Would You?
Baik Jeremiah dan Eloise, keduanya memang bertemu di Sekolah Minggu. Namun, saat lulus Sekolah Dasar, Eloise harus pindah ke Singapura karena bisnis yang Papa Eloise punya harus diawasi dari dekat. Eloise kembali ke Indonesia selepas Sekolah Menengah Atas. Saat itu, Jeremiah tidak mengira bahwa dia akan jatuh cinta pada pandang pertama pada Eloise. Senyumnya yang menawan dan parasnya yang cantik, membuat Jeremiah jatuh cinta secara fisik pada Eloise.
Setelahnya, Eloise tertarik untuk masuk bidang yang sama dengan Jeremiah. Dari situ mereka mulai dekat, meski hanya sebatas pelayanan. Mereka mulai lebih dekat lagi saat mereka berdua dikirim ke luar kota untuk melakukan pelayanan pemuda-pemudi di gereja luar Surabaya. Dan saat itu, Jeremiah tahu bahwa Eloise memang cantik seluruhnya, luar dan dalam. Maka, Jeremiah makin mantap untuk mendekatkan diri ke Tuhan, karena dia mau hamba-Nya. Terdengar menggelikan dan naif, namun begitu adanya.
Jeremiah makin rajin pelayanan, dan Tuhan seakan memberi jawaban dengan semakin mendekatkan Jeremiah kepada Eloise.
Dan jadilah kini, mereka, hanya berdua, masuk ke dalam sebuah toko brand ternama. Ini bukan pertama kalinya Jeremiah dan Eloise keluar berdua saja dibalik semua orang. Namun, Jeremiah gugupnya setengah mati karena dia akan menyatakan cintanya pada Eloise.
Mereka masuk ke dalam sebuah store dengan brand yang terkenal. Jeremiah sudah menyangka bahwa Eloise akan mengajaknya ke sini, karena tak jarang Jeremiah melihat barang-barang yang sering dipakai oleh Eloise berasal dari brand ini.
Senyum Eloise merekah saat seorang menghampirinya.
“Selamat sore, Kak Eloise!” sapanya riang.
Jeremiah mengernyitkan dahinya sebentar. Pegawainya aja sampe hafal sama Oyis.
“Hai Kak! Kakak masih inget tas yang aku kemarin pingin tapi nggak jadi aku take nggak?”
Jeremiah berjalan dibelakang Eloise, mengikuti langkah gadis itu.
“Nih,” Eloise menoleh pada Jeremiah. Jeremiah melihat sebuah tas mungil berwarna hitam. “Ini aku mau take tapi kayanya bulan depan.”
“Kenapa bulan depan?”
“Karena aku harus keluarin seenggaknya satu tasku dari lemari, satu tas yang beneran nggak aku pake. Tapi masih galau!”
Jeremiah tersenyum. “Bagus warna apa sih? Hitam ini?”
“Iya, kalo aku pribadi suka warna hitam sih,” Eloise berpikir sejenak. “Sepupu ini kaya mana ya? Aku harus bayangin style-nya dulu, nih!”
“Kaya kamu Yis,” jawab Jeremiah gugup. Karena sebenarnya, hadiah ini juga untuk Eloise. “Makanya aku ajak kamu.”
Eloise mengangguk, tangannya menunjuk satu tas dengan model yang sama namun berwarna perak. “Kalo ini gimana? Lucu?”
“Hitam aja,” Jeremiah mulai merogoh kantongnya. “Boleh?”
“Boleh, dong!” Eloise meraba perlahan tas tersebut. “Semoga sepupu kamu suka, ya!” matanya yang indah itu berbinar.
Jeremiah terkekeh, “Pasti suka kok.”
Sisanya, mereka menghabiskan sore dengan menatap jalanan dan minum kopi di kedai kopi kesukaan mereka.
“Makasih ya Oyis, udah mau nemenin aku.”
Kini, sedan hitam milik Jeremiah berhenti di depan rumah Eloise.
Eloise mengembangkan senyumannya, tangannya mengangkat gelas yang masih berisi setengahnya. “Terima kasih juga buat sushi dan kopinya, Jere!”
“By the way Yis, boleh nggak aku minta kertas? Aku harus nulis kartu ucapan buat sepupu aku.”
Eloise mengangguk. “Aku ambilin dulu ya kertasnya? Nggak pernah bawa kertas selama kuliah.” kemudian, tawa lepasnya itu terdengar.
“Boleh. Aku tunggu di sini ya?”
“Okay! Tunggu yah!”
Eloise langsung merangkak dari sedan itu dan menutup secara perlahan. Langkah kecilnya terhenti sebentar saat pintu rumahnya dibukakan oleh satpam rumahnya.
Setelah badan Eloise menghilang saat pintu pagarnya tertutup rapat kembali, Jeremiah mulai mengeluarkan buket bunga mawar putih beserta tas yang sejujurnya memang Jeremiah berikan untuk Eloise. Jeremiah tahu apa brand kesukaan Eloise, namun, Jeremiah hanya tidak ingin salah pilih.
Tepat saat Jeremiah sudah memeluk buket mawar putih itu dan meletakan bingkisan tas tersebut, pintu gerbang rumah Eloise terbuka lagi dan menampilkan sosok mungil kesukaan Jeremiah itu lagi sambil membawa kertas berwarna putih dan bolpoin.
Eloise berjalan mendekati mobil Jeremiah dan saat ia membuka pintu dan merangkak sedikit, Eloise terdiam sejenak. Wajahnya memerah, matanya membelalak lucu.
Karena respon Eloise yang tidak terduga itu, wajah Jeremiah ikut memerah —bahkan sampai telinga. Senyumnya tidak pudar.
“Eloise, masuk dulu sini.”
Tanpa berkata-kata, Eloise hanya menuruti perkataan Jeremiah. Ia duduk sambil memangku bingkisan tas mungil yang Jeremiah beli tepat dihadapannya tadi sore.
“Eloise, you know, I really like you since we met again,” Jeremiah menatap Eloise dengan pandangan yang tegas, namun lembut. Membuat wajah Eloise makin memerah. “And when I fall for you, I prayed to God if I could close to you, and He said yes. You know? Pelayanan-pelayanan yang kita lakuin sama-sama jelas adalah jawaban dari Tuhan,”
Eloise menatap Jeremiah, mengangguk-angguk kecil. Eloise percaya dalam kehidupan tidak ada yang namanya kebetulan —semua tentu sudah atas se-izin Tuhan.
“So, Eloise Diane Rosewood,” Jeremiah memberikan buket bunga yang sudah ia pegang sedari tadi. Kini, wajah Eloise kembali memerah —sangat kontras dengan warna bunga yang Jeremiah berikan. “Would you mind if I to be your only one, to be your one call away, to be your priority after yourself and your family_?”
Eloise tidak sanggup menahan senyuman yang sedari tadi ingin muncul —sehingga kini senyum manisnya itu muncul. Bersamaan dengan pipi yang makin memerah, ia meraih buket bunga dari tangan Jeremiah dan mengangguk perlahan.
“You can always be everything that you wanted to be for me, Jeremiah. I really don’t mind.”