ABI.

this blog is belong to cuupidly on twitter for writing au 💗

Eloise mengangguk-anggukan kepalanya saat ia menikmati chocolate cake yang baru saja dihidangkan sekitar 10 menit yang lalu.

Kini, mereka sudah sampai disebuah kafe yang bertemakan minimalis modern, agak sedikit minggir dari kota. Ambience kafenya menyenangkan, karena sangat tenang.

“Kamu udah pernah ke sini sebelumnya?”

Eloise menggelengkan kepalanya. “Belum. Tapi aku udah pernah liat ada food-vloger yang review tentang kafe ini, dan sebenernya mau coba juga, cuman tempatnya lumayan jauh juga.”

“Tapi tempat jauhnya itu jadi nilai plus, bukan? Nggak bising.”

Eloise mengangguk, “Bener banget. Kamu sendiri, udah pernah kesini sebelumnya?”

Jeremiah mengangguk, “Aku ke sini bulan lalu sama Mama aku, makanya kepikiran buat ajak kamu ke sini. Aku kangen kopinya, sih, karena aku suka kopinya. Sekalian ngajakin kamu nyoba their number one favorite, the famous iced americano, karena aku pikir di sini enak banget americano-nya. Gimana menurutmu?”

Eloise mengangguk, “This is so good! Thank you for research what I love, Jere. How do you know I love iced americano?”

“Aduh, ketahuan dong nanti kalo I stalked your Instagram profile?”

Eloise terkekeh. “I will not saying you stalked me, kan kita emang awal chat dari situ?”

“Iya juga sih,” Jeremiah menyenderkan badannya sedikit ke kursi senderan. “And search your Instagram username is not that hard, TBH. You have a good and unique name, I do agree if everyone say that you easy to remember.”

Eloise tersenyum simpul. “Kayanya, just you deh yang saying that my name is not that hard? Because some people said my name is too hard to remember, katanya ribet.”

But your name suits you well, sih. Pretty and elegant.”

Senyum perempuan itu mengembang. “Thank you. Your name, as well. Kebanyakan kan makenya Yeremia-nya, bukan Jeremiah. It’s really pretty, for someone who also pretty.”

Alis Jeremiah terangkat sedikit, senyumnya mengembang sempurna sehingga menyebabkan mata Jeremiah menyipit.

And also! You really cute when you smile, your eyes just like a puppy when their smile. I’m happy just to see you smile.”

Jeremiah terkekeh, membenarkan posisi duduknya. “You really goods at saying something non-sense too, Ms. Rosewood.”

Sambil terkekeh, Eloise memutar bola matanya jenaka. “I’m not talking non-sense, I talk fact only!”

Karena suasana yang mendukung, serta bagaimana mereka dapat beradaptasi dengan satu sama lain secara cepat, mereka mulai lupa jika mereka baru saja berkenalan hari Senin kemarin. Mereka mulai merasa nyaman antara satu sama lain, sehingga melupakan ‘lo-gue’ yang digunakan pada saat mereka bertukar pesan.

Pertanda yang bagus, bukan?

Saat Eloise membaca pesan Jeremiah yang mengatakan bahwa laki-laki itu sebentar lagi sampai, ia langsung melangkahkan kakinya ke gerbang paling depan.

“Eh, Non Eloise, dijemput siapa? Kok tumben agak telat?” sapa seorang dengan seragam satpam saat Eloise baru saja berhenti di dekat pos satpam.

“Temen, Pak.”

“Oh, Den Hosea?”

Eloise menggelengkan kepala, wajah Jeremiah tiba-tiba saja muncul dalam benaknya —membuat pipi hingga telinganya memerah.

“Oh,” pak satpam itu tersenyum penuh arti karena mengetahui telinga Eloise memerah. “Mau kencan ya Non?”

Eloise mendongak, menatap pak satpam dengan malu-malu. Ia menggelengkan kepalanya dengan ragu, namun pak satpam malah mendapati wajah Eloise makin memerah lagi.

“Aduh, lucunya. Udah lama tau saya nggak liat Non Eloise senyum manis malu-malu gini, sebelumnya sama anak yang naik CBR itu. Siapa namanya ya? Den Exa?”

Eloise mengangguk, “Kalo Exa sekarang udah jadi temen aja Pak, makanya udah jarang Bapak liat Exa.”

“Terakhir jemput itu udah nggak pacaran lagi sama Non Eloise?”

“Itu udah jadi temen, kebetulan aja mau ke gereja bareng.”

Si satpam manggut-manggut sambil mengeluarkan suara “oh” seakan-akan paham.

“Duduk Non, nanti pegel.”

“Kayanya abis ini sampe sih Pak.”

Dan benar saja. Sebuah BMW putih —meski bukan series terbaru— itu muncul mendekati Eloise. Dari jauh, melalui kaca depan, Eloise sudah bisa mendapati wajah Jeremiah yang tegang, namun tetap saja tampan.

Eloise lagi-lagi tersipu dengan sendirinya.

Ia tidak begitu memperhatikan Jeremiah saat pertandingan basket antara sekolahnya dengan sekolah Hosea. Ia hanya mau menemani Grishelda untuk bertemu dengan Hosea, demi makanan favorite-nya.

Jeremiah memiliki wajah sedikit kebulean dengan kulit putih. Hidungnya mancung sempurna, alis matanya tegas, matanya tajam, dan garis bibirnya indah. Bisa dikatakan bahwa Jeremiah ini salah satu karya Tuhan yang nyaris sempurna. Sangat tampan dan manly.

“Oh, ini Non?“”

Eloise mengangguk, senyumnya merekah. “Saya duluan, Pak.”

Eloise pun berjalan menuju BMW putih itu perlahan, menunggu sang empunya mobil memberhentikan mobilnya.

Dari sudut pandang Jeremiah, gadis paling cantik yang pernah ia temui secara langsung memang hanya Eloise. Secara fisik, Eloise adalah tipe gadis yang Jeremiah sukai. Struktur wajahnya simetris, matanya belok dengan bibir tipis kemerahan favoritnya. Belum lagi, proporsi badan Eloise yang pas. Saat melihat Eloise pertama kali, ingin sekali Jeremiah mendendangkan lagu Perempuan Paling Cantik di Negeriku Indonesia dari Dewa19.

Saat masuk ke mobil Jeremiah, Eloise langsung duduk disebelah Jeremiah dan memakai seatbelt. Senyumnya merekah, mata beloknya itu berkedip-kedip membuat Jeremiah ikut tersenyum karena menganggap Eloise lucu.

“Hai,” sapa Eloise dengan suaranya yang dapat membangkitkan semangat Jeremiah meski hanya mendengarnya. “Macet, ya?”

Jeremiah terkekeh, menggelengkan kepalanya. “Hai juga, Cantik.”

Mobil BMW itu mulai melaju perlahan, meninggalkan depan sekolah Eloise.

“Kebiasaan deh gombalnya.”

“Siapa yang gombal sih?” sebentar ia melirik Eloise. “Kalo bisa namamu diganti, kayanya kamu cocok aja pake nama ‘Cantik’, soalnya beneran cantik.”

Stop talking non-sense, Jeremiah. Bisa nggak jangan bikin aku pengen kayang?”

“Loh, aku nggak talking non-sense. Aku bicara fakta. Apa mulai sekarang aku panggil kamu cantik aja ya?”

Eloise merasakan pipinya memanas karena suhu dingin dari mobil Jeremiah. “Ah sumpah, aku beneran kayang ini nanti!”

“Kayang aja, meski kamu kayang kamu tetep cantik sih. Orang cantik mah bebas mau ngapain aja.”

Sambil menikmati padatnya kota, mereka menikmatinya sambil berbagi cerita sedikit tentang mereka sendiri. Sedikit atau banyak, mereka sadar, bahwa mereka mulai merasa cocok satu sama lain.

Dalam skala satu sampai sepuluh, rasa canggung yang dirasakan oleh kedua manusia yang kini sedang duduk berhadapan bisa mencapai sepuluh. Atau bahkan lebih.

Si laki-laki menunggu perempuan mengajak bicara —karena sedari mereka di dalam mobil, si perempuan memilih bungkam. Sementara si perempuan menunggu si laki-laki untuk mengajaknya berbicara.

Dalam hal seperti ini saja, komunikasi mereka sudah salah. Baik Eloise maupun Jeremiah, ego mereka masih dalam status yang sama. Mereka masih sama-sama berkutat dalam pemikiran masing-masing, tanpa ada yang mau menumpahkan seluruhnya.

Jeremiah menarik nafas panjang, menatap gadis yang sedari tadi merunduk tanpa ingin menatap Jeremiah sekalipun.

I’m sorry, Eloise. I’m sorry for not choosing you over everything, and just leave you without any explanation,” Jeremiah mendapati Eloise kini mulai merapatkan kedua pahanya. “I’m selfish, and I don’t want to defend myself right now because I know it’s all my faults.”

Eloise mendangak, menatap Jeremiah dengan pandangan yang Jeremiah tidak bisa artikan secara gamblang. Bagi Jeremiah, Eloise memang manusia tidak tertebak. Apapun yang Eloise lakukan adalah sebuah tanda tanya bagi Jeremiah. Sebuah pertanyaan besar, kira-kira apa yang akan Eloise lakukan?

Eloise mengendikan bahu. “Gue rasa udah cukup minta maafnya, Jer. Gue udah maafin lo, and that’s you wanted to know,” matanya menyipit, berusaha mengintimidasi Jeremiah. “Right?”

No, of course not.”

“Belum cukup nyakitin gue-nya, Jer?”

Mata Jeremiah sedikit membelalak, terkejut. Benar, kan, apa yang dikatakan Jeremiah? Eloise adalah manusia yang tidak pernah bisa ditebak. Bahkan Jeremiah masih belum bisa mengerti jalan pikiran Eloise meski pernah enam tahun bersama.

“Yis —”

I know,” Eloise menatap Jeremiah, kini dengan perasaan kuat yang Jeremiah selalu rasakan saat mereka berdebat dimasa lalu —sesuatu yang Jeremiah hindari karena Eloise selalu mempunyai jawaban yang sangat konkrit mengenai debat mereka. “Lo tau kenapa gue meng-iya-kan keputusan lo buat putus, waktu itu?”

Jeremiah menggeleng.

Because I love you, Jeremiah. I love you, I want you to be happy, to be something you wanted to be,” suara Eloise bergetar; ia kini berhenti sejenak dan menarik nafas. “As long as you happy, I also happy.”

Jeremiah mengedipkan matanya berkali-kali, berusaha mengusir bulir-bulir air mata yang sudah siap menetes kapan pun.

Eloise tahu tentang perang dingin Jeremiah dan orang tuanya. Eloise tahu semuanya.

“Oyis,” Jeremiah meraih tangan Eloise yang dingin, mengusapnya sebentar dan membawanya ke wajah Jeremiah. “My happiness is you.”

Cup. Jeremiah mengecup tangan Eloise dengan lembut; Eloise merasakan ketenangan saat ia menerima kecupan Jeremiah. Masih sama seperti di awal.

“Kenapa kamu nggak kasih tau aku, Oyis, if you already knew about my dad? About my career?”

Eloise tidak menjawab. Rasanya seperti tenggorokannya buntu karena tersumbat sekepal batu.

Eloise menarik nafas panjang sebelum menjawab. “Karena kamu nggak bakal ninggalin aku if I knew the situation. And, Jeremiah, I know how much you love your job.”

But I love you more, Eloise. I always love you more than anything.”

Kini, mereka menyadari bahwa semuanya salah. Tidak ada yang benar diantara pemikiran mereka berdua.

Basah sudah pipi mereka, baik Eloise atau Jeremiah menangis bersamaan. Namun nyaman. Mereka sama-sama merasakan perasaan nyaman meski sedang tidak baik-baik saja, meski sedang dalam tangis, meski sedang dalam pergumulan mereka masing-masing. Perasaan yang sudah lama tidak mereka rasakan, perasaan yang kini kembali hadir. Perasaan yang tidak pernah asing, karena sejujurnya mereka memang masih mencintai satu sama lain.

“Aku nggak akan masalah jadi apapun, Eloise, asal aku terus bisa pulang ke kamu. I never so sure about anything, but you, Eloise, I would live for you no matter what.”

Berikutnya hanya suara isak tangis dan belaian pada jari yang saling tertaut —tidak ada ucapan apapun, namun kesalahpahaman sudah selesai.

Sampai malam datang dan mereka masih di tempat yang sama, Eloise tidak peduli lagi dengan apapun. Ia hanya ingin Jeremiah. Dan Jeremiah pun begitu, ia hanya ingin Eloise malam ini.

Tanpa jawaban yang pasti.

Would You?

Baik Jeremiah dan Eloise, keduanya memang bertemu di Sekolah Minggu. Namun, saat lulus Sekolah Dasar, Eloise harus pindah ke Singapura karena bisnis yang Papa Eloise punya harus diawasi dari dekat. Eloise kembali ke Indonesia selepas Sekolah Menengah Atas. Saat itu, Jeremiah tidak mengira bahwa dia akan jatuh cinta pada pandang pertama pada Eloise. Senyumnya yang menawan dan parasnya yang cantik, membuat Jeremiah jatuh cinta secara fisik pada Eloise.

Setelahnya, Eloise tertarik untuk masuk bidang yang sama dengan Jeremiah. Dari situ mereka mulai dekat, meski hanya sebatas pelayanan. Mereka mulai lebih dekat lagi saat mereka berdua dikirim ke luar kota untuk melakukan pelayanan pemuda-pemudi di gereja luar Surabaya. Dan saat itu, Jeremiah tahu bahwa Eloise memang cantik seluruhnya, luar dan dalam. Maka, Jeremiah makin mantap untuk mendekatkan diri ke Tuhan, karena dia mau hamba-Nya. Terdengar menggelikan dan naif, namun begitu adanya.

Jeremiah makin rajin pelayanan, dan Tuhan seakan memberi jawaban dengan semakin mendekatkan Jeremiah kepada Eloise.

Dan jadilah kini, mereka, hanya berdua, masuk ke dalam sebuah toko brand ternama. Ini bukan pertama kalinya Jeremiah dan Eloise keluar berdua saja dibalik semua orang. Namun, Jeremiah gugupnya setengah mati karena dia akan menyatakan cintanya pada Eloise.

Mereka masuk ke dalam sebuah store dengan brand yang terkenal. Jeremiah sudah menyangka bahwa Eloise akan mengajaknya ke sini, karena tak jarang Jeremiah melihat barang-barang yang sering dipakai oleh Eloise berasal dari brand ini.

Senyum Eloise merekah saat seorang menghampirinya.

“Selamat sore, Kak Eloise!” sapanya riang.

Jeremiah mengernyitkan dahinya sebentar. Pegawainya aja sampe hafal sama Oyis.

“Hai Kak! Kakak masih inget tas yang aku kemarin pingin tapi nggak jadi aku take nggak?”

Jeremiah berjalan dibelakang Eloise, mengikuti langkah gadis itu.

“Nih,” Eloise menoleh pada Jeremiah. Jeremiah melihat sebuah tas mungil berwarna hitam. “Ini aku mau take tapi kayanya bulan depan.”

“Kenapa bulan depan?”

“Karena aku harus keluarin seenggaknya satu tasku dari lemari, satu tas yang beneran nggak aku pake. Tapi masih galau!”

Jeremiah tersenyum. “Bagus warna apa sih? Hitam ini?”

“Iya, kalo aku pribadi suka warna hitam sih,” Eloise berpikir sejenak. “Sepupu ini kaya mana ya? Aku harus bayangin style-nya dulu, nih!”

“Kaya kamu Yis,” jawab Jeremiah gugup. Karena sebenarnya, hadiah ini juga untuk Eloise. “Makanya aku ajak kamu.”

Eloise mengangguk, tangannya menunjuk satu tas dengan model yang sama namun berwarna perak. “Kalo ini gimana? Lucu?”

“Hitam aja,” Jeremiah mulai merogoh kantongnya. “Boleh?”

“Boleh, dong!” Eloise meraba perlahan tas tersebut. “Semoga sepupu kamu suka, ya!” matanya yang indah itu berbinar.

Jeremiah terkekeh, “Pasti suka kok.”

Sisanya, mereka menghabiskan sore dengan menatap jalanan dan minum kopi di kedai kopi kesukaan mereka.


“Makasih ya Oyis, udah mau nemenin aku.”

Kini, sedan hitam milik Jeremiah berhenti di depan rumah Eloise.

Eloise mengembangkan senyumannya, tangannya mengangkat gelas yang masih berisi setengahnya. “Terima kasih juga buat sushi dan kopinya, Jere!”

By the way Yis, boleh nggak aku minta kertas? Aku harus nulis kartu ucapan buat sepupu aku.”

Eloise mengangguk. “Aku ambilin dulu ya kertasnya? Nggak pernah bawa kertas selama kuliah.” kemudian, tawa lepasnya itu terdengar.

“Boleh. Aku tunggu di sini ya?”

Okay! Tunggu yah!”

Eloise langsung merangkak dari sedan itu dan menutup secara perlahan. Langkah kecilnya terhenti sebentar saat pintu rumahnya dibukakan oleh satpam rumahnya.

Setelah badan Eloise menghilang saat pintu pagarnya tertutup rapat kembali, Jeremiah mulai mengeluarkan buket bunga mawar putih beserta tas yang sejujurnya memang Jeremiah berikan untuk Eloise. Jeremiah tahu apa brand kesukaan Eloise, namun, Jeremiah hanya tidak ingin salah pilih.

Tepat saat Jeremiah sudah memeluk buket mawar putih itu dan meletakan bingkisan tas tersebut, pintu gerbang rumah Eloise terbuka lagi dan menampilkan sosok mungil kesukaan Jeremiah itu lagi sambil membawa kertas berwarna putih dan bolpoin.

Eloise berjalan mendekati mobil Jeremiah dan saat ia membuka pintu dan merangkak sedikit, Eloise terdiam sejenak. Wajahnya memerah, matanya membelalak lucu.

Karena respon Eloise yang tidak terduga itu, wajah Jeremiah ikut memerah —bahkan sampai telinga. Senyumnya tidak pudar.

“Eloise, masuk dulu sini.”

Tanpa berkata-kata, Eloise hanya menuruti perkataan Jeremiah. Ia duduk sambil memangku bingkisan tas mungil yang Jeremiah beli tepat dihadapannya tadi sore.

“Eloise, you know, I really like you since we met again,” Jeremiah menatap Eloise dengan pandangan yang tegas, namun lembut. Membuat wajah Eloise makin memerah. “And when I fall for you, I prayed to God if I could close to you, and He said yes. You know? Pelayanan-pelayanan yang kita lakuin sama-sama jelas adalah jawaban dari Tuhan,”

Eloise menatap Jeremiah, mengangguk-angguk kecil. Eloise percaya dalam kehidupan tidak ada yang namanya kebetulan —semua tentu sudah atas se-izin Tuhan.

So, Eloise Diane Rosewood,” Jeremiah memberikan buket bunga yang sudah ia pegang sedari tadi. Kini, wajah Eloise kembali memerah —sangat kontras dengan warna bunga yang Jeremiah berikan. “Would you mind if I to be your only one, to be your one call away, to be your priority after yourself and your family_?”

Eloise tidak sanggup menahan senyuman yang sedari tadi ingin muncul —sehingga kini senyum manisnya itu muncul. Bersamaan dengan pipi yang makin memerah, ia meraih buket bunga dari tangan Jeremiah dan mengangguk perlahan.

You can always be everything that you wanted to be for me, Jeremiah. I really don’t mind.”


8

cw: mention of kissing

Agatha sudah berada di lobi apartemennya saat Joé baru saja masuk ke lobi tersebut.

“Kayanya percuma ya gue nyegah lo ke sini?”

Joé mengangguk. “Aku mau jelasin soal tiga hari kemarin, Tha.”

“Iya, silahkan.” Agatha melirik sofa kosong yang ada dihadapannya, sehingga Joé tahu bahwa dia dipersilahkan duduk di sofa tersebut.

Joé duduk, badannya tegap karena tegang.

“Besoknya, yang abis aku nginep di sini, aku ngabarin kamu kan kalau aku udah sampe di kantor? Aku belum pulang dari kantor sampai hari ini, Tha. File yang udah aku siapin untuk meeting dengan perusahaan besar hari ini, hilang ntah kemana. Aku udah frustasi berat, semua itu aku siapin dua bulan sebelumnya. Nggak ada waktu untuk menyalahkan dan mencari, jadi aku putusin untuk kerjain itu langsung sampai ketiduran. Bangun tidur juga aku langsung kerjain, Tha. Sampai hari ini, sampai meeting-nya selesai, aku cuma tidur lima jam total.”

Agatha menganggukan kepalanya. “Oke, aku paham.”

“Jessica sama Rhesa adalah anak intern di kantor. Kita nggak satu divisi, dan kebetulan ruang meeting yang aku pakai tadi itu di divisi mereka berdua. Aku sekedar nyapa Jessica dan Rhesa, cuman memang si Rhesa ini sering lontarin candaan yang bikin orang salah paham, dan aku yakin, kamu juga salah paham karena itu, kan?”

Agatha hanya menelan ludahnya, tidak menjawab.

“Aku beneran udah lupain Jessica, Agatha. Aku beneran udah nggak apa-apa sama Jessica. Maaf.”

“Kan aku —”

“Nggak, Tha. Hal itu harus aku luruskan karena aku nggak mau kamu salah paham, aku nggak mau kamu tidur dengan menanyakan do you enough, because yes, you are enough. More than enough.”

“Joé... Maaf.”

“Itu wajar. Rhesa udah aku suruh take down juga. Aku beneran nggak mau kehilangan kamu, Agatha. Udah aku bilang, kan? Aku bakalan nunggu kamu, sesiapnya kamu.”

“Makasih, Joé.”

And about your question,” Joé menatap Agatha dalam-dalam. “No, I never thinking about anyone else when I kiss you, Agatha. Just you.”

Joé sukses membuat pipi Agatha memerah, semerah tomat. Mata Agatha mendelik lucu, membuat Joé ingin sekali mencubit pipi perempuan itu.

“Joé?”

“Iya, sayang?”

Agatha berdehem sebentar sebelum melanjutkan kata-katanya. “Mau makan ramen sama aku?”

Tawa Joé meledak, membuat lobi yang sepi itu bergema akan tawanya. Agatha hanya menunduk karena malu.

Joé berdiri, mengulurkan tangannya pada Agatha. “Ayo kita makan ramen. Atha-nya Joé ini mau jalan sendiri, atau digendong?”

“JOÉ!”

IS THERE REALLY LOVE AT THE FIRST SIGHT?

Agatha meluncurkan mobil kesayangan Haikal itu menuju Holy Grail, kelab malam yang dekat dengan sekitaran kampus mereka. Jam sudah menunjukan pukul tiga pagi, dan Agatha baru saja bangun saat ponselnya berdering karena Joé menelfonnya, mengatakan bahwa Grishelda sudah mabuk berat. Haikal juga sudah mabuk, meski belum sepenuhnya hilang.

“Itu nyet mobil gue!” teriak Haikal saat ia melihat mobil kesayangannya itu mulai memasuki lobi Holy Grail.

Dari kaca depan, Agatha dapat melihat Grishelda yang tengah dipeluk erat oleh Haikal dan Joé yang berada disamping Haikal dengan membawa barang Grishelda. Pipi Agatha memerah tanpa sebab, jantungnya berdegup kencang dengan tidak wajar. Ia ingin tersenyum kini, namun, ia belum paham, mengapa?

“THA BUKAIN AJA PINTU BELAKANG!” teriak Haikal saat Agatha baru saja memberhentikan mobil itu.

Agatha langsung membuka pintu belakang dan turun. Ia mau melihat keadaan Grishelda terlebih dahulu.

“Minum banyak banget dia?” tanya Agatha ke Haikal, disambut oleh anggukan kecil dari Haikal.

Grishelda masih bisa tersenyum dan meracau tak karuan, tangannya tidak mau melepas Haikal.

“A-aah, Ikal, di sini aja yah? Temenin Icel yah?” nada manja Grishelda keluar memang jika sedang mabuk berat begini.

Haikal hanya mengangguk. “Mana tas Icel, Joé?”

Joé memberikan tas hitam kecil itu pada Haikal, dan kemudian mundur.

“Lo nggak papa di depan sendiri ya?”

“Nggak papa, asal jangan ciuman aja lo dibelakang.”

Haikal nyengir. “Kalo nggak kelepasan.”

“Gue buang lo berdua di pinggir jalan sampe iya ya, Nyet!”

Joé hanya tersenyum mendengarkan percakapan Haikal dan Agatha.

Thanks, Joé.”

“Nggak usah makasih,” senyum Joé merekah. “Lo hati-hati ya nyetirnya, jangan ngebut. Nggak ngantuk, kan?”

Agatha tersipu sejenak saat melihat senyum Joé, namun mengerjapkan matanya cepat sambil menggelengkan kepalanya. “Gue aman kok.”

“Oke, hati-hati, Agatha. Nitip Haikal, ya. Please send me a text when you already home, ya?”

Agatha mengangguk dengan cepat. “Okay!” katanya, kemudian segera kembali masuk ke dalam mobil.

Haikal menatap Joé dengan tatapan aneh.

“Cepetan masuk, kasian Agatha.”

What is 'text me when you already home' mean?”

Just make sure you guys arrived safely?”

Haikal tersenyum menggoda. “Damn, Joé. Never thought that you will fall in love with my friend that fast.”

Joé memutar matanya malas. “I just wanna make sure you arrived safely, idiot. Jangan mikir aneh-aneh.”

“Semakin mencurigakan kalo lo perjelas gini,” Haikal masih memasang senyum jailnya itu. “Oke kalo gitu, gue naik. Nitip yang lain, Sam ilang tuh.”

Joé mengangguk, kemudian mendorong pelan badan Haikal untuk segera masuk dan menutup pintu mobil Haikal. Hitungan detik, mobil itu langsung melaju, meninggalkan Joé sendirian yang kini sedang bingung, mengapa ia begitu banyak bicara pada Agatha?

So, lo udah text Joé dan bilang lo udah di rumah?”

Agatha menoleh pada Haikal, ia sedikit terkejut karena dia sedang sendirian tadinya. “Aduh anjing, make some noise lah kalo mau masuk, kaget gue.”

“Gimana Joé menurut lo, Tha?”

Agatha menuangkan air putih ke dalam gelas transparan sambil menatap Haikal. “Baik, kok. Gentle juga.”

“Udah naksir?”

Agatha tidak menjawab, dia hanya maju sambil menoyor pelan kepala Haikal. “Otak lo kebanyakan kejedot kayanya tadi.”

Haikal tertawa keras.

“Buruan di-chat, Tha. Joé, gue udah di rumah, gitu.”

“Diem Kal bangsat!”

Haikal masih tertawa sambil melihat Agatha yang berjalan makin menjauhi Haikal.

Kata orang, cinta pada pandangan pertama itu tidak nyata. Namun belum tentu.

Tapi, apakah mungkin, bisa menumbuhkan perasaan kepada orang lain disaat masih berat melupakan tentang masa lalu?

Tapi, apakah mungkin, bisa berkomitmen jika masih belum mampu melawan ketakutan dari dalam diri sendiri?

Gimana, Joé? Agatha?

TRIGGER WARNING: CHEATING, FAMILY ISSUE

Tidak ada keluarga yang sempurna, bahkan keluarga yang terlihat cemara sekalipun. Bahkan, keluarga Agatha yang digadang-gadang sebagai keluarga cemara oleh sebagain orang yang mengenalnya pun, tidak sebagus itu dibaliknya.

Waktu itu umur Agatha baru 16 tahun. Ia tidak tahu apa yang terjadi karena Agatha baru saja pulang sekolah. Vas bunga kesayangan Ibunya telah menjadi pecahan kaca, yang sedang dibereskan oleh ART-nya.

“Non, masuk kamar aja ya?”

Dan Agatha hanya menurut. Di kamarnya sudah ada Calvin yang sedang berdiam diri, namun wajahnya ketakutan. Tidak ada pertanyaan terlontar dari mulut Agatha, ia hanya memeluk adik laki-lakinya itu dan mengelus kepala Calvin.

“Udah makan, Cal?”

Calvin mengangguk. “Nggak mau makan di sini.”

“Iya, nanti makan sama Kakak ya di luar? Mau?”

Calvin mengangguk lagi sebelum dia makin menenggelamkan wajahnya pada dada Agatha.

Agatha tahu apa pemicunya pertengkaran kedua orang tuanya. Awalnya, ia hanya berpikir, bukankah wajar dalam sebuah pernikahan terdapat kesalahpahaman? Namun, itu bukan hanya sebuah kesalahpahaman. Itu bukan kesalahpahaman.

“Emang ada ya bokap yang nggak selingkuh?”

Grishelda menoleh pada Agatha, menaikan alisnya. “I don't know? Tapi kalo ada, good for them nggak sih?”

Agatha menaikan alisnya dengan cepat, tanda setuju.

So, gara-gara itu lo nggak mau pacaran?”

Kinda. Tapi gue ikut seneng lo bisa beneran langgeng sama Haikal, Cel.”

“Kenapa?”

“Cel, you deserve every good things come to your way, apalagi gue liat Haikal beneran bucin banget ke lo, gue seneng aja? Karena lo berhak buat dapetin semua itu.”

Grishelda menatap Agatha sambil memberikan ekspresi terharu. “Lo sayang banget sama gue ya?”

“Jangan kaya anjing.”

Tawa Grishelda meledak, disusul dengan senyuman Agatha.

“Tha, tapi lo juga. If someone really love you, please terima dulu ya? Jangan berusaha lo tolak lagi, ya? Nggak semua cowok sama kaya bokap lo, Tha. Lo juga berhak bahagia.”

Agatha hanya mengangguk dengan senyumannya yang masih belum memudar.

Mungkin, nanti. Setelah Agatha selesai dengan ketakutannya sendiri.

“Joé,” perempuan itu menatap mata laki-laki yang ada dihadapannya, Joé, dengan tatapan ragu. “I think, I can't do this anymore.”

Joé, yang awalnya sedang tersenyum sambil menatap perempuan berambut merah yang ada dihadapannya itu pun terkejut. Alisnya menukik, ia tahu apa yang dimaksud oleh Jessica.

Tidak ada jawaban dari Joé.

Pikiran Joé mundur saat awal SMA, saat ia bertemu dengan Jessica. Ia sangat menyukai Jessica, dan Jessica juga sama. Mereka sudah tahu sejak awal bahwa akan ada peristiwa dimana mereka akan menjalani hubungan jarak jauh. Joé sudah ada impiannya sendiri, pun Jessica. Tidak pernah terbesit dibenak keduanya bahwa mereka akan berpisah dan menyerah akan hubungan jarak jauh ini, namun sekarang?

Jessica juga sama diamnya. Ia arahkan tangannya yang makin dingin karena perkataan yang ia lontarkan sebelumnya.

“Iya, Jes.”

Hanya itu jawaban dari Joé setelah lima belas menit mereka bergulat dengan pikiran mereka masing-masing. Jawaban yang bagi Jessica masih sangat abu-abu, apa itu iya? Iya, dia mengerti? Iya, putus? Atau apa?

“Joé —”

I know, Jes. Being away for you is also hard for me too. Susah banget. But, I think, as long as we always together, semuanya bakalan baik-baik aja, ternyata nggak segampang itu ya?”

“Joé,” Jessica menatap Joé dengan matanya yang sayu. “I tried, tapi ternyata, long distance relationship is really not my thing, Joé.”

And?”

“Ada baiknya kita sekarang jalan sendiri-sendiri dulu ya, Joé?”

Joé terdiam. Mereka hampir melalui empat tahun bersama, apa mungkin selanjutnya, tanpa Jessica, Joé akan baik-baik saja?

Jessica masih menatap Joé dengan lembut, senyum manisnya masih juga terukir dengan baik di wajahnya. Joé tahu bahwa Jessica mempunyai alasan lain yang lebih kuat untuk menyudahi hubungan mereka. Selama ini, mereka baik-baik saja. Joé tetap terbang ke Australia untuk tinggal dua sampai tiga hari tiap bulannya. Komunikasi mereka lancar, meskipun mereka sama-sama sibuk. Joé thought, everything is well.

Joé mengangguk. “Kalo lo pikir itu yang terbaik, gue setuju.”

Bagi mereka, tidak ada yang lebih dingin daripada malam itu, pada bulan April di Melbourne.

Tidak ada tangisan selamat tinggal dan janji akan bertemu secepatnya saat Joé pulang. Ia tidak memberitahu bahwa ia mengganti penerbangan jadi lebih pagi kepada Jessica. Sudah usai bagi Joé. Melbourne tidak akan ia kunjungi lagi dalam waktu dekat. Terlalu dingin dan terlalu menyakitkan, tidak baik.

Joé hanya meminta tolong kepada Harris, sepupu Jessica yang juga tinggal di Melbourne, untuk mengantarnya ke bandara. Harris dan Jessica ini seumuran, satu kampus, namun berbeda jurusan.

“Pagi banget anjir?” Harris menyapa Joé saat dia baru saja menghentikan mobilnya di lobi depan hotel tempat Joé menginap.

“Sengaja ambil flight pagi,” jawab Joé singkat. Ia hanya membawa satu ransel kecil, dan langsung duduk di kursi penumpang. “Gue udahan sama Jessica.”

Harris yang awalnya menguap pun langsung menutup mulutnya dengan cepat, matanya mendelik. “Lo jangan bercanda dong anjing.”

“Lo pikir putus itu bercandaan doang?”

“SAT?!” teriak Harris. “KENAPA ANJING?”

Joé mengendikan bahunya. “Lo better jalan sekarang, gue udah mau cepetan balik ke Indo.”

Mobil putih itu melaju.

“Jessica ya yang minta udahan?”

“Iya. Gue nggak tau alasannya, jadi, jangan tanya.”

She doesn't explain?”

She said, she can't do this anymore.”

Harris melongo, matanya melirik Joé. “That's the shittiest thing I've ever heard! Like, bro? Lo selalu ke Melbourne tiap bulan?!”

“Gue nggak paham, Ris. Jalan pikir gue dan dia mungkin beda, atau mungkin, she already found someone else. Emang bener ya, yang istimewa bakalan kalah sama yang selalu ada.”

Harris bergidik ngeri. “That's cringe. Tapi gue makhlumin soalnya lo jomblo newbie.”

Tawa mereka meledak.

“Harris, jagain Jessica ya?”

“Selagi keliatan mata gue, tuh anak pasti gue pelototin,” Harris tersenyum. “Lo jaga diri baik-baik. Jangan gara-gara udah putus, lo nggak mampir ke Melbourne lagi!”

Joé hanya tersenyum.

Tidak. Datang ke Melbourne terlalu sakit, dan Joé tidak mau terkoyak lagi.

9

It feels like Sunday’s noon: sucks.

Agatha benci komitmen.

Tiba-tiba, setelah percakapan singkatnya dengan Grishelda lewat pesan, ada beberapa momen yang terulang dalam ingatannya hingga membuatnya terbangun lagi dari tidur 'sebentar'nya.

“Pak, masih jauh, ya?” tanya Agatha.

Pak Imam, supirnya sejak ia kecil, mengangguk, kemudian menatap Agatha lewat spion tengah. “Iya, Non. Dan sedikit ada macet di depan, jadi kalo misalkan Non mau tidur dulu, Non tidur dulu saja.”

Agatha mengangguk. “Oke Pak.”

Jelas dia tidak bisa tidur lagi. Pikirannya agak berisik sekarang, namun masih dalam tahap yang bisa diatur oleh Agatha, jadi aman saja.

Kembali lagi pada kalimat pertama: Agatha benci komitmen.

Para manusia yang hobi membual itu membuatnya ingin mual. Bagaimana bisa mereka mengatakan bualan didepan Tuhan, mengikatkan janji bahwa akan terus bersama dalam keadaan apapun sampai maut memisahkan, namun, membual? Apakah mereka tidak malu pada Tuhan?

Bukan, Agatha sendiri bukan manusia yang suci. Ia hanya benci mengapa manusia-manusia itu membual, mempermalukan dirinya sendiri di depan Tuhan. Manusia itu menyakiti manusia lain dengan terang-terangan dihadapan Tuhan, padahal sebelumnya juga memintanya terang-terangan pula dihadapan-Nya. Konyol, bukan?

Usia Agatha waktu itu belum genap 15 tahun, namun ia tahu bahwa cinta pertamanya, mematahkan hatinya bertubi-tubi. Ia sadar bahwa hubungan kedua orang tua Agatha ini sangat lama, bahkan mereka harus menunggu lima tahun setelah menikah untuk mendapatkan Agatha. Ia sadar betul bahwa waktu itu terlalu lama namun singkat.

Bosan adalah manusiawi, katanya. Hal itu adalah hal yang tidak bisa dicegah, namun untuk efek samping dari itu tentu saja bisa dicegah.

“Maafkan Papi, Atha, hal itu terjadi begitu saja.”

Bohong. Selingkuh itu dilakukan secara sadar. Apapun alasannya.

“Papi sayang sama Mami, Atha. Papi juga sayang sama Atha.”

Saat itu, 14 tahun Agatha hanya bisa menangis sambil memuntahkan seluruh isi perutnya. Tidak ada kata yang dikeluarkan Agatha. Ia hanya muntah lalu menangis.

“Ada yang pernah bilang, Tha,” kerutan diujung mata perempuan yang Atha sayangi itu nampak jelas. “Selamanya itu terlalu lama, namun cukup singkat.”

Agatha tidak pernah bereaksi apapun atas obrolan hati-ke-hati yang Maminya sampaikan. Ia selalu merasa bahwa dia tidak cukup bisa memberikan reaksi yang baik, jadi dia lebih baik diam, bukan?

Mata Agatha terbuka, jalanan padat masih menjadi pandangan Agatha.

Ternyata, dia masih terluka. Dia masih bisa merasakan bahwa perih dan mual itu masih ada tiap kali otaknya memutar kejadian itu.

Lukanya belum sepenuhnya sembuh, dan itu hal utama menjadi alasan bahwa ia belum siap menambah luka lagi.

Yang ini, sudah sangat cukup.

“Abis ini temen gue dateng,” Haikal mengatakan hal itu pada Agatha yang keluar lebih dulu daripada Grishelda. “Lo nanti sama dia ya, sama Icel juga.”

“Iya aman.”

“Mana Icel?”

“Masih bayar.”

Mereka berdua diam, sama-sama menebak apa yang akan dilakukan Grishelda setelah selesai membayar. Tapi, Agatha menebak: Grishelda tidak akan marah, karena meskipun terlihat galak, Grishelda tuh sayang banget sama Haikal. Dasaran si Haikal aja suka menguji emosi Grishelda.

Grishelda menghampiri Agatha dan Haikal, kemudian memberikan air mineral dingin pada Haikal. “Minum. Aku ikut kamu aja ke bengkel, Atha biar naik taksi online.”

“Loh, Bee, aku udah minta tolong Jo buat ke sini.”

“Yaudah, Agatha biar sama Jo. Aku sama kamu.”

“Eh Cel yang bener aja lo,” Agatha menyahuti. “Gue nggak kenal sama Jo itu, lagian mana mau dia nebengin gue anjir?”

“Mau, pasti mau.”

Haikal mengendikan bahu. “Ya... Apa boleh buat kalo Ibu Negara sudah bertitah, Tha.”

“Baik.” jawab Agatha cepat.

Kan, Agatha bilang juga apa. Grishelda tidak akan marah pada Haikal.

Sebuah mobil sedan hitam memasuki pelataran minimarket dan Haikal langsung menuju mobil tersebut.

Oh, si Jo ini keren juga mobilnya, batin Agatha.

Seorang itu turun, menggunakan celana pendek dan kaus press-body itu menghampiri Haikal. Haikal terlihat mengatakan sesuatu, dan jelas laki-laki itu Jo teman Haikal.

“Ganteng banget?” kata Agatha pada Grishelda.

Grishelda mengangguk. “Satu tongkrongan Ikal, dia paling ganteng.”

“Lo temenin gue dong anjir Cel, gue bisa jadi tolol semobil berdua sama orang ganteng.”

Grishelda terkekeh. “Nggak mau. Semangat. Don't do something stupid pokoknya.”

“Sialan,” Agatha membuang muka saat Jo menatapnya dari jauh. “Gue bisa mati pingsan duduk sebelahan sama cowok ganteng! Yang bener aj —”

“THA! AYO INI SI JO UDAH MAU ANTER!”

Agatha menatap Grishelda. “Kalo gue nggak ngechat lo ngabarin sampe kampus, tandanya gue pingsan Cel.”

“Lebay!”

Agatha dan Grishelda berjalan bersamaan menuju Haikal dan Jo yang memasang muka galak. Kalo Haikal jelas tengil.

Baru juga Agatha berhenti, Jo langsung tersenyum manis pada Agatha. Tangannya terulur, “Hai, Agatha. Gue Jo.”

Agatha menerima jabatan tangan Jo. Cukup kuat tangan Jo menggenggam tangan mungil Agatha. “H-hai, Jo. Gue Agatha,” mereka melepaskan genggaman tangan tersebut. “Nggak papa nih, lo anterin gue?”

Jo mengangguk. “Lo oke kan?”

“Iya.”

Lagi, Jo mengangguk, kemudian menoleh pada Haikal. “Kalo gitu gue duluan,” kemudian wajahnya menoleh pada Grishelda. “Duluan, Cel.”

“Nitip temen gue, Jo. Sembunyiin barang lo, dia suka tiba-tiba gigitin barang.”

Jo terkekeh.

“Yeee dipikir gue bisa debus!”

“Ayo, Ga.”

Ga, katanya? Udah ada panggilan sayang aja nih?

“Yuk! Bye, manusia ciptaan Tuhan!”

Jo berjalan menuju pintu penumpang, kemudian membukakan pintunya untuk Agatha.

Anjing, belum sampe duduk aja gue udah mau pingsan!

Grishelda terkekeh melihat wajah panik Agatha, kemudian memberikan isyarat alis naik yang artinya 'good luck!'

Icel sialaaaan!