daisyellow


Cw // drunk, harsh word, fight scene


Naufal bagai hilang ditelan bumi. Dwi sudah berulang kali mendatangi kosan miliknya, dan Naufal tidak pernah ada di sana. Dwi juga sudah berusaha menunggu Naufal di gedung fakultas— bahkan mendatangi kelasnya, tapi tidak pernah ia berhasil sekalipun berjumpa dengan Naufal.

Sudah hampir seminggu dari pertengkaran mereka, dan Dwi belum mampu perbaiki hubungan di antara mereka.

Tapi kemudian tepat di malam hari ketujuh, Dwi mendapat telepon dari Bang Mawan perihal keberadaan Naufal. Entah bagaimana cara Mawan mampu menemukannya, yang jelas Dwi langsung mengambil jaket dan tancap gas menuju sebuah klub yang cukup terkenal dikalangan para mahasiswa untuk melepaskan penat.

Mawan sedang menunggunya di parkiran ketika Dwi datang.

“Kamu ngebut?” Tanya Mawan, menyadari bahwa Dwi hanya memakan waktu dua puluh menit di perjalanan.

Dwi mengangguk, “Takut Naufal keburu pergi. Abang tau dia di sini dari mana?”

Mawan menjawab sambil menuntun Dwi untuk masuk ke dalam klub. “Rayan ditelepon sama temen satu fakultasnya Naufal, terus Rayan ngasih tau ke abang.”

Suara musik yang memekakkan telinga jadi yang pertama kali menyambut kehadiran Mawan dan Dwi. Lampu kelap kelip juga suasana yang remang buat keduanya sedikit kesusahan untuk mencari sosok Naufal di antara ratusan orang yang membaur di dalamnya. Butuh waktu sekitar lima belas menit sampai akhirnya Dwi bisa temukan sosok yang mereka cari.

Dwi remas pergelangan tangan Mawan agar langkahnya terhenti dan perhatian yang lebih tua tertuju ke arahnya. “Abang … itu Naufal.” Ucap Dwi kemudian, sambil tangannya menunjuk ke suatu arah di mana Naufal berada.

Keduanya terdiam saat melihat Naufal yang dalam keadaan setengah sadar sedang terduduk di sofa dengan kepala yang terkulai. Satu botol minuman beralkohol yang sudah kosong berada di hadapannya, seolah mencemooh akan sosok yang pilih untuk hilang akal akibat keadaan.

Mawan dan Dwi hampiri Naufal dengan langkah cepat. Barulah mereka sadar jika Naufal tidak sendirian.

“Temennya Naufal?” Tanya sosok lelaki dengan tubuhnya yang menjulang meskipun ia sedang duduk.

“Iya.”

Lelaki itu terlihat menghembuskan nafas lega. Lalu ia sampirkan tas miliknya di bahu dan berkata, “thanks udah dateng. Gue harus buru-buru balik nih, enggak bisa nemenin ni bocah asu sampe pagi. Titip Naufal ya.” Dan ia terburu-buru melenggang pergi.

Menyisakan ketiganya di antara ramai yang terasa sepi.

Naufal belum juga sadar akan kehadiran Dwi dan Mawan. Matanya masih terpejam dengan mulut yang entah menggumamkan apa.

“Na …” Mawan berusaha menyadarkan Naufal dengan cara memanggil nama juga menepuk-nepuk pipinya perlahan.

“Na, ayo balik.”

Kelopak mata Naufal bergetar, lalu matanya terbuka perlahan. Ia langsung memasang ekspresi jijik ketika melihat siapa yang berada di hadapannya.

“Ngapain lo di sini?” Tanya Naufal dengan kening yang berlipat.

“Gue anter lo balik dulu, yuk? Entar ngobrol di kosan lo aja.”

Naufal berdecak, ia semakin memasang ekspresi tidak suka ketika tahu hadirnya Mawan tidak sendirian. Ia melambai-lambaikan tangannya heboh. “Gua gak mau ngobrol ama pengkhianat macem lo berdua.”

Kepala Mawan tertunduk sebentar, ia harus sebisa mungkin menahan emosi.

“Na … gue dateng bukan buat nyari ribut. Jadi please, lo bisa nggak kooperatif sedikit. Gue mau —”

“Gua gapeduli anjing!” Ucap Naufal memotong ucapan Mawan. Badannya condong ke depan agar mendekat pada tubuh Mawan. Lalu ia menunjuk-nunjuk dada Mawan di tiap kata yang ia ucapkan dan dengan penuh penekanan, “gua. gak. peduli.”

Karena bagi Naufal, ia sudah cukup dikecewakan. Naufal sudah enggan lagi berurusan dengan pengkhianat yang sudah bermain-main di belakangnya.

Dwi merangsek maju. Ia bahkan sampai berlutut di hadapan Naufal agar lelaki itu setidaknya mau mendengarkan. Dua tangan Dwi tempatkan di atas lutut Naufal sambil ia memandang dengan penuh rasa sedih. Dwi sedih melihat sahabatnya menjadi seperti ini.

“Na, gue tau lo kecewa. Tapi apa salah kalau gue jadian sama Bang Mawan sampe lo ngebenci kita sebegininya?”

Naufal membuang muka. Ada perasaan dalam dadanya yang bergemuruh melihat Dwi sampai sebegininya hanya untuk dimaafkan.

“Gue minta maaf udah bilang gitu sama lo, Na.” Mawan kembali bersuara. “Gue tau gue salah dan gue bener-bener minta maaf untuk hal itu. Tapi demi Tuhan, nggak ada sama sekali maksud gue buat nusuk lo dari belakang. Gue cuma nggak mau nyakitin lo kalau lo tau gue jadian sama Dwi. Karena gue pikir lo udah nggak ada rasa sama dia, karena gue pikir lo udah lepas Dwi dan ini saatnya bagi gue buat ngejar cintanya Dwi.”

Naufal tertawa. Ia tertawa terbahak-bahak sampai tubuhnya oleng ke belakang.

“Lucu.” Ucap Naufal ketika tawanya mereda. “Lucu lo bangsat.” Seketika matanya menatap tajam pada Mawan. “Gua, gua rela kalau Dwi jadian sama yang lain. Tapi ini lo … anjing Bang, lo temen gua. Gua ceritain pait asemnya idup dan lo juga tega ngambil salah satu yang bisa bikin idup gua waras.”

“Na.” Ucap Mawan tegas, “Salahnya gue cuma sebates nggak ngasih tau lo perihal hubungan gue sama Dwi. Udah, sampe sana doang. Tapi kalau soal Dwi sama gue saling cinta, itu bukan kesalahan. Dan gue nggak perlu minta maaf karena lo ngerasa gue udah ngambil dia dari lo.”

Naufal kembali tertawa, kini terdengar lebih mengejek. Matanya menatap Dwi yang masih berada di bawah sana, lalu bergantian menatap Mawan yang berada di sampingnya dengan tatapan merendahkan.

Sebagian sadarnya sudah hilang, dan hatinya sudah dilingkupi benci. Naufal yang sedang patah hati mengucapkan kalimat dengan tidak hati-hati.

“Mau-mauan lo Dwi, jadian sama Bang Mawan. Sadar gak lo udah kayak piala bergilir.”

Mawan sudah sebisa mungkin menahan emosi, tapi Naufal kembali mengucapkan kata yang bisa menyakiti Dwi.

“Brengsek, jaga mulut lo!” Tangan Mawan sudah bersiap mencengkram kerah baju milik Naufal dan akan ia buat Naufal sama-sama merasakan sakit.

Tapi kemudian Dwi bangkit berdiri, menepis tangan Mawan dari Naufal dan dengan segera Dwi layangkan satu tamparan.

plak

Bunyi tamparannya keras, kepala Naufal sampai terteleng ke samping, dan merah langsung merambat di pipinya.

“Gue benci sama lo.” Ucap Dwi sambil menahan tangis. Harga dirinya merasa diinjak oleh Naufal. “Gue benci banget sama lo, Naufal.”

Naufal tertunduk, bibirnya masih membentuk seringai. Lalu ia tatap Dwi dalam. “So do I.”

Mawan langsung merengkuh tubuh Dwi yang bergetar. Niatnya untuk memperbaiki hubungan tidak diterima dengan baik dan malah berakhir jadi tambah saling benci. “Gue telpon Rayan. Lo balik sama dia.”

Ujar Mawan terakhir kali sebelum ia bawa Dwi keluar.

[]

“Jangan dipikirin. Kamu sama sekali jauh dari apa yang dia bilang.” Mawan mengusap punggung Dwi yang tubunya sedang ia peluk. Tidak sedetikpun Mawan biarkan Dwi terlepas dari dekapnya.

“We lost him … didn’t we?” Dwi bertanya lirih, menyadari bahwa hubungan antara ia, Mawan dan Naufal sulit untuk diperbaiki.

“Maybe this is for the best, Dwi.”

Dwi makin sembunyikan wajahnya di dada Mawan. Dan isak kecil mulai terdengar.

“Abang ….”

Mawan kecup rambut kekasihnya. Tangannya tidak henti mengusap-usap. “Hm? Kenapa? Kamu sedih?”

Dwi mengangguk.

“Mau abang nyoba ngobrol lagi sama dia?” Yang lebih tua bertanya sabar. Karena bagaimanapun, Naufal adalah sahabatnya juga. Dan kehilangan, apapun bentuknya, akan selalu terasa menyakitkan.

Kini yang lebih muda menggeleng. Ia paham jika Naufal juga sama kecewanya. “Nggak usah … Gapapa sedih aja, nanti juga sembuh.”

“Maafin abang ya.”

“Abang gak usah minta maaf. Jalan hidup kita udah begini.”

Malam itu, dalam peluk hangat juga sedikit tangis, keduanya berusaha memahami jika takdirnya sudah begini, yang harus mereka lakukan hanyalah terus menjalani hidup dengan baik.

Sometimes in life, things just ain’t meant to be.

“Kamu nyesel nggak … ngambil jalan hidup yang ini?”

Dwi mendongak, menatap Mawan yang sedang menatap kosong ke arah tembok. Dwi sedikit dorong tubuhnya naik agar ia bisa kecup dagu yang lebih tua. Membuat Mawan kini melihat ke arahnya.

“Nggak sama sekali.”

Dan bagi Mawan, itu lebih dari cukup.


Matahari sudah hampir hilang, tapi Mawan belum juga pulang.

Dwi bolak-balik duduk dan berdiri menunggu hadirnya Mawan di depan kosan yang lebih tua. Kantung plastik berisikan makanan yang Mawan beri berada di tangannya, ia berniat memakan kwetiau goreng ini bersama Mawan.

Ini hari sabtu, dan seharusnya Mawan berada di kosan. Tapi pintu kamarnya terkunci dan kata tetangga kos, Mawan keluar sejak siang tadi.

Dwi merapatkan jaketnya, hawa dingin setelah hujan mulai menusuk kulit karena angin malam juga mulai datang. Sayup-sayup sudah terdengar adzan maghrib dari masjid terdekat dan pada saat itu, motor Mawan tepat memasuki parkiran.

Melihat kehadiran Mawan, Dwi bangkit dari duduknya. Ia menunggu Mawan yang terlihat begitu terburu-buru membuka helm setelah mengetahui kehadiran Dwi.

“Dari mana?” Dwi bertanya langsung ketika Mawan sudah ada di hadapannya, memandang Dwi dengan tatapan tidak percaya seolah wujudnya hanyalah khayal yang tidak mungkin nyata.

“Dwi …”

“Iya, ini Dwi. Abang habis dari mana?”

“Abang …” bahkan suaranya terdengar bergetar, lalu Mawan berdehem untuk menghilangkan apapun itu yang berada di tenggorokannya dan buat suaranya tercekat. “Abang dari tempat Aheng. Bantuin dia ngurus sesuatu.” Lanjut Mawan setelah berhasil kuasai diri.

Dwi mengangguk kemudian, lalu tangannya bergerak memeluk tubuhnya sendiri. Dwi bergumam, “dingin …”

Sebagai kode agar Mawan mengajaknya ke dalam. Karena sudah lima menit berlalu dan kekasihnya itu hanya diam memandang wajahnya dengan tatapan tidak terbaca.

“Oh iya, ngobrol di dalem aja ya?”

Lalu Mawan menggandeng tangan Dwi menuju kamar miliknya.

[]

“Abang jangan kirimin aku makan terus.” Ucap Dwi yang kini sudah duduk di atas kursi kerja Mawan.

Mawan tersenyum, menghampiri Dwi dan duduk di tepi tempat tidur menghadap ke arah yang lebih muda.

“Kamu kan suka males makan kalau pikirannya lagi jelek.”

“Ya tapi kesannya aku ngerepotin abang.”

“Enggak pernah sekalipun abang ngerasa direpotin sama kamu, Dwi.”

Dwi menghela nafas panjang. Lalu is bertanya lagi, “sekarang, abang udah makan?”

Mawan menggeleng dengan bibir yang masih tersenyum.

“Ih!” Sahut Dwi agak kesal, “gimana sih? Ngingetin aku buat makan tapi kamunya sendiri belum. Aku ambil piring dulu, kita makan kwetiaunya bareng-bareng.”

Bangkit dari duduk, Dwi melangkah ke arah rak di mana Mawan menaruh perabot untuk makan. Tapi sebelum langkahnya semakin jauh, tangannya di tarik oleh Mawan dan buat Dwi menghentikan langkahnya.

Mawan menyusul berdiri, ia rengkuh tubuh itu dari belakang. Kedua lengannya melingkar melewati tubuh yang lebih muda dan Mawan dekap erat. Pundaknya sudah jatuh meluruh di pundak kekasihnya, membenamkan seluruh wajahnya yang mulai memerah di sana.

“Abang kangen …” Mawan berkata dengan suaranya yang kecil. Ia masih ketakutan menyuarakan isi hatinya. “Abang kangen banget sama Dwi …”

Lengan Dwi balik memeluk tangan Mawan yang melingkar di tubuhnya, semakin mengeratkan pelukan mereka.

“Dwi juga kangen.”

“Abang minta maaf ya sayang.”

Dan Dwi bisa rasakan lehernya basah. Mawan menangis. Dada milik Dwi mulai dirambati panas karena rasanya ia juga ingin menangis.

Dwi menggelengkan kepalanya cepat. Mawan tidak salah. Setelah mendapat nasehat dari Mas Damar, Dwi jadi paham jika Mawan hanya berusaha menjaga agar dirinya dan Naufal tidak sakit hati. Memikirkan betapa tertekannya Mawan menahan ini semua, dirinya jadi sedih sendiri.

“Dwi …” bahkan kini Mawan tersedak tangisnya sendiri, “abang takut banget kamu enggak mau maafin abang. Abang sayang banget sama kamu, Dwi.” Tangis Mawan semakin menjadi, “Abang sayang banget sama kamu.” Kalimatnya di akhir terdengar makin lirih. Seolah menggambarkan betapa Mawan merasa putus asa dan ketakutan.

Cepat-cepat Dwi membalik tubuhnya untuk berhadapan dengan Mawan. Ia usap air mata yang lebih tua dengan punggung tangannya.

Padahal air mata miliknya juga sedang mengalir deras.

“Abang shhh … jangan minta maaf.” Ucap Dwi menenangkan.

Lalu Dwi bergerak mencium ujung bibir Mawan yang bergetar, “kita perbaikin semuanya sama-sama.”

Apapun yang harus diperbaiki. Apapun. Setidaknya mereka mau mencoba.


Cw // minor sexual activity, secret relationship, implicitly containing homophobia


Joseph bertemu Rayan sejak usianya 13, lebih lama sebelum pertemuannya dengan Dwi, Naufal dan Bang Mawan. Dan jika ada yang bertanya “Rayan itu gimana sih, orangnya?”, hanya satu kata yang selalu Joseph ucapkan untuk membungkus tiap pesona Rayan yang tidak mampu ia utarakan ; Pintar.

Rayan itu pintar dan banyak tahunya, bukan cuma perihal dalam bidang eksak, tapi juga non-eksak. Dari mulai aljabar sampai melukis, Rayan bisa kuasai.

Tapi nyatanya, ada juga hal yang belum Rayan tahu. Hal ini menyangkut kegiatan yang berbau seksualitas.

Tumbuh dalam lingkungan yang taat agama dan memegang teguh prinsip bahwa hidup harus bermoral, Rayan kaget bukan main ketika menginjak kelas 1 SMA dirinya menemukan bibir teman sebangkunya bengkak dan lecet sehabis dari kamar mandi.

“Nya, lo kenapa?” Rayan bertanya panik.

Yang ditanya ikut panik, karena kini semua mata tertuju pada mereka berdua. Anya langsung menumpukan kepala pada dua tangannya yang dilipat di atas meja, lalu telunjuknya ia tempelkan pada bibir — sebuah gestur untuk membuat Rayan diam.

“Gue gapapa.”

Rayan ikut memposisikan kepalanya di atas meja, menghadap Anya. “Terus itu bibir lo kenapa?”

Seketika wajah Anya memerah. Rayan sudah khawatir jika Anya benar-benar sakit parah. Tapi perempuan itu malah tersenyum salah tingkah. “Hmm … ini gara-gara Kak Farel.”

“Lo digampar?”

“Ya enggak lah. Gue abis ciuman.”

“Hah?”

Rayan tahu kok apa itu ciuman, ia pernah melihatnya dalam film saat Mama dan Papa tidak di rumah. Tapi ketika melihat langsung dampak yang ditimbulkan dari kegiatan menyatukan dua bibir, kepala Rayan langsung nyut-nyutan. Ia tidak henti memikirkan mengapa orang-orang rela bibirnya sampai bengkak dan lecet hanya untuk ciuman?

Lalu ia bertanya pada Joseph di suatu siang sepulang mereka sekolah.

“Gatau juga sih, tapi kata si tompel enak.” Jawab Joseph sambil memetik senar gitarnya asal.

Rayan tertawa, “ih parah lo, masih aja manggil Eja si tompel.”

Joseph ikut tertawa, lalu ia simpan gitar di ujung tempat tidur dan menyusul merebahkan diri di samping Rayan. “Emang kenapa? Kok tumben nanya yang beginian?”

“Gatau …” Jawab Rayan pelan, ia menoleh pada Joseph yang sudah memandangnya sedari tadi, “penasaran aja kayaknya.”

Dan hening. Keduanya pandangi langit kamar Joseph yang polos entah untuk berapa lama, sampai kemudian Joseph bangun dari posisi tidurnya dan menatap Rayan di bawah sana.

“Mau coba sama gue?”

Usia mereka belia, dan rasa penasaran selalu bisa jadi juara.

Tanpa pikir panjang Rayan mengangguk, membuat Joseph merundukkan tubuhnya agar wajah mereka berdekatan. Kemudian bibir keduanya menempel, dan itu berlangsung hanya dua detik.

“Gimana? Lo suka?” Tanya Joseph kemudian setelah kembali memberi jarak.

Rayan sempat terdiam beberapa saat, memikirkan jawab apa yang harus ia beri pada sahabatnya sedari usia tiga belas. Sebab Rayan tidak tahu pasti apa yang ia rasa. Suka? Rayan tidak tahu. Ciumannya bersama Joseph terlalu singkat hingga yang ia rasa hanya gumpal bibir tipis.

“Lagi, Jo.”

Hari itu, pertama kalinya Rayan tidak memberi jawaban untuk pertanyaan yang Joseph utarakan. Ia hanya meminta Joseph untuk kembali menciumnya. Ia meminta, dan terus meminta.

Hanya untuk pastikan apakah rasanya berciuman memang seenak itu.

[]

Euforia yang dirasa keduanya setelah dinyatakan lulus ujian harusnya bisa saja disalurkan dalam kegiatan lain. Misalnya seperti berkeliling jalanan tanpa arah dengan seragam sekolah untuk terakhir kalinya, atau menangis bahagia di pelukan orang tua.

Tapi Rayan dan Joseph pilih menyalurkan bahagianya dengan penyatuan tubuh yang sudah banjir keringat. Entah apa yang mereka pikirkan, padahal sesaat sebelumnya mereka sedang menghabiskan satu bucket ayam kfc sebagai perayaan kecil-kecilan sudah lulus dari SMA.

Tau-tau sudah berciuman, tau-tau tangan Joseph sudah gerayangan, tau-tau Rayan sudah tidak gunakan seragam.

Setelah ciuman pertama mereka di kelas sepuluh, keduanya makin sering habiskan waktu berdua dan berani mencoba-coba. Tapi Joseph atau Rayan tidak pernah sampai tahap penetrasi. Hanya menyentuh seluruh tubuh sampai pelepasan datang menjemput.

Joseph yang masih mengatur nafas di atas dada Rayan tiba-tiba bertanya, “gimana ya reaksi Mama lo kalau tau anaknya begini sama cowok?”

Rayan benci pertanyaan Joseph yang ini. Maka tanya yang ini juga tidak pernah ia jawab.

Sebelum Rayan pamit pulang, ia hanya berkata, “jangan sampe Mama tau.”

Yang mana juga berarti ; jangan sampai dunia tahu.

[]

Joseph ingin mencintai Rayan dengan lantang. Dengan ucapan cinta yang bisa ia utarakan tanpa takut ketahuan, dengan sikap penuh kasih sayang yang maunya ia pamerkan pada dunia dan bukan hanya saat di atas ranjang.

Tapi ketika bersama Rayan, Joseph belajar menerima bahwa cintanya adalah bisu. Tidak bisa didengar orang, bahkan pada yang ia cintai sekalipun.

Ada iri yang merambat saat Joseph melihat bagaimana Naufal dan Dwi begitu vocal dalam menjalin cinta. Di semester pertama perkuliahan, Joseph mencoba peruntungannya. Mungkin saja kali ini tanya miliknya akan Rayan jawab.

“Gak mau kayak Dwi sama Naufal, Ray?”

Rayan mencium Joseph dalam. Ia kembali sembunyikan kata yang enggan untuk diucapkan.

Kalau mereka tidak akan pernah bisa menyuarakan cintanya. Dan cinta mereka selamanya akan bisu.

[]

Di suatu malam sehabis bercumbu, Joseph berikan tanya ke empatnya.

“Ray … kita mau sampe kapan gini terus?”

“Gue gatau, Jo.”

Kali ini Joseph mendapat jawaban. Tapi ia merasa malah makin tersesat dalam lubang ketidaktahuan.

  • fin


Cw : grinding, hands job


Dwi terus mendesah dengan pinggul yang tidak henti bergerak maju mundur. Nikmatnya terus dicari dengan Mawan yang dengan senang hati menuntun, dengan menaruh — atau lebih tepatnya meremat pinggang milik yang lebih muda— Mawan ikut gerakkan pingggang itu agar bergesekan pada pahanya.

Mawan ciumi telinga pacarnya, sesekali menggeram di sana karena ia juga merasa akalnya akan hilang.

Padahal keduanya masih menggunakan pakaian lengkap, tapi begini saja sudah cukup bawa mereka melayang pada langit hawa nafsu.

“Enak, sayang?” Tanya Mawan. Tangannya mengelap kening Dwi yang mulai berkeringat.

Mulut Dwi terbuka, tapi sama sekali tidak mampu menjawab. Mulutnya terbuka hanya untuk mengeluarkan desah desah kecil yang mampu menyulut keinginan Mawan untuk bertindak lebih jauh. Tapi Dwi masih mampu mengangguk, ia anggukan kepalanya untuk menjawab tanya Mawan yang tadi.

“Mau lebih dibikin enak?”

Sejurus dengan pertanyaan Mawan yang ini, tubuh Dwi ia tarik, mensejajarkan yang sama-sama sudah mengeras di balik kain agar saling bertemu. Mawan ingin Dwi menggesekkan kemaluannya tepat pada miliknya, bukan lagi pada paha yang sudah mulai terasa kebas akibat terus berada pada posisi yang sama.

“Gerak di sini.” Ucapnya pelan, dua tangan Mawan menggerakkan pinggang Dwi secara perlahan untuk naik turun, maju mundur, dan bergerak memutar.

Dwi mengalungkan lengannya di pundak yang lebih tua, dan wajahnya yang merah padam ia sembunyikan di sana.

“Hmmh … Abang …” lenguhan Dwi terdengar, pelukannya makin ia eratkan.

Satu tangan Mawan beralih pada pantat sekal pacarnya. Diremas, sesekali ditepuk merasakan empuk yang buat ia kecanduan. “Iya … hhh … kayak gitu sayang … gerak terus.”

“Abang … buka.” Dwi meminta, “hnggh buka celananya… please abang.”

Mawan akan kabulkan permintaan sang kekasih hati secara suka rela, namun ketukan di pintu kamar yang tiada henti memaksa keduanya untuk berhenti.

Setelah dengan sangat terpaksa keduanya memisahkan diri disaat pelepasan belum sampai, Dwi membukakan pintu dan mendapati Rayan juga Joseph ada di baliknya, beralasan ingin mengembalikan laptop.

Ada takut yang melanda saat Rayan juga Joseph memaksa masuk ke dalam kamar, karena Bang Mawan masih ada di sana.

Tapi kemudian nafas lega Dwi keluarkan, respon Rayan juga Joseph tidak terlihat mencurigainya.

“Lah ada Bang Mawan juga. Lagi ngapain Bang?” Rayan bertanya ketika ia lihat Mawan sedang duduk di atas karpet kamar dengan laptop menyala di hadapannya.

Mawan tersenyum tenang, alasan akan keberadaan dirinya di kosan Dwi sudah ia pikirkan sejak ia dengar suara rusuh di depan. Lalu Mawan menjawab, “Dwi lagi rapihin skripsinya pake laptop gue. Besok mau bimbingan katanya.”

“Oh iya, nih baru gue anterin sekarang laptop punya Dwi.” Lalu pandangan Rayan beralih pada Dwi, “kok gak ngomong sih kalo lo juga butuh? Kan bisa gue buru-buru balikin.”

“Eh … iya hahaha. Gak enak gue takut lo masih pake. Lagian bisa pinjem juga punya Bang Mawan.”

“Hmm gitu.”

“Iya, gitu.”

Dan berakhir dengan Joseph yang mengajak untuk menonton film horor bersama.

Keempatnya duduk di atas karpet kamar Dwi, dengan Mawan yang duduk di sampingnya dan bersandar pada tembok, sedangkan Rayan dan Joseph di depan mereka sudah dalam posisi nyaman tidur-tiduran menghadap laptop.

Beberapa saat setelah film dimulai Mawan makin duduk merapat pada Dwi. Tanpa kata ia selimuti kaki yang lebih muda dan taruh bantal di atasnya. Mawan kemudian berbisik, “terusin yang tadi ya?”

Dwi melotot, sedikit tidak percaya atas apa yang dikatakan Mawan.

“Gila ya?” Tanyanya tanpa suara. Lalu ia juga ikut berbisik di telinga Mawan, “nanti kalau ketauan gimana?”

Ia lihat tangan Mawan dengan perlahan masuk ke dalam selimut yang menutup kakinya, mencari-cari sesuatu yang sudah tegang bersembunyi di balik kain yang menutupi separuh tubuh. Dan ketika Mawan menemukan sesuatu yang masih setengah menegang itu, tangannya bergerak meremas dari luar celana.

“You just have to be quiet.” Bisik Mawan lagi. “Buka kakinya.”

Sepertinya Dwi juga ikutan gila, sebab ia menuruti apa yang dikatakan Mawan begitu saja. Kakinya ia buka, seolah sudah pasrah akan apapun yang akan Mawan lakukan padanya.

Kini bisa ia rasa jemari Mawan menarik karet celana kolor miliknya, menurunkannya sedikit agar kemaluan yang lebih muda dapat ia genggam tanpa terhalang celana.

Nafas Dwi tercekat saat Mawan mulai memijat penisnya yang sedikit basah akibat precum yang sudah ada dari aktivitas mereka sebelumnya. Kepalanya menengadah, menempel pada tembok ketika nikmat sudah ia rasa kembali. Bibirnya ia gigit, menahan sekuat tenaga agar lenguhnya tidak terdengar.

Kakinya bergerak-gerak gelisah ketika ibu jari yang lebih tua bergerak cepat memainkan lubang kencingnya.

“Hhh,” Ia patut bersyukur pada bluetooth speaker yang membuat suara film mengeras hingga menyembunyikan deru nafasnya yang mulai memberat.

Dwi remas paha Mawan ketika pelepasannya akan datang. Dan Mawan mengerti, gerakan mengocoknya makin ia percepat sampai tidak lama kemudian jemarinya basah oleh sperma Dwi yang keluar.

Bibirnya terasa perih akibat terus ia gigit kuat-kuat. Ia atur nafasnya yang masih tersengal setelah melakukan pelepasan. Mengejar kenikmatan dan disaat yang bersamaan harus tidak ketahuan oleh dua sahabatnya mampu membuat jantung Dwi berdetak lebih cepat.

Mawan tersenyum melihat Dwi yang masih terpejam. Ia usapkan jemarinya yang lengket pada celana kolor Dwi. Lalu Mawan berbisik, “pinter” sambil mengelus paha pacarnya.

[]

Jika kamu sudah mengetahui sesuatu, maka perhatianmu akan selalu tertuju kesitu.

Rayan, si pengamat di antara kelimanya, masih merenung bagaimana bisa sesuatu yang terjadi di antara Dwi dan Bang Mawan terlewat begitu saja dari mata elangnya.

Tapi mungkin, Rayan, itu karena kamu menyembunyikan hal yang sama. Hingga kamu menolak segala prasangka yang berkaitan dengan hubungan rahasia. Kamu secara naluri selalu memalingkan wajah untuk apa yang mencerminkan pengalaman sendiri yang tidak ingin diketahui. Maka bukan masalah kamu tidak melihat, lebih kepada kamu menolak untuk memperhatikan.

Sebab kamu juga akan menemukan pengalaman sendiri di sana.

Namun kini ketika ia tahu, mata juga telinganya jadi begitu peka.

Ia tahu Bang Mawan dan Dwi sedang melakukan sesuatu di belakang sana. Dalam hati ia mengumpat karena tidak tahu jika Dwi dan Bang Mawan ternyata berani bertindak sebegininya di saat ada ia dan Joseph.

Maka ketika film sudah habis diputar, buru-buru ia mengajak Joseph untuk pulang. Ia sudah cukup memastikan jika memang benar, dua sahabatnya itu menjalin suatu hubungan.


Dua hari berlalu setelah pertemuannya dengan Naufal, dan Mawan belum juga bertanya apa-apa.

Bahkan saat Mawan menjemputnya di depan Mall dua hari kemarin, yang lebih tua tidak banyak bicara. Ia hanya menyuruh Dwi untuk segera naik ke atas motor dan mengantarnya menuju kosan.

Tapi kemudian Dwi merasa pelukan Mawan lebih erat dari biasanya. Sampai-sampai Dwi meminta agar pelukan yang Mawan beri sedikit ia longgarkan.

“Abang … peluknya jangan kekencengan, Dwi sesek.”

Mawan malam itu cuma bisa tertawa sambil meminta maaf, lalu kemudian mencium kening Dwi dan pamit pulang.

Meski Mawan tidak bicara apa-apa, tetap saja Dwi merasa yang lebih tua memikirkan banyak hal. Hari ini Mawan menginap, dan Dwi akan berusaha buat Mawan mengeluarkan apa yang ia pendam.

“Enggak ada sayang.”

Tapi ternyata Dwi kesusahan. Dan itu cukup membuatnya takut hal yang sama akan terulang, perihal dua orang yang sama-sama suka menyimpan beban dan enggan untuk dibagi.

Dwi bangun dari posisi berbaring, menatap Mawan yang ada di bawah sana dengan pandangan curiga. “Bohong. Masa sih kamu gamau tanyain aku macem-macem? Ini aku abis ketemu mantan aku loh.”

Mawan tutup matanya dengan satu pergelangan tangan sambil tertawa. “Ya emang enggak ada yang mau abang tanya. Tidur yuk ah, udah malem nih.”

“Gamau. Ini jangan-jangan abang sayangnya boongan lagi sama aku.” Dwi merengut. Jika Mawan bersikap sesantai ini dan benar tidak ada yang ingin ia tanya, maka ada takut yang melanda bahwa yang lebih tua tidak benar-benar cinta. Sebab apa betul Mawan tidak merasa apa-apa perihal pertemuan Dwi dengan sang mantan?

Terdengar helaan nafas panjang yang Mawan keluarkan. Satu tangannya menarik tubuh Dwi lembut agar berbaring di atas tubuhnya yang kekar. Ia daratkan kepala Dwi tepat di atas dadanya, tepat di atas jantung miliknya.

“Denger enggak suara detak jantung abang?”

Dwi terdiam sebentar. Mendengarkan dengan khidmat jantung Mawan yang berdetak kencang.

Deg deg deg deg deg deg deg

“Dwi … kedengeran sayang?”

Dapat Mawan rasa Dwi mengangguk perlahan. Kini tangan yang lebih muda ikut ditempelkan di atas dada Mawan, mengelus perlahan benda hidup yang bersembunyi di bawah tulang dada tapi masih bisa ia rasa.

Karena detaknya begitu hebat.

Mawan berikan satu kecupan di atas kepala Dwi. Lalu punggung si Juni juga ia usap-usap. Gesture kecil yang Mawan beri agar sang kekasih hati tahu kalau ia sedang disayang.

“Inget nggak pas tahun baru kemarin, detaknya masih sama kenceng, 'kan? Atau pas kita pelukan di toilet kosan Rayan, detak jantung abang sebegini kencengnya cuma pas sama kamu. Masih mikir kalau abang sayangnya cuma boongan?”

Aduh, kalau dibicarakan seperti ini Dwi jadi merasa malu dan bersalah.

Dwi menggeleng, lalu wajahnya ia angkat agar bisa sejajar dengan Mawan. “Maaf,” bisiknya penuh sesal. “Maaf udah ngomong gitu. Gak maksud ngeraguin abang.”

Tangan Mawan yang lain— yang tidak sedang mengusap punggung milik Dwi— Mawan gunakan untuk mengelus sisi wajah sang kekasih hati.

“That's okay.” Mawan selipkan rambut Dwi yang memanjang ke belakang telinga, membuat wajah Dwi semakin jelas terlihat. “Abang enggak nanya macem-macem soalnya abang percaya sama kamu, Dwi.”

“Tapi gimana kalau misal akunya macem-macem?” Dwi bertanya iseng.

Alis Mawan terangkat, bibirnya tersenyum miring. “macem-macem gimana?”

“Ya … misalnya nge-iyain balikan sama Naufal?”

“Tapi kamu enggak ngelakuin itu.”

Bahkan Mawan sama sekali tidak mengajukan kalimat tanya. Hanya ada kalimat penuh keyakinan di sana.

Dwi tertawa kecil, lalu mengangguk cepat. “iya, aku gak ngelakuin itu.”

“That's my baby.”

Ucap Mawan terakhir kali sebelum menarik tengkuk Dwi agar wajah mereka tidak berjarak. Biar lampu tidur yang jadi saksi bagaimana malam ini Dwi kembali merasa dibuai oleh ciuman Mawan.


“Padahal bisa gue jemput, Dwi. Kita berangkat bareng.” Naufal berucap setelah Dwi duduk di hadapannya, kembali mengungkit topik perihal Dwi yang menolak ketika ditawari jemputan.

Sedangkan Dwi tertawa canggung, ia sudah tidak lagi sendiri. Ada rasa tidak enak hati pada Mawan jika dirinya menerima tawaran dijemput Naufal. Meskipun Dwi tahu betul Mawan sama sekali tidak akan keberatan. “Tadi gue mampir gramed bentar soalnya. Enggak enak kalau lo nganter juga.”

“Yaelah, kayak sama siapa aja.”

Justru karena dengan kamu, Naufal. Justru karena dengan kamu yang pernah mengisi hatinya, Dwi melangkah dengan hati-hati.

Meskipun Dwi merasa sudah biasa-biasa saja jika berada di ruang yang sama dengan Naufal, tapi nyatanya tetap ada yang berbeda saat hanya mereka berdua. Jika sedang bersama yang lain, perasaan yang bisa dikatakan canggung ini tertutup oleh obrolan tiga orang lainnya. Tapi ketika kini yang ada hanya dirinya dan Naufal, Dwi agak bingung harus membicarakan apa.

Dan itu terjadi dua arah. Naufal terlihat sama bingungnya.

Pesanan tersaji beberapa waktu kemudian, namun obrolan yang berarti belum juga sampai ke permukaan. Keduanya malah asik memakan makanan masing-masing, sambil sesekali Dwi merasa jika Naufal memperhatikan dirinya.

“Kenapa?” Dwi bertanya pada akhirnya, diiringi sedikit tawa untuk menghilangkan rasa canggung. Ia tidak tahan melihat Naufal yang terlihat beberapa kali menatap dan membuka mulut, namun tidak satupun kata keluar dari mulutnya.

“Enggak haha. Jaket lo baru? Gue baru liat.”

“Iya.”

“Beli di mana Dwi?”

“Gatau hahaha, gue dikasih sama orang sih ini.”

Pertanyaan basa-basi dari Naufal, tapi jawaban yang Dwi beri sedikit banyak mengandung arti.

“Oh…” Naufal hentikan keingintahuannya mengenai jaket yang Dwi pakai. Karena jujur saja, perasaannya mulai tidak enak.

“Lo tumben sih ngajak makan berdua?” Dwi kembali buka suara ketika sushi di meja sudah sisa separuhnya.

“Kata gue juga mau perbaiki silaturahmi.”

“Silaturahmi yang kayak gimana nih? Hahaha.”

Naufal tersenyum, meminum ocha refillan sebelum beri jawaban. Jawaban yang sudah ia siapkan lebih dari seminggu lalu. Naufal tatap Dwi yang atensinya sudah kembali pada makanan. Wajar saja, karena ia butuh waktu untuk menjawab.

“Kayak tiap balik ngampus gue yang anter lo ke kosan. Atau tiap kita gak ada tugas, lo ikut ke kosan gue dan kita nonton fullmetal alchemist. Atau tiap malem minggu gue ajakin lo ke mcd cuma buat jajan mcflurry.”

Dan jawaban Naufal sanggup buat Dwi berhenti mengunyah.

“Dwi, gue mau perbaiki silaturahmi yang itu.”

“Na …” Dwi telan makanannya bulat-bulat. Tenggorokannya sedikit sakit tapi hal ini perlu ia luruskan segera. “Na, gue…”

“Dengerin dulu boleh nggak, Dwi?” Naufal memohon, tangannya terulur untuk raih jemari Dwi.

Dwi tidak menolak, membiarkan Naufal memegang jemarinya.

“Masa-masa kelam gara-gara bokap nyokap cerai udah berhasil gue lewatin. Sekarang nyokap kerjaannya udah stabil dan gue udah mulai nerima kalau tanpa bokap pun gue sama nyokap masih bisa hidup senang. Gue udah ikhlas. Gue udah kuat lagi, Dwi. Gue udah jadi Naufal yang lebih baik. Dan gue udah siap buat perbaikin hubungan sama lo. Gue udah siap buat ngobatin hati lo.”

Naufal tapati janji. Tapi Dwi sedari awal sudah meminta agar Naufal tidak menjanjikan apapun.

Dwi tahu betul hati manusia bisa berubah. Dwi tahu betul tidak ada kejelasan di sana. Dwi tahu betul perasaan tidak akan pernah sama di tiap masanya.

Dan hati Dwi, sekarang bukan lagi untuk Naufal.

Dwi tersenyum sedih, matanya sudah memerah karena bagaimanapun, ada sedih yang ia rasa ketika mendengar ucapan Naufal.

“Na, gue mau minta maaf. Udah nggak bisa, Na. Udah nggak ada yang harus lo perbaikin, udah nggak ada yang harus lo obatin.”

Dwi remat tangan Naufal, isyarat dirinya sungguh-sungguh meminta maaf.

“Gue udah sembuh berkat orang lain.”

Ekspresi Naufal terlihat biasa saja. Meski senyumnya redup, tapi kecewa miliknya ia sembunyikan dalam-dalam.

Ini berita baik. Naufal harus terima. Karena dulu, ia sendiri yang pilih melepas dibandingkan untuk bertahan.

“Oh wow? Siapa?”

“Ada. Tapi gue masih belum bisa cerita.”

“Selamat ya, Dwi.”

“Thank you. Gue mau minta maaf sekali lagi.”

Naufal tertawa terbahak, jemari Dwi sudah ia lepaskan. “Lo ngapain minta maaf sih? It's a good news, Dwi. Gue harap dia lebih baik dari gue.”

“Lo berdua baik pada porsinya masing-masing, Na.”

Satu notifikasi pesan dan Dwi pilih untuk berpamitan.

“Na, makasih udah ngajak gue makan. Gue duluan ya.”

Naufal mengangguk.

Seiring punggung Dwi hilang dari pandangan, Naufal sudah harus belajar merelakan sepenuhnya.


Bang Mawan Kalau mau pulang, kabarin abang ya. Abang kebetulan banget meetingnya deket tempat kamu makan sama Naufal. Ini abang udah kelar.

Mawan, matahari yang mulai tenggelam menertawakan kamu dan ketakutan dirimu yang sedang bersembunyi di sebuah meja restoran dan diam-diam memperhatikan dua orang yang sedang terlibat perbincangan.

Beruntung dalam pertempuran ini kamu yang menang. Takutmu, baiknya disimpan untuk nanti saja.

-fin


Cw // kissing, making out


Meskipun dengan sedikit gerutuan, Dwi akhirnya membalas pesan dari Naufal.

Dan Mawan, terus memperhatikan dalam diam. Ia baca dengan seksama kata demi kata yang Naufal kirim. Dan saat satu pertanyaan Naufal lontarkan, ia tatap Dwi, menunggu yang lebih muda akan menjawab apa.

“Ngajak makan.”

“Oh, berdua aja?”

Dwi mengangguk.

“Aku bilang nggak bisa aja ya?”

Yang lebih tua tersenyum, “jangan, kasian Naufal. Masa temen sendiri ngajak makan ditolak.”

“Kamu nggak cemburu?”

Mawan menggeleng. Jemarinya menyapu rambut Dwi yang menghalangi kening, kemudian pipinya ia usap dengan begitu sayang.

“Enggak. Karena dia enggak bisa ngelakuin ini sekarang.”

Itu adalah ucapan Mawan sebelum dirinya menarik Dwi makin mendekat. Dibawanya tubuh yang lebih kecil ke atas pangkuan. Dua kaki Dwi secara otomatis berada di sisi kanan dan kiri tubuh Mawan.

Dan hal selanjutnya yang terjadi adalah bibir keduanya saling mengisi, membasahi dengan liur masing-masing hingga buat mengkilap merah. Satu tangan yang lebih tua mengusap-usap punggung Dwi, sedang tangan yang lain mengelus paha yang lebih muda.

Sedangkan Dwi, dua tangannya ia tempatkan di belakang kepala Mawan. Meremas ujung rambut untuk menyalurkan kenikmatan.

Jika begini, ia rasa dirinya yang sedang diajari cara berciuman. Karena Mawan sedari awal memimpin, dan Dwi sudah dibuat kelimpungan.

“Hmh…”

Dwi mendesah. Ia merasa bibir bawahnya di gigit, lalu dihisap hingga membengkak. Tapi kemudian Mawan juga jilati, usahanya meredakan perih.

Saat ciuman terpisah karena keduanya jelas butuh bernapas, yang lebih tua tetap ingin bibirnya berkelana dan enggan untuk beristirahat.

Mawan cium dagu si Juni hingga kepalanya mendongak. Ia beri gigitan gigitan kecil sejengkal demi sejengkal, dari dagu menuju leher sampai ke selangka.

Kepala Dwi terasa pening. Tubuhnya ingin ia buat agar semakin tidak berjarak padahal sudah tidak ada spasi di antara keduanya. Dua kakinya makin mengerat melingkar di tubuh Mawan. Matanya merem melek keenakan dengan mulut yang terus terbuka mengalunkan desah nikmat.

“Ahh… abang…”

Mawan berhenti sejenak, memperhatikan Dwi yang dengan mata sayunya tampak begitu tampan.

“Dwi...”

“Cuma abang yang bisa cium kamu sekarang, Dwi.”

Dalam lima tahun penantiannya, mengalahnya, dan relanya, kini Mawan biarkan egonya untuk mengendalikan diri.

“Cuma abang yang bisa liat kamu kayak gini.”

Dwi mengangguk. Dan sekarang, giliran dirinya yang memimpin percumbuan.

“Cuma aku juga yang bisa cium abang kayak gini.” Dwi berbisik, sebelum menyatukan bibirnya dan yang lebih tua kembali.

popcorn juga ayam geprek mengangur di nakas samping tempat tidur sampai mendingin. Tapi tidak masalah, karena keduanya sudah mendapat hangat dari satu sama lain.

[]

Merah dalam Gelap


Rooftop kosan Rayan malam ini lumayan ramai. Rupa wajah yang tidak begitu asing bertebaran dengan kegiatan masing-masing.

Kelimanya sudah berkumpul di pojok ruang, agak jauh dari sumber cahaya yang hanya berupa dua lampu 15 watt. Rayan, Joseph dan Naufal duduk di atas tikar yang Rayan bawa dari kamar. Sedangkan Dwi, ia pilih duduk di atas sofa buluk bersama Mawan berada di sampingnya.

Sudah hampir tiga minggu ia dan Mawan menjalin hubungan, sudah tiga minggu juga ia berpura-pura tidak ada apa-apa antara dirinya dan Mawan di hadapan Naufal, Joseph dan Rayan.

Bukan perkara sulit sebetulnya, sebab Mawan tidak pernah melakukan hal-hal yang terlalu mencurigakan ketika mereka berlima berkumpul bersama. Karena di mata kelimanya, Mawan itu adalah sosok yang selalu mengayomi. Jadi ketika ia mencurahkan sedikit perhatian pada Dwi, tidak akan ada yang menaruh prasangka.

Seperti malam ini. Semuanya sudah sibuk dengan gawai di tangan masing-masing — kecuali Mawan karena yang lebih tua tidak pernah suka dan kurang pandai bermain game online.

Dan tidak ada yang begitu peduli ketika Mawan menyuapkan sepotong demi sepotong donat yang sudah ia sobek ke dalam mulut Dwi.

Bagi Dwi, disuapi Mawan juga bukan hal yang spesial. Sudah sering Rayan atau Joseph bahkan Naufal sekalipun diberikan suapan oleh yang lebih tua.

Sampai kemudian jempol Mawan tidak beranjak dari bibirnya meskipun potongan donat sudah masuk sempurna ke dalam mulut si Juni.

Dwi berpura-pura tidak peduli, ia masih berusaha fokus pada permainan yang sudah berjalan setengah. Tapi yang lebih tua sepertinya mau buat perkara, karena kemudian Dwi bisa merasakan bibirnya bukan hanya disentuh, tapi diusap dengan begitu perlahan.

Anjing.

Anjing banget ini Bang Mawan maksudnya apaan?!!!!

Dwi berteriak dalam hati. Dan karena mulutnya tidak mungkin menyuarakan hal itu, maka ia tatap Mawan dengan penuh tanya.

Yang dibalas oleh senyum jahil juga perkataan tanpa suara. “Apa?”

“Ngapain?!” Dwi balik bertanya juga tanpa suara.

Mawan hanya menggeleng dengan seringai yang makin melebar. Karena ia juga tidak tahu mengapa bisa berbuat hal senekat itu. Mungkin karena bawah sadarnya terus menyuruh Mawan untuk memegang bibir Dwi yang terlihat begitu lucu ketika makan, mungkin juga karena ia yang memang penasaran.

Bagaimana rasanya menyentuh bibir Dwi dan bukan dengan ibu jari miliknya melainkan dengan anggota tubuhnya yang lain.

Mawan baru saja akan kembali menggoda Dwi sebelum teriakan dari Rayan menghentikan gerakannya.

“Dwi main yang bener lu nyet!!!”

“Iya sorry sorry, tadi ada nyamuk ganggu.”

Dwi melotot pada Mawan sebagai peringatan untuk tidak lagi menggodanya. Karena ia yakin dirinya tidak akan sanggup menerima lebih dari ini. Bahkan gelap malam masih belum bisa sembunyikan rona merah dari pipi hingga telinga.

Oh …. Ingin rasanya Mawan mencium rona itu sekarang juga, hanya agar bertambah merah.


Kalau sudah begini, Mawan tidak bisa menyalahkan siapa-siapa.

Karena ia sendiri yang meminta agar Dwi merahasiakan hubungan mereka, ia sendiri yang merasa belum siap sepenuhnya jika asmara yang mulai tumbuh terusik dengan pendapat dari banyak orang.

Jadi ketika Dwi ditarik begitu saja oleh Rayan untuk duduk di antara dirinya yang kecil dan Naufal, Mawan tidak bisa meminta Dwi agar pindah menempati kursi kosong di sisinya.

Mata mereka bertemu sepersekian detik dengan Dwi melemparkan senyum hangat. Dan secara ajaib satu perdua pusingnya ya sudah hilang. Mawan balas senyum itu dengan sama hangatnya, dan belum hilang bahkan saat mata Dwi sudah beralih pada Rayan yang mulai sibuk curhat mengenai Bu Sri si dosbing yang buat Rayan kelimpungan.

Sosok Naufal tentu tidak lepas dari jangkauan penglihatan Mawan. Karena cowok itu berada persis di samping Dwi, tengah asik memperhatikan dua sobat karibnya dengan satu gelas kopi hitam ia seruput pelan-pelan.

Mawan lebih tahu dari siapapun jika perhatian Naufal dibagi lebih banyak untuk lelaki yang menggunakan hoodie hitam, perhatian Naufal dibagi lebih banyak untuk Dwi.

Kembali, Mawan tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Karena ia sendiri yang meminta, karena ia sendiri yang masih mau menyembunyikan.

Mawan pikir semuanya akan berjalan lancar, sampai pesan dari Naufal buat dirinya kembali berpikir mengenai tindakan yang sudah ia ambil. Ia kira Naufal sudah merelakan Dwi sepenuhnya, hingga Mawan berani untuk mengambil langkah untuk mendapatkan apa yang ia mau.

Namun pada kenyataannya, Naufal masih ingin kembali, dan itu buat Mawan merasa bahwa ia berada di antara sebuah lorong yang pintunya masih sama-sama samar. Mawan belum bisa ambil keputusan akan dibawa ke ujung mana kakinya melangkah. Ia butuh waktu berpikir, agar tidak ada lagi yang merasa sakit di antara keduanya, di antara Naufal dan Dwi.

Mawan, jangan lupa jika kamu juga terluka.

Mawan sedang butuh penawarnya.

Maka saat ia dengar Dwi meminta izin pergi ke wc untuk buang air kecil di kosan Rayan, dirinya ikut berdiri dan beralasan yang sama, “gue juga kebelet.”

Padahal, Mawan ingin berduaan sebentar agar perhatian Dwi hanya tertuju untuk dirinya.

“Sana ih buru katanya kebelet.” Dwi tertawa melihat Mawan yang hanya berdiri di dekat pintu wc saat dirinya keluar.

Mawan ikut tertawa kecil, tangannya menggaruk rambut yang tidak gatal. “Orang enggak kebelet.”

“Terus ngapain ikut ke sini?”

Jantung Dwi mulai tidak karuan saat ia sadar bagaimana cara Mawan memperhatikan dirinya. Matanya seolah malas berkedip karena takut sosok Dwi hilang meski dalam hitungan detik, bibir yang lebih tua tidak henti memamerkan senyum kecil yang buat Dwi merasa salah tingkah.

“Mau berduaan sebentar sama obatnya abang. Biar perhatian kamu ke abang doang.”

Dwi tertawa salah tingkah, “idih hahaha pocecip banget.”

“Biarin.”

“Udah cukup belum berduaan sama akunya? Jangan lama-lama, takut pada curiga…”

Mawan pegang tangan Dwi yang masih sedikit basah. Lalu berkata, “boleh minta peluk? Sepuluh detik aja, biar pusing abang bisa bener-bener ilang.”

Pada tahap ini Dwi sudah tidak lagi sanggup berkata apa-apa. Ini bukan kali pertama mereka berpelukan, tapi yang kali ini sensasinya begitu berbeda, jantung Dwi benar-benar berdetak kencang.

Yang lebih muda hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

Begitu saja, tubuhnya ditarik untuk masuk dalam dekap Mawan.

10

9

Rambut Dwi diusap pelan.

8

7

Punggungnya semakin didekap hangat. “Permennya nanti ambil ya kalau mau pulang.”

6

5

Dwi mengangguk, kemudian balik melingkarkan dua tangannya di badan tegap Mawan. Dan dua perdua pusing yang lebih tua luruh semua.

4

3

“Abang sayang kamu.”

2

1

Dan sekarang, jantung Mawan tidak lagi meletup sendirian.

Ada Dwi di sana yang enggan melepaskan dekap sebelum ia mengembalikan ucapan Mawan bahwa, “Dwi juga.”

Dwi juga sayang sama abang.

Karena ia malu. Dan pipinya sudah bersemu.

Lubang-lubang Kecil


Di tenda mie ayam Pak Gus, keduanya putuskan untuk bertemu. Mawan masih menggunakan kemeja kerja dan celana bahan, sedangkan Dwi— tubuhnya itu dibalut crew neck coklat dan tubuh bagian bawahnya mengenakan jeans selutut.

Di tenda mie ayam Pak Gus, keduanya nikmati pesanan masing-masing tanpa banyak bicara. Dan klakson kendaraan yang tidak sabar ingin melaju jadi yang mengisi keheningan di antara keduanya.

Meski begitu, Mawan dan Dwi tahu jelas jika ada yang dinanti yang akan dibicarakan perihal hubungan keduanya.

Dan di tenda mie ayam Pak Gus, Dwi akhirnya mengerti perihal ucapan Mawan mengenai dirinya yang tidak tahu kenapa bisa menaruh hati pada Dwi yang biasa-biasa saja. Tiba-tiba ingin selalu bertemu, tiba-tiba bibirnya tersenyum selalu, tiba-tiba cemburu, tiba-tiba saja jatuh pilu.

Karena cintanya belum terjatuh di waktu yang tepat. Mawan waktu itu, jatuhnya jatuh pilu.

Rasa takut yang Dwi punya ketika ia sadar bahwa jantungnya berdegup kencang saat bersama Mawan adalah hal sewajar-wajarnya ia rasakan.

Dwi sudah mengantisipasi agar dirinya tidak jatuh pada lubang yang sama. Kisahnya dengan Naufal cukup jadi pengalaman sekali seumur hidup yang tidak mau Dwi ulang kembali.

Tapi Dwi … Mawan tidak membuat sebuah lubang dan buat kamu menduga jatuhnya kapan.

Dwi … kamu jatuh pada perhatian kecil yang Mawan berikan; seperti menaruh bantal di belakang punggung mu secara diam-diam di acara kemah lalu. Seperti menaruh satu telapak tangan di atas kepalamu saat memasuki tenda mie ayam Pak Gus agar kepalamu tidak membentur ujung bambu yang dijadikan atap.

Dwi … kamu jatuh pada bagaimana cara Mawan menatapmu; seperti kamu adalah lukisan bernilai miliaran yang dipajang di museum dan Mawan adalah pengunjung yang rela menatapmu selama hitungan hari dan tidak di jeda makan hanya karena ia tidak bisa membawamu pulang.

Dwi … kamu jatuh pada bagaimana cara Mawan memperlakukanmu, pada bagaimana Mawan selalu mau mendengarkan kamu, pada bagaimana Mawan selalu ada di saat kamu butuh.

Dwi paling takut jatuh pada lubang yang sama. Namun ternyata jatuhnya kamu tidak pada lubang besar yang jelas di depan mata, kamu jatuh pada lubang lubang kecil dan tanpa sadar sudah menelanmu seluruhnya sampai ke hati.

“Enak mie nya?”

“Kalau misal ternyata gue juga suka sama lo, terus lo bakalan gimana?”

“Kok gak nyambung sama pertanyaan gue? Hahaha.”

“Ih, jawab aja!”

“Lo maunya Abang gimana?”

“Ya… gatau.”

“Abang serahin semuanya sama Dwi. Udah cukup Abang ngebebanin Dwi sama perasaan Abang. Abang enggak mau bikin Dwi makin ngejauh.”

“Stop bilang perasaan lo tuh beban. Karena sekarang gue enggak ngerasa keberatan.”

Dwi kali ini memilih berani. Dwi beranikan untuk jatuh cinta bersama Mawan.