Jalan Hidup
Cw // drunk, harsh word, fight scene
Naufal bagai hilang ditelan bumi. Dwi sudah berulang kali mendatangi kosan miliknya, dan Naufal tidak pernah ada di sana. Dwi juga sudah berusaha menunggu Naufal di gedung fakultas— bahkan mendatangi kelasnya, tapi tidak pernah ia berhasil sekalipun berjumpa dengan Naufal.
Sudah hampir seminggu dari pertengkaran mereka, dan Dwi belum mampu perbaiki hubungan di antara mereka.
Tapi kemudian tepat di malam hari ketujuh, Dwi mendapat telepon dari Bang Mawan perihal keberadaan Naufal. Entah bagaimana cara Mawan mampu menemukannya, yang jelas Dwi langsung mengambil jaket dan tancap gas menuju sebuah klub yang cukup terkenal dikalangan para mahasiswa untuk melepaskan penat.
Mawan sedang menunggunya di parkiran ketika Dwi datang.
“Kamu ngebut?” Tanya Mawan, menyadari bahwa Dwi hanya memakan waktu dua puluh menit di perjalanan.
Dwi mengangguk, “Takut Naufal keburu pergi. Abang tau dia di sini dari mana?”
Mawan menjawab sambil menuntun Dwi untuk masuk ke dalam klub. “Rayan ditelepon sama temen satu fakultasnya Naufal, terus Rayan ngasih tau ke abang.”
Suara musik yang memekakkan telinga jadi yang pertama kali menyambut kehadiran Mawan dan Dwi. Lampu kelap kelip juga suasana yang remang buat keduanya sedikit kesusahan untuk mencari sosok Naufal di antara ratusan orang yang membaur di dalamnya. Butuh waktu sekitar lima belas menit sampai akhirnya Dwi bisa temukan sosok yang mereka cari.
Dwi remas pergelangan tangan Mawan agar langkahnya terhenti dan perhatian yang lebih tua tertuju ke arahnya. “Abang … itu Naufal.” Ucap Dwi kemudian, sambil tangannya menunjuk ke suatu arah di mana Naufal berada.
Keduanya terdiam saat melihat Naufal yang dalam keadaan setengah sadar sedang terduduk di sofa dengan kepala yang terkulai. Satu botol minuman beralkohol yang sudah kosong berada di hadapannya, seolah mencemooh akan sosok yang pilih untuk hilang akal akibat keadaan.
Mawan dan Dwi hampiri Naufal dengan langkah cepat. Barulah mereka sadar jika Naufal tidak sendirian.
“Temennya Naufal?” Tanya sosok lelaki dengan tubuhnya yang menjulang meskipun ia sedang duduk.
“Iya.”
Lelaki itu terlihat menghembuskan nafas lega. Lalu ia sampirkan tas miliknya di bahu dan berkata, “thanks udah dateng. Gue harus buru-buru balik nih, enggak bisa nemenin ni bocah asu sampe pagi. Titip Naufal ya.” Dan ia terburu-buru melenggang pergi.
Menyisakan ketiganya di antara ramai yang terasa sepi.
Naufal belum juga sadar akan kehadiran Dwi dan Mawan. Matanya masih terpejam dengan mulut yang entah menggumamkan apa.
“Na …” Mawan berusaha menyadarkan Naufal dengan cara memanggil nama juga menepuk-nepuk pipinya perlahan.
“Na, ayo balik.”
Kelopak mata Naufal bergetar, lalu matanya terbuka perlahan. Ia langsung memasang ekspresi jijik ketika melihat siapa yang berada di hadapannya.
“Ngapain lo di sini?” Tanya Naufal dengan kening yang berlipat.
“Gue anter lo balik dulu, yuk? Entar ngobrol di kosan lo aja.”
Naufal berdecak, ia semakin memasang ekspresi tidak suka ketika tahu hadirnya Mawan tidak sendirian. Ia melambai-lambaikan tangannya heboh. “Gua gak mau ngobrol ama pengkhianat macem lo berdua.”
Kepala Mawan tertunduk sebentar, ia harus sebisa mungkin menahan emosi.
“Na … gue dateng bukan buat nyari ribut. Jadi please, lo bisa nggak kooperatif sedikit. Gue mau —”
“Gua gapeduli anjing!” Ucap Naufal memotong ucapan Mawan. Badannya condong ke depan agar mendekat pada tubuh Mawan. Lalu ia menunjuk-nunjuk dada Mawan di tiap kata yang ia ucapkan dan dengan penuh penekanan, “gua. gak. peduli.”
Karena bagi Naufal, ia sudah cukup dikecewakan. Naufal sudah enggan lagi berurusan dengan pengkhianat yang sudah bermain-main di belakangnya.
Dwi merangsek maju. Ia bahkan sampai berlutut di hadapan Naufal agar lelaki itu setidaknya mau mendengarkan. Dua tangan Dwi tempatkan di atas lutut Naufal sambil ia memandang dengan penuh rasa sedih. Dwi sedih melihat sahabatnya menjadi seperti ini.
“Na, gue tau lo kecewa. Tapi apa salah kalau gue jadian sama Bang Mawan sampe lo ngebenci kita sebegininya?”
Naufal membuang muka. Ada perasaan dalam dadanya yang bergemuruh melihat Dwi sampai sebegininya hanya untuk dimaafkan.
“Gue minta maaf udah bilang gitu sama lo, Na.” Mawan kembali bersuara. “Gue tau gue salah dan gue bener-bener minta maaf untuk hal itu. Tapi demi Tuhan, nggak ada sama sekali maksud gue buat nusuk lo dari belakang. Gue cuma nggak mau nyakitin lo kalau lo tau gue jadian sama Dwi. Karena gue pikir lo udah nggak ada rasa sama dia, karena gue pikir lo udah lepas Dwi dan ini saatnya bagi gue buat ngejar cintanya Dwi.”
Naufal tertawa. Ia tertawa terbahak-bahak sampai tubuhnya oleng ke belakang.
“Lucu.” Ucap Naufal ketika tawanya mereda. “Lucu lo bangsat.” Seketika matanya menatap tajam pada Mawan. “Gua, gua rela kalau Dwi jadian sama yang lain. Tapi ini lo … anjing Bang, lo temen gua. Gua ceritain pait asemnya idup dan lo juga tega ngambil salah satu yang bisa bikin idup gua waras.”
“Na.” Ucap Mawan tegas, “Salahnya gue cuma sebates nggak ngasih tau lo perihal hubungan gue sama Dwi. Udah, sampe sana doang. Tapi kalau soal Dwi sama gue saling cinta, itu bukan kesalahan. Dan gue nggak perlu minta maaf karena lo ngerasa gue udah ngambil dia dari lo.”
Naufal kembali tertawa, kini terdengar lebih mengejek. Matanya menatap Dwi yang masih berada di bawah sana, lalu bergantian menatap Mawan yang berada di sampingnya dengan tatapan merendahkan.
Sebagian sadarnya sudah hilang, dan hatinya sudah dilingkupi benci. Naufal yang sedang patah hati mengucapkan kalimat dengan tidak hati-hati.
“Mau-mauan lo Dwi, jadian sama Bang Mawan. Sadar gak lo udah kayak piala bergilir.”
Mawan sudah sebisa mungkin menahan emosi, tapi Naufal kembali mengucapkan kata yang bisa menyakiti Dwi.
“Brengsek, jaga mulut lo!” Tangan Mawan sudah bersiap mencengkram kerah baju milik Naufal dan akan ia buat Naufal sama-sama merasakan sakit.
Tapi kemudian Dwi bangkit berdiri, menepis tangan Mawan dari Naufal dan dengan segera Dwi layangkan satu tamparan.
plak
Bunyi tamparannya keras, kepala Naufal sampai terteleng ke samping, dan merah langsung merambat di pipinya.
“Gue benci sama lo.” Ucap Dwi sambil menahan tangis. Harga dirinya merasa diinjak oleh Naufal. “Gue benci banget sama lo, Naufal.”
Naufal tertunduk, bibirnya masih membentuk seringai. Lalu ia tatap Dwi dalam. “So do I.”
Mawan langsung merengkuh tubuh Dwi yang bergetar. Niatnya untuk memperbaiki hubungan tidak diterima dengan baik dan malah berakhir jadi tambah saling benci. “Gue telpon Rayan. Lo balik sama dia.”
Ujar Mawan terakhir kali sebelum ia bawa Dwi keluar.
[]
“Jangan dipikirin. Kamu sama sekali jauh dari apa yang dia bilang.” Mawan mengusap punggung Dwi yang tubunya sedang ia peluk. Tidak sedetikpun Mawan biarkan Dwi terlepas dari dekapnya.
“We lost him … didn’t we?” Dwi bertanya lirih, menyadari bahwa hubungan antara ia, Mawan dan Naufal sulit untuk diperbaiki.
“Maybe this is for the best, Dwi.”
Dwi makin sembunyikan wajahnya di dada Mawan. Dan isak kecil mulai terdengar.
“Abang ….”
Mawan kecup rambut kekasihnya. Tangannya tidak henti mengusap-usap. “Hm? Kenapa? Kamu sedih?”
Dwi mengangguk.
“Mau abang nyoba ngobrol lagi sama dia?” Yang lebih tua bertanya sabar. Karena bagaimanapun, Naufal adalah sahabatnya juga. Dan kehilangan, apapun bentuknya, akan selalu terasa menyakitkan.
Kini yang lebih muda menggeleng. Ia paham jika Naufal juga sama kecewanya. “Nggak usah … Gapapa sedih aja, nanti juga sembuh.”
“Maafin abang ya.”
“Abang gak usah minta maaf. Jalan hidup kita udah begini.”
Malam itu, dalam peluk hangat juga sedikit tangis, keduanya berusaha memahami jika takdirnya sudah begini, yang harus mereka lakukan hanyalah terus menjalani hidup dengan baik.
Sometimes in life, things just ain’t meant to be.
“Kamu nyesel nggak … ngambil jalan hidup yang ini?”
Dwi mendongak, menatap Mawan yang sedang menatap kosong ke arah tembok. Dwi sedikit dorong tubuhnya naik agar ia bisa kecup dagu yang lebih tua. Membuat Mawan kini melihat ke arahnya.
“Nggak sama sekali.”
Dan bagi Mawan, itu lebih dari cukup.