley kemudian keluar dari kamar mandi, mendapati Neuvillette tengah menyiapkan matras kecil di samping ranjangnya. Mendengar pintu kamar mandi dibuka, ia langsung menoleh ke arah kamar mandi lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.

“kak” panggil Wriothesley. Neuvillette kemudian menoleh, mendapati Wriothesley tengah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“maaf jadi ngerepotin kakak...” ucapnya merasa menyesal, Neuvillette menghela nafas.

“kamu emang mau sigewinne kehujanan juga??” tanya Neuvillette, Wriothesley menggeleng.

“nah, yaudah. tidur sini, aku tidur di bawah” ucap Neuvillette.

“gabisa gitu dong kak, ini kan tempat tidur kakak” Wriothesley berucap begitu lembut dan duduk di matras bawah dengan Neuvillette yang sudah baring di atasnya. Neuvillette menghindari tatap Wriothesley, genggamannya pada selimut mengerat.

“biar aku aja ya yang tidur disini?” Neuvillette lalu menggeleng.

“kak...”

“aku gaenak sama kamu wrio” Neuvillette memberanikan diri menatap Wriothesley. Wriothesley kemudian terkekeh kecil.

“gaenakan ya? udah gapapa” ucap Wriothesley lalu membantu Neuvillette bangkit dari tidurnya.

“sana tidur, gausah ga enakan kak. kakak udah lebih dari cukup ngebantu aku sama winne” ucap Wriothesley, Neuvillette lagi lagi menghela nafas kasar. Hatinya sedikit berat sebelum ia pindah ke ranjang yang biasa ia tempati. Ia kemudian menghadap ke arah samping, tangannya menggantung keluar dari tempat tidur.

“Wrio?” panggilnya.

“hmm?”

“kamu... cape gak??”

“cape banget lah!” Wriothesley kembali tertawa namun kali ini tawanya tidak seceria kemarin, dimana mereka bercakap cakap lewat seluler. Lalu keduanya kembali hening.

“wrio, aku bingung. temen temen kamu masih sering main main pulang sekolah, kamu malah milih... kerja?? emang... kenapa?” tanya Neuvillette.

“e-eh gausah dijawab kalau ga penting” Neuvillette seketika tersadar jika pertanyaan terlalu personal, Wriothesley terkekeh kecil.

“yah, aku ga enak aja sama tante ku kak. Keluarga tante udah ngurusin aku sama Winne dari kami kecil eh... ga kecil kecil banget sih, kira kira udah 6 tahunan?? Winne masih 2 tahun sedangkan aku masih 11 tahun. Aku yang nawarin diri juga untuk kerja, tanteku maunya aku fokus belajar dulu tapi akunya gamau ngerasa hutang budi?? aku ga suka kak...”

“orang tua kamu?” Wriothesley menarik nafas dalam dalam sebelum menjawab.

“udah engga ada” ucap Wriothesley.

“o-oh... maaf...”

“gapapa kak” balasnya, lalu kedua nya sama sama terdiam.

“waktu itu rumahku dirampok, mama nyuruh aku sama winne untuk sembunyi di bawah kolong tempat tidur. Aku masih inget, jeritan mama sama bunyi suara tusukan dibadan mama. Tetangga ga ada yang denger, karena waktu itu hujan deras. makanya kak, aku takut kalau hujan. Bukan karena hujannya, tapi kalau ada yang buruk terjadi waktu hujan... aku harus apa? Aku takut gaada yang bisa denger aku” ucapnya.

“waktu itu, aku gendong winne. Make sure dia ga ngeliat semuanya. Matanya aku tutup pake sapu tangan biar dia gausah liat gimana mayat mama sama papa disana. Terus aku minta tolong sama tetangga aku, kami stay disana sampe polisi dan lain lainnya dateng. Tanteku juga sama suaminya. Winne waktu itu masih bingung, sampe sekarang aku belum jelasin kemana papa sama mama.” Wriothesley berhenti sebentar.

“aku suruh Winne nutup mata, telinga sama mulutnya aku tutupin waktu kami sembunyi... jadi yah gitu, dia ga tau kalau mayat mama ada di depan kami waktu kami sembunyi. Aku juga gabisa nangis, kalau aku nangis nanti Winne juga ikut nangis”

“semenjak waktu itu, rumahku secara emosional engga ada. Aku rasa itu kali ya kak yang bikin aku selalu cape” Wriothesley terkekeh kecil.

“ah, hujannya makin deres ya?” ucapnya untuk mengalihkan pembicaraan sebelum menghela nafas kasar.

“uhmm, maaf ya kak?? aku tiba tiba cerita begituan.”

“engga, maaf ya udah bikin kamu cerita... i-itu berat banget”

“Kakak orang pertama selain keluarga aku yang tau cerita ini” ucap Wriothesley dan lagi lagi ia terkekeh kecil.

Neuvillette kemudian melirik pada Wriothesley yang tengah menatap langit langit kamarnya. Tangannya bergerak untuk mengelus rambut tebal milik Wriothesley.

“you've been doing so well, im proud of you” Wriothesley terdiam lalu menatap Neuvillette dengan mata berkaca kaca. ia terkekeh kecil lalu memejamkan matanya, setetes air mata jatuh dari sudut matanya yang segera diusap oleh Neuvillette menggunakan ibu jarinya.

“kakak jangan kasihan sama aku ya, tetap perlakuin aku kaya biasa. aku benci di kasihanin” Neuvillette menggangguk sembari melihat Wriothesley yang tengah berbaring di matras bawah. ibu jarinya masih mengusap usap pipi Wriothesley.

Kalau boleh, aku mau jadi tempat yang bisa kamu jadiin rumah kamu secara emosional, Wrio” batin Neuvillette.

Tak beberapa lama, Neuvillette tak lagi mampu menahan kantuknya. ia kemudian tertidur dengan tangan yang masih keluar dari rangka tempat tidur, tepatnya di atas Wriothesley. Wrio kemudian tersenyum, Tangan dinginnya terangkat untuk mengenggam tangan Neuvillette yang mengarah padanya.

aku mau kakak yang jadi rumahku” batinnya, sebelum ia jatuh tertidur juga sembari mengenggam tangan hangat milik Neuvillette.

“Heather” . . . .

Neuvillette terduduk diam di tengah tengah hiruk pikuk cafe, menganalisis kedua pasang manusia yang serasi di hadapannya tengah melempar candaan pada satu sama lain seolah olah keberadaan dirinya tak ada. Lalu apa tujuannya untuk dia berada disini.

“navia” panggil Neuvillette, si gadis berambut pirang itu pun kemudian mendadak gugup. Tangannya mencubit paha Wriothesley yang duduk di sebelahnya.

“mana yang mau dibahas?” tanya Neuvillette, ia sedang menyembunyikan perasaan kesalnya yang tak berdasar dengan tersenyum tipis dan berpura pura tidak menganggap kehadiran Wriothesley. Dari ujung matanya, Neuvillette dapat merasakan mata biru yang dingin itu tak pernah melepas tatapannya.

Navia kemudian memutar laptop nya ke arah Neuvillette lalu mulai membicarakan mengenai tugas yang sedang ia kerjakan. Mereka saling bertukar pendapat dan Neuvillette terlihat menikmati memberi saran kepada adik kelasnya itu. Sedangkan Wriothesley hanya memerhatikan mereka berdua, ah tidak. Lebih tepatnya, memerhatikan Neuvillette. Kulitnya yang pucat dan halus, hidung mancung seperti dipahat, bulu mata yang lentik, mata Violetnya yang teduh. Tanpa ia sadari, Wriothesley menghela nafas kasar. Jantung nya berdetak begitu kencang hingga ia sulit bernafas.

“wrio? lo? ada yang mau lo tanyain gak?” Navia memecah lamunannya, Wriothesley tersentak dan mendadak seperti orang bingung. Wajahnya memerah dan ia hanya dapat menggeleng, lidahnya kelu ketika beradu tatap dengan Neuvillette.

“udah itu aja navia?” tanya Neuvillette, Navia hanya mengangguk. Wriothesley hanya menyandarkan kepalanya pada kaca jendela, malas menanggapi.

“makasih ya kak” Neuvillette hanya mengangguk lalu menyesap teh peach yang ia pesan tadi.

Dalam hati Neuvillette, ia merasa sedikit sedih. Wriothesley tidak memerhatikan nya padahal ia sudah berpakaian rapi hari ini. ia memerhatikan Navia yang duduk di hadapannya, matanya biru seperti langit tanpa awan. Rambut pirangnya yang halus dan dicatok bergelombang. benar benar pantas untuk bersanding dengan Wriothesley yang tampan dan gagah, pikir Neuvillette. Navia juga begitu ceria, membuat siapapun yang berada di sekitarnya nyaman. Beda dengan dirinya yang cenderung diam dan.... muram?

“ah iya, aku duluan ya” ucap Neuvillette sembari bangkit dari duduknya dan mengeluarkan dompet dari dalam tas nya, wajah Wriothesley mendadak sedih. Navia juga bangkit dari duduknya.

“makanannya-”

“gapapa, kali ini aku traktir. semangat nugas nya ya semua” Neuvillette tersenyum tipis, memotong kalimat Navia dan segera pergi untuk membayar makanan dan meninggalkan cafe. Moodnya sedang tidak baik.

Hujan lagi lagi turun, untungnya kali ini ia sudah sampai halte.

“Heather” . . . .

Neuvillette terduduk diam di tengah tengah hiruk pikuk cafe, menganalisis kedua pasang manusia yang serasi di hadapannya tengah melempar candaan pada satu sama lain seolah olah keberadaan dirinya tak ada. Lalu apa tujuannya untuk dia berada disini.

“navia” panggil Neuvillette, si gadis berambut pirang itu pun kemudian mendadak gugup. Tangannya mencubit paha Wriothesley yang duduk di sebelahnya.

“mana yang mau dibahas?” tanya Neuvillette, ia sedang menyembunyikan perasaan kesalnya yang tak berdasar dengan tersenyum tipis dan berpura pura tidak menganggap kehadiran Wriothesley. Dari ujung matanya, Neuvillette dapat merasakan mata biru yang dingin itu tak pernah melepas tatapannya.

Navia kemudian memutar laptop nya ke arah Neuvillette lalu mulai membicarakan mengenai tugas yang sedang ia kerjakan. Mereka saling bertukar pendapat dan Neuvillette terlihat menikmati memberi saran kepada adik kelasnya itu. Sedangkan Wriothesley hanya memerhatikan mereka berdua, ah tidak. Lebih tepatnya, memerhatikan Neuvillette. Kulitnya yang pucat dan halus, hidung mancung seperti dipahat, bulu mata yang lentik, mata Violetnya yang teduh. Tanpa ia sadari, Wriothesley menghela nafas kasar. Jantung nya berdetak begitu kencang hingga ia sulit bernafas.

“wrio? lo? ada yang mau lo tanyain gak?” Navia memecah lamunannya, Wriothesley tersentak dan mendadak seperti orang bingung. Wajahnya memerah dan ia hanya dapat menggeleng, lidahnya kelu ketika beradu tatap dengan Neuvillette.

“udah itu aja navia?” tanya Neuvillette, Navia hanya mengangguk. Wriothesley hanya menyandarkan kepalanya pada kaca jendela, malas menanggapi.

“makasih ya kak” Neuvillette hanya mengangguk lalu menyesap teh peach yang ia pesan tadi.

Dalam hati Neuvillette, ia merasa sedikit sedih. Wriothesley tidak memerhatikan nya padahal ia sudah berpakaian rapi hari ini. ia memerhatikan Navia yang duduk di hadapannya, matanya biru seperti langit tanpa awan. Rambut pirangnya yang halus dan dicatok bergelombang. benar benar pantas untuk bersanding dengan Wriothesley yang tampan dan gagah, pikir Neuvillette. Navia juga begitu ceria, membuat siapapun yang berada di sekitarnya nyaman. Beda dengan dirinya yang cenderung diam dan.... muram?

“ah iya, aku duluan ya” ucap Neuvillette sembari bangkit dari duduknya dan mengeluarkan dompet dari dalam tas nya, wajah Wriothesley mendadak sedih. Navia juga bangkit dari duduknya.

“makanannya-”

“gapapa, kali ini aku traktir. semangat nugas nya ya semua” Neuvillette tersenyum tipis, memotong kalimat Navia dan segera pergi untuk membayar makanan dan meninggalkan cafe. Moodnya sedang tidak baik.

Hujan lagi lagi turun tapi untungnya kali ini ia sudah sampai halte.

“Heather” . . . .

Neuvillette terduduk diam di tengah tengah hiruk pikuk cafe, menganalisis kedua pasang manusia yang serasi di hadapannya tengah melempar candaan pada satu sama lain seolah olah keberadaan dirinya tak ada. Lalu apa tujuannya untuk dia berada disini.

“navia” panggil Neuvillette, si gadis berambut pirang itu pun kemudian mendadak gugup. Tangannya mencubit paha Wriothesley yang duduk di sebelahnya.

“mana yang mau dibahas?” tanya Neuvillette, ia sedang menyembunyikan perasaan kesalnya yang tak berdasar dengan tersenyum tipis dan berpura pura tidak menganggap kehadiran Wriothesley. Dari ujung matanya, Neuvillette dapat merasakan mata biru yang dingin itu tak pernah melepas tatapannya.

Navia kemudian memutar laptop nya ke arah Neuvillette lalu mulai membicarakan mengenai tugas yang sedang ia kerjakan. Mereka saling bertukar pendapat dan Neuvillette terlihat menikmati memberi saran kepada adik kelasnya itu. Sedangkan Wriothesley hanya memerhatikan mereka berdua, ah tidak. Lebih tepatnya, memerhatikan Neuvillette. Kulitnya yang pucat dan halus, hidung mancung seperti dipahat, bulu mata yang lentik, mata Violetnya yang teduh. Tanpa ia sadari, Wriothesley menghela nafas kasar. Jantung nya berdetak begitu kencang hingga ia sulit bernafas.

“wrio? lo? ada yang mau lo tanyain gak?” Navia memecah lamunannya, Wriothesley tersentak dan mendadak seperti orang bingung. Wajahnya memerah dan ia hanya dapat menggeleng, lidahnya kelu ketika beradu tatap dengan Neuvillette.

“udah itu aja navia?” tanya Neuvillette, Navia hanya mengangguk. Wriothesley hanya menyandarkan kepalanya pada kaca jendela, malas menanggapi.

“makasih ya kak” Neuvillette hanya mengangguk lalu menyesap teh peach yang ia pesan tadi.

Dalam hati Neuvillette, ia merasa sedikit sedih. Wriothesley tidak memerhatikan nya padahal ia sudah berpakaian rapi hari ini. ia memerhatikan Navia yang duduk di hadapannya, matanya biru seperti langit tanpa awan. Rambut pirangnya yang halus dan dicatok bergelombang. benar benar pantas untuk bersanding dengan Wriothesley yang tampah dan gagah, pikir Neuvillette.

“ah iya, aku duluan ya” ucap Neuvillette sembari bangkit dari duduknya dan mengeluarkan dompet dari dalam tas nya, wajah Wriothesley mendadak sedih. Navia juga bangkit dari duduknya.

“makanannya-”

“gapapa, kali ini aku traktir. semangat nugas nya ya semua” Neuvillette tersenyum tipis, memotong kalimat Navia dan segera pergi untuk membayar makanan dan meninggalkan cafe. Moodnya sedang tidak baik.

Hujan lagi lagi turun tapi untungnya kali ini ia sudah sampai halte.

“I read him like a book and he's a clueless little kid”

“udah kak?” suara manis membelai gendang telinga Neuvillette disertai senyum manis dari yang lebih muda. Neuvillette mengangguk lalu perhatiannya berpindah pada kantong plastik bening teh manis yang sedari tadi Wriothesley genggam erat erat.

“kakak mau?” ia menawarkan, Neuvillette menggeleng sebelum keduanya berjalan menuju parkiran.

Wriothesley kemudian memberikan salah satu helmnya pada Neuvillette, membiarkan Neuvillette memakai helmnya namun sepertinya helmnya kebesaran di kepala nya. Neuvillette sedikit bingung bagaimana cara mengencangkan kaitannya, takut sewaktu waktu helm bisa saja lepas dari kepalanya.

“wrio... ini cara kencenginnya gimana?” tanya Neuvillette, Wrio yang sedang mengemas barangnya kemudian berbalik menghadap Neuvillette.

“sebentar, izin ya kak?” tanyanya lalu dijawab oleh Neuvillette dengan anggukan, Tangan Wriothesley kemudian bergerak untuk membantu mengencangkan kaitan pada helmnya. ia membantu Neuvillette memakai ulang helmnya dan mengencangkan kaitannya. Tak lupa merapikan rambut Neuvillette yang tadi menghalangi mata dan paras indahnya.

“pas?”

“pas”

Neuvillette bersemu merah, jantungnya tiba tiba sekali berdegup kencang diikuti dengan perasaan yang menggelitiki rongga dadanya. Wriothesley kembali berkemas, mengeluarkan jaketnya dan memberikannya pada Neuvillette.

“loh? kamu ga pake?” tanya Neuvillette ketika Wriothesley menyodorkan Jaketnya.

“kakak aja, aku udah biasa gapake jaket kalau naik motor” ucap Wriothesley sembari tersenyum manis hingga matanya menyipit.

“tapi-”

“udah, pake. nanti masuk angin” lagi lagi tubuh Neuvillette kaku ketika Wriothesley membalut jaket hangatnya pada tubuh Neuvillette yang lebih rampingnya. Lengannya sedikit kebesaran membuat setengah dari telapak tangan Neuvillette tenggelam dan wangi sabun... green tea?? entahlah, Neuvillette diam diam menghirup dalam dalam wangi greentea yang berasal dari jaket Wriothesley. Pikirannya menjadi tenang.

Selama perjalanan mereka hanya diam, tak sadar kalau keduanya sesekali saling mengawasi satu sama lain lewat pantulan kaca spion. Neuvillette merasa beban yang berada di punggungnya seolah olah lebih ringan saat ini. Angin malam seakan menyapu bebannya juga. Ia sesekali memejamkan matanya, sembari kembali menghirup aroma greentea yang menenangkan pikirannya.

“kak... disini kah?” tak terasa saja sudah sampai di depan gerbang rumahnya, jujur saja ia merasa sedikit kecewa karena waktu berjalan terasa cepat, namun disisi lain ia merasa khawatir dengan Wriothesley dan adiknya jika mereka pulang terlalu larut.

Tak berapa lama Furina dan Sigewinne keluar sembali bergandeng tangan. Mendapati kedua kakaknya tengah berinteraksi layaknya pasangan, mereka berdua memutuskan untuk bersembunyi di balik pagar sembali cekikikan kecil. Melihat bagaimana Wriothesley membantu melepaskan helm dari Kepala Neuvillette dan Neuvillette yang membalut tubuh kekar milik Wriothesley dengan jaketnya karena khawatir dia masuk angin.

“kakak cantik banget deh, mau aku cium”

“hah”

“maaf kak, aku ngingau”

Suara cekikikan semakin besar, Keduanya kemudian tersadar bahwa kedua adik mereka sedari tadi memperhatikan mereka. Pipi keduanya kemudian memerah, Wriothesley mengalihkan pembicarannya dengan sengaja pamit sembari menunggu Sigewinne yang berjalan dengan tatapan lucu nya dan Neuvillette yang hanya menganggukkan kepalanya sembari membekap mulut Furina yang seperti orang kesurupan berusaha lepas dari jeratan Neuvillette.

Baru kali ini Neuvillette membaca seseorang dengan teliti. Seperti baru saja mendapat buku baru, Neuvillette merasa penasaran dengan isi buku tersebut. Akan ia jadikan sebagai buku Favoritnya, sudah pasti.

“his laugh you'd die for, the kind that colors the sky” . . . . . Wriothesley hanya menyengir lebar ketika dirinya tertangkap basah terlambat oleh sang pujaan hati.

“hehe... kakak...” sapa nya lembut, Neuvillette menahan senyumnya melihat senyum hangat Wriothesley di tengah cuaca mendung pagi hari.

“kenapa telat?” tanya Neuvillette tegas, masih memasang wajah tanpa senyumnya.

“tadi agak macet kak, di depan sekolah nya Sigewinne. Biasanya enggak” jawabnya sembari menghela nafas gusar.

“yaudah, sana baris”

Tanpa berkata babibu, Wriothesley langsung mengambil barisannya. Ia mengambil barisan paling belakang.

Selama di beri pencerahan dan menjalankan sangsi berupa squatjump 30 kali, netra Violet milik Neuvillette tak pernah sedetik pun lepas dari Wriothesley. Dunia disekitarnya seakan berkabut. Matanya bekerja layaknya fokus pada kamera yang hanya terpaku pada satu objek.

Matanya bertemu dengan manik abu abu milik Wriothesley sesaat, membuatnya tersadar dan kembali pada kenyataan. Keduanya sama sama jago bersandiwara. Di balik ekspresi wajah yang datar dan acuh, terdapat jantung yang bekerja keras dalam merespon hormon yang tengah naik ketika melihat satu sama lain.

Setelah menjalani hukuman dan mendengar ceramah dengan setengah hati. Wriothesley kemudian mengambil tas ranselnya yang ia letak di pinggir lapangan, matanya menyusuri daerah sekitarnya. Sedikit kecewa ketika tak mendapati eksistensi sesosok terkasihnya.

“Wriothesley” itu dia, suara sang pemilik hati. Wriothesley menoleh ke arah belakang, senyum tak pernah luntur dari bibirnya ketika netranya menangkap Neuvillette dalam jarak pandangnya.

“halo kak” sapanya ramah, suaranya lembut sekali.

“sebentar” Neuvillette lalu memegang lengan Wriothesley. Wriothesley sempat kaget, namun ia biarkan. Tangan Neuvillette begitu halus ketika bersentuhan dengan kulit lengannya. Ternyata Neuvillette melepas sticker yang ditempelkan Sigewinne di lengannya dan juga punggungnya, bahkan ada yang masih lengket di pipi nya namun ia tak sadar.

Neuvillette tersenyum tipis ketika melepas sticker sticker dari Wriothesley yang menjadi korban kejahilan adiknya sendiri. Sedangkan Wriothesley reflek menahan nafasnya, ia juga tak tau kenapa. Jantungnya rasanya akan berlari melompat keluar dari dadanya.

Setelah selesai dengan sticker sticker nya, Neuvillette kemudian beralih untuk membantu Wriothesley memasang seragamnya dengan benar. Diperbaikinya dasi yang melingkar di kerah Wriothesley secara hati hati. Dengan begitu, Wriothesley lebih terlihat seperti anak sekolah dibandingkan preman sekolah.

Wriothesley kemudian tersenyum ketika dirasanya Neuvillette sudah selesai.

“kenapa kak?” tanya Wriothesley, matanya menatap ke arah bawa sedikit. menatap manik mata bewarna Violet tersebut. Keduanya memiliki tinggi badan yang tak terlalu jauh, tapi tetap saja Wriothesley lebih tinggi.

“biar rapi” ucap Neuvillette lalu menurunkan tangannya dari dasi milik Wriothesley. Wriothesley tertawa kecil, tangannya bergerak mengusak surai putih milik Neuvillette.

“Duluan ya” ucap Wriothesley lalu berlari menuju kelasnya, meninggalkan Neuvillette yang berdiri mematung di pinggir halaman dengan kedua belah pipih memerah layaknya Delima. Sticker yang tadi tidak ia buang, melainkan ia simpan di balik case bening ponselnya.

ia menunduk dan tersenyum kecil ketika menyimpan sticker tersebut.

archon, aku rela mati untuk bisa denger ketawa itu lagi” dan langit yang sedari tadi mendung pun perlahan mencerah. Tidak terik, namun hangat dan sejuk.

“kakak ternyata kakaknya furina hehe” Wriothesley nyengir tanpa henti sedangkan Sigewinne menatap Neuvillette dari atas hingga bawah dengan tatapan penuh kagum, matanya berkilauan. Furina mirip sekali dengan kakaknya, sama sama cantik, pikir Sigewinne.

Sigewinne lalu memalingkan pandangan pada sang kakak yang sedari tadi mengenggam tangannya, tangan Wriothesley yang jauh lebih besar dari tangan mungilnya terasa lembab dan sedikit gemetar. 'padahal tadi kakak tidak begitu?' pikir Sigewinne.

Neuvillette hanya tersenyum kecil kearah keduanya, senyum Neuvillette mampu membuat adik kakak tersebut melayang sebelum jeritan antusias Furina membawa mereka kembali pada kenyataan. Setelah itu langsung saja Sigewinne lari dan berhati hati memeluk Furina yang berada pada ranjang rumah sakit.

Ketika adik mereka berdua sibuk pada urusannya masih masing, kakak mereka sibuk mencuri curi pandang antar satu sama lain. Wriothesley beberapa kali tertangkap basah oleh Neuvillette ketika ia tengah menatap dirinya.

“mana dek, kue untuk furina??” tanya Wriothesley, Sigewinne kemudian mengerutkan dahinya.

“loh, bukannya kakak bawain??” Wriothesley kemudian menghela nafas gusar. Kue yang sengaja mereka beli untuk Furina malah ketinggalan di motor Wriothesley. Ia terpaksa harus turun ke parkiran untuk mengambil strawberry cheesecake tersebut, tapi tidak masalah. untuk adik ipar, eh calon adik ipar maksudnya.

“kak, sebentar ya. aku ambilin kue untuk Furina dulu” ucap Wriothesley, Neuvillette mengangguk sedangkan Furina sudah menatap Wriothesley dengan mata berbinar.

“ada kue??” tanya Furina antusias, Wriothesley dan Sigewinne mengangguk. Tepat setelah itu, Wriothesley segera meninggalkan ruangan dan turun ke parkiran.

Tak lama ia kembali dan menyodorkan sekotak kue yang terbungkus rapi dan cantik pada Furina, namun setelah di terima Furina, kue nya di rampas Neuvillette.

“makan siang dulu” ucap Neuvillette tegas, namun tetap lembut. Furina hanya mencebik kesal, Wriothesley tertawa kecil melihat interaksi kedua kakak beradik tersebut.

“purin, itu kue nya enak loh!! kakak bawain tiap hari habis pulang kerja untuk aku!!” ucap Sigewinne membuat Neuvillette menatap Wriothesley dengan tatapan penuh tanda tanya 'kerja?' pikirnya.

“kamu kerja wrio?” suara lembut Neuvillette mengalun, tak menganggu seisi ruangan hanya dapat didengar Wriothesley.

“oh? itu? hmm... magang doang kak, di cafe tante” Neuvillette mengangguk tanda mengerti.

“Furina juga mau kue” ucap Furina sembari memajukan bibirnya beberapa senti kedepan.

“iya, nanti kakak bawain juga ya. kakak titipin ke Sigewinne” Furina kemudia tersenyum cerah sekali ke arah Wriothesley.

“makasih kak wrioo” ucap Furina sembari tersenyum manis.

“Furina, jangan nyusahin wrio. kamu kan tiap hari udah kakak bawain kue juga” ucap Neuvillette.

“tapi Furina mau kue dari kak wrio!!” ucap Furina, Wriothesley lagi lagi tertawa.

“gapapa kak, nanti aku bawain untuk Furina sama kakak juga.” ucap Wriothesley setengah bercanda.

“gasuka makanan manis” balas Neuvillette yang membuat Wriothesley hanya mengangguk anggukkan kepalanya tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun lagi.

***

“kak” panggil Sigewinne sembari mengenggam tangan Wriothesley, Wriothesley kemudian menunduk menatap adiknya.

“hmm?”

“kata kak neuvi, kakak baik banget” Wriothesley tersenyum kecil mendengarnya.

“oh iya? kapan kak neuvi bilang gitu?”

“waktu kakak ngambil kue untuk furina!” Sigewinne berkata dengan riang.

“terus, apalagi kata kak neuvi?” tanya sang kakak.

“uhmm... katanya kak neuvi mau ngomong sama kakak, tapi kak neuvi malu” Sigewinne lalu cekikikan, Wriothesley tertawa kecil mendengarnya.

“terus??” Wriothesley tak henti hentinya bertanya.

“nanya mulu kak, kaya dora”

“yeu, emang ga boleh nanyain orang yang kakak suka ya?”

“kalau suka pacaran dong!!”

“kalau dua duanya suka baru pacaran sigewinne, udah ah. siapa yang ngajarin kamu ngerti pacaran gitu?”

“Furina!!”

“kakak ternyata kakaknya furina hehe” Wriothesley nyengir tanpa henti sedangkan Sigewinne menatap Neuvillette dari atas hingga bawah dengan tatapan penuh kagum, matanya berkilauan. Furina mirip sekali dengan kakaknya, sama sama cantik, pikir Sigewinne.

Sigewinne lalu memalingkan pandangan pada sang kakak yang sedari tadi mengenggam tangannya, tangan Wriothesley yang jauh lebih besar dari tangan mungilnya terasa lembab dan sedikit gemetar. 'padahal tadi kakak tidak begitu?' pikir Sigewinne.

Neuvillette hanya tersenyum kecil kearah keduanya, senyum Neuvillette mampu membuat adik kakak tersebut melayang sebelum jeritan antusias Furina membawa mereka kembali pada kenyataan. Setelah itu langsung saja Sigewinne lari dan berhati hati memeluk Furina yang berada pada ranjang rumah sakit.

Ketika adik mereka berdua sibuk pada urusannya masih masing, kakak mereka sibuk mencuri curi pandang antar satu sama lain. Wriothesley beberapa kali tertangkap basah oleh Neuvillette ketika ia tengah menatap dirinya.

“mana dek, kue untuk furina??” tanya Wriothesley, Sigewinne kemudian mengerutkan dahinya.

“loh, bukannya kakak bawain??” Wriothesley kemudian menghela nafas gusar. Kue yang sengaja mereka beli untuk Furina malah ketinggalan di motor Wriothesley. Ia terpaksa harus turun ke parkiran untuk mengambil strawberry cheesecake tersebut, tapi tidak masalah. untuk adik ipar, eh calon adik ipar maksudnya.

“kak, sebentar ya. aku ambilin kue untuk Furina dulu” ucap Wriothesley, Neuvillette mengangguk sedangkan Furina sudah menatap Wriothesley dengan mata berbinar.

“ada kue??” tanya Furina antusias, Wriothesley dan Sigewinne mengangguk. Tepat setelah itu, Wriothesley segera meninggalkan ruangan dan turun ke parkiran.

Tak lama ia kembali dan menyodorkan sekotak kue yang terbungkus rapi dan cantik pada Furina, namun setelah di terima Furina, kue nya di rampas Neuvillette.

“makan nasi dulu” ucap Neuvillette tegas, namun tetap lembut. Furina hanya mencebik kesal, Wriothesley tertawa kecil melihat interaksi kedua kakak beradik tersebut.

“purin, itu kue nya enak loh!! kakak bawain tiap hari habis pulang kerja untuk aku!!” ucap Sigewinne membuat Neuvillette menatap Wriothesley dengan tatapan penuh tanda tanya 'kerja?' pikirnya.

“kamu kerja wrio?” suara lembut Neuvillette mengalun, tak menganggu seisi ruangan hanya dapat didengar Wriothesley.

“oh? itu? hmm... magang doang kak, di cafe tante” Neuvillette mengangguk tanda mengerti.

“Furina juga mau kue” ucap Furina sembari memajukan bibirnya beberapa senti kedepan.

“iya, nanti kakak bawain juga ya. kakak titipin ke Sigewinne” Furina kemudia tersenyum cerah sekali ke arah Wriothesley.

“makasih kak wrioo” ucap Furina sembari tersenyum manis.

“Furina, jangan nyusahin wrio. kamu kan tiap hari udah kakak bawain kue juga” ucap Neuvillette.

“tapi Furina mau kue dari kak wrio!!” ucap Furina, Wriothesley lagi lagi tertawa.

“gapapa kak, nanti aku bawain untuk Furina sama kakak juga.” ucap Wriothesley setengah bercanda.

“gasuka makanan manis” balas Neuvillette yang membuat Wriothesley hanya mengangguk anggukkan kepalanya tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun lagi.

***

“kak” panggil Sigewinne sembari mengenggam tangan Wriothesley, Wriothesley kemudian menunduk menatap adiknya.

“hmm?”

“kata kak neuvi, kakak baik banget” Wriothesley tersenyum kecil mendengarnya.

“oh iya? kapan kak neuvi bilang gitu?”

“waktu kakak ngambil kue untuk furina!” Sigewinne berkata dengan riang.

“terus, apalagi kata kak neuvi?” tanya sang kakak.

“uhmm... katanya kak neuvi mau ngomong sama kakak, tapi kak neuvi malu” Sigewinne lalu cekikikan, Wriothesley tertawa kecil mendengarnya.

“terus??” Wriothesley tak henti hentinya bertanya.

“nanya mulu kak, kaya dora”

“yeu, emang ga boleh nanyain orang yang kakak suka ya?”

“kalau suka pacaran dong!!”

“kalau dua duanya suka baru pacaran sigewinne, udah ah. siapa yang ngajarin kamu ngerti pacaran gitu?”

“Furina!!”

“kakak ternyata kakaknya furina hehe” Wriothesley nyengir tanpa henti sedangkan Sigewinne menatap Neuvillette dari atas hingga bawah dengan tatapan penuh kagum, matanya berkilauan. Furina mirip sekali dengan kakaknya, sama sama cantik, pikir Sigewinne.

Sigewinne lalu memalingkan pandangan pada sang kakak yang sedari tadi mengenggam tangannya, tangan Wriothesley yang jauh lebih besar dari tangan mungilnya terasa lembab dan sedikit gemetar. 'padahal tadi kakak tidak begitu?' pikir Sigewinne.

Neuvillette hanya tersenyum kecil kearah keduanya, senyum Neuvillette mampu membuat adik kakak tersebut melayang sebelum jeritan antusias Furina membawa mereka kembali pada kenyataan. Setelah itu langsung saja Sigewinne lari dan berhati hati memeluk Furina yang berada pada ranjang rumah sakit.

Ketika adik mereka berdua sibuk pada urusannya masih masing, kakak mereka sibuk mencuri curi pandang antar satu sama lain. Wriothesley beberapa kali tertangkap basah oleh Neuvillette ketika ia tengah menatap dirinya.

“mana dek, kue untuk furina??” tanya Wriothesley, Sigewinne kemudian mengerutkan dahinya.

“loh, bukannya kakak bawain??” Wriothesley kemudian menghela nafas gusar. Kue yang sengaja mereka beli untuk Furina malah ketinggalan di motor Wriothesley. Ia terpaksa harus turun ke parkiran untuk mengambil strawberry cheesecake tersebut, tapi tidak masalah. untuk adik ipar, eh calon adik ipar maksudnya.

“kak, sebentar ya. aku ambilin kue untuk Furina dulu” ucap Wriothesley, Neuvillette mengangguk sedangkan Furina sudah menatap Wriothesley dengan mata berbinar.

“ada kue??” tanya Furina antusias, Wriothesley dan Sigewinne mengangguk. Tepat setelah itu, Wriothesley segera meninggalkan ruangan dan turun ke parkiran.

Tak lama ia kembali dan menyodorkan sekotak kue yang terbungkus rapi dan cantik pada Furina, namun setelah di terima Furina, kue nya di rampas Neuvillette.

“makan nasi dulu” ucap Neuvillette tegas, namun tetap lembut. Furina hanya mencebik kesal, Wriothesley tertawa kecil melihat interaksi kedua kakak beradik tersebut.

“purin, itu kue nya enak loh!! kakak bawain tiap hari habis pulang kerja untuk aku!!” ucap Sigewinne membuat Neuvillette menatap Wriothesley dengan tatapan penuh tanda tanya 'kerja?' pikirnya.

“kamu kerja wrio?” suara lembut Neuvillette mengalun, tak menganggu seisi ruangan hanya dapat didengar Wriothesley.

“oh? itu? hmm... magang doang kak, di cafe tante” Neuvillette mengangguk tanda mengerti.

“Furina juga mau kue” ucap Furina sembari memajukan bibirnya beberapa senti kedepan.

“iya, nanti kakak bawain juga ya. kakak titipin ke Sigewinne” Furina kemudia tersenyum cerah sekali ke arah Wriothesley.

“makasih kak wrioo” ucap Furina sembari tersenyum manis.

“Furina, jangan nyusahin wrio. kamu kan tiap hari udah kakak bawain kue juga” ucap Neuvillette.

“tapi Furina mau kue dari kak wrio!!” ucap Furina, Wriothesley lagi lagi tertawa.

“gapapa kak, nanti kakak juga aku bawain.” ucap Wriothesley setengah bercanda.

“gasuka makanan manis” kata Neuvillette yang membuat Wriothesley hanya mengangguk anggukkan kepalanya tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun lagi.

***

“kak” panggil Sigewinne sembari mengenggam tangan Wriothesley, Wriothesley kemudian menunduk menatap adiknya.

“hmm?”

“kata kak neuvi, kakak baik banget” Wriothesley tersenyum kecil mendengarnya.

“oh iya? kapan kak neuvi bilang gitu?”

“waktu kakak ngambil kue untuk furina!” Sigewinne berkata dengan riang.

“terus, apalagi kata kak neuvi?” tanya sang kakak.

“uhmm... katanya kak neuvi mau ngomong sama kakak, tapi kak neuvi malu” Sigewinne lalu cekikikan, Wriothesley tertawa kecil mendengarnya.

“terus??” Wriothesley tak henti hentinya bertanya.

“nanya mulu kak, kaya dora”

“yeu, emang ga boleh nanyain orang yang kakak suka ya?”

“kalau suka pacaran dong!!”

“kalau dua duanya suka baru pacaran sigewinne, udah ah. siapa yang ngajarin kamu ngerti pacaran gitu?”

“Furina!!”