ABI.

this blog is belong to cuupidly on twitter for writing au 💗

“Kenapa lo milih mau kasih tau Hosea sendiri daripada gue yang nge-spill?” mata Grishelda menatap Eloise dengan penuh penasaran, sembari tangannya mengaduk-aduk gelas kopi yang ada dihadapannya.

“Hosea itu lebay. Kalo lo yang kasih tau sedangkan gue lebih dulu kasih tau lo daripada dia, bisa dibahas sampe anaknya ada tujuh biji di dunia.”

Grishelda terkekeh. “Iya sih, setuju.”

“Itu tadi cewek yang pernah gue kasih tau ke elo, by the way.”

“Nggak nyangka bakalan segenit itu sama Hosea.”

Eloise menyandarkan badannya. “Emang genit banget kaya gitu. Gue kadang gedeg sendiri liatnya. Cuman ya gue tau, Hosea emang kan nggak pernah ngerespon apapun, jadi ya fine fine aja sih.”

“Iya, gue juga nggak ada masalah. Apalagi abis dibilang jadi ‘calon cewek gue’ di depannya.”

Mereka sama-sama terkekeh.

“Terus terus, gimana Jeremiah nembak lo-nya?”

“Ya.. ya sebenernya cliché sih. Kaya kasih bunga mawar gitu se-bucket. Yang bikin gue salah tingkah setengah mampus tuh ya, ini cowok nembaknya pake kata-kata yang nggak lazim. Coba, kata-kata lazim yang biasanya lo denger kalo cowok nembak cewek kaya apa?”

Grishelda berpikir sejenak, “Hmm, will you be my girlfriend?”

Eloise mengangguk, “Nah, gitu kan. Tapi si Jeremiah ini nggak gitu.”

“Pake kata-kata marry ya?”

Eloise mendelik. “Nggak setolol itu juga!”

Grishelda terkekeh. “Terus apaan?”

“Dia pake kata-kata..” Eloise tersenyum sejenak jika mengingat bagaimana Jeremiah menjadikannya pacarnya semalam. “Can I be your boyfriend, your everything?”

Grishelda melongo, namun sejenak ia langsung menutup mulutnya dan tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Ia menyadari bahwa perlahan, muka Eloise mulai memerah —menjalar dari arah telinganya sampai ke pipi.

“Sialan banget itu cowok,” Grishelda berhenti dari kekehannya. “Gue nggak ditembak langsung kaya gitu aja salting banget, apalagi elo!”

Eloise hanya tersenyum kegirangan. “Ya gitu itu.”

“Apa lo nggak ada niatan buat nikahin tuh cowok saat itu juga?”

Tawa Eloise pecah. “Iya, ada banget lagi.”

Kini, Grishelda ikutan tertawa. Mereka berdua sama-sama tertawa tentang laki-laki yang menjadi pacar Eloise itu. Seorang Jeremiah yang terlihat kaku dan tidak peduli dengan sekitarnya bisa mengatakan hal yang sangat romantis pada Eloise merupakan sesuatu yang jarang. Itu lucu. Apalagi jika Hosea tau.

“Mukanya Jeremiah gimana?”

“Merah, merah banget. Gue rasa ada efek dari kita minum wine, tapi itu juga kayanya karena dia menyatakan perasaan deh.”

“Sumpah pasti lucu banget kalian,” Grishelda ikut menyenderkan bahunya. “Kalo gue ada disitu, pasti gue nangis.”

“Lebay!”

“Lo tau nggak sih Yis? Gue tuh sayang banget sama lo,” Grishelda menatap Eloise, matanya penuh dengan kebenaran. “Beneran se-sayang itu. Lo itu beneran kecintaan gue. Jadi, gue bangga banget lo akhirnya bisa mengalahkan rasa takut lo sendiri untuk berkomitmen,

“Lo selalu terlihat tegar, padahal gue tau serapuh apa diri lo. Jadi, gue bahagia banget lo menemukan Jeremiah, gue rasa dia bakalan bisa menjadi manusia yang lo andalkan dalam segala situasi dan kondisi. Gue percaya dia bisa.”

Eloise memanyunkan bibirnya, menahan tangisnya untuk turun namun tidak bisa. Tiba-tiba saja, air mata sudah berada di pipinya, mengalir. Isakannya mulai terdengar.

Grishelda berpindah posisi duduk —yang awalnya disebrang Eloise menjadi disebelah Eloise. Memeluk perempuan itu sambil mengelus perlahan punggungnya.

“Udah jangan nangis.”

“Ghu-hue nangis ka-hare-hena se-sehe-neng bisa tehe-menan sama lo, Cel!”

“Iya, Oyis.”

“Tehe-menan tehe-rus saha-ma guhu-e ya, Cel?”

“Pasti, Oyis sayang!”

Eloise mengusap air matanya dengan cepat dan menelan air ludahnya sendiri. Senyumnya mengembang. Matanya yang masih penuh dengan air itu menatap Grishelda dengan tatapan paling nyaman yang dia berikan untuk seseorang.

“Gue pastiin lo juga bakal bahagia kalo gue bahagia, Cel. You give me yourself, so I will give you the whole world.”

Kini, mereka berempat sedang makan bersama di bawah pohon rindang sambil mengobrol ringan tentang sekolah Minggu di gereja mereka masing-masing.

Btw, kalian nanti mau pergi kemana?” tanya Hosea. Tatapan matanya tertuju pada Grishelda yang sedang mengunyah makanannya.

“Mau jalan aja. Udah lama nggak jalan sama Icel.” jawab Eloise cepat.

“Lah iya, kemana?”

“HOSEA!”

Semua yang sedang fokus pada makanannya masing-masing pun akhirnya menoleh pada sumber suara, termasuk Eloise —meski dia hafal siapa pemilik suara tersebut.

Namanya Sherly, salah satu anak dari PHMJ. Sherly ini boleh dibilang naksir berat sama Hosea, dari dulu. Bahkan, Mama Papanya juga berusaha menyomblangkan Hosea dengan Sherly secara tersirat. Hosea sendiri peka jika Sherly naksir dirinya, namun, dia juga tidak bisa menolak mentah-mentah —asalkan Sherly ini masih dalam batasan.

“Kenapa Sher?”

“Kamu nanti jadi latihan basket?”

Mata Grishelda langsung mantap menuju Eloise —sedang Eloise sendiri langsung memberikan sinyal lewat matanya, memberitahu bahwa Sherly ini adalah orang yang Eloise maksud saat itu. Iya, Eloise pernah sekali bercerita tentang Sherly dan Hosea, agar Grishelda tidak kaget-kaget amat soal Sherly ini.

Jeremiah melanjutkan makan siangnya, tidak peduli soal Sherly. Grishelda menyeruput pelan kuah mie ayam pangsitnya, sedang Eloise ikut menatap Sherly yang sedang mengobrol dengan Hosea.

“Jadi.”

“Oh!” mata Sherly menuju Eloise. “Kamu nonton, Eloise?”

Eloise menggeleng, “Nggak.”

“Yah, kirain kamu mau nonton,” suaranya yang sok imut itu membuat Eloise muak. “Kalo Eloise nonton, aku juga mau lihat kamu latihan, Hosea.”

“Eloise nggak nonton gue,” Hosea menyeka mulutnya dengan tisu. Mangkuknya sudah kosong. “Oh iya Sher, kenalin, itu cowok yang lagi makan temen sekolah gue. Terus cewek ini calon pacar gue.”

Uhuk! Uhuk uhuk!

Eloise langsung membuka minuman milik Grishelda yang ada didepannya dan memberikannya pada Grishelda sambil mengelus punggungnya.

Hosea panik, ia juga ikutan mengelus punggung Grishelda.

“Hah?” Sherly menaikan alisnya. “Hosea? Nggak bol —”

“Udah Sher,” Eloise menjawab, matanya menatap Sherly tajam. Semua anak-anak di gereja mereka juga tahu bahwa Sherly hanya takut pada Eloise. “Jangan ganggu Hosea lagi.”

Sherly tidak menjawab secara lisan, namun langkah kakinya langsung terdengar.

“Gila lo,” Hosea membuka omongan saat Grishelda sudah baik-baik saja dari serangan dadakan Hosea tadi. “Lo ngapain gituin si Sherly?”

“Ngapain apanya? She needs to know her boundaries. Stop takut sama bokap nyokapnya, itu yang bikin dia makin nggak tau diri.”

“Gue setuju sama Eloise. Jangan lembek, Se.” Jeremiah akhirnya angkat bicara.

Hosea masih mengelus pelan lengan Grishelda, mengangguk. Matanya menatap Grishelda. “Calon cewekku ini udah nggak papa?”

“Bisa nggak kalo ngomong pake aba-aba dulu, Se.”

“Bisa, Sayang. Maaf ya bikin kaget.”

Eloise dan Jeremiah hanya bertukar pandang sebentar, tersenyum simpul.


*PHMJ: Pengurus Harian Majelis Jemaat. Para petinggi-petinggi Gereja yang bertugas untuk bertanggungjawab pada tiap Ibadah Hari Minggu/Ibadah Pelayanan Kategorial (Pelkat). Pelkat sendiri ada sesuai kategori masyarakat dalam Gereja, meliputi: 1. Persekutuan Anak (PA) = belum sekolah, TK sampai SD 2. Persekutuan Teruna (PT) = SMP dan SMA (sebelum peneguhan/SIDI) 3. Gerakan Pemuda (GP) = remaja setelah SIDI s.d. umur 35 tahun. 4. Persekutuan Kaum Perempuan (PKP) = perempuan mulai dari umur 35 tahun. 5. Persekutuan Kaum Bapak (PKB) = laki-laki mulai dari umur 35 tahun. 6. Persekutuan Kaum Lanjut Usia (PKLU) = bapak dan ibu mulai dari usia 60 tahun.

Thank you, Jeremiah.”

Dikeheningan menuju mobil, Eloise yang sudah sedikit merasa pusing karena minum wine, ia merasa harus mengatakan terima kasih kepada Jeremiah yang selalu membawanya ke berbagai tempat bagus. Bagi Eloise, itu merupakan sebuah effort.

What for?”

You always makes me happy. Kamu selalu bawa aku ke tempat-tempat nyaman, thank you so much for your effort. Ngeluangin waktu buat cari tempat, booking tempat, menurutku itu hal yang nggak bisa dilakuin sama semua orang. But you did it.”

It's because you deserve all of the effort, Eloise. You are that worth.”

Eloise tersipu malu. Jalanan yang sedikit remang itu tidak mampu menutupi betapa merahnya wajah Eloise.

Why do you think that I'm deserve it, Jeremiah?”

Because you are you. You really not only deserve that treatments, I also think that you deserve the world Eloise.”

Pipi Eloise makin panas. Ia sangat tahu bahwa kini wajahnya telah merah padam meski dia tidak sedang berkaca.

Stop it, Jeremiah. Aku ngerasain pipiku panas, kayanya mukaku udah merah sekarang.”

Jeremiah terkekeh pelan. Eloise sedikit mabuk sungguhlah sangat jujur.

You are really cute.”

Eloise sudah tidak mampu menjawab pernyataan-pernyataan yang dilempar Jeremiah. Ia rasanya hanya ingin menunduk, bahkan menenggelamkan dirinya ke dalam inti bumi karena dia sangat malu.

Eloise langsung merangkak ke dakam mobil sesaat setelah Jeremiah membukakan pintu penumpang untuknya. Ia langsung sejenak berkaca pada ponselnya, menemukan wajahnya sudah sangat merah. Semerah kepiting rebus.

Tanpa Eloise sadari, Jeremiah melangkahkan kakinya ke arah bagasi mobilnya dan membukanya. Ia mengintip Eloise yang masih sibuk berkaca dengan ponselnya, jadi Jeremiah langsung mengambil bucket mawar yang sudah dibeli olehnya saat perjalanan menjemput Eloise.

Eloise buru-buru menutup ponselnya kembali saat tahu pintu yang ada disampingnya kembali terbuka. Kini, Jeremiah langsung berlutut dengan bucket mawar merah itu ditangannya.

Eloise terperangah, tidak percaya.

“Eloise, I wanna be your boyfriend. I wanna know you more, I wanna taking care of you, I wanna be your human diary, or whatever you want me to be. May I?”

Tentu saja, dengan mata yang mulai berkaca-kaca, Eloise menganggukan kepalanya perlahan sambil menerima bucket yang diberikan oleh Jeremiah.

“Maaf, bunganya agak layu.”

Eloise terkekeh pelan, air matanya perlahan turun ke pipi yang langsung dihapus oleh ibu jari Jeremiah secepat mungkin.

Ssshhh, kenapa nangis?”

Eloise menggelengkan kepalanya. “You could be anything you wanted to be, Jeremiah. Whatever it is, as long as you are here, besides me, I will always want you.”

Thank you, Eloise.”

Thank you, Jeremiah.”

Sejak awal mereka masuk ke dalam restoran yang dituju —dengan senyum Eloise yang terus merekah itu, Jeremiah masih berpikir keras tentang para pegawai yang mengenali Eloise dengan baik. Tidak ada seorang pegawai pun yang tidak menyapa Eloise. Semuanya mengenali, menyapa, bahkan bertanya bagaimana kabar Eloise.

Apa ini restoran punya keluarganya, ya?

Jeremiah memilih salah satu restoran Italia terbaik di kota mereka. Posisinya memang lumayan jauh, hampir bersinggungan dengan kota lain. Jeremiah sengaja memilih restoran ini dikarenakan review yang diberikan oleh para customer di sini cukup bagus, dari pelayanan sampai makanannya. Setahu Jeremiah, Eloise juga sangat mencintai makanan Italia. Selain itu, restoran ini juga memiliki ambience yang bagus. Kaca-kaca tinggi dan lampu remang yang menghangatkan suasana itu sungguh menenangkan. Jadi, Jeremiah berpikir, akan sangat bagus untuk ngopi santai dan lanjut dinner dengan Eloise di sini.

“Mau langsung pesen? Atau mau minum-minum dulu?”

Eloise berpikir sejenak. “Ngeteh enak sih di sini,” matanya merujuk pada buku menu yang ada dihadapannya. “I recommend you their Chamomile, you will never taste any better chamomile ever if you already taste here.”

Jeremiah mengangguk-angguk paham. “So you already here few times?”

Perempuan itu mengangguk. “My Dad been work here, cuman panggilan untuk lima bulan but yes, me and Kendrick loved to dinner in here.”

Kini, Jeremiah mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan dibenaknya.

I see,” senyum Jeremiah mengembang. “Jadi mau pesen Chamomile sekarang?”

Eloise mengangguk dengan semangat. Jeremiah kemudian mengangkat tangannya, mengatakan bahwa mereka akan hanya pesan teh terlebih dahulu.

My Dad is a chef, if you maybe wondering.”

“Oh?” Jeremiah menatap Eloise. “So that's why you really loves food.”

Kekehan Eloise terdengar, namun perempuan itu mengangguk sebagai tanda mengiyakan.

My Dad is a chef and my Mom is an embassy,” Eloise menatap balik mata Jeremiah dengan lembut, senyumnya berubah menjadi senyum manis yang Jeremiah sukai. “That's why you will never meet them except Christmas.”

Your parents really cool.”

I think so. They are really cool.”

Senyum Jeremiah mengembang karena sorotan mata Eloise menyatakan sebuah ketulusan.

My Dad work in one famous Airline, and that's why I wanna be a pilot.”

Eloise mengerjapkan matanya berkali-kali, kemudian mengangguk-angguk. “That's cool! I thought you wanna be a basketball player, you know? Not here of course but somewhere overseas.”

I was,” senyum Jeremiah berubah menjadi senyuman tipis. “But after thinking it slowly, I get it why my Dad really want me to be a pilot.”

Parents know the best for their child, Jeremiah. Always. Nggak ada orang tua yang mau anak-anaknya sengsara.”

“Iya, sama kaya kata Mamaku. Mereka berpikir kalo misalkan jadi a basketball player will give me nothing, so...”

But I'm not agree with that, tho. Semua pekerjaan halal itu selalu ada berkat, jadi sebenernya nggak apa-apa jadi pebasket. Mungkin, Papa sama Mamamu mau kamu jadi yang terbaik, karena Papamu juga pasti udah menyiapkan segalanya buatmu, kan?”

“Iya. Itu yang selalu aku pikirin. Papaku tau yang terbaik buat aku.”

Obrolan-obrolan tentang orang tua mereka mengalir begitu saja. Sambil sesekali menyesap teh kebanggaan Eloise, mereka terus bercerita tanpa putus tentang apapun. Keluarga, teman, sekolah, masa depan dan banyak lagi.

Jeremiah makin mengenal Eloise, begitu pula sebaliknya. Tekadnya makin bulat untuk menyatakan perasaannya pada Eloise.

Masih dengan perasaan yang sama saat keduanya keluar untuk yang pertama kalinya, Jeremiah masih sangat merasa gugup diperjalanan menuju Eloise. Rasanya, telapak kakinya basah sekarang karena terlalu gugup. Ia bahkan sudah menghembuskan nafas panjang lebih dari lima kali.

Bagi Jeremiah, bertemu Eloise untuk pergi berkencan adalah perasaan yang sama ketika akan pergi ke pertandingan basket dan mendapatkan musuh yang sudah jelas track record-nya sangat bagus —tak tertandingi.

Mobilnya berhenti di depan pagar tinggi berwarna hitam itu. Rumah Eloise cukup besar dengan kesan minimalis yang mewah. Waktu awal ke rumah Eloise, Jeremiah cukup terkesima karena rumah yang Eloise huni terlihat cukup nyaman. Orang tua dari Eloise tentu adalah orang yang berkecukupan.

Jeremiah memberikan pesan pada Eloise, mengatakan bahwa Jeremiah sudah ada dibawah. Eloise menjawab tidak lama dari pesan Jeremiah terkirim, mengatakan tunggu sebentar.

Jeremiah keluar dari mobilnya, bersandar dikap mobil dan menyilangkan tangannya. Sebentar dia berpikir bahwa mobil putih ini mungkin yang akan sering Jeremiah gunakan karena kini dia sudah ada Eloise. Jeremiah ngeri sekali dengan pernyataan Ayahnya nanti —karena awalnya memang Jeremiah merengek meminta CBR-150, tapi biarlah, yang penting Eloise nyaman.

Anything for Eloise, batinnya.

Pagar rumah Eloise terbuka dan memunculkan sosok Eloise dengan baju crop top hitam dan rok pendek sepaha berwarna senada. Tas jinjing dan sepatunya pun juga berwarna senada, hitam. Eloise serba hitam-hitam hari ini.

Sama dengan Jeremiah, yang menggunakan outfit serba hitam dari atas hingga bawah.

Good evening Princess,” sapa Jeremiah, senyumnya mengembang sambil ia berjalan menuju pintu penumpang disebelah kiri. “Kok senada banget ya kita hari ini?”

Eloise nampaknya sudah sadar, jadi ia hanya mengangguk dengan cepat —tanda sangat setuju. “Ternyata feeling kita udah connected satu sama lain.”

Jeremiah terkekeh, membukakan pintu penumpang untuk Eloise.

Eloise mengangguk, tersenyum manis sambil mengatakan terima kasih sebelum Jeremiah menutup pintu mobil.

Setelahnya, Eloise melihat bahwa Jeremiah berlari kecil untuk membuka pintu pengemudi dan kemudian ikut merangkak masuk ke dalam mobil.

“Eloise udah laper?”

Eloise menggelengkan kepalanya. “Jeremiah udah?”

“Belum juga kok,” Jeremiah mulai melajukan mobilnya. “I just make sure that you are not hungry yet, because we will spend, at least, one hour to arrive there. So, if you already hungry, just tell me directly, okay?”

Eloise mengangguk paham. “Okay. No need to worry, Jeremiah. I ate my lunch.”

Jeremiah terkekeh. “I'm sure you did. One of things I love about you is you never skip any meals, that's good.”

Eloise tersenyum malu, membuang mukanya dengan alibi melihat jalanan yang ada disampingnya —berusaha menutupi mukanya yang kini mungkin sudah merah padam karena ucapan Jeremiah.

Sementara yang mengucapkan tanpa sadar itu masih fokus menyetir sambil terus tersenyum.

Kenneth berhenti di depan kamar yang penuh dengan warna biru pastel itu sambil keheranan. Dilihatnya Eloise, kakaknya itu, sedang berkaca sambil berdendang manis.

“Mau kemana lo?”

Eloise langsung buru-buru menoleh dan terlihat kaget. Rupanya, ia masih belum terbiasa ada laki-laki lain berkeliaran selain Kendrick, karena Kenneth masih belum ada sebulan di rumah ini.

“Kaget!” Eloise menghela nafasnya. “Mau jalan.”

“Kemana?”

Eloise mengendikan bahunya, mukanya menatap Kenneth dengan tatapan jail, “Rahasia.”

“Ikut do —”

“— nggak.” potong Eloise langsung.

Kenneth mengangguk paham, “Berarti mau keluar sama Bang Jere ini.”

“Apaan sih?” Eloise mulai mengusap lagi wajahnya menggunakan sunscreen. “Sok tau.”

“Kalo nggak sama Bang Jere, kenapa gue nggak boleh ikut?”

“Ya soalnya gue males aja lo ikut?”

“Awas aja sampe beneran jalan sama Bang Jere, gue ledekin sampe mampus.” kata Kenneth sambil berjalan menjauh.

Sedang yang diancam tidak peduli mau seberapa banyak adiknya itu meledeknya nanti —pikirannya hanya penuh dengan Jeremiah, Jeremiah dan Jeremiah.

Eloise sudah tidak bisa menahan tawanya saat laki-laki berkaus putih itu duduk dihadapannya.

Kenneth menatap Eloise keheranan, sengaja tidak menceritakan tentang apa yang sudah Jeremiah duga selama ini.

I know,” Jeremiah membuka mulutnya saat Eloise sudah tak lagi tertawa —mukanya memerah, namun senyumnya belum pudar. “Sorry, maaf, apapun itu, Eloise. I really thought he was your crush and I got jealous.”

Kenneth yang sedari tadi sibuk sendiri dengan ponselnya menoleh, kemudian matanya membelalak. “YOU ARE THAT JEREMIAH?” teriaknya kaget.

Jeremiah mengangguk, malu.

“Bang, kakak gue ini emang cakep banget, tapi sumpah, nggak waras. Mending kalo mau sama saudara sendiri, gue sama Kendrick aja.”

Jeremiah menghembuskan nafasnya, menatap Kenneth. “Sorry ya Ken. Gue beneran nggak tau,” terdengar nada penyesalan dalam permohonan maaf yang sudah dilakukan Jeremiah sekian kalinya itu. “Makanya, gue berniat mundur dari Eloise, karena sejujurnya gue juga minder sama lo.”

Senyum Kenneth mengembang, mengangguk. “Gue paham. Gue emang seganteng itu, lo wajar kalo salah tang —WOY APAAN DAH?” ujungnya, Kenneth berteriak lagi, karena Eloise melempar bulatan tisu yang sedikit basah karena ia gunakan untuk mengelap meja yang sedikit berair karena es yang mencair.

“Najis,” suara Eloise bernada rendah itu membuat Jeremiah menoleh pada perempuan itu lagi dan disambut dengan tatapan hangatnya. “Aku juga minta maaf karena nggak berusaha jelasin apapun. I thought you already knew about Kenneth from Hosea.”

Jeremiah tersenyum simpul. “It’s okay.”

“Lain kali,” Kenneth membenarkan posisi duduknya yang awalnya tegap menjadi bersandar pada tembok belakangnya. “Komunikasikan. You two. Belum juga jadian, masa udah putus aja?”

“Mulut lo dijaga ya!” sahut Eloise langsung.

“Ini pure karena kesalahan gue yang berasumsi macem-macem soal Eloise kok,” Jeremiah memberikan tatapan lembutnya pada Eloise —secara tidak sadar membuat pipi perempuan itu perlahan memerah. “Eloise, dengan segenap hati, aku minta maaf, ya? Aku janji nggak bakal childish kaya gini lagi. Lain kali, I will make sure everything to you first, biar kesalahan kecil yang berakibat fatal kaya gini nggak bakal keulang lagi.”

“Iya, makasih ya Jer? Lain kali juga, aku nggak bakal abu-abu. Aku bakal jelasin semuanya ke kamu.”

Mereka berdua saling adu pandang dan tersenyum, mengangguk. Batin mereka sama-sama berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi.

“Udah?” suara dari Kenneth itu memecah suasana romantis Eloise dan Jeremiah. “Nggak ada adegan ciumannya, gitu?”

Fuck you!” maki Eloise sambil matanya mencari-cari benda apa yang bisa ia lemparkan pada Kenneth.

Sedang Jeremiah terkekeh pelan melihat tingkah kedua manusia tersebut.

Keluarga Eloise memang cempaka, cemara tapi ada luka.

Freddich dan Rembulan memutuskan untuk pisah ranjang karena semakin banyak kesalahpahaman yang terjadi. Waktu Eloise berusia sebelas tahun, hampir tiap malam ia mendengar dering telfon dari Rembulan dan sentakan amarah dari Freddich. Rembulan saat itu bekerja di Kedutaan Besar Indonesia yang terletak di Jepang, jadi, dia jarang sekali pulang ke Indonesia yang menyebabkan langkah awal perselisihan mereka.

Eloise ingat benar, saat itu dia baru saja seminggu menjadi siswa di SMP, Freddich dan Rembulan membawa berita buruk. Mereka memutuskan untuk pisah ranjang, namun tidak bercerai. Sejak saat itu, Freddich langsung pindah ke Bali untuk bekerja di sana sebagai koki. Lalu, sesaat Kenneth lulus SD, Kenneth pergi menyusul Freddich ke Bali dan tinggal di sana dengan Freddich.

Selepas SMP, Rembulan mendapatkan penempatan yang baru di Singapura. Ia jadi rajin pulang dua minggu sekali untuk setidaknya menghabiskan waktu bersama Kendrick dan Eloise. Kadang, Kenneth ikut pulang bersama Freddich jika ia bisa mengambil cuti pada saat weekend. Jika Freddich tidak bisa, maka Rembulan akan memesan tiket ke Denpasar dan terbang dari Denpasar dengan Kenneth.

Tidak ada lagi perselisihan, namun hampa. Meski dulu, Freddich dan Rembulan memang jarang di rumah, namun, setidaknya mereka masih bersama. Eloise terkadang rindu keduanya, dan rindu Kenneth pula. Ia ingin sekali hidup ia dan keluarganya terus bersama meski sama-sama sibuknya.

Bersyukurnya, Freddich dan Rembulan selalu menghabiskan Natal bersama. Selayaknya keluarga cemara, mereka pergi ke gereja bersama. Banyak orang di gereja mereka yang ragu akan perpisahan Rembulan dan Freddich. Sejenak, Eloise lupa akan perpisahan kedua orang tuanya. Hanya pada tanggal 25 Desember saja Eloise merasakan kebahagiaan itu. Esoknya, atau bahkan malamnya saja, Eloise langsung dihantam kenyataan lagi.

Luka Elosie adalah keluarganya. Dan baginya, itu adalah sebuah dasar yang rapuh, jika nantinya dia berniat berhubungan serius dengan laki-laki yang memiliki keluarga cemara sungguhan seperti Exa, mantannya.

Tapi, bukankah awal dari semua luka adalah dari lingkungan terdekat, alias keluarga?

Hosea dan Eloise kini hanya berada di mobil berdua. Ezra tadi memutuskan untuk berpisah dengan mereka karena dia ingin lanjut nongkrong dengan teman-temannya, jadi, ia meninggalkan dua manusia itu berkendara sendiri.

Ezra sih, yakin saja, jika Hosea sudah mahir. Eloise yang tidak yakin.

“Lo ati-ati ya, gini-gini gue masih ada yang sayang!”

Hose mencebikan bibirnya, mengejek Eloise.

Jalanan terlihat sedikit penuh dikarenakan jam menunjukan hampir pukul lima —jalanan akan selalu padat di sore hari, tidak mau tahu itu weekdays atau weekend.

Lagu milik Ariana Grande yang berjudul Everything perlahan mulai memasuki telinga mereka berdua. Jangan salah, ini bukan playlist Eloise, melainkan punya Hosea.

“Jadi keinget omongan kakak gue, dah,” mata Hosea melirik pada Eloise yang asik menggulir layar ponselnya. “What if we ended up as a couple, ya, Yis?”

Eloise melirik Hosea dengan tatapan horornya, “Don't be silly, Se. We shared the same braincell, we know each other too well, mana mungkin kita bisa sama-sama?”

Hosea terkekeh kecil. “Awalnya, gue emang naksir elo. Dulu sih, waktu lo masih sama Exa.”

Ibu jari Eloise berhenti menggulir layar ponselnya, matanya mendelik. Jantungnya bahkan berdetak lebib kencang dari biasanya.

Lampu merah terlihat, mobil yang mereka kendarai berhenti.

“Tapi gue rasa, gue sama lo emang nggak cocok dari segi manapun, if we being a couple.” Hosea menyandarkan badannya lebih rileks lagi.

“Apa yang membuat lo berpikir demikian?”

“Karena kita udah terlalu terbiasa menjadi teman?” suara Hosea nampak seperti bertanya. “Lo sangat setia sama Exa, gue tau itu jadi gue pikir gue bisa terus berusaha deketin lo dengan cara kita jadi bestfriend. Sampai titik di mana gue yakin banget, lo dan gue, tidak akan pernah berakhir menjadi pacar, apalagi menikah.”

“Karena?”

“Gak tau, tapi ada perasaan itu aja tiba-tiba muncul. Jadi, gua mengurungkan niat untuk bilang ke lo kalo gue suka sama lo, dan lanjutin pertemanan kita. Gue sayang sama lo banget, Yis.”

Eloise tidak bersuara, tidak menjawab. Ia hanya diam, mencerna semua perkataan Hosea.

“Dengan gue ada di sisi lo terus-terusan gini, tanpa jadi pacar lo aja, menurut gue udah cukup banget, sih.”

Eloise mengangguk, paham. Obrolan sore ini terkesan berat, namun, makin meyakinkan Eloise bahwa dia memang tidak pernah benar-benar menyukai Hosea secara cinta —ia hanya menyayangi Hosea sebagai teman, dan, dia tidak mau kehilangan Hosea jika dia sudah mempunyai pacar.

Itu saja.

Eloise menyendenkan badannya lebih santai, kemudian menidurkan kursi penumpang dan memejamkan mata. “Gue tidur, lo bangunin gue kalo udah mau sampe rumah gue.”

“Aman.”

“Jadi, cewek yang lo sukain ini masih gamon dari mantannya?” tanya Hosea, nadanya sedikit mengintimidasi.

Eloise hanya membelokan matanya sambil mendengarkan obrolan kakak beradik yang ada di depannya, sesekali tangannya terulur untuk menyelupkan sumpitnya kemudian menikmati kecap asin yang ia campur dengan bubuk cabe.

Ezra mengangguk lemas. Beberapa kali, Ezra memang sering gagal dalam percintaan. Padahal, Ezra cukup tampan dan dia sangat memperhatikan badannya sekali —Ezra adalah maniac gym. Kata Hosea, mungkin karena lo anak Teknik.

Hosea menghembuskan nafasnya. “Mundur aja.”

Eloise mengangguk setuju. “Ibaratnya nih Kak, lo tuh susu cokelat terenak diseluruh dunia, tapi kalo dia sukanya susu vanilla, lo bisa apa?”

Ezra memayunkan bibirnya, “Kok tumben lo pinter sekarang Yis?”

“Eits,” Hosea menepuk pelan dadanya beberapa kali. “Siapa dulu yang membentuk Eloise menjadi manusia sedewasa ini?”

“Keadaan.” jawab Eloise pelan.

Ezra dan Hosea saling pandang, menghembuskan nafas mereka bersamaan dan menggelengkan kepala.

“Lo jangan sering menyalahkan diri sendiri deh Yis,” Ezra mulai meracik bumbunya sendiri. Sebentar lagi, makanan yang mereka pesan akan sampai. “Lo itu cantik, lo juga pinter. Keluarga lo bukan kesalahan lo. Lo itu sebaik-baiknya ciptaan Tuhan, tau?”

Eloise terkekeh pelan. “Iya, Kak.”

“Dia lagi deket sama Jeremi, tuh.” sahut Hosea, yang menuai mata mendelik Eloise.

Ezra menyendenkan badannya, “Bagus, bagus. Lo cocok sama Jeremi. Gue pikir, you will ended up with my brother.”

Me too, batin Eloise sebelum ia mengatakan:

Yucks,” Eloise memutar matanya malas. “Ngomong yang baik-baik kek, Kak. Omongan adalah doa!”

“Heh babi,” Hosea menyahuti. “Gue juga ogah sama lo.”

“Celetukan kalian yang kaya gini nih yang bikin gua yakin, sebenernya kalian naksir satu sama lain tapi gengsi aja.”

“NAJIS.”

“ORANG GILA LO ZRA.”

Ezra-nya hanya terkekeh pelan menyesap ujung sumpitnya yang beroleskan kecap asin —tetap menyangkal pernyataan yang telah Hosea maupun Eloise ucapkan.